BAB I PENDAHULUAN
1. Latarbelakang Permasalahan
Peristiwa penting dalam kehidupan politik1 di Indonesia terjadi pada tanggal 21 Mei 19982. Pergantian kepemimpinan nasional dalam era reformasi mengagendakan perubahan dalam segala bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Keputusan penting yang dilakukan pemerintah adalah dengan membuat paket kebijakan politik yang berisi perubahan peraturan perundang-undangan tentang kepartaian, pemerintahan daerah, susunan dan kedudukan anggota MPR, DPR dan DPRD beserta aturan pelaksanaannya yang membuka suasana kehidupan politik yang baru. Paket kebijakan politik ini telah menciptakan suasana yang berbeda dibandingkan pada masa Orde Baru yang menerapkan deparpolisasi, depolitisasi dan floating mass3 serta sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat yang menyebabkan rakyat teralienasi atau terpinggirkan dari kehidupan politik.
Perubahan terus bergulir dalam semangat reformasi terutama dalam kehidupan politik dan diupayakan untuk menuju reformasi total, yaitu reformasi yang otentik, yaitu reformasi yang datang dari hati nurani. Reformasi ini akan dapat menghasilkan kemampuan yang bersih yakni kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk4 sehingga reformasi yang dilakukan dalam segala bidang tidak keluar dari cita-cita 1
Secara umum berpolitik berarti ikut serta atau berpartisipasi dalam kehidupan politik. Dalam negara demokrasi, kehidupan politik menyangkut hidup dan kesejahteraan semua warga negara. Sedang berpolitik praktis yaitu ikut serta dalam usaha memperoleh kekuasaan politik. Lih. J. Soedjati Djiwandono, Gereja dan Politik, Dari Orde Baru Ke Reformasi, (Yogyakarta: Kanisius,1999), hal 48. 2 Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya setelah berkuasa selama 32 tahun dan menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Wakil Presiden B.J Habibie sebagai akibat dari desakan kaum demonstran yang dipelopori mahasiswa yang menuntut reformasi. 3 Deparpolisasi adalah menciptakan kondisi dimana rakyat tidak memiliki kesempatan untuk berpolitik praktis; depolitisasi adalah upaya untuk menjauhkan masyarakat dengan politik dan floating mass adalah upaya untuk menciptakan masyarakat yang mengambang terhadap kehidupan politik dengan menciptakan struktur kepengurusan partai politik hanya sampai kabupaten atau kotamadya. Lih. Proyo Budi Santoso, 1995, Birokrasi Pemerintahan Orde baru, (Jakarta: PT Rajawali Prafindo Persada), hal 26. 4 Natan Setiabudi dan Tresia Christianty, Bergereja dan Beroikoumene di Era Reformasi, (Jakarta: Suara GKYE Peduli Bangsa, 2002).
1
perjuangan reformasi. Dengan reformasi seperti ini diharapkan kehidupan politik di Indonesia akan semakin baik.
Di tengah upaya bangsa Indonesia melakukan perubahan di segala bidang terutama politik, muncul fenomena menarik yaitu maraknya para Pendeta yang terjun ke politik praktis khususnya partai politik. Hal ini secara khusus dapat di lihat pada Pemilu 2004, dari daftar calon legislatif untuk DPR yang diajukan oleh partai politik peserta pemilu paling tidak ada sekitar 20 orang Pendeta5.
Tampilnya para Pendeta dalam arak-arakan partai politik bukanlah hal baru. Pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, kita mengenal Basoeki Probowinoto, seorang Pendeta Jemaat Gereja Jawa adalah salah seorang anggota KNIP (Parlemen Sementara Republik Indonesia) dan pemrakarsa berdirinya Partai Kristen Indonesia (Parkindo)6. Bagi Probowinoto, orang Kristen harus memperjuangkan kehormatan Tuhan di segala bidang hidup, termasuk juga dan malahan di bidang politik. Panggilan Pendeta bukan hanya melayani jemaat. Sebagai warga negara yang beragama Kristen ia bertanggungjawab di hadapan Tuhan tentang baik buruknya pemerintah di dalam negaranya. Maka selain masalah pelayanan, pengetahuan tentang negara, pengetahuan tentang teori pemerintahan, kebijaksanaan, ketangkasan, pengalaman dan kecerdasan, harus dimiliki oleh Pendeta.
Keterlibatan Pendeta dalam partai politik juga merupakan upaya menghadirkan tandatanda Kerajaan Allah sebagai garam dan terang dunia seperti yang dikatakan Tuhan Yesus Kristus dalam Matius 5:13-14. Untuk melaksanakan misi tersebut sudah saatnya Pendeta keluar dari komunitasnya sendiri, tampil dan berperan aktif dengan masuk dalam pusaran kekuasaan. Diharapkan dengan kehadiran pendeta dalam struktur
5
Partai Damai Sejahtera mengajukan 9 calon legislatif seorang Pendeta sedang yang lain tersebar di berbagai partai antara lain PDIP, Golkar dan PNBK. (Republika, 24 Oktober 2004) 6 Niko L Kana & N. Daldjoeni, Ikrar dan iktiar dalam hidup Pendeta Basoeki Probowinoto, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987) hal 55.
2
kekuasaan ini, gaung akan terdengar lebih kuat dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh umat kebanyakan yang terjun ke politik. Oleh karena itu profesi sebagai pendeta tidak menghalangi untuk berkiprah dalam perjuangan masyarakat dalam partai politik.
Di samping pendapat yang mendukung keterlibatan pendeta dalam partai politik, ada juga yang kurang setuju. Salah satu pergumulan
yang menjadi perdebatan adalah
mengenai pemahaman tentang panggilan7. Pendeta sebagai pelayan dipersoalkan kehadirannya atau keikutsertaannya dalam partai politik. Fungsi Pendeta dipahami sebagai gembala dan hamba Tuhan yang melayanai jemaat, dalam bahasa Alan Stibbs8 fungsi pelayan atau pendeta yang diberikan Kristus yang naik ke surga adalah: mereka merupakan para hamba untuk melayani para pengikutnya, “untuk memperlengkapi orang-orang kudus Allah dalam pekerjaan pelayanan demi membangun tubuh Kristus”.
Pertimbangan lain yang kurang setuju adalah pandangan bahwa politik itu kotor, seni berkompromi sehingga orang cenderung mencari rasa aman dan selamat. Oleh karena itu, profesi Pendeta yang bertugas menjaga kekudusan dan kesucian hidup umat Tuhan sebaiknya menjauhkan diri dari kehidupan politik yang mengedepankan intrik-intrik licik dan penuh tipu muslihat dan tidak jarang pula mengabaikan moral dan etika. Profesi Pendeta bukanlah jabatan yang diupayakan untuk memperoleh popularitas apalagi kekuasaan.
2. Pokok Permasalahan
Dukungan dan penolakan keterlibatan Pendeta dalam partai politik merupakan pergumulan yang terus menerus dihadapi oleh gereja dan jemaat. Perbedaan konsepsi tentang profesi Pendeta dengan segala pelayanannya yang beraneka ragam dalam gereja 7
Brian P. Hall, Panggilan akan Pelayanan: Citra Pemimpin Jemaat, (Yogyakarta: Kanisius, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), hal 16-17 8 Michael Griffiths, Gereja dan Panggilannya Dewasa Ini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), hal 161.
3
dan jemaat akan terus menjadi perdebatan. Batasan-batasan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang yang berprofesi sebagai Pendeta menjadi “daerah abu-abu” sesuai dengan prinsip-prinsip yang di pegang baik oleh institusi di mana Pendeta melayani jemaat bahkan dirinya.
Dalam skripsi yang akan membahas tentang keterlibatan Pendeta dalam partai politik ini, penulis berdasarkan uraian latar belakang permasalahan,
akan membahas
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: a. Apakah yang menjadi panggilan dan pelayanan seorang Pendeta? b. Apakah peranan Pendeta dan partai pilitik dalam sistem kepartaian di Indonesia? c. Bagaimana keterlibatan Pendeta dalam partai politik di tinjau dari etika profesi kependetaan?
3. Judul Skripsi Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka skripsi ini akan dibahas dengan judul: Keterlibatan Pendeta dalam Partai Politik: Suatu Tinjauan Etika Profesi Kependetaan.
4. Metode Pembahasan
Dalam penulisan skripsi ini, tentunya diperlukan suatu tinjauan atau pendekatan yang dipergunakan sebagai pijakan dalam upaya memahami fenomena yang terjadi yaitu keterlibatan Pendeta dalam partai politik. Untuk memahami fenomena tersebut, penulis menggunakan tinjauan etika profesi kependetaan. Tinjauan etika profesi kependetaan bertujuan untuk melihat hal-hal yang berkaitan dengan jabatan dan panggilan pendeta serta implikasinya bagi pelayanan9. Dengan menggunakan tinjauan ini, fenomena
9
Daryl Koehn, Landasan Etika Profesi, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal 222
4
keterlibatan pendeta dalam partai politik akan dikaji sehingga dapat dijelaskan apakah dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam pembahasan permasalahan, penulis akan menggunakan studi kepustakaan. Studi ini berusaha untuk mendapatkan teori-teori dan data pendukung dari berbagai pustaka atau literatur yang berkenaan dengan pemahaman tentang panggilan dan pelayanan Pendeta, kondisi kehidupan politik praktis khususnya tentang sistem kepartaian di Indonesia, kemudian berusaha melihat keterlibatan Pendeta dalam partai politik dalam tinjauan etika profesi kependetaan.
5. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang penulis coba uraikan dalam rangka untuk membahas permasalahan-permasalahan di atas adalah sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan Dalam pendahuluan penulis akan menguraikan latarbelakang permasalahan yang mendasari munculnya permasalahan, pokok permasalahan, judul skripsi, metode pembahasan dan sistematika penulisan. Bab II. Panggilan dan Pelayanan Pendeta Bab ini akan membahas tentang konsep panggilan, panggilan dalam jabatan gereja, panggilan menjadi pendeta, pendeta sebagai profesi dan yang terakhir membahas tentang pelayanan seorang pendeta pendeta baik itu dalam pelayanan jemaat maupun pelayanan sosial kemasyarakatan
5
Bab III. Peranan Pendeta dan Partai Politik Bab ini akan menjelaskan tentang peranan Pendeta dan partai politik dalam konteks sistem kepartaian di Indonesia. Hal-hal yang dibahas adalah tentang pengertian partai politik, fungsi partai politik, sistem kepartaian dan pemilu, serta melihat dinamika sejarah kepartaian di Indonesia.
Bab IV. Pendeta dan Partai Politik: Keterlibatan Secara Profesional
Pada bab ini akan membahas tentang kekuasaan yang sangat lekat dengan partai politik, berbagai pergumulan dalam partai politik sebagai tantangan keterlibatan Pendeta baik itu mengenai politik partisan, terjadinya erosi budaya malu dan arah perjuangan partai politik, berpolitik dengan profesional dan akhirnya belajar dari Tuhan Yesus mengenai politik pelayanan.
Bab IV. Penutup Dalam bab penutup, penulis akan menyimpulkan seluruh pembahasan dari bab-bab sebelumnya. setelah memberi kesimpulan penulis akan memberi saran-saran yang kiranya dapat bermanfaat dan menjadi pemikiran bagi keterlibatan Pendeta dalam politik.
6