BAB VI FUNGSI WACANA OTORITARIAN AYAH PADA ANAK DALAM CERITA WANDIUDIU
Cerita Wandiudiu adalah produk tradisi lisan masyarakat Buton yang kemudian dituliskan dalam berbagai versi. Cerita ini sudah cukup lama usianya dan telah mengakar dalam hati sanubari masyarakat Buton khususnya di Kecamatan Lakudo. Selama ini masyarakat menggunakan cerita Wandiudiu untuk berbagai tujuan dalam rangka membentuk moral masyarakat dan kepentingan yang berhubungan dengan kegiatan berkebudayaan. Dalam bab ini fungsi wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu diuraikan kedalam tiga subbab. Ketiga subbab yang dimaksud adalah (1) media pendidikan anak dan peserta didik; (2) kontrol sosial; dan (3) media hiburan dan penghantar tidur. 6.1 Media Pendidikan Anak dan Peserta Didik Cerita Wandiudiu secara pragmatis berfungsi sebagai media pendidikan anak dan peserta didik. Beberapa dekade yang lampau cerita Wandiudiu akrab bagi anggota keluarga, dimana orang tua masih memiliki waktu untuk bercerita di sore hari kepada anak-anak. Cerita Wandiudiu menjadi alat atau sarana belajar yang digunakan masyarakat tradisional Buton karena memberikan inspirasi membentuk prilaku masyarakat. Penggunaan cerita Wandiudiu kemudian meluas menjadi alat atau medium pembelajaran di sekolah terutama dalam matapelajaran budi pekerti.
79
80 Ketercapaian dalam proses belajar mengajar ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku yang diharapkan adalah perubahan bersifat
pengetahuan
(kognitif),
keterampilan
(psikomotor),
maupun
yang
menyangkut nilai dan sikap (afektif). Untuk mendukung ketercapaian tujuan pendidikan diperlukan prasarana pendidikan. Media pembelajaran menurut Rodhatul (2009: 13) merupakan prasarana pendidikan yang mampu memberikan motivasi belajar peserta didik. Kekayaan tradisi lisan dan tulisan tradisional Indonesia dapat memperkaya proses pembelajaran. Salah satu ragam sastra yang kaya akan khazanah pengetahuan tentang kebudayaan, sistem pengetahuan, nilai, dan cara pandang terhadap dunianya masyarakat pemilik sastra tersebut adalah cerita rakyat. Cerita rakyat merupakan prosa rakyat yang sarat dengan simbol-simbol sistem kebudayaan, pengetahuan, nilai dan cara pandang terhadap dunia masyarakat pemiliknya. Cerita rakyat merupakan bentuk tertua dari sastra romantik dan imajinatif, fiksi tak tertulis dari manusia masa lampau dan manusia primitif di semua belahan dunia (Macculoch dalam Bunanta, 1998: 22). Cerita rakyat juga didefinisikan sebagai kesusastraan dari masyarakat primitif yang belum mengenal huruf. Hurlimann (dalam Bunanta, 1998: 22--25) mengatakan bahwa cerita rakyat merupakan nenek moyang sastra naratif. Cerita rakyat juga diyakini sebagai bentuk dasar dari sastra dan seni pada umumnya sehingga motif-motif cerita rakyat dapat dipinjam dan menciptakan cerita baru (Luthi dalam Bunanta, 1998: 22).
81 Penggunaan medium bercerita di sekolah-sekolah di Kecamatan Lakudo sudah berlangsung lama. Pendidik dalam hal ini guru masih menaruh perhatian terhadap cerita-cerita rakyat, seperti cerita Wandiudiu. Almujazi sebagai seorang penutur yang dianggap memahami cerita ini mengungkapkan ketertarikan sekolahsekolah di Lakudo Buton terhadap cerita Wandiudiu. ”Yang tahu dan ingat ada beberapa guru yang pernah datang menemui saya menanyakan tentang cerita Wandiudiu ini, mengenai apakah kemudian para guru tersebut menjadikan itu sebagai bahan ajar di sekolah atau tidak saya belum tahu persis, termasuk mereka pernah wawancarai saya, tetapi yang jelas sepertinya mereka ada niat untuk itu.” (Wawancara 12 November 2014) Menurutnya, ada banyak manfaat yang dipetik dengan menggunakan cerita Wandiudiu sebagai medium pembelajaran budi pekerti: ”Tentu saja cerita ini dapat dijadikan medium pembelajarah. Contohnya seperti sikap, moral, akhlak, sejujurnya jika mereka meresapi cerita ini maka alangkah indah dan bahagianya. Namun karena kurang diperhatikan ya akhirnya begitu jadinya. Padahal, cerita ini jika dihayati sangat mengandung pendidikan budi pekerti.” (Wawancara, 12 November 2014) Sebagai media pembelajaran, Laode Muhammad Arsal melihat ada pengaruh penggunaan cerita rakyat Wandiudiu dalam pendidikan, keluarga, dan sekolah. ”Berbicara proses pendidikan di sekolah yang berkaitan dengan proses pembelajaran akhlak yang seperti ini hanya orang-orang tertentu yang memahami cerita itu terbatas hanya kalangan guru-guru pembimbing atau guru-guru sejarah, tetapi secara global/universal tidak akan mungkin diceritakan oleh seluruh guru yang ada di dalam sekolah itu, dan hanya guruguru pembimbing atau sejarawan saja sehingga kita bisa mengambil inti sari cerita ini yang mungkin dapat diaplikasikan anak-anak. Bahwasanya jangan sampai memaksakan kehendak orang tua yang kemungkinan berbentur dengan hal-hal yang tidak mungkin dikehendaki orang lain seperti tadi dan itu adalah figur seorang lambatambata yang sesungguhnya masih sangat kecil, tapi dengan segala kondisi keadaan di sana ia tidak dimanjakan dengan makanan
82 yang serba mewah seperti dijajankan di toko-toko atau warung. Akan tetapi ada ikan yang sudah dimasak, tetapi pada saat yang bersamaan ia hanya melirik ikan yang masih digantung di parapara itu yang menginginkan ikan itu. Menurut kacamata agama merupakan sebuah ujian bagi keluarga itu menurut penutur “ada ikan akan tetapi mengapa ada ikan masak, tetapi kenapa di antara masakan itu ia hanya melihat ikan kering dan itulah yang disebut ujian bagi keluarga ia harus apakah kita itu lebih mencintai benda yang kita miliki ketimbang anak yang telah menjadi titipan Allah.” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Penuturan Laode Muhammad Arsal menunjukkan bahwa teks cerita Wandiudiu mampu menginspirasi anak-anak atau generasi muda yang kini berada dalam kepungan informasi global. Cerita yang lahir dari rahim kebudayaan lokal tetap mampu menapakkan kakinya di tengah hiruk pikuk nilai-nilai modernitas. Berdasarkan teori Hermeneutika Recour, diketahui bahwa teks selalu mengalami pelepasan konteksnya dari kondisi sosiohistoris pengungkapannya semula, karena itu teks selalu membuka diri sendiri terhadap seri pembacaan yang tidak terbatas (Ricouer, 1981: 182--193). Oleh karena itu pesan-pesan dalam cerita ini masih mampu memproduksi praktik-praktik kehidupan masyarakat pendukungnya. Laode Muhammad Arsal mengungkapkan bahwa masyarakat Lakudo Buton masih membutuhkan cerita Wandiudiu sebagai pengingat karena nilai-nilai yang termaktub di dalamnya. ”Cerita ini masih berlaku hingga akhir zaman, mengapa? Karena dapat dimaknai sebuah pembelajaran, sebuah pendidikan yang paling berharga di antara suami, istri, dan anak. Ini adalah suatu pembelajaran bagi kita untuk memberikan pelajaran pada anak-anak kita kelak. Ketika kita berhubungan dengan hak-hak orang lainnya sekalian itu janganlah semerta merengek, membanting diriya memaksakan kehendaknya tapi anak juga diberikan pembelajaran bahwa “ Nak, ini ikannya ayahmu, nanti ia pulang dulu baru kita minta izin “ tutur sang ibu, dan ini merupakan pembelajaran bagi kita, bahwa ketika kita berhubungan dengan keinginan dan harapan kita itu yang
83 berbenturan dengan harapan dan keinginan yang menjadi pemiliknya, itu tidak serta merta kita melanggar aturannya dan kemudian kita memberikan pada anak yang kita cintai. Disisi yang kedua pembelajaran bagi ibunya untuk tidak membangkang dan melanggar perintah dari pada suaminya,yang notabene bahwa seorang istri masuk surga karena patuh pada suaminya dan itu tidak melakukan kepatuhan dan pembelajaran bagi suaminya untuk memberikan amanah kepada istrinya, yang artinya seorang suami itu menjadi pengayom dan pelindung, bukan berarti menjadi musuh yang memukul sang istri hingga babak belur dan menyiksanya, dalam ajaran agama tidak dikehendaki perbutan tersebut, dari tiga komponen yang menjadi syarat dan nilai-nilai didikan di dalamnya sehingga cerita ini dari dulu hingga sekarang ada relevansinya” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Keseluruhan cerita Wandiudiu mengandung makna sehari-hari yang masih relevan dengan konteks kekinian. Melalui proses rekontruksi, pesan-pesan cerita ini menemukan jejaknya dalam praktik-praktik kehidupan masyarakat. Para pembacanya akan menemukan pengalaman
tentang dunia yang dihidupinya. Pesan yang
disampaikan cerita ini adalah keinginan semua orang tua terhadap anaknya agar memiliki moral dan perilaku yang baik sesuai dengan ajaran agama. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Danandjaya (2007: 21) bahwa cerita rakyat berfungsi sebagai alat pendidik dan proyeksi keinginan terpendam masyarakat. Kekuatan cerita rakyat dilihat dari penutur cerita yang hidup mengakar dengan budaya setempat. Para pendahulu di setiap masyarakat di mana pun selalu menanamkan nilai-nilai dan konsepsi-konsepsi yang kemudian diyakini sebagai blueprint yang menjadi penuntun dalam perjalanan hidupnya. Nilai dan konsepsi itu menjadi pedoman dalam tingkah laku. Tingkah laku setiap individu dan kelompok serta ekspresi-ekspresi simbolik mereka telah banyak diteliti oleh para ahli ilmu-ilmu sosial untuk melihat lebih jauh proses dan tujuan pewarisan nilai dan konsepsi
84 tersebut. Clifford Geertz mengatakan bahwa sistem pewarisan konsepsi dalam bentuk simbolik merupakan cara bagaimana manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan (Geertz, 1973: 89). Laode Muhammad Arsal menggambarkan cerita Wandidudiu hadir dalam kehangatan hubungan keluarga yang menyatukan mereka ke dalam aktivitas keseharian. “Momen yang tepat yang dilakukan penutur untuk menceritakan cerita legenda atau cerita rakyat di tanah Buton ini pada saat sang anak sedang tidak bermain di luar rumah atau sedang tidak berada di sekolah atau pada pagi hari penutur menceritakan pada anak-anaknya agar sang anak mencintai cerita itu. Akan tetapi lebih banyak waktu malam saat anak akan tidur dengan mulai memancing pertanyaan terlebih dahulu kemudian bercerita agar pemikiran mereka dapat merekam bahwasanya masih ada cerita Buton yang tidak mesti dilupakan sampai hari ini.” (Wawancara, 26 Oktober 2014 ) Dari penuturan Laode Muhammad Arsal di atas terungkap bahwa cerita rakyat seperti Wandiudiu menjadi medium yang menyatukan keluarga, menanamkan nilai-nilai dalam keluarga, dan membangkitkan atau menambahkan kebanggaan orang terhadap keluarga, suku, atau kesamaan entitas dalam budaya. Cerita rakyat dapat membantu membentuk kepribadian anak. Menurut Saxby (1991: 80--100) karya sastra memberikan dukungan terhadap pertumbuhan berbagai pengalaman (rasa, emosi, bahasa), personal (kognitif, sosial, etis, spiritual) eksplorasi dan penemuan, tetapi juga petualangan dalam kenikmatan (Saxby dan Winch, 1991: 5--10). Sementara itu, Huck dkk. (1987: 6--14) mengungkapkan bahwa nilai sastra anak secara garis besar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu nilai personal (personal values) dan nilai pendidikan (educational values). Norton (1985: 7--15) mengungkapkan bahwa ketika seorang anak mendapatkan kesenangan melalui buku,
85 dia akan menentukan sikapnya untuk lebih banyak menaruh perhatian pada buku bacaan. Karena sangat efektif dalam membentuk kepribadian anak, medium cerita rakyat mendapat perhatian para pelaku pendidikan di sekolah. Dengan memasukkan medium cerita rakyat dalam kurikulum pengajaran merupakan sebuah usulan yang harus didengarkan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sebenarnya telah mempersiapkan grand design Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT) berbasis muatan lokal sebagai bahan ajar pelengkap bidang kebudayaan di mana cerita-cerita rakyat mendapat tempat. Menurut Laode Muhammad Arsal perlu ditambah kegiatan memperkenalkan cerita rakyat bukan hanya di sekolah melainkan dalam bentuk ekspresi budaya lainnya. ”Medium yang melalui sekolah/ pembelajaran pendidikan di sekolah, kendati itu cuma sesaat, tapi dilakukan berulang-ulang apakah melalui tayangan drama, itu sangat mempengaruhi pola pikir anak-anak untuk dapat mengaplikasikan dikehidupan sehari-hari, tetapi itu tidak cukup di sekolah dalam berbagai even, festival budaya, dan sebagainya itu harus berulangulang karena sesuatu yang kita pertontonkan berulang-ulang disatu sisi daya serap akan semakin terjiwai. Akan tetapi, misalnya hanya sebatas di sekolah itu tidak cukup, akan tetapi media yang terbaik adalah di rumah karena sang anak suka mendengar cerita yang berulang-ulang, dan ini bukan hanya sekadar cerita saja, tetapi pemaknaannya sangat bermanfaat.” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Penuturan
Laode Muhammad Arsal secara implisit memercayai bahwa
medium cerita rakyat yang diperdengarkan di rumah dan di sekolah mampu menciptakan generasi yang ideal seperti yang diharapkan. Informan juga yakin bahwa sekolah menjadi entry point dalam perubahan. Menurut Hamalik (2007: 62), sekolah merupakan agen perubahan (change agents) dalam rekonstruksi sosial. Dewey (dalam Gutek, 1974: 112) menekankan perlunya merekonstruksi pengalaman, baik pribadi
86 maupun sosial. William O. Stanley dan Theodore Brameld (dalam Hamalik, 2007: 62--65) menyepakati dasar-dasar, seperti (1) pendidikan, secara budaya didasarkan dan tumbuh dari pola budaya spesifik yang dikondisikan dengan hidup pada waktu tertentu di tempat tertentu, (2) budaya, sebagai proses dinamis, berkembang dan berubah, (3) manusia dapat membentuk dan memoles budayanya sehingga dapat dioptimalkan bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia.
6.2 Kontrol Sosial Kontrol sosial dapat diartikan sebagai pengawasan sosial, yaitu sistem yang mendidik, mengajak, bahkan memaksa warga masyarakat agar sesuai dengan normanorma yang berlaku. Norma-norma sosial itu sendiri mengandung harapan-harapan dan standar perilaku. Sehubungan dengan itu, masyarakat diharapkan berperilaku atau conform dengan norma-norma sosial. Ada banyak sumber yang dapat menjadi rujukan norma-norma sosial salah satu di antaranya adalah cerita rakyat. Karya sastra, termasuk di dalamnya cerita rakyat, merupakan suatu miniatur sosial. Sebagai sebuah miniatur, karya sastra berfungsi untuk menginventarisasi berbagai kejadian yang telah dikerangkakan dalam pola-pola kreativitas dan imajinasi. Kejadian-kejadian tersebut dalam karya sastra merupakan prototipe kejadian yang pernah dan mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kualitas responsif dan representatif, entitas, dan integritas karya sastra di tengah-tengah masyarakat mengandung arti bahwa karya sastra secara keseluruhan mengambil bahan di dalam dan melalui kehidupan masyarakat. Sastra juga memandang cerita
87 rakyat merupakan bagian integral struktur sosial. Khairuddin mengungkapkan bahwa cerita ini memiliki makna mendalam dalam membina sebuah keluarga. ”Dalam budi pekerti bagaimana dampaknya, setiap pendengar cerita ini pada saat tersebut sangat menyadari akan maksud dan makna yang terkandung dalam cerita tersebut. Sebab kita manusia sering melihat, jadi cerita ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran bahwa suatu saat ketika kita tertimpa musibah di laut kita berharap ikan duyung ini dapat membantu/ menyelamatkan kita ketika terjadi sesuatu di laut. Dampak positif dari cerita ini orang banyak menyadari bahwa memang seharusnya jika terjadi selisih paham dalam sebuah keluarga agar diselesaikan dengan baik-baik tanpa harus dengan cara melakukan kekerasan yang membabi buta.” (Wawancara, 20 Oktober 2014) Dalam hal ini
Khairuddin mengisyaratkan bahwa cerita rakyat berperan
membentuk watak masyarakat. Menurut Manan (1989: 2), salah satu fungsi kebudayaan dalam hal ini termasuk cerita rakyat, yaitu sebagai pengendalian sosial. Cerita rakyat memiliki fungsi-fungsi sosial yang merupakan realitas kehidupan dan bermanfaat sebagai alat untuk mengendalikan kehidupan sosial suatu masyarakat. Bascom (dalam Dananjaja, 2007: 51) mengatakan bahwa ada empat fungsi cerita dalam pendidikan, yaitu (a) sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesah pranata-pranata dan lembagalembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan pada anak didik, (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Fokus Ricoeur (1976: 1--17) menyatakan bahwa tafsir teks secara hermeneutika adalah wacana dalam teks “So, the key idea will be the realization of discourse as text; and elaboration of the catagories of the text will be the concern of
88 sebsuquent study”. Ide utama adalah realisasi wacana sebagai teks dan menjelaskan kategori teks adalah perhatian dari studi selanjutnya. Terkait dengan teks Wandiudiu yang mengandung wacana otoritarian ayah terhadap anak, dalam teks tersebut ditemukan ekspresi otoritarian ayah yang menuntut kepatuhan penuh anggota keluarga. Artinya ayah yang merasa berkuasa, tetapi di sisi lain ada anak tidak berdaya. “Ambilkan saja anak-anak ikan lure yang telah saya keringkan itu, tengiri kering itu jatah bagian saya, jangan berani disentuh, jangan berani diambilambil! (www.kompasiana.com. diakses 10 Januari 2015) Ekpresi tersebut dapat bermakna ancaman “ apabila anak tidak mengikuti aturan ayah maka anak akan menjadi korban kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis”. Termasuk komunikasi dengan nada
atau tone tinggi dalam teks dapat
mengimplikasikan bahwa sebuah kekerasan sedang terjadi. Karya sastra seperti cerita Wandiudiu tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat pendukung nilai-nilai kebudayaan Buton karena cerita ini menyajikan kehidupan dan sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial (masyarakat) Buton. Menurut Wellek dan Warren (1989: 111), karya sastra “menyajikan kehidupan”,, dan “kehidupan” sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga “meniru” alam dan dunia subjektif manusia. Pengarang cerita Wandiudiu dalam menciptakan karyanya dipengaruhi dan memengaruhi masyarakat, karya tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Hal itu berarti bahwa ada peluang masyarakat (pembaca) meniru gaya hidup tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam karya.
89 Oleh karena itu, Khairuddin menganggap cerita Wandiudiu ini sanggup memberikan nilai atau dampak tersendiri bagi masyarakat. “Dalam budi pekerti bagaimana dampaknya, setiap pendengar cerita ini pada saat tersebut sangat menyadari akan maksud dan makna yang terkandung dalam cerita tersebut. Sebab manusia sering melihat jadi cerita ini, kita dapat mengambil sebuah pelajaran bahwa suatu saat ketika kita tertimpa musibah di laut kita berharap ikan duyung ini dapat membantu/ menyelamatkan kita ketika terjadi sesuatu dilaut. Dampak positif dari cerita ini orang banyak menyadari bahwa memang seharusnya jika terjadi selisih paham dalam sebuah kelurga agar diselesaikan dengan baik-baik tanpa harus dengan cara melakukan kekerasan yang membabi buta.” (Wawancara, 20 Oktober 2014) Dampak cerita Wandiudiu terhadap perilaku orang Buton khususnya terkait dengan upaya membina keluarga seperti
yang dikemukakan
oleh
Khairuddin
berhubungan dengan fungsi sosial cerita rakyat. Menurut Semi (1984:10--14) cerita rakyat memiliki empat fungsi sosial, yaitu (1) menghibur adalah suatu karya sastra yang diciptakan berdasarkan keinginan melahirkan suatu rangkaian berbahasa yang indah dan bunyi yang merdu saja, (2) mendidik adalah suatu karya sastra yang dapat memberikan pelajaran tentang kehidupan karena sastra mengekspresikan nilai-nilai kemanusiaan seperti yang terdapat dalam agama. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Almujazi seperti berikut: “Ya tentu saja medium bercerita dapat memberikan pendidikan budi pekerti bagi masyarakat, contohnya seperti sikap, moral, akhlak, sejujurnya jika mereka meresapi cerita ini maka alangkah indah dan bahagianya. Namun, karena kurang diperhatikan ya akhirnya begitu jadinya. Padahal, cerita ini jika dihayati sangat mengandung pendidikan budi pekerti.” (Wawancara, 12 November 2014) Seperti yang disampaikan
Almujazi di atas, bahwa nilai-nilai yang
disampaikannya lebih fleksibel. Di dalam sebuah karya sastra yang baik akan
90 ditemukan unsur-unsur ilmu filsafat dan ilmu kemasyarakatan. Selain itu, cerita rakyat mewariskan suatu karya sastra yang dijadikan alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa dalam arti yang positif. Tradisi itu memerlukan alat untuk meneruskannya kepada masyarakat sezaman dan masyarakat yang akan datang. Cerita rakyat juga berbicara tentang jati diri, yaitu suatu karya sastra yang menjadikan dirinya sebagai suatu tempat di mana nilai kemanusiaan mendapat tempat yang sewajarnya, dipertahankan, dan disebarluaskan, terutama di tengah-tengah kehidupan modern yang ditandai dengan menggebu-gebunya kemajuan sains dan teknologi. “Anak-anak sangat senang mereka mendengar cerita tersebut, apalagi jika kemudian setelah mendengar cerita ini lalu mereka bisa mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka sehari-hari luar biasa manfaatnya, apalagi jika mereka memahami lebih dalam makna yang terkandung di dalamnya. Cerita Wandiudiu berbicara tentang kita masyarakat Buton.” (Wawancara, 12 November 2014) Menurut
Almujazi, cerita Wandiudiu mengandung pesan-pesan yang
bermanfaat buat kehidupan. Barbour (dalam Esten 1999: 10) menganggap cerita rakyat sebenarnya berisikan mitos. Mitos tersebut mengembangkan integritas masyarakat, memadu kekuatan kebersamaan untuk solidaritas sosial, membentuk indetitas kelompok, dan sebagai unsur harmonisasi komunal. Menurut Sumardjo (1986: 64), sastra sebagai pembentuk peradaban, mengisyaratkan adanya relasi nilai antara karya sastra dan masyarakatnya. Alam pikiran dan tata nilai dalam sastra dibutuhkan untuk pedoman hidup bersama. Dalam masyarakat yang homogen, kelompok etnik, peran sastra yang demikian itu amat signifikan, tetapi dalam masyarakat modern perkotaan yang heterogen, kebutuhan tata nilai dapat berbeda-
91 beda untuk setiap kelompok sosial. Hal ini sejalan dengan penuturan Khairuddin berikut: “Saya melihat pentingnya cerita Wandiudiu begini dalam konteks yang lebih luas persoalan kemasyarakatan hari ini harus didekatkan dengan pendekatan budaya karena bisa kita lihat Buton sejak dulu itu kan multi. Tetapi karena pendekatan yang digunakan oleh pemimpin negeri ini pendekatan budaya itu baik-baik saja perjalanannya. Kalau hari ini kan tidak pendekatannya lebih pada persoalan nilai ekonomi, di mana ketika perut masih kenyang masalah tidak ada, tetapi begitu selesai masalah malah dibuat karena pendekatan yang dibuat bersifat sementara. Nah oleh karenanya, mengapa orang-orang tua kita ketika menyelesaikan masalah menggunakan pendekatan budaya karena itu sangat mengakar karena mengenai dirinya, dan itu sebagai perekat. Bayangkan Buton ini ada 72 kadewa itu direkatkan dengan budaya, filsafatfilsafat: po binci-binciki kuli itu, sampai hari ini orang yang ada di Kalimantan saja mereka kalau sudah mengatakan bahwa Kabarakatina Tanah Wolio selesai misalnya. Artinya apa? Bahwa betul- betul karena persoalan budaya yang sudah mengakar, melekat pada dirinya dan itu tidak gampang. Nah oleh karenanya, saya melihat memang dalam semua persoalan harus dilakukan dengan pendekatan aspek budaya tidak ada tawar-menawar. Kita memang sejak kecil dulu tidak ada hukum tertulis yang diacu hanya memang normanorma yang memang didekatkan dengan budaya. Memang dinamika kehidupan harus memahami itu. Hari ini kan sudah lepas pendekatan budaya, yang ada pendekatan ekonomi bukan pendekatan budaya itu masalahnya. terlepas apakah itu desakan kehidupan atau apa, tetapi kita masyarakat Buton itu perekatnya lebih pada budaya.” (Wawancara, 5 November2014) Penuturan Khairuddin di atas berimplikasi lebih luas, dia memandang cerita Wandiudiu sebagai kritik sosial. Khairuddin berkeluh kesah tentang hilangnya sentuhan kebudayaan oleh lembaga pemegang otoritas dan pengambil kebijakan yang selalu berorientasi ekonomi dalam menyelesaikan persoalan masyarakat. Dalam hal ini Danandjaya (2007: 86) dan Dundes (dalam Sadikun 2001: 109) menganggap bahwa cerita rakyat juga berfungsi sebagai alat protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam masyarakat.
92 Manfaat
lainnya
adalah
cerita
Wandiudiu
mampu
meningkatkan perasaan solidaritas masyarakat Buton.
menjadi
sarana
L.M. Budi Wahidin
menjabarkan bahwa cerita ini mengikat rasa sentimental masyarakat dan kebanggaan sebagai masyarakat Buton: ”Wandiudiu dia tinggalkan anaknya di rumah lalu kakaklah yang bertanggung jawab terhadap adiknya. Hal ini terkesan secara sederhana seorang kakak perempuan secara tidak langsung telah terdidik menjadi seorang ibu rumah tangga. Artinya mereka ini adalah calon-calon pendidik di masa depan. Jadi, sejak dini mereka dibekali tanggung jawab untuk mendidik adik-adiknya, yang membedakan hari ini tidak terlihat lagi seperti itu, justru yang terjadi hari ini seorang kakak bawa tenteng adiknya pergi mengemis lalu dia menonton dari jauh dan adalah pendidikan yang keliru hari ini sistem keteladanan tidak di warisi oleh anak. Budaya orang Buton tidak demikian. Mereka sembunyikan suasana seperti itu. Orang Buton lebih baik memilih tidak makan daripada harus mengemis itu prinsipnya, tidak menerima mereka dibawakan zakat fitrah saya tahu itu, tidak ada orang Buton mengaku miskin. Jika ada itu berarti bukan orang Buton asli tapi dia pendatang dari luar. Kalau orang Buton biar dia tidak ada lagi nasi di rumahnya ia tidak akan memintaminta karena memang kita adalah tipe pekerja keras hingga hari ini, malu dibilang orang miskin, apalagi pergi menjual diri tolong pak sedekahnya.” (Wawancara, 13 November 2014) Bagi Wahidin, cerita Wandiudiu mengangkat sebuah karakter asli masyarakat Buton yang membanggakan mereka. Cerita ini mengangkat karakter masyarakat Buton sebagai orang-orang yang pekerja keras dan tidak suka meminta-minta. Menurut Dundes (dalam Sadikun 2001: 109), cerita rakyat memberi sanksi sosial agar orang berperilaku baik atau memberikan hukuman. Berkaitan dengan hal di atas, menurut Bascom (dalam Sedyawati, 2004:199) fungsi cerita rakyat tersebut ada empat, yaitu (1) sebagai sistem proyeksi, (2) sebagai alat pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pedagogik, dan (4) sebagai alat pemaksa berlakunya norma masyarakat dan pengendalian masyarakat.
93 Kontruksi sosial dapat dilakukan oleh teks teks yang dipercayai masyarakat. Menurut
Almujazi, kemorosatan akhlak generasi muda sekarang terjadi karena
kehilangan nilai-nilai tradisional yang mulia. “Kira-kira orang tua masih berkeinginan untuk bercerita pada anak-anak mereka. Namun ketiadaan bahan dan telah jarangnya para orang tua yang tahu akan cerita ini, yang pada akhirnya memang sudah jarang dilantunkan. Hal inilah yang melatarbelakangi sikap, mental, moral serta perilaku mereka sehari-hari. Namun tentunya ada juga hal lain sebagai penyebab daripada kemerosotan moral genersi kita saat ini. Tapi ketika masih sering diceritakan cerita ini memang jarang sekali terjadi seperti apa yang sering dialami. Sekarang hampir setiap hari ada saja kejadian-kejadian tragis seperti pembunuhan, pemerkosaan, dan lain-lain sebagainya.” (Wawancara, 12 November 2014) Dari sudut pandang pengalaman pribadi, Laode Muhammad Arsal menilai nilai-nilai moral dalam cerita Wandiudiu tertanam kuat dalam dirinya membentuk sikap dan perbuatan yang mulia seperti pernyataan berikut. “Ketika masih kecil ayah kami dulu sering beliau mengumpulkan kami anak cucu lalu bercerita tentang cerita Wandiudiu dan kami dengarkan setelah kami aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat pada ketaatan kami serta rasa hormat, segan pada orang sangat tinggi dan hampir sama sekali tidak pernah membangkang pada orang tua, sedangkan sekarang ini justru terbalik anak- anak sering kali membangkang, bahkan membantah orang tuanya seolah-olah merekalah yang melahirkan serta membesarkan orang tuanya.” (Wawancara, 26 Oktober 2014)
6.3 Media Hiburan dan Pengantar Tidur Sebagai produk seni budaya, cerita Wandiudiu menjadi sarana hiburan bagi masyarakat. Cerita Wandiudiu diproduksi dalam konteks alamiah dengan unsur kelokalan yang kental tentang masyarakat Buton. Struktur cerita (tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, konflik, dan amanat)
mengangkat isu-isu yang mudah
94 dipahami dan dicerna oleh masyarakat awam memberikan kesan ringan dan dikenali. Ketika cerita ini dituturkan kepada pendengar juga dibutuhkan suasana yang rileks. Hal ini diungkapkan oleh Laode Inggi seperti berikut. “Biasa dilakukan pada saat membuat pundoli agar tidak mengantuk masuk menjelang larut malam pada khususnya pada saat bulan purnama. Cerita ini sangat menarik pada saat orang orang sedang atau ketika mengantuk. Maka yang terkandung dalam cerita ini di antaranya awal mula cerita duyung ini sebagaimana makhluk atau ikan lainnya, para pendengar cerita ini dari berbagai usia, dari anak–anak, dewasa, hingga orang tua sangat terkesan dengan cerita ini.” (Wawancara, tanggal 20 Oktober 2014) Secara struktural teks cerita Wandiudiu memiliki penokohan yang sangat akrab bagi masyarakat Buton yang umumnya mencari nafkah di laut. Salah satu di antaranya adalah penokohan hewan Diu atau duyung yang akrab bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Wandiudiu berarti seekor duyung atau Diu. penggambaran duyung sering mengambil wujud setengah manusia dan setengah hewan, seperti Gambar 6.1
Gambar 6.1. Ilustrasi Wandiudiu oleh Seniman Buton
95 Bagi orang Buton,
Diu atau duyung adalah hewan yang bersahabat dan suka
menolong manusia ketika mengalami kecelakaan di laut. Cerita ini memiliki unsur yang menghibur dengan
menggunakan latar
belakang alam pedesaan di tepi pantai. Sebuah stimulus yang membawa pembaca mengkhayal akan keindahan desa nelayan dan ke permaian pantai-pantai Buton. Selain itu dramatisasi, kasih ibu dalam cerita ini membuat emosi pembaca terangkat. Kesetiaan, pengorbanan, kelembutan, dan sekaligus kesedihan seorang ibu digambarkan dengan kata-kata motivasi dan tindakan. Pada masa lalu masyarakat tradisional Lakudo Buton menikmati cerita Wandiudiu dalam suasana bersahaja, saat keluarga berkumpul pada sore hari, atau saat mereka beristirahat dari kegiatan melaut dan mempersiapkan alat-alat untuk kegiatan melaut berikutnya. Biasanya anak-anak ikut membantu memperbaiki jala (pundoli) lalu sang ayah menemani mereka sambil bercerita. Menurut Laode Inggi, cerita Wandiudiu disampaikan dalam suasana santai menjelang tidur sambil menjalin jaring ikan. ”Cerita ini sering diceritakan pada saat musim terang bulan dalam masa tertentu seperti pembuatan tali pundoli berupa jaring dengan tujuan diceritakan cerita ini untuk mencegah ngantuk ketika pembuatan tali tersebut hingga larut malam. Cerita ini juga sering dijadikan sebagai sebuah cerminan oleh para tokoh agama ketika memberikan nasihat perkawinan selalu mengingatkan bahwa dalam rumah tangga jangan pernah terjadi sebuah kekerasan seperti dalam cerita Wandiudiu.” (Wawancara, 20 Oktober 2014) Momen-momen sederhana pada masyarakat Lakudo Buton seperti yang disampaikan oleh informan mungkin sudah hilang. Perubahan sosial begitu cepat
96 mengubah kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Kegiatan bercerita digantikan oleh hiburan-hiburan lain yang dikemas dengan fasilitas teknologi modern. Oleh karena itu, seniman atau penggiat budaya di Buton memacu kreativitas mengangkat kembali kisah-kisah rakyat ke dalam bentuk pertunjukan seni panggung yang membutuhkan kretivitas tinggi. Menurut Laode Muhammad Arsal, pertunjukan teatrikal Wandiudiu yang pernah ditontonnya sangat membantu meresapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya: “Apresiasi masyarakat melihat tayangan ini sangat luar biasa, saya hanya membawa istri menonton seni tari Wandiudiu yang diadakan di Kalimantan membawa pulang penyesalan yang mendalam karena tidak membawa serta sang anak untuk menonton seni tari tersebut, begitu sedihnya ketika dipadukan antara gerakan tarian, pantomim serta nyanyian lagu Wandiudiu itu terasa menyentuh hati dan orang yang justru tidak paham dengan lagu yang begitu indah dan merdu, tetapi meresapi kesedihannya dan meneteskan air mata, beda halnya orang yang tahu dan mengerti makna dari cerita tersebut pasti lebih mendalami, apresiasinya sangat tinggi.” (Wawancara, 26 Oktober 2014) Upaya mengangkat kisah-kisah tradisional rakyat Buton ke dalam bentuk seni panggung mendapatkan apresiasi yang baik oleh pemerintah, lembaga kesultanan, dan masyarakat luas. Ada beberapa kelompok teater atau sanggar tari yang menggunakan cerita rakyat termasuk cerita Wandiudiu ke dalam proyek seni mereka. Bahkan, mereka diberi kesempatan mengangkat kisah Barakati yang menceritakan perihal kesultanan Buton ke dalam film. Kelompok teater kloter B Kendari bahkan mengemas cerita Wandiudiu dalam pertunjukan teater modern yang kaya dengan permainan visual dan audio berkualitas tinggi, (Lihat Gambar 6.2).
97
Gambar 6.2 Lakon Wandiu-Ndiu Garapan Sutradara Al-Galih Dimainkan oleh Kelompok Teather Kloter B Kendari. Sumber: https://syaifuddinganisalubulung.wordpress.com diakses 21 Januari 2015 Penyajian cerita Wandiudidu dalam bentuk teatrikal yang ditampilkan oleh kelompok Teather Kloter B Kendari merupakan ekstensifikasi karya sastra yang lebih menarik perhatian masyarakat Buton. Panggung teatrikal disiapkan sedemikian rupa menampilkan berbagai imaji yang meggambarkan konteks tempat dan sekaligus konteks sosial masyrakat Buton yang tinggal di pesisir pantai. Aspek seni yang diperkuat dengan tata panggung, baik dalam pencahayaan maupun suara, membuat seluruh indra penonton dilibatkan. Citra alam laut dan gerak tari tokoh sang Diu mengajak penonton untuk mendalami pesan-pesan yang terkadung dalam cerita. Dalam hal ini sang sutradara menyadari bahwa masyarakat Buton seperti masyarakat modern lebih suka menonton daripada membaca. Fakta lain yaitu data
98 UNESCO pada tahun 2012 menunjukkan bahwa minat membaca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dari seribu orang, hanya ada satu orang yang mempunya minat baca. Di pihak lain menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), minat baca masyarakat di Indonesia baru mancapai 23,5%, selebihnya minat menonton televisi menembus hingga level 85,9% (www.academia.edu diakses 2 Februari 2015).