dari Kata Menuju Makna
Rp 2.000,-
Edisi v Jumadil Tsani 1430 H / Mei 2009
Assalamu’alaikum Wr Wb Alhamdulillah, majalah sederhana ini kembali terbit untuk yang kelima kalinya. Suatu pencapaian yang belum seberapa tentunya. Akan tetapi usaha kecil ini tentu akan kami upayakan untuk terus berlanjut dan terus berkembang hari demi hari. Pada edisi kelima ini, Komunitas NuuN mencoba membahas wacana sekularisasi dan sakralisasi politik. Suatu tema yang cukup relevan di tengah hiruk pikuk politik bangsa akhir-akhir ini. Kami tentu tidak membahas bagaimana hukum demokrasi atau pemilu. Hal itu bukan berada pada otoritas kami. Kami hanya coba menampilkan pandanganpandangan kami tentang politik. Baik itu konsep politik maupun realita politik yang ada hari ini.Tidak mudah memang membahas tema ini. Akan tetapi kami mencoba sedapat-dapatnya memberikan informasi kepada pembaca. Edisi ini memang berbeda dengan edisi sebelumnya. Dua rubrik baru kami hadirkan. Pertama rubrik wawancara. Pada kesempatan perdana ini kami mewawancarai Ustadz Khalif Muammar. Seroang peneliti pada Akademi Tamadun dan Alam Melayu (ATMA) Malaysia. Ini Sebuah kesempatan baik yang kami dapatkan sesungguhnya. Kemudian kami pun menambah satu rubrik lagi: Sosok. Rubrik ini sengaja kami tampilkan untuk memperkenalkan tokoh-tokoh Islam (tentu secara singkat) kepada para pembaca sekalian. KH Ahmad Dahlan ialah sosok yang kami pilih untuk edisi kali ini. Mudah-mudahan kita semua dapat mengambil pelajaran dan inspirasi dari perjuangan beliau. Berkait dengan penambahan rubrik dan pengembangan lainnya tentu membuat majalah ini semakin tebal. Hal ini pun menuntut kami untuk lebih teliti dalam mengelola Tafakkur. Namun setiliti-telitinya kami, tentu masih saja banyak kelemahan di sana sini. Redaksi tak hentihentinya mengajak pembaca untuk ikut serta mengembangkan majalah ini, dengan memberikan kritik dan masukan. Kami menunggu saran, kritik, dan masukan dari para pembaca sekalian melalui email:
[email protected]. Demikian dari kami. Semoga majalah ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Wassalamu’alaikum Wr Wb Redaksi
DAFTAR ISI
4
Muqodimah
Mahasiswa, Desakralisasi Politik dan Ketebelece Itu 6
Risalah Utama
Simpang Jalan Politik: Antara Sakralisasi dan Sekularisasi oleh Tri Shubhi 15
Catatan
Merenungi Pandangan Politik Buya Natsir oleh Reza Baizuri 16
Kembara Realita
“Teo Demokrasi M Iqbal” oleh Syifaunsyah 20
Wawancara
DR Khalif Muammar: “Sekularisasi telah gagal!!!” 24
Kalam Illahi
Tafsir Surat An Nass (bagian 2) 26
AnNissa
Tentang Tubuh Perempuan oleh Nur Saadah Khudri 27
Sosok
KH Ahmad Dahlan oleh Adelia Wulandari 31
Khotimah
Masyarakat Sholat Berjamaah oleh Khayrurrijal
Majalah Tafakkur diterbitkan oleh Komunitas NuuN Dewan Redaksi: Komunitas NuuN; Pimpinan Redaksi Tri Shubhi A; Editor: Eko Prasetyo; Penyelaras akhir: M Arief D.. Sekretariat : Jl. H. Mamat Tohir No 51 Rt 02/01, Kel.Pondok Cina, Kec.Beji, Kota Depok E-mail:
[email protected]. Pemesanan: Isnaini Fadhilah o21 9642 4948
Muqodimah
Mahasiswa, Desakralisasi Politik, dan Ketebelece Itu Sejak Nurcholis Madjid berceloteh mengenai Pembaharuan Islam, politik agama di Indonesia menghadapi tantangan serba hebat. Agama, yang dianggap oleh para pembaharu tidak rasional, didudukan sebagai terdakwa dalam kemunduran umat Islam. Jalan keluar yang ditawarkan cukup mengejutkan. Singkirkan agama dari ranah politik. Jargon “Islam Yes, Partai Islam No!” disambut gempita oleh berbagai kepentingan dalam lingkaran Orde Baru. “Islam yang baik” dan dianggap tidak radikal ini diperlukan oleh penguasa untuk meredam kekuatan kanan sekaligus menjadi legitimator kekuasaan. Soeharto pun menjadi gemar menyokong pengiriman mahasiswa ke Amerika. Penyekolahan ini bukan sekadar penyekolah-an. Para “Indonesian” lugu itu kemudian mengangkut cara pandang Barat, termasuk terhadap politik, ke negeri para wali. Celoteh Nurcholis tahun 1970 itu ialah sebuah awal dari arus penghilangan nama Tuhan dari ranah kekuasaan. Politik bangsa ini mengalami desakralisasi akut, materialisasi menahun, dan sekularisasi berkelanjutan. Hasilnya, penguasa-penguasa nirbudi berkeliaran di senarai jabatan. Partai-partai berlomba menanggalkan ideologi dan kemudian berkiblat pada materi. Dan rakyat, tanpa semangat dan gairah, hanya dihargai sebagai suara-suara yang harus diperebut-kan dalam pemilihan. Di sudut-sudut kampus, mahasiswa merasa berkepentingan dengan apa yang disebut politik. Setidaknya mereka harus berbicara mengenai politik agar pantas disapa pejuang, tidak apatis, dan peduli terhadap nasib bangsa. Namun, diam-diam desakralisasi
4
itu telah menikam ulu pikiran mereka. Telah tertanam dalam otak mereka bahwa politik ialah wilayah kotor yang harus dibebaskan dari agama. Menggandeng agama dalam rebut-rebut kekuasaan hanya akan mengotori kesucian agama itu sendiri. Persoalan paling mendasar politik mahasiswa kita sekarang ini ialah persoalan cara pandang terhadap politik itu sendiri. Tujuan-tujuan dan konsep politik tak jauh dari kekuasaan. Telah terjadi degradasi nilai pada gerakan politik mahasiswa. Dari nilai-nilai yang idealis menjadi sekadar nilai-nilai bermotif kebendaan belaka. Dari memperjuangkan nilai-nilai ketuhanan menjadi sekadar perebutan kekuasaan. Perjuangan membebaskan rakyat dari kungkungan belantara gelap penindasan (melalui jalur politik) sudah menjadi cerita butut. Protes dan demonstrasi mahasiswa selalu dicurigai oleh rakyat sebagai tunggangan pihak-pihak berkepentingan. Kepercayaan rakyat pada mahasiswa hanya terpisah selembar rambut dari ketidak-percayaan. Wajar, karena orang-orang lapar hanya percaya pada mengisi perut untuk hidup. Bagaimana orang-orang bawah dapat mempercayai mereka yang partisan dan cuma menjadi kacung-kacung kekuasaan itu? Independensi sudah menjadi mitos dalam Tafakkur v/Jumadil
pergerakan. Mahasiswa sudah pandai bercerita tentang siapa, dapat apa, dengan cara bagaimana (pun). Kau rebut apa hari ini untuk posisi-posisi di masa depan. Merapat ke atas, menjadi penjilat dan penjual muka. Lalu, bagaimana sederet manusia yang termangu di tebing-tebing lapar itu akan percaya? Tak pernah ada perubahan dari seorang pengikut dan pengekor. Tempat bagi para partisan tak jauh dari telapak kaki kekuasaan. Kerja partisan tak lebih dari manut miturut pada apa yang diinginkan elit. Pengikut, pengekor, dan partisan tak akan pernah mampu menyatakan pendapat dan pandangannya. Sekali pun ia bersuara, maka itu hanya suara elit yang diperintahkan kepada para partisan untuk disuarakan. Klaim pembela nasib rakyat dilukai dengan ketebelece politik murahan. Akhirnya cita-cita mahasiswa (apa pun jurusan, fakultas, asal, suku, dan agamanya) tak jauh dari menjadi cepat kaya, cepat terkenal, dan cepat berkuasa. Tridarma perjuangan mahasiswa tergerus arus desakralisasi. Toh menjadi kaya, terkenal, dan berkuasa ialah bukan sebuah dosa. Dan cara tercepat menggapai itu semua ialah menumpang menjadi partisan kekuatan-kekuatan politik yang sudah ada. Atau menjadi benalu atas nama rakyat. Akal para partisan hanya diisi dogma ketaatan kepada para elit. Tak ada aspirasi. Tak ada konsepsi. Semua serba tertutup. Jumud. Para partisan tak akan mampu berpikir dan tak akan berani berpikir. Sebab kemam-puan berpikir hanya dimiliki mereka yang bebas tak terikat pada kekuatan apa pun selain kekuatan Tuhan. Allah Swt telah sangat khusyuk menciptakan manusia. Dengan segala kemahasempurnaan-Nya, Ia ciptakan keluarbiasaan pada diri manusia. Lidah yang tepat untuk mengecap rasa, mata yang peka dengan cahaya, serta segala indra yang mencerap realitas Tafakkur v/Jumadil Tsani1430
dengan paripurna. Lalu akal mengeja semesta layaknya busur menghujam sasaran. Tepat tak terkira. Dan wahyu telah menyempurnakan kehidupan manusia. Tiada pengaturan masyarakat yang benar selain apa yang telah Allah sabdakan dalam Qur’an suci. Kekuasaan tanpa panduan Ilahi hanya akan menjadi liar. Kekuasaan macam itu hanya akan menempatan manusia tak lebih dari suara-suara yang harus diperebutkan dalam pemilihan. Politik tanpa Tuhan ialah jurang tempat terjerumusnya kaum terdahulu kepada penghambaan terhadap nalar dan sesama manusia. Politik tanpa wahyu Ilahi ialah matinya cinta. Seperti apa yang telah dilakukan bangsa-bangsa sekular. Ke mana pun mereka datang, yang terjadi hanya penindasan dan penistaan manusia. Kini, di gerigi hiruk politik tak berketuhanan, kita sedia untuk bertanya. Masih adakah mereka yang rela berputar menempuh bahaya demi cita-cita? Masihkah kita sudi mengeja tahlil, tahmid, takbir, dan istighfar di ruang dewan perwakilan? Masih adakah kumandang suara qura membaca Qalam Ilahi di dalam istana? Ataukah yang mampu bertahan hanya srigala-srigala haus kuasa yang mulutnya terkunci dari nama Tuhan? Ke manakah waktu akan berlalu? Pada politik tunabudi ataukah politik maha etika? Pada pengagungan nama Tuhan atau pengenyahan nama Tuhan dalam kekuasaan? Pertanyaan-pertanyaanku membentur jidat para pejuang salon, yang berceloteh soal anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya—dengan segala hormat kepada WS Rendra. Dalam panggang terik matahari yang meninggi di atas kepala, terngiang ucapan Buya Hamka, "Jika agama tidak boleh di bawa ke parlemen, haruskah saya simpan di dalam lemari?" WaLLahu’alam bi showab
Pergulatan umat Islam Indonesia dalam politik bangsa saat ini berada pada titik yang cukup memprihatinkan. Hal ini dibuktikan dengan perolehan suara partai-partai Islam pada Pemilu 2009 yang menukik cukup tajam. Selain itu, aspirasi keislaman tak terdengar. Jika pun ada, itu sekadar bisik. Tak ada suara keras tuntutan penegakan syariat atau menjadikan Islam sebagai dasar negara. Yang lebih terdengar justru suara-suara kaum sekular yang menginginkan pemisahan negara dari agama atau pernyataan bahwa syariat Islam itu ialah agenda masa lalu. Dua fakta di atas dapat dimaknai sebagai kemunduran politik Islam di Indonesia. Kemunduran ini terjadi akibat banyak hal. Selain berbagai persoalan dalam diri umat Islam sendiri (seperti lemahnya persatuan) ada persoalan lain yang cukup serius, yaitu sekularisasi politik Indonesia. Persoalan ini cukup serius. Sekularisasi bukan hanya telah megebiri suara politik Islam melainkan telah menggiring politik bangsa ini ke arah yang semakin materialistis dan jauh dari nilai-nilai. Sakralisasi ialah suatu jalan untuk mengembalikan politik kepada hakikatnya. Pengosongan politik dari nilai-nilai ketuhanan telah nyata menggiring politik ke arah materialistis. Politik pada akhirnya hanya bernilai kekuasaan dengan adigium “siapa, dapat apa, dengan cara bagaimana”. Sesunggunya Allah Swt telah menciptakan manusia dengan fitrahnya. Mengikuti pokok-pokok tuntutan dalam wahyu ketika berpolitik mutlak diperlukan. Tanpa itu, politik kita akan semakin mengeras menjadi tunaetika, nirbudi, dan tak berketuhanan. 6
Tafakkur v/Jumadil Tsani
Sekularisasi Istilah secular berasal dari bahasa latin saeculum yang arti harfiahnya ‘zaman ini’ atau ‘masa kini’ atau lebih tepatnya merujuk kapada arti ‘peristiwa-peristiwa zaman kini’. Sekularisasi sendiri bermakna pembebasan manusia, pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasa. Dengan kata lain sekularisasi ialah terlepasnya dunia ini dari pengertianpengertian religius dan religius semu; terhalaunya semua pandangan dunia yang tertutup; terpatahkannya semua mitos supranatural dan lambang-lambang suci. Terdapat tiga komponen tak terpisahkan yang terdapat dalam sekularisasi. Tiga komponen itu ialah: Pertama, disenchantment of nature atau penidakkeramatan alam; kedua, desacralization of politics atau penidaksakralan politik; dan ketiga, deconsecration of values atau pemberian makna sementara dan relatif terhadap nilai-nilai (1). Menurut Harvey Cox, seorang pemikir yang berperan mengembangkan wacana sekularisasi, pengosongan dunia dari nilai-nilai rohani dan agama adalah prasyarat mutlak bagi perkembangan sains. Jika dunia dikosongkan dari pandangan yang menyatakan ada kekuatan supranatural yang menjaga dunia ini, sains dapat berkembang dan maju. Harvey Cox juga menegaskan pembebasan dunia dari nilai-nilai gaib adalah syarat penting bagi usaha-usaha urbanisasi dan modernisasi. Manusia harus mengeksploitasi dunia seoptimal mungkin, tanpa perlu dibatasi oleh pandangan hidup agama apa pun. Dengan cara apa pun semua maknamakna rohani keagamaan ini mesti dihilangkan dari alam. Ajaran-ajaran agama dan tradisi harus disingkirkan. Alam dipandang bukan sebagai suatu entitas suci (divine entity) Aspek lain dari sekularisasi ialah deTafakkur v/Jumadil Tsani1430
sacralization of politics. Unsur-unsur rohani dan agama harus disingkirkan dari politik. Oleh sebab itu, peran agama (termasuk wahyu) dalam institusi politik harus disingkirkan. Ini menjadi syarat untuk melakukan perubahan politik dan sosial. Segala macam kaitan antara kuasa politik dengan agama dalam masyarakat tidak boleh berlaku karena dalam masyarakat sekular, tidak seorang pun memerintah atas otoritas ‘kuasa suci’. Sekularisasi juga terjadi dengan merelatifkan semua nilai-nilai kemanusiaan (deconsecration of values). Kebenaran ialah relatif dan tidak ada nilai yang mutlak. Karena perspektif seseorang selalu dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya, maka tidak ada seorang pun yang berhak memaksakan sistem nilainya kepada orang lain. “Wahyu langit” dipandang terjadi dalam sejarah. Oleh karena itu, manusia sekular mempercayai bahwa “wahyu langit” dibentuk oleh kondisi sosial dan politik tertentu. Semua sistem nilai terbentuk oleh sejarah yang mengikuti ruang dan waktu tertentu(2). Sekularisasi ini pada akhirnya akan mengantarkan manusia kepada paham sekularisme yang menihilkan peran Tuhan dalam kehidupan(3). Tentu saja hal ini berten-tangan dengan Islam. Agama wahyu ini me-mandang alam sebagai sesuatu yang sakral dan menjadi tanda bagi keberadaan
Tuhan. Dalam konsep politik, Islam sangat memen-tingkan peran agama (Al Qur’an) dalam pe-merintahan. Otoritas ulama sangat penting dalam pengambilan keputusan. Hal ini tidak menjadikan Islam sebagai suatu teokrasi yang despotik. Relativisme pun bercanggah-an dengan Islam. Nilai-nilai kebenaran da-lam Islam ialah mutlak sepanjang masa. Sekali pun ide ini bertentangan dengan Islam, tetapi beberapa pemikir Islam justru coba menerapkannya untuk memahami Islam. Kita mengenal nama Muhammad Sahrur, Abdullah An Naim, Muhammed Arkoun, sampai Hassan Hanafi sebagai tokoh yang mempromosikan sekularisasi di tubuh umat Islam. Salah satu tokoh yang manarik untuk dikaji ialah Nasr Hamd Abu Zayd. Pemikir yang dikafirkan oleh ulamaulama Mesir. Abu Zayd menyatakan AlQur’an ialah produk sejarah (muntaj tsaqofi). Dengan demikian Abu Zayd pun berpendapat Islam harus dipandang sebagai agama budaya yang besar dan berkembang dalam dinamika sejarah (4). Sekularisasi politik merupakan suatu ide yang gencar diwacanakan di berbagai ne-gara Islam. Hal ini meniscayakan dua hal. Pertama, penolakan Islam dalam institusi negara. Kedua, sebagai konsekuensi dari hal pertama, Islam dikerangkeng dalam ranah privat dan disingkirkan dari wilayah publik. Ide inilah yang sesunguhnya menjadi tantangan bagi perkembangan politik Islam, baik dalam konsep maupun praktik.
memperjuangkan kemerdekaan berasaskan Islam. Perdebatan mengenai Sekularisme dan Islam ini berlangsung cukup lama hingga akhirnya aspirasi umat Islam dibungkam kekuasaan despotik Soekarno yang bekerjasama dengan komunis. Pada tahun 1970, muncul nama Nurcholis Madjid dengan makalah pidatonya berjudul: Keharusan Pembaharuan Islam dan Masalah Integrasi Ummat. Makalah ini menjadi sangat penting karena menjadi naskah yang secara terbuka menganjurkan liberalisasi dan sekularisasi di dalam tubuh umat Islam. Dalam naskah itulah semboyan “Islam yes, partai Islam No” yang menggambarkan pola keberislaman masyarakat Indonesia hadir. Catatan lainnya, naskah pidato ini ditulis dalam rangka silatrahim tiga organisasi kaum muda Islam terbesar (saat itu) di negeri ini, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan Gerakan Pemuda Islam (GPI). Legalitas dari tiga organisasi besar itu seolah menunjukkan apa yang dilakukan Norcholis mewakili kaum muda yang resah dengan kejumudan yang ada. Kaum muda yang menuntut pembaharuan demi kemajuan. Sesuatu yang sesungguhnya tertolak karena banyak pula dari kader-kader HMI, PII, maupun GPI yang menentang ide Norcholis tersebut. Nurcholis dalam salah satu paragraph naskah tersebut antara lain menyatakan:
Sekularisasi dan Politik Indonesia Di Indonesia sendiri ide ini diperkenalkan oleh banyak tokoh. Sebelum kemerdekaan kita mengenal para nasionalis sekular yang menginginkan Indonesia menjadi negara sekular. Mereka kemudian berhadapan dengan para politisi dari umat ini yang
8
Tafakkur v/Jumadil
Sebab sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah pada hakikatnja apa jang dinamakan “sjirik”, lawan tauhied. Maka sekularisasi itu sekarang memperoleh maknanja jang konkrit, yaitu desakralisasi terhadap segala sesuatu selain hal2 jang benar2 bersifat Illahy (transcendental), jaitu dunia ini(5). Kutipan di atas menunjukan anjuran untuk memisahkan perkara yang sakral dan perkara yang profan. Tuhan sakral sementara selain Tuhan itu ialah profan, maka keduanya harus dipisahkan. Pandangan ini menjadi sangat kontroversial dan kemudian ditentang oleh banyak kalangan, termasuk kawan-kawan Nurcholis sendiri. Salah satu penentang yang memiliki argumen yang memadai ialah Endang Saefuddin Anshari. Beliau menyatakan: Dengan bertitik tolak bahwa Islam (nilai2 dan norma2 Islam) itu adalah sekral, maka Islamisasi ialah sekralisasi, atau kudusisasi. Presiden Soeharto kalau saja tidak chilaf antara lain pernah berkata: “Djangan mempolitikkan Islam!” Saja kira pernjataan beliau itu benar, karena djustru kita harus meng-Islamkan (Islamisasi= sakralisasi =kudusisasi) politik. Sakralisasi politik menurut pengertian saja bukanlah menganggap politik itu sakral, melainkan “membuat politik itu bersih”(6). Pertentangan antara dua tokoh ini sebenarnya mewakili dua arus utama dalam politik Islam. Pada satu sisi mereka yang menganjurkan sekularisasi dan berhadapan dengan sisi lain tempat mereka yang menyerukan kepada sakralisasi politik. Di sinilah Tafakkur v/Jumadil Tsani1430
sesungguhnya pertarungan itu terjadi. Persengketaan mengenai bagaimana seharusnya dan berdasarkan apa Republik Indonesia. Satu pihak menginginkan agama (Islam) hadir di ruang-ruang politik. Pihak lainnya berusaha mengerangkeng agama di ranah privat belaka. Perdebatan yang menyejarah sejak sebelum negeri ini mendeklarasikan kemerdekaannya. Kekuasaan Orde Lama kemudian memutus persengketaan ini dengan pembubaran Konstituante. Pada masa Orde Baru, persengketaan ini kembali mencuat selepas pidato Nurcholis itu. Dan penguasa lebih berpihak pada sekularisasi. Depolitisasi Islam pun terjadi secara masal dan kadang dilakukan dengan cara-cara tak berperikemanusiaan. Kasus Tanjung Priok, Talang Sari, Aceh, atau pun Haur Koneng menjadi catatan kelam karena pemerintahan sekular menindas Islam dengan senjata. Selepas reformasi, pertarungan menjadi lebih terbuka. Gairah politik Islam kembali mengemuka. Namun di pihak lain, pihak sekular mendapat keuntungan pula dengan dibukanya kran kebebasan. Secara simbolik partai-partai Islam sempat “menang” ketika berhasil mengusung Abdurahman Wahid menjadi presiden RI. Sayangnya kemenangan itu ialah senyata-nyatanya kesemuan karena justru Wahid merupakan sekularis pula dan akhirnya dimakjulkan oleh kekuatan politik Islam itu sendiri. Perjuangan menerapkan kembali Piagam Jakarta pun sempat diupayakan beberapa partai Islam. Hal ini menunjukkan politik Islam selepas reformasi masih memiliki semangat untuk menegakkan aturan Allah Swt di Bumi Nusantara. Suatu fakta yang seharusnya berkembang menjadi semakin baik. Sayangnya itu lagi-lagi tak terjadi. Partai Islam seringkali bertikai dalam internal mereka. Persatuan menjadi teramat sulit, se-
Pada prakteknya rakyat berdaulat hanya dalam pemilihan. Selepas itu, otoritas tetap direngkuh oleh para elit yang dapat juga berlaku lalim. Kualitas politik Indonesia saat ini sangatlah memprihatinkan. Para elitnya, termasuk sebagian elit politik Islam, lebih suka memikirkan kekuasaan daripada ideologi yang ia anut atau kesejahteraan rakyat. Perdebatan dasar-dasar negara, sistem yang ada, atau pun perdebat idealistis lainnya semakin jarang terdengar. Yang lebih mengemuka ialah wacana perebutan kekuasaan dengan adigium seperti tersebut sebelumnya: siapa, dapat apa, dengan cara bagaimana (pun) (Who get what by how). Sementara sisi lain kehidupan bangsa, seperti pendidikan, moral, budaya, dan spiritual urung mengalami Sekularisasi dengan sebenarnyalah kemajuan. Hal ini membuktikan bahwa sekularisasi politik justru ingin menyingkirkan nilai-nilai yang telah menggiring ke-kuasaan ke diwahyukan Tuhan dari politik. tempat kering tak berrohani. Politik benar-benar menjadi urusan dunia yang tak berhubungan sama sekali dengan ingin menyingkirkan nilai-nilai yang diwahTuhan. Hasilnya tidak ada tang-gung jawab yukan Tuhan dari politik. Pada akhirnya transenden kepada Allah Swt baik dari para politik hanya urasan manusia, oleh manusia, penguasa atau pun dari para pelaku politik dan untuk manusia (government of the lainnya. people, by the people, for the people). Sementara rasionalitas yang sering kali Sekularisasi menawarkan pernghormatan diidentikan dengan sekularisasi justru menterhadap hak asasi manusia, terjaminnya jauh entah ke mana. Bukankah perdukunan, kebebasan, persamaan, keadilan bagi selukhurafat, mitos, dan hal-hal irasional semaruh masyarakat serta yang paling penting kin subur di negeri ini? Bahkan para politisi terpilihnya pemimpin pilihan rakyat dan sekular pun tetap gemar dengan khurafat. bertanggung jawab terhadap rakyat. Namun, sisi lain dari sekularisasi justru Mitos Toekrasi dan Despotisme Politik berwajah muram. Jika pengosangan nilai Islam rohani dari alam semesta telah menghasilSalah satu argumen yang kerap dikan eksploitasi dan perusakan alam, maka pekikkan para pengusung sekularisasi ialah desakralisasi politik telah menghasilkan polibahwa politik Islam tak lebih dari teokrasi tik yang materialistis dan kehilangan nilaiyang despotik. Hamid Baasyif, seorang senilai absolut. Sementara kedaulatan rakyat kularis kontemporer, menu-duhkan hal ini yang diharapkan hanya berlaku dalam teori. mentara paham-paham sekular ditebarkan dengan kekuatan dana luar biasa. Kondisi ini membuat politik Islam kembali terpuruk. Pada Pemilu 2009 ini, perolehan suara partai Islam menukik tajam. Wacana-wacana yang biasa diusung kekuatan politik Islam pun surut. Tiga partai urutan teratas ialah partai-partai sekular. Gejala ini bukan hanya terjadi pada kondisi statistik melainkan sudah mulai merasuk pada pola pikir umat Islam. Hasil survey dari Lembaga Survey Indonesia (LSI) menunjukan gejala itu. Mayoritas masyarakat muslim (57%) lebih berorientasi terhadap nilai-nilai politik sekular dibanding dengan yang lebih berorientasi pada nilai-nilai politik islami (33%) (7). Sekularisasi dengan sebenarnyalah
10
Tafakkur v /Jumadil
tepat ke muka politik Islam. Kasus Iran merupakan contoh kontemporer terbaik tentang buruknya sistem politik yang diringkus oleh agama, dan karenanya makin mempertegas keperluan akan sistem politik sekular. Sebab sistem yang didominasi agama hanya melahirkan politik yang kedodoran (agama tak menyediakan manajemen politik lantaran ia hadir memang bukan untuk itu), sekaligus agama yang cemar, sebab Tuhan dan rasul akhirnya cuma diperalat untuk menopang tindakan-tindakan politik demi kepentingan rezim, tapi dengan sikap seolah mereka hanya menjalankan perintah agama demi kemaslahatan publik. Sejak revolusi 1979 teokrasi Iran membuat rakyat tak lagi punya ulama, sebab para mullah terserap ke dalam negara dan berganti jubah menjadi penguasa. Dalam pencampuran ini, lazimnya kerugian terbesar diderita oleh agama, tapi seraya menguntungkan para elitnya. Sekularisme berniat memi-sahkan keduanya, dengan mendudukkan agama dan politik di kursinya masing-masing(8). Tuduhan bahwa Islam menganut teokrasi yang despotik sebenarnya merupakan asumsi. Hal itu lebih disebabkan kesalahan cara pandang terhadap Islam. Mereka melihat Islam dengan kaca mata Barat. Pengalaman kelam Barat terhadap agama (Kristen) diterapkan dalam memandang Islam. Risalah Nabi Muhammad Saw ini dipandang selayaknya agama Barat yang problematik. Para pemuka agama di masa kegelapan Barat memang dianggap sebagai Tafakkur v/Jumadil Tsani1430
makhluk yang memperantarai manusia dengan Tuhan. Sementara otoritas ketuhanan para pemuka itu tidak memiliki landasan yang shahih. Ketika hal ini berhadapan dengan nalar manusia, sekularisasi menjadi tak terhindarkan. Ketika mereka menyejajarkan sejarah Islam dengan sejarah Barat, maka kesilapan pandang ini melahirkan pandangan bahwa Islam ialah teokrasi despotik. Sekularisasi sebenarnya merupakan pergulatan antara rasionalitas dan kuasa gereja dalam peradaban Barat. Akibat pergulatan yang panjang dan dahsyat ini akal ba-wah sadar masyarakat Barat telah terpatri dengan kesimpulan bahwa pemerintahan agama hanya akan berdampak kemunduran. Bentuk pemerintahan sekular, liberal, dan pluralis adalah satu-satunya solusi agar tidak terjadi lagi pemerintahan despotik dan autoritarian (9). Ini jelas berbeda dengan Islam. Tokoh Masyumi, M Natsir, menyatakan: Orang Islam tidak memerlukan kependeta-an... dalam Islam ada ahliahli agama yang di-sebut ulama. Mereka itu ialah guru dari berbagai cabang ilmu agama... tetapi mereka bukanlah pen-deta... Mereka tidak lebih hanyalah i-mam, pemimpin shalat.... Imam itu hanya suatu jabatan berdasar keper-luan praktis untuk penyeleng-garaan salat, tidak suatu jabatan resmi (10). Bahwa dalam Islam terdapat qadi (hakim) itu memang benar adanya. Akan te-
tapi, otoritas dalam Islam bersifat terbuka. Siapa pun yang memiliki ilmu memadai berhak mendapatkan otoritas. Dan otoritas itu sendiri datang dari kalangan masyarakat dan para cendekiawan. Selain itu, posisi ulama dalam Islam bukanlah perantara antara Allah Swt dan umat Islam. Oleh karena itu, pandangan bahwa Islam meng-anut teokrasi yang despotik ialah tertolak dengan sendirinya. Umat Islam memang dituntut untuk taat kepada Allah Swt dan Rasul-Nya Saw serta para pemimpin. Para pemimpin yang dimaksud ialah umara dan ulama. Itu pun dengan catatan keduanya taat kepada Allah Swt dan Nabi Suci Saw. Ulama tidak berkuasa untuk memaksakan ketaatan, memonopoli kebenaran, dan mengklaim berbicara atas nama Tuhan. Pidato Abu Bakar AsSyidiq dapat dikutip untuk menguatkan hal itu: Wahai manusia, aku menjadi penguasa meskipun aku bukan orang yang terbaik di antara kamu. Apabila aku benar maka dukunglah aku. Apabila aku salah tunjukanlah jalan yang benar. Ikutilah aku selama aku taat kepada Allah dan rasul-Nya. Apabila aku melanggar, jangan taat kepadaku. Ketahuilah bahwa aku tidak lebih daripada manusia biasa seperti engkau (11). Pandangan Islam terhadap Politik Allah Swt telah menurunkan wahyu, AlQur’an, yang di dalamnya terdapat pokok-pokok pengaturan masyarakat dan pemerintahan. Secara tekstual memang tidak ditemukan penjelasan mengenai bentuk negara dalam Islam. Akan tetapi, itu bukan berarti Islam tidak memiliki konsep negara. Islam diturunkan sebagai agama yang mencakupi segala hal, termasuk persoalan negara. Islam bukan sekadar spiritualitas yang hanya menganjurkan lantun dzikir di masjid-masjid(12).
12
Sebab Islam bukan hanya dzikir melainkan juga perubahan sosial, pemberantasan kemiskinan, stabilitas, penghapusan kelaliman; oleh karena itu, pengaturan terhadap negara serta masyarakat. Nabi Suci bukan hanya seorang yang memimpin sholat. Beliau pun mengupayakan perbaikan sosial, mengokohkan ekonomi, merevolusi sistem moral, dan menjadi pemimpin dari sebuah negara. Semua yang dilakukan Rasul Saw ialah berdasarkan perintah Allah Swt yang termaktub dalam Al Qur’an. Gerak lampah rasul ini ialah tafsir paling awal terhadap Al Qur’an (Sunnah). Secara ontologi, Islam tidak pernah memisahkan antara fisik dan metafisika, fenomena dan naumena, atau dikotomi lainnya. Dalam sistem epistemologi Islam pun wujud-wujud di luar alam tabi’i (semesta yang terindra) diakui statusnya dalam pengetahuan. Bahkan status wujud Allah Swt lebih tinggi dibandingkan dengan wujud lainnya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang Allah Swt merupakan pengetahuan tertinggi. Hal ini berlaku pula dalam lapangan politik. Dalam Islam, setiap perbuatan manusia ada hukumnya, termasuk politik. Maka politk merupakan bagian dari agama. Sistem politik Islam sebagian besar memang hasil dari ijtihad. Al Qur’an tidak secara detail menjabarkan bentuk pemerintahan, mekanisme, dan pelaksanaan lapangan. Akan tetapi, cukup banyak ayat yang menjelaskan prinsip-prinsip pemerintahan yang perlu menjadi pedoman dalam berpolitik. Islam memberikan kelonggaran bagi manusia untuk memikirkan sendiri kaedah dan bentuk pemerintahan yang diinginkan sesuai tuntutan zaman dan kemashlahatan. Kelonggaran ini benar-benar mencer-minkan dinamika syariah dan rasionalitas Islam. Di antara prinsip politik Islam ini ialah kedaulatan syariah (Surat Yusuf, ayat 40; Tafakkur v/Jumadil
Surat An-Nisa, ayat 65; dan Surat Al-Maidah ayat 44,45,46), prinsip syuro (Surat Ali Imran Ayat 159; dan Surat Asy-Syura ayat 42), prinsip keadilan (surat An-Nisa ayat 58; Surat Al-Maidah ayat 8; dan Surat Al-Hadid, ayat 25), prinsip kebebasan bersuara dan berpendapat (surat An-Naml. Ayat 64; surat An-Nahl, ayat 125), prinsip persamaan (Surat Al-Hujurat, ayat 13), dan prinsip pertanggungjawaban pemimpin (Surat AlMaidah, ayat 104) (13). Prinsip-prinsip di atas telah menjadikan sistem politik Islam sebagai suatu keutuhan. Hukum, mekanisme pengambilan keputusan, dan pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab kepada Allah Swt. Dengan kata lain politik ialah ibadah manusia kepada Allah Swt. Ia dapat bernilai pahala jika dijalankan dengan benar dan menjadi dosa ketika diselewengkan. Manusia ialah makhluk sebaik-baiknya makhluk. Pengaturan dan pengurusan atas manusia haruslah dilakukan dengan penuh kesungguhan dan kekhusyukan. Kedaulatan syariah semacam ini menjadikan sebuah “koridor transenden” dalam berpolitik. Apa pun bentuknya, syariah harus tegak. Hal ini akan menutup pintu bagi despotisme dan kedzaliman. Sementara prinsip persamaan berdasarkan takwa (Al Hujurat:13) menjamin tidak terjadinya diskrimina-
Oleh karena itu, pemimpin yang menghalau prostitusi, melarang peredaran minuman beralkohol, dan memberantas perjudian merupakan amir yang melindungi martabat kemanusiaan. Demikian pula soal jaminan kesejahteraan dan pengendalian sumber daya alam. Politik Islam pada akhirnya merupakan sakralisasi. Bahwa manusia merupakan makhluk yang mulia dan harus diperlakukan dan diatur secara mulia pula. Oleh karena itu, politik dalam Islam bukan sesuatu yang terpisah dari agama karena Islam bukan hanya spiritulitas melainkan juga penegakkan keadilan, pemuliaan manusia, dan perubahan sosial. Sebaliknya, politik sekular hanya akan menggiring manusia ke arah kekeringan rohaniah. Manusia pada akhirnya di pandang sebagai makhluk yang terlempar ke alam dunia dan tak berhubungan dengan Tuhan sama sekali. Politik semacam ini hanya memandang manusia sebagai makhluk kebendaan yang kebetulan berakal dan harus mengurus diri dengan mengandalkan akalnya itu. Kondisi-kondisi kekinian meniscayakan sebuah ancaman dari sekularisasi. Tantangan itu harus dihadapi oleh Muslim, terutama para politisinya, dengan sakralisasi. Sebaiknya para politisi Islam tidak disibukkan dengan kekuasaan. Tampuk tertinggi poitik memang penting tetapi bukan yang terpenting. Perjuangan paling penting dalam politik kita dewasa ini ialah mengeluarkannya dari penidakeramatan dan mengembalikannya ke dalam naungan “rahim” Tuhan. Tantangan bagi ilmuwan Islam ialah membangun teori politik Islam yang lebih riil, dengan prinsip-prinsip yang telah diwahyukan, dan berpijak pada kenyataan hari ini. Walohu’alam bi showab
Tafakkur v/Jumadil Tsani1430
Catatan Akhir (1)Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism (terj oleh Karsidjo Dojosuwarno Islam dan Sekularisme), Penerbit Pustaka, Bandung, 1981. Hlm 20-21 (2)Pembahasan mengenai sekularisasi dapat dirujuk dalam: Adnin Armas, Sebuah Catatan untuk Sekularisasi Harvey Cox, Majalah Islamia Vol. III No 2 Tahun II. Halaman 27. (3)Tidak semua pemikir sekular memandang sekularisasi sebagai proses menuju sekularisme. Harvey Cox memaknai sekularisme ialah suatau liberating development. Cox menolak sekularisme karena dianggap merupakan sebuah pandangan hidup yang tertutup. Pandangan Cox ini lah yang kemudian secara tidak kritis diikuti oleh Nurcholis Madjid. [Mengenai pengaruh Harvey Cos terhadap ide sekularisasi Nurcholis Madjid lihat Adnin Armas, Menelusuri Jejak Gagasan Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi, Makalah dalam Seminar “Tantangan Dakwah dalam Tataran Pemikiran (Analisa Kritik Terhadap 37 Tahun Gagasan Pemikiran Islam di Indonesia), STID M Natsir 3 Februari 2007.] (4)Mengenai pendapat Abu Zayd ini silahkan lihat: Henry Sholahuddin, Al-Qur’an Dihujat, Gema Insani Press, Jakarta, 2007. (5)Nurcholis Madjid, Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat dalam Pembaharuan Pemikiran Islam. Utomo
Danandjaja (editor), Group Diskusi Menteng Raya 58, Jakarta, 1970. hlm 5. (6)Endang Saefuddin Anshari, Tjatatan atas Refereat Sdr. Nurcholis Madjid KEHARUSAN PEMBAHARUAN ISLAM DAN MASALAH INTEGRASI UMMAT dalam Pembaharuan Pemikiran Islam. Utomo Danandjaja (editor), Group Diskusi Menteng Raya 58, Jakarta, 1970. hlm 57. (7)http://www.lsi.or.id/ "trend-dukungan-nilaiislamis-vs-nilai-sekular-di-indonesia_files/ urchin.js" (8)Hamid Baasyif, Perihal Sekularisme Politik, http://islamlib.com/id/artikel/perihal-sekularismepolitik/" title="/small (9)DR Khalif Muammar, Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi, Majalah IslamiaThn I No 6 Juli-September 2005. Hlm 94. (10)Dikutip oleh Deliar Noer dalam, Partai Islam di Pentas Nasional 1946-1965, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1987. Hlm 127 (11)Seperti dikutip oleh M. Arfan Muammar dalam bukunya, Majukah Islam dengan Menjadi Sekular? (Kasus Turki), Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Ponorogo 2007. Hlm 54. (12)DR Khalif Muammar, Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi, Majalah IslamiaThn I No 6 Juli-September 2005. Hlm 100.
(13)Ibid.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Barang siapa yang keluar dari ketaatan kepada imam dan meninggalkan jama'ah kemudian dia mati, maka matinya seperti orang jahiliyah. Barang siapa yang berperang di bawah bendera, atau marah karena ashabiyah (fanatisme golongan), atau berdakwah untuk ashabiyah, kemudian dia mati, maka matinya seperti mati orang jahiliyah. Barang siapa dari umatku yang keluar (dari jama'ah) kemudian memerangi orang yang baik-baik dan yang fajir dan tidak memperhatikan urusan orang-orang mukmin serta tidak menepati janjinya maka dia bukan termasuk dalam golonganku dan aku tidak termasuk dalam golongannya. (HR Muslim, Ahmad, Nasa'i)
14
Tafakkur v/Jumadil
Catatan
Merenungkan Pandangan Buya M Natisr tentang Politik Oleh Reza Baizuri
Kostituante merupakan sebuah dewan perumus konstitusi hasil dari pemilu 1955 yang bertugas untuk merancang dan mengesahkan UUD bagi Republik Indonesia. Konstituante mengadakan sidang di Bandung. Dalam rangkaian sidang inilah M Natsir menyampaikan dua kali pidato yang monumental. Dua pidato inilah yang dianggap oleh berbagai kalangan sebagai representasi pemikiran politik Natsir, agamawan sekaligus negarawan. Pada sidang itu Buya Natsir dan kawan-kawan mencoba merumuskan dasar negara Indonesia. Beliau bertentangan dengan pihak yang berbeda pandangan. Baik itu dari kalangan nasionalis sekular maupun mereka yang komunis.Saat itu memang terdapat dua arus besar pendapat dalam merumuskan dasar negara, Islam atau Pancasila. Menurut Natsir hanya ada dua paham dalam merumuskan dasar negara,yakni berdasarkan sekular tanpa agama atau berdasar pada agama.Sedang Pancasila tidaklah dapat dijadikan dasar, ia hanya merupakan ide dan perkataan kosong, dalam ruang hampa, tanpa bisa diejawantah ke dalam dunia nyata. Jika hendak diwu-judkan ke dalam realitas, Pancasila harus mengikat dirinya dengan paham dan norma yang ada. Misalnya, keadilan sosial, ia harus mengikatkan dirinya dengan paham-paham yang ada sehingga dapat menjabarkan apa itu keadilan? Apa itu sosial? Dan apa itu keadilan sosial? Dasar negara haruslah mampu membangunkan jiwa dan membina rakyat lahir dan Tafakkur v/Jumadil Tsani 1430
batin. Dan Pancasila tidaklah berada dalam dada rakyat Indonesia yang telah berjuang demi kemerdekaan. Natsir menjabarkan tentang pengertian Sekularisme dan konsekuensi-konsekuensi yang akan ditimbulkannya. Sekularisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham, tujuan, dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Manusia sebagai penentu aktivitas dunia. Masyarakat sekular akan terus mengalami perubahan-perubahan nilai dan pegangan hidup, dan perubahan itu hanya akan membawa kepada degradasi moral karena ia tidak mempunyai dasar yang tetap dalam menilai baik dan buruk. Natsir berhujjah, “Segala yang bergerak dan berubah harus mempunyai dasar yang ketat, harus mempunyai apa yang dinamakan dengan point of référence. Tempat memulangkan segala sesuatu. Jika tidak ada dasar yang tetap maka niscaya krisis atau bencana akan timbul.” Natsir menerima demokrasi namun dalam pengertiannya yang terbatas. Natsir hanya menggunakan demokrasi sebagai jalan untuk dapat memasukkan Islam sebagai dasar negara untuk kemudian membatasi demokrasi dengan nilai dan ajaran Islam. Maka bolehlah disebut Natsir hanya menggunakan demokrasi prosedural, dengan menyebut sistem demokrasinya dengan demokrasi Islam atau theistic democracy. Bagi natsir, nilai positif yang diusung oleh Pancasila telah lama dihasilkan oleh Islam dalam nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Oleh: Syifaunsyah
Demokrasi merupakan istilah yang sering kita dengar dalam berbagai wacana, khususnya dalam politik. Konsep ini sesungguhnya bukanlah sebuah jalan yang mulus dalam sistem tata pemerintahan. Berbicara soal demokrasi, tentu tidak dapat dilepaskan dengan nilai-nilai Barat-Sekuler yang mengiringinya. Memang, demokrasi adalah teori tentang sistem kenegaraan yang banyak digunakan di hampir seluruh negara di dunia. Hal itu karena dianggap sebuah bentuk yang paling ideal di muka bumi saat ini. Demokrasi dapat menghindari bentuk-bentuk pemerintahan yang otoriter dan tiran, sehingga dapat menyelamatkan masyarakat dari penindasan. Demokrasi bertitik puncak pada peran aktif masyarakat untuk berpartisipasi dalam memutuskan arah roda pemerintahan di sebuah wilayah yang menganut pola tersebut. Namun, demokrasi dengan makna aslinya (menurut Barat) mengandung permasalahan yang berpeluang membuat seorang muslim tersesat. Dalam demokrasi Barat terkandung nilai-nilai penting seperti HAM, kebebasan, keadilan serta kesetaraan, semuanya bersifat materialistis, yang cenderung mengingkari kehadiran dan peran Sang Penguasa Yang Sejati serta ruh sebagai bagian yang utama pada manusia. Kebebasan menurut Barat ialah kebebasan manusia an sich, tanpa dikaitkan
16
dengan yang lain. Hal tersebut lahir akibat trauma peradaban ini terhadap kereligiusan yang membawa petaka, serta tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Tuhan pun ditolak dan manusia hanya dipahami dalam relasi dengan lingkungannya saja yang bersifat materil. Keadilan men-jadi relatif, karena berangkat dari logika manusia yang terkait dengan fakta-fakta. Proses pemahaman atas fakta ini terjadi dalam benak. Pencerapan dan pengolahan fakta ini tergantung pada kelengkapan panca indera dan pemahaman manusia. Dua hal tersebut cenderung berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Walau tidak tertutup kemungkinan terjadi pemahaman yang sama dari beberapa individu atas sebuah fakta yang sama. Keadilan yang didapat menurut masing-masing menjadi seakan-akan mutlak akibat disepakati oleh keseluruhan indvidu dalam wilayah tersebut. Namun, kemutlakannya hanya bersifat sementara sebelum diciptakan lagi kesepakatan yang baru. Maka tidak ada jaminan keadil-an yang dibentuk bersifat sejatinya mutlak. Konsep Barat ini dikritik oleh Mohammad Iqbal, seorang pujangga sekaligus ulama serta filsuf Muslim abad ini. Beliau merupakan salah satu dari sederet ulamaulama gemilang dalam sejarah Islam seperti Tafakkur v/Jumadil
Ibn Sinna, Ibn Taymiyah, Al Ghazali, hingga deret yang baru-baru ini seperti Ja-maluddin Al Afghani, Taqiyuddin Al Nabany, Sayyid Quthb, Sayyid Hawa, Muhammad Natsir, Buya Hamka hingga Yusuf Qardhawi yang berpikir tentang bentuk tatanan sosial yang baik bagi umat. Salah satu buah pikir Iqbal ialah konsep politik Teo-demokrasi. Demokrasi ala Iqbal yang sangat berbeda dengan apa yang dipahami oleh Barat. Konsep ini terkait dengan agama yang dianutnya, Islam. Berbeda dengan Peradaban Barat, kita memiliki Qur’an Suci sebagai panduan yang jelas akan nilai-nilai dan tujuan hidup kita sebagai manusia serta hubungan kita antar sesama, dengan alam sekitar dan terpenting dengan Sang Pencipta Yang Maha Menguasai. Panduan tersebut Tuhan yang menciptakan serta langsung diturunkan dari TanganNya kepada manusia kekasihNya, hadir di tengah-tengah kita hingga saat ini. Iqbal, Warisan Kehidupan Sebelumnya, perlu dijelaskan terlebih dahulu konsep filsafat Iqbal tentang politik. Teo-demokrasi Iqbal bertitik puncak pada penghambaan serta pemujaan manusia sebagai makhluk kepada Sang Khalik. Hal ini diimplementasikan dalam ide kerja manusia tersebut sebagai wakil Allah di muka bumi, yang menjalankan tata aturan semesta sesuai dengan kehendakNya. Di sini, jelas terlihat antara wilayah politik dengan agama tidak dapat dipisahkan. Natsir (1979) dengan gamblang menjelaskan pemikiran Iqbal ini. Bagi Iqbal, sistem politik adalah sebuah sistem yang bertujuan mengantarkan manusia menuju Sang Khalik. Jalan tersebut dapat dilalui dengan Kitab Jalan Kebenaran yang ada di hadapan kita. Kitab yang Kariem ini adalah sebuah kekuatan hidup dalam kehidupan umat Muslim. Tafakkur v/Jumadil Tsani1430
Dengannya, seorang Muslim hidup berjuang untuk memenuhi takdirnya, dimotivasi oleh kebenaran yang terdapat dalam Kitab Suci nan Agung tersebut (Hassan:1967:180-181). H.H.Bilgrami (1979:81-84) menjelaskan beberapa prinsip dasar dari teori Iqbal tentang teo-demokrasi. Konsep ini berdasarkan prinsip-prinsip Islam sebagai nilai. Pertama adalah supreme of power. Kekuasaan tertinggi dalam konsep ini berada pada tangan Sang Khalik Yang Malik. Hanya petunjukNya yang diikuti dan hanya Ia yang dipatuhi. Kepala negara dalam tata pemerintahan hanyalah mandataris dalam menjalankan peme-rintahan yang sesuai dengan kehendakNya. Ditambahkannya, pemujaan kosong kepada Allah tidaklah cukup. Namun, yang penting ialah mempercayai dengan teguh bahwa Allah Swt merupakan Sang Pencipta, Pemberi Syari’at, dan Maha Kuasa. Dalam kepatuhan dan ketundukan kepadaNya lah terletak keselamatan individu dan umat manusia. Posisi Tuhan yang sentral tidak menyebabkan konsep ini menjadi teokrasi, sebab peran manusia yang ada di dalamnya sangat penting. Peran masyarakat tersebut harus berlandaskan pada semangat kecintaan, ketundukan dan penyembahan kepada Sang Penguasa.
Kedua ialah ketundukan kepada hukum sebagaimana yang telah diberikan oleh para nabi kepada bangsa-bangsa, kemudian disempurnakan oleh Rasulullah Saw. Kesempurnaan yang berupa FirmanNya tersebut adalah hadiah yang terbaik dari Yang Maha Mencintai kepada manusia. Berbagai prinsip dan hukum ada di dalamnya. Inilah yang dijadikan acuan dalam bernegara oleh Iqbal. Berkali-kali dalam sajak-sajaknya sang pujangga memanggil kembali hati setiap Muslim untuk ingat kepada tradisi, yaitu Kitab Petunjuk Kebenaran dan buah pikir serta contoh hi-dup dari manusia yang paling dicintai oleh setiap Muslim, Baginda Junjungan Rasulullah Saw. Dengannya, dapat dipas-tikan kita akan berjalan menuju Sang Pencipta dan Dia pun akan berlari menghampiri kita. Ketiga ialah toleransi. Landasan asumsinya, manusia pada dasarnya bersifat ruhani maka sudah sewajarnya jika manusia akan saling memahami. Dalam demokrasi Iqbal, semua umat non-Muslim memiliki hak yang sama dalam hal kesejahteraan dengan Muslim. Hanya soal pemimpin harus berasal 18
dari Muslim. Sebagai gantinya, pemerintahan Muslim harus memperhatikan umat nonMuslim dalam kehidupan bernegara tersebut. Kitab Petunjuk menyerukan pada kita akan toleransi pada umat selain Muslim, namun dalam batas-batas kebenaran. Toleransi ini tidaklah sampai pada Pluralisme yang mendasarkan pada Relativisme. Terkait dengan prinsip pertama dan kedua, toleransi tersebut lahir pada landasan religiositas dan ketertundukan secara sadar dan ikhlas kepada hukum-hukum tata alam semesta yang tercantum pada KitabNya. Kita toleran pada orang-orang yang salah jalan sepanjang tidak mengganggu kita, dan kita mengakui dan meyakini bahwa kitalah yang benar. Keempat konsep Iqbal tentang demokrasi dan negara ini, tidaklah sempit. Baginya, prinsip suatu bangsa tidak lebih dari prinsip sebuah keluarga. Individu-individu di dalamnya harus hidup rukun dengan hukumhukum kemanusiaan yang umum (Al Qur’an). Konsepnya dapat dikatakan mengarah kepada Internasionalisme. Nasionalisme, sebagai berhala baru bangsa-bangsa di dunia, sangat ditolak olehnya. Sebab seperti yang telah dikemukakan sebelumnya,fungsi negara adalah sebagai alat perpanjangan Tangan Sang Khalik untuk membimbing dan mengantarkan individu-individu di dalamnya menuju kebaikan. Tentu saja hal ini menjadi sangat berbeda dengan konsep politik tentang negara dalam peradaban Barat. Nasionalisme menjadi salah satu agama modern, hal itu merupakan acuan bernegara, maka “right or wrong, it’s my country” menjadi relevan sebagai penyebab lahirnya pertumpahan darah. Kelima ialah penafsiran hokum-hukum Sang Penguasa, dalam Kitab Suci nan Agung. Penafsiran ini penting untuk menciptakan produk hukum dalam sistem kenegaTafakkur v/Jumadil
raan, yang dijelaskan dalam kumpulan pidatonya yang telah dibukukan, “The Reconstruction of Religious Thought in Islam”, pada bab “The Principle of Movement in the Structure of Islam”. Posisi ijtihad di sini sangat penting. Dinamisnya dunia tentu akan membawa dinamika persoalan. Maka dibutuhkan produkproduk hukum yang dapat menjawab tantangan zaman. Namun yang perlu diingat, produk-produk baru tersebut bukannya relatif, semuanya harus berlandaskan hukum yang pasti (syariat) sebagai acuan. Jika tidak, maka kita akan kehilangan landasan berpijak. Kemudian yang juga penting, orang-orang yang berijtihad bukanlah sembarang. Ia harus memenuhi klasifikasi dan persyaratan tertentu misalnya pengetahuan akan agama, ushul fiqh, tafsir. Oase Pelepas Dahaga Membaca buah pikirnya, mau tidak mau kita teringat akan negeri tempat kita berpijak. Kondisi umat yang centang perenang, laju politik yang tidak sehat, bahkan sangat minim akhlak. Kodisi Indonesia yang ‘quo vadis’ ini tentu tidak begitu saja dibiarkan. Kita sebagai umat Muslim, yang kebetulan berposisi sebagai kaum intelektual, dituntut untuk memperbaikinya. Konsep Iqbal ini, ialah sebuah oase yang dapat mengobati kekeringan moral, konsep serta arah politik Indonesia yang sangat kritis. Meminumnya akan menghilangkan dahaga baik secara materil maupun spiritual. Namun, sangat disayangkan jika konsep nan apik ini hanya menjadi diskursus di menara-menara intelektual, sebatas eksaminasi cendikiawan sebagai pertunjukan eksistensinya. Pembicaraan ilmiah tanpa implementasi akan hanya menjadikannya sebagai wacaTafakkur v/Jumadil Tsani1430
na citra dalam mimpi setiap Muslim. Kita pa-da akhirnya hanya dapat menikmatinya kala terlelap pada malam. Sudah saatnya karya agung ulama-ulama terdahulu dengan ber-peluh keringat berderai air mata keluar men-jadi realitas yang dapat dinikmati secara sa-dar oleh setiap insan yang berdiri tegak menengadah menatap langit, merindukan Sang Kekasih Hati. Agar kita tidak lagi mendapatkannya di alam mimpi, namun pada setiap detak masa dan jejak langkah. Bibliografi Bilgrami, H. H, Djohan Efendi (pen), (1979), Iqbal: Sekilas Tentang Hidup dan Pikiran-Pikirannya. Bulan Bintang, Jakarta Hassan, Parveen Ferozen (1967), The Political Philosophy of Iqbal. University of Panjab. Iqbal, Muhammad, (tanpa tahun), The Reconstruction of Religious Thought in Islam. (ebook/pdf) diunduh dari www.gigapedia.org Natsir, Mohammad (1979), Pemikiran Dr. Muhammad Iqbal tentang Politik dan Agama. Mutiara, Jakarta
Sekularisasi politik merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan Ummat Islam hari ini. Politik pada akhirya menjadi sebuah perkara materi yang tak berhubungan dengan akhirat. Berkait dengan hal itu, Komunitas NuuN mewawancarai Dr Khalif Muammar. Perbincangan menjadi menarik karena Ustaz Khalif, begitu beliau biasa disapa, menguasai berbagai teori politik Barat sekaligus fasih berbicara mengenai politik Islam. Berikut kutipan wawancara tersebut:
Bagaimana konsep politik dalam pandangan sekular? Salah satu definisi yang dikemukakan oleh sarjana Barat, sekularisme adalah paham yang memisahkan agama daripada politik. Definisi ini juga terkait dengan definisi filosofis yang diungkapkan oleh al-Attas, merujuk kepada Harvey Cox, bahwa sekularisasi adalah: “the deliverance of man first from religious and then from metaphysical control over his reason and his language”. Jadi menurut pandangan sekular agama tidak boleh mengatur kehidupan manusia. Maka politik ialah bidang kehidupan yang tidak terkait secara langsung dengan agama. Kemudian agama sendiri dalam pengertian Barat telah disempitkan kepada hal-hal yang bersifat ritual dan spirit-ual. Karena agama telah dibataskan seperti itu ia tidak lagi relevan dalam kehidupan berma-syarakat, urusan publik, ia hanya relevan dalam kehidupan peribadi. Jadi masyarakat Barat sendiri tidak merasa kurang patuh da-lam beragama, hanya agama itu sendiri yang sememangnya terbatas pada pandangan me-reka. Bahkan mereka merasa cukup religious apabila pergi ke gereja
20
seminggu sekali, mem-baca Bible sesekali, dan menjadikannya kitab sandaran ketika pemimpin negara bersumpah. Apabila politik dipisahkan daripada aga-ma, maka politik akan kehilangan dimensi kerohanian dan moralnya. Maka dalam ber-politik, seorang yang berpandangan sekular, akan melakukan apa saja yang dianggap perlu untuk meraih kekuasaan walaupun ter-paksa berbohong, menjatuhkan orang lain, membantu orang yang zalim dan lain sebagai-nya seperti yang tercermin dalam The Prince karya Machiavelli. Ini yang dinamakan desacralization of politics sebagai bagian dari proyek sekularisasi. Mengapa politik Barat menjadi sekular? Politik di Barat menjadi sekular karena ketika agama dan gereja berkuasa masyarakat Barat berada dalam kegelapan. Agama tidak memberi kebebasan untuk manusia berfikir dengan kritis. Bahkan ada kecenderungan untuk mempertentangkan sains dengan agama. Selama ratusan tahun kemajuan sains disekat dan para saintis dieksekusi. Pengalaman pahit yang panjang ini menyebabkan Tafakkur v/Jumadil Tsani
masyarakat Barat secara kolektif memutuskan untuk menyempitkan peranan aga-ma dalam kehidupan. Kesimpulan umum mereka adalah ketika agama dibawa ke pentas politik ia hanya akan membawa kemunduran dan konflik yang berkepanjangan. Kesimpulan ini adalah kesimpulan yang pincang, karena ia merujuk kepada pengalaman satu bangsa yang tidak semestinya juga dialami oleh bangsa yang lain. Ia juga tidak mengambil kira kebenaran dan ketidakbenaran agama yang dimaksudkan. Pada hari ini sekularisme dan paham lainnya dipromosikan ke seluruh pelosok dunia sebagai satu solusi dan kebenaran mutlak. Dan malangnya umat Islam yang keliru terpengaruh dan tanpa disadari ikut mendukung dan melaksanakan paham Barat ini dalam segala bidang Baik itu politik, pendidikan, perundangan, ekonomi, dll. Apakah Ummat Islam membutuhkan sekularisasi? Penindasan terhadap sains dan saintis tidak pernah berlaku dalam Islam. Malah ketika perdaban Islam maju ilmu pengetahuan berkembang pesat dan para saintis serta ilmuwan diberikan penghargaan yang tinggi baik oleh penguasa mahupun oleh masyarakat. Dari fakta sejarah ini kita dapat menyimpulkan bahwa agama dan sains, akal dan wahyu, tradisi dan modernitas tidak pernah dilihat sebagai dua entitas yang bertentangan. Keduanya dapat hadir secara harmoni dan bergandengan. Jika sekularisasi menjadi solusi kepada masyarakat Barat untuk maju, ia tidak pernah relevan apalagi menjadi pilihan dalam sejarah umat Islam. Bahkan sekularisasi di dunia tidak akan membawa kemajuan. Sesungguhnya ia malah akan mendatangkan lebih banyak kekeliruan serta masalah kepada bangsa dan negara. Kepincangan peradaban Barat Tafakkur v/Jumadil Tsani 1430
hari ini sepatutnya sudah cukup membuka mata umat Islam agar tidak mengikuti paham-paham yang datang dari Barat. Sebaliknya setiap individu perlu berusaha membangunkan bangsa dan negara masing-masing mengikut acuan sendiri yang berlandaskan kepada kebijaksanaan baik yang bersumberkan wahyu maupun dari ilmuwan agung terdahulu serta pengalaman dan se-jarah yang patut dicontoh. Apakah sekularisasi secara esensial, di negeri-negeri Barat atau di negeri muslim seperti Turki, dapat dikatakan berhasil? Sekularisasi di Turki menemui kegagalan. Ketika sesuatu ideologi dipaksakan kepada masyarakat ia tidak akan bertahan lama. Masyarakat hari ini semakin cerdas, mereka akan mempersoalkan segala kebijakan pemerintah. Pemerintah yang bisa menjelaskan dan berdialog secara ilmiah akan le-bih diterima dibandingkan pemerintah yang memaksakan satu-satu pandangan dan pe-mikiran. Di Turki, gerakan Islam semakin mendapat tempat di hati masyarakat karena apa yang diperjuangkan lebih dekat dengan jati diri dan identitas mereka. Walaupun Islam telah ditindas tetapi ia tidak akan dapat dihapuskan. Sekularisasi di Barat juga sedang menemui jalan buntu. Pemikir-pemikir Barat pada awalnya memperkirakan sema-kin modern semakin ramai
meninggalkan agama. Ternyata yang terjadi sebaliknya. Semakin masyarakat berfikir dengan cerdas semakin mereka ingin mencari kebenaran. Dan kebenaran tidak diberikan oleh filsafat Barat. Sebaliknya ia ada pada agama. Perubahan tidak berlaku dari atas tetapi dari bawah. Kesadaran perlu ada. Barulah per-ubahan dapat dilaksanakan atas keinginan sendiri dan bukan karena paksaan. Apakah politik Islam, secara khusus sistem pemerintahannya, merupakan sebuah teokrasi? Adalah satu kekeliruan apabila Islam dikaitkan dengan teokrasi. Ramai orientalis menghubungkan pemerintahan Islam pada zaman lampau sebagai sebuah sistem teokrasi. Begitu juga dari kalangan Islam, karena pemikiran yang konservatif, berpandangan bahwa hanya golongan ulama saja layak menjadi pemimpin. Golongan agama ini lantas diagungkan seolah-oleh mereka ma’sum. Konsep seperti ini tidak ada dalam tradisi Islam yang benar. Konsep ulama’ dalam tradisi Islam tidak terbatas kepada golongan yang menguasai bidang-bidang keagamaan. Karena itu dalam Islam tidak ada istilah clergy (golongan agama). Sistem politik Islam adalah sistem Shura. Dalam sistem Shura ilmuwan terpilih dan para pemimpin dari berbagai lapisan membincangkan persoalan-persoalan yang menyangkut kepentingan umum. Keputusan Shura sifatnya mengikat (binding). Imam tidak berhak memveto keputusan Shura. Ini berarti ahl al-shura (badan legislatif) lebih tinggi kedudukannya daripada Imam. Dan semua badan-badan pemerintah baik ekse22
kutif, legislatif maupun kehakiman mesti tunduk kepada Shari’ah (supremacy of the Shari’ah). Secara mudahnya begi-tulah sistem politik Islam. Dan sistem ini sangat jauh berbeda dengan sistem teokrasi. Bagaimana sesungguhnya kedudukan politik dalam Islam? Politik amat penting dalam Islam. Imam alGhazali mengatakan agama dan politik itu seperti kembar, yang tidak akan sempurna tanpa adanya yang lain. Begitu juga Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa pemerintahan merupakan satu kewajiban agama yang paling besar. Ketika para ulama besar ini menekankan kepentingan politik, mereka tidak berarti politik adalah segala-galanya. Sehingga umat Islam harus menfokuskan segala usahanya untuk merebut kekuasaan politik. Islam juga mementingkan ilmu dan pendidikan. Ini hakikat yang sering dilupakan oleh umat Islam, khususnya gerakangerakan Islam. Justru tumpuan perlu diberikan kepada pembenahan dan perbaikan (islah) karena kekacauan dan kerusakan yang ada pada hari ini adalah akibat dari kelalaian semua pihak: para pendidik, ibu bapa, pemerintah, ulama, dsb. jika perubahan pada individu dan masyarakat berjaya dilakukan maka perubahan dalam bidang politik akan mengikuti. Jadi menurut saya perubahan tidak berlaku dari atas tetapi dari bawah. Kesadaran perlu ada. Barulah perubahan dapat dilaksanakan atas keinginan sendiri dan bukan karena paksaan. Kita juga menyaksikan banyak usaha untuk merubah dari atas akhirnya menemui kegagalan. Karena itu Rasulullah tidak mau menerima tawaran untuk menjadi raja kaum Quraysh. Apa tantangan bagi Muslim dalam perpolitikan kontemporer? Kita perlu membedakan antara penolakan Tafakkur v/Jumadil
terhadap ideologi yang mendasari demokrasi dengan penolakan terhadap demokrasi sebagai satu sistem pemerintahan. Pada hari ini masyarakat dunia hanya dihadapi dengan dua pilihan: Satu sistem yang menjanjikan keterbukaan, kebebasan memlih bagi rakyat iaitu demokrasi dan satu lagi sistem yang despotik dan otoriter. Kita sebenarnya bisa memilih sistem yang ketiga yaitu sistem politik Islam yang berlainan dengan sistem demokrasi Barat dan juga sistem teokrasi maupun authoritarian. Umat Islam seharusnya memilih sistem shura. Tetapi ia belum mampu dilaksanakan karena masih banyak kekeliruan di kalangan umat Islam. Bahkan di kalangan sarjana Muslim sendiri masih banyak kekeliruan. Di sinilah peranan para sarjana Muslim yang memiliki kerangka dan worldview Islam yang betul dalam meluruskan kekeliruan dan kekusutan yang ada. Sebelum membangunkan sistem politik Islam agar siap untuk diaplikasikan. Selama kekeliruan ini berleluasa, sistem politik Islam hanya akan disalahfahami dan didistorsi sehingga umat Islam sendiri takut dengan politik Islam. Apa pesan Ustadz untuk para aktivis dakwah dalam menghadapi situasi politik kontemporer, yang kadang bagai buah simalakama? Melihat kondisi umat Islam hari ini penolakan total terhadap sistem demokrasi, khususnya dalam tataran praksis, tidak praktikal. Karena umat Islam tidak hidup dalam suasana vakum tetapi perlu bertarung dengan ideologi dan sistem yang sudah mapan dalam masyarakat. Hanya setelah kesadaran akan perlunya sistem Islam dilaksanakan dalam setiap aspek kehidupan tersebar di kalangan masyarakat Islam maka sistem politik Islam dapat dilaksanakan. Dengan arti kata lain sistem Tafakkur v/Jumadil Tsani1430
Islam perlu dilaksanakan dengan keinginan rakyat sendiri dan bukan dari atas ke bawah atau melalui perebutan kuasa. Dalam tataran praksis atau kehidupan harian umat Islam hari ini tidak mempunyai banyak pilihan. Aspirasi politik perlu diperjuangkan dan keadaan umat Islam akan lebih baik jika pemimpin yang terpilih, walaupun secara demokrasi liberal, dari kalangan aktivis Muslim. Jadi ketika demokrasi dilaksanakan di negara-negara Muslim, walaupun kadang-kadang tidak tulus dan tidak sepenuh hati, ia mesti dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam. Oleh karena itu ramai sarjana Muslim kontemporer mengatakan bahwa gerakan Islam mesti memanfaatkan sistem demokrasi untuk menghapuskan sistem otoriter dan kuku besi yang menguasai banyak negara-negara Muslim. Keperluan akan hal ini semakin jelas dalam konteks negara-negara Arab yang dikuasai oleh rejim-rejim otoriter. Berhubung perkembangan terkini politik tanah air, bagi saya yang mesti dilakukan oleh umat Islam dalam hal ini adalah bersikap kritis dan cerdas dalam menanggapi persoalan politik. Kita harus bisa berfikir di luar lingkungan partai politik tertentu, bahkan kelompok tertentu. Untuk menanggapi setiap persoalan berdasarkan kepada ilmu yang benar, bukan fanatisme golongan dan taassub kepa-da tokoh atau aliran tertentu. Saya juga berpendapat, para aktivis partai juga harus lebih mengutamakan kepentingan bersama, kepentingan umat berbanding kepentingan partai dan kekuasaan. Mereka tidak harus berpendirian pragmatis, karena pragmatisme juga kesan dari sekularisme dan sofisme moden (postmodernisme). __________________ Khalif Muammar merupakan seorang Peneliti di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) UKM, Malaysia.
Kalam Illahi Tafsir Al Azhar Hamka :Surat AN NAS (manusia) (bagian 2)
Maka tidaklah ada artinya mengakui Allah sebagai Rabbun, atau Pemelihara, kalau kita tidak mengakui yang selanjutnya, yaitu bahwa Allah itu sebagai. Malikun adalah sebagai Penguasa atas kita manusia, Raja atas kita manusia, yang memiliki atas diri seluruh manusia, termasuk aku dan engkau! Oleh sebab itu, Dia Pemelihara dan hanya Dia Penguasa, maka hanya Dia pulalah yang Illah, hanya Dia sajalah yang Tuhan, yang wajar buat disembah dan dipuja. Kepada-Nyalah kembali segala persembahan dan segala pemujaan. Kita perlindungkan diri kepada Allah, Pemelihara, Penguasa, dan Tuhan dari Sarwa sekalian alam, dan khusus dari seluruh manusia dari segala mara bahaya. Pada Surat yang telah lalu, Surat 113, al-Falaq kita memperlindungkan diri kepada Allah sebagai Pemelihara dari pergantian malam kepada siang, dari kejahatan segala apa pun yang Dia jadikan. Kita melindungkan diri kepada-Nya, dalam keadaannya sebagai Pemelihara dari kegelapan malam, dan kita pun melindungkan diri dari mantra dan tuju tukang sihir, atau pun dari bujuk rayu perempuan (sebagai ditafsirkan oleh Abu Muslim) dan dari hasad dengkinya orang yang dengki. Namun pada Surat penutup ini, Surat 114 kita berlindung kepada Allah dari satu macam bahaya yang timbul dari sesama manusia. Apakah bahaya itu? Yaitu; “Dari kejahatan bisik-bisikan dari si pengintai-pengintai.” (ayat 4). Ialah orang yang selalu mengintai kalau ada peluang. Yang selalu menunggu moga-moga kita terlengah. Maka saat kita terlengah itulah 24
peluang yang baik baginya untuk membisikbisikkan sesuatu! “Yang membisik-bisikkan di dalam dada manusia. “ (ayat 5). Dia berbisik-bisik, bukan berterang-terangan. Dia masuk ke dalam dada manusia secara halus sekali. Dia menumpang dalam aliran darah, dan darah berpusat ke jantung, dan jantung terletak dalam dada. Maka dengan tidak disadari yang dimasukkan melalui jantung yang dibalik benteng dada itu, dengan tidak disadari terpengaruhlah oleh bisik itu. Sedianya kita akan maju; namun karena mendengar bisikan dalam dada itu, kita pun mundur. Tadinya hati kita telah bulat hendak berjihad fi Sabilillah; namun karena bisikan yang menembus hati itu, kita tidak jadi berjihad. Kita menjadi ragu akan maju ke muka. Bisikan dalam hati yang menghasilkan ragu-ragu itu sangatlah menurunkan mutu kita sebagai manusia. Dan perasaan yang dibisikkan oleh sesuatu di dalam dada itu telah diberi nama dalam ayat-ayat ini, yaitu waswas! Dan dia pun telah menjadi bahasa Indonesia kita; waswas. Siapa yang memasukkan waswas ini ke dalam dada kita? Ditegaskan oleh ayat terakhir. Dia terdiri; “Daripada jin dan manusia.” (ayat 6). Si pengintai-peluang (ayat 4) disebut si KHANNAS! Ada yang halus atau secara halus; itulah yang dari jin. Ada yang kasar secara kasar; itulah yang dari manusia. Keduanya membujuk, merayu, setelah memperhatikan bahwa kita lengah. Karena kelengahan kita, timbullah penyakit waswas dalam dada, hilang keberanian menegakkan yang benar dan menangkis yang salah, sehingga rugilah hidup Tafakkur v/Jumadil
di tengah-tengah pergaulan manusia yang menempuh jalan berliku-liku ini. Di ayat penghabisan ini telah dijelaskan bahwasanya si pengintai-peluang itu terdiri dari dua jenis, yaitu jin dan manusia. AlHasan menegaskan: “Keduanya sama-sama syaitan. Syaitan yang berupa jin memasukkan waswas ke dalam diri manusia. Adapun syaitan yang berupa manusia memasukkan waswas secara kasar.” Qatadah menjelaskan: “Di keduanya ada syaitannya. Di kalangan jin ada syaitansyaitan, di kalangan manusia pun ada syaitan-syaitannya.” Tafsir dari Ustazul Imam Syaikh Muhammad Abduh lebih menjelaskan lagi. Kata beliau: ”Yang membisik-bisikan (waswas) ke dalam hati manusia itu adalah dua macam. Pertama ialah yang disebut jin itu, yaitu makhluk yang tak tampak oleh mata dan tak diketahui mana orangnya tetapi terasa bagaimana dia memasukkan pengaruhnya ke dalam hati, membisikkan, merayukan. Dan semacam lagi ialah perayu kasar, yaitu manusia-manusia yang mengajak dan menganjurkan kepada jalan yang salah.” Imam Ghazali di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin yang terkenal itu memberikan bimbingan terperinci, bagaimana usaha supaya di dalam kita melakukan sembahyang jangan sampai si khannas itu dapat memasukkan pengaruhnya ke dalam dada kita. Di antara lain beliau menulis; “Apabila engkau membaca A’udzu billahi minasysyaithanir-rajim, hendaklah engkau ingat musuh besar itu (syaitan), selalu mengintipmu, dan jika engkau lengah niscaya dipalingkannya hatimu daripada ingat akan Allah. Asal mulanya ialah karena hasad dengkinya kepadamu, melihat engkau munajat menyeru Allah dan engkau bersujud kepada-Nya. Padahal dia dikutuk Tuhan karena sekali bersalah menantang Tuhan, Tafakkur v/Jumadil Tsani1430
tidak mau sujud kepada Adam. Dan sesungguhnya engkau memperlindungkan diri kepada Allah daripada perdayaan syaitan itu ialah dengan meninggalkan apa yang disukai syaitan, bukan semata-mata hanya berlindung diucapkan mulut. Karena orang yang telah diintai oleh binatang buas, sedang dia tahu, atau hendak diserang dan dibunuh oleh musuhnya, tidaklah akan menolong kalau hanya diucapkannya “Aku berlindung kepada Allah, bentengku yang kuat,” padahal dia masih tegak juga di tempat itu. Ucapkanlah ucapan itu, tetapi segeralah tinggalkan tempat yang berbahaya itu, karena dengan ucapan saja tidaklah berfaedah. Demikian jugalah adanya orang yang masih saja menuruti kehendak syahwatnya, padahal menurut syahwatnya itulah yang sangat disukai oleh syaitan dan dimurkai oleh Tuhan; tidaklah akan menolong kalau hanya ucapan, kalau hanya bacaan! Tetapi disamping berucap dan membaca, ambil cepat tindakan meninggalkan lapangan syaitan itu dan masuk ke dalam benteng yang tidak dapat sedikit pun dimasuki oleh musuh. Benteng yang teguh kokoh itu ialah yang pernah dijelaskan oleh Tuhan Azza wa Jalla dengan perantaraan lidah Nabi-Nya saw. Bahwa Tuhan pernah berfirman kepada beliau (Hadis Qudsi): “La Ilaha Illallah”; “ Tidak ada Tuhan melainkan Allah adalah bentengku; barang siapa yang masuk melindungkan diri ke dalam bentengKu, selamatlah ia daripada azabKU.” Orang yang terpelihara dalam benteng itu ialah orang yang benar-benar tidak ada ma’budnya, tidak ada yang disembahnya selain Allah. Adapun orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhannya, maka dia adalah di tempat permedanan syaitan, bukan berlindung di benteng Tuhan.”- sekian Gazali
anNissa
Tentang Tubuh Oleh Nur Saadah Khudri
Sekarang ini begitu kuatnya pengaruh pemikiran kaum feminis pada kehidupan umat Islam. Salah satunya mengenai pemaknaan terhadap tubuh. Mereka mengatakan bahwa tubuh itu adalah milik pribadi manusia. Mariana Aminuddin, aktivis perempuan Indonesia, mengatakan, tubuh adalah satu-satunya pencapaian sekaligus keintiman yang mudah diraih. Ia menambahkan, tubuh adalah kebudayaan karena tubuh merupakan esensi, eksistensi, wacana, dan wahana yang bertumpuk dan bermesraanpeleburan cakrawala. Tubuh perlu dilahirkan kembali sebagai wacana internal yang dibangkitkan menuju wacana eksternal manusia, karena kesadaran tentang tubuh sama pentingnya dengan kesadaran tentang hasrat (hidup, seks, dan kematian). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan berhak melakukan apa saja terhadap tubuh mereka, karena itu bentuk dari kebebasan dalam mengapresiasikan tubuh. Hal itu merupakan sesuatu yang dianggap sesuai dengan hak asasi manusia. Menurut kaum feminis, di saat tubuh harus terikat dengan suatu aturan, berarti telah terjadi pelanggar-
26
an terhadap hak asasi manusia. Menurut mereka hal ini ialah kelemahan yang harus dihilangkan. Yang sangat di-sayangkan, banyak Muslim mengafirmasi pemikiran ini. Hal ini disebabkan karena ke-bodohan mereka terhadap ajaran Islam, atau karena tidak terlalu memahami apa itu konsep sebenarnya yang diemban oleh kaum feminis ini. Tubuh dalam Islam adalah rahmat sangat besar yang diberikan Allah kepada manusia. Allah telah menciptakan tubuh manusia melebihi keindahan bentuk tubuh hewan atau makhluk yang lain, seperti tentang ukuran dirinya dan tentang manis wajahnya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Atiin ayat 4 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Dengan diberikan Allah bentuk tubuh yang elok kepada manusia, bukan berarti manusia dapat seenaknya memperlakukan tubuh itu. Manusia wajib mensyukurinya, sebagaimana firman Allah dalam surat ibrahim ayat 7 yang artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azabKu sangat pedih". Bagaimana konsep syukur dalam Islam? Dalam tafsir Jalalain diterangkan bahwa bersyukur itu dengan bertauhid dan taat kepada apa yang telah diperintahkan Allah dan meninggalkan setiap apa yang dilarang olehNya. Pendapat ini juga dapat dilihat pada surat Adz-dzariat ayat 56, yang artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu”. Dalam tafsir al Azhar dijelaskan bahwa Allah menciptakan jin dan manusia tidak ada gunanya yang lain melainkan untuk mengabdi kepada Allah. Ayat ini memberi peringatan kepada manusia bahwa sadar atau tidak sadar manusia harus mematuhi kehendak Allah. Termasuk dalam memenuhi kehendak Allah, yaitu memelihara tubuh dan menjaga kehormatan tubuh. Untuk itu Islam menurutkan syariat, suatu bentuk perundang-undangan yang bersumber dari Allah melalui wahyunya al Quran dan hadist. Pendapat kaum feminis tentang kemerdekaan akan tubuh telah menghilangkan peran Allah. Tubuh itu sebuah amanat dari Allah. Si pengemban amanat atau insan wajib memelihara dan menjaga tubuh, baik itu kehormatannya atau pun kesalamatan-nya. Hal ini sangat sesuai sekali dengan tujuan syariah itu sendiri, yaitu menjaga agama, jiwa, harta, keturunan, martabat dan kehormatan. Untuk tercapainya tujuan syariah tersebut, maka Allah menurunkan surat Annur ayat 30-31 yang artinya: “Katakanlah kepada orang lakilaki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci Tafakkur v/Jumadil Tsani1430
bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".(ayat 31) Kemudian arti ayat selanjutnya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Walohu’alam bi showab DAFTAR PUSTAKA Hamka. 1983. Tafsir al Azhar. Panji Masyarakat: Jakarta Maktabah Syamilah. Ushul fiqh. Maktabah Syamilah. Tafsir Jalalain. Sumber Lain “Retakan diri Pada Perempuan, Lampung post, 9 April 2006.
Sosok
Oleh Adelia Wulandari
Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta pada 1 Agustus 1868. Semasa kanak-kanak, ia diasuh serta dididik mengaji Quran. Dari situlah Dahlan kecil belajar Islam. Setelah agak besar, sekitar umur 15 tahun, Ahmad Dahlan pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Selama menuntut agama di Mekkah ia belajar tentang qiraat, tafsir, tauhid, fiqih, tasawuf, ilmu falak dsb. Pada usia 22, tepatnya pada tahun 1890, ia menunaikan ibadah haji kedua atas bantuan kakaknya Nyai Haji Soleh. Di Mekah ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, seorang murid Imam Syafii Sayyid Baqir Syanta. Dengan perantaraan Sayyid Baqir Syanta, Ahmad Dahlan bertemu dengan Rasyid Ridha yang ketika itu sedang berada di Mekkah. Dari Rasyid Ridhalah ia mulai mengenal dan tertarik pada pemikiran Muhammad Abduh. Tahun 1903 putra Yogya ini kembali mengunjungi Mekkah dan menetap disana selama 2 tahun. Pada kesempatan itu yang menarik hatinya ialah tafsir Al-Manar karangan Muhammad Abduh. Pengaruh pemikiran Abduh ini lah yang 28
berkesan dan mempengaruhi gerak lampah Kiyai Dahlan. Beberapa pemikiran Abduh yang mirip dengan pemikiran Kiyai Ahmad Dahlan di antaranya menegakan kembali tauhid sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an, mengadakan reformasi dan modernisasi dalam sistem pendidikan dan pengajaran, menciptakan sistem berpikir yang bebas dari taklid buta dan konservatif, mempertahankan ajaran Islam atas dasar ilmiahrasionil, serta membangun semangat berjuang dan berkorban. Keberadaan umat Islam pada masa kolonial, ketika Kiyai Dahlan hidup, masih banyak terpengaruh tradisi Hindu-Budha dan kepercayaan lokal— yang oleh Geertz dan van Leur disebut sinkretik karena Islam tidak lebih hanya sebagai lapisan tipis simbol-simbol yang diletakan di atas animisme. Hal itulah menjadi perhatiannya untuk diubah sesuai dengan ajaran Islam yang murni tanpa akulturasi dengan tradisi dan kepercayaan lokal. Bagi Kiyai Dahlan akulturasi yang berlebihan dan tidak sesuai dengan Tafakkur v/Jumadil
pedoman Al Qur’an-Sunnah merupakan sumber taklid , bid’ah dan khurafat. Hal itu hanya kepercayaan tanpa pedoman yang syah, melainkan hanya ikut-ikut orang tua/ nenek moyang yang merusak tauhid dan ibadah. Putra KH Abu Bakar ini berusaha menampilkan ajaran Islam yang lebih rasional. Rasionalisme dalam beragama itu diwujudkan oleh Kiyai yang akrab dengan kalangan keraton Yogya ini melalui beberapa ijtihadnya. Ijtihad itu antara lain dengan mengkoreksi arah kiblat. Menurutnya kiblat tidaklah persis menghadap ke barat, tetapi sedikit miring 24,5 derajat ke utara. Selain itu ia pun menentukan hari raya Idul Fitri melalui perhitungan astronomis. Ijtihad-ijtihad itu (seperti yang dikutip oleh Kuntowijoyo dalam pengantar buku Membendung Arus dari ”Suwara Muhammadiyah” Tahun I, 1915, Nomor 2, hlm 29) merupakan ”awit miturut paugeraning agami kita Islam, sarta cocok kaliyan pikajenganipun jaman kamajengan...”. Artinya ”sebab menurut tuntutan agama kita Islam, serta sesuai dengan kemauan zaman kemajuan”. Demi kemajuan itulah ijtihad diperlukan supaya agama selaras dengan semangat setiap zaman. Selain semangat ijtihad, Beliau pun menyebarkan ide amal-usaha yang menjadi dasar gerakan Muhammadiyah. Menurutnya agama bukan hanya teori tapi yang lebih penting lagi adalah aksi. Kemandirian ekonomi dan pemikiran sangat diperhatikan oleh Kiyai Dahlan. Semangat kemandirian ini lah yang turut serta memberikan kesadaran kepada Muslim Indonesia akan pentingnya kemerdekaan. Kiyai Dahlan selalu mengajarkan bahwa mengetahui makna ialah mengamalkan. Al-Qur’an bukan untuk diketahui tapi untuk difahami dan diamalkan dengan kata lain Tafakkur iv/Jumadil Awal 1430
aktif memberikan substansi yang kongkret pada simbol yang abstrak. Terbukti, ia mengajarkan berulang-ulang Surah Al-Ma’un sampai murid-muridnya mengeluh. Surah itu diantaranya berisi ancaman neraka bagi mereka yang shalat tetapi tidak memperhatikan kesejahteraan ekonomi orang-orang miskin dan menelantarkan anak yatim. Pemikiran keagamaannya yang lain ialah mempersatukan pandangan serta pemikiran para ulama. Kiyai Dahlan berperan penting dalam pembentukan perkumpulan para ulama yang bernama Musyawarah Ulama. Pada mulanya perkumpulan ini adalah wadah pertemuan para ulama golongan Muhammadiyah untuk membicarakan mengenai hukum Islam. Namun lama kelamaan organisasi ini dirasa perlu untuk mengumpulkan dan mempersatukan seluruh ulama di Nusantara, agar Islam menjadi lebih kuat. Kiyai Dahlan mengimplemantasikan pemikirannya dengan mendirikan Muhammadiyah. Pada tanggal 20 Desember 1912, Beliau mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Muhammadiyah berdiri hingga hari ini. Telah banyak sumbangsih organisasi bagi bangsa dan Negara Indonesia Kiyai Dahlan meninggal pada 25 Februari 1923. Beliau telah meninggalkan banyak hal berharga bagi Muslim Indonesia. Apa yang telah diperjuangkan Kiyai Dahlan seharusnya menjadi inspirasi bagi Muslim Indonesia. Atas segala jerih suami Nyai Haji Siti Walidah ini pemerintah memberi gelar pahlawan nasional kepadanya. Sumbangan beliau pada negeri ini hanya Allah Swt yang akan membalas. Allahu yarham KH Ahmad Dahlan.
Harapan Kepada Pemuda {Puisi Mohammad Iqbal yang diterjemahkan secara bebas oleh M.Natsir}
Aku harapkan pemuda inilah yang akan sanggup membangunkan zaman yang baru memperbaru kekuatan iman menjalankan pelita hidayat menyebarkan ajaran khatamul-anbiya’ menancapkan di tengah medan pokok ajaran Ibrahim Api ini akan hidup kembali dan membakar jangan mengeluh jua , hai orang yang mengadu Jangan putus asa , melihat lengang kebunmu Cahaya pagi telah terhampar bersih Dan kembang-kembang telah menyebar harum narwastu Khilafatul-Ard akan diserahkan kembali ke tanganmu Bersedialah dari sekarang Tegaklah untuk menetapkan engkau ada Denganmulah Nur Tauhid akan disempurnakan kembali Engkaulah minyak atar itu , meskipun masih tersimpan dalam kuntum yang akan mekar Tegaklah, dan pikullah amanat ini atas pundakmu Hembuslah panas nafasmu di atas kebun ini Agar harum-harum narwastu meliputi segala Dan janganlah dipilih hidup ini bagai nyanyian ombak hanya berbunyi ketika terhempas di pantai Tetapi jadilah kamu air-bah , mengubah dunia dengan amalmu Kipaskan sayap mu di seluruh ufuk Sinarilah zaman dengan nur imanmu Kirimkan cahaya dengan kuat yakinmu Patrikan segala dengan nama Muhammad
30
Tafakkur v/Jumadil Tsani
Khotimah
Masyarakat Sholat Berjemaah Oleh Khayrurrijal
Hidup berjemaah adalah sebuah kelaziman di dalam kehidupan manusia. Banyak orang berjemaah di dalam sebuah aktivitas tertentu, seperti di dalam kendaraan, di pasar, di sekolah. Dari semua bentuk jemaah itu terdapat sebuah jemaah yang bernilai istimewa. Jemaah tersebut adalah jemaah sholat. Mengapa berjemaah sholat bernilai istimewa? Sebab berjemaah sholat merupakan sebuah aktivitas mendasar manusia berhubungan dengan Tuhannya. Aktivitas ini begitu istimewa karena Tuhan sendirilah yang memerintahkan dan mengajarkan bentuknya melalui Nabi Muhammad Saw. Jemaah sholat, yang terdiri dari imam dan makmum, juga merupakan indikasi jelas tentang hierarki di dalam kehidupan. Hal yang ingin ditekankan ialah bahwa sebuah jemaah bukan hanya kumpulan hal-hal setara, melainkan terdapat hierarki di dalamnya. Untuk ikut serta dalam sholat berjemaah, baik imam dan makmum harus melakukan wudhu terlebih dahulu. Sebuah isyarat tentang kebutuhan untuk membersihkan diri, terlebih pada sisi batin manusia. Kebersihan diri ini akan menjadi syarat penting agar seseorang dapat mengikuti jemaah sholat. Imam dan makmum pun harus merupakan orang yang sudah akil balig, sebuah syarat terbebankannya hukum wajib sholat. Di sisi yang tidak terlihat, terdapat persatuan di tingkat batin. Perasaan dan pikiran seluruh jemaah difokuskan pada Tuhan. Akan tetapi, juga penting untuk diperhatikan bahwa persatuan ini didahului persatuan gagasan-gagasan pada masingmasing individu. Persatuan ini menjadi dasar penting bagi persatuan di tingkat lahiriah dan jemaah. Terdapat persamaan yang menarik antara masjid dengan madīnah dan daulah, yang juga terhubung secara metaforis dengan jemaah masjid dan bangunan masjid. Persamaan ini ada disebabkan kesamaan bahwa secara etimologis masjid adalah tempat sujud manusia kepada Tuhan, sebagai bentuk penyembahan atau ibadah kepada-Nya. Secara metaforis tempat bersujud itu juga merupakan tempat di mana perintah Tuhan dilaksanakan. Begitu juga madīnah yang merujuk kepada tempat di mana dīn dilaksanakan. Membangun masjid merupakan suatu hal yang sangat penting. Namun, bukan berarti baru ketika masjid telah dibangun manusia baru dapat bersujud kepada Tuhan. Ada atau tidak ada masjid, seseorang tetap dapat sujud kepada Tuhan. Telah dijelaskan bahwa jemaah sholat merupakan jemaah yang paling istimewa dari jemaah-jemaah lainnya di muka bumi. Sungguh indah, ini pun terjadi karena terkandung kebenaran di dalamnya, jika jama’ah sholat pun terwujud menyelimuti seluruh kehidupan manusia dan mewujudkan masājid dan ini juga berarti madīnah. Hal ini hanya dapat terwujud jika jemaah sholat yang baik telah terwujud. Wallahu’alam bish showab. Tafakkur iv/Jumadil Awal 1430
Tafakkur
Komunitas NuuN