BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Subjek 6.1.1 Umur Adapun subjek yang terlibat dalam penelitian ini merupakan mahasiswa aktif berumur antara 19 – 23 tahun dengan rerata 19,47 ± 0,91 tahun yang semuanya sedang menjalani praktek di restoran. Rentang umur ini adalah rentang umur yang produktif, dimana subjek melakukan aktivitasnya dengan kekuatan fisik yang optimal. Grandjean (1988) mengatakan bahwa kondisi umur berpengaruh terhadap kemampuan kerja fisik atau kekuatan otot seseorang. Kemampuan fisik maksimal seseorang dicapai antara umur 25 – 35 tahun dan akan terus menurun seiring bertambahnya umur 6.1.2 Berat Badan dan Tinggi Badan Berat badan subjek yang terlibat dalam penelitian berkisar antara 55 – 71 kg dan tinggi badan berkisar antara 160 – 181 cm dengan rerata 169,42 ± 4,93 cm. Berat badan normal adalah tinggi badan dikurangi 100, dan berat badan ideal adalah berat badan normal ± 10% (Tjondronegoro, 1981; Manuaba, 1998). Begitu juga seperti yang dinyatakan dalam penelitian Sumayku, dkk. (2014), berat badan ideal diperoleh dari tinggi badan dikurangi seratus dan kemudian dikurangi lagi dengan 10 % hasil dari pengurangan sebelumnya. Penghitungan ini sudah dilakukan sejak tahun 1958. Jika dilakukan perbandingan antara berat badan dan tinggi badan, maka rerata subjek penelitian barada dalam katagori berat badan ideal. Berat badan yang normal ideal sangat diperlukan bagi staf atau karyawan yang bekerja di restoran
karena penampilan dan stamina dibutuhkan untuk dapat memberikan pelayanan yang prima kepada tamu. 6.1.3 Indeks Massa Tubuh Indeks massa tubuh dihitung berdasarkan perbandingan berat badan dalam satuan kg dengan kuadrat dari tinggi badan dalam satuan meter pada subjek yang bersangkutan. Indeks masa tubuh (IMT) yang normal untuk orang Indonesia adalah 18 – 25 tahun (Almatzier, 2001). Maka indeks masa tubuh subjek antara 18,94 – 23,88 termasuk katagori normal dan sehat. Seperti yang diutarakan NIOSH dalam Suputra (2003), bahwa tinggi badan, berat badan dan indeks masa tubuh mempunyai korelasi kuat terhadap risiko terjadinya gangguan muskuloskeletal. Hal ini serupa dengan penelitian Aryatmo (1981) dalam Palilingan (2013) yang menyatakan bahwa seseorang dengan indeks masa tubuh lebih besar dari 29 kg/m2 (gemuk) mempunyai risiko terkena gangguan muskuloskeletal 250 % lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai indeks masa tubuh lebih kecil dari 20 kg/m2 (kurus). Dilihat dari iindeks masa tubuh, dapat dinyatakan bahwa pada penelitian ini kondisi fisik subjek berada dalam kondisi yang baik dengan tubuh yang termasuk ideal. Indeks Massa tubuh yang tidak normal akan mempengaruhi beban kerja seseorang. Mahasiswa yang terlalu gemuk atau yang terlalu kurus akan dipengaruhi oleh kondisi fisiknya jika bekerja. Mahasiswa gemuk tidak bisa bekerja atau praktek secara lincah karena untuk bergerak dipengaruhi oleh berat badan tubuhnya, sehingga jika banyak bergerak akan lebih cepat lelah dan kinerja menurun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Straker, Pollock, dan Mangharam (1998) yang menyatakan bahwa pekerja gemuk tidak bisa bekerja secara lincah karena untuk
bergerak dipengaruhi oleh berat badan tubuhnya, sehingga jika banyak bergerak akan lebih cepat lelah dan kinerja menurun. Begitu juga dengan yang berat badannya sangat kurang (terlalu kurus) dimana apabila IMT kurang dari 17 dinyatakan status gizinya buruk (Depkes RI, 2003) dan hal ini tentunya akan mempengaruhi derajat kesehatan seseorang dan akhirnya akan berpengaruh terhadap efisiensi dan produktivitas kerja. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa efek kondisi subjek yang meliputi, umur, berat dan tinggi badan terhadap resiko munculnya keluhan muskuloskeletal dan kelelahan dapat dikontrol. 6.1.4 Antropometri Data antropometri yang diukur meliputi: tinggi siku saat berdiri, panjang tangan, panjang telapak tangan, lebar tangan sampai matakarpal, lebar tangan sampai ibu jari, tinggi ibu jari, dan panjang siku sampai pergelangan tangan. Tinggi siku saat berdiri diukur untuk mengetahui posisi/ tinggi benda yang dibawa (dalam hal ini piring), ukuran yang digunakan dengan persentil 5 dan hasilnya adalah 102,85 cm dari lantai. Ini menujukkan bahwa benda yang dibawa masih di zona kekuatan optimal yaitu di atas pertengahan paha dan di bawah bahu. Sedangkan jarak benda yang dibawa dari tubuh/ jarak horizontal beban adalah jarak dari otot pinggang ke tangan saat memegang objek di depan tubuh. Semakin jauh jarak beban dari tubuh, maka akan semakin besar tekanan kompresif pada vertebrae dan disk (Tarwaka, 2011). Dalam hal ini jarak horizontal beban diukur menggunakan panjang siku sampai pergelangan tangan karena saat membawa beban, lengan atas menempel dengan tubuh, maka dicarilah rerata panjang siku sampai pergelangan tangan subjek. Dari hasil pengukuran diperoleh rerata panjang siku sampai
pergelangan adalah 27,86 cm. Sedangkan jarak aman yang disarankan adalah 25 cm (Tarwaka, 2011), hal ini menunjukkan bahwa jarak rerata benda yang dibawa melebihi jarak yang disarankan sehingga resiko cidera makin tinggi, apalagi memegang dengan jari dimana kekuatannya tidak optimal. Pengukuran panjang tangan dan lebar tangan dilakukan untuk mengetahui ukuran persentil 5, sehingga dapat dibandingkan dengan ukuran alat (piring) yang akan digunakan. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh persentil 5 untuk panjang tangan adalah 17 cm dan untuk lebar tangan sampai matakarpal adalah 7,97 cm. Hal ini sejenis dengan penelitian Manurung (2013) yang mendapatkan ukuran persentil 5 diameter genggaman tangan subjek yang menggunakan alat pemotong talas sebesar 3,4 cm, dimana ukuran tersebut dijadikan patokan diameter stang pegangan pemotong talas yang baru sehingga dapat menurunkan kelelahan dan keluhan muskuloskeletal. Hal ini sesuai dengan data antropometri tangan orang Indonesia serta Dimensinya (Nurmianto, 2003). Apabila dibanding dengan dimensi ukuran tangan orang Amerika, tangan subjek (orang Asia) memiliki ukuran lebih kecil, yang mana persentil 5 untuk panjang tangan orang Amerika adalah 17,8 cm dan lebar telapak tangan sampai matakarpal adalah 8,20 cm (Panero dan Zelnik, 2003). Berdasarkan ukuran (orang Asia) tersebut jika memegang 3 buah piring chop plate yang berukuran dengan diameter 30,5 cm hanya akan mampu memegang sebagian kecil tepi piring, namun dengan menggunakan piring dinner plate yang diameternya 26,3 cm akan mampu memegang lebih banyak bagian piring sehingga tangan lebih nyaman memegangnya dan tidak terlalu menekan jari-jari tangan akibat dari berat piring. Untuk itu piring dinner plate lebih sesuai dengan antropometri subjek dalam hal ini mahasiswa yang sedang praktek di restoran. Dengan memiliki data antropometri yang tepat, maka seorang perancang produk ataupun fasilitas kerja
akan mampu menyesuaikan bentuk dan geometris ukuran dari produk rancangannya dengan bentuk maupun ukuran segmen - segmen bagian tubuh yang nantinya akan mengoperasikan produk tersebut (Soebroto, 2000). 6.2 Lingkungan Kerja Kondisi lingkungan di restoran meliputi suhu kering, suhu basah, kelembaban relative, sirkulasi udara, dan intensitas cahaya. Kondisi lingkungan ini diukur tiap satu jam mulai pukul 09.00 s.d 14.00 WITA. Hasil yang diperoleh akan dicari reratanya.. Berdasarkan Tabel 5.3 keadaan suhu ruangan (restoran) tempat penelitian dilakukan, diperoleh rerata suhu kering 25,56 ± 0,38oC pada Kelompok Kontrol dan 25,56 ± 0,94 oC pada Kelompok Perlakuan. Rerata suhu basah 22,86 ± 0,61oC pada Kelompok Kontrol dan 22,42 ± 0,69 oC pada Kelompok Perlakuan. Rerata kelembaban relative 85,28 ± 2,54 % pada Kelompok Kontrol dan 83,33 ± 2,81 % pada Kelompok Perlakuan. Rerata intensitas cahaya 251,34 ± 1,46 lux pada Kelompok Kontrol dan 252,69 ± 1,23 lux pada Kelompok Perlakuan. Rerata sirkulasi udara pada Kelompok Kontrol 0,01 ± 0,00 m/det. dan rerata sirkulasi udara pada Kelompok Perlakuan 0,01 ± 0,00 m/det.. Setelah diuji komparabilitas pada variabel suhu basah, suhu kering, kelembaban relative, intensitas cahaya, dan sirkulasi udara tidak mempunyai perbedaan yang nyata antara ke dua kelompok tersebut (p > 0,05), sehingga dapat dinyatakan bahwa pada Kelompok Kontrol dan perlakuan mempunyai kondisi lingkungan yang sama. Ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi benar-benar disebabkan karena pemberian perlakuan. Suhu basah dan suhu kering pada ruangan (restoran) tempat dilakukannya penelitian berkisar antara 22 – 260 C dan kelembaban relative berkisar antara 83 -87
%. Menurut Manuaba (1998c) orang Indonesia masih dapat beraklimatisasi dengan baik p ada rentangan suhu 22 -280 C dan kelembaban relative 70 -80 %. Ini menunjukkan bahwa kelembaban relative di dalam ruang praktek (restoran) cukup tinggi . Hal ini disebabkan karena ruang praktek ini selalu dalam keadaan tertutup sangat jarang jendela kaca yang mengelilinginya dibuka dan dilengkapi dengan alat pendingin berupa AC, sehingga pergerakan udara sangat rendah. Seperti yang dinyatakan oleh Awaliah (2011), kelembaban relatif udara yang diperoleh pada percobaan di dalam laboratorium sangat tinggi yaitu 90% pada Sling pyschrometer dan 51,7% pada termometer biasa. Hal ini dimungkinkan karena dalam ruangan tersebut tertutup sehingga terjadi sedikit penguapan, tidak ada pergerakan angin dan dalam ruangan juga terdapat kipas angin, kondisi dalam ruangan relatif tetap sehingga dalam udara terkandung banyak uap air. Namun kondisi ini masih bisa ditolerir oleh subjek (mahasiswa) dalam beraktivitas. Serupa dengan Indonesia, Malaysia dan Singapura yang merupakan bagian negara beriklim tropis lembab, dengan posisi antara 1 sampai 11º Lintang Utara. Suhu rata-rata tahunan mencapai 26 - 27º C dan suhu siang hari tertinggi mencapai 34º C sedangkan kelembaban relatif antara 70 – 90 % (Sabarinah dan Ahmad, 2006). Wijaya (2007) dalam Santoso (2012) menyatakan di Indonesia pada daerahdaerah tertentu (Surabaya-Indonesia misalnya) suhu udara maksimal dapat mencapai 36,4º C dengan kelembaban mencapai 85 %. Hasil pengukuran sirkulasi udara pada ruangan (restoran) selama penelitian rata-rata 0,01 m/det. Menurut Standard Baku Mutu Kep. Men.Kesehatan No 261 sirkulasi udara berkisar antara 0,15- 0,25m/det. Arismunandar dan Saito (1991) menyatakan bahwa kecepatan aliran udara < 0,1 m/det atau lebih rendah menjadikan ruangan tidak nyaman karena tidak ada pergerakan udara sebaliknya bila kecepatan
udara terlalu tinggi akan menyebabkan cold draft atau kebisingan di dalam ruangan. Rendahnya sirkulasi udara di dalam ruangan disebabkan karena tidak terdapatnya lubang udara yang permanen, hanya terdapat jendela kaca yang dibuka bila diperlukan. Hal ini juga dikarenakan ruangan diberi tambahan alat pendingin berupa Air Conditioner, sehingga kondisi udara cukup nyaman di dalam restoran. Sumber penerangan di tempat penelitian berasal dari sinar matahari (jendela kaca) dan dari penerangan buatan (pemasangan lampu yang ada). Berdasarkan hasil pengukuran intensitas cahaya ruangan di lima titik diperoleh rerata sebesar 251,34 lux pada Kelompok Kontrol dan rerata sebesar 252,69 lux pada Kelompok Perlakuan. Menurut
SNI 03-6575-2001 tingkat pencahayaan minimum yang
direkomendasikan untuk restoran adalah 250 lux, jadi ruangan (restoran) tempat penelitian diadakan masih memiliki intensitas cahaya yang sesuai. 6.3 Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan Tabel 5.4 dapat ditampilkan analisis rerata jumlah skor dari keluhan muskuloskeletal dari setiap Kelompok Perlakuan baik pre-test maupun post-test. Dari hasil analisis didapat bahwa rerata skor keluhan muskuloskeletal sebelum bekerja (Pre) antara kelompok
(Kelompok Kontrol dan Kelompok
Perlakuan) adalah tidak berbeda secara signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi keluhan awal dari subjek adalah sama. Hasil analisis untuk keluhan muskuloskeletal setelah bekerja (post) antar kelompok menggunakan uji tIndependent Sample diperoleh perbedaan yang signifikan (p < 0,05). Rerata skor keluhan muskuloskeletal setelah bekerja pada Kelompok Kontrol adalah 82,22 ± 5,19, sedangkan rerata skor keluhan muskuloskeletal setelah bekerja pada Kelompok Perlakuan adalah 50,39 ± 2,17 atau mengalami penurunan sebesar
38,7%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian perlakuan menyebabkan terjadi penurunan keluhan muskuloskeletal yang signifikan. Aktivitas menyajikan makanan dengan membawa empat piring sekaligus ke meja tamu termasuk jenis pergerakan manipulative, yang mana aktivitas handling pada peralatan kerja menggunakan jari atau tangan. Selain itu posisi jari yang memegang piring ada yang menjepit dan ada yang menopang piring sehingga kekuatan jari tidak optimal. Pada saat menggunakan piring chop plate, tangan khususnya dari pangkal ibu jari dan jari-jari terasa nyeri, ini disebabkan karena massa dan dimensi piring yang besar menyebabkan tekanan yang cukup keras terhadap otot tangan dan jari. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Grandjean, 2000). Oleh sebab itu dengan penggunaan dinner plate yang lebih antropometris tentunya lebih mudah dipegang dan dapat mengurangi tekanan pada jari-jari sehingga asupan oksigen ke otot jari tangan tidak terhalangi dan dapat memberikan kekuatan yang memadai saat memegang piring. Peneitian serupa juga dilakukan oleh Roger, dkk. (2008) yang menyatakan bahwa antropometri tangan dapat digunakan untuk perancangan alat-alat tangan maupun untuk fasilitas olah raga yang berkaitan dengan penggunaan tangan. Rancangan alat tangan yang ergonomis bertujuan untuk mengoptimalkan handle agar efektif dalam melakukan aktivitas untuk mengurangi beban pada otot, tendon kulit dan sendi. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Mandahawi, dkk. (2008), dimana rancangan peralatan tangan yang antropometris digunakan untuk mengurangi tekanan kontak pada karpal serta untuk menghindari cedera pada
pergelangan tangan, Permasalahan yang terjadi dalam perancangan peralatan tangan adalah ketidaksesuaian antara dimensi peralatan dengan data antropometri. Ketidaksesuaian
ini
menyebabkan
ketidaknyamanan,
kecelakaaan,
tekanan
biomekanika, kelelahan, cedera dan cumulative trauma disorders serta dapat berdampak terhdap penurunan produktivitas. 6.4 Kelelahan Secara Umum Berdasarkan hasil analisis yang dinyatakan dalam Tabel 5.5 terlihat bahwa rerata skor kelelahan secara umum sebelum bekerja (Pre) antara kelompok (Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan) adalah tidak berbeda secara signifikan (p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi kelelahan awal dari subjek adalah sama. Sedangkan kondisi setelah bekerja (post)
pada kelelahan secara
umum, rerata skor pada Kelompok Kontrol adalah 91,83 ± 1,59
dan pada
Kelompok Perlakuan adalah 52,44 ± 1,25 atau mengalami penurunan sebesar 42,9 %. Ini berarti bahwa dengan adanya perlakuan dapat menurunkan kelelahan subjek secara signifikan. Penurunan kelelahan secara umum ini terjadi karena antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan ada perbedaan dimensi alat yang digunakan dalam hal ini piring yang digunakan untuk menyajikan makanan pada pelayanan ala Amerika lebih sesuai dengan antropometri subjek. Penggunaan piring yang lebih antropometris yaitu penggunaan piring dinner plate yang lebih ringan dan memiliki diameter lebih kecil dari piring sebelumnya (chop plate) sehingga lebih nyaman dibawa sekaligus empat, saat menyajikan ke meja tamu. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan dinner plate akan lebih mudah untuk dipegang sehingga dapat bergerak dengan lebih rileks tanpa ada tekanan baik secara fisik pada otot-otot
jari yang dapat menimbulkan rasa nyeri maupun secara mental takut akan terjatuhnya piring yang dipegang. Kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan rasa tenang dan senang sehingga dapat bekerja lebih semangat dan kelelahan tidak cepat menghampiri. Penelitian serupa juga telah dilakukan oleh McDowell, dkk. (2012) yang menyatakan bahwa ukuran pegangan (the handle size) secara signifikan mempengaruhi kekuatan pegangan yang diukur dengan ke dua jenis pegangan dynamometer. Efek menangani ukuran lebih jelas dengan pegangan Jamar , terutama pada pegangan diameter / span kecil .Komponen tertinggi gaya pegangan yang diamati dengan gagang silindris ditemukan di ujung jari. Maka dengan adanya perlakuan mengganti chop plate dengan dinner plate yang memiliki massa dan dimensi piring yang lebih kecil dan lebih sesuai dengan antropometris subjek, dapat menurunkan keluhan subjektif secara bermakna. Hal serupa juga dikatakan oleh Anema, dkk. (2004) dalam Del Prado-Lu (2007), bahwa pengukuran antropometri yang diperoleh dalam penelitian dapat diterapkan untuk meningkatkan penanganan barang secara manual, postur , permukaan dan desain furniture , desain dan tata letak tempat kerja, serta banyak lainnya. Penggunaan antropometri dan ergonomi dalam sistem desain telah mengurangi kesalahan manusia dalam kinerja sistem, meminimalkan bahaya yang terpapar kepada individu dalam lingkungan kerja , mengurangi efek yang merugikan kesehatan dan meningkatkan efisiensi sistem. Rancangan peralatan tangan yang tidak sesuai dengan data antropometri disebabkan karena keterbatasan data antropometri tangan yang dimiliki. Permasalahan tersebut menjadikan rancangan yang dibuat hanya didasarkan pada ukuran rancangan yang telah ada, sehingga rancangan menjadi tidak nyaman digunakan yang berdampak
pada gangguan pada tangan. Beberapa riset telah dilakukan yang menunjukkan pentingnya penggunaan data antropometri terhadap perancangan peralatan tangan (Chandra, dkk. 2011) 6.5 Waktu Penyajian Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis yang dinyatakan dalam Tabel 5.6 diperoleh bahwa dengan diberinya perlakuan terjadi penurunan jumlah waktu penyajian sebesar 36,86 % dari rerata waktu 32,64 detik per sekali penyajian pada Kelompok Kontrol menjadi rerata waktu 20,61 detik per sekali penyajian pada Kelompok Perlakuan. Ini menunjukkan bahwa dengan adanya perlakuan, waktu yang diperlukan untuk menyajikan makanan dengan membawa empat piring (dinner plate) lebih sedikit. Ini berarti bahwa telah terjadi peningkatan kecepatan saat melayani tamu. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan peralatan yang lebih sesuai dengan antropometri pemakai, dapat dipegang lebih nyaman dan optimal sehingga tekanan baik terhadap fisik maupun mental dapat dihindari dan hal ini menimbulkan gerakan yang lebih fleksibel, cepat dan aman. Dengan demikian pelayanan yang diberikan dapat dilakukan dengan lebih cepat, tepat dan ramah sehingga dapat memberikan kesan yang lebih baik terhadap tamu. Makin cepat pelayanan tentunya menunjukkan bahwa kinerja karyawan (dalam hal ini subjek) makin baik dan tentunya akan mampu memberikan dampak positif terhadap kepuasan konsumen. Seperti dalam penelitian Widjoyo, dkk. (2013) yang menyatakan bahwa kecepatan pelayan merupakan salah satu indikator dari dimensi responsiveness yang paling dominan mempengaruhi kepuasan konsumen salah satu restoran cepat saji di Surabaya.
1.6. Kualitas Penyajian Berdasarkan hasil penelitian yang dinyatakan dalam Tabel 5.7 bahwa data kualitas penyajian menunjukkan adanya peningkatan skor sebesar 189,39 % dari rerata skor 3,11 ± 1,08 pada Kelompok Kontrol menjadi 9,00 ± 0,97 pada Kelompok Perlakuan. Peningkatan skor pada check list kualitas penyajian menunjukkan bahwa indikator-indikator penyajian yang berkualitas dapat dilakukan demi terwujudnya kepuasan konsumen. Hal ini disebabkan karena dengan menggunakan piring yang lebih antropometris, subjek merasa lebih nyaman dan mudah memegangnya sehingga tidak ada beban dalam membawanya dan dapat bergerak lebih cepat dan aman (tidak mudah jatuh). Penataan piring di tangan kiri juga dapat dilakukan dengan benar dan rata/ sejajar sehingga posisi piring tidak merusak penampilan makanan yang ada di atas piring yang lain. Selain itu piring tidak menyentuh pada bagian depan tubuh dan dapat melayani tamu dengan ramah dan sopan. Sesuai kriteria tingkat kualitas penyajian yang dicantumkan pada ceklis maka dapat dikatakan bahwa rerata kualitas penyajian subjek termasuk tinggi. Dengan demikian maka makin tinggi berarti makin baik dan makin sesuai dengan standar kualitas penyajian yang diterapkan. Hal ini tentunya juga akan berdampak pada makin baiknya kinerja pelayanan yang ditunjukkan oleh subjek (dalam hal ini sebagai staf di restoran). Sehingga subjek dapat melakukan tugasnya dengan efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien sekaligus menyenangkan serta dapat memberikan pelayanan yang lebih ramah dan penuh perhatian kepada tamu. Makin tingginya kualitas penyajian sejalan dengan makin cepatnya waktu penyajian tentunya akan meningkatkan kinerja pelayanan di restoran dan hal ini tentunya akan berdampak terhadap kepuasan tamu. Sejalan dengan penelitian
Arcana, dkk. (2012) yang dalam penelitiannya mengatakan bahwa terdapat lima buah variabel yang sama-sama menentukan kepuasan tamu pada top brands dan non-top brands restaurant di kawasan Seminyak dan Petitenget. Lima buah variable tersebut, yaitu speed of service, service style, professional of the staff, lighting appropriate, dan background music (kecepatan pelayanan, jenis pelayanan, profesionalisme staf, penerangan yang tepat, dan entertainment musik).