BAB VI TINJAUAN KEBIJAKAN PENATAAN RUANG TERHADAP PENATAAN PKL
5.2 Tinjauan Kebijakan Penataan Ruang Kota Tasikmalaya terhadap Penataan PKL Kajian terhadap kebijakan penataan pedagang kaki lima (PKL) di Kota Tasikmalaya dilihat dari kebijakan-kebijakan terkait dengan tata ruang dan PKL itu sendiri diantaranya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya, Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) BWK I, Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) Kawasan Pusat Bisnis, dan Perda yang terkait PKL yaitu Perda No. 7 tahun 2005 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum. Kebijakan-kebijakan terkait penataan pedagang kaki lima di Kota Tasikmalaya akan diuraikan pada bagian berikut disertai hasil kuesioner dan wawancara di lapangan. 6.1.1 Kajian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya 2004-2014 Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tasikmalaya 2004-2014 belum memuat tentang pedagang kaki lima baik dalam uraian fakta dan analisa maupun dalam rencana penataannya 10 tahun yang akan datang. Hal ini disebabkan penyusunan RTRW tersebut dilakukan sebelum adanya UU Tata Ruang No. 26 tahun 2007 yang mengamanatkan bahwa untuk perencanaan tata ruang wilayah kota ditambahkan rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan dan pusat pertumbuhan wilayah (Pasal 28). Dalam Peta Rencana Pola Pemanfaatan Ruang yang tertuang dalam RTRW Kota Tasikmalaya 2004-2014, belum ada ruang yang diperuntukkan untuk sektor informal tapi hanya pasar formal dan kawasan perdagangan formal. Terkait wilayah studi dalam penelitian ini, dalam RTRW hanya digambarkan sebagai pusat kota. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 26.
Namun dalam evaluasi RTRW yang dilakukan pada tahun 2007 pada Bab VI mengenai hasil temuan faktor internal dinyatakan bahwa sektor perekonomian utama Kota Tasikmalaya untuk jangka waktu 20 tahun ke depan cenderung ke arah perdagangan dan sektor jasa (services) skala regional wilayah priangan timur dan kegiatan ikutannya, sehingga diusulkan kawasan perdagangan juga harus mulai memperhatikan keberadaan PKL (penataan PKL dalam satu kluster). Dengan demikian, dalam revisi RTRW tahun 2008 ini tentunya pedagang kaki lima (PKL) yang merupakan salah satu bagian sektor informal ini harus ada dalam arahan rencana tata ruangnya. Tidak adanya penataan mengenai PKL dalam RTRW Kota Tasikmalaya juga disebabkan ketidaktahuan masyarakat terhadap RTRW Kota Tasikmalaya dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RTRW. Hal ini diindikasikan dengan banyaknya PKL yang mengisi kuesioner tidak tahu tentang penataan ruang. Begitupula dengan konsumen, pedagang formal, dan masyarakat umum pada umumnya tidak tahu mengenai penataan ruang kecuali masyarakat yang berprofesi sebagai PNS, konsultan perencanaan tata ruang, dan tokoh masyarakat beserta akademisi yang pernah ikut terlibat dalam penyusunan dan sosialisasi tata ruang. Prosentase mengenai pengetahuan masyarakat terhadap penataan ruang dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penataan Ruang No.
Pihak
1. 2. 3. 4.
PKL Konsumen Pedagang Formal Masyarakat Umum
Frekuensi 15 10 10 19
Pengetahuan Penataan Ruang Tahu Tidak Tahu Presentase (%) Frekuensi Presentase (%) 23,08 50 76,92 33,33 20 66,67 33,33 20 66,67 63,33 11 36,67
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2008
Berdasarkan Tabel 26, kebanyakan dari PKL, konsumen, dan pedagang formal tidak tahu mengenai penataan ruang namun masyarakat umum banyak yang tahu tentang penataan ruang. Tapi informasi yang didapat dari kuesioner di atas ternyata tidak membuktikan bahwa keempat pihak itu benar-benar tahu tentang penataan ruang karena hampir 100% dari mereka tidak pernah melihat dan tidak tahu tentang peta rencana pemanfaatan ruang. Dengan demikian sebenarnya
hampir 100% dari PKL, pedagang formal, dan konsumen tidak tahu tentang RTRW Kota Tasikmalaya. Masyarakat umum yang tahu hanya yang pernah terlibat dalam penyusunan dan sosialisasi RTRW Kota Tasikmalaya dan jumlahnya pun hanya sedikit sekali dibandingkan jumlah total penduduk Kota Tasikmalaya. Ketidaktahuan masyarakat terhadap penataan ruang (RTRW) ini disebabkan tidak diikutsertakannya masyarakat khususnya PKL dalam proses penyusunan RTRW dan sosialisasi RTRW sehingga aspirasi mereka tidak terwakili dalam rencana tata ruang Kota Tasikmalaya dimana penataan PKL tidak ada dalam program rencana pembangunan Kota Tasikmalaya. 6.1.2 RDTR BWK I dan RTBL Kawasan Pusat Bisnis Berdasarkan RDTR BWK I dan RTBL Kawasan Pusat Bisnis, pusat Kota Tasikmalaya yang merupakan wilayah studi penelitian merupakan kawasan pusat bisnis yang memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan perdagangan dan jasa serta industri kecil dengan tingkat pelayanan dalam skala regional. Untuk lokasi dari pusat kota sendiri berada di sekitar Mesjid Agung Kota Tasikmalaya yang merupakan kawasan dengan kegiatan perdagangan dan jasa (komersial). Secara umum kawasan pusat Kota Tasikmalaya merupakan kawasan yang memiliki tingkat aktivitas cukup tinggi, baik itu aktivitas yang berskala kecil ataupun aktivitas yang berskala besar. Jika dilihat berdasarkan fungsi kegiatannya, kawasan pusat kota di Tasikmalaya memiliki beberapa fungsi kegiatan, yaitu sebagai pusat administrasi/ pemerintahan, kesehatan, pendidikan dan perdagangan serta jasa (komersial). Pada saat ini kawasan pusat kota sudah bukan merupakan pusat administrasi dan pemerintahan. Hal ini dapat terlihat dari adanya rencana pembangunan kawasan perkantoran pemerintah kota di BWK V. Dalam RDTR BWK I sudah ada mengenai rencana penanganan PKL yang meliputi : 1. Pemilahan/pengelompokkan para pedagang kaki lima menurut kategori jenis barang/jasa. Secara garis besar pengelompokkan pedagang kaki lima menurut barang dan/atau jasa adalah sebagai berikut. •
Pedagang/penyedia jasa pembuatan stempel, gravier, plakat dan sejenisnya
•
Pedagang/penyedia barang elektrik seperti CD, kaset, radio, dan perlengkapan elektrik lainnya.
•
Pedagang/penyedia
barang-barang
hiasan/aksesoris
pakaian
dan
sejenisnya. •
Pedagang/penyedia barang-barang bacaan seperti buku, koran, majalah dan sejenisnya.
•
Pedagang/penyedia barang-barang makanan dan minuman, termasuk didalamnya pedagang buah-buahan.
•
Pedagang/penyedia barang-barang sandang, baik kemeja, celana (panjangpendek), pakaian dalam dan sejenisnya.
2. Pemilihan dan penyediaan tempat berdagang bagi para pedagang kaki lima berdasarkan kelompok barang/jasa yang diperjualbelikan. Dalam rangka mengurangi kesemrawutan pemanfaatan ruang yang selama ini terjadi serta dalam rangka kemudahan aksesibilitas bagi konsumen menurut kelompok barang, maka penyediaan tempat para pedagang kaki lima dalam RDTR BWK I diarahkan sebagai berikut: o Pedagang/penyedia jasa pembuatan stempel, gravier, plakat dan sejenisnya diarahkan menempati ”ruang” ruas jalan yang berdekatan dengan kawasan perkantoran dan/atau pemerintahan. Ruas jalan dimaksud di antaranya Jalan Empangsari, Jalan Pemuda, dan Jalan Otto Iskandardinata. o Pedagang/penyedia
barang
makanan,
minuman
dan
buah-buahan
diarahkan menempati ”ruang” ruas jalan yang berdekatan dengan kawasan perbelanjaan, dan kawasan hiburan dan rekreasi. Ruas jalan dimaksud di antaranya Jalan Yudanegara dan Jalan Sukawarni. o Pedagang/penyedia barang elektrik seperti CD, kaset, radio, dan perlengkapan elektrik lainnya diarahkan menempati ”ruang” ruas Jalan Cihideung dan Jalan Cihideung Balong. o Pedagang/penyedia barang-barang hiasan/aksesoris pakaian dan sejenisnya serta pedagang/penyedia barang-barang bacaan seperti buku, koran, majalan dan sejenisnya diarahkan menempati ”ruang” ruas Jalan Tentara Pelajar, Jalan Panyerutan, dan Jalan Pataruman.
o Pedagang/penyedia barang-barang sandang, baik kemeja, celana (panjangpendek), pakaian dalam dan sejenisnya pada ruas Jalan Selakaso. Jika kita telaah dalam RDTR BWK I itu sudah ada rencana penanganan untuk PKL yaitu berupa penataan yang bersifat mengelompok (cluster) dimana lokasi pedagang dikelompokkan berdasarkan jenis dagangannya. Namun, dalam skenario yang dibuat dalam RDTR ini tidak ada landasan yang mendasari pengelompokkan ini. Berdasarkan data di atas, dapat digambarkan penataan PKL berdasarkan RDTR BWK I yang dapat dilihat pada Gambar 27. Hal ini dapat dilihat dari lokasi PKL yang diperbolehkan tidak mengakomodir penataan lokasi-lokasi lain dimana saat ini PKL berada, seperti PKL yang berada di Jl. HZ. Mustofa, Jl. Bekas Rel, Jl. Pasar Kidul, Jl. Pasar Baru, Jl. Pasar Wetan, Jl. Gunung Sabeulah, Jl. Veteran, dan Kawasan Dadaha yang saat ini sedang menjadi isu dalam ’penertiban’ yang dilakukan oleh Satpol PP dimana lokasi-lokasi ini termasuk kedalam BWK I. Penyusunan RDTR ini dilakukan pada akhir tahun 2007 sampai awal 2008 dimana saat itu pemerintah Kota Tasikmalaya sedang melakukan penataan terhadap PKL Kawasan Dadaha. Dengan demikian penyusunan RDTR BWK I ini tidak melibatkan peranserta dari PKL itu sendiri karena dalam rencananya pun seharusnya mempertimbangkan aspirasi dari PKL, konsumen, pedagang formal, dan masyarakat setempat sehingga rencana yang dibuat sesuai dengan aspirasi seluruh pihak. Dalam RTBL Kawasan Pusat Bisinis yang disusun pada tahun 2004 tidak memuat mengenai penataan PKL tapi hanya berisi rencana disain pedagang formal saja. Hal ini disebabkan pada saat itu UU Tata Ruang yang baru belum lahir dan dalam perencanaannya kurang melibatkan peranserta PKL.
6.1.3 Perda No.7 Tahun 2005 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum Peraturan Derah di Kota Tasikmalya yang mengatur PKL secara khusus belum ada namun aturan yang ada yaitu Perda No. 7 Tahun 2005 tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum. Dalam perda itu diatur mengenai beberapa hal diantaranya : 1. Pada bagian kedua tentang tertib lalu lintas, pasal 7 ayat 1 berbunyi : “setiap
Berdasarkan data RDTR BWK I Kota Tasikmalaya, 2007
orang berhak menikmati kenyamanan berjalan, berlalulintas, dan mendapat perlindungan dari pemerintah”. o Pada pasal 8 ayat 1: “jalur lalulintas diperuntukan untuk lalulintas umum dan trotoar diperuntukan bagi pejalan kaki sedangkan penggunaan di luar peruntukan lalulintas umum dan pejalan kaki diatur lebih lanjut dengan peraturan sendiri”. o Pada pasal 12 : “setiap orang pribadi atau badan dilarang mempergunakan daerah milik jalan selain peruntukan jalan umum tanpa mendapat izin dari walikota”. o Pada bagian ketiga tentang tertib tempat-tempat umum/fasilitas umum, pasal 14 dinyatakan : “setiap orang atau pribadi atau badan dilarang melakukan perbuatan menyimpan barang atau benda pada tempat-tempat umum seperti trotoar, lapangan, taman, jalur hijau di tepi atau badan jalan, di atas sungai, saluran drainase atau air limbah yang dapat mengganggu ketertiban umum”. o Pada bagian keempat tentang tertib umum, pasal 16 : “setiap orang pribadi atau badan dilarang melakukan perbuatan melakukan usaha pada tempattempat yang bukan peruntukan usaha (di trotoar, di atas sungai, saluran drainase/air limbah, jalur hijau, taman, badan jalan, lapangan baik sementara ataupun tetap) kecuali tempat-tempat yang ditentukan menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”. Pelanggaran dari tiap pasal di atas didenda sebesar Rp 250.000,-. Berdasarkan pasal-pasal di atas pejalan kaki dan pengguna jalan yang menggunakan kendaraan bermotor memiliki hak untuk mendapatkan kenyamanan menggunakan trotoar dan badan jalan dalam melakukan aktivitas. Begitu pula dengan kegiatan usaha dengan menggunakan trotoar jalan dan badan jalan merupakan tindakan pelanggaran yang memiliki sanksi denda karena melanggar tiga pasal dalam perda tersebut yang masing-masing dendanya sebesar Rp 250.000,-. Dengan demikian jika seseorang melakukan tindakan membuka usaha di trotoar atau badan jalan harus didenda sebesar Rp 750.000,-. Dalam kenyataannya, dimana para PKL melakukan kegiatan berdagangnya dengan menempati trotoar atau badan jalan tidak dikenakan sanksi apapun oleh pihak yang berwenang. Padahal, setiap hari jika dilihat di sepanjang Jalan HZ.
Mustofa terdapat petugas Satpol PP yang bertugas. Jadi, walaupun ada kegiatan yang melanggar perda tersebut, namun hal itu dibiarkan saja sehingga akibatnya saat ini jumlah PKL semakin bertambah. Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner yang dilakukan di lapangan, didapatkan bahwa sebagian besar PKL, konsumen, dan masyarakat Kota Tasikmalaya pada umumnya tidak tahu mengenai adanya Perda No. 7 tahun 2005 tersebut. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya sosialisasi perda tersebut dan bisa juga karena kurang tanggapnya masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari hasil kuesioner yang disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 Pengetahuan PKL dan Masyarakat Kota Tasikmalaya Terhadap Keberadaan Perda No. 7 Tahun 2005 No.
PIhak
1. 2. 3.
PKL Konsumen Masyarakat Umum
Pengetahuan tentang Perda No.7 Tahun 2005 Tahu Tidak Tahu Frekuensi Presentase (%) Frekuensi Presentase (%) 17 27,69 47 72,31 10 33,33 20 66,67 17 56,67 13 43,33
Sumber : Hasil Pengolahan Data, 2008
Dari Tabel 27 dapat dilihat bahwa pada umumnya masyarakat tidak tahu tentang adanya Perda No. 7 tahun 2005. Bahkan PKL sebagai pelaku usaha yang sangat erat dengan peraturan daerah ini prosentase lebih tinggi dibandingkan masyarakat umum. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran yang dilakukan PKL disebabkan ketidaktahuan mereka tentang perda yang ada walaupun secara umum mereka tahu dan menyadari kegiatan yang mereka menggunakan ruang publik yang seharusnya dinikmati oleh seluruh masyarakat Kota Tasikmalaya yang melakukan jalan kaki ataupun berkendaraan di jalan. Namun, di sisi lain peran pemerintah dan aparat penegak hukum diantaranya Satpol PP dan polisi yang seharusnya melakukan sosialisasi dan penegakan hukum dalam kenyataannya tidak berfungsi. Berdasarkan karakteristik PKL di Kota Tasikmalaya, pada umumnya pendidikannya tamat SD sehingga berpengaruh terhadap kemampuan memahami pola kebijakan-kebijakan pemerintah diantaranya RTRW, RDTR BWK I dan RTBL Kawasan Pusat Bisnis, serta Perda No. 7 tahun 2005. Berdasarkan hasil analisis antara hubungan tingkat pendidikan PKL dengan pengetahuan tentang
penataan ruang dan perda didapat bahwa tidak ada korelasi atau hubungan antara pendidikan dengan pengetahuan PKL tentang penataan ruang dan perda dengan nilai korelasi Spearman yang dapat dilihat pada Tabel 28 di bawah ini. Tabel 28 Output Korelasi Antara Tingkat Pendidikan PKL dengan Pengetahuan Tentang Penataan Ruang dan Perda Correlations Kendall's tau_b
pddkn
tataruang
perda
Spearman's rho
pddkn
tataruang
perda
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
pddkn tataruang 1.000 -.290* . .014 65 65 -.290* 1.000 .014 . 65 65 -.348** .256* .003 .041 65 65 1.000 -.309* . .012 65 65 -.309* 1.000 .012 . 65 65 -.370** .256* .002 .040 65 65
perda -.348** .003 65 .256* .041 65 1.000 . 65 -.370** .002 65 .256* .040 65 1.000 . 65
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber : Hasil Analisis, 2008
Berdasarkan hasil analisis di atas didapatkan bahwa tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan masyarakat tentang penataan ruang dan peraturan daerah hal ini disebabkan pada umumnya masyarakat Kota Tasikmalaya kurang peduli terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan. Hal ini diindikasikan dengan rendahnya keinginan masyarakat untuk berperanserta dalam pembangunan yaitu hanya sebesar 44,62% (hasil kuesioner). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penyebab timbulnya PKL di Kota Tasikmalaya diantaranya karena kurangnya pengetahuan terhadap kebijakankebijakan khususnya terkait PKL, kurangnya sosialisasi dari pemerintah, dan rendahnya
kepedulian
dan
pembangunan Kota Tasikmalaya.
peranserta
masyarakat
dalam
perencanaan
6.2 Ringkasan Berdasarkan tinjauan kebijakan mengenai tata ruang dan peraturan daerah mengenai ketentraman dan ketertiban umum yang terkait penataan PKL dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya yang bersifat manifes (nyata) baik berupa RTRW, RDTR BWK I, RTBL, maupun Perda No. 7 tahun 2005 tidak partisipatif. Kebijakan-kebijakan itu masih bersifat top-down. Selain kebijakan-kebijakan yang bersifat manifes, ada juga kebijakan yang bersifat latent (tersembunyi) berdasarkan hasil diskusi pada saat seminar mengenai isu strategis terkait penataan pedagang kaki lima di Kota Tasikmalaya. Berikut ini disajikan kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya baik yang bersifat manifes maupun latent. Tabel 29 Matriks Kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya yang Bersifat Manifest dan Latent Terkait Penataan PKL No. Jenis Kebijakan Program Kebijakan Kesimpulan 1.
Manifes
2.
Latent
1. RTRW dan RTBL Kawasan Pusat Bisnis tidak menyediakan ruang untuk PKL 2. RDTR BWK I menetapkan ruang untuk PKL tidak sesuai dengan keinginan PKL 3. Perda No. 7 tahun 2005 tidak mengatur mengenai ruang untuk PKL 1. Kebijakan yang keluar banyak dikarenakan janji politik dalam pemilihan kepala daerah 2. Tidak adanya payung hukum dalam penataan PKL 3. Pada kenyataannya, kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya lebih berpihak pada perdaga-ngan formal (pengusaha mall) 4. Pada tahun 2005 ada penataan PKL dimana pedagang makanan dan minuman dipindah ke Jl. Empang, namun tidak disedia-kan fasilitas sehingga pada akhirnya kembali ke tempat asal
Kebijakan yang dibuat masih bersifat top-down atau belum partisipatif
Kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya pada kenyataannya lahir karena janji-janji politik yang merupakan kamuflase.
Berdasarkan analisis di atas, kebijakan-kebijakan Pemerintah Kota Tasikmalaya baik yang manifes maupun yang latent masih bersifat top-down atau belum partisipatif. Hal ini disebabkan kebijakan yang lahir itu masih produk dari masa lalu dimana aspirasi dari bawah tidak dipertimbangkan. Selain itu, pada saat pemilihan kepala daerah calon kepala daerah banyak memberikan janji-janji politis yang akhirnya berimplikasi pada kebijakan yang lahir. Berdasarkan hasil wawancara dengan PKL, Kepala Daerah Kota Tasikmalaya saat ini merupakan pilihan dari PKL yang memberikan janji kepada mereka akan memberikan ruang dan modal bagi PKL. Namun, pada kenyataannya hal itu belum terwujud hingga saat ini dan mengakibatkan munculnya ketidakpercayaan PKL terhadap pemerintah karena mereka merasa dijadikan pihak yang dikorbankan. Hal ini terbukti pada saat seminar mengenai Penataan PKL Kota Tasikmalaya pada tanggal 27 Mei 2008 para PKL menuntut adanya payung hukum dalam penataan PKL Kota Tasikmalaya. Kebijakan lain yang menyebabkan PKL beranggapan bahwa pemerintah tidak bisa menampung aspirasi mereka adalah ketika pada tahun 2005 Pemerintah Kota Tasikmalaya melakukan penataan PKL, dimana pedagang makanan dan minuman dipindahkan ke Jalan Empang tapi tidak disediakan fasilitas berupa tenda atau gerobak hingga saat ini mereka menjadi korban kebijakan itu. Dengan demikian, jika kita kaitkan dengan UU Tata Ruang No. 26 tahun 2007 tentunya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Kota Tasikmalaya masih bersifat top-down atau belum partisipatif karena belum menyediakan ruang untuk PKL.