BAB VI BIDANG POLITIK
6. 1. Subbidang Politik Dalam Negeri dan Komunikasi 6.1.1. Kondisi Umum Pada tahun 2011, konsolidasi demokrasi Indonesia diharapkan akan memasuki tahap kemajuan yang lebih baik. Pendapat optimis tersebut didasarkan pada capaian dalam lima tahun terakhir, terutama pencapaian politik pada tahun 2009. Pemilu tahun 2009 telah selesai dilaksanakan dan berjalan secara relatif demokratis, aman, dan damai. Pemilu 2009 telah menghasilkan 560 anggota DPR, 132 orang anggota DPD, dan 16.253 orang anggota DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Para anggota lembaga Legislatif terpilih telah pula menempati kursi perwakilannya di parlemen untuk menunaikan amanah para konstituen masing-masing untuk melaksanakan tugas konstitusional mereka dalam bidang pengawasan, legislasi dan anggaran. Beberapa kekurangan dalam penyelenggaraan Pemilu 2009, khususnya berkaitan dengan kelemahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) telah mulai dibenahi. Sistem Administrasi Kependudukan telah dibangun disainnya dan diharapkan dapat diselesaikan pada tahun 2011 mendatang. Lembaga Penyelenggara Pemilu juga telah mulai melakukan pembenahan dan peningkatan kapasitas kelembagaannya termasuk peningkatan sumber daya manusia, tidak hanya di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat tetapi juga di KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota. Penguatan kelembagaan dilakukan juga oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). KPU dan Bawaslu pada tahun 2009 telah menyiapkan program dan kegiatan untuk mendukung pelaksanaan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan pada 2010. Hal lain, Pemerintah bersama-sama dengan DPR tengah melakukan komunikasi politik yang intensif dalam upaya melakukan revisi terhadap UU No. 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Partai politik (parpol) dalam Pemilu 2009 telah mampu berkompetisi secara relatif jujur dan sportif. Pemilu 2009 telah memunculkan 9 parpol, dari 38 parpol peserta pemilu untuk anggota parlemen. Gambar berikut adalah jumlah perolehan kursi parpol di Parlemen untuk periode 2009-2014.
II.6 - 1
GAMBAR 6.1 JUMLAH PEROLEHAN KURSI PARTAI POLITIK DI DPR PEMILU 2009
Sumber : Diolah dari data KPU, 2009
Berkenaan dengan partisipasi politik perempuan di DPR, terjadi kenaikan tingkat keterwakilan perempuan yang merupakan hasil kompetisi politik yang langsung di kalangan calon anggota legislatif dalam pemilu. Berikut ini adalah angka komposisi perempuan dalam komisi-komisi parlemen Indonesia untuk tahun 2010-2014. GAMBAR 6.2 KOMPOSISI PEREMPUAN PER KOMISI DI DPR HASIL PEMILU 2009
Sumber : Diolah dari data KPU, 2009
Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) terus menunjukkan perannya terutama dalam melaksanakan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara. Salah satu indikasi yang cukup penting adalah kemampuannya melakukan dialog dan advokasi terhadap DPR untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya untuk menjamin kebebasan berpendapat dalam dunia II.6 - 2
maya. Peran penting OMS terlihat pula dalam merespons berbagai kasus hukum dan politik penting dalam tahun 2010, seperti kasus penyelidikan dugaan skandal bail-out Bank Century. Untuk menggali dan memberdayakan potensi OMS dalam konsolidasi demokrasi, Pemerintah telah dan akan terus memberikan fasilitasi untuk meningkatkan kapasitas OMS melalui berbagai program kerja sama dengan OMS pada tahun 2009 dan tahun 2010, dan akan dilanjutkan pada tahun 2011. Lembaga Perwakilan telah menyusun rencana untuk lima tahun ke depan termasuk merencanakan jumlah regulasi yang akan disahkan dalam kurun waktu tersebut. Perbaikan dan peningkatan kapasitas dan kinerja internal lembaga DPR yang jauh lebih baik dari masa sebelumnya telah mulai dilakukan. MPR telah menyiapkan rencana lima tahun ke depan dan melaksanakan sosialisasi dengan materi yang terkait dengan Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, dan Ketetapan MPR. Hubungan antarlembaga berjalan dinamis, yang pada intinya menunjukkan bahwa mekanisme checks and balances dapat berlangsung dengan cukup baik dalam demokrasi di Indonesia. Berkenaan dengan beberapa dinamika dan kasus politik yang muncul pada tahun 2010, terdapat aspek menarik yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu meningkatnya akses langsung media massa dan penyiaran ke dalam peliputan proses politik di dalam lembaga eksekutif dan legislatif. Hal ini tentu berdampak positif untuk melatih daya kritis publik di satu sisi dan meningkatkan transparansi proses pengambilan keputusan di lembagalembaga penyelenggara negara. Pemahaman masyarakat terhadap fungsi-fungsi lembagalembaga lama dan baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meningkat dengan berbagai pemberitaan dan analisis politik melalui media massa tersebut. Pada tahun 2009 kondisi aman dan damai di sejumlah daerah yang menjadi perhatian pemulihan sosial politik selama beberapa tahun terakhir dapat terjaga dengan baik. Kasus kekerasan memang masih terjadi di berbagai daerah yang berkaitan dengan konflik antar golongan dengan berbagai pemicunya, termasuk karena persoalan politik ataupun sosial kemasyarakatan lainnya, mencakup juga persoalan ketidakpuasan pada keputusan pengadilan, persoalan korupsi dan persoalan persengketaan pemilikan lahan. Di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pasca berakhirnya keberadaan Badan Rekonsiliasi dan Rehabilitasi (BRR), Pemerintah NAD sedang memantapkan dan terus meningkatkan kualitas kinerja penyelenggaraan pemerintah. Di Papua, pemerintah provinsi sedang terus melaksanakan proses pembangunan berdasarkan otonomi daerah dan otonomi khusus. Sedangkan, di Maluku dan Maluku Utara, pemerintah daerah setempat sedang dan terus melanjutkan hasil yang telah dicapai dalam lima tahun terakhir. Dalam menciptakan hubungan yang tetap harmonis di dalam masyarakat, ruang publik (public sphere) seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) di beberapa provinsi, kabupaten, dan kota dapat melaksanakan perannya untuk dapat menyelesaikan persoalan yang ada di dalam masyarakat. Dalam menjaga nasionalisme dan meningkatan pemahaman kebangsaan Indonesia dan demokrasi, Pemerintah bekerja sama dengan lebih dari 300 organisasi masyarakat sipil dalam melaksanakan pendidikan kebangsaan dan cinta tanah air. Pemerintah juga telah melakukan fasilitasi untuk meningkatkan kapasitas OMS Indonesia dengan berbagai program capacity building. Terkait dengan persoalan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA), koordinasi dengan beberapa pemerintah daerah merupakan capaian yang telah diraih untuk mengatasi dan II.6 - 3
mencegah timbulnya persoalan SARA. Di samping itu, penerbitan sejumlah peraturan yang menjadi pedoman pemeliharaan kerukunan dan keharmonisan hubungan antarwarga bangsa merupakan keluaran yang dapat memberikan dukungan terhadap terciptanya harmonisasi di dalam masyarakat. Penetapan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang telah berlaku efektif pada tahun 2010 merupakan prestasi tersendiri dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. UU KIP ini menjamin hak-hak masyarakat untuk memperoleh informasi dari sumber yang seluas-luasnya tentang proses politik dan penyelenggaraan negara. Di samping itu, UU KIP ini juga memberikan batasan-batasan penting mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga/badan publik lainnya dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan akses atas sumber-sumber informasi publik yang strategis. Sebelum UU tersebut berlaku efektif pada bulan April 2010, Pemerintah telah mengupayakan penyelesaian Peraturan Pemerintah (PP), Petunjuk Teknis (Juknis), infrastruktur, sarana/prasarana serta hal-hal lain yang terkait dengan pemberlakuan undangundang dimaksud. Saat ini draft PP terkait pelaksanaan UU KIP, yaitu RPP Tentang Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah diselesaikan. Selain itu, pemerintah juga telah melakukan sosialisasi untuk pemahaman UU KIP di lebih dari 20 provinsi dan beberapa Kementerian/Lembaga di tingkat pusat. Penyiapan aparatur di daerah juga dilakukan dengan melaksanakan pelatihan bagi para calon Communication Information Officer (CIO).Sesuai dengan amanat UU KIP, telah dibentuk pula Komisi Informasi Pusat pada bulan Juni 2009, sedangkan beberapa daerah juga sudah mulai mempersiapkan pembentukan Komisi Informasi Daerah. Di samping itu, Pemerintah juga terus mengupayakan penyempurnaan sejumlah fasilitas penyebaran informasi publik terutama untuk penyebaran informasi terkait kebijakan pemerintah di bidang politik, hukum, dan keamanan (polhukam), perekonomian, kesejahteraan sosial, dan pengelolaan pendapat umum. Penyebaran informasi publik rutin dilakukan melalui berbagai media, baik cetak, elektronik, dan forum/dialog, termasuk pertunjukan rakyat. Dalam rangka meningkatkan komunikasi antara pusat dan daerah, dan mengatasi hambatan dan/atau kendala penyebaran informasi publik di wilayah-wilayah terpencil dan terdepan, Pemerintah memfasilitasi berkembangnya media komunitas yang lebih berkualitas, dan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, serta mengembangkan sarana/jaringan komunikasi sosial, terutama melalui forum/dialog/diskusi dan media tradisional dengan pertunjukan rakyatnya.
6.1.2. Permasalahan dan Sasaran Pembangunan Tahun 2011 Permasalahan dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 memberikan pelajaran yang sangat berharga dan juga menyimpan sejumlah pekerjaan rumah yang perlu disiapkan untuk tiga tahun ke depan. Permasalahan DPT dan pemutakhiran (updating) DPT merupakan tantangan berat pada tahun 2011 sebagai salah satu upaya penting untuk dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu, tidak saja pemilu nasional tetapi juga pemilu kepala daerah. Belum optimalnya peran lembaga penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu merupakan pekerjaan rumah yang memerlukan komitmen dan kerja keras bersama. Persoalan koordinasi KPU Pusat, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota menghadapi tantangan rentang kendali yang luas, sehingga perlu penyempurnaan disain
II.6 - 4
mekanisme yang tepat, dan akuntabel. Sementara itu, Bawaslu menghadapi tantangan untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pemilu dan pemilu kepala daerah yang juga menghadapi rentang kendali yang luas pula. Hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa melibatkan panwaslu di daerah. Hal lain, cakupan wilayah Indonesia yang tersebar, tidak memungkinkan bagi KPU dan Bawaslu untuk melakukan komunikasi dan konsolidasi dengan cepat tanpa dukungan kuat teknologi informasi. Persoalan teknologi inilah yang masih menjadi kendala dalam mendukung efektivitas penyelenggaraan pemilu kepala daerah. Wacana mengenai pemilihan kepala daerah tidak langsung, dalam hal ini pilkada gubernur, diperkirakan masih akan muncul dalam tahun 2011 mendatang. Tantangan Pemerintah saat ini adalah untuk melakukan fasilitasi agar wacana tersebut dapat berlangsung secara sehat dan efektif, sehingga pada gilirannya dapat mengkristal pada satu konsensus yang luas, lalu dituangkan ke dalam keputusan yang demokratis. Wacana yang terus muncul secara berlarut-larut dapat memperlambat laju proses demokratisasi. Proses demokratisasi Indonesia diharapkan dapat segera memfokuskan pada peningkatan substansi demokrasi, tidak lagi fokus pada perbaikan prosedur demokrasi, walaupun di satu sisi evaluasi dan perbaikan terhadap prosedur demokrasi juga sangatlah penting untuk dilakukan secara reguler. Parpol masih akan dihadapkan pada permasalahan yang terkait dengan peningkatan kualitas pelaksanaan agregasi dan artikulasi politik, komunikasi politik dan pendidikan politik yang merupakan tugas utama parpol. Tidak hanya itu saja, parpol masih akan menghadapi persoalan manajemen internal yang dapat berpotensi menyebabkan konflik internal organisasi. Hal lain, parpol belum memiliki disain pola rekrutmen dan pola pengkaderan yang mapan dan komprehensif sebagai salah satu cara untuk menghasilkan kader pemimpin politik yang berkualitas dan sekaligus dapat mendukung eksistensi parpol ke depan. Partisipasi politik aktif perempuan dalam lembaga perwakilan menghadapi tantangan berkenaan dengan masih belum optimalnya peran dan fungsi yang diberikan kepada perempuan dalam memperjuangkan aspirasi para konstituennya. Tantangan yang dihadapi perempuan dalam politik adalah mengikis budaya patriakal yang masih berpotensi menghambat kemajuan bagi perempuan. Selain itu, perempuan juga masih belum dianggap sebagai kelompok yang berhak memiliki peran independen dalam melakukan aktualisasi diri di bidang sosial dan politik, serta masih belum memiliki akses yang memadai terhadap sumber-sumber informasi publik. Permasalahan manajemen internal organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia, kurang solidnya OMS, masih lemahnya konsolidasi jaringan OMS di kalangan masyarakat sipil, serta keterbatasan sumber-sumber pendanaan untuk keberlanjutan OMS. Undangundang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) tidak sesuai lagi dengan dinamika dan aspirasi demokrasi yang berkembang saat ini. Salah satu kendala belum tuntasnya revisi undang-undang tersebut adalah masih tingginya ketidakpercayaan (distrust) masyarakat sipil terhadap pemerintah dan kesepakatan di kalangan OMS mengenai, misalnya, definisi OMS. Berkenaan dengan lembaga perwakilan, permasalahan pada tahun 2011 adalah masih adanya potensi keterputusan hubungan antara para wakil rakyat dan konstituennya, belum optimalnya kinerja rumah aspirasi yang telah dibentuk di seluruh Indonesia, dan masih terbatasnya dukungan profesionalitas bagi lembaga perwakilan dalam melaksanakan fungsi penganggaran, pengawasan dan legislasi. II.6 - 5
Hubungan antarlembaga akan dihadapkan pada tantangan untuk menjaga dan meningkatkan pelembagaan dan kekuatan mekanisme checks and balances agar tetap dapat memperhatikan kepentingan rakyat, serta tidak menggangu dan atau mencederai proses demokratisasi. Dalam kehidupan masyarakat, cara-cara yang tidak demokratis seperti perilaku anarkis dan pembunuhan karakter lawan politik dengan menggunakan isu SARA dalam menyikapi proses politik, seperti pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, serta masih rendahnya kemampuan menghargai perbedaan di dalam masyarakat karena primordialisme sempit masih akan memberikan kontribusi terhadap suasana sosial politik yang belum harmonis di dalam masyarakat. Dalam merespons persoalan penurunan rasa nasionalisme dan kebangsaan di masyarakat terutama kalangan generasi penerus, pemerintah dihadapkan pada permasalahan belum dimilikinya disain yang mantap dan komprehensif, dan sesuai dengan kondisi zaman yang telah berubah dan bergerak dinamis. Ketiadaan Grand Strategy yang mantap dan komprehensif merupakan kendala utama bagi pemerintah untuk melangkah secara sistematis dalam meningkatkan paham kebangsaan dan cinta tanah air. Ketiadaan Grand Design untuk memperkenalkan kembali empat pilar penting konsensus bangsa, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika juga memberikan tantangan bagi pemerintah untuk melakukan konsolidasi seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama meningkatkan nasionalisme dan kecintaan terhadap tanah air. Komunikasi intensif seluruh pemangku kepentingan merupakan salah satu permasalahan tersendiri yang perlu mendapatkan solusi pemecahan segera. Berkenaan dengan isu terorisme, insiden terorisme yang terjadi pada awal 2010 yang menimbulkan korban, dikuatirkan akan berdampak negatif pada upaya membangun rasa saling percaya di antara pemerintah dan di dalam masyarakat. Pemetaan aparat keamanan negara terhadap jaringan terorisme pada awal tahun 2010 memberikan gambaran bahwa persoalan terorisme masih merupakan ancaman yang dapat mengganggu ketentraman di dalam masyarakat. Penanganan yang belum komprehensif menjadi salah satu faktor masih berkembangnya bibit-bibit radikalisme. Permasalahan radikalisme tidak hanya persoalan fundamentalisme agama dan lemahnya paham kebangsaan, tetapi juga melibatkan persoalan kesejahteraan dan kemiskinan yang berpotensi memicu ketidakpuasaan dalam masyarakat. Selain itu, masih rendahnya kapasitas, wibawa dan belum optimalnya peran organisasi kemasyarakatan keagamaan merupakan faktor lain yang menyebabkan kesulitan untuk mengatasi radikalisasi dalam masyarakat. Tertundanya penyelesaian peraturan pelaksana UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu penyelesaian 10 PP, 1 Perpres, dan pembentukan pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, perlu mendapatkan perhatian karena dapat berpotensi mengikis kepercayaan masyarakat Aceh yang selama ini telah terbangun. Begitu pula halnya dengan Papua, tertundanya penyelesaian peraturan pelaksanaan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dapat menimbulkan ketidak puasan baru. Akar persoalan terletak adanya ketidaksinkronan antara UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Di samping itu, kendala koordinasi dan komunikasi juga menjadi penyebab tidak tercapainya pemecahan masalah hingga saat ini. Apabila masalah ini tidak segera dipecahkan, kepercayaan di dalam masyarakat dan antarpemerintahan akan menipis dan dapat berpotensi membuka peluang adanya konflik baru.
II.6 - 6
Dalam menyikapi persoalan primordialisme sempit dan rendahnya nasionalisme serta patriotisme, tantangan terletak pada masih rendahnya kemampuan dan pengalaman dalam mengidentifikasi persoalan, yang kemudian berdampak pada kurang tepatnya penanganan dan strategi untuk mengatasinya. secara tepat dan inovatif. Nasionalisme adalah konsep yang dinamis, berinteraksi dengan berbagai soal lainnya di dunia. Metode dan strategi pendidikan politik yang kurang tepat dapat berdampak pada kurangnya peningkatan pemahaman terhadap nasionalisme dan kebangsaan, pemahaman nilai-nilai demokrasi, seperti budaya toleransi, berkompetisi politik secara demokratis, dan penyelesaian masalah tanpa kekerasan. Berkenaan dengan forum-forum publik yang telah dibangun dan diperkuat setiap tahunnya antara lain melalui fasilitasi pemerintah, permasalahan yang dihadapi adalah masih belum optimalnya peran FKUB di beberapa daerah sebagai forum dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat dan wadah penampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan di dalam masyarakat. Begitu pula dengan forum-forum dialog lainnya yang saat ini telah terbentuk, menjaga eksistensi dan meningkatkan efektivitas forum dialog merupakan tantangan ke depan yang tidak ringan. Dalam penanganan konflik dan penciptaan harmoni dalam masyarakat, peran pemerintah masih cukup penting dan masih tetap diperlukan. Namun, ketidakpercayaan (distrust) terhadap pemerintah masih tetap kental. Masyarakat masih seringkali mengemukakan keluhan-keluhannya terhadap kinerja birokrasi pemerintahan. Dari sisi politik, birokrasi dianggap belum sepenuhnya menerapkan prinsip netralitas. Dari sisi kapasitas, birokrasi dianggap masih jauh dari efisien dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan masyarakat. Pemerintah pun dinilai memiliki kelemahan dalam melakukan koordinasi yang efektif. Persoalan-persoalan tersebut berakumulasi pada timbulnya distrust terhadap pemerintah. Tantangan terberat adalah mengubah pola pikir menjadi lebih demokratis, berorientasi pada prinsip-prinsip good governance, profesionalitas, serta netralitas. Permasalahan dalam informasi dan komunikasi adalah terkait dengan masih belum meningkatnya kualitas, kuantitas dan efektifnya penyediaan, pengelolaan, dan penyebarluasan informasi publik terutama di daerah terpencil, perbatasan dan daerah pasca konflik. Di samping itu, masyarakat termasuk badan/lembaga publik belum sepenuhnya memahami arti penting peran strategis informasi sehingga berdampak pada masih rendahnya pemanfaatan informasi dan masih adanya kesenjangan informasi di dalam masyarakat. Meskipun upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang komunikasi dan informasi dilakukan pada tahun 2010, permasalahan penyediaan, pengelolaan dan penyebaran informasi publik pada tahun mendatang masih akan dihadapkan pada keterbatasan kapasitas sumber daya manusianya, dan masih belum memadainya sarana dan prasarana komunikasinya. Di samping itu, persoalan lain adalah sulitnya mengubah paradigma dan pola pikir (mind-set). Peran pemerintah dalam penyediaan informasi publik masih akan dipertanyakan terutama terkait dengan proses percepatan penyebaran informasi publik dan penyediaan informasi publik yang tepat untuk mengimbangi derasnya arus informasi yang negatif akibat globalisasi dan perkembangan pesat teknologi informasi. Ketidaksiapan lembaga-lembaga/badan publik dalam melaksanakan UU KIP merupakan potensi permasalahan yang akan dihadapi pada tahun mendatang. Demikian pula untuk OMS yang menggunakan dana publik, persoalan serupa akan dihadapi. Persoalan sengketa dan proses mediasi nya diperkirakan akan mengemuka terkait II.6 - 7
ketidaksiapan lembaga/badan publik untuk menyediakan informasi publik yang dibutuhkan oleh masyarakat. Media massa yang kuat merupakan prasyarat penting bagi konsolidasi demokrasi. Namun demikian, industri media masih tetap akan didominasi oleh kepentingan industri yang berorientasi bisnis semata sehingga dikhawatirkan dapat menyebabkan ekses negatif, bahkan set back terhadap nilai-nilai independensi dan kebebasan pers itu sendiri. Pemerintah dihadapkan pada tantangan untuk tetap menjamin kebebasan pers, di samping juga pada saat yang bersamaan harus berpihak pada kepentingan publik. Dengan permasalahan tersebut di atas, pada tahun 2011 sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah sebagai berikut: 1.
Meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas lembaga demokrasi;
2.
Meningkatnya iklim politik kondusif bagi berkembangnya kualitas kebebasan sipil dan hak-hak politik rakyat;
3.
Meningkatnya kualitas dan efektifitas penyebaran, pemerataan, dan pemanfaatan informasi publik.
6.1.3. Arah Kebijakan Pembangunan Tahun 2011 1. Untuk mencapai sasaran pembangunan bidang politik dalam negeri dan komunikasi, prioritas bidang politik adalah pelembagaan demokrasi dengan fokus prioritas: (1) peningkatan akuntabilitas lembaga demokrasi; (2) peningkatan iklim kondusif bagi berkembangnya kebebasan sipil dan hak politik rakyat dan berkembangnya demokrasi; (3) peningkatan peran informasi dan komunikasi. Berdasarkan fokus prioritas di atas, maka untuk mencapai sasaran pada tahun 2011, arah kebijakan pembangunan pada tahun 2011 adalah sebagai berikut: a.
Meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas lembaga-lembaga demokrasi, yang dilakukan melalui: (i)
Penuntasan penyelesaian revisi UU No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan UU No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
(ii)
Fasilitasi penyiapan dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tahun 2011.
(iii)
Penguatan kapasitas lembaga penyelenggara pemilu nasional dan pemilu kepala daerah.
(iv)
Penguatan dialog dengan organisasi mendukung keberlanjutan OMS.
(v)
Pelaksanaan fasilitasi penguatan organisasi masyarakat sipil dan partai politik.
(vi)
Perbaikan mekanisme partisipatif .
perumusan
II.6 - 8
masyarakat
kebijakan
sipil
pemerintah
untuk
yang
b.
c.
Menjaga dan menciptakan iklim kondusif yang menjamin kebebasan sipil dan penghormatan terhadap hak-hak politik rakyat dan perkembangan demokrasi di Indonesia yang dilakukan melalui langkah-langkah antara lain sebagai berikut : (i)
Penuntasan penyelesaian revisi undang-undang bidang politik dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan fasilitasi pembahasan UU Penanganan Konflik.
(ii)
Pelaksanaan pendidikan pemilih, pendidikan kebangsaan dan cinta tanah air, serta pendidikan kewarganegaraan dan pengembangan budaya dan etika politik demokrasi berdasarkan empat pilar bangsa.
(iii)
Pelaksanaan fasilitasi peningkatan kualitas kemampuan perempuan dalam lembaga perwakilan.
(iv)
Pemantapan disain dan konsolidasi berbagai pemangku kepentingan terkait untuk mendukung pengembangan pusat pendidikan politik dan kebangsaan.
(v)
Pengembangan kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil.
(vi)
Penguatan dan pelembagaan forum dialog masyarakat mendukung proses demokratisasi dan penyelesaian konflik.
(vii)
Pelaksanaan fasilitasi dialog dengan organisasi masyarakat sipil dan pihak swasta untuk perbaikan mekanisme dan dukungan partisipasi rakyat dalam penyusunan kebijakan publik.
dalam
Meningkatkan peran informasi dan komunikasi yang dilakukan melalui: (i)
Perbaikan dan penyusunan kebijakan yang mendorong peran informasi dan komunikasi yang demokratis, dan kebebasan pers.
(ii)
Peningkatan kualitas dan efektifitas konten informasi publik, pemantapan strategi penyebaran informasi publik, dan pelaksanaan penyebaran informasi publik.
(iii)
Peningkatan kualitas dan efektifitas media center di daerah pasca konflik, perbatasan, dan pulau terpencil dan terluar.
(iv)
Peningkatan dialog dan kapasitas lembaga kemasyarakatan bidang komunikasi dan informasi termasuk lembaga adat dan media komunitas.
(v)
Penyediaan beasiswa untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan SDM bidang informasi dan komunikasi baik di pusat maupun di daerah. Peningkatan fasilitasi pelaksanaan UU KIP.
6. 2. Subbidang Politik Luar Negeri 6.2.1. Kondisi Umum Perjalanan diplomasi Indonesia selama ini ditandai oleh beberapa keberhasilan penting di tingkat kawasan, khususnya kepemimpinan Indonesia di ASEAN, peran dalam II.6 - 9
menjaga dan menciptakan perdamaian dunia, pelaksanaan diplomasi perbatasan dalam mengatasi berbagai masalah perbatasan dan upaya mempertahankan kedaulatan NKRI, pelayanan dan perlidungan WNI/BHI di luar negeri, inisiatif Indonesia untuk menempatkan pemajuan demokrasi dalam agenda kawasan Asia. Di samping itu, peran Indonesia juga semakin nyata dalam menata hubungan bilateral melalui kemitraan strategis di kawasan Asia Pasifik dan Afrika (Aspasaf) dan kawasan Amerika dan Eropa (Amerop). Indonesia juga terus memperkuat diplomasi ekonomi melalui partisipasi aktif dalam G-20, dan mulai memperkuat kiprahnya dalam rangka Kerja sama Selatan-Selatan (KSS). Kepemimpinan Indonesia di ASEAN, sebagai bagian dari strategi memperkuat lingkaran pertama kebijakan politik luar negeri, tercermin pada keberhasilannya menuangkan gagasan untuk membentuk Komunitas ASEAN yang terdiri dari 3 (tiga) pilar, yaitu: Komunitas Politik-Keamanan ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN, dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN. Komunitas ASEAN yang ingin dicapai pada tahun 2015 tersebut bertujuan untuk mewujudkan perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kiprah Indonesia dalam menjaga dan menciptakan perdamaian dunia memperlihatkan berbagai keberhasilan penting. Selama tahun 2009, Indonesia telah mengerahkan 1623 personil di 6 Misi Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dengan demikian, Indonesia saat ini menempati urutan ke-17 dalam peringkat negara-negara kontributor Operasi Pasukan Perdamaian (OPP) PBB (Troops Contributing Countries/TCC dan Police Contributing Countries/PCC). Untuk pertama kali pula Indonesia berpartisipasi dalam Maritime Task Force (MTF) PBB dengan mengirimkan KRI Diponegoro dengan jumlah personil 100 orang ke MTF UNIFIL Lebanon. Sementara itu, Indonesia juga mengirimkan personil polisi untuk bergabung dengan United Nations African Union Mission in Darfur (UNAMID) di Darfur, Sudan. Terkait dengan serangan Israel ke wilayah Jalur Gaza, Palestina, antara Desember 2008 sampai dengan akhir Januari 2009, pemerintah Indonesia melalui Sekjen PBB dan Presiden Dewan Keamanan (DK) PBB, menyatakan protes dan keprihatinan atas serangan itu dan meminta Dewan Keamanan PBB untuk segera mengeluarkan resolusi yang menuntut penghentian segera serangan Israel di Jalur Gaza. Kepada rakyat dan bangsa Palestina, pemerintah Indonesia memberikan bantuan obat-obatan, serta dana bantuan sejumlah USD 1 juta. Terkait isu senjata nuklir, Indonesia mendukung penggunaan nuklir untuk tujuan damai, namun menentang segala bentuk uji coba senjata nuklir karena bertentangan dengan prinsip Non-proliferation Treaty (NPT) dan Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT). Terkait dengan persoalan nuklir Iran, Indonesia menyambut baik upaya perundingan para pihak dengan Iran dan mendorong Iran untuk mematuhi sepenuhnya berbagai resolusi DKPBB, serta meneruskan kerja sama dengan International Atomic Energy Agency (IAEA). Dalam pelaksanaan border diplomacy untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pemerintah Indonesia telah menetapkan prioritas utama dalam hal perundingan perbatasan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kepentingan nasional. Sampai dengan akhir tahun 2009, perundingan masalah penetapan batas maritim Indonesia-Malaysia dilakukan melalui forum Joint Technical Working Group telah dilaksanakan sebanyak 15 (lima belas) kali yang dimulai pertama kali pada tanggal 9 Maret 2005 dan terakhir di Bali, 14-15 Oktober 2009. Segmen-segmen yang dirundingkan adalah batas Selat Malaka (ZEE dan laut teritorial), Selat Singapura (laut teritorial), Laut China Selatan (ZEE dan laut teritorial), dan Laut Sulawesi (laut teritorial, ZEE dan landas II.6 - 10
kontinen). Indonesia dan Singapura telah menandatangani perjanjian tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Barat Selat Singapura pada tanggal 10 Maret 2009. Batas laut wilayah yang disepakati dalam perjanjian ini adalah kelanjutan dari garis batas laut wilayah yang telah disepakati sebelumnya pada perjanjian antar kedua negara tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah yang ditandatangani pada tanggal 25 Mei 1973. Upaya perlindungan dan pelayanan WNI di luar negeri telah direalisasikan dengan dibentuknya Sistem Pelayanan Warga (Citizen Service) di beberapa Perwakilan RI di luar negeri. Hingga tahun 2009, jumlah keseluruhan Sistem Pelayanan Warga (Citizen Service) yang telah dibuka di Perwakilan RI di Luar Negeri berjumlah 26 (dua puluh enam). Selain itu, pada tanggal 19 Agustus 2009, Sertifikat ISO 9001:2008 telah berhasil diperoleh untuk bidang kerja penanganan repatriasi dalam kerangka upaya perlindungan WNI di luar negeri. Dalam pemajuan demokrasi, Indonesia telah mengambil inisiatif untuk menempatkan pemajuan demokrasi dalam agenda kawasan Asia. Sebagai tindak lanjut dari BDF I, Indonesia telah berhasil menyelenggarakan Bali Democracy Forum II (BDF II) pada tanggal 10-11 Desember 2009 yang diikuti oleh 36 negara peserta dan 12 negara pemantau. Penegasan kepercayaan masyarakat Internasional terhadap peran dan kontribusi konstruktif Indonesia dalam memajukan HAM, sekaligus sebagai bridge builder bagi kelompokkelompok negara yang berbeda kepentingan di Dewan HAM, telah memungkinkan Indonesia terpilih sebagai Wakil Presiden Dewan HAM PBB mewakili kelompok Asia. Indonesia merupakan bagian dari sedikit negara di dunia yang memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). Terkait isu lingkungan hidup, tercatat bahwa pertemuan 15th United Nations Climate Change Conference (COP15) di akhir tahun 2009 tidak mewujudkan kesepakatan yang mengikat secara hukum. COP15 telah mencatat Copenhagen Accord merupakan dokumen politis yang tidak mengikat. Copenhagen Accord telah mengakomodasi 5 agenda utama yang diangkat oleh Presiden RI pada saat pidato dalam sidang pleno COP15 tanggal 17 Desember 2009, yaitu upaya global (global effort) untuk mengusahakan kenaikan rata-rata temperatur dunia berada di bawah dua derajat celcius pada 2050; perlunya negara maju menyebutkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) secara ambisius; perlunya pembiayaan dari negara maju untuk penanganan dampak perubahan iklim; perlunya penerapan pola pembangunan yang ramah lingkungan dan measurement, reporting and verifying (MRV) dalam pelaksanaan komitmen penanganan perubahan iklim; serta pentingnya pengurangan emisi dari perusakan dan penggundulan hutan (Reducing Emission from Deferostation and Forest Degradation/REDD). Indonesia merupakan tuan rumah dari pertemuan Technical Expert Group Meeting (TEGM) Forest-11 (F-11) yang diselenggarakan tanggal 26-27 Mei 2009 di Nusa Dua, Bali, serta Senior Official Meeting (SOM) F-11 tanggal 12 Oktober 2009 di Jakarta. Pada pertemuan SOM telah disepakati Deklarasi Jakarta yang secara resmi meluncurkan dan mengadopsi kerja sama negara-negara anggota, serta menyepakati modalitas dan program kerja F-11. Bagi Indonesia, isu ketahanan pangan sangatlah krusial. Partisipasi aktif Indonesia dimulai dari inisiatif Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan Maret 2008 yang menghimbau Sekjen PBB untuk memulai suatu upaya global terhadap masalah ketahanan pangan dan energi, serta isu-isu yang mengaitkan keduanya.
II.6 - 11
Beberapa raihan penting dalam rangka kemitraan strategis di kawasan Asia Pasifik dan Afrika, serta kawasan Amerika dan Eropa semakin meyakinkan bahwa Indonesia mampu mengembangkan hubungan luar negeri yang efektif bagi kepentingan nasional. Pada pertemuan tingkat pejabat tinggi NAASP di Jakarta, 12-13 Oktober 2009 telah disepakati mengadopsi Jakarta Statement yang memuat garis besar besar implementasi berbagai program NAASP sebagai panduan untuk mengarahkan berbagai kerja sama NAASP ke dalam kegiatan-kegiatan yang realistis dan bersifat result-oriented. Pertemuan juga menyepakati untuk memberikan bantuan capacity building kepada Somalia dalam bidang keamanan, counter terrorism, beasiswa dan pelatihan lainnya. Di kawasan Amerika dan Eropa, terkait dengan kerja sama regional dalam konteks Asia Europe Meeting (ASEM), sejalan dengan komitmen Indonesia untuk meningkatkan kerja sama konkret dalam kerangka ASEM, pada tahun 2008—2009 Indonesia telah menjadi co-sponsor dan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai program ASEM. Dalam kerja sama regional FEALAC, Indonesia telah ditunjuk menjadi koordinator Regional Asia Timur untuk periode 2009-2011. Partisipasi Indonesia di APEC dilandaskan pada pentingnya mengantisipasi dan mengambil keuntungan dan mengamankan kepentingan nasional RI dari era perdagangan dan investasi yang semakin bebas di Asia Pasifik. Dalam forum APEC Economic Leaders Meeting di Singapura bulan Nopember 2009, Presiden RI mengingatkan tekad para pemimpin APEC yang telah mendeklarasikan Bogor Goals pada KTT APEC di Bogor Goals pada KTT APEC di Bogor 16 tahun yang lalu. Pencapaian Bogor Goals harus didukung oleh sejumlah faktor antara lain fasilitasi dan peningkatan kapasitas dalam menghadapi dampak liberalisasi perdagangan dan investasi. Pada pertemuan tingkat Menteri APEC di Singapura bulan Nopember 2009, Indonesia dan Jepang mengemukakan rencananya untuk melakukan penilaian atas kesiapan anggota ekonomi maju APEC mewujudkan Bogor Goals yaitu melakukan liberalisasi perdagangan dan investasi tahun 2010. Penguatan diplomasi bilateral Indonesia ditandai dengan upaya peningkatan hubungan kerja sama dengan negara-negara terdekat serta perkembangan implementasi sejumlah kerja sama kemitraan strategis dengan beberapa negara kunci di kawasan dan negara sahabat lainnya, antara lain dengan China, Jepang, Republik Korea, Vietnam, Australia, India, Afrika Selatan, Brasilia dan Federasi Rusia. Perjanjian Kemitraan Strategis Indonesia-Belanda juga telah difinalisasi melalui pemarafan draft Joint Declaration on Comprehensive Partnership (JDCP) oleh kedua Menteri Luar Negeri pada awal tahun 2009. Hubungan dan kerja sama Indonesia dengan negara-negara Sub Sahara Afrika terus mengalami peningkatan dan semakin penting, terutama dengan adanya kedekatan historis melalui penyelenggaraan KAA 1955 dan 2005. Dalam kerangka bilateral, peningkatan hubungan tersebut antara lain tercermin dengan komitmen Indonesia untuk mendorong kerja sama pengembangan kapasitas (capacity building) dengan negara-negara Sub Sahara Afrika dalam bentuk kerja sama teknik dan pelatihan pertanian yang diarahkan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi dan pembangunan. Dalam pelaksanaan diplomasi ekonomi, salah satu yang dapat digarisbawahi adalah partisipasi Indonesia dalam forum G-20. Dalam pertemuan di Pittsburgh bulan September 2009, peran G-20 semakin dikukuhkan sebagai forum pengganti G-8. G-20 telah mengubah formasi kelompok elit dunia, yang sebelumnya didominasi oleh negara maju, namun kini dibagi ke kelompok negara-negara emerging economies. II.6 - 12
Terkait pelaksanaan diplomasi ekonomi, pada bulan Maret 2010 telah dilaksanakan pertemuan Stocktaking yang ditujukan untuk mengidentifikasi perbedaan (gaps) yang masih ada dalam seluruh isu perundingan Doha Development Agenda (DDA) dan memutuskan langkah ke depan yang akan diambil guna mengatasi kemandekan dalam perundingan DDA selama satu dekade terakhir. Komitmen Indonesia untuk berperan dalam KSS juga ditunjukkan dengan masuknya topik KSS dalam Jakarta Commitment Aid for Development Effectiveness yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan segenap mitra pembangunan pada awal tahun 2009. Pada kesempatan High Level United Nations Conference on South-South Cooperation, di Nairobi, Desember 2009 untuk memperingati 30 tahun Buenos Aires Plan of Action, juga telah dibahas kemajuan yang telah dicapai KSS sejak diadopsinya Buenos Aires Plan of Action.
6.2.2. Permasalahan dan Sasaran Pembangunan Tahun 2011 Salah satu hasil penting dari KTT ASEAN ke 16 di Hanoi, Vietnam adalah keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2011. Hal yang perlu diperhatikan dari keketuaan Indonesia pada tahun 2011 adalah kesiapan Indonesia untuk tidak saja memimpin berbagai Pertemuan ASEAN, tetapi juga menyelenggarakan seluruh pertemuan ASEAN seperti ASEAN Summit and related summits, ASEAN Coordinating Council, the Committee of Permanent Representative¸ dan Pertemuan ASEAN Sectoral Ministerial bodies and Senior officials seperti Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN (ASEAN Defence Ministerial Meeting/ADMM, ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crimes/AMMTC, ASEAN Finance Ministerial Meeting (AFMM), ASEAN Ministerial Meeting on Environment, dan lain-lain) dan beberapa pertemuan terkait lainnya. Untuk mewujudkan kesuksesan keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2011 maka diperlukan kesiapan secara menyeluruh, tidak hanya pada tingkat Kementerian Luar Negeri tetapi perlu sinkronisasi dengan seluruh Kementerian teknis terkait. Kesiapan Indonesia dalam rangka terwujudnya Komunitas ASEAN 2015 merupakan kepentingan seluruh pemangku kepentingan dan perlu segera dipastikan. Terkait hal itu, Pemerintah Indonesia menghadapi permasalahan masih kurangnya pemahaman publik domestik terhadap pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015. Situasi ini terjadi pada berbagai level, baik pada level pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah, juga pada level masyarakat. Peran Indonesia dalam menjaga dan menciptakan perdamaian dunia akan difokuskan pada upaya reformasi PBB melalui penegasan sikap dan prakarsa Indonesia dalam reformasi DK PBB. Upaya reformasi PBB terfokus untuk membentuk Dewan Keamanan yang lebih demokratis dan representatif, namun hingga saat ini upaya tersebut belum mencapai kemajuan yang berarti karena adanya perbedaan mendasar di antara negara anggota. Pada Sidang Majelis Umum ke-64 tahun 2009, kesepakatan mengenai reformasi DK-PBB tidak tercapai meskipun telah dilakukan 3 putaran negosiasi informal. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan legitimasinya yang bersumber dari keanggotaan yang bersifat universal harus tetap menjadi forum penanganan berbagai tantangan dan krisis global yang mungkin dihadapi di tahun 2011. Namun upaya-upaya reformasi PBB, khususnya Dewan Keamanan, belum efektif dan memiliki nilai legitimasi. Indonesia akan terus berada di garis depan dalam memajukan peranan PBB mengatasi II.6 - 13
krisis global dan pada saat yang sama untuk menyerukan perlunya reformasi PBB. Di kawasan Timur Tengah, berbagai insiden kekerasan, pelanggaran terhadap hukum internasional dan pelanggaran terhadap komitmen-komitmen yang sebelumnya telah disetujui oleh Israel masih terus berlangsung. Politik luar negeri Indonesia tetap difokuskan untuk terus mendukung secara konsisten perjuangan bangsa Palestina dan proses perdamaian yang ditujukan untuk mewujudkan suatu negara Palestina merdeka. Politik luar negeri Indonesia juga tidak akan mengabaikan berbagai kesulitan yang terus berlanjut di Afghanistan dan Irak. Terlepas dari masih terus adanya ancaman nuklir di Semenanjung Korea dan Iran, tahun 2011 diperkirakan akan diwarnai kemungkinan adanya kemajuan penting dalam upaya penciptaan dunia yang bebas senjata nuklir karena negara-negara pemilik senjata nuklir memiliki tanggung jawab untuk mengurangi jumlah persenjataan nuklir mereka. Selaku Koordinator Gerakan Non-Blok (GNB) bagi isu-isu perlucutan senjata, Indonesia akan berperan aktif pada Konferensi Kaji Ulang Traktat Non-Proliferasi (NPT Review Conference) di New York pada bulan Mei 2010. Peranan ini dilengkapi dengan keterlibatan Indonesia secara aktif dalam Kelompok 77 serta Organisasi Konferensi Islam. Satu isu yang diperkirakan akan terus memerlukan perhatian di tahun 2011 adalah pemberantasan terorisme yang perlu dilakukan berbagai upaya bilateral, regional dan global. Selain itu, politik luar negeri Indonesia di tahun 2011 akan terus berupaya mengatasi apa yang disebut sebagai akar permasalahan atau kondisi yang kondusif bagi tumbuhnya terrorisme. Peningkatan efektifitas “Inter-faith dialogue” melalui kerja sama bilateral, regional dan antar-kawasan dan pelaksanaan pendekatan soft power lainnya akan menjadi tantangan diplomasi Indonesia. Perhatian khusus akan tetap diberikan pada diplomasi perbatasan guna mencapai kemajuan dalam penuntasan isu-isu yang masih ada terkait penentuan demarkasi dan garis perbatasan dengan negara-negara tetangga. Permasalahan utama yang selama ini dihadapi adalah masih adanya perbedaan pandangan dan kepentingan dalam penggunaan dasar penetapan perbatasan antara Indonesia dengan negara-negara yang berbatasan sehingga dapat membawa konsekuensi berlarutnya proses perundingan perbatasan. Selain permasalahan tersebut, Indonesia juga belum memiliki kebijakan maritim (ocean policy) yang komprehensif yang dapat digunakan sebagai landasan kebijakan dalam setiap penanganan isu maritim, termasuk di antaranya perundingan masalah perbatasan laut dan pengelolaan kawasan laut. Penyusunan Ocean Policy tersebut dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan dapat diselesaikan pada tahun 2011. Dengan adanya Ocean Policy, diharapkan segala penanganan isu maritim dapat dilakukan dengan lebih terarah dan terkoordinasi sesuai kepentingan Indonesia. Politik luar negeri di tahun 2011 akan memperhatikan isu-isu intermestik, yaitu isu yang mencerminkan semakin kaburnya perbedaan antara isu-isu internasional dan domestik. Salah satunya adalah mengenai perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri, khususnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Permasalahan yang dihadapi tidak terlepas dari masih banyak TKI ilegal yang belum tertangani, masih terjadinya deportasi terhadap WNI, masih banyaknya tindak kekerasan terhadap TKI. Sementara di luar negeri, Pemerintah Indonesia menghadapi keterbatasan penampungan, tidak memadainya bantuan dan advokasi hukum, serta keterbatasan fasilitasi pemulangan. Di samping itu, hingga saat ini pemerintah belum memiliki data pasti mengenai WNI bermasalah di luar negeri. Penanganan masalah TKI secara umum menunjukkan pentingnya koordinasi antar II.6 - 14
instansi pemerintah dan unsur-unsur masyarakat lainnya. Sementara itu, perwakilanperwakilan RI di luar negeri terus berusaha memperbaiki pelayanan dan memberikan perlindungan, termasuk hak-hak mendasar WNI yang menjalani proses hukum di negara lain. Salah satu tantangan yang tidak dapat diabaikan adalah masih belum tuntasnya penanganan perubahan iklim. Pertemuan Kopenhagen di akhir tahun 2009 tidak mewujudkan kesepakatan yang mengikat secara hukum adalah tantangan yang nyata bagi penanganan perubahan iklim. Oleh karena itu, penting bagi bangsa Indonesia untuk terus memelihara momentum positif yang ada agar tercapai komitmen yang mengikat secara hukum untuk penanganan perubahan iklim di tahun 2011. Namun turut juga diperhatikan bahwa diplomasi Indonesia akan terus secara aktif mengupayakan konsensus. Dalam pemantapan kemitraan strategis di kawasan Asia Pasifik dan Afrika, serta Kawasan Amerika dan Eropa, Indonesia masih perlu mengejar ketertinggalannya di banding negara-negara berkembang lainnya dalam menangkap peluang dan mengembangkan potensi investasi dan perdagangan, terutama peluang pasar non tradisional. Salah satu tantangan sekaligus peluang diplomasi Indonesia adalah partisipasi Indonesia dalam G-20. Seiring dengan penegasan status G-20 selaku forum utama bagi penanganan isu-isu ekonomi dunia, politik luar negeri Indonesia ditantang untuk dapat menunjukkan ciri khas di dalam kelompok ini, yaitu sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, negara dengan penduduk Muslim terbesar, dan dapat memainkan peran strategis sebagai negara yang menyuarakan moderasi. Berkenaan dengan pengembangan KSS, salah satu permasalahan dalam diplomasi Indonesia melalui bantuan teknik adalah belum adanya desain nasional yang komprehensif untuk menjamin sinergi antara berbagai instansi terkait dalam pelaksanaan KSS. Indonesia juga belum mempunyai entitas yang kuat untuk menangani KSS yang mampu melaksanakan koordinasi secara terpadu. Sebagai perbandingan, Thailand, Malaysia, Turki, Chile, Korea, dan Jepang telah memiliki entitas yang cukup kuat dan solid dalam penanganan KSS. Selain itu, tantangan ke depan adalah pentingnya untuk mengidentifikasi potensi keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia, penetapan prioritas bidang-bidang yang dapat dikerjasamakan dalam kerangka KSS, serta pemanfaatan keberadaan South-South Centers of Excellence seperti Non Aligned Movement for South-South Technical Cooperation yang sampai saat ini belum digunakan secara optimal untuk mendukung pelaksanaan program KSS Indonesia. Terkait dengan perubahan pergeseran dalam karakter dan orientasi hubungan antara negara maju dan berkembang, terdapat kecenderungan pada negara-negara maju menempatkan negara berkembang tidak lagi sebagai klien, tetapi sebagai mitra setara. Dalam situasi demikian posisi Indonesia sebagai negara berkembang akan semakin sulit untuk mendapatkan dukungan pembiayaan dari negara maju terhadap KSS dalam bentuk triangular cooperation. Indonesia dituntut untuk lebih kreatif dalam mendesain programprogram KSS-nya dengan memperhatikan keinginan pihak donor tanpa perlu mengorbankan kepentingan negara berkembang. Berdasarkan identifikasi berbagai permasalahan tersebut di atas dan dengan merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, pada tahun 2011 sasaran pembangunan yang akan dicapai adalah sebagai berikut:
II.6 - 15
1.
Meningkatnya pemahaman publik domestik terhadap pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun 2015;
2.
Meningkatnya peran Indonesia untuk turut menjaga keamanan nasional dan menciptakan perdamaian dunia, dan partisipasi aktif Indonesia dalam mendorong reformasi DK PBB;
3.
Terselesaikannya secara bertahap permasalahan perbatasan;
4.
Terlindunginya 14.998 orang WNI bermasalah di luar negeri pada akhir tahun 2011;
5.
Meningkatnya citra Indonesia di dunia internasional dalam pemajuan demokrasi, HAM, lingkungan hidup, dan perlindungan budaya;
6.
Terwujudnya perluasan akses dan meningkatnya kerja sama bilateral dan regional di bidang ekonomi, perdagangan, investasi, dan pariwisata khususnya di kawasan Afrika, Eropa Tengah dan Timur;
7.
Meningkatnya peran diplomasi ekonomi untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia dan negara berkembang dalam forum multilateral;
8.
Menguatnya kelembagaan dan terkonsolidasinya pemangku kepentingan dalam negeri untuk mendukung pelaksanaan Kerja sama Selatan-Selatan (KSS).
6. 2.3. Arah Kebijakan Pembangunan Tahun 2011 Dengan memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas dan dengan merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 20102014, maka arah kebijakan politik dan hubungan luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut: 1.
Meningkatkan partisipasi aktif Indonesia dalam setiap forum, serta pemahaman publik tentang komitmen Indonesia dalam rangka mewujudkan Komunitas ASEAN 2015;
2.
Meningkatkan peran aktif Indonesia dalam menjaga keamanan dan perdamaian dunia, serta penegasan sikap dan prakarsa Indonesia dalam reformasi DK PBB;
3.
Meningkatkan kinerja diplomasi perbatasan;
4.
Meningkatkan upaya fasilitasi penampungan, pemulangan, dan bantuan hukum bagi WNI/BHI di luar negeri serta penguatan citizen service;
5.
Meningkatkan citra positif Indonesia melalui pemajuan demokrasi dengan penyelenggaraan Bali Democracy Forum Ke-4, memperkuat upaya dialog dan kerjasama yang konstruktif antara negara-negara dalam pembahasan isu HAM, mempertahankan kepemimpinan Indonesia dalam isu climate change di bidang lingkungan hidup, serta meningkatkan peran Indonesia untuk mempercepat terbentuknya rezim internasional yang dapat memberikan perlindungan kekayaan budaya Indonesia.
6.
Meningkatkan upaya fasilitasi bagi terbukanya peluang dan potensi perluasan pasar non tradisional, khususnya di kawasan Afrika, Eropa Tengah dan Timur;
7.
Meningkatkan partisipasi aktif Indonesia dalam diplomasi ekonomi melalui forum regional dan multilateral seperti WTO, APEC, G-20, G-33; II.6 - 16
8.
Menyelesaikan penyusunan Grand Design dan penguatan kelembagaan dalam mendukung pelaksanaan Kerja sama Selatan-Selatan (KSS).
II.6 - 17