BAB VII KESIMPULAN
Bunuh diri yang terjadi di Gunungkidul pada hakikatnya merupakan sebuah tindakan simbolik dari suatu proses komunikasi. Pelaku bunuh diri ingin mengatakan sesuatu kepada orang yang hidup, tetapi tidak lagi mampu mengakses bahasa atau media untuk mengatakannya. Oleh karena itu, ada pelaku bunuh diri yang sempat meninggalkan wasiat, misalnya surat wasiat meskipun ada juga yang tidak meninggalkan wasiat. Surat wasiat yang ditinggalkan oleh pelaku bunuh diri menyebabkan wacana yang ingin diutarakannya berjalan dan berpengaruh pada orang yang hidup. Sanak keluarga pelaku bunuh diri yang masih hidup berusaha memenuhi harapan-harapan, cita-cita, atau permohonan yang ditulis dalam surat wasiat itu karena orang yang telah mati tidak dapat lagi diajak berembug (bernegosiasi). Di lain pihak, pelaku bunuh diri tersebut walaupun tidak sempat meninggalkan wasiat di masa hidupnya, kondisi dan arah hadap wajahnya seakan-akan menjadi wacana dalam rantai komunikasi antara orang yang mati gantung diri dengan orang yang hidup. Dengan demikian, bunuh diri adalah tindakan komunikasi walaupun pelakunya telah tiada. Menurut dugaan orang yang hidup, motivasi orang yang mati bunuh diri mungkin mempunyai dua dimensi, yaitu ke masa lalu dan masa depan. Ketika orang yang bunuh diri tersebut hanya memandang satu dimensi, yaitu memikirkan masa lalu saja, tanpa memikirkan masa depan, atau tanpa menghubungkan masa lalu dan masa depannya maka ia melakukan bunuh diri hanya karena mengalami penderitaan atau frustrasi di masa hidupnya. Dalam hal ini, timbul dugaan pada orang yang hidup bahwa pelaku bunuh diri mengakhiri hidupnya dengan cara tragis karena ia ingin
277
keluar dari kesulitan atau penderitaan hidup yang mengimpit dirinya. Dengan melakukan bunuh diri, kemungkinan pelaku bunuh diri menganggap kesulitan atau penderitaan hidup yang mengimpit dirinya menjadi tuntas. Berbeda halnya ketika orang yang bunuh diri tersebut memandang ke masa depan. Ini artinya, orang tersebut bunuh diri tidak hanya disebabkan karena mengalami frustrasi, penderitaan, atau kesulitan hidup, tetapi yang bersangkutan mempunyai harapan atau cita-cita maka bunuh diri menjadi pilihan yang terbaik. Bunuh diri ini walaupun fatal merupakan bentuk komunikasi antara orang yang mati bunuh diri dengan keluarga dan komunitasnya. Dalam banyak kasus, pelaku bunuh diri itu (secara mayoritas) berasal dari strata bawah yang terikat dengan adanya kesatuan budaya yang dilantunkan dengan pemakaian bahasa yang sama, yaitu bahasa ngoko. Mereka tidak memiliki kemampuan mengakses bahasa kedua (bahasa kromo) sehingga mudah latah, dikuasai oleh bahasa atau mitos. Orang yang diduga mengalami latah ini tidak bisa berargumen panjang dan tidak bisa pula menggunakan bahasa kromo sehingga ia spontan mudah marah dan mengambil keputusan-keputusan pendek, salah satunya adalah bunuh diri. Hal ini terjadi karena kontrol terhadap dirinya menjadi hilang. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kegagalan pelaku bunuh diri berkomunikasi pada waktu ia masih hidup memberi kontribusi terhadap kekerapan terjadinya tindakan bunuh diri di Gunungkidul. Namun, orang-orang Gunungkidul lebih cenderung mengaitkan penyebab orang yang bersangkutan melakukan bunuh diri karena kena atau kejatuhan (ketiban) pulung gantung. Orang yang kena atau kejatuhan (ketiban) pulung gantung diklaim oleh orang yang masih hidup karena orang tersebut mengalami pikiran-kosong akibat dari problematika hidup dialaminya yang tidak
278
mampu dipecahkan. Inilah yang menyebabkan setiap terjadi tindakan bunuh diri maka tersiar cerita mengenai adanya penampakan pulung gantung. Sebaliknya, setiap ada penampakan pulung gantung dikaitkan dengan tindakan bunuh diri. Hal ini menandakan bahwa orang-orang yang hidup tersebut mengubah tanda alam yang berupa cahaya (disebut-sebut bernama pulung gantung) menjadi simbol yang dimaknai sebagai pembawa musibah kematian dengan cara bunuh diri. Sesuai dengan sikap dan perilaku yang ditampilkan oleh pelaku bunuh diri mengindikasikan ia tidak mengalami pikiran-kosong karena ada buktinya, yaitu menjelang orang tersebut akan melakukan bunuh diri ternyata ada yang melakukan komunikasi dengan meninggalkan wasiat. Bahkan, ada di antaranya bercerita pulung gantung dan mengakui melihat pulung gantung menjelang akan melakukan bunuh diri. Bukti ini menunjukkan bahwa pikiran orang tersebut tidak kosong karena ia masih bisa berkomunikasi atau berpikir. Ini artinya, pelaku bunuh diri itu ingin berkomunikasi, tetapi ia tidak lagi mampu mengakses media untuk menyampaikan maksudnya kepada orang-orang yang ingin ditemuinya sehingga memilih bunuh diri. Pulung gantung itu bukan mitos bagi orang-orang yang masih hidup saja, tetapi termasuk juga mitos bagi orang-orang yang bunuh diri pada waktu mereka masih hidup. Karena seringkali ada wacana pulung gantung dan ada praktek bunuh diri yang tidak terlepas satu dengan lainnya. Ini sebagai bukti bahwa tindakan bunuh diri pada orang-orang Gunungkidul berkaitan dengan mitos pulung gantung. Bahkan, penceritaan mitos pulung gantung memberi pesan bahwa bunuh diri bisa menular kepada orang lain yang berdomisili searah dengan hadap muka orang yang mati gantung diri itu. Inilah penandaan sesat dari pulung gantung. Akibatnya, setiap ter-
279
jadi kematian dengan cara bunuh diri menimbulkan teror pada masyarakat sehingga kehidupan warganya menjadi merasa tidak aman, tidak nyaman, dan tidak selamat. Untuk memulihkan suasana supaya menjadi normal kembali pasca pemakaman jenazah orang mati bunuh diri maka diselenggarakan serangkaian ritual, baik secara personal maupun kolektif. Pelaksanaan ritual ini dapat pula dipandang sebagai drama kehidupan yang bertujuan untuk melegakan, menenteramkan, dan mendamaikan perasaan warga masyarakat setempat. Selain itu, fungsi ritual ini juga menjadi media komunikasi untuk meningkatkan kerukunan dan kepedulian, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat. Oleh karena itu, ketika bunuh diri diceritakan mitos pulung gantung serta melaksanakan ritual untuk memulihkan suasana pasca kejadian bunuh diri maka tindakan bunuh diri itu menjadi suatu proses kematian yang alami sehingga kematiannya dipandang wajar. Berarti, penceritaan pulung gantung ini adalah pewajaran dari tindakan fatal yang konsisten dengan pendapat James Siegel (1986) dan Tri Subagya (2004) bahwa bagi orang Jawa mati itu merupakan transisi esensial bersifat alami. Penciptaan kerukunan berkomunikasi, baik dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat ditempuh dengan cara memperkaya atau memproduksi sebanyak mungkin media yang dapat digunakan untuk mengadakan komunikasi. Dengan menciptakan dan menggunakan media komunikasi itu secara intensif maka proses komunikasi bisa disembuhkan dari kesesatan supaya orang-orang di daerah ini kalau melihat penampakan pulung gantung bisa menertawakan pulung gantung tersebut. Mereka menjadi tidak terlalu serius kalau melihat pulung gantung sehingga orang bersangkutan tidak melakukan tindakan bunuh diri.
280
Dengan demikian, tesis utama disertasi ini adalah orang yang mati bunuh diri mengalami kegagalan berkomunikasi di masa hidupnya. Akibatnya, pesan yang disampaikan tidak mendapat perhatian dan respons sebagaimana mestinya oleh orangorang yang ingin ditemuinya. Orang yang mengalami kegagalan berkomunikasi ini mengadakan signifikasi, yaitu mengubah pulung gantung menjadi wacana mistis mempunyai marka atau acuan, diekspresikan menjadi tindakan bunuh diri sungguhan. Implikasi tesis utama itu mengungkapkan beberapa temuan, yaitu pertama, ada peristiwa bunuh diri ada wacana pulung gantung. Sebaliknya, ada wacana pulung gantung ada praktek bunuh diri, dipercayai bunuh diri bisa menular kepada orang lain. Kedua, penceritaan pulung gantung pasca kematian bunuh diri menetralisasi kematian itu menjadi redup maka bunuh diri dipandang wajar. Ketiga, dalam pandangan orang yang mau bunuh diri, bunuh diri bukan peristiwa asosial, tetapi peristiwa sosial, akibatnya bunuh diri tidak pernah selesai karena menjadi perekat sosial. Tesis disertasi ini memiliki temuan kebaharuan dari teori yang memandang bahwa tindakan bunuh diri adalah tindakan kriminal. Dalam penelitian ini, bunuh diri dipandang sebagai proses komunikasi bersifat simbolik. Ini artinya, bunuh diri yang dilakukan oleh seseorang sebagai wahana pembawa pesan kepada orang yang masih hidup mengenai kegagalannya berkomunikasi sebelum ia mengakhiri hidupnya. Dalam hal ini, peneliti memandang tindakan bunuh diri lebih bersifat manusiawi. Sesuai dengan tesis tersebut, sumbangan disertasi ini adalah untuk memperbaiki kekeliruan cara pandang masyarakat terhadap orang yang melakukan bunuh diri. Mereka memandang bahwa orang yang melakukan bunuh diri mengalami pikiran-kosong. Namun, sesungguhnya orang itu masih ingin berkomunikasi, tetapi tidak lagi mampu menemukan media. Berarti, pikirannya masih bekerja atau tidak kosong.