BAB VI KESIMPULAN
6.1.
Kesimpulan Hasil penelitian secara kritis yang sudah dianalisis di kawasan Borobudur,
menggambarkan perkembangan representasi serta refleksi transformasi sebagai berikut : Investasi industri pariwisata dengan didukung keputusan politik ekonomi pemerintah yang didasarkan pada politik zonasi, telah mengubah komunitas kawasan Borobudur dalam ekosistem yang dinamis, menjadi komunitas yang kompleks. Pengelolaan sumber daya alam yang semula dilakukan oleh komunitas secara natural, kemudian terjadi perubahan ekosistem antara lain yang semula lahan pertanian, perkebunan, permukiman penduduk, kawasan hutan, berubah menjadi kawasan industri, perhotelan, perkantoran, sarana prasarana umum (taman wisata, jalan, parkir, terminal), dan lain-lain. Pada akhirnya kompleksitas totalitas komunitas masyarakat kawasan Borobudur menjadi masyarakat berkelaskelas, perubahan itu dimulai dari kelas yang paling rendah adalah penduduk asli yang tidak mempunyai skill, menjadi kelompok orang terpinggir dan pengangguran. Kemudian kelas yang lebih tinggi dari pengangguran, ialah kelas pengasong, pemandu wisata, pedagang, sedangkan yang lebih tinggi lagi yaitu kelompok intelektual elit baik pemerintah maupun swasta, pengusaha/pemodal kuat. Itulah hasil penelitian di kawasan wisata Borobudur oleh karena itu peneliti berani menyimpulkan, bahwa “suatu daerah baik di dalam maupun di luar
212
213
negeri bila dijadikan kawasan wisata, dimana pun daerahnya, tidak bisa dihindari akan terjadi proses-proses transformasi ekosistem maupun komunitas masyarakat di kawasan wisata menjadi lebih kompleks sehingga masyarakatnya berkelaskelas, seperti yang terjadi di Borobudur”. Di samping itu terjadi beberapa transformasi lainya akibat Politik Zonasi yaitu : a.
Transformasi dari “sumber daya alam” menjadi obyek wisata kawasan
Candi Borobudur, secara umum berdampak positip, karena semula kawasan Candi Borobudur belum tertata dalam satu kawasan industri, ketika industri pariwisata masuk maka kawasan tersebut menjadi tertata. Berdasarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1992 tentang pengelolaan PT.Taman Wisata Candi Borobudur, kemudian dibentuk Zonasi : “Zona I : Merupakan lingkungan kepurbakalaan diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan kelestarian fisik Candi seluas 44,8 Ha yang dikelola oleh pemerintah yang didelegasikan kepada Balai Konservasi Candi di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Zona II : Merupakan kawasan di luar zona I yang diperuntukkan bagi pembangunan
taman
wisata
sebagai
tempat
kegiatan
kepariwisataan,
pemeliharaan dan pelestarian bangunan Candi seluas 42,3 Ha yang dikelola oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur. Zona III : Merupakan kawasan di luar zona II yang diperuntukkan bagi pemukiman terbatas, jalur hijau, daerah pertanian untuk menjamin keserasian dan kawasan keseimbangan di zona I yang dikelola oleh pemerintah daerah Kabupaten Magelang”.
214
Akibat dari Politik zonasi yang harus dipatuhi, maka mengakibatkan proses perubahan secara total ekologi dan ekosistem menjadi berubah. Perubahan tersebut berdampak positif, karena penataan wilayah kawasan wisata menjadi lebih baik, sehingga layak dijadikan obyek wisata yang bertaraf internasional. Perubahan fungsi sebagian lahan pertanian maupun lahan permukiman menjadi infrastruktur pariwisata seperti fasilitas perkantoran, perhotelan, homestay, pertokoan, perumahan, rumah makan, tempat parkir, pasar, tempat ibadah, dan lain-lain, berakibat sistem bentukan swakarsa masyarakat dengan lingkungannya (ekosistem) berubah. Pada giliranya sebagian mata pencarian penduduk dan pemandangan alam yang indah, berubah. Dengan datangnya investasi baru baik eksternal maupun internal, sebagian kehidupan masyarakat di sekitar kawasan wisata Candi Borobudur terdesak oleh migrasi eksternal dan internal, lahan permukiman penduduk dipindahkan mengakibatkan sebagian penduduk kehilangan mata pencaharian dari natural resources. Bagi masyarakat yang mampu, dapat menyiapkan sarana dan prasarana pariwisata seperti perhotelan, homestay, pertokoan, rumah makan, tempat parkir, berjualan di pasar, dan lain-lain, di sisi lain menjadi peluang bagi sejumlah orang di kawasan wisata mendapatkan pekerjaan. Namun juga berdampak negatif karena sebagian penduduk asli yang tidak mampu serta tidak mendapatkan akses pekerjaan baik dari pemerintah maupun swasta di kawasan Borobudur maka tersingkir dan terpinggirkan kemana-mana. b.
Perubahan lahan aset wisata menjadi aset ekonomi. Untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar daerah tujuan wisata, diberikan peluang untuk mengembangkan usaha misalnya kedai
215
souvenir, membatik khas Borobudur, bengkel mobil atau motor, warung, latihan ketrampilan pembuatan anyaman dan gerabah dan lain-lain. Proses pengembangan kepariwisataan di kawasan wisata candi Borobudur ternyata meningkatkan kehidupan ekonomi, pendapatan dan taraf kesejahteraan masyarakat, serta mengurangi pengangguran di sekitar daerah tujuan kawasan wisata Candi Borobudur. Perubahan tersebut tidak hanya membawa dampak positif seperti bertambahnya lapangan kerja baru dan pengangguran berkurang, tetapi juga membawa dampak negatif yaitu sejumlah orang dari dusun-dusun yang dipindahkan karena digunakan menjadi aset obyek wisata, masyarakatnya tergusur, karena prosesnya tidak menguntungkan bagi masyarakat lokal, sehingga sebagian masyarakat menjadi korban dan terpinggirkan. c.
Ketika Politik Zonasi telah menjadikan obyek wisata yang menjadikan
peluang ekonomi, terutama bagi pihak penduduk asli di kawasan wisata, maka penduduk di luar kawasan wisata memanfaatkan peluang tersebut, karena telah memahami tentang prospek kemajuan kedepan berkembangnya kawasan wisata Borobudur. Penduduk asli yang tidak mempunyai skill dan sebagian penduduk yang terpinggirkan, melihat peluang kawasan wisata hanya terbatas pada menjadikan dirinya sebagai pedagang kecil, pengasong, tukang parkir, dan kuli bangunan. Bagi penduduk asli yang berkemampuan dan memiliki skill mereka memilih membuka warung, berdagang, dan menjadi pemandu wisata. Sedangkan sebagian penduduk asli dan investor serta migran yang berkemampuan lebih tinggi dapat diterima menjadi pegawai sipil kelurahan, kecamatan dan kabupaten,
216
atau membuka hotel, homestay, dan bekerja di kantor-kantor swasta serta instansi vertikal maupun horisontal. d.
Perubahan masyarakat dalam pelembagaan sistem sosial budaya.
Kehadiran wisatawan mancanegara maupun nusantara dalam kegiatan pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung, telah membawa pengaruh budayanya kepada masyarakat di kawasan wisata. Pengaruh wisatawan tersebut terhadap masyarakat kawasan wisata, membawa dampak positif dalam arti memacu diri untuk mampu berkomunikasi. Secara ekonomi dapat memotivasi untuk belajar bahasa asing sehingga kemampuanya dapat menguntungkan. Proses belajar itulah yang kemudian merubah kemampuan berbahasa. Setelah bahasa berubah, maka baik langsung maupun tidak langsung cara-cara bergaul pun berubah akibat dari pengaruh wisatawan. Di sisi lain kehidupan masyarakat sehari-hari, yang dahulu dilakukan secara teratur, sehingga tercipta tata kelakuan yang serasi bagi masyarakatnya, seperti kehidupan dalam adat istiadat, gotong royong, hidup penuh kekeluargaan, nilai toleransi, nilai solidaritas, saling menghormati, cenderung ada pergeseran, karena telah terpengaruh masuknya media massa, nilai materialisme, konsumerisme, individualism. Kebiasaan adat istiadat dalam kekeluargaan/kekerabatan yang dahulu sangat kental, saat ini menjadi berkurang. Pelembagaan ini belum terbentuk tetapi terkoneksi dalam bentuk seperti konflik antara pemerintah,pengusaha dan masyarakat. Di sisi lain peran aparatur Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, kurang mampu melembagakan dalam sistem budaya/nilai.
217
6.2
Saran
a.
Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah,
utamanya Kabupaten Magelang dan PT Taman Wisata Candi Borobudur di masa depan dalam membangun kawasan pariwisata baru, disarankan: 1)
Perlu memperhatikan kehormatan dan keharmonisan kehidupan masyarakat
kawasan wisata Candi Borobudur utamanya dalam kegiatan ibadat. 2)
Perlu merumuskan sebuah kebijakan yang diperuntukkan bagi masyarakat
yang tergusur dan pengangguran dengan menyiapkan badan latihan kerja, utamanya masyarakat di kawasan wisata Candi Borobudur untuk memperoleh lapangan pekerjaan yang memadai. 3)
Perlu adanya kebijakan dari aparat pemerintah setempat mengenai
pengamanan dan pengawasan secara dini terhadap kegiatan jaringan narkoba, perjudian dan sex bebas, utamanya di hotel-hotel maupun kafe serta tempattempat hiburan yang perlu diwaspadai. 4)
Mengingat masyarakat di kawasan wisata Candi Borobudur belum mampu
secara mandiri untuk beradaptasi terhadap akses pariwisata, maka diperlukan sosialisasi dan pembinaan di berbagai aspek penghidupan dan kehidupan terhadap masyarakat kawasan Candi Borobudur, agar potensi masyarakat tersebut meningkat,
berkualitas, dan produktif dalam
mendukung pembangunan
pariwisata. 5)
Dalam perkembangan mengantisipasi jumlah pengunjung wisatawan baik
asing maupun domestik yang berkunjung di Candi Borobudur, maka perlu dibangun infrastruktur pariwisata yang berkaitan dengan kesehatan, seperti Rumah Sakit dan para dokternya yang berkualitas bertaraf Internasional, serta laboratorium kesehatan di sekitar kawasan Candi Borobudur.
218
b.
Belajar dari hasil penelitian yang menggambarkan bahwa komunitas
kawasan Borobudur komunitas masyarakatnya menjadi berkelas kelas akibat intervensi industri pariwisata. Di sisi lain mimpinya bahwa komunitas diharapkan mampu menunjukkan identitasnya tetap utuh, maka diperlukan pembangunan komunitas baru, seperti contohnya yang dilakukan oleh Sutanto Mendut. Membangun komunitas karya budaya secara kolaboratif dengan kelompok pekerja seni lainnya baik di sekitar desanya maupun kelompok dari luar daerah setempat. Untuk pelestarian Candi Borobudur sekaligus mengukuhkan komunitas sosial budaya Magelang dan Kabupaten Magelang secara komprehensif, integral dan holistik, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: 1)
Membentuk komunitas baru yang berorientasi terhadap konservasi total
kawasan wisata dengan melakukan pembinaan serta pengembangan terhadap kelompok-kelompok seni pahat batu di daerah Muntilan, pembuatan keris di Blabak, ukiran tanduk, kayu di Pucang, seni rupa, seni musik dan pelbagai kesenian Jawa di Magelang dan Kabupaten Magelang secara berkelanjutan dan kolaboratif. Hal itu penting agar kehidupan sosial budaya di kawasan Borobudur bisa bertahan dan tidak tergerus oleh perubahan jaman. 2)
Pemberdayaan komunitas baru tersebut seyogyanya berorientasi kepada
budaya lokal, diprakarsai dan difasilitasi oleh pemerintah pusat maupun daerah. Di samping itu diperlukan adanya bangunan infrastruktur yang memadai, agar dapat digunakan sebagai fasilitas pengkaderan sumber daya manuia secara berkelanjutan, sehingga menghasilkan kualitas seni budaya yang bertaraf internasional.