BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Bahasa dan lingkungan saling terkait. Lingkungan memengaruhi bahasa dan bahasa mencerminkan lingkungan. Bahasa dan lingkungan membentuk bahasa lingkungan dan lingkungan bahasa. Keberagaman bahasa lingkungan yang terwujud dalam khazanah verbal kepadian adalah bentuk interaksi, interrelasi, interkoneksi, dan interaktivitas antara komunitas tutur Kodi dan lingkungan kepadian.
Dengan
adanya
hubungan
tersebut,
maka
terwujud
saling
ketergantungan antara komunitas tutur Kodi dan lingkungan kepadian. Khazanah verbal kepadian adalah realitas lingkungan bahasa dan sebagai penciri karakter komunitas tuturnya yang menggambarkan ide atau gagasan komunitas tuturnya. Khazanah verbal kepadian juga menggambarkan lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya komunitas tuturnya dalam konteks lingkungan hidup kepadian yang didukung oleh budaya perladangan. Khazanah verbal kepadian mencerminkan keanekaragaman ekologis, pelestarian, dan pemeliharaan lingkungan kepadian. Khazanah verbal kepadian terdiri atas satuan-satuan lingual berupa ekoleksikon dan ekowacana kepadian. Analisis bentuk berupa ekoleksikon dan ekowacana kepadian didasarkan pada aspek intratekstualitas, intertekstualitas, dan ekstratekstualitas.
Dalam
bentuk
ekoleksikon
kepadian
berperan
aspek
intratekstualitas dan aspek intertekstualitas. Aspek intratekstualitas untuk mengetahui bentuk atau struktur leksikon dan sistem pemarkah pada leksikon, 179
180
sedangkan aspek intertekstualitas untuk menemukan impor sosial leksikon yang dipengaruhi oleh hubungan semantik dan konteks. Dalam bentuk ekowacana kepadian berperan aspek intratekstualitas, intertekstualitas, dan ekstratektualitas. Aspek intratekstualitas untuk menentukan struktur satuan lingual dan sistem pemarkah. Aspek intertekstualitas untuk menemukan makna sosial dan signifikansi personal yang dipengaruhi oleh semantik teks dan konteks. Aspek ekstratekstualitas mencakup deiksis dan metafora berdasarkan konteks produsen. Ekoleksikon kepadian meliputi leksikon kepadian tahap pratanam, leksikon kepadian tahap tanam, dan leksikon kepadian tahap pascatanam. Leksikonleksikon kepadian tersebut terdiri atas kata dan gabungan kata. Leksikon kepadian yang berbentuk kata dibedakan atas verba dan nomina, sedangkan leksikon kepadian yang berbentuk gabungan kata dibedakan atas gabungan kata predikatif, kata majemuk, ungkapan, dan frase. Pada leksikon kepadian tahap pratanam, pemarkah kausatif pa- yang mengubah nomina menjadi verba hadir dalam leksikon pa-kamumma „menebas‟. Pemarkah kausatif pa- yang mengubah adjektiva menjadi verba hadir dalam leksikon pa-ndaha kamoto „membuat pembatas‟, pa-ndaha galu „ memasang pagar‟, dan pa-ndaha letepaba „membuat pematang‟. Selain itu, klitik pronomina -hi yang merujuk silang pada nomina yang mengikutinya hadir dalam leksikon kaha-hi latu „mengumpulkan abu‟ dan kaha-hi ha-ghayo „mengumpulkan kayu‟, dan pronomina persona -ya yang merujuk kepada nomina yang mengikutinya hadir dalam leksikon dangi-ya kamumma „menjemur rumput‟.
181
Leksikon kepadian tahap tanam dilekati oleh pemarkah kausatif pa- dan ha-, pemarkah penegas -ngo, klitik pronomina persona -ya, -ni, dan -hi, pemarkah penegas -ka, dan nomina jamak ha-. Pemarkah kausatif ha- yang mengubah verba intransitif menjadi verba transitif hadir dalam leksikon pa-kende-ya a kareka „membangun dangau‟, pemarkah penegas -ngo yang mengubah verba intransitif menjadi verba transitif hadir dalam leksikon taki-ngo-ka lodo tondo „menetapkan waktu tanam‟, dan pemarkah penegas -ngo yang mengubah nomina menjadi verba ditemukan dalam leksikon ahuko-ngo kalena „melubangi tanah‟. Klitik pronomina persona -ya terdapat dalam leksikon pa-kende-ya a kareka „membangun dangau‟, klitik pronomina persona -ni terdapat dalam leksikon tondo-ni wini „menanam bibit‟ dan ndaga-ni a pare „mengawasi padi‟, klitik pronomina persona -hi terdapat dalam leksikon hoko-hi ha-kahila menghalau burung‟, dan klitik pronomina persona -ndi terdapat dalam leksikon ha-mburu-ndi ha-wini „menurunkan bibit‟, ngandi-ndi ha-wini „mengantarkan bibit‟, dan ndeke-ndi hawini „mengambilkan bibit‟. Pemarkah nomina jamak ha- terdapat dalam leksikon nomina ha-wini „bibit-bibit‟ dan ha-kahila „burung-burung‟. Leksikon kepadian tahap pascatanam dilekati oleh pemarkah kausatif pa-, pemarkah penegas -ngo, klitik pronomina persona -ya dan -ni, dan pemarkah penegas -ka. Pemarkah kausatif pa- yang mengubah nomina menjadi verba terdapat dalam leksikon pa-pandalo „memotong beberapa bulir padi sehari sebelum panen‟ dan pa-kalimbya menumpukkan padi‟. Pemarkah penegas -ngo yang mengubah verba intransitif menjadi verba transitif terdapat dalam leksikon taki-ngo-ka lodo nguti „menetapkan waktu panen‟ dan pemarkah penegas -ngo
182
yang mengubah nomina menjadi verba terdapat dalam leksikon nguti wote-ngo „panen dengan cara berkelompok‟. Klitik pronomina persona -ya terdapat dalam leksikon bondolo-ya pare „menyimpan padi‟, tapi-ya pare „menampi padi‟, dangiya pare „menjemur padi‟, tapi-ya wiha „menampi beras‟, dan nighuro-ya wiha „memisahkan beras‟. Klitik pronomina persona -ni terdapat dalam leksikon kughani pare „memisahkan butir padi dari jerami‟ dan pa-leru-ni pare menganginkan padi‟. Pemarkah penegas -ka terdapat dalam leksikon taki-ngo-ka lodo nguti „menetapkan waktu panen‟. Berdasarkan perbandingan jumlah leksikon kepadian dalam ketiga tahap tersebut, nomina memiliki intensitas yang tinggi dibandingkan leksikon verba. Hal tersebut disebabkan karena peladang atau komunitas tutur bahasa Kodi memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengkodekan karakteristik benda kepadian dengan realisasi leksikon yang berbeda. Selain leksikon yang telah disebutkan dalam ketiga tahapan, juga ditemukan beberapa leksikon yang bersifat kekinian. Keberadaan leksikon ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi. Beberapa leksikon tersebut, antara lain kelero pare „lumbung kayu‟, moro maghambulo „pupuk anorganik‟, luku „traktor‟, belle popa „tangki semprot‟, dan nggeha „penggiling‟. Kelero pare „lumbung kayu‟ adalah lumbung yang terbuat dari kayu, tidak seperti lumbung pada umumnya yang terbuat dari anyaman pandan atau lontar. Lumbung kayu ini berukuran besar yang mampu menampung lima sampai dengan tujuh ton padi. Moro maghambulo „pupuk anorganik‟ adalah pupuk buatan yang merupakan hasil proses kimia. Pupuk ini berguna untuk menyuburkan tanah. Luku „traktor‟ adalah kendaraan
183
yang digunakan untuk membajak atau meratakan tanah. semprot‟
adalah
wadah
tempat
menyimpan
air
Belle popa „tangki
yang dipompa
untuk
menyemburkan air. Nggeha „penggiling‟ adalah alat yang digunakan untuk menggiling padi. Keberadaan leksikon kelero pare „lumbung kayu‟, moro maghambulo „pupuk anorganik‟, luku „traktor‟, belle popa „tangki semprot‟, dan nggeha „penggiling‟ memperkaya khazanah verbal kepadian. Selain leksikon baru yang dipengaruhi oleh teknologi modern, berdasarkan leksikon-leksikon yang telah diterangkan, ada sejumlah leksikon nomina yang sudah jarang ditemukan dan hanya digunakan oleh penganut kepercayaan marapu dan beberapa aktivitas yang sudah tidak dilakukan lagi. Leksikon tersebut, antara lain tondo kalehu-ngo „menanam dengan cara melingkar‟, nguti wote-ngo „panen dengan cara berkelompok‟, pa-pandalo „memotong beberapa bulir padi sehari sebelum panen‟, rato marapu „imam adat‟, watu kareka „marapu di ladang‟, mori tana „marapu penjaga rumah‟, pare wulu kawimbi „padi yang bulirnya berbulu‟, kaneghu rato „tempat padi yang dikeramatkan‟, kaleku wiha „tempat menyimpan bibit‟, pandalo „beberapa bulir padi yang dipotong sehari sebelum panen‟, dan kapepe pare „tempat padi yang dipersembahkan‟. Ekowacana kepadian terdiri atas penggunaan kata berkategori nomina, penggunaan kata berkategori verba, penggunaan kata berkategori adjektiva, penggunaan gabungan kata, penggunaan deiksis, dan penggunaan metafora. Secara sintaktik, teks-teks dalam ekowacana sebagian besar berpola P-O dengan verba dan adjektiva sebagai pengisi predikat serta kata dan gabungan kata nomina sebagai pengisi objek. Selain bertipe P-O, juga ditemukan teks yang berpola P-O-
184
K dan P-K. Pada teks yang berpola P-K terjadi pelesapan O. Padi sebagai argumen verba mengalami pelesapan saat bertindak sebagai subjek dan objek. Argumen yang merepresentasikan pare „padi‟ hadir dalam bentuk gabungan kata wei huhu wei baba, koni wu kaniha mbiri ndandi peha , pare „padi‟ dan wini „bibit‟, serta ro „daun‟ dan pola „batang‟. Selain itu juga terdapat nomina wuli „bulir‟ dan wu „buah‟, a kale-na „kirinya‟ dan a kawana-na „kanannya‟, ro „daun‟ dan wu „buah‟ sebagai penjelas keberadaan entitas padi. Sistem rujuk silang yang terbagi menjadi endofora dan eksofora didominasi oleh referensi eksofora, sedangkan referensi endofora diwakili oleh katafora. Pemarkah yang merujuk kepada unsur yang berada di luar tuturan secara deiktis didasarkan atas konteks produsennya merujuk kepada entitas padi. Pemarkah yang secara deiktis merujuk kepada padi, antara lain pemarkah ka, na-, a-, -ya, -wa, ndi, -bha, -ni, -do, dan -bhana, sedangkan pemarkah katafora terdiri atas pemarkah -ka, -ya, -wa, -ndi, dan -hi. Selain itu, pemarkah sebagai pemarkah deiktis dan katafora, yaitu pemarkah -ka, -ya, -wa, dan -ndi. Padi sebagai argumen predikat yang mengalami pelesapan berpotensi diwakili oleh pemarkah yang bersifat deiktis, sedangkan entitas padi yang hadir dalam teks ditandai oleh pemarkah yang bersifat kataforis. Intensitas perujukan silang didominasi oleh perujukan kepada unsur di luar tuturan sebagai akibat pelesapan entitas padi sebagai argumen predikat. Dengan adanya pelesapan tersebut diperlukan adanya pemarkah yang secara eksoforis dapat mewakili nomina padi yang dipengaruhi oleh maksud produsen.
185
Selain padi, ada juga beberapa pemarkah yang merujuk silang pada dewi padi seperti klitik pronomina persona -mu serta klitik pronomina keaspekan -bha dan pemarkah penegas -ka. Berdasarkan jumlah pemarkah yang digunakan untuk merujuk kepada padi dan dewi padi, jumlah pemarkah yang merujuk kepada padi lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pemarkah yang merujuk kepada dewi padi. Pemakaian klitik keaspekan -bha dan pemarkah penegas -ka bersifat katafora yang merujuk kepada gabungan kata nomina koni wu kaniha mbiri ndandi peha „Mbiri Koni anak satu-satunya yang dilahirkan tunggal‟, sedangkan pemakaian pemarkah lain dengan contoh data yang telah disebutkan secara deiktis merujuk kepada dewi padi. Jadi dapat dikatakan bahwa pemarkah yang merujuk kepada padi lebih banyak dibandingkan dengan pemarkah yang merujuk kepada dewi padi. Penelitian khazanah verbal kepadian ini juga menekankan pada aspek fungsi dan makna. Fungsi dan makna khazanah verbal kepadian terdiri atas fungsi dan makna ideologis, fungsi dan makna sosiologis, dan fungsi dan makna biologis. Khazanah verbal kepadian yang berfungsi dan bermakna ideologis berupa pengharapan hujan, pengharapan padi tumbuh dengan baik, pengharapan bebas hama penyakit, pengharapan kelancaran dalam tahap pascatanam, dan pengharapan hasil panen berlimpah. Khazanah verbal kepadian yang berfungsi dan bermakna sosiologis keselarasan hubungan antara manusia dan Tuhan Yang Mahaesa, keselarasan hubungan antara manusia dan arwah leluhur, keselarasan hubungan antara manusia dan dewi padi, keselarasan hubungan manusia dan arwah-arwah di
186
sekitar ladang, keselarasan hubungan antarmanusia, dan keselarasan hubungan antara manusia dan kampung halaman, keselarasan hubungan antara manusia dan seluruh isi ladang.
Fungsi dan makna biologis khazanah verbal kepadian
menjelaskan hubungan yang saling berkesinambungan antara manusia dan lingkungan kepadian. Keterikatan manusia dan lingkungan kepadian terealisasi dalam leksikon kepadian. Bentuk penggunaan kata yang menggambarkan fungsi dan makna biologis adalah bha-ngandi-ya „sudah membawanya‟, ha-mburu-ngoka „menurunkan‟, ta-ngo-ya-ka „menyimpannya‟, woka „tanam‟, tondo „tanam‟, pa-noto-ni „mengenakannya‟, dan pa-gene-ni „mengenakannya‟. Bentuk-bentuk yang telah disebutkan di atas memiliki makna yang sama, yaitu menanam bibit padi. Bahasa Kodi memiliki perbendaharaan kata yang kaya sehingga bentuk tanam saja bisa diwakili oleh bentuk-bentuk verba yang disesuaikan dengan konteksnya, seperti verba ngandi „bawa‟, mburu „turun‟, ta „simpan‟, woka „tanam‟, tondo „tanam‟, noto „kena‟, dan gene „kena‟.
6.2 Saran Kehidupan kepadian komunitas tutur Kodi yang tercermin dalam bahasa berupa khazanah verbal kepadian sangat penting untuk dipelihara, dikembangkan, dan didokumentasikan karena adanya aspek bahasa lingkungan dan lingkungan bahasa yang terkandung di dalamnya. Penelitian “Khazanah Verbal Kepadian Komunitas Tutur Bahasa Kodi, Sumba Barat Daya: Kajian Ekolinguistik” ini masih memiliki kelemahan-kelemahan dan belum begitu sempurna. Berkenaan dengan itu, penelitian aspek kebahasaan dalam konteks ekologi perlu
187
dikembangkan dengan menggunakan kajian ekolinguistik yang lebih mendalam lagi dengan menerapkan model-model ekolinguistik untuk menjawab aspek semantik, sintaktik, dan pragmatik serta dimensi ideologis, sosiologis, dan biologis agar semua permasalahan yang berhubungan dengan bahasa dan ekologi terjawab
dengan
baik.
Ciri
penelitian
ekolinguistik
dengan
penerapan
parameternya juga perlu dipaparkan secara mendalam. Selain itu, perlu dikembangkan
jenis
penelitian
ekolinguistik
yang
berupa
ekofonologi,
ekomorfologi, ekosintaksis, ekosemantik, dan ekopragmatik yang memperkaya aspek penelitian ekolinguistik. Dengan adanya penelitian ini, segala hal kepadian harus menjadi sorotan dalam kehidupan masyarakat karena merefleksikan kehidupan
sosio-kultural-ekologis
masyarakat.
Penelitian
ini
diharapkan
menggugah pemikiran komunitas tutur Kodi agar tetap melestarikan pola penanaman padi ladang warisan leluhur yang berlandaskan budaya.