BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Komposisi Vegetasi. Pada keseluruhan tingkatan vegetasi mangrove,baik yang dijumpai di pesisir Labuhan Bontong dan Desa Gapit jenis tanaman yang paling mendominasi adalah Rhizophora stylosa apiculata
(18 %), Bruguiera gymnorhiza (15 %) dan
R.
(11 %). Tiga jenis tanaman mangrove ini memiliki kemampuan
regenerasi yang baik dan mampu beradaptasi dengan baik. Hal ini didukung oleh pendapat Setyawan
(2008), mangrove juga bisa dipengaruhi tingginya
sedimentasi dan perubahan habitat. Ketersediaan propagul diduga lebih berpengaruh dalam proses reproduksi. Mangrove akan bereproduksi jika kondisi lingkungan cocok atau sesuai. Hal ini berkaitan dengan daya adaptasi mangrove terhadap kondisi yang ekstrim, seperti beting lumpur baru akan didominasi tumbuhan yang propagulnya paling banyak sampai di tempat tersebut Daya adaptasi mangrove terhadap kondisi alam yang ekstrim dimana salinitas yang tinggi dan sedimentasi yang banyak kemampuan adaptasi yang tinggi dengan lingkungan sangat baik dan
Jenis mangrove
yang mendominasi daerah yang
berlumpur paling banyak dijumpai tempat tersebut ditunjukkan oleh Rhizophora stylosa.
Jenis tanaman mangrove dengan komposisi Bruguiera Osbornia octodonta, Xylocarpus
cylindrica,
moluccensis dan Avicennia officinalis yang
paling sedikit pada lokasi penelitian (Tabel 5.3). Hal ini mengindikasikan bahwa jenis ini kurang mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Selain itu 94
95 pengaruh eksploitasi mengakibatkan penurunan jumlah masing-masing jenis mangrove. Perbedaan komposisi jenis mangrove setiap petak pengamatan berbeda, disebabkan oleh karakteristik masing-masing jenis dan habitatnya. Kondisi mangrove dapat dipengaruhi oleh tingginya tingkat sedimentasi dan tingkat aktivitas masyarakat di Nanga Prung dan Nanga Bonto, sehingga mempercepat hilangnya area mangrove karena berubah menjadi daratan. Tingginya tingkat sedimentasi tersebut akan mengubah pola sebaran dari benih maupun tingkat rekolonisasi (Kitamura dkk, 1997). Lebih lanjut Chapman (1984) menjelaskan bahwa pada daerah yang terbentuk dari hasil sedimentasi baru umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang rendah dengan kandungan bahan organik yang sedikit dan vegetasinya didominasi oleh Avicennia. Hasil analisa substrat tanah menunjukkan kesamaan tekstur tanah, yaitu tekstur lempung berpasir. Kesamaan tekstur ini diduga menyebabkan jenis mangrove yang dominan di ketiga lokasi pengamatan juga sama, yaitu
R.
apiculata. Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa komposisi substrat berbeda di tiap petak pengamatan. Tingginya persentase pasir di tiap petak pengamatan berasal dari daratan karena jaraknya yang paling dekat dengan daratan, sehingga mendapat banyak masukan pasir yang dibawa air tawar terutama pada saat terjadi hujan deras. Persentase debu bervariasi pada setiap petak pengamatan, karena sering tergenang yang dipengaruhi oleh lamanya genangan pasang surut air laut, sehingga lebih banyak mendapat endapan debu pada saat tergenang. Terlebih lagi
96 di area penelitian terdapat dua muara sungai yang cukup luas yang membuat banyaknya unsur hara pada endapan lumpur yang dibawa oleh aliran air sungai. Kandungan C-organik
yang tinggi pada beberapa lokasi penelitian
membuat tanaman R. stylosa, B. gymnorhiza dan R. apiculata cenderung tumbuh subur. Hal ini disebabkan karena ketersediaan serasah vegetasi mangrove di lokasi penelitian yang cukup tinggi. Didukung oleh pendapat Hidayanto dkk., (2004) yang menyatakan
bahwa potensi kandungan C-organik akan semakin
meningkat seiring dengan ketersediaan serasah. Ketersediaan N adalah cenderung rendah hingga sedang pada seluruh lokasi penelitian, namun untuk ketersediaan P adalah cenderung tinggi pada seluruh lokasi penelitian. Hal ini mempengaruhi pertumbuhan dari mangrove, dimana menurut Taqwa (2010) menyebutkan bahwa rendahnya N total dan P tersedia dalam substrat, karena dimanfaatkan kembali oleh mangrove untuk pertumbuhannya. Rasio C/N di lokasi penelitian menggambarkan bahwa tingkat perombakan bahan organik di lokasi penelitian adalah kecil (C/N = 3,34 / 0,24). Kemungkinan serasah mangrove mendominasi bahan organik di tanah dan belum mengalami perombakan. Dijelaskan Hidayanto, dkk.(2004) bahwa daun segar tanaman akan menghasilkan rasio C/N sebesar 10 – 20 %. Dari hasil pengamatan dan data penduduk dari kedua desa ini yaitu antara Desa Gapit dan Desa Labuhan Bontong tingkat cara pandang terhadap ekosistem mangrove berbeda. Karakteristik dan kebiasaan aktifitas sehari–hari di kedua desa ini berbeda mengingat penduduk Desa Gapit aktifitasnya sebagai petani dan peternak sedangkan penduduk Desa Labuhan Bontong bermata pencaharian
97 sebagai petani, peternak dan nelayan. Hal inilah mempengaruhi komposisi mangrove pada lokasi penelitian, terutama pada stasiun III (Nanga Bonto) yang sudah mulai mengalami kerusakan serta tingkat ketebalan mangrove sudah mulai menipis. Bila ditinjau dari jumlah penduduk dan tingkat pendidikan masyarakat dari kedua desa, rata-rata tingkat pendidikan masyarakat di Labuhan Bontong cenderung lebih tinggi, namun tidak disertai dengan kesadaran menjaga kelestarian ekosistem mangrove. Hal ini dikarenakan faktor kebutuhan dan ekonomi dari masyarakat Labuhan Bontong yang mayoritas sebagai nelayan yang membuat mereka cenderung memanfaatkan kayu mangrove sebagai sarana alat tangkap dan kayu bakar. Terlebih lagi dengan adanya perusahaan tambak udang intensif yang masuk ke Desa Labuhan Bontong, dimana proses perluasan lahan tambaknya yang cukup luas menyebabkan tingkat komposisi mangrove berkurang.
6.2 Struktur Vegetasi Indeks Nilai Penting (INP) yang ada pada suatu ekosistem mangrove akan menggambarkan pengaruh dan peranan suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting yang tertinggi pada tingkatan Pohon adalah Avicennia marina (101,75 %), (Tabel 5.9),
Rhizophora stylosa (99,44 %), (Tabel 5.15)
dan R. apiculata
(87,70 %) (Tabel 5.11), sedangkan terendah adalah A. lanata (23,71 %) (Tabel 5.16) pada tingkat tiang, INP tertinggi adalah R. stylosa (162,30 %) (Tabel 5.12) dan R. apiculata (110,03 %) (Tabel 5.12) sedangkan yang terendah adalah Osbornia oktodonta (14,52 %) (Tabel 5. 7) . Sedangkan untuk tingkat Pancang, INP tertinggi adalah R. stylosa (107,94 %) (Tabel 5.10) dan R. apiculata
98 (Tabel 5.11) B. sedangkan terendah adalah C. tagal (14,16 %) (Tabel 5. 12), Dan pada tingkatan Semai, INP tertinggi adalah B. gymnorhiza (171,99 %) (Tabel 5.7), R. apiculata (167,37 %) (Tabel 5.11) dan R. stylosa (89,99) (Tabel 5.17) , sedangkan terendah adalah B. cylindrica (25,39 %) (Tabel 5.17).. Menurut Tomlinson (1986), tanaman mangrove pada jenis Rhizophora, Bruguiera, Avicennia umumnya bisa dijumpai di kawasan hutan mangrove pesisir pantai kawasan indo-malesia (Indonesia dan Malaysia), yang merupakan pusat biografi jenis-jenis mangrove tertentu. Jenis B. Gymnorrhiza termasuk dalam famili Bruguiera merupakan jenis yang bisa menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan dan ekosistem mangrove. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Odum (1973) bahwa kelompok tumbuhan yang dominan pada hutan mangrove adalah jenis bakau dari famili Rhizophora seperti R. apiculata, dan B. gymnorrhiza. Hal ini membuktikan bahwa jenis-jenis tersebut dapat tumbuh dengan baik seperti yang terdapat di Teluk Saleh Kabupaten Sumbawa. Rendahnya nilai INP mengindikasikan bahwa jenis tanaman bersangkutan kurang mampu beradaptasi ataupun bersaing dengan lingkungan termasuk dengan jenis lainnya. Rendahnya ketahanan terhadap gejala alam serta pengaruh eksploitasi mengakibatkan jenis-jenis tersebut berkurang dari tahun ke tahun akibat terjadinya kerusakan dan pencemaran. Dalam Tokuyama dan Arakaki (1988), penurunan jumlah vegetasi pada beberapa jenis mangrove sepanjang Sungai Nakama di Jepang dikarenakan beberapa jenis mangrove tidak mampu bertahan akibat adanya pencemaran.
99 Tanaman R. stylosa, Bruguiera gymnorhiza dan R. apiculata memiliki nilai INP tinggi dan cenderung tumbuh subur dikarenakan beberapa faktor seperti pengaruh ketersediaan N dan P. Ketersediaan P yang cenderung tinggi, namun tidak diikuti oleh ketersediaan N yang cenderung rendah hingga sedang pada seluruh lokasi penelitian, mempengaruhi pertumbuhan dari jenis mangrove. Hal ini didukung oleh Taqwa (2010) yang menyebutkan bahwa rendahnya N total dan P tersedia dalam substrat, dikarenakan dimanfaatkannya kembali oleh mangrove untuk pertumbuhannya. Disamping itu, kandungan C-organik yang tinggi serta ketersediaan serasah vegetasi mangrove di lokasi penelitian yang cukup tinggi. Menurut Hidayanto dkk., (2004), potensi kandungan C-organik akan semakin meningkat seiring dengan ketersediaan serasah. Tanaman Rhizophora, menyukai area perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukkan air tawar yang kuat secara permanen, tetapi lebih toleran terhadap substrat yang lebih keras dan pasir. Pada umumnya, tanaman jenis ini tumbuh dalam kelompok, yang hidup di dekat atau pada pematang sungai pasang surut dan di muara sungai, jarang sekali tumbuh pada daerah yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal, terjadi pada area yang tergenang dalam, sedikit kandungan pasirnya, serta pada tanah yang kaya akan humus (Kusmana dkk, 2003). Terkait dengan minimnya nilai INP dari Osbornia oktodonta, diakibatkan karena nilai ekonomis dari jenis ini yang cukup tinggi bagi masyarakat sekitar terutama para nelayan. Kayu jenis Osbornia oktodonta sangat berat, sangat keras, kuat dan awet. Kayunya yang baru digunakan dalam konstruksi seperti tiang atau
100 untuk bantalan rel. Kulit kayunya digunakan sebagai pasak, yakni untuk menambal sela-sela dinding perahu kayu agar tidak bocor. Tidak hanya itu, daunnya yang berbau aromatis digunakan nelayan untuk mengusir nyamuk. Dan pucuknya dapat dimasak, atau untuk obat sakit gigi (Giesen dkk, 2007). Hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah populasi dari jenis Osbornia oktodonta secara signifikan.
6.3 Tingkat Keanekaragaman Gambaran mengenai struktur organisme berupa persekutuan suatu spesies dalam suatu komunitas dapat dilihat dari indeks keanekaragaman. Pada penelitian ini, hasil analisis keanekaragaman vegetasi mangrove di Desa Gapit dan Lab Bontong menunjukkan indeks keanekaragaman keseluruhan sebesar 1,43. Hal ini mengindikasikan bahwa keanekaragaman jenis mangrove di Desa Gapit dan Labuhan Bontong masih rendah. Rendahnya keanekaragaman jenis mangrove ini dikarenakan tekanan aktivitas masyarakat di sekitar kawasan mangrove serta akibat adanya banjir yang terus menerus setiap tahun sehingga dapat mengikis akar mangrove dan merusak anakan/semai mangrove. Aktivitas masyarakat yang menggunakan sumberdaya hutan mangrove seperti pengambilan bahan kayu bakar, sarana perlengkapan untuk penangkapan ikan dari nelayan, pembuatan penahan tanggul tambak tradisional dan untuk kebutuhan tempat tinggal telah membuat terjadinya degradasi hutan mangrove Alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak tradisional, selain menyebabkan degradasi lahan juga mempengaruhi tingkat pencemaran, kualitas air juga dapat mempengaruhi tingkat keanekaragaman mangrove. Sedangkan tekanan dari alam
101 datang dari arus laut, gelombang laut, erosi, intrusi dan sedimentasi mempengaruhi ekosistem mangrove di daerah sekitar jadi di lokasi penelitian kondisi ini didukung oleh (Odum, 1994) tingkat keanekaragaman jenis mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia dan biologi di lingkungan mangrove. Faktor-faktor pembatas seperti faktor fisika dan kimia serta kompetisi interspesies sangat mempengaruhi nilai keanekaragaman. Dengan memperhatikan keanekaragaman dalam komunitas maka dapat diperoleh gambaran tentang kedewasaan organisasi suatu komunitas makin tinggi organisasi di dalam suatu komunitas tersebut maka keadaannya lebih baik. Apabila indeks keanekaragaman stabil maka masing-masing jenis akan berkesempatan untuk dapat melangsungkan daur hidup yang lebih teratur, efisien, dan produktif (Soeriaatmadja, 1981). Keanekaragaman spesies cenderung rendah dalam suatu ekosistem yang secara fisik dan kimia mendapat tekanan dan akan cenderung tinggi apabila dalam ekosistem diatur oleh alam dan kurang mendapat tekanan. Nilai keanekaragaman yang kecil terdapat pada daerah dengan lingkungan yang ekstrim atau adanya aktifitas masyarakat atau pengusaha yang mengeksploitasi hutan mangrove, sedangkan nilai keanekaragaman yang sedang dan tinggi akan memberikan kesempatan terhadap masing-masing jenis untuk melangsungkan daur kehidupan yang lebih teratur, efisien, dan produktif (Resosoedarmo, et al. 1985). Tokuyama dan Arakaki (1988) menurunnya keanekaragaman jenis pada ekosistem mangrove diakibatkan oleh perubahan fisik dan kimia ekosistem mangrove dan adanya limbah industry perkotaan, limbah pertanian dan limbah domesti, akibatnya beberapa jenis mangrove mati dan terjadi dominasi pada jenis mangrove yang
102 mampu bertahan pada situasi yang ekstrim. Beberapa faktor yang mengakibatkan menurunnya keanekaragaman mangrove di Indonesia adalah pemanfaatan jenis mangrove tertentu oleh masyarakat pesisir dan akibat perubahan yang ekstrim terhadap ekosistem itu sendiri (Sukardjo, 2002). Pembukaan lahan tambak udang secara Intensif sangat berpengaruh terhadap tingkat keanekaragaman mangrove disebabkan oleh pembukaan tambak cukup luas yang dibutuhkan untuk budidaya, kemudian pembersihan tritip pada tambak sebelum diadakan pengapuran dengan obat bahan kimia yang bisa mematikan bahan-bahan organik dan krustacea dalam tambak serta rembesan limbah tambah udang intensif yang akan mengalir ke hutan mangrove yang mengakibatkan bibit dan buah mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik. Ada beberapa jenis fauna yang terdapat di hutan mangrove Pesisir Pantai Desa Gapit dan Labuhan
Bontong antara lain : Burung Bangau, Biawak,
Kelelawar, lebah madu, Kepiting Bakau dan Kerang. Menurut Nybakken (1992). Beberapa hewan tinggal di atas pohon sebagian lain di antara akar dan lumpur sekitarnya. Walaupun banyak hewan yang tinggal sepanjang tahun, habitat mangrove penting pula untuk pengunjung yang hanya sementara waktu saja, seperti burung yang menggunakan dahan mangrove untuk bertengger atau membuat sarangnya tetapi mencari makan di bagian daratan yang lebih ke dalam, jauh dari daerah habitat mangrove. Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, baik fauna khas mangrove maupun fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Berbagai fauna tersebut menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, mencari makan, bermain
103 atau tempat berkembang biak. Jumlah ekosistem fauna yang berkisar 49 jenis burung di Pulau Rambut yang terdiri dari 16 jenis burung air dan 33 jenis bukan burung air. Sedangkan Mardiastuti, (1992) menyebutkan bahwa di Pulau Rambut terdapat 15 jenis burung air. Berdasarkan hasil pengamatan Mardiastuti, di Pulau Rambut terdapat 15 spesies burung air dengan populasi terbesar pada famili Heron (Ardeidae) dan Commont (Phalacrocoracidae). Jenis yang lainnya termasuk ke dalam family Darter (Anhingidae). Stork (Ciconiidae) dan Ibises (Threskionthidae). Sedangkan jenis burung di lokasi penelitian hanya dijumpai dua jenis yaitu burung bangau (Bubulkus ibis kutal), kokokan (Butorides striatus) bila dibandingkan dengan di Pulau Rambut.
6.4. Tingkat Kerusakan Vegetasi Mangrove Kondisi vegetasi tegakan mangrove di lokasi penelitian menunjukkan fenomena perubahan fisik yang muncul pada saat melakukan pengamatan antara lain : adanya perubahan kondisi ekosistem hutan mangrove secara drastis yang diakibatkan oleh adanya aktifitas manusia yang tinggi di sekitar lokasi hutan mangrove karena adanya pemukiman penduduk pesisir yang sangat membutuhkan kehidupannya pada hutan mangrove. Selama dalam melakukan pengamatan telah terjadi perbedaan yang mencolok mulai dari stasiun I, stasiun II (Nanga Prung) berada di Desa Gapit sedangkan stasiun III (Nanga Bonto) dan stasiun IV berada sebelah barat dari Desa Labuhan Bontong. Pada lokasi stasiun III yaitu yang dekatan dengan nanga Bonto merupakan stasiun yang sudah mulai mengalami kerusakan ekosistem. Walaupun masih dalam kriteria Sedang dalam baku mutu kerusakan mangrove, tingkat kerapatan di
104 Stasiun III sangat rendah dan ketebalannya sangat kurang dari (150 m – 200 m). Hal ini dikarenakan pada stasiun ini berlokasi paling dekat dengan daerah pemukiman masyarakat Desa Labuhan Bontong pesisir, sehingga terjadi tekanan dikarenakan aktivitas penduduk yang mengeksploitasi hutan mangrove untuk kebutuhan rumah tangga, perlengkapan penangkapan ikan, kayu bakar, tambak dan lainnya. Sedangkan untuk Stasiun I, II yang berada pada daerah Nanga Prung sedangkan stasiun IV berada pada nanga Bonto tepat di Desa Labuhan Bontong memiliki kriteria baik, dimana kondisi hutan mangrovenya masih relatif alami dan didukung oleh berdekatannya muara sungai/nanga prung Nyeringing dan muara sungai/nanga bonto Labuhan Bontong, sehingga sering terjadi pasang surut yang membawa unsur hara yang baik bagi pertumbuhan mangrove.
6.5 Kondisi Masyarakat di Sekitar Mangrove Masyarakat dua desa ini pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang semi modern, dalam arti masyarakat ini sedikit ada pengaruh dari pada kebiasaan masyarakat karena kebiasaan dan tingkah laku setiap hari cenderung memiliki kebiasaan ada aktifitas yang harus dilakukan pada pagi hari sampai sore hari, ini diakibatkan pengaruh adanya fasilitas yang mendukung yang dapat menghubungkan dengan tempat bermukimnya masyarakat tersebut, fasilitas tersebut akan mendukung aktifitas masyarakat yang bermukim di sekitar mangrove bersifat gabungan masyarakat kota dan masyarakat perdesaan, kedua desa tersebut yaitu masyarakat Gapit cenderung memiliki aktifitas sebagai petani
105 dan peternakan, kemudian masyarakat Labuhan Bontong aktifitasnya sebagai nelayan dan peternakan serta sebagai petani. Masyarakat pesisir mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas/unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri. Karena sifat dari usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut. Pengelolaan hutan mangrove dalam perspektif sosial masyarakat pesisir sejauh ini sudah cukup efektif. Hal ini terbukti terhadap lingkungan dengan melihat fungsi hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari abrasi pantai serta sebagai habitat beberapa jenis ikan, sangatlah berpengaruh terhadap tingkat produktifitas biota laut termasuk kepiting dan kerang yang mana organisme ini mempunyai nilai ekonomis yang sangat menjanjikan bagi masyarakat setempat untuk menambah penghasilan. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa secara tidak langsung keberadaan hutan mangrove di pesisir Teluk Saleh telah memberikan lapangan usaha berupa peningkatan kebutuhan masyarakat setempat.
6.6 Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Mangrove. Masyarakat pada umumnya memiliki pandangan yang berbeda baik dari segi positif maupun dari segi negatif. Masyarakat semakin lama akan bertambah penduduknya sehingga memerlukan ruang untuk membangun sarana dan prasarana untuk mempertahankan hidup. Desakan kehidupan yang beragam baik dari segi sosial, ekonomi dan budaya maka timbullah keputusan untuk melakukan pemanfaatan hutan yang semula hutan mangrove tersebut masih di katagorikan
106 baik. Pranata sosial di masyarakat sangat beragam, hanya saja pengetahuan masyarakat tentang ilmu lingkungan masih sangat terbatas karena pihak tokoh agama, dan tokoh masyarakat belum dibekali dengan pengetahuan tentang lingkungan, serta organisasi masyarakat kurang berpihak kepada lingkungan mangrove karena setiap ada kegiatan yang menyangkut pendidikan tentang lingkungan tidak dilibatkan sebagai pelaku Masyarakat Sumbawa Memiliki kebiasaan kearifan lingkungan tidak dimaknai sebagai pendidikan lingkungan hidup, masyarakat yang berada di sekitar lingkungan mangrove, masyarakat sumbawa tahu tentang kearifan lingkungan itu ada di daerahnya yaitu “Ritual Menentukan Lokasi Lahan” apabila akan membuka lahan pertanian yang baru pasti melakukan perhitungan bulan berdasarakan tahun hijriyah. Ano Balong bulan, Ballong (baik) penentuan ini untuk menentukan hari dan bulan baik, masyarakat Sumbawa setiap memulai pekerjaan dimulai dengan Rebo akhir. Hari ini menandakan adalah hari yang paling baik. Barang siapa yang melanggar akan mendapatkan malapetaka bagi yang melanggarnya. Penentuan hari baik atau ano balong Bulan, bulan
yang
sudah ditetapkan oleh sandro /orang yang dipercayakan untuk menentukan hari baik atau tidak/Pemberi petunjuk memulai mengelilingi atau menyusuri hutan untuk mencari yang tidak adanya sumber mata air, apabila sandro sudah menyusuri hutan biasanya ada beberapa tanaman obat-obatan yang ditemukan oleh sandro termasuk tanaman langka dan tanaman yang menghasilkan seperti : Aren (Arenga pinata), kemiri (Aleuritas moluccana), damar (Agathis dammara),
107 untuk menentukan lokasi yang bagus sandro akan menancapkan sebatang pohon yang telah diseleksi oleh sandro (Syamsurijal, 2013). Ada beberapa sandro memiliki ciri khas tersendiri untuk menentukan bahan kayu yang berbeda-beda, ada jenis kayu yang bergetah, kemudian sebaliknya menggunakan kayu yang tidak bergetah. Pada dasarnya penancapan kayu selama ini hampir semua sandro menancapkan kayu selalu terbalik ujung atas ditancapkan ke dalam tanah. Kebiasaan ritual ini selalu dianalogkan kehadiran mimpi bagi para pembuka lahan kemudian diterjemahkan apakah lokasi yang ditandai oleh sandro mendapatkan persetujuan dari penghuni gaib kawasan hutan kemudian diterjemahkan dalam bahasa Sumbawa disebut baeng la lamit ( penunggu hutan), setelah mendapatkan perintah dari pihak penunggu gunung melalui sandro berdasarkan kemampuan indra penglihatan secara metafisik
yang bisa
berhubungan langsung dengan yang di atas, apabila kita melakukan pelanggran bertindak di luar petunjuk sandro kita akan mendapatkan musibah atau bahaya di dalam hutan. Kebiasaan masyarakat untuk membuka lahan dalam satu keluarga dia akan mendapatkan jatah lahan berkisar 1 ha sampai 2 ha, kemudian lahan yang telah dimanfaatkan untuk bercocok tanam ditinggalkan begitu saja, pada tahun berikutnya direncanakan pembukaan lahan baru lagi dan lahan yang lama ditinggal begitu saja, dalam waktu 4 tahun sampai 5 tahun kegiatan pembukaan lahan berjalan terus setiap datang musim penghujan. Dalam kehidupan masyarakat Sumbawa dikenal juga teknik untuk menjaga pelestarian serta
108 keseimbangan ekosistem hutan dari kepunahan dan kerusakan antara lain : menggunakan peri bahasa seperti seram (Angker) dan no terang (tidak baik/pantang). Masyarakat Gapit dan Labuhan Bontong
pada awalnya selalu
mempertahankan kebiasaan –kebiasaan untuk menjaga hutan, karena adanya perkembangan penduduk setiap tahun bertambah sehingga kebiasaan untuk menjaga hutan dan melindungi tradisi masyarakat Sumbawa lama kelamaan akan hilang akibat adanya kebutuhan ekonomi dan munculnya teknologi budidaya yang menghasilkan produksi udang dan bandeng yang cukup banyak sehingga masyarakat beralih pekerjaan membuka lahan tambak udang maka terjadilah kerusakan hutan mangrove, maka kearifan lokal masyarakat setempat akan punah karena pengaruh teknologi. Pada umumnya respon masyarakat untuk perlindungan hutan mangrove di lingkungan pantai pesisir Nyeringing Gapit dengan Labuhan Bontong dapat dilihat pada (Tabel 5.49), bahwa respon masyarakat terhadap perlindungan hutan mangrove cenderung didominasi oleh sikap setuju hanya saja belum lakukan implementasi di lapangan sampai pada tahap perilaku. Adanya tekanan aktifitas masyarakat yang melakukan pengrusakan mangrove ada berbagai hal antara lain akibat adanya kebutuhan yang mendesak dalam rumah tangga, kebutuhan sarana dan prasarana penangkapan dan adanya pembukaan lahan tambak udang yang walaupun secara tradisional. Pendidikan adalah merupakan salah satu tolok ukur untuk kesadaran masyarakat dalam hal perlindungan hutan mangrove, bila di tinjau pendidikan
109 formal masyarakat Gapit dari 2389 orang kemudian usia sekolah berdasarkan data monografi Desa Gapit, bahwa yang tamat SD 651 orang, tamat SMP 294 orang, tamat SMA 260 orang, Tamat Sarjana S1 44 orang dapat dilihat pada (Tabel 5.27) masyarakat Labuhan Bontong pendidikan mulai dari tingkat TK/Play Group berjumlah 92 orang, yang tamat SD/sederajat
berjumlah 476 orang, tamat
SLTP/sederajat berjumlah 217 orang, yang tamat SLTA/sederajat berjumlah 225 orang, yang tamat D-1 berjumlah 9 orang, yang tamat D-2 berjumlah 23 orang, yang tamat D-3 berjumlah 23 orang sedangkan yang tamat S-1 berjumlah 50 orang. Desa Labuhan Bontong (Tabel 5.28). Bila dilihat dari angka jumlah penduduk dengan dibandingkan dengan jumlah tingkat pendidikan masyarakat Desa Gapit dan Desa Labuhan Bontong termasuk memiliki kemauan dalam bidang pendidikan sangat tinggi mengingat jumlah lulusan pendidikan lumayan banyak, hanya saja pendidikan secara non formal yang mengarahkan dalam perlindungan hutan belum tersentuh di masyarakat. Perilaku lingkungan memberikan pengaruh yang negatif terhadap lingkungan mangrove seperti pembuangan sampah pada drainase, pengerasan lahan, pengambilan bahan material kayu mangrove dan lain sebagainya. Selanjutnya Indrawijaya, (2000) mengatakan bahwa sikap seseorang dapat mengalami perubahan, karena proses interaksi dengan lingkungan maupun melalui proses pendidikan. Wibowo dan Handayani (2006), menjelaskan bahwa dengan semakin meningkatnya pembangunan yang berorientasi pada aspek ekonomi, seperti konversi hutan mangrove menjadi area permukiman, kegiatan perikanan tambak,
110 rekreasi, dan sebagainya telah memberi dampak negatif pada keberadaan ekosistem hutan mangrove. Dahuri dkk (2001) menambahkan bahwa beberapa kegiatan pembangunan di wilayah pesisir yang dapat memberikan dampak terhadap kelestarian lingkungan meliputi pembangunan kawasan permukiman, kegiatan industri, rekreasi dan pariwisata bahari serta konversi hutan menjadi area pertambakan Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat dari adanya aktifitas masyarakat bahwa pengaruh pendidikan formal dan non formal kesadaran masyarakat akan perlindungan hutan mangrove di sekitarnya akan baik, bila pengetahuan masyarakat tentang manfaat mangrove sangat penting
bagi kehidupan
masyarakat. Perlindungan dan pelestarian hutan mangrove adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat sehingga dapat dilihat dari pola pikir dan pola hidup masyarakat
yang selama ini merusak lingkungan akan
merugikan masyarakat itu sendiri dan individu. Kendala ekonomi masyarakat yang masih rendah akan berpengaruh terhadap lingkungan di sekitar. Perlu adanya peningkatan kesadaran melalui pendidikan formal maupun non formal kemudian didukung oleh ekonomi masyarakat yang memadai.
5.7 Budaya Masyarakat Identitas budaya adalah rincian karakteristik atau ciri-ciri sebuah kebudayaan yang dimiliki oleh sekelompok orang yang diketahui batas-batasnya, tatkala dibandingkan dengan karakteristik atau ciri-ciri kebudayaan orang lain, identitas itu ditentukan oleh struktur budaya maupun struktur sosial. Identitas
111 budaya merupakan ciri yang ditunjukkan seseorang karena orang itu merupakan anggota dari kelompok tertentu yang memiliki kebiasaan dan adat yang berbeda. Kebudayaan menampakkan diri sekurang-kurangnya dalam 3 wujud yaitu : 1) Sebagai satu komplek gagasan, konsep, dan pikiran manusia 2) Sebagai suatu kompleks aktivitas untuk melakukan pertemuan/lembaga 3) Sebagai benda berupa hasil kerajinan tangan Dari ketiga wujud ini kebudayaan yang bersifat dalam bentuk benda dan aktifitas yang nyata, ada dalam benak manusia tetapi tidak dapat dilihat dan dipandang atau ide untuk mewujudkan sesuatu kegiatan untuk kehutanan. Para ahli antropologi menyebutnya dengan istilah sistem budaya (cultur system) sebagai aktifitas manusia yang kompleks kebudayaan lebih bersifat kongkrit, dapat diamati yang oleh para antropolog disebut sistem sosial.Berdasarkan faktorfaktor ekologi, secara garis besar masyarakat Indonesia lama dapat dibagi dua, yaitu masyarakat pantai dan masyarakat agraris atau pedalaman. Indonesia adalah negara kepulauan yang penduduknya tersebar di berbagai tempat, baik secara teritori, etnis, maupun tradisi. Dengan kondisi tersebut tumbuhlah berbagai kearifan tradisional untuk melindungi dirinya dan alam sekitarnya secara spesifik. Hal tersebut dikukuhkan dalam kebijakan lembaga adat yang dilandasi pengetahuan lokal atau kearifan tradisional yang bersifat abadi dan lepas dari kepentingan tertentu. Nilai-nilai lokal dan kearifan tradisional bagi masyarakat bersangkutan merupakan pedoman dan kepercayaan yang harus diikuti turun-temurun tanpa reserve. Melalui lembaga adat masyarakat setempat membentuk suatu komunitas untuk mendapatkan nilai-nilai lokal dan tradisional
112 serta kebiasaan untuk aktifitas perlindungan hutan yang harus ditentukan oleh seorang sandro orang pintar yang berhubungan atau yang menguasai wilayah hutan. RT/RW Kabupaten Sumbawa Tahun 2005-2015 disebutkan tujuan pemantapan kawasan resapan air adalah melindungi wilayah-wilayah yang berpotensi tinggi dalam meresapkan air. Pada wilayah ini sebagian besar dimanfaatkan untuk hutan dan perkebunan, serta sebagian merupakan tanah kering yang kurang dimanfaatkan. Adapun arahan pengelolaan pemanfaatan ruangnya adalah : 1. Pencegahan
dilakukan
terhadap
kegiatan
budidaya
yang
dapat
mengganggu fungsi resapan air. 2. Bila sekitar kawasan ini terdapat kegiatan budidaya, maka harus dilakukan pengendalian agar tidak meluas. 3. Perubahan penggunaan tanah apabila pada penggunaan tanah saat ini merupakan areal bersemak, rumput, tanah yang rusak dan tandus yaitu dengan meningkatkan jumlah/populasi vegetasi yang mampu menyerap air yaitu dengan pemilihan tanaman yang memiliki sistem perakaran tanaman yang mampu menyerap air lebih baik. 4. Peningkatan daya dukung sumber air dilakukan dengan meningkatkan populasi vegetasi di kawasan lindung mutlak sesuai dengan fungsi kawasan, serta dengan mendayagunakan potensi tanah kritis, padang alang-alang, tanah tandus yang menjadi bagian dari kawasan lindung mutlak.
113 Desa Gapit memiliki tingkat kearifan lokal tersendiri yaitu budaya karapan kerbau dan pacuan kuda hampir setiap tahun dilaksnakan pada musim hujan, hal ini kebiasaan masyarakat
Gapit, Empang mengembalakan ternak di padang
rumput yang banyak sehingga kebutuhan akan rumput bagi ternak tetap tersedia akibat lokasi pengembalaan ternak tidak boleh di ganggu atau dikembangkan budidaya yang lain. Masyarakat yang memiliki tingkat perhatian pada hutan mangrove adalah Dusun Nyeringing Desa Gapit tempat pelaksanaan penelitian karena penduduk yang bermukim disekitar hutan mangrove selalu menjaga keberadaan hutan mangrove, apabila terjadi eksploitasi hutan mangrove di Dusun Nyeringing yang dilakukan oleh penduduk lain yang bermukim dekat pantai dan muara sungai sebagai alat untuk melakukan sarana transportasi, maka tokoh masyarakat Dusun Nyeringing Bapak Haji Rasid akan melakukan tindakan pengusiran.
6.8 Kualitas Lingkungan Mangrove di Perairan Pesisir Teluk Saleh. Kawasan mangrove di teluk saleh yang terdapat di bagian barat daya dan pantai selatan sebagian besar termasuk dalam kategori masih baik. Secara umum mangrove di teluk saleh tidak sebaik yang ada di pantai utara Alas-Moyo.
Berdasarkan hasil penelitian, tolok ukur dari kualitas lingkungan mangrove di perairan pesisir Teluk Saleh diukur berdasarkan komposisi, tingkat keanekaragaman,
tingkat kerusakan dan kondisi perairan mangrove. Hasil
pengamatan secara keseluruhan mengenai komposisi mangrove di perairan Teluk Saleh, yaitu berdasarkan nilai rata-rata yang lebih dominan muncul adalah Rhizophora stylosa 46 (Tabel 5.6), Bruguiera gymnorhiza 30 (Tabel 5. 3) dan
114 R. apiculata 28 (Tabel 5. 3).
Hal ini sesuai dengan data pengamatan dari
BPDAS (Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Dodokan Moyosari Kabupaten Sumbawa tahun 2007, dimana dari hasil pengamatan tersebut diperoleh komposisi mangrove yang dominan di daerah Sumbawa adalah Rhizophora stylosa, R. Mucronata, Avicenia, Bruguiera gymnorhiza , Sonneratia alba dan R. Apiculata (Tabel 5.3). Pada tingkat keanekaragaman mangrove di perairan pesisir Teluk Saleh, diperoleh hasil dengan kategori sedang, yaitu dengan rata-rata nilai sebesar 1,44. Nilai ini masuk dalam kategori sedang yaitu antara 1,1 – 1,5. Kategori tingkat keanekaragaman sedang ini berlaku untuk seluruh stasiun penelitian dari stasiun I (Nanga Prung) Desa Gapit sampai Stasiun IV (Nanga Bonto) Desa Labuhan Bonto. Kategori sedang ini menunjukkan kekayaan jenis dalam komunitas serta keseimbangan ekosistem pada seluruh wilayah penelitian adalah sedang, hal ini berarti seluruh wilayah ini memiliki tingkat biodiversitas yang sedang / cukup. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Odum (1994) dimana Indeks keanekaragaman menunjukkan kekayaan jenis dalam komunitas dan juga memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian jumlah individu tiap jenis. Keanekaragaman suatu komunitas organisme ditandai oleh banyaknya macam spesies organisme yang membentuk suatu komunitas tersebut. Semakin banyak jumlah spesies semakin tinggi biodiversitasnya. Tingkat kerusakan mangrove di perairan pesisir Teluk Saleh secara keseluruhan masih dalam kategori rendah atau tidak terjadi kerusakan yang melebihi ambang batas. Hal ini dapat terlihat dari tingkat kerapatan hutan
115 mangrove keseluruhan sekitar 2.338 pohon/ha yang tergolong dalam tingkat kerapatan baik atau sangat padat. Dimana menurut Kemen LH no. 201 tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan Mangrove, kategori baik (sangat padat) adalah lebih dari 1500 pohon/ha. Kategori baik (sangat padat) ini diperoleh dari pengamatan pada stasiun I, II (Nanga Prung) dan stasiun
IV sebelah barat
(Nanga Bonto) (Tabel 5.19). Hanya saja, pada stasiun III (Nanga Bonto), tingkat kerapatannya tergolong kedalam tingkat sedang. Hal ini terjadi karena pada Stasiun III (Nanga Bonto) sudah mulai dipengaruhi oleh adanya aktivitas masyarakat yang cenderung menggunakan dan merambah hutan mangrove sebagai bahan kebutuhan ekonomi. Kondisi perairan mangrove diukur melalui suhu udara, tingkat keasaman (pH) dan salinitas. Berdasarkan data yang diperoleh dari BMKG Kabupaten Sumbawa, kualitas suhu udara / temperatur udara di perairan mangrove pesisir Teluk Saleh termasuk dalam kategori tidak alami, yaitu dengan nilai rata-rata sebesar 26,5 ºC (kategori alami = 28 – 32 ºC), (Tabel 5.23) sedangkan untuk tingkat keasaman (pH), kondisinya masuk ke dalam kategori alami, yaitu 7,5 dimana kondisi pH alami adalah diantara 6 – 9 menurut Kepmen LH no. 51 tahun 2004. kondisi pH alami ini terjadi di seluruh stasiun penelitian, yang mengindikasikan bahwa seluruh wilayah penelitian memiliki daya dukung keasaman yang cukup untuk pertumbuhan mangrove dan untuk tingkat pH di wilayah ini masih belum terpengaruh oleh tingkat pencemaran. Namun untuk salinitas air, pada keseluruhan perairan mangrove ini diperoleh rata-rata sebesar 29,92 º/00, yang berarti masuk dalam kategori tidak alami menurut Kepmen LH
116 no. 51 tahun 2004 (alami = 30 – 34 º/00). Sedangkan untuk kondisi tanah di lokasi pengamatan baik dari pH 5 – 6,7, nitrogen total 0,2 – 0,33 dalam katagori sedang (katagori standar 0,21 – 0,50 %), posfor tersedia 0,1 – 82,09 katagori sangat tinggi (criteria standar > 35 ppm), kalium termasuk dalam katagori sangat tinggi > 60, tekstur debu 44,18 – 91,30 µ katagori sangat tinggi (criteria standar 50 µ - 2 µ), tekstur liat 11,18 % - 32,25 % sangat tinggi (criteria standar kurang dari 2 µ) jadi secara keseluruhan bahwa kondisi tanah mangrove di lokasi pengamatan dalam sedang, Hardjowigeno, (2007). Jika dilihat dari kondisi salinitas tiap Stasiun, kondisi yang tidak alami ini terdapat pada stasiun I dan II saja. Hal ini disebabkan oleh adanya muara sungai yang melintasi wilayah Stasiun I dan II (Nanga Prung) sehingga mempengaruhi tingkat salinitas menjadi yang agak rendah dari kondisi alami. Selain itu, faktorfaktor yang mempengaruhi distribusi salinitas di perairan ini adalah penyerapan panas terkait dengan suhu perairan, curah hujan, aliran sungai dan pola sirkulasi arus atau pasang surut arus. Jika pasang surut dan aliran sungai cukup kuat, maka di muara sungai akan terjadi pola stratifikasi massa air, suhu dan salinitas akibat dari aliran sungai dan pasang surut (Pond dan Pickard, 1983). Dari pemaparan beberapa tolok ukur di atas, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan kualitas lingkungan mangrove di perairan pesisir Teluk Saleh masih cukup baik. Hal ini diperoleh dari kondisi keanekaragamannya yang sedang dengan tingkat kerapatan pohon mangrove yang baik atau sangat rapat (tingkat kerusakan rendah) serta kondisi perairan (suhu, pH, salinitas) yang masih tergolong alami (Tabel 5.23