BAB V BENTUK-BENTUK WACANA OTORITARIAN AYAH PADA ANAK DALAM CERITA WANDIUDIU
Bab ini membahas bentuk-bentuk wacana otoritarian ayah pada anak. Analisis dilakukan terhadap teks cerita rakyat dan terhadap realitas perilaku masyarakat yang tercermin dalam praktik-praktik hidup, kebiasaan atau norma yang berkembang dalam masyarakat khususnya terkait dengan hubungan anggota masyarakat di dalam unit-unit keluarga atau hubungan orang tua terhadap anak-anaknya dan sesama anggota keluarga lainnya. Dalam pengertian umum, terminologi bentuk mempunyai pengertian (1) yang bersifat konkret yaitu dapat diindra, dilihat, dan diraba dan (2) yang bersifat abstrak berupa ide-ide, acuan, gagasan, dan pemikiran (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Bentuk-bentuk wacana kekuasaan orang tua pada anak dalam bab ini dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu (1) kekerasan simbolik, (2) kepatuhan; (3) superioritas ayah; dan (4) kekerasan fisik.
5.1 Kekerasan Simbolik Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang paling sulit diatasi karena beroperasi melalui wacana. Disebut dengan istilah simbolik karena dampak yang biasa dilihat dalam kekerasan fisik tidak kelihatan. Tidak terlihat adanya luka, tidak ada akibat traumatis, tidak ada ketakutan atau kegelisahan, bahkan korban tidak merasa telah didominasi. Dalam hal ini korban kekerasaan simbolik sulit dimintaki
53
54 pengakuan atau ketidaktahuannya bahwa dirinya telah dikuasai atau diatur. Prinsip simbolik diketahui dan diterima, baik oleh yang menguasai maupun yang dikuasai. Dalam teks cerita Wandiudiu, kekarasan simbolik hadir, baik dalam ekspresi kebahasaan maupun dalam konteks sosial keluarga dan masyarakat yang melatarbelakangi cerita tersebut. Pada bagian orientasi cerita, kekerasan simbolik hadir dengan menempatkan stereotype peran suami dan istri dalam masyarakat Buton yang patriarki. Secara terstruktur tradisi masyarakat menempatkan posisi dominasi dan subordinasi melalui pembagian tugas yang menempatkan sang istri sebagai seorang yang bertugas di dapur dan mengurus pekerjaaan rumah tangga sementara sang suami mendapatkan kebebasan mengarungi luasnya laut dan lingkungan di luar rumah. Zamani pialoano dhaho thama te cina, ndo koana thama te cina. Ana mocuano ngeno Wa Turungkoleo te ananthamando ngeno La Mbatabata. Karajaano thamano Wa Turungkoleo ii lokotorusu mompuka ika ii tahi te cina Wa Turungkoleo ii karajano ii jangani ana-anano ii raha Pada zaman dahulu kala, hidup seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mereka mempunyai dua orang anak yang perempuan bernama Wa Turungkoleo dan yang laki-laki bernama La Mbatambata. Pekerjaan suami menjaring ikan di laut dan istrinya menjaga anak-anaknya di rumah Orientasi cerita di atas dianggap sudah cukup kuat untuk menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik dalam sebuah rumah tangga. Peran sosial suami dan istri dalam cerita ini memperlihatkan adanya bias gender. Wacana yang dibangun adalah bahwa sang suami sebagai pemimpin adalah sosok yang lebih kuat, lebih bebas, mungkin lebih terhormat karena tidak terlibat dalam urusan dapur yang dianggap lebih rendah. Wacana yang memberikan tempat atau posisi dominan sang
55 suami bersifat diskursif dan ideologis. Oleh karena itu wacana patriarki dalam cerita Wandiudiu secara representatif merupakan kekerasan simbolik. Berdasarkan sumbernya, menurut Bordieu (1991: 170), kekerasan simbolik justru lahir melalui lembaga terhormat, seperti institusi pendidikan dan instrumennya. Sekolah, perguruan tinggi, dan keluarga adalah institusi pendidikan yang paling utama berperan membentuk watak masyarakat. Dua lembaga ini secara alamiah dipahami masyarakat sebagai sarana untuk mendidik generasi muda dan mempersiapkan mereka menghadapi tantangan hidup untuk menjadi individuindividu yang mandiri dan dewasa. Sisi gelapnya lembaga-lembaga ini sarat dengan kekerasan simbolik. Bagi Bourdieu, keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan. Dalam kaitan dengan penelitian ini, teks cerita Wandiudiu merupakan sebuah instrumen pendidikan yang diceritakan kepada anakanak dalam keluarga dan institusi pendidikan. Dalam teks ini tokoh sang suami melakukan kekerasan dimulai dengan kekerasan verbal sampai dengan tindakan yang mengarah pada kekerasan fisik. Teks dapat menjadi sebuah alat produksi dan reproduksi sosial. Demikian juga teks cerita Wandiudiu merefleksikan pandangan pengarang terhadap pelbagai masalah yang diamati di lingkungannya. Realitas sosial yang terjadi dimodifikasi sedemikian rupa menjadi teks literature dengan pencitraan yang berbeda dengan relitas empiris tetapi mampu mengubah pola pikir pembacanya. Salah seorang informan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Buton, Laode Muhammad Arsal memercayai teks Wandiudiu beserta pesan-pesan di dalamnya
56 merupakan alat kontruksi sosial dalam masyarakat Buton seperti pernyataan di bawah ini. ”Medium yang melalui sekolah/ pembelajaran pendidikan di sekolah kendati itu cuma sesaat dilakukan berulang-ulang apakah melalui tayangan drama, itu sangat mempengaruhi pola pikir anak-anak untuk dapat mengaplikasikan di kehidupan sehari-hari, tetapi itu tidak cukup di sekolah dalam berbagai even, festival budaya, dan sebagainya. Itu harus berulang-ulang karena sesuatu yang kita pertontonkan berulang-ulang di satu sisi daya serap akan semakin terjiwai akan tetapi misalnya hanya sebatas di sekolah itu tidak cukup. Akan tetapi, media yang terbaik adalah di rumah karena sang anak suka mendengar cerita yang berulang-ulang, dan ini bukan hanya sekedar cerita saja tapi pemaknaannya sangat bermanfaat, dan ini juga peringatan bagi istri yang ingin mencium bau surga maka taatilah suamimu.” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Apa yang disampaikan oleh Laode Muhammad Arsal berkesinambungan dengan pemikiran tentang pengaruh teks dalam membentuk pola perilaku dan praktik sosial masyarakat. Michel Foucault (1997: 95) mengatakan bahwa dalam teks cerita yang berbicara bukanlah subjek, melainkan struktur linguistik dan sistem bahasa. Gagasan Foucault ini berkenaan dengan wacana (discourse). Menurutnya, bahasa adalah mediator. Wacana adalah ucapan. Dengan wacana pembicara menyampaikan segala sesuatu kepada pendengar. Wacana yang diperkuat dengan tulisan adalah teks. Dalam bukunya ”History of Sexuality” Foucault (1976 :101) menyatakan ”Wacana menyebarkan dan memproduksi kekuasaan. Keduanya saling menguatkan”. Kekuasaan menurut Johan Galtung (dalam Hewitt, 1996: 201) memproduksi kepatuhan, ketergantungan, dan rasa takut. Ketiganya dapat mereproduksi, baik kekerasan simbolik maupun fisik.
57 Cerita Wandiudiu adalah cerita yang memperlihatkan praktik-praktik wacana kekerasan. Pada struktur teks Wandiudiu secara makro, ditemukan sebuah tema umum tentang konsekuensi perbuatan jahat. Cerita ini mengungkapkan adanya sebuah kejadian yang tidak biasa, manusia berubah menjadi seekor hewan (duyung). Peristiwa ini ditafsirkan sebagai sebuah kutukan atau akibat dari sebuah tindakan amarah yang tidak termaafkan. Teks cerita berkembang dalam bentuk narasi dengan sedikit dialog. Namun, penutur selalu mampu mengembangkan cerita dengan berbagai gaya bahasa yang membuat pendengar atau pembaca berimajinasi. Melalui intepretasi penutur terhadap teks cerita, pendengar atau pembaca menemukan adanya kesan kekerasan. Tindakan kekerasan dalam teks cerita ini tidak hanya dalam bentuk verbal dan intimidasi, tetapi juga berubah dalam bentuk kekerasan fisik. Seperti
cerita
rakyat
Nusantara
pada
umumnya,
cerita
Wandiudiu
menggunakan struktur alur maju sederhana. Secara garis besar cerita Wandiudiu dibagi ke dalam dua episode, yang pertama episode sebuah keluarga batih nelayan Buton lengkap ada suami istri dan anak-anak dan episode kedua kepergian sang istri meninggalkan keluarganya. Latar tempat cerita menggambarkan desa nelayan di daerah Buton dan dengan latar waktu pada saat nelayan tidak pergi melaut. Perwatakan setiap tokoh dalam cerita Wandiudiu merupakan representasi orang Buton. Baik pendengar maupun pembaca akan mengenali karakter kaum pria Buton yang keras. Sang istri mewakili perempuan Buton yang taat dan tunduk pada kehendak sang suami. Hubungan dan peran sosial anggota keluarga ditampilkan secara wajar. Sang ayah sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anaknya berperan
58 sebagai pencari nafkah dan sebagai anggota dari kelompok sosialnya. Sang istri adalah ibu dari anak-anaknya mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, di samping berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Peranan sosialnya sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya. Konflik dalam cerita ini sudah terlihat sejak awal, yang dinyatakan saat sang suami memberikan peringatan kepada istri untuk mengawasi ikan kesukaannya agar tidak dimakan oleh anak-anaknya seperti pernyataan berikut. ”Boli temo alea yikane kawoleku sumay moomini o yincema moemanina! ”Jangan sekali-kali ada yang mengambil ikan garam itu atau memberikan kepada orang lain kepada siapapun yang memintanya.” Dalam bentuk peringatan, kalimat yang ditujukan kepada anak-anak oleh seorang bapak dalam cerita ini merupakan ekspresi verbal yang bertujuan menakut-nakuti. Jurnal Azevedo dan Viviane (2008: 21) menggolongkan kata-kata mengancam, mengatakan kata-kata kasar, atau kata-kata yang tidak disukai oleh anak termasuk membentak adalah bentuk kekerasan yang sering menimpa anak-anak. Konflik kian menajam dan intensitas permasalahan semakin serius ketika suami menganggap istrinya lalai mengemban tugas lalu memukul kepala sang istri yang seketika jatuh pingsan. Klimaks mereda dengan kepergian sang istri ke laut dan berubah menjadi seekor duyung. Ekspresi kekerasan ditampilkan dalam setiap konflik. Untuk melihat secara keseluruhan teks ini mengandung pesan-pesan
59 kekerasan, maka harus diperiksa struktur wacana dengan memperhatikan struktur makro, superstruktur, dan struktur mikronya. (Lihat Tabel 5.1!) Tabel 5.1 Struktur Wacana Dalam Teks Wandiudiu STRUKTUR WACANA
Struktur Makro
Superstruktur
Struktur Mikro
Tema: Kejahatan akan ada hukumannya Subtema: Otoritarian ayah pada Anak
Alur Kronologis Sederhana; bergerak dari awal hingga akhir cerita
Dramaturgi yang dibangun melalui konflik hubungan suami dengan istri dan ayah dengan anak.
Melalui analisis struktur wacana pada teks cerita Wandiudiu ditemukan simbol-simbol kekuasaan melalui relasi antara suami dan istri serta orang tua terutama ayah dan anak. Teks Wandiudiu dituliskan dengan konteks sosial budaya masyarakat Buton yang patriarki. Struktur sosial masyarakat Buton menempatkan pria dalam keluarga dan institusi sosial lainnya pada posisi tertinggi, sedangkan perempuan dan anak-anak adalah subordinat. Pria ditunjuk sebagai wakil Allah SWT yang membawa keluarganya kepada kehidupan di surga seperti janji-janji dalam ajaran agama. Hal ini juga disampaikan oleh Laode Muhammad Arsal berikut ini. ”Pembelajaran bagi ibunya untuk tidak membangkang dan melanggar perintah daripada suaminya, yang notabenenya bahwa seorang istri masuk surga karena patuh pada suaminya”. (Wawancara, 26 Oktober 2014)
60 Pernyataan Laode Muhammad Arsal mengandung arti bahwa kebahagiaan seorang
istri (perempuan) bergantung kepada laki-laki dan harus selalu dapat
menemukan kata yang tepat dan disetujui. Kepatuhan seorang istri terhadap suami seperti ini bersifat ideologis atau diskursif. Menurut Berger (1990:4), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial. Dengan demikian, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk perilaku individu. Artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal, yang muncul adalah superioritas laki-laki di hadapan perempuan. Manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri dan jelas terhadap anak. Kekerasan simbolik dalam teks Wandiudiu bekerja melalui mekanisme eufemisasi. Eufemisasi adalah mekanisme kekerasan simbolik yang tidak tampak dan bekerja secara halus, tidak dikenali, dan berlangsung di bawah alam sadar. Bentuk-bentuk eufemisasi dapat berupa perintah, pemberian hadiah, kepercayaan, teguran, dan larangan. Terjadinya kekerasan di dalam rumah dapat dirasakan karena adanya pola relasi asimetris (tidak setara) antara suami dan istri, orang tua, dan anak, atau mungkin antara anak-anak karena perbedaan rentang usia. Kekerasan ini disebabkan oleh adanya relasi kekuasaan yang timpang dan hegemoni yaitu pihak yang satu memandang diri lebih superior, baik dari segi moral, etis, agama, maupun jenis kelamin dan usia. Menurut Bourdieu (2010:12), seluruh tingkatan pedagogik baik yang diselenggarakan di rumah, sekolah, media, maupun di manapun memiliki muatan kekerasan simbolik selama pelaku memiliki kuasa dalam menentukan sistem nilai atas pelaku lainnya.
61 Dalam teks cerita Wandiudiu kekerasan fisik hanya terjadi pada sang istri. Namun, sebelum itu terjadi, sang suami secara tidak langsung mengancam anakanaknya. ”Apokia ubarani yingko ualakea o anamu yikane kawoleku sumay, hee!” ” Mengapa engkau berani mengambilkan anakmu kawole itu,he” Kekerasan verbal yang terungkap dalam teks ini termasuk kekerasan simbolik yang diekspresikan melalui kalimat atau kata-kata. Bahasa telah berkembang. Fungsi utamanya sebagai alat komunikasi sekaligus sebagai penanda dan pembeda ciri kemanusiaan, tetapi juga sebagai alat kekuasaan. Di dalam bahasa terdapat kontrol atau dalam persepsi Habermas bahasa merupakan sebuah kepentingan dari siapa yang akan memakainya (dalam Nashir, 2000: 46). Fowler (1985: 61) mengemukakan bahwa kuasa merupakan kemampuan seseorang atau institusi dalam mengontrol perilaku dan kehidupan material orang lain. Sementara itu, menurut Fairclough (1995:1), kekuasaan secara konseptual memiliki dua makna, yaitu (1) ketidaksimetrisan antarpartisipan dalam peristiwa-peristiwa wacana dan (2) ketidaksamaan kapasitas dalam mengontrol bagaimana sebuah ujaran diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi dalam konteks sosial budaya. Menurut Foucoult, kekuasaan adalah label nominal bagi relasi strategi yang kompleks dalam masyarakat menyebar, terpencar, dan hadir di mana-mana berada di semua lapisan, kecil dan besar, laki-laki dan perempuan, orang tua anak-anak.
62 5.2 Kepatuhan Salah satu bentuk kekerasan simbolik dalam teks Wandiudiu adalah adanya cita-cita pengarang akan kepatuhan anak kepada orang tuanya. Ide ini disampaikan secara tersembunyi melalui ekspresi amarah sang ayah. Selain itu, secara eksplisit ada beberapa dialog yang mengekspresikan ketidakpatuhan dalam cerita ini. ”O yincemamo molauna moalea, tangkanamo manga anamu siy.” ”Siapa lagi yang berani mengambilnya, kecuali anak-anak ini.“ ” Ande yinda umempili ukande yinda betapogaa kaasi ana.” ”Andai kata engkau tidak memilih-milih makanan, kita tidak akan berpisah.” Sang ayah melampiaskan amarahnya karena ketidakpatuhan anaknya yang telah memakan ikan kesukaannya dan kepada sang istri yang gagal menjaga amanah. Dalam kesempatan yang lain sang istri juga melampiaskan kesedihan dan sekaligus kekecewaannya karena ketidakpatuhan anaknya memakan ikan kegemaran ayahnya. Dalam dua peristiwa ini, pesan ’kepatuhan’ disampaikan dalam bentuk silogisme. Berdasarkan penafsiran penutur dan masyarakat Buton, teks cerita Wandiuidiu juga berbicara tentang kepatuhan. Dalam keterangannya Khairuddin mengatakan seperti berikut. “Salah satu aspek penting bagi masyarakat Buton adalah cerita Wandiudiu ini penting untuk dilestarikan dan dipahamkan kepada masyarakat karena ada nilai- nilai moral seperti kepatuhan, konsistensi, dan eksternal.” (Wawancara, 5 November 2014) Menurut Khairuddin bentuk keluarga ideal bagi masyarakat Buton yang patriarki adalah memiliki anak-anak yang patuh pada orang tuanya. Kepatuhan anak-anak adalah harapan semua orang tua. Kepatuhan mempermudah para orang tua mengelola
63 rumah tangga dan menjaga stabilitas keluarga. Kepatuhan anak dalam cerita Wandiudiu berada dalam ujian karena keinginan anak yang dihambat oleh larangan sang ayah dan loyalitas sang istri pada suami. Namun, perasaan tidak tega sang istri mendorong anak-anak melanggar batas-batas yang dibuat sang ayah. Khairuddin memberikan penjelasan sesuai dengan interpretasinya bahwa penyebab utama amarah sang suami yang tidak terkontrol adalah ketidakpatuhan istri dan anak-anaknya, seperti dinyatakan berikut ini. ”Ada faktor ajaran kepatuhan pada apa yang disampaikan, apalagi kepala rumah tangga sebagai pemimpin di rumah. Jadi ketika apa yang katakan oleh kepala rumah tangga itu tidak dipatuhi maka ada pembelajaran walaupun itu itu kita anggap pelajaran yang sangat sadis makanya saya katakan kalau hanya persoalan ikan yang dimakan itu tidak rasional kemudian perilakunya lebih berimbas lain karena pekerjaannya sebagai nelayan dan yang kedua dia berada di pinggir pantai dan di setiap saat dia bisa dapat ikan” (Wawancara, 5 November 2014) Khairuddin berargumen bahwa pesan kepatuhan sangat ditekankan dalam cerita Wandiuidu. Konflik yang terjadi dianggap tidak rasional mengingat masyarakat Buton sebagai pelaut tidak pernah kekurangan ikan. Oleh karena itu ada makna tersendiri yang ingin disampaikan melalui konflik tersebut. Dalam hal ini Almujazi menyampaikan keterangannya sebagai berikut. ”Di sini ada nilai kepatuhan, jadi kita di Buton ini tokoh ayah itu harus dihargai sehingga begitu dia pulang ikan telah dipotong ekornya walaupun hanya sedikit yang diambilkan, tetapi ibu telah melanggar janji sang suami” (Wawancara, 12 November 2014) Menurut penafsiran Almujazi amarah sang suami dipicu karena istri dan anakanaknya tidak patuh dan telah melukai harga dirinya sebagai kepala keluarga. Secara psikologi pria memang sangat emosional bila merasa harga dirinya terlukai. Harga
64 diri pria dalam hal ini adalah penilaian orang lain tentang kemampuan, keberartian, berharga, dan kompeten sebagai pemimpin rumah tangga (Keliat, 1999: 21). Dalam interpretasinya terhadap cerita Wandiuidu Laode Muhammad Arsal menjelaskan karakter sang ayah yang arogan dan pemarah seperti berikut. ”Dari cerita Wandiudiu ini secara filosofi yang penutur uraikan bahwa ada dua dimensi antara watak dan karakter seorang ibu dengan bapak, artinya antara arogansi seorang bapak yang menginginkan bahwa ini milik saya tidak boleh diambil atau diberikan oleh siapa pun. sementara ini hanya menyangkut persoalan masalah ikan di mana sang bapak memberikan amanah kepada sang ibu bahwa setelah ikan ini saya belah dan saya garami, dan menjadi ikan kering jangan sekali-kali menyerahkan kepada siapa pun tanpa terkecuali kamu dan anak-anakmu ini adalah milik saya” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Teks Wandiuidiu dipercayai masyarakat mengajarkan kepatuhan. Ajaran kepatuhan tidak dinyatakan secara terang-terangan. Namun, retorika kepatuhan dalam teks cerita Wandiuidiu meresap dalam benak pendengar dan pembacanya. Masyarakat Lakudo Buton mewarisi sastra Melayu, Cina dan Arab sebagai kekayaan seni budayanya. Oleh karena itu, masyarakat paham dengan pesan cerita Wandiuidiu melalui penyampaian pesan kepatuhan dengan gaya bahasa tertentu. Almujazi dalam hal ini memberikan ilustrasi bagaimana masyarakat Buton menangkap pesan-pesan dalam sebuah karya sastra. ”Kata orang tua dulu bohong itu ada dua, yaitu bohong untuk kebaikan dan bohong untuk keburukan. Berbohong dalam kebaikan kata orang tua dahulu itu boleh, contohnya ketika Arupalaka dikejar oleh orang Goa dan menanyakan kepada orang tua di Buton, di mana kalian sembunyikan Arupalaka ? Jawab orang Buton; tidak ada Arupalaka di Buton, jika ada Arupalaka di atas tanah Buton maka hancur binasalah negeri kami ini dan memang kenyataannya Arupalaka tidak ada di atas tanah Buton, melainkan ia disembunyikan di bawah tanah Buton, hal ini menandakan bahwa orang tua dulu pernah berbohong, tetapi untuk kebaikan dan untuk tindakan
65 penyelamatan seseorang, sedangkan berbohong dalam kejahatan itu tidak boleh sama sekali. Olehnya itu raja tersebut luput dari sumpah karena memang benar Arupalaka tidak ada di atas Buton, melainkan di bawah tanah” (Wawancara, 12 November 2014) Almujazi juga menyadari dilematis perkembangan sastra lisan dalam masyarakat Lakudo Buton akhir-akhir ini. Kecintaan masyarakat akan folklor mulai memudar.
Informan
hubungannya dengan
berpendapat
perubahan
sosial
dalam masyarakat
ada
kecenderungan masyarakat meninggalkan cerita rakyat.
Almujazi merasakan adanya pendangkalan makna dari cerita Wandiudiu: ”Jika kemudian setelah mendengar cerita ini lalu mereka bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari luar biasa manfaatnya, apalagi jika mereka memahami lebih dalam makna yang terkandung di dalamnya. Namun, hari ini yang terlihat kurang terjiwai dan terhayati sehingga dampaknya pun tidak sebaik dahulu kala sangat terjiwai dan benar-benar diamalkan serta dipraktikan dalam kehidupan mereka seharihari” (Wawancara, 12 November 2014) Menurut Khairuddin, anak-anak sekarang cenderung menghindar atau tidak mau mendengarkan petuah-petuah dari orang tua mereka. ”Sekarang ini sudah susah dan banyak anak kadang tidak mendengarkan apa kata orang tua mereka, kenapa hal ini terjadi, ya karena memang sudah tidak banyak lagi yang ingat akan cerita ini” (Wawancara, 5 November 2014) Kharuddin berpandangan bahwa ada yang telah berubah dalam masyarakat Buton sekarang ini. Anak-anak lebih tipis pendengarannya dan sangat mudah mengabaikan nasihat dan pesan orang tua. Khairuddin menduga bahwa hal ini berkaitan dengan memudarnya kebiasaan orang tua bercerita. Tidak ada lagi momen-momen hangat dan santai untuk memberikan pesan dan nasihat melalui medium bercerita. Bahkan,
66 kalau ada, sudah digantikan oleh kemajuan teknologi dan industri hiburan yang menyita waktu masyarakat. Menurut Laode Muhammad Arsal, cerita Wandiuidiu sudah banyak ditinggalkan masyarakat. ”Sekarang ini sudah susah dan banyak anak kadang tidak mendengarkan apa kata orang tua mereka, kenapa hal ini terjadi, ya karena memang sudah tidak banyak lagi yang ingat akan cerita ini” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Menurut Almujazi, ada perubahan dalam masyarakat setelah meninggalkan cerita-cerita rakyat. ”Anak sekarang masih taat kepada orang tuanya, cuman tidak setaat anakanak dahulu ketika cerita ini masih sering dilantunkan dan mereka jiwai makna yang terkandung di dalamnya, kalau anak-anak sekarang cerita Wandiudiu ini dianggap sebagai cerita biasa saja seperti cerita-cerita lainnya yang tidak terjiwai makna yang terkandung di dalamnya sehingga terkesan ada pergeseran nilai-nilai kehidupan terutama tentang akhlak, moral, sikap, gaya, dan perbuatan mereka. Jadi, alangkah baiknya kita gali kembali makna yang terkandung dalam cerita ini agar generasi kita saat ini bisa terinspirasi dan menghayati kembali makna yang ada di dalamnya” (Wawancara, 12 November 2014) Kepatuhan sebagai nilai universal sangat bervariasi antarbudaya (Bond dalam Haworth, 1988: 99--119). Dalam budaya ketimuran hubungan orang tua dan anak tidak sejajar. Orang tua di dunia timur mendidik anak-anak mereka untuk tunduk dan selalu patuh dengan mereka. Orang tua membesarkan dan menafkahi anak sehingga itu berhak memutuskan sesuatu terhadap anak demi kebaikan mereka. Anak-anak harus taat dan menerima dominasi orang tua, tunduk pada perintah dan peraturan yang dibuat dalam keluarga. Pola pengasuhan di negeri-negeri Timur tidak menyediakan sebuah sistem seperti keluarga di negeri Barat untuk berbicara dan berdiskusi secara sejajar. Demikian pula tradisi pengasuhan anak di Lakudo Buton
67 menekankan pada prinsip "kepatuhan anak kepada orang tua". Hal ini juga didukung oleh pernyataan Khairuddin berikut ini. ”Tentu persoalan kepatuhan, penghargaan, itu di atas segalahnya. Makanya berbeda di tempat lain bahwa otonomi seorang suami di dalam rumah itu di keluarga kita orang Buton itu memang dikedepankan sehingga apa yang menjadi pesan harus dipatuhi” (Wawancara, 5 November2014) Menurut Khairuddin, anak adalah karunia dan anugerah. Namun, anak harus menurut dan patuh kepada orang tua. Apabila membantah atau tidak menurut, maka mereka harus "dididik" secara tegas, baik menggunakan cara-cara verbal maupun nonverbal. Orang tua menganggap hal itu bukanlah sebagai tindakan kekerasan terhadap anak, melainkan cara yang tepat untuk membentuk kepatuhan dan kedisiplinan anak di rumah. Menurut mereka, pola pengasuhan yang semacam itu, selain tidak menimbulkan akibat seperti jatuh sakit, pendarahan atau luka fisik yang lain, juga dilakukan atas dasar kasih sayang sehingga semua tidak dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak. Pola pengasuhan yang keras merupakan tradisi ’keras’ orang Indonesia Timur yang telah diterapkan secara turuntemurun antargenerasi. Mereka meyakini bahwa cara tersebut adalah yang paling efektif untuk membentuk karakter anak di Indonesia Timur (www.atmajaya.ac.id, diakses 4 Januari 2015). Menurut Khairuddin kepatuhan menjadi nilai utama dalam keluarga Buton. ”Makanya berbeda di tempat lain bahwa otonomi seorang suami di dalam rumah itu di keluarga kita orang Buton itu memang dikedepankan sehingga apa yang menjadi pesan harus dipatuhi” (Wawancara, 5 November2014)
68 Kepatuhan adalah jalan hidup anak-anak Lakudo Buton dan sudah menjadi karakter masyarakat Lakudo Buton. Pranata sosial masyarakat tidak dapat menerima anak-anak yang memberontak kepada orang tuanya. Ruth Benedict (1962: 24) berpendapat bahwa suatu kepribadian dianggap bersifat normal apabila sesuai dengan tipe kepribadian yang dominan, sedangkan tipe kepribadian yang sama jika sesuai dengan tipe kepribadian dominan akan dianggap 'abnormal'. Ada banyak argumentasi positif membentuk perilaku anak yang patuh kepada orang tuanya. Baumrind (dalam Ahmadi, 1991:80) mengidentifikasikan tiga pola utama pengasuhan orang tua, yaitu orang tua yang otoritatif bersifat tegas, adil, dan logis. Gaya pengasuhan ini dipandang akan membentuk anak-anak yang sehat secara psikologis, kompeten, dan mandiri, yang bersifat kooperatif dan nyaman menghadapi situasi-situasi sosial. Peneliti lain Maccoby dan Martin (dalam Papalia, 2008: 396) mengatakan bahwa orang tua yang otoriter mengharap kepatuhan mutlak dan melihat bahwa anak butuh untuk dikontrol. Di sisi lain kepatuhan absolut menghasilkan generasi yang saleh, terbuka tetapi sekaligus munafik, fanatik, tidak toleran, tidak kreatif, dan akhirnya menjadi objek atau sasaran kekuasaan (Haryatmoko, 2010: 4--10). Ada dua hal yang menyebabkan individu tidak patuh,
(1) jika ia merasa kebebasan atau hak-hak
pribadinya terancam, dan (2) setiap orang ingin tampil unik (Sarwono, 1999: 169). Robert B. Cialdini (2007: 20--27) dalam bukunya The Psychology Influence of Persuation mengemukakan bahwa kepatuhan dapat diperoleh dari anak bila sang orang tua memiliki karater yang konsisten, berotoritas, dan memberikan timbal balik.
69 Dengan ini orang tua akan mewujudkan kepatuhan, dihormati, dihargai, dan diakui dalam semua ruang dan waktu. 5.3 Superioritas Ayah Superiotas berasal dari kata superior yang secara etimologi berarti memiliki kelebihan, supremasi senioritas, atau merupakan lawan kata dari inferioritas yang tunduk atau takluk dalam kekuasaan pihak yang lebih dominan. Dalam teks Wandiuidiu, sosok ayah digambarkan sebagai sosok yang superior terhadap istri dan anak-anaknya. ”Bolimo umenpili beu kande kawolena amata yinda himbo siy o namisita.” ”Kita tidak akan menderita seperti ini. Bapak lebih sayang ikan kawole dari pada kita anaknya.” Sang anak menyimpulkan bahwa sang ayah lebih sayang kepada ikan daripada mereka. Hal ini didasarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari. Dalam kehidupan keseharian, mereka harus menghadapi sifat keras sang ayah yang selalu mengekang ” gak boleh ini, gak boleh itu”. Sang ayah juga memisahkan anak-anak dengan ibu mereka tanpa berusaha mencari kembali pulang sang istri. Penindasan sang ayah membuat anak-anak menderita, terutama Lambatambata yang masih membutuhkan air susu ibunya. Kesedihan anak-anak dalam teks diwakili oleh nyanyian sang kakak yang dinyanyikan secara berulang-ulang. Aule wandiu-diu maipasusu andiku Andiku lambata-mbata Akaaku WaTurungkoleo
70 Duhai Wandiu-diu, datang susui adikku Adikku Lambata-mbata Akulah ini kakaknya-WaTurungkoleo Hubungan ayah dan anak juga tidak dekat dan hangat. Dalam hal ini menurut L.M. Budi Wahidin, sangat wajar bagi masyarakat Buton karena para pria menghabiskan banyak waktunya di laut. ”Dia seorang bangsa pelaut, orang Buton kadang meninggalkan istrinya hingga bertahun-tahun tidak pulang. Jadi, ada pertanggungjawaban istri dalam mendidik anak sehingga seorang ibu tidak pernah bilang tidak ada dalam mendidik anak” (Wawancara, 13 November 2014) Konsekuensi dari sang suami yaang sering meninggalkan kelaurga, maka peran ibu dalam keluarga masyarakat Buton menurut Almujazi menjadi sangat penting. ”Jadi semua urusan rumah tangga tugas ibu, termasuk mendidik anak karena bapak tugasnya hanya mencari nafkah dan komunikasi di luar rumah, itulah urusannya bapak. Jadi, di situ ada salah komunikasi antara bapak dan mama, dalam hal ini peran ibu kelihatan sekali, walaupun istri ditinggal beberapa tahun oleh suami, ia tetap setia menunggu dan tidak boleh menuntut” (Wawancara, 12 November 2014) Menurut Almujazi, patron peran sang suami sebagai penguasa di dalam rumah tangga diwariskan secara turun-temurun. Secara tradisional pria meneruskan nilainilai keluarga dan menjadi ahli waris hak material dan imaterial dari garis keturunan ayah. Anak laki-laki belajar dan diajar tentag berbagai pengalaman yang diperoleh sang ayah. Secara internal seorang anak laki-laki sepanjang kehidupannya selalu termotivasi oleh kebutuhan untuk menjadi superior dan berusaha untuk naik menuju tingkat perkembangan yang lebih tinggi (Adler dalam Hall dan Gardner, 1993: 245--
71 247). Dalam buku Acient Law tahun 1861, Henry Meine mengatakan bahwa keluarga patiarkat merupakan dasar dari unit universal masyarakat (Coward, 1983:18). Derrida (dakam Al-Fayyadi, 2005:78) mengatakan bahwa watak keayah-ayahan dalam seorang anak laki-laki mencerminkan hasrat kuasa dan superioritas sang ayah. Sosok sang ayah menjadi panutan dan diidam-idamkan karena menguasai kebenaran dan hanya dialah satu satunya yang berhak menentukan kriteria kebenaran. Menurut Almujazi, tokoh suami atau sang ayah dalam cerita Wandiudiu menggambarkan secara umum stereotype pria-pria Buton yang keras. Sifat keras pada laki-laki direproduksi dalam keluarga secara turun-temurun, sehingga apa yang terlihat sekarang penggambaran pria-pria Buton yang berkarakter keras. Namun, menurut Almujazi, apa yang terjadi dalam cerita Wandiudiu, karakter ayah menjadi terlihat buruk karena tidak menunjukkan penyesalan setelah melakukan kekerasan. ”Sikap sang ayah tersebut ketika anaknya pulang dari laut dengan membawa beberapa ekor ikan untuk dimasak, namun sang ayah bertanya begini;” darimana kalian membeli ikan ini?”. Jawab kedua anaknya; ”kami diberi oleh para nelayan yang sayang kepada kami” Secara tidak langsung mestinya orang tua mereka sadar, bahkan merasa malu ketika mendengar jawaban anakanaknya seperti itu, artinya bahwa orang lain lebih perhatian dan sayang kepada anaknya bapak tersebut daripada ayah mereka sendiri jika ia sadari, sang ayah tidak merasa apa atau bagaimana malah yang terlihat justru ia masa bodoh dengan ucapan itu. Padahal, kita ini kapan dan di mana kita bertemu keluarga selalu ditanya sudah berapa orang anakmu, tidak ditanyakan berapa buah rumahmu , atau berapa buah mobilmu, motormu, kekayaanmu, dan lainlain sebagainya. Kapan tidak ada keturunannya putus dalam arti kata tidak ada yang mewarisi keluarganya ke depan sebagai pelanjut ahli waris.” (Wawancara, 12 November 2014) Kata-kata kasar yang diucapkan oleh suami terhadap istri, ayah terhadap anak, tak lain adalah sebuah wacana, yaitu wacana kekuasaan: dominasi laki-laki terhadap
72 perempuan dan dominasi ayah terhadap anak. Wacana kekuasaan tersebut terjadi karena adanya ideologi phallocentrisme, yaitu suatu pemikiran yang menjadikan lakilaki sebagai pusat tolok ukur dalam memandang suatu hal bahwa laki-lakilah yang berhak menilai sesuatu, bukanlah perempuan. Artinya, sesuatu dapat dikatakan baik ketika laki-laki memandang itu baik, begitu juga sebaliknya. Dalam relasi antara suami dan istri, ayah dan anak karena ayah adalah seorang laki-laki sehingga ia lah yang berkuasa untuk menentukan siapa yang berbicara dan siapa yang harus mendengarkan. Selain itu, perbuatan kasar suami atau ayah , misalnya membentak, memaki, dan menghina adalah suatu tindakan untuk menunjukkan superioritas sebagai laki-laki. Secara tidak langsung, sang ayah atau suami ingin mengatakan “Karena saya laki-laki, maka saya berhak membentak kamu. Karena saya laki-laki, maka saya berhak memaki kamu. Karena saya laki-laki, maka saya berhak menghina kamu”. Laode Muhammad Arsal menyebutkan bahwa watak pria sesungguhnya adalah memerintah dan berkuasa. ”Makna dari cerita Wandiudiu ini secara filosofi yang penutur uraikan bahwa ada dua dimensi antara watak dan karakter seorang ibu dengan bapak, artinya antara arogansi seorang bapak yang menginginkan bahwa ini milik saya tidak boleh diambil atau diberikan oleh siapa pun. Sementara ini hanya menyangkut persoalan masalah ikan di mana sang bapak memberikan amanah kepada sang ibu bahwa setelah ikan ini saya belah dan saya garami, dan menjadi ikan kering jangan sekali-kali menyerahkan kepada siapa pun tanpa terkecuali kamu dan anak-anakmu ini adalah milik saya, ini menunjukkan betapa arogannya sang bapak, di sisi yang lain seorang ibu yang merasa terharu dengan tangisan anaknya yang sangat menginginkan ikan itu. Sang ibu pun merasa iba maka ia mencampakkan amanah dari suaminya itu ia pun mematahkan ekor ikan itu dan memberikan kepada anaknya. Ketika diketahui oleh suaminya sang bapak pun membentak, memarahi, bahkan sampai memukul sang istri hingga pingsan, dan ini menandakan begitu tinggi egoisme sang bapak yang mana anaknya yang meminta yang notabenenya hasil
73 tangkapan dia. Tetapi saking egonya yang begitu tinggi tidak mau memberikan walaupun itu kepada istri dan anak-anaknya.” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Penuturan Laode Muhamad Arsal di atas menggambarkan betapa otoriternya seorang ayah saat menunjukkan siapa yang berkuasa. Orang tua tipe otoriter cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Orang tua mungkin berpendapat bahwa anak memang harus mengikuti aturan yang ditetapkannya karena apa pun peraturan yang ditetapkan orang tua semata-mata demi kebaikan anak (Baumrind dalam Roudhotul 2012:85). Ciri-ciri gaya pengasuhan otoriter menurut Badingah (1993: 37), yaitu kekuasaan orang tua dominan, anak tidak diakui sebagai pribadi, kontrol terhadap tingkah laku anak sangat ketat, orang tua menghukum anak jika anak tidak patuh. Akibatnya, bagi anak menurut Alibata (2002: 1) anak dengan pola asuh otoriter akan menjadi tergantung, pasif, kurang bisa bersosialisasi, kurang percaya diri, kurang memiliki rasa ingin tahu, dan kurang mandiri.
5.4 Kekerasan Fisik Selain kekerasan verbal atau kekerasan simbolik di dalam teks cerita Wandiudiu ditemukan juga bentuk kekerasan fisik. Sang ayah meluapkan amarahnya kepada istri dan anak-anaknya denga memukul istrinya. Demikian teks Wandiudiu menyebutkan bagaimana kekerasan tersebut terjadi. ”Amasiyakamea yincaku ronamo atangi te arambi-rambitaka karona pelu mpu kaasi bea kande yikane kawolemu. Kualakamea kutompoakea saide o lencina. Arango o lawanina bawinena sumay yinda amaura amarana,tabeana soarangani amarana.Yindamo amatau yincana alaakamea parewana tanuana kabebeaka bawinena sumay sampe amakatu-katu. O pamurubawunamo o amana Wa Turungkoleo sumay membaliakanamo badana bawinena o yinana
74 manga anana sumay soa satente-tentemo duka atirimo raa iyangona te talingana” ”Mendengar jawaban istrinya itu, amarahnya tidak mereda, tetapi semakin menjadi-jadi. Dalam keadaan tidak sadar diambilnya perkakas tenun lalu dipukulkannya kepada istrinya sampai patah-patah. Amukan membabi buta ayah Wa Turungkoleo itu menyebabkan badan istrinya babak belur sampaisampai pula meneteskan darah dari hidung dan telinganya.” Saat kekerasan ini terjadi tidak diceritakan apakah anak-anak berada di sekitar rumah atau sedang bermain di luar. Akan tetapi kekerasan fisik berdampak kepada anakanak setelah tercabutnya kasih sayang ibu kepada anak-anak pascakepergian sang ibu. Kekerasan fisik dalam teks cerita Wandiudiu terjadi dalam sebuah rumah yang merupakan simbol privasi yaitu urusan-urusan domestik tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Sehubungan dengan itu kekerasan dalam rumah tangga sering tidak terungkap karena masalah etika pergaulan membatasi masyarakat untuk terlibat dalam urusan rumah tangga orang lain. Rumah juga menyimbolkan perlindungan, dalam hal ini sang suami gagal memberikan perlindungan bagi anggota keluarganya. Akan tetapi sikap permisif masyarakat umumnya menerima kekerasan dalam rumah tangga sebagai bagian dari kewajaran dalam mengurus rumah tangga. Pemukulan itu merupakan bagian dari pendisiplinan yang bertujuan mengajarkan kepatuhan terhadap peratuaran atau tunduk pada pengawasan dan pengendalian oleh pemimpin rumah tangga. Dalam ranah privat, seperti perkawinan, istri yang mengalami kekerasan justru tidak melaporkan kepada yang berwenang karena takut akan diceraikan. Masyarakat juga akan berburuk sangka bila sang istri membuka aib keluarga dan menganggap pemukulan terjadi karena sang istri yang tidak patuh.
75 Dalam keterangannya L.M. Budi Wahidin juga menjabarkan tugas dan fungsi istri terbatas hanya dalam rumahnya. Bila sang suami memiliki istri lain di luar rumah, sang istri tidak memiliki hak mencampuri urusan suaminya. ”Adik Waturungkoleo yang berusia sekitar tiga tahunan namanya Lambatambata. Jadi, yang mengerti kehidupan keluarga anak pertama yang tua, diabadikan dalam nyanyian oleh anak pertama, ibu mengambil peranan anak bukan anak laki-laki tetapi anak perempuan. Hal ini timbul kesan bahwa ternyata urusan dalam rumah itu, urusan perempuan. Mengapa peran laki-laki tidak muncul dalam cerita itu karena anak laki-laki dalam kultur masyarakat Buton di luar rumah urusannya. Sehingga timbul sebuah slogan ada dari orang tua saya dengar bicara kalau keluarga yang utuh jangan ada paham kesan selingkuhan. Jadi, begini seorang ibu harus sadari tidak boleh ketika masuk di dalam rumah hakmu itu suamimu, ketika keluar rumah itu sudah hak orang banyak. Itu maksudnya dia mau bikin apa di luar sana itu bukan urusanmu tidak usah kau pusingkan sudah milik orang banyak, dalam rumahmu hakmu terserah kamu mau apakan itu suamimu.” (Wawancara 13 November 2014) L.M. Budi Wahidin juga mengugkapkan sebuah istilah yang dalam bahasa Buton disebut miana bhanua miana rapu artinya kepala rumah tangga urusan dapur. Istilah ini berlaku juga bagi keluarga poligami yang tinggal serumah, yaitu sang istri pertama mendapatkan hak untuk mendampingi suaminya berpergian keluar, sedangkan istri kedua mengurus rumah tangga. Menurut L.M. Budi Wahidin sang istri harus siap dimadu karena hal itu merupakan kesepakatan dalam adat istiadat dan merupakan perintah agama. ”Walaupun istri ditinggal beberapa tahun oleh suami ia tetap setia menunggu dan tidak boleh menuntut meskipun dalam syariat Islam sebenarnya sudah salah. Namun, karena ada kesepakatan dan perjanjian yang sudah bangun bersama sebelumnya karena peran bapak mencari uang (nafkah) ketika datang menikah lagi banyak seperti itu tetapi dianggap halal karena agama membolehkan hal itu, mengapa agama membolehkan daripada dia berzina lebih baik dia menikah, makanya terkenal cerita Buton tentang La Ode Ngkorodo itu lebih anaknya hampir seratus orang.” La Ode Ngkorodo yang
76 memiliki anak lebih seratus orang, istrinya tiga puluh orang, mengapa demikian ? Karena pada dasarnya orang Buton itu adalah pelaut, dimana ia tiba disitu ia menikah karena dia tidak mau berzina, lantas istri-istrinya itu ketika ia berlayar lagi dia tinggalkan tetapi mereka tidak pernah menuntut seperti apa yang dituntut oleh agama hari ini, para istri juga paham bahwa orang Buton itu adalah bangsa pelaut sehingga tidak ada komplen. Hal itu juga untuk menghindari perselingkuhan seperti apa yang banyak terjadi saat ini, sedangkan pada orang Jawa Barat dan yang namanya nikah kontrak (nikah mut’aah ) di Buton tidak mengenal itu, yang jelas nikah itu seumur hidup malah kita tidak pernah mendengr cerita tentang angka perceraian orang Buton karena lama ditinggal suami. Hal itu tidak pernah terjadi.” (Wawancara, 13 November 2014) Budaya masyarakat Buton menganut budaya patriarki, yaitu dominasi suami atas istri di atas segala- galanya sehingga kekerasan diartikan sebagai konstruksi dari bentuk hegemoni maskulinitas. Ada banyak ungkapan yang terdapat dalam budaya terkait masalah ini sehingga melanggengkan pula perilaku kekerasan. Adanya praktik budaya Buton telah membuat kuasa suami superior atas istri. Sistem budaya Buton telah mengatur relasi hubungan suami istri sedemikian rupa sesuai dengan pandangan hidup mereka dan berdasarkan ajaran agama. Dalam hal ini Khairrudin menduga bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah warisan budaya. “Ada hal yang perlu disampaikan ternyata persoalan kekerasan dalam rumah tangga itu sudah ada sejak dulu yang saat ini dikenal dengan sebutan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga ), ternyata KDRT yang kita kenal hari ini itu adalah warisan nenek moyang kita dahulu. Dalam sejarah Buton itu ditemukan, tetapi hal ini menjadi kurang bagus.” (Wawancara, 5 November 2014) Dalam beberapa kasus,
sistem budaya melanggengkan kekerasan. Brown
(dalam Setiadi 2006:5) yang meneliti kekerasan pasangan intim khususnya perempuan, mendefinisikan pemukulan istri sebagai bentuk kesengajaan oleh lakilaki dengan menimbulkan rasa sakit pada perempuan. Brown melihat adanya praktik
77 budaya yang sering diterapkan dan dianggap sebagai teguran fisik sehingga ditoleransi saja oleh pasangan perempuan. Berdasarkan cerita Wandiudiu, diketahui bahwa secara psikologis kekerasan fisik yang dilakukan sang ayah kepada sang istri tidak hanya terjadi sekali saja. Ada jejak-jejak kekerasan yang tidak muncul dalam teks, tetapi dapat dinalar. Titik klimaks kekerasan yang berulang-ulang menyebabkan sang istri mengambil keputusan meninggalkan rumah. Laode Inggi menjelaskan bagian kekerasan dalam teks Wandiudiu seperti di bawah ini. “Setelah sang suami melakukan KDRT terhadap sang istri akibat dari perbuatan sang anak yang menangis tiada hentinya, dan akhirnya sang ibu yang terlalu cinta terhadap anaknya rela dan berani memotong ekor ikan sang suami yang telah menyampaikan bahwa ikan tersebut tidak boleh diberikan oleh siapa pun yang membutuhkannya sekalipun anak dan istrinya. Karena keinginan sang anak sesaat yang akibatnya rumah tangga mereka pun berantakan dan berujung pada penderitaan anak-anak mereka yang tidak mendengarkan orang tuanya.” (Wawancara, 20 Oktober 2014) Dari pernyataan Laode Inggi, tampak ada kemungkinan bahwa sang istri berani mengambil resiko menghadapi kekerasan fisik karena sudah terbiasa mengalaminya dan sering terjadi dalam rumah tangganya. Pengorbanan terhadap anak lebih utama daripada keselamatan tubuh dan jiwanya. Penggambaran sosok perempuan seperti ini merupakan hal yang lazim dalam budaya patriarki. Kekerasan fisik yang dikonstruksi dalam wacana tradisional yang patriarki seperti cerita Wandiudiu dapat terwujud dalam realitas kehidupan. Dalam budaya patriarki, laki-laki diperbolehkan menggunakan berbagai cara, termasuk kekerasan untuk
mengendalikan
perempuan
dan
anak-anak.
Melalui
kekerasan,
78 keterbelakangan dan ketergantungan perempuan dan anak-anak serta kekuatan, dominasi laki-laki tetap dapat dipertahankan (Bograd, 1988 dalam Dutton, 2007: 299-316). Menurut Bripka Joni Samuel dari kepolisisan, kasus-kasus kekerasan yang melibatkan keluarga di Lakudo Buton bertedensi semakin sering terjadi. ”Perbuatan asusila sering terjadi. Korban di sini rata-rata keluarga dekat, dan pelaku sudah berkeluarga dan rata-rata umur menginjak kepala enam dan korban mayoritas di bawah umur maka dari itu kami terapkan undang-undang perlindungan anak. Dari hasil investigasi korban itu masih ada hubungan keluarga dan yang melatarbelakangi terjadinya asusila dikarenakan kesepian semata sehingga ia berbuat seperti itu dan dari pihak perempuan rata-rata di bawah tekanan dan acaman kekerasan dan ada juga iming-iming, ada juga yang duduk di bangku SD yang umurnya sekitar 12 tahun 11 tahun, tetapi tiga tahun kemudian baru dilaporkan. Tetapi itu sudah selesai semua, sudah vonis.” (Wawancara, 13 Oktober 2014) Pernyataan Bripka Joni Samuel di atas menegaskan bahwa keluarga adalah objek dari relasi kekuasaan yang diwujudkan dalam kekerasan. Dalam keluarga, tidak hanya terjadi ketimpangan relasi gender yang mereproduksi diri menjadi relasi kuasa ayah (orang tua) dengan anak. Superior laki-laki dalam budaya patriarki berasal dari dogma maskulinitas dalam sistem budaya. Dalam masyarakat Buton dogma maskulinitas terlihat pada pemberian istilah tolaki pada sosok pria yang berkonotasi jantan dan seperti pahlawan. Darwin (2001; 29) mengemukakan bahwa timbulnya kemaskulinitasan pada budaya patriarki karena adanya anggapan bahwa laki-laki menjadi sejati jika ia berhasil menunjukkan kekuasaannya atas perempuan.