BAB VI. STRUKTUR DAN PERTUMBUHAN KOMUNITAS TUMBUHAN
A. Pendahuluan Ekosistem hutan hujan adalah suatu komunitas yang kompleks yang kerangka kerjanya disediakan oleh pohon-pohonan dengan berbagai ukuran. Di bawah tajuk pohon-pohonan tersebut kondisi iklim mikronya berbeda dengan kondisi yang ada di luar hutan, cahaya matahari sedikit, kelembaban lebih tinggi, dan suhu udara lebih rendah. Banyak tumbuhan pohon yang lebih kecil tumbuh di bawah naungan pohonpohon yang lebih besar, diantaranya tumbuh pula tumbuhan pemanjat (climbers), epifit, tumbuhan pencekik (strangling plants), parasit dan saprofit (Whitmore, 1975). Kelimpahan, ketahanan hidup, dan distribusi suatu jenis atau spesies tumbuhan tergantung pada kemampuan adaptasinya terhadap lingkungan fisik dan terhadap organisme lain yang berbagi tempat hidup pada lingkungan yang sama. Peranan interaksi intraspesifik (antar individu dari jenis yang sama) dan lingkungan fisik ternyata menentukan kelimpahan, distribusi dan dinamika populasi suatu jenis tumbuhan, sebagaimana yang terjadi pada interaksi antara jenis di dalam tingkatan trofik yang berbeda (prey predator interaction). Pohon-pohonan dan sebagian besar tumbuhan berdiri di atas tanah dengan akarakar yang menghunjam ke dalam tanah untuk menyerap hara dan air. Daun-daun yang gugur, cabang dan ranting, dan bagian lain dari tumbuhan yang jatuh menjadi sumber makanan bagi hewan invertebrate, jamur dan bakteri. Hara kembali ke dalam tanah melalui pembusukan bagian organisme yang jatuh dan mati dan melalui pencucian daun oleh air hujan. Itulah gambaran kondisi hutan hujan yang sebagian besar elemen hara disimpan di dalam bagian vegetasi dan hanya sedikit yang disimpan di dalam tanah. Kondisi ini menggambarkan adanya komunitas biotik yang terdiri atas berbagai populasi organisme yang hidup bersama-sama. Komunitas biotik didefinisikan sebagai suatu gabungan tumbuhan, hewan, bakteri dan jamur yang hidup di dalam suatu lingkungan dan berinteraksi satu sama lain, membentuk sistem kehidupan yang berbeda dengan komposisi sendiri, struktur, hubungan lingkungan, perkembangan dan fungsinya. Masing-masing komunitas dicirikan
Universitas Gadjah Mada
oleh komposisi jenis tertentu, struktur vertikal, pola perubahan sepanjang waktu, biomas, aliran energi, dan siklus hara (Kimmins, 1987). Untuk keperluan penelitian sering komunitas dibedakan antar komunitas tumbuhan, komunitas hewan dan komunitas mikrobia. Namun, perlu diingat bahwa masing-masig komunitas tidak berada dalam posisis terisolasi satu sama lain. Jadi, apabila seseorang mempelajari hanya komunitas tumbuhan, maka tidak akan cukup untuk prediksi yang dapat dipercaya tentang komunitas biotik atau ekosistem sebagai satu kesatuan. Di dalam tajuk hutan ada kehidupan hewan dengan ragam yang besar yaitu hewan vertebrata dan invertebrate. Beberapa hewan makan bagian tumbuhan, sebagian yang lain makan hewan lainnya. Dalam kaitannya dengan penyerbukan bunga dan penyebaran buah dan biji maka ada hubungan timbal ball antara tumbuhan dan hewan. Banyak tumbuhan yang dipercaya menghasilkan bahan kimia beracun bagi serangga dan dengan cara ini tumbuhan mampu melindungi diri dari pemangsaan organisme lain. Struktur hutan secara konvensional digambarkan melalui pelukisan diagram profil. Diagram ini melukiskan sket semua pohon-pohonan dalam jalur sempit ukuran 7,5 meter lebar dan sekitar 60 meter panjang. Diagram profil digunakan secara luas untuk mendiskripsi ekosistem hutan alam, termasuk gambaran fasefase pohon masak tebang dan pertumbuhannya.
B. Struktur Vegetasi Pembahasan tentang struktur vegetasi penyusun ekosistem hutan, dalam ekologi vegetasi minimal dibicarakan pada 5(lima) tingkatan yaitu: 1) fisiognomi vegetasi, 2) struktur biomasa, 3) struktur 'life form', 4) struktur floristik dan 5) struktur vegetasi. Secara hierarkhis lima tingkatan struktur vegetasi tersebut integratif pada tingkatan pertama mencakup yang tingkatan yang kedua, tingkatan yang kedua mencakup tingkatan ketiga, begitu seterusnya. Jadi untuk tingkatan pertama menjadi paling umum dan untuk tingkatan kelima yang paling teliti (Mueller-Dombois, 1974) 1). Fisiognomi vegetasi, hal ini merupakan kenampakan luar dari vegetasi. Vegetasi dalam hal ini didefinisikan bahwa vegetasi merupakan semua jenis tumbuhan yang berada di dalam suatu wilayah dan memberikan gambaran sebaran secara ruang
Universitas Gadjah Mada
spasial dan sebaran pada saat tertentu dari semua jenis tumbuhan penyusun yang ada di dalamnya. 2). Struktur biomasa, hal ini berhubungan secara khusus dengan jarak dan tinggi dari bentuk tumbuhan di dalam susunan penutupan vegetasi. Konsep struktur ini lebih tepat dibanding fisiognomi vegetasi. 3). Struktur 'life form', dapat juga disebut komposisi life form dan hal ini berhubungan dengan bentuk komposisi pertumbuhan dari tumbuhan penyusun vegetasi ekosistem tertentu. Konsep struktur ini masih lebih tepat dari pada struktur biomasa, dan lebih bermakna kuantitatif. 4). Struktur floristik sering diartikan sebagai komposisi floristik vegetasi penyusun ekosistem tertentu. 5). Struktur vegetasi, menurut Kershaw (1973), pembahasan struktur vegetasi dibedakan menjadi 3(tiga) aspek, yaitu: (a) struktur vertikal (yaitu stratifikasi menjadi lapisanlapisan tajuk), (b) struktur horizontal (yaitu distribusi spasial populasi jenis dan individu) dan (c) struktur kuantitatif (yaitu kelimpahan tiap-tiap jenis tumbuhan dalam suatu komunitas). Untuk membahas lebih lanjut maka pokok bahasan ini menekankan pada tingkatan yang ke lima, yaitu dimulai dengan membahas aspek struktur vertical. Tajuk ekosistem hutan alam sering disebut sebagai lapisan tajuk atau start= tajuk dan untuk formasi hutan yang berbeda akan memiliki strata tajuk yang berbeda. Strata atau lapisan tajuk hutan kadang-kadang dengan sangat mudah dapat dilihat melalui gambaran diagram profil, namun kadang-kadang juga tidak. Bagi beberapa penulis buku ekologi penggunaan dan pembahasan masalah strata atau lapisan tajuk ini sering berbeda-beda. Kemungkinan yang paling umum penggunaan istilah stratifikasi adalah untuk menunjukkan lapisan tajuk dari tinggi total pohon, yang kadang-kadang diperhalus sebagai lapisan tajuk pohon. Sebagai dicontohkan dalam Gambar 6.1. yang dikutip dari Whitmore (1975), yaitu profil diagram ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah Dipterocarp campur di Belalong, Brunei. Dalam gambar tersebut tampak bahwa untuk hutan hujan tropika ini terdapat 5 (lima) lapisan tajuk pohon A - E. Stratum A merupakan `top layer' dari pohon
Universitas Gadjah Mada
yang paling besar yang umumnya merupakan tegakan emergent yang terisolasi atau berkelompok. Di atas lapisan tajuk pohon B yang kontinyu sebagai lapisan tajuk utama. Pada lapisan A ini tampak adanya fase masak (mature phase) yang ditunjukkan oleh pohon di bagian kiri dan kanan diagram profil, yaitu pohon anggota Dipterocarp jenis Shorea laevis, S. parvifblia dan Hopea bracteata (tinggi 45 m, 40 m dan
40
m).
Pada
lapisan
tajuk
pohon
B
merupakan
wilayah
fase
pertumbuhan/perkembangan (building phase) di bagian tengah ditambah beberapa pohon yang ada di jalur fase masak, dan bergabung dengan lapisan tajuk pohon C di bawahnya, yang hanya jelas sebagai bagian terpisah di bagian kiri fase masak. Di bagian tengah dari diagram profil tersebut tampak adanya dua pohon Dipterocarp tingkat tiang Shorea glaucescens (tinggi 16,3 m) dan S. laevis (tinggi 23,7 m). Untuk lapisan tajuk pohon D adalah lapisan tumbuhan berkayu tingkat sapihan dan lapisan E adalah lapisan lantai hutan herba dan anakan pohon keel (seedlings). Bersamaan dengan ke lima lapisan tajuk pohon tersebut, juga terdapat kelompok synusiae (yaitu kelompok tumbuhan yang memiliki life form serupa yang mengisi relung atau niche yang sama dan berperan serupa di dalam komunitas) dari tumbuhan autotrof yang secara mekanis independent. Berkaitan dengan lapisan tajuk secara struktural tersebut, untuk tajuk-tajuk pohon pada lapisan yang lebih rendah tampak bentuk tajuknya lebih panjang/tinggi sementara untuk tajuk-tajuk potion lapisan yang lebih atas tampak lebih lebar (lihat Gambar 6.1). Konsep lapisan tajuk pohon secara struktural ternyata menyebabkan kehilangan pandangan tentang sifat dinamis dan hutan hujan, dengan kata lain sebenarnya pada kenyataan di lapangan dijumpai adanya jalur jalur pertumbuhan sepanjang waktu yang diwakili oleh kenampakan pohon penyusun lapisan tajuk tersebut. Ragam ukuran dari lbar jalur pertumbuhan dapat dilihat pada ragam fase siklus pertumbuhan hutan. Contoh pada gambar 6.1, pohon emergent pada lapisan tajuk A mewakili dua jalur pertumbuhan di sebelah kanan (D2 Hopea brakteata dan D6 Shorea parvifolia) dan sebelah kiri (D5 Shorea laevis) dari fase masak (mature phase). Untuk lapisan tajuk B terdiri atas wilayah fase perkembangan (building phase).
Universitas Gadjah Mada
Gambar 6.1. Diagram Profil Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah
Universitas Gadjah Mada
Bentuk tajuk pohon berkorelasi dengan pertumbuhan pohon, pohon muda masih dalam proses pertumbuhan meninggi sehingga hampir selalu monopodial, dengan batang pokok tunggal (ada sedikit kekecualian misalnya pada marga Alstonia), biasanya dengan tajuk yang tinggi dan sempit. Adapun untuk pohon yang telah memasuki fase masak, sebagian besar jenis memiliki batang yang sympodial, tanpa batang tunggal dan memiliki beberapa dahan atau cabang yang terus tumbuh melengkapi struktur tajuk pohon menjadi tambah lebar setelah pohon mencapai tingkat kemasakannya. Sebagian besar jenis pohon akan mencapai pertumbuhan tinggi maksimalnya ketika antara 1/3 dan 1/2 akhir pertumbuhan diameter batang tercapai kemudian diikuti dengan konsentrasi pertumbuhan tajuknya. Hutan adalah ekosistem yang dicirikan oleh suatu komunitas tumbuhan yang didominasi oleh tumbuhan dengan fisiogonomi pohon-pohonan. Sementara itu, padang rumput adalah suatu ekosistem yang didominasi oleh tumbuhan dengan fisiognomi herba dan rumput. Untuk contoh hutan pada gambar 6.1 menggambarkan diagram profil dari lapisan tajuk pohon-pohonan saja, sedang sebagai komunitas tumbuhan hutan pada umumnya disusun oleh lima lapisan vegetasi: 1. Pohonpohonan (trees), 2. Semak (shrubs), 3. Tema (herbs), 4. Thallophyta, 5. Epiphytes. Masing-masing lapisan dapat dibagi lagi menjadi sub-lapisan atau synusiae. Lapisan ke enam mungkin saja dijumpai yaitu `liana berkayu' atau `tumbuhan merambat'. Banyaknya
lapisan
vegetasi
di
dalam
suatu
komunitas
tumbuhan
merefleksikan karakter lingkungan fisiknya. Lingkungan kering seperti padang rumput atau padang pasir sering hanya memiliki satu atau dua lapisan vegetasi: satu lapis herba musiman di padang rumput, dan untuk padang pasir dengan satu lapis semak musiman ditambah lapisan herba yang hidupnya sebentar (ephemeral). Bila menuju ke lingkungan yang lebih basah maka lapisan vegetasi bertambah dengan lapisan pohon-pohonan. Thallophyta mungkin hadir hampir di setiap lingkungan, walaupun tumbuhan tersebut cenderung meningkat menjadi melimpah sepanjang transek dari lingkungan yang panas dan kering menuju lingkungan yang dingin dan basah. Perubahan struktural sepanjang gradient lingkungan menghasilkan kombinasi karakter dari bentuk pertumbuhan. Hal ini terjadi pada semua benua dan menghasilkan pembagian yang lebih luas dari suatu flora kontinental yang disebut dengan formasi
Universitas Gadjah Mada
tumbuhan', dan ini terjadi pada setiap benua yang besar. Hutan deciduous di wilayah Eropa adalah formasi yang berbeda dengan hutan deciduous di Amerika Utara, walaupun keduanya memiliki `tipe formasi' yang serupa (semua formasi yang serupa di seluruh dunia dikelompokkan jadi satu tipe formasi). Suatu formasi tumbuhan pada suatu benua tertentu bersama-sama dengan asosiasi komunitas hewan dan organisme mikro dan lingkungan fisiknya disebut sebagai `bioma' (yaitu suatu kelompok ekosistem yang di dalamnya produser primer memiliki kesamaan bentuk pertumbuhan dan konsumer memiliki kebiasaan makan yang serupa secara luas. Bioma yang serupa di seluruh dunia dikelompokkan menjadi satu `ripe bioma'. Lingkungan fisik suatu bioma disebut 'life zone'.
C. Pertumbuhan Komunitas Tumbuhan Pohon-pohonan juga mesti mati dan akhirnya mati karena umurnya yang tua, prosesnya dapat dimulai dari cabang paling atas menuju ke pusat tajuk, dan lama kelamaan batang pohon tak bertajuk lagi. Kematian individu pohon atau kelompok pohon akan menghasilkan celah atau gap pada lapisan tajuk pohon-pohonan sampai pohon lain tumbuh pada celah tersebut. Setelah anakan pohon tersebut menjadi tua dan kemudian mati. Lapisan tajuk pohon-pohonan, oleh karena itu akan berubah secara terus menerus seperti pohon tumbuh dan pohon mati. Ini menunjukkan adanya keseimbangan yang dinamis di dalam ekosistem hutan. Keadaan ini menjadi mudah untuk dianalisis mengenai siklus pertumbuhan lapisan tajuk pohon-pohonan menjadi tiga fase yaitu: fase celah (gap phase), fase pertumbuhan (building phase) dan fase tua (mature phase). Ketiga fase ini tidak berdiri sendiri melainkan menjadi satu rangkaian peristiwa pertumbuhan suatu komunitas tumbuhan. Di dalam beberapa kondisi lingkungan, faktor fisik ternyata dominan dalam menentukan karakteristik komunitas biotik, tetapi sebagian besar ekosistem organismenya sendiri dan cara mereka berinteraksi juga sama pentingnya. Kehadiran jenis atau spesies lain mungkin menjadi vital untuk amber pangan, dan atau perlindungan, atau mungkin juga merupakan ancaman utama dalam hal penyakit, predasi, parasitisme atau kompetisi. Dengan demikian pertumbuhan komunitas tumbuhan dapat saja dipengaruhi oleh faktor-faktor interaksi tersebut.
Universitas Gadjah Mada
1). Penyebaran biji dan anakan pohon. Pertumbuhan komunitas tumbuhan dapat dipelajari mulai dari terjadinya penyebaran biji (seed dispersal) sampai berkecambah dan tumbuh menjadi anakan pohon (seedlings). Untuk penyebaran biji bisa jadi banyak faktor yang menyebabkan biji bisa tumbuh atau bahkan hilang. Untuk beberapa kasus banyak biji yang dimakan oleh hewan pada waktu buah belum masak atau kadang-kadang dimakan sewaktu buah masak. Setelah biji berjatuhan di atas permukaan tanah, banyak predator yang memakan biji sehingga tidak menjadi anakan pohon. Misalnya di dalam hutan hujan tropika di Kalimantan dijumpai sekelompok babi hutan yang memakan buah tengkawang (Shorea spp.). Untuk biji-biji di dalam ekosistem hutan hujan tropika ada dua agen penyebaran yang utama yaitu angin dan hewan. Seperti diketahui bahwa untuk beberapa marga anggota famili Dipterocarpaceae buahnya memiliki sayap (misalnya: Dryohalanops, Dipterocarpus, Shorea dan Hopea), sehingga memudahkan angin untuk membawa terbang buah bersayap tersebut kemana saja. Adapun untuk buah-buah yang besar dan juga buah yang berat penyebarannya dilakukan a.i. oleh hewan predator. Ada bukti bahwa di antara pohon-pohon penyusun hutan hujan tropika,penyebaran biji oleh hewan lebih efektif dibanding penyebaran oleh angin; karena biji-biji yang disebarkan oleh angin lebih banyak terkumpul di sekitar pohon induknya. Ada bentuk penyebaran lain bagi jenis tumbuhan yang tumbuh di tepi pantai atau tepi sungai, yaitu penyebarannya dilakukan oleh air. Hasil studi Burgess (1970, dalam Whitmore, 1975) menunjukkan bahwa pohon Shorea curtisii yang terisolasi dengan keliling 3,6 m dan lebar tajuk 18 meter, yang tumbuh di bagian pematang bukit dari hutan yang terbuka, tidak ada biji yang tersebar setelah jarak 80 meter dari pohon induk ( 54% pada jarak 20 m; 83% pada jarak 40 m; dan 97% pada jarak 60 m) dalam wilayah sebarasn berbentuk ellips. Hansya 8 % dari buah yang jatuh yang mampu berkecambah dan biji tersebut jatuh di dalam jarak 25 m dari pohon induk; sisa biji yang lain dimakan oleh predator. Biji yang mampu berkecambah jatuh pertama pada bulan Oktober, dan durasi jatuhnya biji antara bulan Agustus sampai Nopember. Menurut hasil studi Fox (1972, dalam Whitmore, 1975) di Sabah, untuk jenis Dipterocarp yang bijinya tidak bersayap (Shorea fallax) hanya jatuh pada jarak sekitar 10 meter dari pohon induknya. Penelitian lain menyebautkan (Webber,
Universitas Gadjah Mada
1934, dalam Whitmore, 1975), bahwa setelah terjadinya badai maka untuk enam jenis anggota Dipterocarpaceae dan Koompassia spp dan anggota famili Anacardiaceae, buahbuahnya terbawa terbang dan berjatuhan seperti salju dengan kerapatan buah 3-4 buah per meter persegi sejauh 0,8 km. Sebaliknya ada studi yang melaporkan bahwa terjadi penurunan jumlah anakan pohon setelah tumbuh menjadi tua pada blok yang terisolasi dari hutan sekunder tua di Malaysia.
2). Dormansi biji dan Perkecambahan. Banyak jenis pohon hutan hujan yang tidak memiliki periode dorman atau hanya singkat waktunya dan segera berkecambah pada kesempatan pertama atau beberapa hari kemudian. Biji yang besar dari Dipterocarpus (kerning) dan Durio (durian), berkecambah segera pada kesempatan yang ada, endosperma sedikit dan tidak tahan kering. Untuk jenis Dryobalanops aromatica, terdapat 44% air pada biji yang barn jatuh dan segera berkecambah. Cahaya tidak menjadi faktor pembatas. Sempitnya periode dormansi untuk banyak jenis pohon hutan hujan tropika memiliki implikasi yang serius untuk silvikultur, khususnya untuk jenis jenis pohon ayng periode berbuahnya tidak sering. Problemnya yaitu pada proses penyimpanan dan transportasi biji ke tempat lain. Lain halnya untuk jenis Pinus, sebagai contoh biji Pinus merkusii dapat disimpan dalam dry cold storage, sehingga dapat dibawa ke tempat yang jauh. Biji-biji tersebut akan berkecambah pada tempat yang cocok untuk tumbuh menjadi anak pohon dan ada juga yang mengalami kegagalan. Untuk beberapa jenis pohon diketahui beberapa alasan kegagalan tersebut, yaitu a.l: - Jenis yang berkecambah di dalam naungan yang rapat secara fisiologis tentunya menyesuaikan dengan kondisi cahaya yang sangat rendah. Kelompok jenis tumbuhan ini dicirikan oleh adanya cadangan makanan yang cukup di dalam biji, yang membantu perkecambahan pada saat awal. Misalnya Callophyllum spp. Bahan Pustaka: Barbour, M.G., J.H. Burk dan W.D. Pitt. Terrestrial Plant Ecology. The Benyamin/ Cummings, London. Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. Macmillan Publishing Company, New York. Mueller-Dombois, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, New York Whitmore, T.C. 1975. Tropical Rain Forest in the Far East. Clrendon Press, Oxford.
Universitas Gadjah Mada