BAB VI FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KEPARIWISATAAN DI PANTAI KEDONGANAN
6.1
Faktor Pendukung
1.
Potensi Wisata Pantai Kedonganan Pantai Kedonganan sebagai sebuah daerah tujuan wisata memiliki daya
tarik utama berupa pemandangan alam pantai yang landai dan indah, dengan pasir berwarna putih, seperti yang terlihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Pemandangan Pantai Kedonganan Ombak Pantai Kedonganan tidak terlalu besar namun memungkinkan pengunjung untuk melakukan aktivitas selancar (surfing). Selain itu, Pantai Kedonganan juga sangat cocok untuk aktivitas berjemur (sun-bathing) dan 96
97
bersantai (relax) menikmati sinar matahari dan pemandangan alam. Pantai Kedonganan merupakan lokasi dilaksanakannya ritual Melasti dan Nganyut oleh umat Hindu sehingga hal ini juga menunjukkan bahwa Pantai Kedonganan memiliki daya tarik wisata budaya dan event yang dapat dinikmati oleh pengunjung setiap tahun menjelang Hari Raya Nyepi. Penataan Pantai Kedonganan menjadi lokasi café seafood mengakibatkan tersedianya aktifitas wisata kuliner yang dapat dinikmati oleh pengunjung hampir setiap hari dalam setahun. Pantai Kedonganan merupakan tempat penyu bertelur sehingga terkadang pengunjung yang sedang makan bisa melihat tukik (anak penyu) yang baru menetas bergerak menuju laut (Wawancara Bapak I Wayan Mertha, 29 Desember 2014). Karena itu, untuk melestarikan Pantai Kedonganan sebagai habitat penyu, disediakan tempat penetasan telur penyu di dekat kantor BPKP2K, seperti yang terlihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Tempat penetasan telur penyu
98
Potensi sebuah daerah untuk berkembang menjadi destinasi wisata tergantung pada beberapa faktor, di antaranya ketersediaan daya tarik wisata, kemudahan daerah dan daya tarik wisata tersebut untuk dijangkau, ketersediaan sarana dan pelayanan wisata dan adanya organisasi kepariwisaan yang menyediakan aturan main serta melakukan pengembangan kepariwisataan di daerah tersebut (Burkart dan Medlik, 1974; Cooper et al, 1993). Dari keempat faktor penting tersebut, ketersediaan daya tarik wisata memegang peranan sangat penting. Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Cooper et al (1993) bahwa: “……it is the attraction - whether they be man-made features, natural features or event - that provide the initial motivation to visit” Pernyataan Cooper et al (1993) menunjukkan bahwa pengunjung mendatangi sebuah destinasi bukan karena destinasi tersebut memiliki fasilitas ataupun karena kemudahannya untuk dicapai. Pengunjung mendatangi sebuah destinasi karena adanya dorongan (motivasi) untuk melihat sesuatu, baik yang alami maupun buatan manusia. Motivasi ditimbulkan oleh daya tarik dari sebuah destinasi wisata, baik itu daya tarik wisata alam, buatan manusia maupun event. Pernyataan Cooper et al (1993: 84), diperkuat oleh pendapat yang disampaikan oleh Mill dan Morrison (2012: 17) yang menyatakan bahwa “The central aspect of tourism are attractions”. Mill dan Morrison mengemukakan pendapatnya berdasarkan pemahaman bahwa daya tarik wisata memiliki kemampuan untuk menarik pengunjung kepadanya. Pariwisata terjadi karena adanya daya tarik yang menarik minat orang-orang yang terdorong untuk berwisata untuk mengunjungi daya tarik wisata tersebut.
99
Sebagai daerah tujuan wisata, Pantai Kedonganan mudah untuk dijangkau. Kualitas jalan raya untuk mencapai Pantai Kedonganan cukup baik, dengan permukaan berlapis aspal. Jalan tersebut dapat dilalui oleh berbagai kendaraan baik kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil, maupun kendaraan umum khususnya taksi, dan kendaraan khusus pengangkut wisatawan mulai dari mini bus hingga bus. Pantai Kedonganan dapat ditempuh dalam waktu 5 menit dari Bandara Internasional Ngurah Rai, 10 menit dari Kawasan Pariwisata Nusa Dua, 30 menit dari Pelabuhan Benoa, 20 menit dari Kuta dan 30 menit dari Kota Denpasar. Lokasinya yang berdekatan dengan kawasan pariwisata Nusa Dua dan Kuta ditambah kemudahannya untuk dijangkau serta tersedianya areal parkir dan keamanannya merupakan satu kekuatan/keunggulan Pantai Kedonganan sebagai daya tarik wisata. Untuk masuk ke dalam kawasan Pantai Kedonganan, pengunjung dapat menggunakan salah satu dari 3 jalan akses yang ada, yaitu Jalan Bantas Kauh yang juga merupakan batas selatan kawasan Pantai Kedonganan (berbatasan dengan Desa Adat Jimbaran), Jalan Pemelisan Agung dan Jalan Pasir Putih. Kondisi jalan tersebut cukup baik dengan permukaan jalan berlapis aspal. Pengunjung yang datang dengan menumpang kendaraan bus disarankan untuk melalui Jalan Bantas Kauh dan Jalan Pemelisan Agung karena jalannya cukup lebar. Pengunjung yang ingin menikmati wisata kuliner di Pantai Kedonganan dikenakan biaya tiket masuk kawasan sebesar Rp. 5000 untuk setiap 1 kendaraan (untuk sepeda motor dan kendaraan roda 4 selain bus) dan Rp. 10.000 untuk
100
setiap kendaraan dengan jenis bus. Tiket masuk dipungut oleh BPKP2K. Uang yang terkumpul dikelola untuk operasional BPKP2K sebagai lembaga pengelola kawasan. Tiket masuk dibayar oleh pengunjung di salah satu dari 3 loket tiket yang terdapat di Jalan Pemelisan Agung, Jalan Pasir Putih dan Jalan Pantai Kedonganan, dimana di setiap loket tiket ada petugas BPKP2K yang bertugas memungut tiket masuk, seperti yang terlihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Petugas BPKP2K sedang memungut biaya tiket masuk Informasi mengenai Pantai Kedonganan dengan mudah dapat didapatkan oleh pengunjung. Pengunjung dapat memanfaatkan telepon genggam ataupun komputer tablet untuk mencari informasi mengenai Pantai Kedonganan karena informasi tersebut dengan mudah dapat diakses melalui internet. Berdasarkan penelusuran di web, dengan memasukkan kata kunci seperti “Kedonganan” ataupun “seafood café in Bali” di browser google akan memunculkan infomasi mengenai Pantai Kedonganan, baik informasi berupa daya tarik, akomodasi, peta,
101
maupun aktifitas wisata yang dapat dilakukan di Kedonganan, dalam bentuk katakata maupun gambar. Ketersediaan daya tarik wisata perlu didukung oleh kemudahan daya tarik wisata tersebut untuk dicapai, ketersediaan sarana wisata, dan peran organisasi kepariwisataan, (Mill dan Morrison, 2012; Cooper et al, 1993). Meskipun daya tarik wisata dapat menarik wisatawan untuk datang ke sebuah destinasi, namun wisatawan akan merasa kesulitan jika lokasi daya tarik tersebut susah untuk dijangkau. Wisatawan juga akan kesulitan apabila informasi mengenai daya tarik wisata tersebut tidak tersedia. Terkait dengan hal tersebut, Burkart dan Medlik (1974) menyatakan bahwa: ”For tourism is the matter of being elsewhere, and to be elsewhere implies the use of transport” Pariwisata pada hakikatnya merupakan perpindahan/perjalanan manusia dari tempat dia biasa tinggal dan bekerja ke tempat lain untuk tujuan yang utamanya bersenang-senang. Karena itu, sangat penting bagi sebuah daya tarik wisata untuk dapat dijangkau dengan mudah melalui ketersediaan sarana transportasi yang memadai, juga ketersediaan infrastruktur dan suprastruktur pendukungnya seperti misalnya jalan raya, bandara udara, pelabuhan laut dan lainnya. Ketersediaan (akses) informasi juga sangat penting karena pengunjung tidak akan datang ke suatu tempat jika mereka tidak mengetahui keberadaan tempat tersebut betapapun uniknya daya tarik wisata serta betapapun mudahnya daerah tersebut untuk dicapai. Karena itu, ketersediaan informasi juga sangat penting.
102
Dalam konteks pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, pentingnya sebuah daerah untuk dapat dicapai dengan mudah dinyatakan oleh Hausler dan Strasdas (2002) sebagai berikut: “Communities are not the same all over the world, which consequently means that not all communities have the potential for CBT. Some have the capacity to take charge of running a project; some do not. Some communities simply are not situated in locations that are appropriate for tourism development. Even the best marketing strategy might not help if the community is difficult to reach or far from a tourist area. Most tourists simply do not have the time during their twoweek holiday to travel for two days to a community, stay there for two nights and spend two more days for the return trip” Lebih lanjut, Hausler dan Strasdas juga menyatakan sebagai berikut: “There may be some exceptions, but communities should be situated near a tourism hotspot or on the way to it. If so, community members should discuss if they have any particular or unique attraction. This could include natural or cultural landscapes, cultural traditions (architecture, handicrafts, art, music, dancing) or an opportunity for specific activities like fishing, hiking, cooking, etc.” Pernyataan Hausler dan Strasdas menunjukkan bahwa kemudahan sebuah komunitas untuk dijangkau oleh pengunjung sangat penting dalam menentukan keberhasilan pariwisata berbasis masyarakat yang dikembangkan komunitas tersebut. Jika sebuah komunitas lokasinya susah dijangkau, pariwisata berbasis masyarakat masih bisa dikembangkan dengan catatan komunitas tersebut memiliki daya tarik yang unik. Pantai Kedonganan sebagai daya tarik wisata didukung oleh kemudahannya untuk dijangkau oleh pengunjung. Kemudahan tersebut baik dalam hal transportasi maupun komunikasi. Keberadaan berbagai sarana wisata juga merupakan keunggulan Pantai Kedonganan. Berdasarkan penelusuran secara on-line, diketahui bahwa di sekitar Pantai Kedonganan telah berdiri sebanyak 16 buah sarana akomodasi dalam
103
berbagai jenis (www.booking.com). Jumlah sarana akomodasi tersebut akan segera bertambah, karena berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, terdapat 2 buah hotel besar yang sedang dalam proses pembangunan. Sarana wisata lain yang terdapat di Pantai Kedonganan berupa café seafood, restoran dan rumah makan. Terdapat pula 3 buah loket tiket masuk dan petugas kebersihan dan petugas kemanan yang dikoordinir oleh BPKP2K, yang merupakan organisasi yang diberikan mandat oleh Desa Adat Kedonganan untuk mengelola kepariwisataan di Pantai Kedonganan. Selain itu, terdapat sebuah pusat informasi pariwisata (tourist information center), seperti yang terlihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Pusat Informasi Pariwisata di Pantai Kedonganan Pendirian BPKP2K menunjukkan bahwa para tokoh serta warga Desa Adat Kedonganan memandang penting adanya lembaga yang secara khusus mengelola kepariwisataan di Pantai Kedonganan. Keberadaan BPKP2K yang didirikan pada saat penataan Pantai Kedonganan Tahap I menjadi kekuatan
104
(strength) bagi kawasan Pantai Kedonganan dalam proses penerapan konsep pariwisata berbasis masyarakat selanjutnya. Pembentukan lembaga pengelola ini menunjukkan adanya kerangka kerja dan aturan main bagi penyelenggaraan kepariwisataan
di
Pantai
Kedonganan.
BPKP2K
melaksanakan
fungsi
perencanaan, promosi, peningkatan kapasitas masyarakat maupun pengelolaan kebersihan dan keamanan dalam usahanya meningkatkan daya saing pariwisata di Pantai Kedonganan yang dimiliki oleh seluruh warga Desa Adat Kedonganan. 2.
Aspirasi Warga Desa Adat Kedonganan Untuk Menggunakan Haknya Dalam Mengelola Wilayahnya Lokasi berdirinya bangunan-bangunan café di Pantai Kedonganan
merupakan kawasan sempadan pantai dengan legalitas tanah merupakan tanah negara. Tanah negara yang berupa sempadan pantai merupakan tanah yang pemanfaatannya diatur berdasarkan ketentuan hukum tertentu. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029, Pasal 1 ayat 44 menyatakan bahwa: “Sempadan Pantai merupakan kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian pantai, keselamatan bangunan, dan ketersediaan ruang untuk lalu lintas umum” Selanjutnya dalam pasal 44 Ayat (1) hurup (c), dinyatakan bahwa kawasan sempadan pantai merupakan kawasan lindung dan dalam pasal 108 dinyatakan bahwa pemanfaatannya diarahkan berdasarkan zonasi kawasan sempadan pantai. Dalam Keputusan Bupati Badung Nomor 638 Tahun 2003 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta, Pasal 9 hurup (c), dinyatakan bahwa Pantai Kedonganan termasuk dalam Kawasan Sempadan Pantai dengan lebar
105
sempadan sebesar 25 meter terhitung dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Dalam pasal 10 ayat (3), dinyatakan mengenai peruntukan Kawasan Sempadan Pantai Kedonganan sebagai berikut: “Pantai Kedonganan yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Kedonganan diarahkan untuk menjadi fasilitas penunjang akomodasi wisata dengan bangunan semi permanen berupa café di pinggir pantai yang dilengkapi dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk masyarakat setempat/nelayan yang ditata dengan baik sekaligus sebagai obyek wisata”. Hal tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, penataan Pantai Kedonganan dan pendirian café di Pantai Kedonganan selama memenuhi ketentuan dalam pasal 10 ayat (3) adalah sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Pengelolaan kepariwisataan merupakan tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini dinyatakan dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan pasal 28, 29 dan 30. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Kepariwisataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan kepariwisataan di Pantai Kedonganan mulai dari penetapan, perencanaan hingga promosinya merupakan wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten Badung. Karena itu, dengan berpatokan kepada Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga, Pemerintah Kabupaten Badung berhak memungut Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga dari pengunjung Pantai Kedonganan, karena secara administratif Pantai Kedonganan merupakan bagian wilayah Kelurahan Kedonganan.
106
Pantai
Kedonganan
merupakan
wilayah
administratif
Kelurahan
Kedonganan, Kabupaten Badung. Selain itu, Pantai Kedonganan juga merupakan palemahan/wewidangan (wilayah) Desa Adat Kedonganan. Pasal 4 Ayat 2 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Desa Pakraman menyatakan bahwa palemahan desa pakraman atau banjar pakraman merupakan wilayah kesatuan masyarakat hukum adat yang mempunyai batas-batas tertentu dalam ikatan kahyangan tiga/kahyangan desa. Pemanfaatan palemahan desa pakraman di Bali diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 mengenai Pariwisata Budaya Bali pasal 1 Ayat 5 yang menyatakan bahwa: “Desa Pakraman sebagai Desa Dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turuntemurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai daerah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Adat Kedonganan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri termasuk di dalamnya mengelola wilayahnya sebagai satu kesatuan masyarakat hukum adat. Pengakuan tersebut memperkuat konsideran hurup (c) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 60 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang menyatakaan bahwa hukum agraria (hukum tentang tanah) mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat. Pengakuan-pengakuan hukum tersebut memberikan penegasan mengenai posisi desa pakraman/adat, dalam hal ini Desa Adat Kedonganan sebagai pihak yang berhak untuk mengelola kepariwisataan di wilayahnya. Pengelolaan tersebut dilakukan dalam konteks pemanfaatannya sebagai sumber pendapatan desa adat
107
yang dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan warga, memenuhi kebutuhan pembangunan dan penyelenggaraan kegiatan di wilayahnya. Pengakuan tersebut merupakan salah satu faktor pendorong munculnya inisiatif dan aspirasi masyarakat Desa Adat Kedonganan untuk memperoleh izin dari pemerintah Kebupaten Badung sebagai pengelola Kawasan Sempadan Pantai Kedonganan yang akan ditata sebagai lokasi café seafood. Bapak I Ketut Madra, Ketua LPD Kedonganan dan tokoh penataan Pantai Kedonganan menyatakan bahwa: “Penataan seluruh café di Pantai Kedonganan merupakan aspirasi seluruh warga Desa Adat Kedonganan” Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa: “….….aspirasi tersebut muncul akibat adanya keinginan untuk meningkatkan taraf hidup serta adanya pemahaman bahwa Pantai Kedonganan sebagai tanah milik Desa Adat Kedonganan yang dapat dikelola atau dimanfaatkan oleh seluruh warga secara komunal” (Wawancara tanggal 14 Juli 2014) Adanya aspirasi dari warga Desa Adat Kedonganan untuk mengelola dan mengembangkan wilayahnya menjadi daerah tujuan wisata menunjukkan bahwa pengembangan kepariwisataan di Pantai Kedonganan dilakukan berdasarkan pendekatan bottom-up dan bukan berdasarkan kebijakan dan keputusan yang digariskan oleh pemerintah (top-down). Hal tersebut menunjukkan bahwa kepariwisataan di Pantai Kedonganan dikembangkan berdasarkan konsep pariwisata berbasis masyarakat, mengingat salah satu ciri dari pariwisata berbasis masyarakat adalah pendekatan top-down yang melandasi menerapannya (Tasci et al, 2013).
108
3.
Dukungan Pemerintah Kabupaten Badung Melalui serangkaian pertemuan, presentasi dan diskusi, Pemerintah Daerah
Kabupaten Badung teryakinkan bahwa aspirasi masyarakat dari bawah (bottomup) dan permohonan Desa Adat Kedonganan untuk mengelola Kawasan Sempadan Pantai Kedonganan adalah untuk kesejahteraan seluruh warga Desa Adat Kedonganan sebagai pemegang hak ulayah Pantai Kedonganan. Terkait hal tersebut, mantan Jero Bendesa Kedonganan Bapak I Ketut Mudra, menyatakan bahwa: “Adanya keinginan warga Kedonganan untuk menikmati potensi Kedonganan dan tidak hanya menjadi penonton dari perkembangan pariwisata di daerahnya telah menyakinkan pemerintah Kabupaten Badung untuk mengeluarkan Rekomendasi didirikannya 24 café di Pantai Kedonganan, dimana 12 café tersebut dimiliki oleh banjar-banjar di Desa Adat Kedonganan dan 12 café lagi dimiliki oleh pemilik café yang merupakan pemilik awal café di Pantai Kedonganan. Munculnya rekomendasi tersebut dikarenakan tujuan dari permohonan Desa Adat Kedonganan untuk mengelola potensinya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kedonganan” (Wawancara tanggal 1 Juli 2014). Pemerintah menyadari bahwa apabila hak masyarakat hukum adat Desa Adat Kedonganan dihargai seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 60, warga akan menjaga kepercayaan pemerintah kepada mereka. Warga Desa Adat Kedonganan akan berusaha menjaga keberlanjutan kepariwisataan di Pantai Kedonganan dengan cara menjaga kualitas lingkungan tetap baik dan menjaga situasi berusaha tetap kondusif sesuai peruntukannya seperti yang telah diatur dalam Keputusan Bupati Badung Nomor 638 Tahun 2003 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta. Hal ini penting agar manfaat ekonomi dari kepariwisataan dinikmati oleh seluruh warga Desa Adat Kedonganan. Dengan demikian diharapkan kesejahteraan warga akan meningkat dan merata, dan
109
dengan sendirinya fungsi kawasan sempadan Pantai Kedonganan sebagai kawasan lindung dan kawasan suci seperti yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 dapat tercapai. Hal tersebut mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten Badung untuk mengeluarkan Rekomendasi Nomor 603 Tahun 2006 yang menunjuk Desa Adat Kedonganan
sebagai
lembaga
adat
untuk
melakukan
penataan
Pantai
Kedonganan. Rekomendasi Bupati Badung tersebut diperkuat oleh Surat Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK//2010 yang isinya menyetujui dilakukannya penataan dan pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan oleh Desa Adat Kedonganan. Rekomendasi 603 Tahun 2006 dan Surat Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 menunjukkan adanya dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Badung terhadap inisiatif masyarakatnya (warga Desa Adat Kedonganan) untuk memperbaiki taraf hidupnya melalui pengelolaan dan pengembangan potensi wisata yang dimilikinya, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 16 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang menyatakan bahwa: “Pengelolaan daya tarik wisata dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi, Desa Pakraman, lembaga tradisional, perorangan dan badan usaha” Selanjutnya dalam pasal 25 dan 26 Ayat 2 dinyatakan mengenai hak Desa Pakraman dan/atau lembaga tradisional lainnya bekerjasama dengan pemerintah untuk menolak bentuk-bentuk kepariwisataan yang tidak sesuai dengan pariwisata
110
budaya
Bali.
Dinyatakan pula
mengenai
hak Desa
Pakraman dalam
mengembangkan wisata pedesaan sesuai potensi-masing-masing. Dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung terhadap inisiatif warga Desa Adat Kedonganan dalam mengelola kepariwisataaan di daerahnya juga sesuai dengan pernyataan Asker et al (2010) menyatakan bahwa: “The enabling condition for good practice community Based Tourism is……Bottom up desire in the community reflected in the facility design, decision-making and management structure” Pemberian rekomendasi bagi Desa Adat Kedonganan untuk menata dan mengelola Pantai Kedonganan diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan warga Kabupaten Badung yang ada di Desa Adat Kedonganan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Badung memahami bahwa pariwisata merupakan alat untuk mencapai pertubuhan ekonomi serta pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), seperti yang dinyatakan oleh World Tourism Organization (WTO) dan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) bahwa: “It is important that government officials and others are educated about the potential role of tourism in economic development and poverty reduction.” (WTO/UNCTAD, 2002, dalam Hausler dan Strasdas, 2002) Dukungan pemerintah bukan satu-satunya syarat bagi suksesnya pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, Asker et al (2010) menyatakan bahwa: “Strong partnership with local NGOs, relevant government bodies and other supporters” Inisiatif masyarakat perlu mendapat dukungan dari instansi pemerintah yang terkait, lembaga sosial masyarakat maupun instansi pendukung lainnya. Hal
111
tersebut dikarenakan masyarakat sendiri tidak akan bisa melakukan semuanya. Masyarakat memerlukan bantuan dari pihak lain dalam mempersiapkan dan menyediakan berbagai hal untuk penyelenggaraan kepariwisataan di Pantai Kedonganan. 4.
Sinergi Antara Pemerintah Kabupaten Badung, Desa Adat, LPM, Kelurahan dan LPD Kedonganan Kesaksian para informan mengenai penataan kepariwisataan di Pantai
Kedonganan pada dasarnya menunjukkan adanya sinergi yang baik antara pemangku kepentingan kepariwisataan di Pantai Kedonganan. Para pemangku kepentingan tersebut yaitu Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, LPM Kedonganan (3 Lembaga), Pemerintah Kabupaten Badung, warga Desa Adat Kedonganan, dan LPD Kedonganan. Sinergi antara pemangku kepentingan terlihat dari adanya dukungan yang diberikan Pemerintah Kabupaten Badung berupa terbitnya Rekomendasi Nomor 603 Tahun 2006 dan Surat Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010. Kedua produk hukum tersebut menunjukkan adanya persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Badung untuk menyerahkan hak pengelolaan Pantai Kedonganan kepada Desa Adat Kedonganan dengan ketentuan-ketentuan tertentu, dan persetujuan untuk dilaksanakannya penataan Pantai Kedonganan berdasarkan perencanaan yang telah disetujui. Terbitnya Rekomendasi dan Surat Keputusan Bupati tersebut telah memberikan jaminan dari aspek hukum bagi keberlanjutan perkembangan kepariwisataan di Pantai Kedonganan. Hal tersebut sangat penting mengingat kejelasan status lahan dan pengelolaannya merupakan aspek yang
112
sangat penting yang memberikan dasar bagi penyelenggaraan kepariwisataan di suatu tempat. Dukungan Pemerintah Kabupaten Badung memperkuat aspirasi warga dalam meningkatkan taraf hidupnya melalui penataan Pantai Kedonganan yang merupakan wilayah/wewidangan Desa Adat Kedonganan. Warga Desa Adat Kedonganan menyadari statusnya sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak mengelola aset yang ada termasuk wilayahnya, yang dalam hal ini adalah Pantai Kedonganan. Warga Kedonganan berharap agar potensi wisata yang dimiliki oleh desanya, khususnya yang berupa potensi wisata kuliner dapat dinikmati bersamasama sebagai sebuah komunitas, bukan hanya oleh segelintir orang tertentu apalagi orang luar (bukan warga Desa Adat Kedonganan). Untuk itu, seluruh warga Kedonganan berperan aktif dalam perencanaan hingga pelaksanaan rencana penataan Pantai Kedonganan. Peran warga Desa Adat Kedonganan dalam penataan ulang kepariwisataan di Pantai Kedonganan terlihat mulai dari tahap awal perencanaan hingga tahap penentuan sistem kepemilikan dan permodalan. Dalam tahap perencanaan, beberapa warga yang memiliki kompetensi dalam bidang perencanaan telah bergabung dalam panitian penataan untuk membuat sebuah rencana penataan dengan dikoordinir oleh 3 Lembaga. Rencana tersebut selanjutnya disosialisasikan kepada seluruh warga di setiap banjar di Desa Adat Kedonganan. Menurut keterangan Bapak I Ketut Mudra, S.Ag (mantan Jero Bendesa Adat Kedonganan dalam masa penataan Pantai Kedonganan), seluruh warga Banjar dengan antusias
113
menghadiri setiap rapat banjar untuk sosialisasi rencana penataan Pantai Kedonganan. Hal tersebut menunjukkan bahwa warga Desa Adat Kedonganan menganggap penting penataan ulang Pantai Kedonganan dan terlibat langsung dalam proses perencanaannya. Peran warga Desa Adat Kedonganan selanjutnya terlihat dalam tahap pelaksanaan rencana, dimana seluruh warga termasuk pemilik café ikut terlibat dalam pembongkaran bangunan café yang telah berdiri sebelumnya. Seluruh warga juga berperan aktif dalam menentukan mekanisme kepemilikan terhadap 24 café yang dibangun di atas lokasi yang telah ditata ulang. Warga membagi diri menjadi 24 kelompok pemilik café dan selanjutnya menentukan mekanisme permodalan, operasional dan pengelolaan café serta pembagian keuntungan di masing-masing kelompok. Setelah Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BPKP2K) didirikan, seluruh warga ikut aktif mengawasi pelaksanaan tugas BPKP2K. Warga Desa Adat Kedonganan berperan sebagai pengawas bagi lembaga tersebut dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengelola kawasan termasuk 24 café yang ada. Pengawasan dilakukan melalui mekanisme perwakilan, dimana setiap café dan setiap banjar memiliki perwakilan yang duduk sebagai badan pengawas BPKP2K. Perwakilan warga akan menyampaikan informasi mengenai perkembangan Kawasan Pantai Kedonganan dan 24 café kepada kelompok yang diwakili. Pemangku kepentingan lain yang terlibat adalah Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kedonganan dan
114
Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Kedonganan. Tiga (3) instansi yang disebutkan lebih awal merupakan lembaga-lembaga yang mewadahi aspirasi warga Desa Adat Kedonganan, dan di antara warga sering disebut sebagai 3 lembaga. Instansi-instansi tersebut yang menerjemahkan aspirasi warga ke dalam berbagai bentuk rencana dan selanjutnya memperjuangkannya melalui rangkaian konsultasi dan negosiasi dengan Pemerintah Kabupaten Badung dan warga Desa Adat Kedonganan. 3 Lembaga merupakan pembentuk panitia penataan tahap I dan II melalui surat keputusan bersama. Selain itu, setelah BPKP2K terbentuk dan menjalankan fungsinya, pimpinan 3 lembaga tetap berperan dalam membina dan mengawasi tugas dan fungsi BPKP2K sebagai badan pengelola kepariwisataan di Pantai Kedonganan. Penataan Pantai Kedonganan membutuhkan banyak biaya. Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/I/HK/2010 menyatakan bahwa segala pembiayaan yang timbul dari penataan Pantai Kedonganan dibebankan kepada Desa Adat Kedonganan. Kebutuhan dana untuk penataan diperoleh dari Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Adat Kedonganan. LPD Kedonganan menyediakan pinjaman dana dengan bunga lunak dan tanpa jaminan sehingga 24 café dapat dibangun dan konsep kepemilikan oleh komunitas terhadap café di Pantai Kedonganan hasil penataan ulang dapat terwujud. Tasci et al (2013) menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara pemangku kepentingan kepariwisataan, sebagai berikut: “Community participation is imperative for tourism development where tourist attractions are within the living environment of the community and sometimes community (culture) is the part of the attraction for tourists. In such cases, the community may suffer from the negative
115
impacts of tourism (Kibicho, 2003). For this reason, the protection of the touristic attraction (the environment and the community itself) largely depends on the collaboration level of the community in tourism planning, development and execution. Therefore, participation of all stakeholders including ordinary members of the community, decision-makers within the community, tourism professionals, tourism businesses and NGOs have to collaborate for effective CBT applications” (Tasci et al, 2013) Tasci et al menyatakan bahwa daya tarik wisata dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat berada di sekitar warga masyarakat. Selain berupa daya tarik wisata alam, budaya juga seting kali menjadi daya tarik wisata. Perlindungan terhadap daya tarik wisata ini adalah sangat penting, dan sering kali sangat tergantung kepada partisipasi warga masyarakat maupun kolaborasi di antara pemangku kepentingan kepariwisataan di daerah tersebut. Dalam konteks pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Kedonganan, sinergi antara pemangku kepentingan penting untuk menciptakan kesadaran bersama untuk melindungi alam, sosial dan budaya setempat. Selain itu, sinergi juga penting untuk memastikan dukungan dari para pemangku kepentingan demi lancarnya proses penataan. 5.
Modal Sosial Yang Dimiliki Oleh Desa Adat Kedonganan Potensi wisata yang dimiliki Pantai Kedonganan, aspirasi masyarakat
untuk memanfaatkan haknya atas wilayahnya, dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dan sinergi di antara Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan, LPM Kedonganan dan LPD Kedonganan merupakan 4 hal yang berhasil dirumuskan sebagai faktor-faktor yang mendukung implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan di Pantai Kedonganan. Namun 4 hal tersebut tidak akan tercapai jika tidak ada faktor ke 5
116
yang memegang peranan sangat penting. Faktor ke-5 yang mendukung implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat di Kedonganan adalah modal sosial (social capital). Tersedianya modal sosial sangat mendukung terimplementasikannya prinsip-prinsip
pariwisata
berbasis
masyarakat
dalam
penataan
Pantai
Kedonganan sebagai daerah tujuan wisata. Adanya jaringan sosial (social network) telah memungkinkan konsep pengelolaan daerah pesisir yang dikemukakan oleh Bapak I Wayan Mertha tersebar kepada para pemuda yang ada di 6 banjar di Desa Adat Kedonganan. Konsep penataan tersebut selanjutnya dibahas dan disepakati melalui mekanisme paruman (rapat) di tingkat banjar yang dilaksanakan dengan semangat Paras Paros, Saguluk Sagilik, Salunglung Sabhayantaka (musyawarah untuk mufakat). Hal tersebut menunjukkan bahwa warga Desa Adat Kedonganan memegang teguh norma bahwa masalah yang terkait kepentingan bersama harus diselesaikan bersama-sama. Selain itu, social network juga memungkinkan seluruh warga di 6 banjar beserta para tokoh adat bersatu dalam kesamaan visi untuk mengupayakan agar penataan ulang Pantai Kedonganan dapat terwujud, dimana kesamaan visi tersebut terwujud melalui jaringan sosial yang telah ada di dalam masyarakat. Jaringan sosial (social network) didukung oleh adanya norms (norma) yang dipegang teguh oleh seluruh warga Desa Adat Kedonganan. Dalam Oxford Advanced Learner‟s Dictionary of Current English, kata norms didefinisikan sebagai “standards of behavior that are typical of or accepted within a particular group or society”, yang berarti standar tingkah laku yang khas/diasosiasikan
117
dengan suatu kelompok atau masyarakat, ataupun yang diterima dalam suatu kelompok atau masyarakat. Norma yang berlaku dan dipedomani di masyarakat Desa Adat Kedonganan adalah bahwa kepentingan bersama lebih didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi. Selain itu, warga menganggap Jero Bendesa merupakan tokoh pimpinan adat yang sangat dihormati, sehingga keputusankeputusannya akan didukung oleh warga. Mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi merupakan perwujudan dari nilai yang dianut oleh warga Desa Adat Kedonganan berupa semangat menyama braya, dan suka-duka. Konsep menyama-braya dan suka-duka pada dasarnya mengajarkan bahwa seluruh warga desa adat adalah bersaudara sehingga dalam keseharian, baik dalam keadaan susah maupun senang mereka semua harus saling membantu dalam semangat gotong royong (Meniarta, Mas’udi, Dwipayana, 2009). Dalam penataan Pantai Kedonganan tahap I, sempat terjadi penolakan oleh beberapa orang warga yang menjadi pemilik dari 67 buah café yang telah berdiri. Namun setelah dilakukan pendekatan, sebagian dari yang menolak menyatakan mendukung rencana penataan, seperti yang dinyatakan oleh Bapak I Made Sukra, sebagai berikut: “Saya adalah salah seorang pemilik dari 67 buah café yang ditata ulang. Namun saya mendukung rencana penataan ulang karena saya mengikuti keputusan Jero Bendesa sebagai penglingsir di Desa Adat Kedonganan” (Wawancara tanggal 11 September 2014) Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kepemimpinan yang dihormati di Desa Adat Kedonganan, serta adanya ketaatan yang menunjukkan kepercayaan warga Desa Adat Kedonganan terhadap pemimpin adat, yaitu Jero Bendesa, para Kelian serta para prajuru adat. Ketaatan dan kepercayaan tersebut membuat
118
seluruh warga yang awalnya menolak rencana penataan pada akhirnya menyetujui rencana penataan bahkan ikut membongkar bangunan cafe-nya. Kepemimpinan tokoh-tokoh adat, ketaatan warga terhadap pemimpin adat dan adanya semangat menyama-braya dan suka-duka mengakibatkan Jro Bendesa I Ketut Mudra, dan tokoh penataan lain padat waktu itu (Lurah Kedonganan, Ketua LPM dan Ketua LPD Kedonganan) mampu menggalang munculnya kesamaan visi dan rasa saling mempercayai (trust) di antara warga Desa Adat Kedonganan untuk melakukan penataan ulang terhadap Pantai Kedonganan. Narayan (2000) menjelaskan bahwa social capital merupakan normanorma dan jaringan yang memungkinkan orang-orang untuk bertindak secara kolektif. Pakar lain yaitu Putnam (1995) yang merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam bidang social capital memberikan definisi yang lebih lengkap sebagai berikut: “social capital refers to features of social organization such as networks, norms, and social trust that facilitate coordination and cooperation for mutual benefit” Narayan (2000) menyatakan bahwa bentuk sosial capital adalah norma dan jaringan. Namun jika dilihat definisi dari Putnam (1995) terlihat bahwa social capital memiliki 3 bentuk yaitu network (jaringan), norms (norma) dan trust (kepercayaan). Keberadaan social capital mampu menumbuhkan koordinasi serta kerjasama di antara anggota masyarakat untuk memperoleh manfaat bersama (Putnam, 1995; Coleman, 1988; OECD, 2007). Dalam bidang pariwisata, keterkaitan social capital dengan partisipasi masyarakat
dalam
perencanaan
dan
pengembangan
pariwisata
berbasis
119
masyarakat telah cukup banyak dikaji (Grant 2001; Lin 2001; Krishna 2002; Perkins et al. 2002; Flores & Rello 2003; Pretty 2003; Rohe 2004; Vidal 2004; Iyer et al. 2005; Bridger & Alter 2006; Hanna et al. 2009; Vermaak 2009, dalam Claiborn, 2010). Namun aplikasinya di bidang pariwisata masih belum banyak (Claiborn, 2010). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peranan social capital tersebut ada dan merupakan bidang yang menarik untuk dikaji. Okazaki
(2008)
menyatakan
bahwa
social
capital
harus
ditumbuhkembangkan untuk mempererat hubungan di antara masyarakat, untuk menjembatani kemitraan serta memastikan terjadinya kerjasama di antara pemangku kepentingan. Hasil penelitiannya juga mengindikasikan bahwa social capital harus didorong sehingga mampu menciptakan hubungan (link) antara masyarakat dengan pemerintah, karena jika tidak, distribusi kekuasaan dan kolaborasi di antara pemangku kepentingan tidak akan ikut terdorong. Sejalan dengan Okazaki, pakar lain yaitu Pongpanrat (2012) menyatakan bahwa: “social capital components led to „induced participation‟ of local people who had a strong sense of belonging to their hometown, and with mutual respect for each other, thus enabling them to work for their local tourism development. Social capital appeared significantly as the main mechanism that push and pull people to participate in their local tourism development. Both quantitative and qualitative analysis confirmed that factors associated with community participation included knowledge and leadership of trusted local people, norms and social network among community” Pongparat menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata di sebuah komunitas membutuhkan beberapa hal, yaitu adanya rasa memiliki terhadap pariwisata
yang dikembangkan,
adanya rasa saling
120
menghormati di antara warga, adanya kepemimpinan yang dipercaya, adanya norma yang dipedomani serta adanya jaringan sosial. Ketersediaan 5 hal tersebut akan mampu menjadi pendorong (push factor) maupun faktor penarik (pull factor) bagi anggota komunitas untuk ikut berpartisipasi dalam pengembangan kepariwisataan di daerahnya.
6.2
Faktor Penghambat
1.
Penolakan Dari Pemilik Café Terdahulu Terhadap Rencana Penataan Ulang Café di Pantai Kedonganan Setelah
terbitnya
Surat
Keputusan
Bupati
Badung
Nomor
1238/01/HK/2010, Desa Adat Kedonganan sebagai pihak yang diberikan izin untuk melakukan penataan ulang Pantai Kedonganan segera mempersiapkan proses
pembongkaran
bangunan
café
yang
telah
berdiri
sebelumnya.
Pembongkaran dikoordinir oleh para Prajuru Desa Adat Kedonganan dengan melibatkan seluruh krama/warga. Pada saat pembongkaran akan dilakukan, masih ada beberapa warga pemilik café yang sudah berdiri sebelumnya yang masih belum menyetujui rencana penataan ulang. Penolakan tersebut didasari oleh pemahaman mereka bahwa mereka adalah pelopor dalam mendirikan café di Pantai Kedonganan. Bapak I Wayan Sada, yang bertanggung jawab dalam proses pembongkaran 76 café menyatakan sebagai berikut: “Warga yang menolak berpikir bahwa saya adalah pionir, saya harus dapat café. Mereka takut setelah penataan tidak dapat café, karena setelah penataan, hak kewajibannya ngarep, tidak bisa perorangan memiliki café” Testimoni Bapak I Wayan Sada menunjukkan alasan penolakan yang terjadi. Dari petikan wawancara tersebut terlihat bahwa warga yang menolak merasa bahwa
121
dirinya adalah pionir atau orang yang mempelopori pendirian café di Pantai Kedonganan sehingga merasa berhak mendapatkan café setelah penataan. Perasaan sebagai pihak yang dirugikan juga mendasari penolakan karena café yang mereka dirikan harus dibongkar, dan setelah dibangun kembali tidak akan ada kepemilikan perorangan terhadap café, melainkan kepemilikan seluruh warga Desa Adat Kedonganan. Warga yang menolak selanjutnya mengelompokkan dirinya sebagai Paguyuban Masyarakat Pesisir Pantai Kedonganan, atau yang dikenal sebagai PMP2K (http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/11/14/b12.htm). Pada saat pembongkaran sempat terjadi keributan antara warga Desa Adat Kedonganan dengan beberapa orang warga yang tergabung dalam PMP2K, yang masih belum setuju dengan rencana penataan dan menolak untuk membongkar café miliknya. Penolakan tersebut menimbulkan insiden berupa perebutan paksa terhadap alat ukur yang dibawa prajuru/pemuka adat Desa Adat Kedonganan yang akan melakukan pengukuran dan penandaan lokasi. Sempat pula terjadi pelemparan botol minuman dan penghinaan oleh anggota PMP2K terhadap prajuru Desa Adat Kedonganan. Hal tersebut mendorong Desa Adat Kedonganan sebagai pemegang hak penataan Pantai Kedonganan untuk melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian Resort Kota Besar (Poltabes) Denpasar. Berdasarkan laporan tersebut, Poltabes Denpasar melakukan penangkapan terhadap 6 orang warga yang menolak penataan. Namun 6 warga yang ditangkap tersebut akhinya dilepaskan kembali setelah adanya pencabutan laporan dari pihak Desa Adat Kedonganan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Bapak I
122
Ketut Mudra, yang menjabat sebagai Jro Bendesa Adat pada waktu kejadian berlangsung, sebagai berikut: “pihak-pihak yang menolak dititipkan di kepolisian…..akhirnya pihak keluarga mereka memohon kepada Jro Bendesa agar mencabut laporan di Poltabes…..masalah diselesaikan secara adat dengan sangsi berdasarkan awig-awig Desa Adat Kedonganan, yaitu pihak yang bersalah harus memparisuda para prajuru” (Wawancara tanggal 1 Juli 2014) Pencabutan laporan dilakukan setelah dilaksanakannya upaya penyelesaian masalah secara adat di Desa Adat Kedonganan. Dicabutnya laporan tersebut disebabkan oleh kesediaan pihak yang dilaporkan untuk mengembalikan nama baik para prajuru/pemuka adat melalui suatu upacara adat. Selain itu, 6 orang warga yang dilaporkan diharuskan meminta maaf secara langsung ke seluruh warga di 6 banjar di lingkungan Desa Adat Kedonganan. Melalui penyelesaian masalah secara adat dan diikuti dengan pencabutan laporan di Poltabes Denpasar oleh Desa Adat Kedonganan, konflik antara warga Desa Adat Kedonganan dengan warga yang tergabung dalam PMP2K akhirnya berakhir. Berakhirnya konflik menyediakan pijakan selanjutnya untuk penataan ulang Pantai Kedonganan karena dengan berakhirnya konflik berarti seluruh warga Desa Adat Kedonganan telah memiliki kesamaan persepsi mengenai pentingnya melakukan penataan ulang kepariwisataan di Pantai Kedonganan untuk meminimalkan berbagai dampak buruk yang bisa terjadi. Kesamaan persepsi sangat penting untuk memastikan tujuan penataan ulang kepariwisataan Pantai Kedonganan berhasil sesuai yang direncanakan, sehingga mampu memberikan manfaat serta mensejahterakan kehidupan seluruh warga Desa Adat Kedonganan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Asker et al (2010) yaitu:
123
“The enabling condition for successful community based tourism …………..the community is already well organized and cohesive” Asker et al menyatakan bahwa salah satu syarat bagi suksesnya implementasi pariwisata berbasis masyarakat adalah apabila seluruh angggota dari suatu komunitas telah terorganisir dan bersatu sehingga memiliki kesamaan visi dan misi mengenai sesuatu yang mereka perjuangkan. Dalam penataan ulang Pantai Kedonganan, proses penataan sempat mengalami hambatan oleh adanya penolakan sekelompok kecil warga yang merasa sebagai pionir dalam perkembangan Pantai Kedonganan. Penolakan tersebut sempat menimbulkan konflik horizontal di antara warga Desa Adat Kedonganan yang akhirnya berujung pada pelaporan ke pihak Kepolisian. Penolakan tersebut akhirnya diselesaikan melalui mekanisme adat dimana para tokoh penolakan diberikan sanksi berdasarkan awig-awig. Penyelesaian
masalah
melalui
mekanisme
adat
sesungguhnya
mengindikasikan adanya norma dan nilai yang sangat dipatuhi oleh seluruh warga Desa Adat Kedonganan. Norma tersebut adalah bahwa kepentingan bersama kelompok masyarakat harus didahulukan di atas kepentingan pribadi. Selain norma tersebut, nilai yang dipedomani oleh warga Desa Adat Kedonganan adalah bahwa para prajuru adat sebagai tokoh yang dituakan di tingkat desa harus dihargai dan dihomati. Penyelesaian konflik di tingkat adat mampu menyatukan kembali warga Desa Adat Kedonganan yang sempat mengalami konflik horizontal. Dengan berakhirnya konflik tersebut, rencana panataan Pantai Kedonganan dapat dilanjutkan.
124
2.
Kurangnya Pemahaman Warga Desa Adat Kedonganan Terhadap Legalitas Lahan Pantai Kedonganan Melalui studi pustaka diketahui bahwa lokasi pendirian café di Pantai
Kedonganan merupakan kawasan sempadan pantai yang fungsi utamanya adalah untuk kawasan lindung dan kawasan suci. Ketika pertama kali masyarakat Kedonganan mendirikan café di Pantai Kedonganann, mereka datang langsung ke pantai untuk mengklaim lahan pantai seluas yang diinginkannya di tempat yang mereka inginkan. Bapak I Made Sukra, salah seorang pemilik café pertama di Pantai Kedonganan menyatakan sebagai berikut: “Penentuan lokasi café pada waktu itu hanya berdasarkan ada tidaknya space, tanpa koordinasi dengan siapapun….mereka tinggal datang ke pantai lalu memasang patok-patok untuk menandai lokasi café-nya” (Wawancara tanggal 26 Mei 2014) Pantai Kedonganan pada waktu itu seperti tanah tanpa pemilik sehingga masyarakat merasa berhak menggunakannya sesuai kehendaknya. Ketidakjelasan status tanah atau kekurangpahaman masyarakat terhadap fungsi kawasan Pantai Kedonganan yang diatur undang-undang mengakibatkan jumlah masyarakat yang menyerobot tanah Pantai Kedonganan semakin banyak. Dari semula hanya 5 orang pada tahun 1995, berkembang menjadi sejumlah 67 café pada tahun 2000. Penyerobotan
tanah
tersebut
semakin
diperparah
dengan
berpindahnya
kepemilikan café kepada orang-orang yang bukan warga Desa Adat Kedonganan, bahkan ada yang merupakan warga asing. Banyaknya café yang berdiri di sepanjang Pantai Kedonganan tidak mencerminkan sebuah daya tarik wisata yang menarik. Atraksi wisata kuliner menawarkan pengalaman berwisata yang intinya adalah pengalaman menikmati
125
makanan dalam suasana tertentu. Agar pengalaman tersebut memuaskan, diperlukan suasana yang mendukung, lingkungan yang rapi dengan pemandangan yang menyenangkan serta makanan yang berkualitas yang disajikan dengan pelayanan yang sesuai. Bangunan-bangunan café yang ada waktu itu terlihat tidak rapi. Tata letak, bentuk bangunan dan dekorasinya mengakibatkan Pantai Kedonganan terlihat kumuh, seperti yang terlihat dalam Gambar 13 sebagai berikut:
Gambar 13. Bangunan café di Pantai Kedonganan (sebelum penataan ulang) Dalam wawancara dengan Bapak I Ketut Mudra, S.Ag, Jero Bendesa Adat Kedonganan periode 2003 – 2008, beliau menyetakan bahwa: “….jumlah café menjadi terlalu banyak….sekitar 75 café. Akibatnya lokasi Melasti menjadi terdesak oleh café, pantai terlihat kumuh, pasir pantai berbau akibat limbah café yang dibuang langsung ke pasir pantai, terdesaknya bangsal atau tempat penambatan perahu nelayan (jukung), konflik antara nelayan dengan pemilik café akibat berkurangnya areal bangsal”
126
Kondisi tersebut diperparah dengan kenyataan bahwa pekerja café lebih banyak orang luar Desa Adat Kedonganan. Berbagai dampak buruk keberadaan café, baik yang terjadi kepada lingkungan, perekonomian maupun kehidupan sosial dan budaya mengkibatkan adanya keresahan di antara warga Desa Adat Kedonganan. Keresahan tersebut memunculkan inisiatif untuk melakukan penataan café di Pantai Kedongaan dengan lebih baik, dengan pendekatan yang lebih menguntungkan seluruh warga Kedongananan (komunal), dan bukan hanya menguntungkan sekelompok orang. Inisiatif ini muncul akibat adanya pemahaman bahwa desa adat berhak mengelola wilayahnya karena Kawasan Pantai Kedonganan merupakan wewidangan Desa Adat Kedonganan. Bapak I Ketut Madra, Ketua LPD Kedonganan dan tokoh Penataan Pantai Kedonganan, dengan berpatokan kepada Awig-Awig Desa Adat Kedonganan dan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 Tentang Lembaga Perkreditan Desa menyatakan bahwa: “LPD merupakan lembaga keuangan yang merupakan wadah kekayaan yang dimiliki oleh desa pakraman/desa adat…dan mengingat bahwa Pantai Kedonganan merupakan palemahan/wewidangan Desa Adat Kedonganan maka apapun yang ada di lingkungan Desa Pakraman bisa dikelola oleh LPD” Berdasarkan pemahaman itu, Desa Adat Kedonganan melakukan serangkaian rapat/paruman di tingkat banjar maupun di desa adat untuk mempersiapkan usulan permohonan menjadi pengelola Pantai Kedonganan. Inisiatif tersebut diserahkan ke Pemerintah Daerah Kabupaten Badung untuk mendapatkan persetujuan.
127
Inisiatif warga Desa Kedonganan untuk memohon izin sebagai pengelola Pantai Kedonganan mendapatkaan penolakan dari para pemilik café yang telah menjalankan usaha di Pantai Kedonganan. Dalam konteks tersebut, konsep pariwisata berbasis masyarakat yang diajukan sebagai solusi ternyata tidak serta merta diterima oleh seluruh warga Desa Adat Kedonganan. Hal tersebut menandakan bahwa selain ketidakpahaman warga terhadap status legalitas lahan Pantai Kedonganan, motif ekonomi juga mendorong terjadinya penolakan. Jika ditinjau dari pendapat para pakar, penolakan sebagian kecil warga Desa Adat Kedonganan pada dasarnya bersumber dari keunikan karakteristik yang dimiliki oleh setiap daerah tujuan wisata. Terkait hal tersebut, Cooper et al (1993) menyatakan sebagai berikut: “1) visitor has to consider destination to be attractive and worth the investment of time and money to visit, because of this we can think of destination as cultural appraisal….. 2) Tourism is consumed where it is produced, visitor have to be physically present at a destination to experience tourism……3) Destination amenities serve residents and workers throughout the year but at some or all times of the year there are temporary users of those amenities – day visitors or tourists. 4) In particular, it is important that the quality of each component of the destination and the delivery of the tourism service at these components is reasonably uniform. Pendapat Cooper et al (1993) menunjukkan bahwa setiap destinasi memiliki 4 karakteristik yang sama. Karakteristik tersebut adalah 1). Cultural Appraisal, 2). Inseparability, 3). Multiple Use dan 4). Complementarity. Cultural appraisal mengandung arti bahwa setiap destinasi dikunjungi oleh pengunjung karena adanya anggapan bahwa destinasi tersebut menarik untuk dikunjungi. Dari karakteristik ini dapat disimpulkan bahwa setiap destinasi memiliki daya tarik. Inseparability mengandung arti bahwa setiap produk destinasi dinikmati oleh
128
pengunjung begitu produk tersebut diproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa agar bisa menikmati produk suatu destinasi, pengunjung harus berada di sebuah destinasi, dan dengan sendirinya hal ini berarti bahwa pengunjung tersebut harus melakukan perjalanan untuk sampai di sebuah destinasi. Multiple use mengandung arti bahwa segala fasilitas dan pelayanan yang ada di destinasi dinikmati baik oleh penduduk lokal maupun wisatawan. Mutiple use mengkibatkan adanya kekawatiran bahwa pada suatu ketika akan timbul perselisihan dan konflik kepentingan antara penduduk lokal suatu destinasi dengan pengunjungnya dalam memanfaatkan atau menikmati suatu fasilitas atau pelayanan wisata. Hal ini juga menunjukkan pentingnya kajian terhadap daya dukung destinasi sehingga pada suatu ketika tidak terjadi dimana jumlah pengunjung menyamai atau bahkan melebihi jumlah penduduk lokal. Karakteristik terakhir yaitu Complementarity, yang mengandung arti bahwa segala produk di destinasi pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain dan berkontribusi yang sama dalam menciptakan pengalaman berwisata seorang pengunjung. Hal ini menunjukkan pentingnya penyetaraan kualitas setiap produk wisata di sebuah destinasi, karena wisatawan yang merasakan kepuasan ketika menikmati 5 produk destinasi dapat mengalami kekecewaan akibat 1 produk yang tidak sesuai harapannya. Disamping persamaan karakteristik dari destinasi wisata, tidak dapat dikesampingkan pula perbedaan-perbedaan yang ada di antaranya. Perbedaanperbedaan karakteristik tersebut sangat menentukan keberhasilan penerapan konsep pariwisata berbasis masyarakat di sebuah komunitas. Tasci et al (2013)
129
menggarisbawahi keunikan karakteristik dari setiap destinasi wisata dan perbedaan dalam hal stakeholder (pemangku kepentingan) yang terlibat di dalamnya. Tasci et al menyatakan sebagai berikut: ”there are no rigid CBT models that can be applied indiscriminately to all communities” Pernyataan Tasci et al (2013: 12) sejalan dengan pendapat Asker et al (2010: 3) yang menyatakan bahwa: ………. there are a number of risks associated with the developing CBT particularly where it is introduced to provide a „quick fix‟ for communities without diverse livelihoods, resources or capacity”. Dari 2 pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat tidak dapat diaplikasikan begitu saja di sebuah komunitas ataupun destinasi tanpa terlebih dahulu memahami karakteristik khusus dari masyarakat atau destinasi tersebut. Keunikan karakteristik tersebut mengakibatkan model pariwisata berbasis masyarakat yang diaplikasikan di suatu destinasi akan berbeda apabila diaplikasikan di destinasi lain. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa faktor penentu keberhasilan ataupun penghambat penerapan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat dapat berbeda untuk setiap destinasi. Asker et al (2010) menyatakan pendapatnya mengenai faktor yang menentukan keberhasilan penerapan pariwisata berbasis masyarakat sebagai berikut: “The barriers to the development of Community Based Tourism is when land and resources dispute are rife and recurrent” Pernyataan di atas menunjukkan bahwa implementasi pariwisata berbasis masyarakat dapat mengalami hambatan apabila terjadi sengketa mengenai lahan
130
dan sumber daya lainnya. Terkait dengan hal tersebut, Cottrell menyatakan sebagai berikut: “Potential threats to CBT are….alienation and loss of cultural identity, creation of frictions within the community (between generations or between subgroups e.g. who do and do not profit), disruption of socioeconomic structures, conflicts over use of resources (land, hunting rights, infrastructure) which may also create hostility towards tourists, disturbance to local environments e.g. for building accommodations or to obtain firewood, pollution of water and air” (Cottrell, 2001 dalam Asker et al 2010) Faktor penghalang apabila tidak ditangani menurut Asker et al dapat berkembang menjadi ancaman. Ancaman tersebut sepert yang dijelaskan Cottrell adalah dalam bentuk konflik antar warga yang mendukung penerapan pariwisata berbasis masyarakat dengan warga yang menolak. Konfik tersebut salah satunya dapat diakibatkan oleh sengketa pemanfaatan lahan. Terkait hal tersebut, Asker et al (2010) berpendapat bahwa: “Enabling condition for a good practice CBT:…..ownership and other „resource‟ issues are clear and well defined” Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa apabila status kepemilikan lahan sebagai salah satu sunber daya dalam pengembangan pariwisata masih belum jelas, makan hal tersebut dapat menjadi penghambat pengembangan pariwisata di suatu tempat. Hal tersebut terlihat dalam kasus penerapan pariwisata berbasis masyarakat di Pantai Kedonganan yang sempat mengalami hambatan dan konflik akibat kekurangpahaman warga Desa Adat Kedonganan terhadap status tanah Pantai Kedonganan yang selain merupakan wilayah Desa Adat Kedonganan juga merupakan tanah Negara. Hal tersebut mengakibatkan mereka merasa berhak mengelola tanah tersebut sesuai keinginan mereka.