BAB VI MABARI DALAM POLA PRODUKSI PETANI KELAPA DI DUA KOMUNITAS
Dukungan komunitas di doa lokasi penelitian terhadap nilai bari dan terus menghidupkan kelembagaan mabari berbeda. Bab ini berupaya menunjukkan bukti tentang dinamika mabari yang masih mewarnai kehidupan masyarakat, khususnya didalam kegiatan perkebunan kelapa rakyat. tersebut
ingin
kelembagaan
ditunjukkan, mabari
bahwa
sebenarnya
bari
sebagai
masih
perlu
Maksud dari uraian
nilai
yang
difungsikan
melandasi didalam
pembangunan. Oleh karena, mabari masih berpotensi menjadi proses sosial yang mendekatkan semua pihak didalam kehidupan masyarakat pedesaan di Kabupaten Halmahera Barat. 6.1. Petani Kelapa Di Dua Desa Kehidupan petani kelapa di kedua desa akan di potret dari beberapa orang petani kelapa. Sebagai potret tidak akan mampu mencakup semua keseluruhan sudut dari landscape sosial dua desa, namun kedalaman menelusuri beberapa sosok ini diharapkan memberikan gambaran aktifitas kehidupan sehari-hari para petani kelapa di dua Desa. Keberadaan beberapa sosok, dimaksudkan memberikan deskripsi kualitatif bersifat mendalam guna mengatasi keterbatasan dari keluasan jarak pandang. Kebun kelapa di Desa Susupu berada terpisah dari perkampungan penduduk, kebun berada di bagian luar desa, sementara perumahan penduduk mengumpul di tengah desa. Hanya ada jalan setapak untuk menuju kebun para petani kelapa. Di depan gubuk para petani di buatkan para-para besar sebagai tempat mengasapi kelapa untuk dijadikan kopra.
Para-para sebagai tempat
pengasapan kelapa terdapat dua lubang di bagian bawah sebagai tempat sabut dan batok kelapa yang akan dibakar sebagai pengganti kayu bakar. Para-para tersebut dibuat dari potongan bambu,sementara atapnya dari anyaman daun kelapa. Rata-rata petani kelapa di Desa Susupu memiliki luas lahan lebih dari 1 hektar, dan mereka juga memiliki 0,5 hektar lahan untuk tanaman bulanan. Sebagaimana yang dilihat pada setiap lahan para petani terdapat sepetak lahan yang ditanami tanaman-tanaman bulanan berbaris rapi. Hasil dari tanaman
60
bulanan ini sebagai penghasilan tambahan, bila pohon kelapa belum dapat di panen. Para petani kelapa di Desa Susupu rata-rata memiliki 300 pohon kelapa. Lahan pohon kelapa sebagian merupakan warisan dari orang tua. Usia pohon kelapa mencapai lebih dari 50 tahun bahkan ada yang di atas 100 tahun dan karenanya batang pohon kelapa cukup tinggi . Lahan petani kelapa umumnya tidak memiliki sertifikat. Walaupun demikian,
tetap mendapatkan pengakuan sosial pemilikan lahan. Apabila di
kemudian hari terdapat masalah (sengketa) atas penguasaan lahan tersebut, maka penyelesaian sengketa itu dilakukan di dalam masjid. Penyelesaian sengketa yang dimaksud adalah dengan sasi, suatu upacara pengucapan sumpah yang tekait dengan konflik tanah, dan lain-lain. Untuk meningkatkan produktifitas petani kelapa, Pemerintah Halmahera Barat pernah memberikan bantuan kelapa hibrida, kelapanya lebih pendek dan hasilnya sedikit lebih banyak, umur kelapa mencapai 25 tahun. Berbeda dengan kelapa lokal yang bisa mencapai ratusan tahun umurnya. Program kelapa hibrida tidak diminati para petani, mereka memilih mempertahankkan varietas lokal. Kehidupan petani kelapa di Susupu dapat dipotret dari pak Haler. Dalam memulai aktivitas kebun kelapanya, selalu di dampingi oleh istri. Keseharian mereka mencerminkan kehidupan masyarakat petani kelapa di desa Susupu. Dalam mencurahkan waktu dalam beraktifitas di kebun, kaum perempuan yang telah bersuami, memiliki waktu yang sangat terbatas, berbeda halnya dengan kaum laki-laki. pak Haler misalnya, pergi ke kebun bersama istri pada pukul 06. Mereka telah menyiapkan bekal (makanan dan minuman) untuk keseharian aktivitasnya di kebun. Istrinya akan kembali ke rumah kurang lebih pukul 12 siang. Selama di kebun perempuan di desa Susupu sebagaimana yang ditunjukan oleh istri pak haler, membersihkan dan merwat tanaman-tanaman bulanan seperti halnya kacang panjang, tomat, fofoki (terong), pisang, kasbi, (ubi). Pekerjaan menanam dan merawat tanaman dilakukannya tidak lain adalah untuk menambah pendapatan suaminya dalam rangka pemenuhan kehidupan sehari-hari mereka. Pendapatan mereka, umumnya sangat tergantung pada penghasilan kopra dalam setiap tiga bulan sekali panen. Disela-sela waktunya di kebun, aktifitas mengumpulkan buah kelapa kering yang jatuh dari pohon kelapa selalu di lakukan pak Haler. Setiap hari bisa memporoleh kurang lebih dari 100 buah kelapa. Buah-buah kelapa yang dipungut, tidak di ambil dari lahan orang
61
lain, melainkan lahannya sendiri dan lahan-lahan yang merupakan milik keluarganya. Kelapa yang kumpulkan umumnya di jual dengan harga 350 perbuah kelapa. Oleh karenanya dapat dihitung pendapatan per hari pak haler dari hasil jualan kelapa hasil ware (mengumpul) sebesar 35000 rupiah. Jika buah kelapa yang jatuh dari pohonnya berkurang dalam sehari, akan berimbas pada pendapatan hariannya. Untuk mengatasi masalah ini, pak Haler begitupun petani-petani kelapa yang lain
meminjam uang kepada pengumpul kopra
(langganan
,
penjualan
kopra),
dengan
perjanjian
pemotongan
disaat
pembayaran hasil panen kopranya nanti. Langganan kopra para petani kelapa di dua Desa ini umumnya adalah orang Cina. Masyarakat petani kelapa termasuk yang berada di Desa Susupu dan Lako Akelamo mendapatkan lahan kebun kelapa melalui pewarisan dari nenek moyangnya. Mulanya warga mendapatkan kebun sesuai dengan tingkat hubungan sosialnya dengan Sultan Ternate, yaitu sesuai dengan soa. Mereka yang berada dalam soa sangaji sebagai perwakilan Sultan di wilayah tentu saja memiliki luas tanah yang lebih besar dibanding soa lainnya. Selama berabad kemudian kepemilikan tanah tersebut diwariskan kepada anak cucu. Di atas tanah warisan itulah para petani kelapa berproduksi. Proses pembagian warisan ini dilakukan dengan cara berembug beberapa saudara mereka (kakak beradik) dan menyepakati luas bidang lahan yang harus mereka bagikan secara merata. Sebagaimana Muhammad dan Radjab adalah dua kakak beradik dari sekian banyak orang (petani) di Desa Susupu yang mendapatkan warisan sebidang lahan masing-masing seluas satu hektar lebih yang diberikan orang tuanya. Lahan pertanian warisan yang mereka dapatkan, umumya telah ditanami pohon kelapa. Tugas pewaris hanya merawat, membersihkan, sehingga pohon kelapanya dapat berbuah, bebas dari hama sexsava, sehingga hasil kelapanya nanti dapat dinikamati keluarga. Hal yang sama juga terjadi pada Haler dan Ibrahim, mereka adalah kakak adik, berlima dengan satu saudara perempuan. Orangtua mereka memiliki 12 hektar kebun kelapa, pada akhirnya lahan dibagi lima orang anaknya, masing-masing mendapatkan du hektar. Ibrahim menandai batas mereka sampai dengan rawa. Di Desa Susupu, tak semua orang menjadi petani kelapa, ada pula mereka yang mendapatkan pekerjaan lain seperti pegawai negeri, guru, aparat Polri, dan lainlain. Bagi yang telah mimiliki pekerjaan/keahlian lain, idak lagi mendapatkan hasil pembagian warisan. Mereka
hanya mendapatkan sedikit hasil panen yang
62
biasanya disebut sebagai “pipi hena” (uang pinang) dari penjualan hasil panen kelapa.
6.2. Mabari dan Pola Produksi Petani Kelapa Setelah kita mendapatkan gambaran sepintas mengenai profile para petani kelapa, maka pada bagian ini akan dideskripsikan lebih lanjut mengenai pola produksi petani kelapa di dua Desa yaitu Susupu dan Lako Akelamo. Pola produksi petani kelapa di dua Desa berlangsung dari tahap pembukaan lahan, penanaman bibit, hingga pemanenan. Pada proses pembukaan lahan dan penyiapan lahan, secara rinci masyarakat petani melakukan enam tahap pembukaan lahan semua ini dilaksanakan dengan tradisi bari. Tahapan-tahapan tersebut dikenal dengan tola gumi sebagai tahap pertama, tahap kedua adalah manyigu , tahap ketiga adalah madoti, tahap keempat adalah majongo, tahap kelima “mabaca” dan tahap yang keenam adalah masagu. Keenam tahap tersebut adalah tradisi pembukaan lahan hingga penanaman yang dilaksankan secara bari dan telah turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang petani Sahu. Pada kebanyakan desa, meskipun secara dekat kita melihat terdapat hubungan kekerabatan, namun ikatan komunitas terutama didasarkan pada suatu kenyataan, bahwa orang di desa juga hidup bersama dalam suatu lokasi yang sama dan harus bekerja sama dengan berbagai mekanisme yang ditempuh berdasarkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat desa itu sendiri demi keamanan dan kelangsungan hidup mereka. Kebutuhan akan tindakan kolektif seperti halnya tola gumi, manyigu, madoti,majongo, mabaca, dan masagu yang terdapat pada dua desa dengan semangat mabari, sepertinya merupakan suatu tindakan kolektif yang juga menandakan saling ketergantungan diantara mereka. Tola Gumi (potong tali), adalah
awal
pekerjaaan pembukaan lahan
dengan ditandai sejenis tiang/pohon yang dipatok/ditanami untuk mengetahui batasan area dusun yang hendak di tanami. Tindakan ini merupakan bentuk claim teritori atau pernyataan penegasan pemilik terhadap sumber daya yang dimilikinya. Klaim ini menuntut orang lain menghormati klaim teritori (wilayahnya), sekaligus juga memberikan penghargaan pada kepemilikan wilayah petani lain. Tindakan ini secara tak langsung mencegah terjadinya konflik klaim teritori antar petani kelapa. Pernyataan klaim terhadap resources tak selalu dinyatakan dalam
63
bentuk klaim formal di atas kertas, melainkan klaim langsung di atas sumber daya. Tahap berikutnya adalah manyigu, manyigu memotong rumput-rumput, tali-tali yang melingkari pohon yang berada di area dusun yang dikerjakan bersama-sama oleh para petani. Pekerjaan ini dilakukan untuk mempermudah proses penanaman. Tahap ketiga disebut “madoti” yaitu kegiatan memotong pohon-pohon secara bersama-sama oleh para petani kelapa. Pohon yang dipotong adalah pohon sedang maupun tinggi yang dianggap menghalang atau menghambat jalannya proses penanaman nantinya.
Tahap keempat, disebut
majongo, merupakan kegiatan mengumpul pohon-pohon yang telah ditebang, maupun rumput-rumput yang diparas, dan selanjutnya dibakar. Dalam kegiatan ini ada beberapa pohon-pohon pilihan yang tidak turut dibakar, seperti halnya pohon Ngaru. Pohon Ngaru menurut masyarakat setempat dijadikan sebagai “betangamor.” Sementara yang kelima disebut mabaca yaitu kegiatan pembersihan secara keseluruhan dari kegiatan-kegiatan sebelumnya ( tola gumi, manyigu, madoti, dan majongo.). Yang terakhir disebut manyigu adalah suatu bentuk kegiatan galian lubang yang diperuntukan bagi penanaman bibit kelapa dan lainlain. Untuk menggambarkan tahapan tentang pelaksanaaan mabari, secara sederhana seperti yang terdapat di Tabel 3. Setelah proses pembukaan dan penyiapan lahan, proses berikutnya adalah penanaman bibit kelapa. Penanaman bibit kelapa dimulai dari masagu. Masagu adalah aktivitas pemberian tanda di atas lahan yang nantinya akan digali untuk tempat menanam bibit. Setelah itu dilakukan penggalian lubang sebagai tempat bibit yang akan ditanam. Lubang digali kurang lebih 30 cm. Jumlah lubang galian disesuaikan dengan jumlah bibit yang akan ditanam. Ketika menanam bibit, ada mitologi dan tradisi yang masih dipercaya oleh masyarakat setempat dalam melakukan penanaman bibit kelapa. Kepercayaan terhadap mitologi merupakan bagian dari budaya masyarakat setempat. Mitos dapat dimengerti sebagai suatu cerita kuno oleh nenek moyang mereka yang dianggap memiliki ungkapan bertuah disertai perwujudannya dalam berbagai bentuk tindakan yang di percaya dan diyakini oleh masyarakat didua desa secara turun temurun. Mitos juga dipandang sebagai suatu pedoman atau arah yang juga memiliki konsekwensi-konsekwensi pada sesuatu pekerjaan yang akan dilaksanakan. Dalam proses penanaman bibit kelapa misalnya terdapat mitos
64
Tabel.3. Tahapan aktifitas mabari perkebunan kelapa rakyat, 2009
No
Tahap aktifitas mabari
Keterangan suatu pekerjaan awal pembukaan lahan dengan
Tola gumi
1
ditandai
sejenis
tiang/pohon
yang
dipatok/ditanami untuk mengetahui batasan area dusun yang hendak di tanami memotong
Manyigu
2
Madoti
tali-tali
yang
melingkari pohon yang berada di area dusun
kegiatan 3
rumput-rumput,
memtong
pohon
yang
dianggap
menghalang pekerjaan mereka.
mengumpul pohon-pohon yang telah ditebang, Majongo
4
maupun
rumput-rumput
yang
diparas,
dan
selanjutnya dibakar Mabaca
5
Kegiatan pembersihan secara keseluruhan
pemberian tanda di atas lahan yang nantinya Masagu
6
akan digali sebagai tempat menanam bibit
yang diyakini, dan telah menjadi kebiasaan dalam suatu pekerjaan penanaman bibit kelapa oleh masyarakat setempat. Mereka kembali mengingat peristiwapersitiwa Menurut C.H.Van Peurson ( tahun..) mitos tidak hanya sekedar laporan dan peristiwa yang pernah terjadi, akan tetapi juga mengenai ritual-ritual dalam suatu kelompok masyarakat.
Di bawah ini kita akan melihat mitos pada
komunitas petani kelapa dalam proses penanaman bibit kelapa A seorang responden mengatakan, bahwa: suatu tradisi penanaman bibit yaitu jika tanahnya sudah digali untuk dipersiapkan penanaman bibit kelapa, maka sebelum bibitnya dimasukan, lubang yang digali tersebut terlebih dahulu dimasukan buah
seho (enau) dalam bahasa setempat dikenal dengan
“syarati”. Buah anau yang di masukan ke dalam lubang, diyakini masyarakat agar jika kelapa nanti tumbuh besar, buahnya akan sarat atau banyak seperti buah anau. Proses memasukan anau
65
kedalam lobang tidak hanya sekedar dari bentuk “syarati”, namun diikuti juga dengan bobeto yang artinya permintaan yang syarat dengan “doa”.
Setelah penyampaian bobeto selesai, maka proses selanjutnya adalah para petani akan menunggu bulan yang baik untuk memasukkan bibit kelapa yang telah mereka persiapkan. Kepercayaan masyarakat setempat, setiap penanaman pohon kelapa harus melihat “ara lamo” atau “ara ici”. Ara lamo dapat diartikan sebagai bulan besar dan ara ici sebagai bulan kecil. Perhitungan bulan kecil menurut masyarakat di Dua Desa dimulai dari tanggal 1-9 bulan baru, dan bulan besar adalah dihitung dari tanggal 20-30/31 (pada saat bulan purnama). Bulan terbaik untuk melaksanakan kegiatan penanaman kelapa adalah pada bulan kecil. Terdapat kepercayaan bahwa bulan kecil akan membuat tanaman kelapa mereka cepat berbuah dan tumbuh subur. Sementara bulan besar sebaliknya
membuat
tanaman
mereka
tidak
tumbuh
subur
dan
perkembangannya cukup lambat. Walaupun ada terdapat tradisi penanaman yang menunggu bulan kecil atau ara ici, namun tidak serta merta jika bulan kecil tiba lantas proses penanamannya dilakukan, akan tetapi waktu penanamannya mereka menunggu disaat wange soru atau matahari hampir terbenam yakni pada jam 17-18 sore. Pada waktu ini maka proses penanaman dilaksanakan oleh mereka, dengan posisi “kepala kelapa” menghadap ke matahari terbit. Bibit kelapa yang ditanam sesuai waktu yang di percaya, perkembangan pohon kelapa yang ditanam tidak terlalu tinggi. Begitupun sebaliknya jika proses penanamannya dilakukan pada waktu pagi dan siang hari, maka bibit kelapa yang ditanam akan tumbuh besar, dan menyulitkan pada saat panen.. Setelah tahap penanaman usai, proses perawatan akan di lakukan sekali dalam sebulan. Bentuk perawatan yang dilakukan adalah membersihkan rumput di bawah pohon kelapa dan setelah itu dibakar. Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ini adalah mereka para petani kelapa yang berada di desa Susupu yang bekerja sama melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan ini menurut mereka biasanya disebut sebagai munara oro wange, artinya ambil hari. Kegiatan oro wange ini, dicontohkan oleh pak Radjab sebagai berikut, misalnya, Ada seorang petani kelapa sebut saja si A melaksanakan pembersihan kelapa, atau panjat kelapa, maka Si B, si C, maupun si D, mereka akan datang membantu, karena
66
awalnya Si A telah membantu mereka dalam pekerjaan yang sama, yakni pembersihan kelapa atau panjat kelapa. Dengan demikian oro wange ini, merupakan model pertukaran kerja yang dapat diberlakukan pada pekerjaan yang sama. Dalam kegiatan oro wange dihitung tenaga yang dikeluarkan berdasarkan berapa banyak pohon kelapa yang dibersihkan atau dipanjat. Masyarakat di Desa Susupu dan Lako Akelamo menganggap
kegiatan
oro
wange
mencirikan
nilai-nilai
“bari”,
namun
perbedaannya bari melibatkan semua pekerja, dan tanpa mengenal batasan kerja yang harus dikerjakan, sementara oro wange memiliki batasan kerja dan berlaku pada pekerjaan yang sama. Dalam komunitas petani kelapa khususnya di desa susupu hubungan timbal balik ini semakin memudar akibat komersialisasi dalam sistem kontrak dalam proses pemanenan kelapa,seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Dalam konteks pemeliharaan lahan dan tanaman yang telah ditanami, bentuk-bentuk kegiatan ritual yang dilakukan dengan maksud penjagaan tanaman dan pengolahan lahan sebagaimana juga dilakukan oleh masyarakat Desa Lako Akelamo berdasarkan tradisinya, hingga kini masih tetap terpelihara dan dijaga eksistensinya. Tradisi itu, disebut dengan beta ngamor. Beta-ngamor seperti yang dijelaskan di atas adalah sejenis pohon-pohon pilihan yang dikumpulkan dan disusun dengan rapih di sudut-sudut batas lahan, maupun disamping batas lahan, dan terdapat nasi tumpeng dan telur (bira dada boro) yang disajikan dan didoakan sebagai persembahan kepada sang kuasa, dan stelah itu nasi tumpeng dan telurnya ditanam ditengah-tengah kebun, agar lahan dan tanamannya tetap subur. Ritual ini dipimpin oleh orang yang dituakan, dan orang tersebut ditugaskan menjaga lahan dari awal hingga akhir tanaman itu mendekati panen. Beta ngamor, dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai , salah satu cara untuk membasmi binatang-binatang kecil, maupun hama yang sengaja datang untuk merusak tanaman yang terdapat pada dusun mereka. Jika kayukayu pilihan dari hasil tebangan itu dikumpulkan dan disusun, maka dipercaya binatang-binatang kecil seperti halnya tikus dan lain-lain tidak akan masuk kedalam lahan yang telah ditanami, melainkan binatang-binatang itu akan masuk kedalam kayu-kayu yang disusun itu yakni, ”beta nagmor”. Tentu bagi mereka ini adalah cara-cara tradisonal yang hingga saat ini bagi masyarakat di Desa Lako Akelamo masih dipraktekkan untuk membasmi serangan hama yang sengaja
67
merusak kebun dan tanamannya. Selanjutnya beta ngamor ini pun akan segera dibakar atau dihanguskan setelah proses panen selesai. Tahap berikutnya adalah tahap panen kelapa. Pada tahap panen inilah kegiatan bari lebih banyak dikenal, bahkan kadang-kadang kosakata bari selalu menunjuk pada aktivitas panen kelapa. Ini terjadi karena tahap panen kelapa adalah tahap yang melibatkan banyak orang. Sebelum panen dilakukan mulamula segala peralatan yang dibutuhkan pada kegiatan panen dipersiapkan. Alatalat itu adalah beberapa buah parang (golok), pacol (cangkul), linggis, tempurung (sebagai pengganti gayun), gayun biasanya digunakan untuk mengeluarkan tanah dari galian yang biasanya umumnya dipakai pada saat penanaman pohon kelapa baik di Desa Susupu maupun Lako Akelamo. Sedangkan untuk kegiatan panen kelapa, peralatan
yang harus
disiapkan adalah pedang kurang lebih 15 buah, siu-siu (alat pencongkel isi buah kelapa dari tempurungnya), karung goni (sebagai wadah untuk menampung isi buah kelapa yang telah dicongkel keluar), sari,(penggayung) sebagai pengganti skop yang dipergunakan untuk membolak-balik isi kelapa pada saat pengasapan di atas para-para kelapa. Harus mempersiapkan juga dego-dego (tempat duduk) yang dibuat sendiri dari kulit kelapa untuk dijadikan tempat duduk nanti ketika dilaksanakannya
kegiatan
popo
igo
(membelah
kelapa)
dan
masiu
(
mengeluarkan isi kelapa dari tempurungnya). Gerobak dan sapi, dipergunakan untuk mengumpulkan buah kelapa yang telah dipetik dan berada di bawah pohon kelapa. Untuk memperjelas deskripsi aktivitas tahap panen kelapa, kita mendatangi aktivitas panen di lahan Haler. Keseluruhan proses panen dahulunya dilakukan secara bersama-sama dan karenanya disebut dengan bari. Bari menjadi semacam satu kelompok petani kelapa, kelompok bari inilah yang melakukan
aktivitas
panen
secara
bersama-sama.
Seminggu
sebelum
melakukan aktivitas bari dalam konteks penanaman kelapa dan pemanenan, awal
mulanya
mereka
mendatangi
sanak
keluarganya
dalam
rangka
menyampaikan maksud dan tujuan. Dan di waktu yang bersamaan pula mereka menyempatkan diri untuk memberitahukan kawan-kawan petani kelapa yang memiliki lahan kelapa yang sama untuk kegiatan penanaman ataupun panen yang hendak mereka lakukan. Perlu diketahui bahwa para petani yang dihubungi, tidak hanya berasal dari Desa Susupu saja, namun ada juga yang berasal di luar Desa Susupu. Mereka datang tanpa dihubungi, namun semata-mata dikarenakan
68
adanya faktor pertukaran tenaga kerja sebelumnya dalam suatu aktifitas yang sama. Biasanya panen dilakukan 3 bulan sekali, dimulai dari lahan dibersihkan, selanjutnya pohon kelapa dipanjat dan dipetik buahnya. Buah kelapa tersebut kemudian dikumpulkan di tempat pengasapan. Selanjutnya bagaimana proses pengolahan kelapa dilangsungkan terdeskripsikan sebagaimana kunjungan saya ke lahan Haler siang itu. Siang itu saya mendapati di lahan Haler ternyata sudah ada banyak orang, kira-kira 10 orang laki-laki, mereka sedang mencongkelcongkel isi kelapa. Rupanya Haler sedang panen kecil, hanya dari buah kelapa yang jatuh, sebagian hasil panjatan kelapa dan sebagian hasil pembelian Haler dari petani di sekitarnya. Setelah kelapa dikumpulkan di tempat pengasapan, proses selanjutnya adalah pengolahan kelapa menjadi kopra. Prosesnya, kelapa dibelah dua, airnya dikeluarkan, lalu isinya dicongkel kecil-kecil. Kegiatan mencongkel isi kelapa ini disebut masiu Potongan kelapa kecil-kecil itu dimasukkan ke dalam karung untuk nanti ditumpahkan di atas para-para pengasapan. Beberapa karung sudah dihasilkan, bahkan sudah ada tumpukan potongan isi kelapa di atas para-para. Setelah semua hasil potongan isi kelapa ada di atas para-para, maka segeralah proses pengasapan dilakukan. Pengasapan berlangsung selama 1 malam dan setelahnya proses pengasapan tersebut kelapa pun menjadi kopra. Hari berikutnya kopra dimasukkan ke dalam karung dan kemudian diangkut untuk dijual pada pengumpul di desa atau dibawa ke Jailolo. Sebenarnya pendapatan komunitas petani kelapa tidak hanya didapat dari hasil penjualan kopra, namun mereka juga bisa mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari
batok kepala pasca pengasapan, namun karena
ketedaktersediaan pasar di Maluku Utara, membuat batok kelapa hanya di buang begitu saja. Ibm menuturkan, bahwa : …sabut dan batok kelapa dibiarkan dibuang atau dibakar sebagai pengganti kayu bakar, sisanya dibagikan kepada mereka yang mengikuti kerja bersama tersebut untuk keperluan sehari-hari misalnya membakar ikan, dll. Padahal di Manado, kata Ibrahim, sabut kelapa bisa dimanfaatkan, demikian juga dengan batok kelapa dapat dimanfaatkan sebagai arang, sebab di sana ada pengumpul/pengolah sabut dan arang untuk dipasarkan, sementara di sini tidak terdapat pengolah maupun pasar untuk sabut dan arang. Umumnya setiap panen rutin selama 3 bulanan, petani
seperti Pak
Rajab, panennya dapat mencapai volume 1 ton lebih. Harga sekarang Rp 250,-
69
/kg, maka bila dikalikan 1000 kg (1 ton), maka setiap 3 bulan mendapatkan Rp 2,5 juta rupiah. Rajab hanya mengeluarkan biaya untuk pengangkutan, menyewa kendaraan, besaran sewa kendaraan dihitung dari banyaknya kopra yang di bawa. Hitungannya per sak, 1 sak = Rp 10.000,-, 1 ton sama dengan kurang lebih 10 hingga 12 sak, jadi ia hanya membayar sekitar Rp 100.000,saja. Bentuk-bentuk kegiatan kerja bersama dalam setiap tahapan produksi kelapa dari pembukaan dan penyiapan lahan hingga pemanenan inilah yang disebut dengan bari atau mabari. Para petani kelapa yang terlibat dalam kerja bersama tersebut mengelompokkan diri dan menyebut diri mereka sebagai kelompok bari. Biasanya pengelompokan bari dilakukan atas dasar kedekatan lokasi lahan mereka satu sama lain serta hubungan kekerabatan sebab biasanya hubungan kekerabatan menyebabkan lokasi lahan mereka berdekatan.
6.3. Perbedaan Praktek Bari Dalam Pola Produksi Kelapa di Dua Desa Khususnya di Desa Lako Akelamo sebagaimana diceritakan oleh D Kepala Desa Lako Akelamo yang juga seorang petani kelapa, mempunyai tradisi unik pada saat penanaman bibit kelapa. Menjelang kegiatan manyigu, sering diwarnai dengan tradisi “tori gura” ( pencuri bibit). Tadisi ini, berlangsung pada kegiatan penanaman kelapa dan padi, atau tanaman bulanan lainnya. Sehari menjelang kegiatan menanam, bibit yang hendak ditanam akan dicuri/diambil pada waktu subuh di lokasi pembibitan. Kegiatan mencuri bibit dilakukan para petani secara bersama-sama, tanpa sepengetahuan pemilik lahan/bibit.
Bibit
yang diambil, kemudian ditanam pada lahan yang telah dibersihkan oleh mereka. Pemberitahuan bahwa bibitnya telah diambil dan telah ditanam di sampaikan melalui bunyi tifa (beduk) bernada tarian gala lala atau togal.
Tradisi ini
bertujuan untuk menyenangkan atau memberikan surprise bagi pemilik lahan atau pemilik bibit tersebut. Berbeda dengan masyarakat petani Lako Akelamo, pada masyarakat petani Desa Susupu saat ini tradisi tori gura sudah hilang. Hilangnya tradisi ”tori gura” di Desa Susupu, tentu menurut Rjb
dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya
adalah munculnya ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan ini
didasarkan atas perilaku mencuri bibit oleh orang-orang tertentu sesama petani yang tidak bertanggung jawab. Orang yang melakukan pencurian bibit, tidak
70
memiliki kepentingan untuk di jual, melainkan bibitnya di bawa ke lokasi miliknya untuk di tanam. Menurut Rjb : …pernah ada yang kehilangan tiga puluh bibit pohon kelapa pada
tempat pembibitan ketika digelarnya tradisi tori gura oleh temantemannya sesama petani. Bibit yang diangkut tidak sampai di dusun yang hendak ditanami, tetapi di bawa pergi. kemalasan
untuk
melakukan
pembibitan,
Menurut M, faktor menyebabkan
yang
bersangkutan lebih suka mendapatkan bibit dengan cara mencuri, hal tersebut diduga menyebabkan hilangnya bibit kelapanya pada tradisi tori gura. Kejadian tersebut menyebabkan para petani akhirnya memilih untuk memindahkan tempat pembibitan kelapa ke dusunnya dengan menyewa orang untuk mengangkutnya. Ongkos pengangkutan bibit sebesar Rp 100 per buah.
Jika diamati lebih jauh, maka bukan hanya faktor kemalasan yang membuat berubahnya atau hilangnya tradisi torigura, namun karena factor ketidakpercayaan sebagaian para petani di desa susupu kepada orang-orang yang terlibat dalam tradisi tori gura. Mengikuti mabari dalam kegiatan panen kelapa di Desa Susupu, terlihat perempuan-perempuan berdatangan di lokasi pemanenan kelapa.
Mereka
datang membawakan konsumsi untuk seluruh petani yang mengikuti kegiatan bari.
Itu artinya bahwa penarapan aktifitas mabari di Desa Susupu, pemilik
kebun yang melaksanakan proses panen mendapat tanggungjawab untuk menanggung semua konsumsi petani yang mengikuti kegiatan bari. Biasanya pekerjaan penyediaan konsumsi ini menjadi tugas perempuan (istri). Seperti yang diceritakan istri Rjb di bawah ini ”saya harus mempersiapkan konsumsi untuk kebutuhan makan, minum, termasuk rokok para anggota bari. Aktifitas bari ini, saya harus keluarkan uang Rp 600.000,00 sampai Rp 700.000,00. untuk memenuhi kebutuhan rokok dan konsumsi makan dan minuman mereka. kebiasaan ini sangat memberatkan apalagi situasi harga kopra yang hanya Rp 2.500,00/kg. Kebun kami hanya mampu menghasilkan 1000 kg kelapa, maka keuntungan penjualan kelapa tidak akan kami dapatkan, karena terbagi habis dengan biaya konsumsi dan rokok yang diberikan disaat kegiatan panen Ini gambaran fenomena “bari” ala Desa Susupu. Di Desa Lako Akelamo, tidak pernah di temukan tradisi makan yang ditanggung sepenuhnya oleh orang yang
71
melaksanakan kegiatan bari. Bagi mereka yang melaksanakan ”hajatan” bari, mereka hanya cukup menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. Sementara konsumsi makan dan minuman serta rokok disediakan sendiri oleh orang-orang yang datang membantunya. Situasi ini sudah berlangsung kurang kebih 10 tahun terakhir. Dahulu di Desa Lako Akelamo, masih menggunakan praktek seperti yang ada pada masyarakat di Desa Susupu. Namun saat ini tak diberlakukan lagi, karena dianggap menyusahkan masyarakat petani kelapa itu sendiri, terutama di tengah situasi harga barang-barang yang naik. Kesadaran akan hal ini, berpuncak pada suatu pertemuan yang melibatkan seluruh petani pemilik lahan, kelapa di Desa Lako Akelamo, beserta tokoh masyarakat dan unsur pemeritah desa. Mereka menyepakati bahwa, pada setiap kegiatan panen konsumsi setiap orang harus dibawa sendiri-sendiri dari rumah mereka masing-masing, tanpa harus dibebankan oleh orang yang melaksanakan kegiatan panen tersebut. Kesepakatan ini masyarakat di Desa Lako Akelamo didasarkan pada pertimbangan bahwa, terdapat petani kelapa di Desa Lako Akelamo yang tidak berkecukupan secara ekonomi, tentu menjadi suatu masalah yang cukup berat ditengah-tengah harga sembako yang meningkat. Pertimbangan yang kedua adalah menginginkan terciptanya hubungan masyarakat setempat yang tidak saling membedakan berdasarkan status sosial ekonomi dalam kegiatan usaha panen kelapa.
Tabel.4. Perbedaan mabari di dua desa lokasi penelitian No 1
Mabari di Desa Susupu Hilangnya tradisi tori gura
No 1
Mabari di Desa Lako Akelamo Masih terdapat Tradisi tori gura
2
Konsumsi di tangung oleh 2 yang melakanakan panen
Konsumsi ditanggung oleh masingmasing anggota bari.
3
Anggota bari yang tidak 3 datang bekerja, dapat di ganti dengan uang/barang
Anggota bari yang tidak hadir, harus mengutus orang sebagai pengganti, tenaga tidak diganti dengan uang/barang
Sabagaimana halnya D (kepala kampong/kades) di Desa Lako Akelamo juga memiliki dusun kelapa, menyatakan bahwa di dalam proses panen dan produksi kelapa dibebaskan dari tanggungan konsumsi, serta mendapatkan
72
tenaga sukarela (bari) dari anggota masyarakatnya. Kondisi inipun dapat terjadi pada semua anggota masyarakat, walau pun kedudukan sosial ekonomi diantara mereka berbeda.
Di Desa Lako Akelamo, masyarakat petani kelapa secara
bersama-sama menyelesaikan setiap tahapan kegiatan dari penanaman hingga pada proses panen. Tidak terdapat ganti rugi materi (kopi, gula, beras) dengan tenaga dalam suatu pekerjaan, namun tenaga harus dibayar dengan tenaga. Mereka yang tidak terlibat pada kegiatan bersama dapat mengutus orang lain sebagai pengganti pada kegiatan panen tersebut.. Perbedaan mencolok antara petani Desa Susupu dan Lako Akelamo juga terjadi pada kegiatan panjat kelapa.. Komunitas petani di Desa Susupu dahulunya, bari dilakukan dalam semua tahap pengelolaan kelapa, sejak penanaman hingga panen, akan tetapi kegiatan bari sekarang hanya dapat ditemukan pada proses pengasapan atau pengolahan kopra dengan tahap membelah, mengeluarkan isinya, dan proses pengasapan kelapa. Di Desa Susupu kegiatan pemanjatan kelapa dilakukan dengan menyewa tenaga panjat. Dibawah ini adalah kutipan pengakuan dan alasan pak Ibrahim tentang penggunaan tenaga sewa panjat : Torang di Desa Susupu sebenarnya tara pake sewa orang untuk banae kalapa. Tapi, torang sering pake mabari. Skarang ini torang pe petanipetani dorang juga sibuk deng dorang p karja-karja laeng yang dapa doi. Jadi kalo harap gratis banae torang p kalapa, dorang juga pasti mau, tapi dorang p karja juga dap alia rupa kabarang. Abis dorang so ada karja sampingan. Blum lagi torang p tetangga kabong yang rata-rata orang punya doi, dorang juga so kase biasa deng bayar kong. Kalu bayar orang, dia p sewa Rp 1.500,-. Satu pohon kalapa. ( Artinya : Di Desa kami sebenarya tidak menggunakan tenaga sewa dalam panjat kelapa, biasanya mereka menggunaka kelompok mabari. Sekarang ini para petani juga sibuk dengan pekerjaan sampingan mereka yang menghasilkan uang. Mereka bias dating membantu kita secara gratis, tapi hasil dari pekerjaan nanti tidak memuaskan. Di tambah lagi dengan tetangga-tetangga kebun yang rata-rata memiliki uang sering membiasakan kerja tenaga sewaan. Untuk tenaga sewaan, satu pohon kelapa di bayar sebesar Rp 1500.) Munculnya tenaga sewa panjat kelapa di sebabkan oleh variasi pekerjaan lain yang dimiliki oleh para petani. Variasi pekerjaan itu antara lain, seperti kegiatan pertukangan, ojeg sepeda motor yang dapat memberikan penghasilan harian buat masyarakat setempat. Mengikuti mabari dapat dilakukan namun memiliki konsekwensi terhadap pendapatan harian mereka sebagai tukang ojeg, dll. Kesibukan tugas dan pekerjaan, para PNS dan pengusaha yang memiliki kebun kelapa turut menyuburkan praktek tenaga panjat sewaan di Desa Susupu.
73
Umumnya para petani kelapa mempraktekan tenaga kerja sewaan pada saat harga kopra dipasaran meningkat. Sewa-menyewa ini hanya terdapat pada proses mafere ( memanjat kelapa), namun ada juga yang berlangsung hingga pada proses mapopo, masiu, dan proses pengasapan kelapa (mafufu). Di Desa Susupu mulai mengenal teknologi berupa alat pemotong rumput. Bila biasanya pembersihan lahan kelapa dikerjakan dengan mabari, saat ini telah menggunakan mesin pemotong rumput. Mesin tersebut di pinjam dari sekolah, atau kantor dinas lainnya. Di Desa Susupu pemilik mesin pemotong rumput dimilki oleh desa, sekolah, dan sebagaian warga Desa. Ongkos sewa mesin potong rumput untuk 1 hektar lahan adalah Rp 600.000,00. Tentu saja jumlah yang tidak sedikit, apalagi di tengah harga kopra yang jatuh. Bila dihitung ongkos panen petani Desa Susupu jumlahnya sangat besar. Untuk pohon sebanyak 300 pohon, petani harus menyewa 3 tenaga panjat dalam hitungannya 300 X Rp 1.500,00 = Rp 750.000,00, ongkos itu masih ditambah dengan sewa mesin, 1 hektar lahan terdapat 150 pohon kelapa, berarti lahan untuk 300 pohon kelapa adalah 2 hektar, maka sewa mesin untuk 2 hektar lahan dapat mencapai Rp 1.200.000,00, ongkos tersbut belum ditambah dengan biaya pengangkutan, biaya konsumsi, dan rokok. Untuk harga kopra yang hanya mencapai Rp 2.500,00/kg saat ini, tentu ongkos panen petani kelapa menjadi sangat besar dan memberatkan. Fenomena tenaga panjat sewaan di atas, tidak dijumpai pada masyarakat petani kelapa di Desa Lako Akelamo. Masyarakat petani di Desa ini tetap melibatkan bari dalam seluruh tahap pemanenan, termasuk panjat kelapa. Menurut masyarakat petani di Desa Lako Akelamo, menggunakan mabari lebih menghemat biaya produksi petani. Tabel 6 memperlihatkan tentang perubahan bari dan kelembagaan mabari di Desa Sususpu dan Lako Akelamo kecamatan Sahu kabupaten Halmahera Barat.
6.4. Mekanisme Sosial Penyelesaian Konflik Produksi Komunitas petani kelapa dua desa, memiliki pilihan tersendiri terkait dengan
mekanisme
kecenderungan
sosial
menggunakan
penyelesaian kemampuan
konflik magic
produksi. untuk
Terdapat
mengantisipasi
hilangnya tanaman, rusaknya tanaman dari tangan-tangan orang yang tidak bertanggungjawab. Bagi masyarakat di dua desa sering menyebut sebagai matakau. Cara membuatnya tentu berbeda-beda dan sangat sederhana
74
Tabel 5. Ciri aktifitas mabari dan wujud baru kelembagaan mabari. No
Ciri Aktifitas Mabari
Ciri Yang Berubah
Wujud Baru Kelembagaan mabari
1
Mempunyai Tujuan Kerja sama,Tolong menolong dalam , pembukaan kebun kelapa, pembersihan kelapa, dll.
Terlihat penggunaan teknologi alat pemotong rumput pada pembersihan lahan, hadirnya “kelompok tani baru”-bisa dipakai dgn bayaran tertentu.
Terdapat kelompok organisasi modern
2
Memiliki Nilai Reciprocity ( orogia, orowange, )
Hadirnya tenaga sewa dalam aktifitas mabari
Memilik schedule kerja
3
Mempunya tradisi ritual dalam aktifitas mabari
Sudah hilangnya tradisi ritual dalam kegiatan mabari.
Terdapat kegiatan “jojobo” dalam keanggotaan kelompok tani
4
Tokoh adat ,atau pemilik lahan dipercayakan sebagai pimpinan dalam kegiatan mabari. (struktur organisasi tradisonal)
Telah ada kelompok tani yang memiliki struktur organisasi yang modern
Kelompok tani ini bisa dipekerjakan (disewa) dengan bayaran tertentu untuk suatu pekerjaan kebun.
pembuatannya. Umumnya mereka sering menggunakan botol. Di dalam botol terdapat air yang telah dibacakan mantra-mantar, diujung botol diikat kain berwarna merah dan digantung pada pohon yang terletak di tengah-tengah dusun. Cara ini sangat dipercaya bagi masyarakat di dua desa, dan pada umumnya masyarakat Halmahera Barat. Keberadaan matakau di salah satu dusun, maka dusun itu akan aman gangguan pengrusakan atau pencurian. Masyarakat setempat meyakini bahwa apabila seseorang mempunyai niat mencuri tanaman/buah-buahan di daerah dusun yang telah dipasang matakau, maka orang yang hendak mencuri akan terkena sakit perut dan tidak bisa jalan, atau terdiam di bawah pohon. Terkecuali pemilik kebun datang dan membebaskannya dengan penawar mantra yang digunakan. Korban matakau kemudian diadili oleh si pemilik dusun dan selanjutnya di bawah langsung ke kepala desa dan pihak kepolisian untuk ditindaklanjuti penyelesaian kasusnya sesuai hukum. Pada sisi lain, budaya sasi bukan saja berlaku pada tardisi masyarakat Maluku di Ambon dalam pengaturan dan pengelolaan sumber daya alam. Sasi sebagai bagian dari otoritas lokal, terdapat pada masyarakat di Kecamatan Sahu,
75
khususnya di desa Susupu dan Lako Akelamo. Menurut Corolus Djawa sebagai tokoh budaya di Halmahera Barat, mengatakan bahwa istilah sasi dipakai oleh masyarakat ambon karena saat itu
ekspansi kerajaan Ternate sampai pada
wilayah Ambon dan mempengaruhi strukur sosial budaya masyarakatnya. Dilihat dari asal kata sasi sendiri berasal dari bahasa Ternate yang artinya, sumpah. Sumpah atau sasi bagi masyarakat Maluku Utara, khususnya di desa Susupu dan Lako Akelamo diberlakukan atau diterapkan karena atas dasar ketidakpuasan atas suatu masalah hak kepemilikan atau pengaturan sumber daya alam, dan perselisihan antara dua belah pihak yang tidak ada titik temu, seperti halnya tanah, tanaman, dan lain sebagainya. Bagi masyarakat setempat melihat masalah tersebut sebagai “harbata” atau perselisihan yang tidak ada akhir penyelesaiannya secara damai.
Penyelesaian terhadap suatu masalah
yang memiliki kaitannya dengan tanah, dusun, pohon kelapa, biasanya masalah tersebut di bawa kepada pihak pemerintah desa setempat untuk diselesaikan. Dalam penyelesaian masalah yang dimediasi pemerintah desa tidak berhasil, maka kedua belah pihak akan digiring oleh pihak pemerintah desa, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama menemui para imam sigi lamo atau masjid besar, dan jomoding/petugas harian masjid, beserta para khatib untuk diselenggarakannya proses sasi di dalam masjid. Sasi toma kalammullah atau proses sumpah dihadapan mihrab masjid merupakan solusi penyelesaian atas masalah kedua bela pihak. Saksi-saksi yang menghadiri proses itu terdiri dari tokoh agama, tokoh adat, imam masjid besar, dan para jomoding. Prosesi sasi berlangsung dengan diletakannya kitab suci alquran diatas kepala masing-masing kedua bela pihak, dan para saksi memerintahkan kepada kedua belah pihak secara bergantian untuk si bobeto. Si bobeto artinya memerintahkan kepada kedua belah pihak yang bermasalah untuk mengeluarkan perkataan sumpah yang ditujukan kepada pihak pertama, begitupun sebaliknya. Sumpah yang mereka keluarkan pada saat proses sasi tentu sangat bervariasi, sesuai kehendak mereka. Masyarakat setempat percaya akan akibat dari sasi ini. Pernah ditelusuri pelaku-pelaku yang pernah bertikai masalah lahan kebun kelapa diantaranya Om M yang menceritakan sebagai berikut : Saya pernah bertikai dengan saudara saya bernama Om B, karena masalah lahan kelapa pada tahun 1990. Kami berdua mendapatkan warisan tanah dari kedua orang tua kami., namun saat menerima warisan tanah, hanya terdapat sedikit pohon kelapa di atas tanah itu. Saya pun segera melakukan pembibitan dan menanam pohon kelapa..
76
Selesai menanam pohon kelapa itu, saya pergi merantau tepatnya di pulau Bacan Halmahera selatan. Kurang lebih 15 tahun saya berada di Bacan bersama istri. Karena rindu akan kampung halamannya saya pun harus kembali ke kampung untuk kembali berkumpul bersama keluargan. Tanah warisan sepiniggalan orang tua kami di kelola oleh saudara saya, namanya Om B. Ia tidak memberikan kesempatan kepada saya untuk mengelola lahan yang dulu sempat saya Tanami kelapa. menurut Om B, selama 15 tahun semenjak saya pergi Om B lah yang merawat dan memelihar isi kebun itu. Saya berpendapat, apa yang dikatakan saudara saya (om Baba) itu benar, sehingga saya meminta untuk mengelola sebagiannya, dan sebagiannya lagi untuk Om B. Akan tetapi Om B bersikeras mempertahankan lahan dan seisinya, bahwa dia lah yang harus mengelolanya. Perselisihan pun terjadi, tidak ada titik penyelesaian sehingga baik Om Baba, dan saya digiring didepan kalammullah (didalam masjid tepatnya didepan mihrab) untuk dilakukan proses sasi. Baik Om B dan Om M, masing- masing mereka diberikan kesempatan untuk mengeluarkan bobeto. Om M menceritakan bahwa persitiwa itu cukup menegangkan karena takut akan akibat yang akan ditanggungnya kedepan. Pada kesempatan itu bobeto yang disampaikan juga oleh Om M adalah sebagai berikut: Insya Allah fangare lahi jou Allah Ta’ala, kalo gogou igo gena fangare gia sebadan kama boboho ua, fangare dahe bahala, cobo fangare na durengo ida bicara se iwaro fangaere na gia se badan na boboho karna igo enagena, ngon oro, tapi ngon se ngofa sedano tero panyake pado. ( artinya : saya minta Kepada Allah Swt, kalau benar-benar pohon kelapa itu tangan dan badan saya tidak lelah, maka saya akan dapat kutukan, namun jika keringat saya dapat bicara dan tahu bahwa badan dan tangan saya ini cukup dan sangat lelah atas kelapa yang ditanam itu, saya tidak akan minta apa2 dari hasil itu, tapi kamu (Om B) jika kamu tetap ambil dan makan pohon kelapa yang saya tanami, maka anak dan cucumu akan terkena penyakit kusta). Setelah selesai proses sasi di masjid, bagi masyarakat, mereka yakini akan datang kebenaran dan sanksi dari Allah Swt terhadap pihak yang dianggap benar dan salah. Menjelang setahun kemudian Om B menderita sakit, jari-jari tangannya perlahan-lahan habis dimakan waktu. Om B pun kemudian dilarikan ke rumah sakit. Sakit yang diderita adalah penyakit kusta menurut dokter. Ibu dan anaknya pun menderita penyakit yang sama, yakni penyakit kusta. Kasus Om B dan Om M merupakan sedikit dari sekian banyak kasus yang disasi di desa Susupu. Jika ada lahan, dan pohon kelapa maupun sejenis tanaman lainnya yang sedang di sasi, maka pasca gelar sasi, kedua belah pihak bersama keluarganya masing-masing tidak akan bisa menikmati atau memiliki apa yang diperebutkannya. Lahan kebun yang telah di sasi, kebanyakan
di
kelola oleh orang lain diluar dari keluraga kedua belah pihak yang berseteru, sementara hasil dari lahan tersebut diberikan kepada masjid.
77
Kemampuan masyarakat mengatur aturan main dalam hubungan sosial di masyarakat, sebagaimana ditunjukkan oleh budaya sasi dalam keseharian masyarakat
Sahu,
memperlihatkan
kepada
kita
bahwa
sesungguhnya
masyarakat mampu mengatur proses sosialnya, termasuk dalam hal ini menetapkan sanksi-sanksi sosial mereka. Sanksi-sanksi sosial dan adat dalam masyarakat menunjukkan kepada kita bahwa di dalam masyarakat tak hanya ada satu hukum negara yang mengatur hubungan sosial melainkan ada hukum sosial yang disusun masyarakat sendiri. Tertib sosial (social order) yang ada dalam masyarakat sama sekali bukan merupakan bagian dari keteraturan hukum (legal order) yang diproduksi negara, juga bukan ketertiban yang berlangsung dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai sikap taat yang spontan dan otomatis (outomatic spontanaeus submission to tradition)1 Kemampuan masyarakat menciptakan aturan main, memberi makna dan kategori secara beragam dan berubah sepanjang waktu mengenai hukum yang berlangsung dalam kehidupan sosial mereka, menginspirasi Moore, Sally Falk, 1978, untuk mengemukakan pandangannya mengenai hukum sebagai proses.2 Ia menganggap masyarakat sebagai semi outonomous social field yang dapat membentuk hukum. Semi outonomous social field menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat dapat memiliki kapasitas untuk membentuk aturan (rule-making capasities). Bagi Moore, hukum (law) adalah self regulating dari semi outonomous social field. Pandangan ini menurut Moore sangat penting untuk melihat konteks masyarakat yang tak selalu berada di bawah subordinasi aturan yang diproduksi negara, melainkan senantiasa berkembang sesuai dengan konteks dinamika sosial masyarakatnya, dan integral dalam perilaku masyarakatnya.
6.5. Pola Produksi dan Variasi Pekerjaan Selain kebun kelapa sebagai sumber produksi utama, masyarakat dua desa ini juga memiliki tanaman lain yang ditanam sebagai tanaman bulanan. Mereka menyisakan sebagian petak kebunnya untuk ditanami tomat, pisang,
1
Pandangan dari Redcliffe Brown, 1986. Pandangan kaum structural fungsional ini juga diwakili oleh Hoebel 1983, juga Pospisil, 1971. Dapat dibaca selanjutnya pada Irianto, Sulistyowati, Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan Konsekwensi Metodologisnya, artikel dalam Pluralisme Hukum dalam Kajian Interdisipliner, Huma, 2005, hal 56-57. 2 Moore, Sally Falk, Law as Process: An Anthropological Approach,University of California, 1978, chapter 2, hal 54-81.
78
pala, cengkeh, dan lain-lain. Tak jauh berbeda dengannya petani lain, mereka juga menanam tanaman serupa termasuk juga kasbi (ubi), rica (cabai), coklat, dll. Sementara sebagian petani Desa Lako Akelamo terutama mereka yang berada dekat muara sungai memanfaatkan lahan suburnya untuk ditanami padi gaga serta sayuran, di samping kelapa sebagai komoditas unggulannya. Mereka yang berada dekat laut memanfaatkan pula waktu senggangnya untuk menangkap ikan di laut. Bagi mereka, tanaman bulanan tersebut mereka jual untuk menutupi keperluan sehari-hari di luar dari hasil produksi kelapa. Pola produksi yang seperti ini merupakan pola multicrop, dimana kelapa merupakan produksi pokok (maincrop) yang diharapkan memberikan cash money yang besar setiap kali panen. Walaupun di tengah-tengah harga kopra yang anjlok, namun tak ada sedikit niatpun untuk merubah area pertanian/perkebunannya dari kebun kelapa menjadi kebun tanaman
lainnya. Hingga saat ini harga kopra hanya berada
pada kisaran 2500 rupiah per kilogram. Padahal 4 bulan yang lalu harga kopra masih berada pada kisaran 5000 rupihah per kilogram. Umumnya hasil olahan pengasapan kelapa (kopra) para petani di Desa Susupu dan Lako Akelamo mencapai 1 ton kelapa. Di Desa Susupu dan Lako Akelamo, daya dukung area/pertanian/perkebunan ( kebun kelapa) hingga mencapai 1 ton kopra maka harus dibutuhkan luas lahan sebesar satu hingga dua hektar lahan, dengan jumlah pohon kelapa yang ditanami sebanyak 150 pohon kelapa hinga 300 pohon kelapa, dengan jarak pohon kelapa sepanjang delapan kali depalan meter. Rata-rata banyak buah kelapa per masing – masing pohon kelapa sebanyak tiga puluh buah kelapa. Jika harga kopra sebesar 2500 rupiah per kilogram, maka 1 ton kopra kelapa hanya dihargai dengan nilai Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Bagi petani kelapa, tentu merasakan beban hidupnya terasa berat ditengah harga kopra yang anjlok akhir-akhir ini. Terdapat kekecewaan antara hasil dan jerih payah mereka atas pohon kelapa, dengan harga kopra di pasaran Bagi mereka walaupun di tengah anjloknya harga kopra, mereka tetap menerima dan menganggap tanaman kelapa sebagai komoditi unggulannya. Sejak di telusuri, ternyata penghargaan terhadap pemberian orang tuanya kepada mereka dalam bentuk kelapa inilah yang membuat mereka tidak tega untuk menggantikan tanaman kelapanya dengan tanaman lainnya. Dalam pandangannya, segala pemberian orang tua, tidak dapat diperjual belikan atas
79
dasar dan keinginan yang tidak jelas. Sebab ada semancam pantangan yang dikenal dengan nama “boboso”. Namun demikan, lahan tersebut hanya dapat dimanfaatkan untuk penanaman tanaman lainnya tanpa harus mengubah secara keseluruhan fungsi lahan sebagai lahan kelapa. Mereka memilih selain dengan menjual tanaman tambahannya, untuk menutupi dan menambah hasil pendapatan kesehariannya mereka juga melakukan pekerjaan tambahan dengan menjadi pekerja harian bangunan, dengan ongkos upah perhari sebesar 25 ribu rupiah. Dengan alasan bahwa mata pencaharian sebagai petani kelapa tidak menyita waktu terus-menerus, maka sebagian masyarakat desa juga melakukan pekerjaan lain, seperti menjadi tukang ojek motor sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim. Dengan demikian pola multicropping antara produksi kelapa dengan penanaman tanaman lain yang kemudian dijual merupakan bentuk respon atas situasi ekonomi petani kelapa yang semakin sulit. Pola ini menunjukkan sikap resistensi ekonomi petani terhadap situasi luar yang menghimpitnya. Strategi resistensi, dalam arti bertahan dari tekanan luar yang menghimpit kondisi petani juga tersirat dari variasi pekerjaan atau pekerjaan lain di luar produksi tani seperti buruh bangunan dan ojek yang dilakukan petani untuk tetap mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
6.6.Pasar Baik masyarakat Susupu dan Lako Akelamo hanya segelintir orang saja yang memiliki akses terhadap jaringan di luar desa terutama menyangkut dengan pasar. Khusus akses yang berkaitan dengan pasar, umumnya kopra dibeli oleh orang-orang cina yang berada di dua desa tersebut, maupun orang Cina yang berada di luar kecamatan. Ada beberapa orang pribumi asli yang menjadi pembeli kelapa, namun jumlahnya sangat sedikit. Para petani yang berlanganan jumlahnya sangat sedikit. Terdapat sepuluh orang Cina yang berdomisili di Desa Susupu dan Lako Akelamo sebagai pembeli kopra, sementara terdapat empat orang pribumi asli sebagai pembeli kopra. Umumnya para petani kelapa menjual kopra kepada langganan orang Cina. Mereka menganggap lebih menguntungkan, dibandingkan menjual kepada pedagang pribumi asli. Orang Cina menurut mereka dapat dipercaya karena “timbangan” kopra yang jujur serta harganya yang sedikit lebih tinggi walau perbedaan harga dengan pedagang non cina hanya pada kisaran seratus-an.
80
Biasanya harga kopra yang dibeli oleh pembeli non Cina dalam satu kilogram dihargai dengan sembilan ratus rupiah maka, pada orang Cina berani mengambil dengan harga seribu per kilogram. Perbedaan harga hanya seratus rupiah, namun sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Selain soal harga yang berbeda, alasan adalah karena mereka (orang cina) mempunyai kepedulian dan perhatian yang cukup pada petani kelapa di Desa Susupu. Radjab bercerita pada bulan Juni 2008 dia sudah melaksanakan kegiatan panen kelapanya, namun pada bulan Juli uang yang didapat dari hasil penjualan kopranya telah dipakai habis untuk memperbaiki kondisi rumah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Pada saat yang bersamaan anaknya yang masih duduk di bangku kuliah membutuhkan uang untuk membayar iuran SPP. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anaknya, dia tidak meminta kepada keluarganya, namun dia hanya mengungkapkan keluhan anaknya atas kebutuhan SPP anaknya kepada sesama petani kelapa yang kebetulan berbatasan dusun kelapa dengannya yaitu Amir. Keluhan itu pun terdengar sampai ditelinganya Om Hui3. Om Hui datang di rumah Radjab pada pagi hari dan langsung menanyakan kebutuhannya untuk dapat memenuhi biaya SPP anaknya. Radjab mengutarakan masalahnya dan pada saat itu juga Om Hui membantu untuk meringankan masalah dan beban akan kebutuhan biaya pendidikan anaknya. Akan tetapi, pertolongan orang cina itu tidak secara gratis didapatkan. Ada perjanjian atau kontrak, jika tiba saatnya kelapa di panen, hasilnya dalam bentuk kopra harus dijual kepada orang cina. Setelah dijual, uang dari hasil penjualan
kopranya
kemudian
dipotong
sebagai
pengganti
uang
yang
dipinjamkan. Berbeda halnya dengan pembeli non Cina, tidak pernah membantu mereka atau sekedar melihat mereka ketika dalam keadaan susah. Bagi pedagang pembeli kopra pribumi, ada upaya dan keinginan untuk membantu kebutuhan-kebutuhan mendesak para petani seperti yang dilakukan oleh orang Cina (Om Hui), namun karena keterbatasan modal yang dimilikinya.
6.7. Hak dan Akses Sumberdaya Alam Sebelum melanjutkan pembahasan kita mengenai proses produksi yang lebih jauh, ada baiknya kita berangkat dari dua hal yang mendasar dalam 3
. Om Hui adalah nama salah satu pedagang pembeli kopra yang berdomisili di Desa Susupu yang berketurunan cina. Dia telah hidup dan dibesarkan didesa ini. Disamping sebagai pembeli kopra, kesehariannya sebagai pedagang sembilan bahan pokok dan lain sebagainya.
81
pembahasan mengenai manusia dan relasinya terhadap resources atau sumber daya. Konteks pertama adalah mengenai Hak (Right) dan kedua adalah Access (akses). Kita perlu meletakkan cara pandang terhadap relasi manusia dengan sumber daya ke dalam cara pandang komprehensif mengenai landscape (kawasan) sosial, yang berarti meletakkan alam/sumber daya dalam satu kesatuan ekosistem bersama manusia. Sumber daya sesungguhnya terletak di dalam relasi sosial antara alam dan manusia, serta relasi antar manusia terhadap alam. Relasi antar manusia terhadap alam berada dalam konteks mengenai pengakuan sosial atas kepenguasaan seseorang atas sumber daya (alam),4 maupun konteks berlangsungnya transaksi sosial ekonomi terhadap sumber daya. Pernyataan hubungan sumber daya dan manusia ada pada pernyataan mengenai hak dan tindakan membangun akses (mengambil kemanfaatan) oleh manusia terhadap sumber daya. Sementara relasi sosialnya berlangsung dalam pengakuan
sosial
(baik
dari
pemerintah
maupun
masyarakat)
atas
kepenguasaan maupun kepemilikan individual maupun kolektif dan kemanfaatan atas transaksi sosial ekonomi terhadap sumber daya tersebut.5 Di sanalah konteks pokok konsep dari hak terhadap sumber daya alam. Oleh karena itu dalam konteks hak atas tanah dari para petani kelapa tersebut, pengakuan sosial terhadap penguasaan serta kepemilikan dari seseorang merupakan dasar hak yang sesungguhnya. N sebagai informan menjelaskan lebih lanjut mengenai hak atas sumber daya itu, sebagai bundle of right, terpetakan dalam beberapa ciri kategori kemanfaatan yang dapat diambil oleh yang bersangkutan. Sebagaimana dituturkan Rjb dan beberapa petani kelapa lainnya, termasuk ditegaskan oleh Kepala Desa Lako Akelamo, bahwa masyarakat hanya memiliki sertifikat tanah dan rumah. Namun mereka tidak memiliki sertifikat kebun/lahan kelapa, Untuk itu, masyarakat perlu melihatnya dari sudut pandang hak (right) dalam definisi sebagai pengakuan sosial atas pernyataan (klaim) seseorang dalam mengambil kemanfaatan/menggunakan resources. Bahwasanya pengakuan sosial tersebut belum diformalisasi ke dalam bentuk pengakuan oleh negara berupa selembar surat kepemilikan (sertifikat kepemilikan), bukanlah suatu masalah yang meniadakan hak dari para petani tersebut.
4 5
Meminjam pernyataannya Neil Meyer dalam introduction to Property Righat. Masih meminjam Neil Meyer.
82
Dalam pembicaraan mengenai hubungan manusia dan sumberdaya alam, kategorisasi hak (right) adalah juga sesuatu konsep yang mendasar, yang akan mempengaruhi relasi sosial antar manusia dalam hubungan terhadap sumber daya yang dimaksud. Ini adalah kategorisasi yang mendasar dalam teori property right. Dalam teori property right, konsep hak juga dipengaruhi oleh karakteristik sumber daya. Meminjam pernyataan dari George Mc Dowell, bahwa atribut dari benda (sumber daya alam) membuat perbedaan yang sangat kuat dalam hubungan antar orang dan hak-hak kepemilikan dan digunakan dalam hubungan antar manusia. Atribut yang berbeda akan menghasilkan tipe yang berbeda dari ketergantungan tersebut, dan juga menghasilkan pilihan-pilihan berbeda dari hak-hak kepemilikan. Oleh karena itu maka dalam pembicaraan ini menjadi tepat kalau kita membahas terlebih dulu mengenai karakter sumber daya alam dalam hubungannya dengan pernyataan hak dan akses. Karakteristik sumber daya di sini adalah bentang alam berupa dataran rendah, yang terpetak-petakkan dalam bentuk kebun yang ditumbuhi kelapa. Masing-masing petani menandai batas-batas lahannya dengan tanaman lain seperti pohon durian, atau batas alam seperti sungai. Tidak semua orang bebas mengambil kemanfaatan dari kebun kelapa. Setiap yang ditanam seperti kelapa, pisang, kasbi, pala, dll, hanya dimanfaatkan oleh pemiliknya, orang lain yang menginginkan mengambil kemanfaatan dari kebun tersebut hanya dapat mengambilnya dengan seijin si pemiliknya. Melihat dari setiap kategori sebagaimana yang diperlihatkan dalam tabel sebelumnya, maka tampak jelas bahwa karakteristik fisik sumber daya menunjang bentuk-bentuk pemanfaatan tertentu sebagaimana kategori dalam tabel, menunjukkan bahwa hak atas sumber daya yang ada merupakan private property right, kepemilikan individual, bukan common property right (kepemilikan bersama) atau open access of property right (kepemilikan terbuka). Bahwa pengelolaan kebun dilakukan bersama-sama itu hanya menunjukkan kategori management (kelola) bukan right (hak). Berbeda sekali dengan laut di ujung Desa Susupu, yang secara mendasar karakteristik sumber dayanya berupa laut, terbuka bagi siapa saja untuk mengambil kemanfaatan atas sumber daya laut. Yang menjadi private kemanfaatannya adalah ketika ikan sudah ditangkap oleh nelayan, dan hanya dapat diambil kemanfaatannya oleh orang lain melalui transaksi.
83
Hak atas sumber daya yang masuk dalam kategori private property right berpindah pada orang lain melalui transaksi (tradable), dalam hal ini transaksi jual beli. Hal ini pun dapat terjadi di masyarakat petani kelapa Susupu, sebagaimana disampaikan Rajab bahwa peralihan kebun dapat dilakukan dengan jual beli, buktinya adalah kwitansi penjualan, dan surat keterangan jual beli yang diketahui pihak desa. Setelah bicara mengenai hak maka kita perlu bicara mengenai akses. Berbeda dengan hak yang berkutat pada masalah kemanfaatan (benefit) atas sumber daya yang mendapat pengakuan sosial, maka akses ada pada pembahasan mengenai kontrol atas sumber daya, orang, dan institusi/lembaga, sebagaimana dijelaskan oleh Nancy Lee Peluso dalam The Theory of Access.6 Tema akses dengan demikian merujuk pada isu kekuasaan atas sumber daya, orang, maupun institusi/lembaga. Dalam konteks ini mengacu pada subjek yang memiliki kekuasaan (power) atas sumber daya, orang, dan institusi. Mereka yang mengontrol pasar yaitu para pengumpul/pembeli kopra memiliki kuasa kontrol yang lebih besar kepada para petani kelapa terutama dalam menentukan harga. Untuk mengikat hubungan produksi dengan para petani mereka tak jarang juga melibatkan diri dalam persoalan sosial lainnya, misalnya tolong-menolong keuangan, yang walaupun pada dasarnya itu hanya hubungan pinjam-meminjam akan tetapi memiliki arti sosial yang besar bagi para petani dan karenanya hubungan sosial itu juga mempererat hubungan ekonomi produksi. 6.8. Ikhtisar Kelembagaan mabari yang dilandasi nilai bari mempunyai manfaat besar di kalangan masyarakat desa didalam konteks pengembangan kegiatan nafkah penduduk dua desa lokasi penelitian. Kerjasama yang digalang dengan mabari ternyata berkait dengan berbagai aspek pembangunan, mulai dari pengawas sosial untuk pemeliharaan solidaritas sosial, pengaturan atas pengembangan pasar, sampai pada memberi kepastian hak atas sumberdaya alam.
Peran
pemerintah desa pun dapat ditingkatkan dengan adanya mabari.
Oleh
karenanya, dapat dikatakan mabari masih berpotensi menjadi proses sosial yang mendekatkan
6
semua
pihak,
sehingga
perlu
dipelihara
dan
Dalam Peluso, Nancy Lee and Jesse C Ribot, A Theory of Access, Rural Sociology, June, 2003
kembali
84
didayagunakan Halmahera Barat.
dalam
kehidupan
masyarakat
pedesaan
di
Kabupaten