PENGELOLAAN PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT DI KAWASAN WISATA PANTAI TANJUNG KARANG PUSENTASI DONGGALA
ABDULBASIR LANGUHA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2011
Abdulbasir Languha NIM P052020131
ABSTRACT ABDULBASIR LANGUHA. Community Based Tourism Management in the Beach Tourism Area of Tanjung Karang Pusentasi Donggala. Under Supervision of ANI MARDIASTUTI and E. K. S. HARINI MUNTASIB. Beach tourism area in Tanjung Karang Pusentasi is one of tourism area in the Donggala District, which has diversity and interesting tourism objects. Because of this diversity, the Government of Donggala District has defined the area to become the important area for tourism development. This tourism area is located at the end of the Palu Bay and is directly toward the Makassar Strait, in Tovale, Limboro, Boneoge, and Labuan Bajo villages. To develop this important tourism area, a lot of researches need to be conducted. The objective of this research is to study and develop community based tourism concept, based on: (1) community perception on tourism activity and their expectation of involvement in developing this sector; (2) traditional/local wisdom particularly on natural resources management that can be used as a basis for a community based tourism management; and (3) government concept and other stakeholder views related with community based tourism management. This research indicated that local community has a positive view/perception on the tourism activity. This is indicated by most of community (61.43%) stated that tourism sector has provided benefits to them. Local community has indicated that they are interested to fully involved in the planning, managing and evaluating tourism activity in their area. Local community has their local wisdom in the natural resources management for agriculture and fishery uses, such as site selection for agriculture (nompepoyu), and having break period in the natural resources management (ombo). Additionally, there are some traditional/cultural activities/products that potentially can be used as tourism attractions. Government policy supports in the implementation of community based tourism management will be the main factor to develop this initiative and to integrate tourism as part of community activities. The development of this sector should be based on community interests and approaches. Private sectors stated that their involvement in this sector is by recruiting local community in their business, as well as encouraging local community to protect their natural resources. Meanwhile, community group and non-government organization views that there is a need on cooperative-management between stakeholders in this tourism area. This research has recommended that there is a need to increase local community capacity and their organization, as well as preparation of regulation and clear mechanism in the community involvement and other stakeholders in the tourism management in Tanjung Karang Pusentasi. Keywords: tourism, beach area, community based natural resource management
RINGKASAN ABDULBASIR LANGUHA. Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala. Dibimbing oleh ANI MARDIASTUTI dan E. K. S. HARINI MUNTASIB. Kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi merupakan salahsatu kawasan wisata yang terdapat di Kabupaten Donggala dan memiliki keragaman obyek dan daya tarik wisata. Karena keragaman potensi tersebut, pemerintah daerah menjadikan kawasan wisata ini sebagai salahsatu kawasan unggulan. Kawasan wisata ini terletak di ujung Teluk Palu dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar yang meliputi wilayah desa Tovale, desa Limboro, kelurahan Boneoge, dan kelurahan Labuan Bajo. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat berdasarkan : (1) pandangan/persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut, (2) kearifan masyarakat lokal terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, dan (3) konsep pemerintah serta pandangan pihak lainnya diluar masyarakat lokal dalam kaitannya dengan pengembangan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat lokal memiliki pandangan yang positif tentang kegiatan pariwisata. Hal ini diindikasikan oleh sebagian besar masyarakat lokal (61,43 %), yang menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat memberikan manfaat bagi mereka. Masyarakat lokal berkeinginan untuk terlibat secara penuh dalam kegiatan pariwisata yang mencakup aspek perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi kegiatan pariwisata yang berlangsung di wilayah ini. Masyarakat memiliki kearifan dalam pemanfaatan sumberdaya alam baik untuk kepentingan pertanian maupun perikanan, diantaranya dalam pemilihan lokasi yang tepat untuk usaha tani (nompepoyu) dan pemberian waktu jeda terhadap pemanfaatan sumber daya alam (ombo). Disamping itu, mereka juga memiliki kegiatan dan produk budaya yang dapat dijadikan sebagai atraksi wisata. Faktor yang mendukung penerapan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat adalah dukungan kebijakan pemerintah yang menjadikan pariwisata sebagai bagian dari aktifitas masyarakat dan mengembangkannya dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat. Pihak pengusaha wisata berpandangan bahwa selama ini mereka telah melibatkan masyarakat sebagai tenaga kerja, dan mendorong masyarakat untuk melindungi potensi alam dan budaya sebagai daya tarik wisata. Sementara itu, kelompok dan lembaga swadaya masyarakat berpandangan bahwa diperlukan suatu bentuk pengelolaan bersama antar semua pihak yang berkepentingan di kawasan wisata ini.
Penelitian ini merekomendasikan bahwa diperlukan upaya untuk membangun kapasitas masyarakat lokal dan organisasi yang dimilikinya, disamping mempersiapkan aturan dan mekanisme yang jelas tentang keterlibatan masyarakat dan pihak lainnya dalam pengelolaan pariwisata di Tanjung Karang Pusentasi Kata kunci : pariwisata, kawasan wisata pantai, pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat.
PENGELOLAAN PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT DI KAWASAN WISATA PANTAI TANJUNG KARANG PUSENTASI DONGGALA
ABDULBASIR LANGUHA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Tesis
:
Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala.
Nama
:
ABDULBASIR LANGUHA
NIM
:
P 052020131
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.
Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, M.S
Ketua
Anggota
Diketahui
Plh. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Drh. Hasim, DEA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 1 Agustus 2008
Tanggal Lulus :
Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Penguji Luar Komisi Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS
PRAKATA Segala puji dan syuku penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2007 ini adalah pengelolaan pariwisata dengan judul “Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala”. Selesainya penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari peran kedua pembimbing, masing-masing Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti selaku ketua komisi pembimbing beserta Prof. Dr. E. K. S. Harini Muntasib, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan dan saran selama proses penyelesaian studi.
Penulis menyadari bahwa mungkin saja masih
terdapat banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Berkaitan dengan itu, maka segala hal yang berkaitan dengan kekurangan-kekurangan tersebut merupakan kekeliruan penulis dan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis. Peran masyarakat, tokoh masyarakat, pengurus organisasi masyarakat, dan aparat desa/kelurahan di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi dalam mensukseskan kegiatan penelitian yang penulis lakukan sangatlah besar. Demikian pula dengan aparat pemerintah Kecamatan Banawa dan Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala, pengusaha pariwisata dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah mendukung penulis dalam memberikan dukugan berupa data dan informasi yang disampaikan ketika wawancara dilakukan. Penulis berharap upaya yang telah mereka lakukan bersama penulis dalam mendiskusikan masalah pariwisata di wilayah ini dapat memberikan dorongan dan nilai tambah bagi upaya pembangunan pariwisata di Kabupaten Donggala. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menerima segala saran dan kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien
Bogor, Agustus 2008
Abdulbasir Languha
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Donggala pada tanggal 18 Oktober 1958 sebagai anak kedua dari tujuh bersaudara dari Ayah D. Languha dan Ibu Hanisa (Almarhumah). Menamatkan pendidikan masing-masing, Sekolah Dasar pada tahun 1970 di SDN No. 1 Donggala, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1973 di SMP Negeri 1 Donggala dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1976 di SMA Negeri Donggala.
Jenjang pendidikan Strata 1 diselesaikan pada Tahun 1987 pada
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Sejak tahun 1990, penulis bekerja sebagai tenaga pengajar pada Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu. Penulis memiliki seorang isteri bernama Nuraeni dan tiga orang putra-putri masing-masing Zainulmuttaqin Languha, Afifah Irbah Khairunnisa, dan Atikah Nur Khairunnisa. Pada bulan Agustus 2002, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.
UCAPAN TERIMAKASIH Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala ni’mat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut pertanian Bogor. Upaya yang penulis lakukan hingga saat ini, tidak akan terlaksana dengan baik tanpa bimbingan dan do’a dari orang tua penulis masing-masing Ayahanda D. Languha dan Ibunda Hanisa (almarhumah). Semoga jerih payah dan kasih sayang yang diberikannya kepada penulis dapat menempatkan mereka pada posisi yang terhormat disisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan selesainya penulisan penulisan tesis ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sangat tinggi kepada kedua pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran selama proses penyelesaian ini. Kedua pembimbing tersebut masing-masing: 1. Ibu Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, MSc., selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan 2. Ibu Prof. Dr. E. K. S. Harini Muntasib, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing. Disamping itu, ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Ibu Dr. Ir. Etty Riani, MS yang telah berkenan menjadi Penguji Luar Komisi pada ujian tesis penulis yang dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2008. Tiada sesuatu yang dapat penulis berikan kepada mereka bertiga kecuali do’a yang penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa semoga amal baik mereka mendapatkan ridha dari Allah SWT dan diberikan kelapangan dalam menjalankan tugas-tugas kesehariannya. Selanjutnya
kepada
isteri
tercinta,
Nuraeni,
serta
anak-anakku
Zainulmuttaqin Languha, Afifah Irbah Khairunnisa, dan Atikah Nur Khairunnisa, terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis berikan atas pengorbanan yang mereka berikan selama penulis menempuh pendidikan. Demikian pula ucapan terima kasih yang tinggi kepada adik-adikku Zohrah, Abdulhakim Languha, Abdurrasyid Languha, dan Zalichah atas segala perhatian dan bantuan yang
selama ini diberikan kepada penulis. Semoga Allah meridhai dan memberikan limpahan rahmatNya. Akhirnya, kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik materil maupun moril penulis ucapkan banyak terima kasih, semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmatNya kepada mereka. Amien.
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Donggala merupakan salahsatu wilayah yang terdapat di Provinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah 10.472 km² yang terdiri atas 16 wilayah kecamatan. Daerah ini memiliki potensi pariwisata yang sudah dikenal hingga mancanegara seperti Taman Nasional Lore Lindu, Taman Wisata Laut Pulau Pasoso, dan Pantai Tanjung Karang. Disamping lokasi-lokasi tersebut, daerah ini juga memiliki potensi lokasi wisata lainnya yang secara tradisional sudah dimanfaatkan oleh masyarakat seperti Air Terjun Loli, Air Terjun Vera, Air Panas Mantikole, Pantai Parimpi, Pantai Pusentasi, Danau Talaga, dan Danau Rano. Berdasarkan
kondisi
tersebut,
pemerintah
Kabupaten
Donggala
menetapkan pariwisata sebagai salahsatu sektor unggulan disamping pertanian, perkebunan, dan perikanan (Pemda Kabupaten Donggala, 2005). Rencana tata ruang Kabupaten Donggala tahun 1999-2009 menetapkan lokasi-lokasi tersebut sebagai kawasan pengembangan pariwisata. Penetapan tersebut didasarkan pada minat masyarakat untuk berkunjung juga disebabkan lokasi-lokasi tersebut memiliki pemandangan alam yang indah, potensi budaya yang dimiliki oleh masyarakat sekitarnya, dan potensi flora dan fauna yang dimilikinya (Bappeda Kabupaten Donggala, 1999). Salahsatu lokasi tujuan wisata di Kabupaten Donggala yang saat ini sedang berkembang adalah Kawasan Wisata Pantai Tanjungkarang dan Pusentasi yang terletak di wilayah Kecamatan Banawa. Kegiatan pariwisata di kawasaan pantai ini telah berlangsung sejak lama, dan secara tradisional merupakan lokasi wisata masyarakat Donggala dan sekitarnya, termasuk yang berasal dari Kota Palu. Karena potensi alam yang dimiliki, maka saat ini lokasi tersebut telah dikelola oleh pemerintah dan swasta serta dijadikan sebagai salah satu lokasi kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang cukup dikenal terutama yang berasal dari Eropa. Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala dalam rencana strategis pembangunan
pariwisata
telah
menetapkan
salahsatu
arahan
kebijakan
2
pembangunan pariwisata, yaitu meningkatkan peran aktif masyarakat di dalam mengelola dan mengembangkan kegiatan pariwisata (Disparsenibud Donggala, 2002). Kebijakan ini memang sangat beralasan karena pada dasarnya kawasan yang dikembangkan menjadi obyek wisata tersebut merupakan wilayah usaha masyarakat setempat yang dilakukan dengan berbagai aktifitas seperti perikanan, pertanian dan peternakan. Disamping itu pada kawasan ini juga terdapat kegiatan industri rumah tangga penduduk setempat berupa pembuatan sarung tenun Donggala, yang merupakan ciri khas sarung tenunan lokal Sulawesi Tengah serta potensi sosial budaya masyarakat yang dapat dikembangkan menjadi produkproduk wisata. Meskipun demikian, berdasarkan studi yang telah dilakukan pada lokasi wisata Tanjungkarang dan sekitarnya menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat belum terlibat langsung pada kegiatan
pengelolaan pariwisata
(Agusniatih, 2002). Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, penelitian ini berusaha untuk menggali dan mempelajari aspek-aspek yang berkaitan dengan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, konsep dan kebijakan pemerintah serta keterlibatan pihak lain diluar masyarakat dan pemerintah seperti pihak swasta yang bergerak di bidang pariwisata dan lembaga swadaya masyarakat. Studi ini beranjak dari asumsi bahwa berbagai persoalan yang timbul dari suatu pengelolaan
sumberdaya
alam,
termasuk
pariwisata,
disebabkan
tidak
dilibatkannya masyarakat berdasarkan kepentingan dan potensi sosial budaya yang dimilikinya.
Padahal, menurut Huguinen (2000) masyarakat memiliki
pengalaman empirik dan pengetahuan yang berkaitan dengan kondisi sumber daya alam yang terdapat disekitar lingkungan kehidupannya. Pengetahuan tersebut kemudian, menurut Flyman (2002) membentuk sistim pengelolaan oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupannya. Salah satu sifat dari kegiatan pariwisata adalah “konsumsi dilakukan di tempat dan pada saat yang sama dengan produksi”, sehingga
wisatawan yang
datang akan mempengaruhi tempat tujuan wisata secara ekonomi, sosial dan budaya (Cooper et al., 1999). Hal ini menunjukkan bahwa kepariwisataan sangat potensial untuk dikembangkan pada saat krisis karena disamping untuk
3
meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi dan lapangan kerja bagi masyarakat (Sashidaran et al., 2002). Akibat positif dari pembangunan pariwisata tersebut ternyata juga menghasilkan berbagai akibat negatif yang berkaitan dengan aspek sosio-kultural dan lingkungan pada banyak lokasi tujuan wisata, terutama di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Akibat-akibat negatif yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata
dapat berupa peningkatan harga lahan, degradasi
budaya dan akulturasi, masuknya spesies asing ke dalam flora dan fauna lokal, kerusakan lokasi warisan budaya, kerusakan terumbu karang, sampai pada pencemaran akibat pembuangan sampah dan kotoran pada lokasi tujuan wisata yang terkenal dan padat pengunjung (Sashidaran et al., 2002). Keadaan tersebut hanya merupakan beberapa akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata. Akibat lainnya yang sangat penting terutama bagi kelestarian potensi sumber daya alam yang menjadi salahsatu daya tarik wisata adalah perebutan atau konflik kepentingan pemanfaatan sumberdaya alam oleh berbagai pihak seperti masyarakat lokal, pihak swasta yang berasal dari luar dan pemerintah. Salah satu upaya untuk mengatasi berbagai dampak negatif dan konflik tersebut adalah dengan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Karena kegiatan pariwisata merupakan kegiatan usaha yang menitik beratkan aspek sumberdaya alam dan budaya sebagai bahan baku produknya maka pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk mengkaji dan mengembangkan konsep tersebut. Menurut Adhikari (2001)
pengelolaan sumberdaya alam berbasis
masyarakat, termasuk didalamnya pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, merupakan suatu konsep pengelolaan yang dilakukan oleh, untuk, dan dengan masyarakat lokal dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup, jaminan dan penguatan masyarakat lokal serta untuk meningkatkan upaya perlindungan terhadap sumberdaya alam tersebut. Sehingga pariwisata berbasis masyarakat dapat dipandang sebagai suatu alat untuk konservasi sumberdaya alam dan budaya serta untuk pembangunan masyarakat (Harris dan Vogel, 2004) .
4
1.2. Rumusan Masalah Penerapan konsep pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu alternatif untuk mengatasi akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh konsep tersebut mendapat dukungan dari kondisi sosio-kultural masyarakat setempat, kebijakan pemerintah dan keterlibatan pihak lain seperti swasta dan LSM yang berkepentingan terhadap kegiatan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pertanyaan pokok yang diangkat didalam penelitian ini adalah ” bagaimana bentuk pengelolaan pariwisata berdasarkan persepsi masyarakat yang dapat dikembangkan ”, yang dibagi menjadi beberapa pertanyaan dan diharapkan dapat mendukung ditemukannya jawaban bagi pertanyaan pokok tersebut, sebagai berikut : 1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut. 2. Sejauhmana masyarakat masih memiliki kelembagaan (pranata) sosial, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaaan sumber dayaalam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berdasarkan persepsi masyarakat. 3. Bagaimana pemerintah dan pihak lainnya diluar masyarakat lokal memandang pentingnya peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata.
1.3. Kerangka Pemikiran Kegiatan pariwisata sebagai salahsatu bentuk pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang tersedia saat ini telah semakin berkembang. Perkembangan ini melibatkan semua komponen yang terdapat didalam suatu masyarakat, baik masyarakat lokal maupun individu ataupun kelompok usahawan/swasta yang berasal dari luar suatu wilayah tertentu, termasuk pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan pembangunan. Kemajuan dari kegiatan pariwisata telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat dan pemerintah. Manfaat tersebut
disamping untuk
meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi
5
dan lapangan kerja bagi masyarakat. Pada kenyataannya disamping memberikan manfaat, kegiatan pariwisata juga memberikan akibat yang negatif terutama bagi masyarakat yang terdapat di sekitar wilayah/lokasi kegiatan pariwisata. Dengan kata lain, bahwa perkembangan kegiatan pariwisata di suatu wilayah/lokasi belum tentu dapat dirasakan oleh semua pihak, terutama masyarakat lokal, yang disebabkan oleh konsep atau sistim pengelolaan yang belum memberikan peluang bagi semua pihak untuk mengambil peran dan mendapatkan manfaat dari kegiatan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, suatu konsep yang memberikan kesempatan kepada semua pihak terutama masyarakat lokal, telah ditawarkan dan dikembangkan pada berbagai tempat didunia, yang disebut dengan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Menurut Harris dan Vogel (2004) konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat pada dasarnya adalah sebuah pendekatan pengelolaan yang memberikan kesempatan kepada masyarakat sebagai pemeran utama dalam pengambilan keputusan-keputusan pengelolaan. Konsep tersebut dikembangkan berdasarkan pada persepsi masyarakat terhadap usaha yang akan dikembangkan. Peran masyarakat tersebut tidak terlepas dari interaksinya dengan pemerintah dan pihak lain yang berasal dari luar. Disamping itu potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi dan budaya menjadi modal bagi pengembangan konsep tersebut. Konsep pariwisata berbasis masyarakat menunjuk pada adanya dua pilar sosial sebagai subyek pelaku, yaitu pengusaha wisata dan masyarakat lokal. Kegiatan pariwisata berbasis masyarakat adalah proses interaksi sinergis kekuatan-kekuatan sosial ekonomi dari kedua pilar tersebut serta keberadaan pemerintah sebagai sebagai pemegang kendali kebijakan. Secara skematis, kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.
6
Potensi sumberdaya alam dan sosial budaya masyarakat
Pemerintah
Masyarakat lokal
Pengusaha wisata
Konsep dan kebijakan pemerintah
Persepsi, harapan, dan potensi masyarakat
Persepsi/pandangan pengusaha dan LSM
Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian.
1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari dan mengembangkan
konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat berdasarkan : 1. Pandangan/persepsi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata dan harapan-harapan keterlibatannya dalam kegiatan tersebut. 2. Kearifan masyarakat lokal terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dijadikan landasan bagi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. 3. Konsep pemerintah dan pihak lainnya diluar masyarakat lokal dalam kaitannya dengan pengembangan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
7
1.5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi : 1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dan perencana lainnya dalam melakukan perencanaan pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. 2. Sebagai sumber informasi bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perencanaan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata Pariwisata merupakan suatu kegiatan perjalanan sementara seseorang ke tempat lain dari tempat tinggal dan tempat kerjanya serta melakukan berbagai kegiatan selama berada ditempat tujuan dan memperoleh kemudahan dalam penyediaan berbagai kebutuhan yang diperlukan (Mathieson dan Wall, 1992). Burkart dan Medik (1981) dalam Ross (1998) menggambarkan bahwa kegiatan tersebut dilakukan oleh para wisatawan dengan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mengadakan perjalanan ke dan tinggal diberbagai tempat tujuan. 2. Tempat yang dituju dalam kegiatan tersebut berbeda dari tempat tinggal dan tempat kerjanya sehari-hari. Oleh karena itu kegiatan yang dilakukan tidak sama dengan kegiatan penduduk yang berdiam dan bekerja ditempat tujuan wisatawan. 3. Orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut (wisatawan) bermaksud pulang kembali dalam beberapa hari atau bulan. Karena itu perjalanannya bersifat sementara dan berjangka pendek. 4. Perjalanan dilakukan bukan untuk mencari tempat tinggal untuk menetap ditempat tujuan atau bekerja untuk mencari nafkah. Spillane (1987) memberikan gambaran bahwa pariwisata merupakan suatu perjalanan dari satu tempat ketempat lain, bersifat sementara, dilakukan secara perorangan maupun secara kelompok sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Disamping itu, menurut Cooper et al., (1999) kegiatan pariwisata memiliki suatu kelebihan dimana “konsumsi dilakukan di tempat dan pada saat yang sama dengan produksi”, sehingga dengan demikian wisatawan yang datang akan mempengaruhi tempat tujuan wisata secara ekonomi, sosial dan budaya. Dari gambaran-gambaran yang dikemukakan tersebut dapat dikatakan bahwa pariwisata merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya sekedar dilakukan untuk melakukan perjalanan dan menikmati suasana di tempat tujuan tetapi juga
10
memberi makna yang luas. Oleh karenanya kegiatan pariwisata juga memiliki dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan dan berbagai interaksi antara berbagai aspek kehidupan manusia.
Berkaitan hal ini,
Pendit (2003)
mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan sebuah industri yang didalamnya terdapat setidaknya sepuluh unsur pokok yaitu politik/kebijakan pemerintah, perasaan ingin tahu yang melahirkan keinginan untuk berwisata, sifat ramah tamah, aksesibilitas, akomodasi, transportasi, harga, publisitas dan promosi, dan kesempatan berbelanja bagi wisatawan. Secara garis besar, pariwisata dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu pariwisata alam dan pariwisata budaya. Pariwisata alam atau nature tourism atau nature-based tourism adalah seluruh bentuk pariwisata yang secara langsung tergantung pada sumber daya alam yang belum berkembang/dikembangkan, termasuk pemandangan, topografi, perairan, tumbuhan dan hewan liar (World Conservation Union, 1996 dalam Tribuwani, 2002). Selanjutnya Raharjo (2000) dalam Winarso (2004) mengemukakan bahwa kegiatan wisata alam memiliki prinsip-prinsip yaitu kontak dengan alam, pengalaman yang bermanfaat secara pribadi maupun sosial, bukan merupakan mass tourism, mencari tantangan fisik dan mental, interaksi dengan masyarakat dan belajar budaya setempat, adaptif terhadap kondisi akomodasi pedesaan, toleran terhadap ketidaknyamanan, partisipasi aktif, dan lebih mengutamakan pengalaman dibanding kenyamanan. Berdasarkan hal tersebut, maka secara prinsip pariwisata alam tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan pariwisata budaya. Meskipun demikian, wisata budaya dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan perjalanan yang semata-mata hanya untuk pemahaman mendalam terhadap obyek atau peristiwa budaya disuatu tempat tertentu (McKercher, 2002 dalam Suranti, 2005). 2.2. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat merupakan suatu proses keterlibatan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya alam dimana mereka
menggantungkan
Reconstruction, 1998).
hidupnya
(International
Institute
of
Rural
Adhikari (2001) mengemukakan bahwa pengelolaan
sumberdaya alam berbasis masyarakat merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan oleh, untuk dan dengan masyarakat lokal yang
11
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan penguatan masyarakat lokal serta dalam rangka perlindungan terhadap sumberdaya alam. Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat tergantung pada partisipasi masyarakat lokal dan hal tersebut dapat berlangsung bila ada manfaat yang nyata diperoleh dari keterlibatan tersebut, akses yang tidak terhambat serta status akan hak kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut (Adhikari, 2001).
Hal ini berarti bahwa masyarakat harus memiliki
tanggungjawab yang penuh dan otonomi terhadap perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam (Uphoff, 2002) Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan tidak hanya ditentukan oleh penggunaan teknologi yang tepat, tetapi juga sangat ditentukan oleh sejauhmana keterlibatan institusi lokal (Rasmussen dan MeinzenDick, 1995 ; Selman, 2001).
Keterlibatan masyarakat dan institusi lokal
diharapkan dapat menghasilkan perencanaan pembangunan dan terbentuknya konsensus yang berkaitan dengan keadaan lingkungan saat itu (Innes, 1996; Selman, 2001).
Selanjutnya, keberhasilan pendekatan partisipasi lokal akan
sangat ditentukan oleh adanya modal sosial (social capital) yang terdiri dari organisasi-organisasi masyarakat, struktur masyarakat dan hubungan antar individu yang terbangun didalam masyarakat tersebut (Selman, 2001). Konsep pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat seringkali diasosiasikan dengan berbagai istilah yang berkaitan seperti pengelolaan sumberdaya masyarakat (community resource management), pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (community-based coastal resource management), kehutanan masyarakat (community forestry),
co-management
(Carr et al., 1998), collaborative management (Allmendinger, 2002). Konsep-konsep
tersebut
pada
dasarnya
ditujukan
agar
dapat
mengakomodasi peranserta masyarakat yang bermukim disekitar wilayah pengelolaan.
Perencanaan pengelolaan lingkungan dan upaya meningkatkan
pembangunan berkelanjutan pada tingkat lokal akan sangat ditentukan oleh partisipasi aktif masyarakat sekitar yang akan dipengaruhi oleh upaya pengelolaan tersebut (Selman, 2001).
12
2.3. Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat Pariwisata berbasis masyarakat adalah pariwisata yang secara de facto direncanakan dan dikelola oleh suatu kelompok individu/rumahtangga yang terdiri dari masyarakat sebagai suatu kelompok usaha komunal. Kegiatan tersebut dapat pula dikelola oleh suatu perusahaan swasta dimana agenda kegiatannya disusun oleh masyarakat (Sharma, 1998b dalam Godde, 1998). Selanjutnya, Ngece (2002) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata sebagai kegiatan yang berbasis masyarakat bila masyarakat lokal memiliki kontrol yang kuat dan terlibat didalam kegiatan pariwisata dimana sebagian besar, jika tidak keseluruhan, manfaatnya dapat tinggal dan diperoleh masyarakat. Beberapa alasan yang mendasari betapa pentingnya posisi dan peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata, seperti yang dikemukakan oleh Godde (1998) sebagai berikut : Pertama ; adanya peningkatan demand akan wisata terhdap sumbersumber alam yang terdapat dilingkungan pada umumnya menunjukan adanya tekanan yang besar terhadap peran pengelolaan oleh masyarakat, Kedua ; kegiatan pariwisata berbasis masyarakat
diharapkan akan
meningkatkan kondisi sosial ekonomi suatu masyarakat, Ketiga ; pariwisata berbasis masyarakat dapat memenuhi keinginan kita akan adanya suatu identitas budaya masyarakat yang diharapkan dapat menghambat akibat negatif dari pariwisata. Keempat ; pariwisata berbasis masyarakat juga dapat menciptakan suatu struktur perencanaan, implementasi dan monitoring kegiatan pariwisata yang efektif serta untuk memudahkan dalam menentukan skala aktifitas ekonomi yang tepat. Harris dan Vogel (2004) mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata yang berbasis masyarakat dapat memberikan kontribusi dan insentif bagi perlindungan alam dan budaya disamping memberikan kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Oleh karena itu, konsep pariwisata berbasis masyarakat dapat dikatakan ada apabila keputusan mengenai aktifitas wisata dan pengembangannya dikendalikan oleh masyarakat setempat.
Menurut Godde (1998) masyarakat
13
berperan sebagai pemimpin dalam perencanaan, pengelolaan dan pemilik dari kegiatan wisata tersebut. Beberapa ciri-ciri pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Harris dan Vogel (2004) adalah sebagai berikut : 1. Kegiatan pariwisata dijalankan dan berdasarkan persetujuan masyarakat lokal.
Berkaitan hal ini, masyarakat lokal harus berpatisipasi dalam
perencanaan dan pengelolaan wisata. 2. Diutamakan pelibatan masyarakat daripada pelibatan individu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pelibatan secara individu akan lebih memungkinkan terjadinya gangguan sosial. 3. Adanya pembagian keuntungan
yang adil bagi masyarakat lokal.
Idealnya hal ini juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan sosial masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan. 4. Menghormati budaya tradisional dan struktur sosial setempat serta dilakukan dengan ramah lingkungan. 2.4. Pengembangan Masyarakat Masyarakat adalah suatu kata yang memiliki berbagai macam makna dan penggunaan. Pada umumnya, masyarakat dipandang sebagai kumpulan orangorang yang bermukim di suatu tempat tertentu, atau suatu populasi yang memiliki suatu karakter yang sama (Nisbet, 1969 dalam Doe dan Khan, 2004). Namun demikian, Reid (1999) dalam USDA (2005) mengemukakan bahwa masyarakat dapat pula didefinisikan sebagai suatu kekayaan budaya bersama, bahasa, dan kepercayaan ataupun kepentingan bersama (yang sering disebut sebagai communities of interest). Selanjutnya Agrawal dan Gibson (1999) mengemukakan bahwa masyarakat terbentuk dari suatu unit spasial yang kecil, memiliki struktur sosial yang homogen, dan memiliki kepentingan bersama serta norma yang sama. Kata pengembangan dalam istilah pengembangan masyarakat memiliki pengertian yang sama dengan pembangunan (development). Dengan demikian, maka pengembangan masyarakat (community development) merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk membangun kemampuan masyarakat dalam berbagai aspek.
Frank dan Smith (1999) mengemukakan bahwa pengembangan
masyarakat merupakan suatu proses perubahan yang terencana menyangkut hajat
14
hidup masyarakat dalam segala aspek (ekonomi, sosial, lingkungan, dan budaya). Upaya pengembangan masyarakat tersebut menurut Robert D. Putnam (Frank dan Smith , 2005) dibangun berdasarkan atas empat sumberdaya yang penting yaitu modal sosial, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan finansial. Pengembangan masyarakat diyakini sebagai suatu proses pembangunan yang lebih bersifat partisipatif dan pemecahan masalah dilakukan secara bersamasama (cooperative) oleh semua pihak yang berkepentingan (Fuller dan Reid, 1998 dalam Pinel, 1999). Dengan demikian berarti bahwa aktifitas pengembangan masyarakat merupakan upaya yang sangat tepat dalam rangka pemberdayaan (empowerment) masyarakat, terutama masyarakat lokal yang masih memiliki berbagai keterbatasan. 2.5. Persepsi dan Partisipasi Persepsi pada umumnya menjadi dasar bagi sikap dan perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat. Adiputro (1999) mengemukakan bahwa persepsi merupakan pendapat, sikap dan prilaku yang bersifat pribadi dan subyektif yang mempunyai arti penting dan kedudukan yang kuat dalam diri manusia. Menurut Sarwono (2002) persepsi dalam pengertian psikologi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah penginderaan (penglihatan, pendengaran, peraba dan sebagainya). Sedangkan alat untuk memahaminya adalah kesadaran atau kognisi. Bagaimana persepsi sesorang tentang sesuatu sangat tergantung pada komunikasi atau seberapa jauh terdapat hubungan-hubungan antara keduanya. Perbedaan persepsi antara satu orang dengan orang lainnya menurut Sarwono (2002) disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1)
Perhatian ;
rangsangan yang ada di sekitar kita tidak kita tangkap sekaligus, tapi kita hanya menfokuskan pada satu atau dua obyek saja. Perbedaan fokus antara satu orang dengan yang lainnya akan menyebabkan perbedaan persepsi, 2) Set ; adalah harapan seseorang akan rangsangan yang akan timbul, misalnya seorang pelari yang siap digaris start terhadap set bahwa akan terdengar letusan pistol disaat ia harus berlari, 3) Kebutuhan ; kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun yang menetap akan mempengaruhi persepsi orang tersebut, 4) Sistem nilai seperti adat istiadat dan kepercayaan yang berlaku dalam suatu masyarakat berpengaruh pula terhadap
15
persepsi, dan 5) Ciri kepribadian misalnya watak, karakter, kebiasaan akan mempengaruhi pula persepsi sesorang. Partisipasi secara sederhana memiliki arti peran serta seseorang atau sekelompok orang ataupun sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya untuk mencapai sesuatu yang diinginkan oleh pihak yang berperan tersebut (Sumardjo, 2003).
Sedangkan
Sastroepoetro, (1988) dalam
Illahi, (1998)menyatakan
partisipasi sebagai keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggungjawab terhadap kepentingan untuk mencapai tujuan. Partisipasi masyarakat akan memiliki nilai bagi pembangunan bila masyarakat memahami arti dan tujuan partisipasi mereka. Oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan mengandung unsur edukasi. Partisipasi merupakan kegiatan yang bersifat sukarela yaitu adanya kebebasan dan keinginan yang dilandasi oleh kesadaran individu atau masyarakat untuk terlibat dan ikut serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat memiliki tingkatan yang beragam mulai dari sekedar memperoleh informasi hingga terbangunnya inisiatif yang dilakukan oleh masyarakat tersebut. Pada Tabel 1 dikemukakan tingkat/level partisipasi yang dikemukakan oleh Pretty (1994). Tabel 1. Tingkatan/level partisipasi masyarakat Tipologi
Komponen dari masing-masing tipe
Partisipasi pasif
Masyarakat berpartisipasi karena diberitahu apa yang akan dan telah terjadi. Pengarahan dilakukan oleh penguasa ataupun pejabat proyek, respon masyarakat tidak menjadi pertimbangan. Informasi yang diberikan adalah milik para profesional dari luar masyarakat setempat.
Partisipasi dalam memberikan informasi
Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dari luar maupun manager proyek dengan menggunakan kuesioner, survei, ataupun pendekatan sejenis. Mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi proses, karena hasil penelitian ataupun desain proyek tidak diberitahukan atau dicek kebenarannya.
Partisipasi dengan konsultasi
Masyarakat berpartisipasi dengan cara diminta pendapatnya, dan agen dari luar mendengarkan pandangan masyarakat tersebut. Agen dari luar mendefinisikan masalah dan cara penyelesaiannya, serta dapat mengubahnya setelah mengetahui respon masyarakat. Proses konsultasi tersebut tidak melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan, dan para profesional tidak wajib mengikuti pandangan.
16
Partisipasi untuk insentif material
Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan sarana, tenaga kerja dengan imbalan seperti makanan, uang, atau insentif material lainnya. Masyarakat setempat terlibat dalam kegiatan itu tetapi tidak terlibat didalam proses belajar. Partisipasi tersebut biasanya akan berhenti dengan selesainya proyek.
Partisipasi fungsional
Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan yang berhubungan dengan proyek. Inisiatif proyek dapat berasal dari luar masyarakat. Keterlibatan mereka biasanya tidak sejak awal atau tahap perencanaan, namun baru mulai setelah keputusan utama diambil. Pada partisipasi jenis ini, kelompok yang terbentuk cenderung tergantung pada inisiatif eksternal dan fasilitator, tetapi juga bisa menjadi mandiri.
Partisipasi interaktif
Masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, yang kemudian diikuti dengan rencana aksi dan pembentukan kelompok lokal atau memperkuat yang telah ada. Cara ini cenderung dilaksanakan melibatkan banyak pihak dengan metode interdisipliner, yang mencari berbagai perspektif dan menggunakan proses belajar terstruktur ataupun sistematis. Kelompok ini mengontrol pengambilan keputusan lokal, dan juga orang (lokal) memiliki kepedulian dalam pengelolaan program.
Mobilisasi diri sendiri/Mandiri
Masyarakat berpartisipasi dengan cara mengambil inisiatif yang bebas dari institusi eksternal untuk membuat perubahan. Mobilisasi mandiri dan kegiatan bersama dilakukan untuk mengubah keadaan dan pembaharuan dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan. Sumber : Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997).
III. GAMBARAN UMUM WILAYAH 3.1. Letak Geografis Kawasan Wisata Tanjungkarang-Pusentasi merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. Kecamatan Banawa adalah salahsatu dari 19 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Donggala. Wilayah ini membentang di sepanjang pesisir pantai mulai dari bagian barat Teluk Palu hingga Selat Makassar yang membentang dari arah utara ke selatan dengan panjang pantai ± 35 kilometer. Kecamatan Banawa, yang saat ini merupakan ibukota Kabupaten Donggala,
terletak antara 0°9´-0°1´ LS dan 119°34´-119°10´ BT dengan batas
fisik wilayah yaitu : -
Sebelah utara berbatasan dengan Teluk Palu,
-
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Banawa Selatan,
-
Sebelah timur berbatasan dengan Kota Palu, dan
-
Sebelah barat berbatasan dengan Selat Makassar.
Kecamatan Banawa memiliki luas 213,39 km², yang terdiri dari 17 desa dan kelurahan. Semua desa dan kelurahan dapat dilalui dengan kendaraan roda empat, sehingga mempermudah hubungan antara satu desa/kelurahan ke ibukota kecamatan dan dengan desa/kelurahan lainnya. Secara khusus, Kawasan Wisata Tanjung Karang-Pusentasi mencakup dua wilayah Kelurahan dan dua Desa yaitu Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, Desa Limboro, dan Desa Tovale. Meskipun demikian, fokus kegiatan pariwisata hanya terdapat pada lokasi Tanjung Karang yang merupakan bagian dari wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, dan Dusun Kaluku yang merupakan bagian dari wilayah Desa Limboro, serta salah satu lokasi yang dikenal dengan nama Pusentasi terletak diujung Desa Tovale dan tidak dihuni oleh masyarakat.
Kawasan ini berada pada ujung barat Teluk Palu, yang
memanjang dari utara ke selatan sepanjang ± 10 kilometer dan sebagian besar terletak di Selat Makassar.
18
Pusentasi
Gambar 2. Peta lokasi penelitian 3.2. Iklim dan Curah hujan Sebagaimana dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia, Kabupaten Donggala memiliki dua musim yaitu musim panas dan musim hujan. Musim panas terjadi antara bulan April sampai September, sedangkan musim hujan pada bulan Oktober sampai Maret. Hasil pencatatan suhu udara pada Stasiun Udara Mutiara Palu pada tahun 2005 bahwa suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Juli (34,0° C) dan suhu udara maksimum terendah terjadi pada bulan Nopember (31,6° C). Sementara suhu rata-rata minimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu 23,8° C, sedangkan suhu udara minimum terendah terjadi pada bulan Juni yang mencapai 22,1° C (Badan Meteorologi dan Geofisika Palu, 2006). Kelembaban udara yang tercatat pada stasiun yang sama berkisar antara 73 – 82 persen. Kelembaban udara rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Pebruari yang mencapai 82 persen, sedangkan kelembaban udara rata-rata terendah terjadi
19
pada bulan Juli dan Agustus yaitu 73 persen. Curah hujan pada tahun 2005 yaitu antara 27-281 mm perbulan atau rata-rata 148,08 mm perbulan, sementara jumlah hari hujan berkisar anatara 4-13 hari perbulan atau rata-rata 8,25 hari perbulan. Penyinaran matahari rata-rata 69%, dan penguapan rata-rata 6,14 mm/hari. Tabel 2. Keadaan curah hujan di Kecamatan Banawa tahun 2006 Lokasi pengukuran Banawa
Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Hari hujan
Curah hujan (mm)
12 8 11 9 7 5 13 4 6 4 11 9
281 125 200 183 265 81 177 27 35 29 202 172
Sumber : Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006 3.3. Kondisi hidrologi Secara umum, keadaan hidrologi di Kecamatan Banawa sama dengan kecamatan lainnya di Kabupaten Donggala. Di Kecamatan Banawa terdapat beberapa buah sungai yang keadaan airnya sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya curah hujan. Sungai-sungai tersebut masing-masing terdapat di Desa Loli Oge, Loli Tasiburi, Kabonga Besar, Limboro dan Tovale, serta satu buah sungai yang membelah kota Donggala. Khusus untuk ketiga lokasi yang masuk kedalam kawasan wisata yaitu Tanjung Karang, Boneoge dan Dusun Kaluku tidak terdapat sungai. Selain Tanjung Karang, kedua lokasi tersebut memiliki sumber air tanah yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk keperluannya sehari-hari dengan menggali sumur di sekitar pemukiman mereka. Sementara, Tanjung Karang merupakan wilayah daratan yang menjorok ke laut, dengan wilayah dataran yang relatif sempit dan tidak memiliki sumber air tawar berupa air tanah seperti yang dimiliki oleh kedua lokasi lainnya. Karenanya untuk kebutuhan air bagi warga dan wisatawan sangat tergantung pada suplai air dari Perusahaan Daerah Air Mimum (PDAM) di Donggala.
20
3.4. Geologi dan Topografi Kawasan Kecamatan Banawa merupakan bagian dari wilayah Dataran Bambamua-Tanah Mea, yang secara geologi terdiri dari endapan-endapan pantai dan alluvial baru yang berasal dari sedimen yang lebih tua. Tanahnya bertekstur sedang dengan drainase dari lambat sampai agak baik. Topografi dari datar sampai bergelombang. Dataran-dataran yang lebih sempit/kecil terdapat di wilayah pesisir pantai. Kawasan pesisir kecamatan Banawa merupakan dataran yang berbatasan dengan laut, dengan ketinggian antara 0 - 100 meter dari permukaaan laut. Topografi relatif sedang dengan kemiringan tanah 2 – 15 %. Disepanjang pantai membentang pasir putih dan rataan terumbu karang (reef flat), yang merupakan habitat beberapa jenis ikan karang (Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Tengah, 2003). Keadaan topografi wilayah di kawsan wisata Tanjung Karang Pusentasi tersebut dikemukakan pada Tabel berikut. Tabel 3. Luas wilayah dan keadaan topografi di wilayah penelitian
(km²)
Dataran
Perbukitan
Pegunungan
Boneoge
5,50
40
60
-
Ketinggian dari permukaan laut (meter) 0 – 250
Labuan Bajo
5,50
50
50
-
0 – 250
Limboro
23,46
60
40
-
0 – 200
Desa/Kelurahan
Bentuk permukaan tanah (%)
Luas
Sumber: Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006 3.5. Tipologi dan Ekosistem Pantai Kawasan pantai Tanjung Karang - Pusentasi sebagian didominasi oleh jenis batuan lepas (rawan longsor) dan karang pantai seperti yang terdapat pada bagian ujung selatan Boneoge sampai Dusun Kaluku, Limboro, sedangkan pantai yang landai dan berpasir sebagian besar terdapat pada bagian tengah hingga utara Desa Boneoge dan Tanjung Karang. Di bagian utara kawasan ini terdapat terumbu pantai yang relatif sempit, dan rataan tengah yang relatif lebar. Disamping itu terdapat pula suatu patch reef (gosong) dengan lebar sekitar 100 meter dan kedalaman antara 1 – 2 meter pada saat air surut. Gosong tersebut memanjang dari Tanjung Karang ke Wilayah
21
Boneoge. Di kawasan ini, khususnya di Boneoge dan Dusun Kaluku (Limboro) sebagian ditumbuhi oleh lamun dari jenis Enhallus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Syringgoinium sp. Berdasarkan laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah (2003) pada beberapa tempat telah terjadi kerusakan karang yang disebabkan oleh aktifitas manusia berupa pengambilan batu karang untuk bahan bangunan dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan potasium. Disamping itu kerusakan yang terjadi juga disebabkan oleh organisme pemangsanya yaitu bintang laut bermahkota duri atau Acanthaster plancii. Pantai di kawasan ini umumnya ditumbuhi oleh vegetasi hutan pantai seperti jenis Ketapang (Terminalia catappa), Beringin (Ficus benyamina), dan Bayam (Intsia bijuga). Pada bagian lain sebagian besar ditumbuhi oleh pohon kelapa milik masyarakat. Disamping itu juga terdapat beberapa jenis burung seperti burung Gosong (Megapodius bernsteinee), Dara Laut (Sterna hirundo), Elang Perut Putih (Haliaeetus leucogaster), dan Nuri atau Betet kelapa punggung biru (Tanygnathus sumatranus). Sedangkan jenis fauna yang lainnya adalah Biawak (Varanus sp.), Musang Sulawesi (Macrogalidea Musschenbroeki), dan Penyu (Celonia sp.) (Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah, 2003). 3.6.
Sosial Ekonomi dan Budaya
3.6.1. Penduduk Secara keseluruhan penduduk yang mendiami kelurahan dan desa di kawasan wisata ini berjumlah 1424 KK atau 6799 jiwa. Jumlah penduduk pada masing-masing kelurahan/desa diwilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin dan rata-rata per rumah tangga Luas wilayah (km²)
Rumah tangga
Penduduk
Limboro
5,50
366
Labuan Bajo
5,50
Boneoge
23,46
Desa/Kelurahan
Jumlah
Rata-rata per Rumah Tangga
Rata-rata per km²
1.565
4
521
394
2.371
6
431
663
2.863
4
67
1.423
6.799
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006
22
Jika dilihat jumlah penduduk sebanyak 6.799 jiwa dan dibandingkan dengan luas wilayah (37,94 km²), secara geografis kepadatan penduduk pada kawasan ini adalah 179,20 jiwa per km². Penduduk yang bermukim di wilayah ini memiliki mata pencaharian yang beragam, tetapi sebagaian besar diantara mereka bekerja sebagai nelayan. Gambaran tentang keragaman mata pencaharian penduduk disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Mata pencaharian penduduk di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi Mata pencaharian Desa/Kelurahan Dagang
Buruh dan lainnya
5
25
110
5
195
45
400
125
10
132
12
247
323
21
332
82
757
Petani
Peternak
177
6
21
Boneoge Jumlah
Limboro Labuan Bajo
Nelayan
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006 Bila dilihat pada tabel tersebut, sebagian besar masyarakat di kawasan ini menggantungkan hidupnya sebagai buruh dan lainnya yang terdiri dari kegiatankegiatan sebagai buruh
baik di pelabuhan Donggala maupun sebagai buruh
bangunan, pegawai negeri, sopir, serta beberapa kegiatan jasa baik sebagai sopir angkutan maupun sebagai ojek. Namun jika dicermati maka pekerjaan sebagai nelayan menempati posisi yang tertinggi disusul oleh pekerjaan sebagai petani, dan peternak. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat di wilayah penelitian, sebagian penduduk memiliki pekerjaan ganda seperti nelayan dan peternak, nelayan dan petani, ataupun nelayan dan sesekali bekerja sebagai buruh pelabuhan atau bangunan dan beberapa pekerjaan lainnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal tersebut terutama dilakukan pada saat musim tertentu yaitu musim barat ketika mereka tidak dapat melaut karena cuaca yang tidak memungkinkan. Keadaan tersebut dapat berlangsung selama kurang lebih tiga bulan yaitu pada bulan Desember, Januari, dan Pebruari.
23
3.6.2. Pendidikan dan Kesehatan Pendidikan dan kesehatan merupakan prasyarat bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera, disamping aspek-aspek yang lainnya. Di wilayah ini, fasilitas pendidikan dan kesehatan terdapat pada semua desa dan kelurahan meskipun tingkatnya disesuaikan dengan kondisi dan status wilayahnya. Keadaan sarana pendidikan dan kesehatan di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Sarana pendidikan dan kesehatan di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi Tingkat pendidikan
Sarana kesehatan
Desa/Kelurahan TK
SD
SLTP
SMA
Pustu/ Polindes
Pos KB
Limboro
1
1
1
-
1
1
Labuan Bajo
2
4
-
-
1
1
Boneoge
1
2
1
-
1
1
Sumber : Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006 Bila dilihat dari sarana pendidikan yang ada maka peluang masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sampai pada tingkat menengah cukup besar. Dengan demikian, sebagian penduduk di wilayah ini setidaknya memiliki tingkat pendidikan yang setara dengan sekolah lanjutan pertama dan selanjutan tingkat atas. Keadaan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan rinci karena saat ini tidak tersedia data yang menerangkan tentang tingkat pendidikan penduduk secara keseluruhan baik pada ketiga desa/kelurahan di kawasan wisata ini maupu Kecamatan Banawa secara keseluruhan. Sedangkan yang berkaitan dengan sarana kesehatan, yang tersedia baru berupa Puskesmas Pembantu (Pustu) masing-masing di desa Limboro, kelurahan Labuan Bajo dan Boneoge. Hal ini dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh (hanya sekitar 3 – 9 km) dari Kota Donggala yang memiliki sarana kesehatan yang lebih lengkap, sehingga masih memungkinkan bagi masyarakat untuk menjangkau dalam waktu yang tidak terlalu lama. Meskipun demikian, jika dilihat dari kepentingan wilayah ini sebagai suatu kawasan wisata yang banyak dikunjung orang dan memiliki peluang untuk menghadapi resiko didalam aktifitasnya maka sarana kesehatan yang lebih baik tentu sangat dibutuhkan.
24
3.6.3. Kelompok Etnis Masyarakat yang bermukim di wilayah Kecamatan Banawa terdiri dari berbagai etnis, meskipun didominasi oleh Suku Kaili sebagai kelompok etnis asli. Kelompok etnik lainnya yang terdapat di wilayah ini adalah Bugis, Jawa, Minahasa, dan kelompok etnik lainnya meskipun dalam jumlah yang kecil. Kehidupan antara etnis berlangsung rukun dan damai, dan terjalin interaksi yang baik antar mereka. Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam pemerintahan, komunikasi antar etnis, pendidikan, dan bahasa pergaulan sehari-hari. Bahasa daerah biasanya hanya digunakan untuk berkomunikasi secara internal pada masing-masing kelompok etnis. 3.7. Kegiatan Pariwisata di Kecamatan Banawa Kegiatan kepariwisataan di wilayah ini sebenarnya telah berlangsung sejak lama sebelum pemerintah menetapkannya sebagai salahsatu sektor prioritas. Hal ini dimungkinkan karena Kecamatan Banawa memiliki beberapa lokasi wisata yang dikenal dan merupakan tempat yang banyak dikunjungi oleh masyarakat baik yang bermukim di Kabupaten Donggala maupun Kota Palu dan sekitarnya. Lokasi wisata tersebut diantaranya Pemandian Loli yang terletak di Desa Loli Oge, Air terjun Loto yang terletak di Desa Loli Tasiburi, pantai pasir putih Tanjung Karang yang terletak di Kelurahan Labuan Bajo, Pantai Pasir Putih Boneoge di Kelurahan Boneoge, Pantai Pasir Putih Kaluku yang terletak di Dusun Kaluku Desa Limboro, dan Pantai Pusentasi di Desa Tovale. Pada dekade 1990an Pemerintah Daerah Kabupaten Donggala, mulai memberikan perhatian kepada wilayah ini karena memiliki potensi yang cukup besar bagi pembangunan daerah. Disamping kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan
pariwisata
sebagai
salahsatu
sektor
yang
terus
didorong
perkembangannya, juga karena kunjungan wisatawan lokal yang tetap stabil pada lokasi-lokasi tersebut serta mengalirnya kunjungan wisatawan mancanegara ke Tanjung Karang merupakan dorongan bagi pemerintah daerah untuk lebih serius dalam memberikan perhatiannya. Bukti keseriusan pemerintah daerah tersebut adalah dengan menjadikan sektor pariwisata sebagai salahsatu unggulan dan kemudian berdasarkan PERDA Nomor 6 Tahun 1995 dibentuk Dinas Pariwisata
25
di Kabupaten Donggala, yang selanjutnya berdasarkan PERDA Nomor 6 Tahun 2001 berubah menjadi Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya (Disparsenibud Donggala, 2002). Pada Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi terdapat beberapa lokasi yang sering dikunjungi oleh wisatawan yaitu Tanjung Karang, Boneoge, Kaluku, dan Pusentasi. Tanjung Karang merupakan lokasi yang merupakan sebuah tanjung diujung Teluk Palu dimana salahsatu sisi pantainya menghadap ke teluk sementara sisi yang lainnya menghadap ke Selat Makassar. Lokasi ini memiliki pantai pasir putih yang indah serta memiliki gugusan terumbu karang yang dekat dari pantai. Hal ini menyebabkan Tanjung Karang menjadi lokasi yang paling dikenal dan disukai oleh wisatawan dibanding lokasi lainnya di kawasan ini. Berdasarkan informasi yang dikemukakan oleh pengelola pintu masuk, lokasi ini dikunjungi oleh sekitar 200 – 700 orang wisatawan lokal setiap minggu (dihitung berdasarkan jumlah karcis pintu masuk yang terjual). Disamping wisatawan lokal yang biasanya berkunjung pada setiap hari Minggu, terutama minggu pertama dan kedua, lokasi ini juga banyak dikunjunhg oleh wisatawan mancanegara.
Gambar 3. Lokasi wisata Tanjung Karang dilihat dari salahsatu sisi
Lokasi Wisata Boneoge yang terletak sekitar 1 kilometer sebelah barat Tanjung Karang merupakan sebuah kelurahan yang memanjang dari arah timur ke barat dan memiliki pantai pasir putih membentang hampir disepanjang wilayahnya. Namun demikian, kondisi pantainya nampak tidak terurus karena sebagian besar dipenuhi oleh sampah yang sebagian besar terbawa oleh air laut
26
pada saat pasang, kecuali pada ujung bagian barat dimana terdapat pondok peristrahatan/penginapan yang dimiliki oleh Pemda Kabupaten Donggala. Dibandingkan dengan Tanjung Karang, lokasi ini agak jarang dikunjungi oleh wisatawan. Meskipun demikian, wisatawan lokal yang berkunjung ke Tanjung Karang sering melanjutkan perjalanan ke Boneoge untuk membeli ikan segar yang dijual oleh nelayan yang baru tiba melaut.
Gambar 4. Sebagian Pantai Boneoge yang belum terurus (kiri), dan sumur laut yang terdapat di Lokasi Pusentasi (kanan). Lokasi Wisata Pantai Kaluku yang terletak di Desa Limboro merupakan lokasi yang memiliki pantai yang landai dengan pasir putih yang indah serta memiliki gugusan terumbu karang yang merupakan salahsatu sumber mata pencaharian nelayan. Pada bagian lain dari lokasi ini terdapat sebuah batu karang berukuran besar terletak agak menjorok kelaut yang oleh masyarakat disebut dengan vatu nolanto (batu mengapung) yang sering digunakan untuk melakukan pesta adat untuk mendapatkan keselamatan dalam melakukan aktifitas melaut. Pada lokasi ini terdapat 5 buah pondok penginapan yang dimiliki oleh pengusaha
27
dari Palu, namun karena pengelolaan yang kurang baik lokasi ini sangat jarang dikunjungi. Lokasi yang terakhir adalah Pusentasi yang berjarang sekitar 500 meter dari Kaluku. Di lokasi ini terdapat sebuah sumur air laut yang terletak ± 75 meter dari bibir pantai yang oleh masyarakat disebut dengan pusentasi atau pusat laut. Pusentasi merupakan lokasi yang dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Donggala dan sering dijadikan sebagai lokasi festival budaya yang dilakukan oleh pemerintah. Di lokasi ini terdapat beberapa bangunan sebagai tempat peristrahatan bagi pengunjung dan sering pula digunakan sebagai ruang pameran dan berbagai aktifitas lainnya.
Setiap minggu lokasi ini ramai
dikunjungi oleh wisatawan lokal baik yang berasal dari Kota Palu maupun Donggala, tetapi tidak diperoleh catatan tentang jumlah pengunjung yang mendatangi lokasi ini. Berkaitan dengan potensi pariwisata baik alam maupun budaya yang tersedia, pemerintah daerah Kabupaten Donggala menjadikan lokasi-lokasi yang terdapat di kawasan ini sebagai bagian dari prioritas pengembangan pariwisata (Bappeda Kabupaten Donggala, 1999).
Berdasarkan rencana strategi
pengembangan kepariwisataan Kabupaten Donggala, aspek-aspek yang perlu mendapat perhatian adalah dalam hal pengembangan produk yang khas dan memiliki daya tarik, promosi, peningkatan keterampilan pengelola, dan pengembangan kelembagaan (Disparsenibud Donggala, 2002). 3.8. Tipologi wisatawan Wisatawan yang berkunjung di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasiterdiri dari wisatawan mancanegara, wisatawan nusantara, dan wisatawan lokal. Wisatawan mancanegara berasal dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Australia, negara-negara Eropa, dan Asia. Berdasarkan catatan kunjungan wisatawan mancanegara yang dimiliki oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Donggala terlihat bahwa pada tahun 2005 berjumlah 254 wisatawan. Sebagaian besar diantaranya berasal dari Jerman sejumlah 100 orang, selebihnya berasal dari Perancis 53 orang, Belanda 39 orang, Australia 13 orang, Austria 11 orang, Amerika Serikat 15 orang, Inggris 9 orang, Swiss 6 orang,
28
Selandia Baru 3 orang, Ukraina 2 orang, serta Belgia, Italia, dan Thailand masing-masing 1 orang, dengan waktu tinggal selama 5 – 21 hari. Sebagian besar wisatawan mancanegara yang berkunjung merupakan wisatawan yang melakukan perjalanan dengan inisiatif sendiri karena telah mengetahui informasi tentang lokasi ini melalui informasi perorangan. Berdasarkan wawancara dengan pemilik dan pengelola salahsatu cottage, seorang yang berkebangsaan Jerman, bahwa informasi tentang lokasi wisata Tanjung Karang beredar melalui kawan-kawan dan keluarga beliau yang pernah berkunjung ke lokasi ini. Sementara itu, wisatawan yang berkunjung sebagian besar merupakan wisatawan yang berasal dari kelas menengah.
Meskipun
demikian, tidak diperoleh data yang lengkap tentang tipologi wisatawan secara rinci baik pada lokasi wisata maupun pada instansi pemerintah di daerah ini. Wisatawan lokal yang berkunjung terutama berasal dari kota Palu yang terdiri atas pelajar, mahasiswa, dan pegawai negeri dan swasta yang berkunjung secara perorangan maupun berkelompok. Mereka memanfaatkan hari-hari libur untuk berkunjung ke beberapa lokasi wisata di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi. Diantaranya ada pula yang menggunakan sarana penginapan/cottage baik yang disediakan oleh pemerintah, pengusaha wisata, maupun masyarakat lokal untuk bermalam di lokasi wisata. Sementara itu, wisatawan nusantara yang berkunjung sebagian besar adalah warga masyarakat dari luar daerah baik dari bwebagai wilayah di Sulawesi maupun dari daerah lainnya yang kebetulan memiliki kegiatan baik di Palu maupun Donggala.
IV. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan sebuah penelitian yang bersifat eksploratif untuk mempelajari
kemungkinan
dikembangkannya
pariwisata
yang
berbasis
masyarakat di wilakayah Kecamatan Banawa, khususnya di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan informasi yang lengkap berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka pendekatan triangulasi pendekatan
untuk
digunakan
(Decrop, 1999 ; Oppermann, 2000), sebagai sebuah
memahami
atau
menjawab
suatu
masalah
dengan
menggunakan lebih dari satu sumber dan cara pengumpulan data. 4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Wisata Pantai Tanjungkarang-Pusentasi
Donggala yang terletak di wilayah Kecamatan Banawa dan
Kabupaten Donggala
mencakup 3 (tiga) desa/kelurahan yaitu Kelurahan Labuanbajo, Desa
Boneoge, dan Limboro.
Penelitian di lapangan selama 3 (tiga) bulan, dimulai
pada bulan Juni sampai Agustus 2007. 4.2.
Metode Penelitian
4.2.1. Penentuan Sampel Penentuan sampel dilakukan secara sengaja
(purposive sampling)
(Soeratno dan Arsyad, 1993). Responden yang diwawancarai untuk mengetahui berbagai hal tentang
kegiatan pariwisata di wilayah penelitian, persepsi
masyarakat dan para pihak lainnya, ekspektasi masyarakat terhadap kegiatan pariwisata, dan konsep pengelolaan pariwisata adalah sejumlah 82 responden yang terdiri dari 70 orang masyarakat lokal, 6 orang aparat pemerintah, 4 orang pengusaha pariwisata, dan 2 orang dari lembaga/kelompok swadaya masyarakat. Sampel yang dimaksudkan disini bukan keterwakilan populasi tetapi merupakan keterwakilan dari permasalahan atau situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu tempat, pelaku, dan aktifitas (Sugiyono, 2005). Penyebaran responden pada masyarakat lokal, pemerintah, pengusaha wisata dan LSM dikemukakan pada Tabel 7.
30
Tabel 7. Penyebaran responden pada berbagai kelompok Kelompok responden Masyarakat lokal
Aktifitas/Bidang Kegiatan Nelayan Peteni/peternak Dagang Sopir/ojek Guru/PNS Buruh/pertukangan Jasa Pemilik Penginapan/Cottage Biro perjalanan Pemda/Bupati Dinas Pariwisata Camat Lurah dan Kepala Desa LSM yang berasal dari Donggala, dan LSM lokal (POKDARWIS)
Pengusaha Pemerintah
LSM/KSM
Jumlah informan 27 15 8 6 6 5 3 3 1 1 1 1 3 2
Penggalian data secara partisipatif dengan menggunakan teknik PRA melibatkan tokoh masyarakat, kelompok-kelompok sosial, kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif, kelembagaan adat serta kelompok wanita dan pemuda serta kelompok sadar wisata yang terdapat di lokasi penelitian. 4.2.2. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder (Tabel 8). Pengumpulan data primer dilakukan dengan beberapa cara yaitu observasi, wawancara, penggalian data secara partisipatif (participatory rural appraisal) (Campbell, 2002 ; Rietbergen-McCracken dan Narayan,1998), dan diskusi kelompok terfokus (Danim, 2002; Mikkelsen, 2001 ; Trigg dan Roy, 2007). Observasi lapangan dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang potensi atraksi wisata yang berpeluang untuk dikembangkan.
Potensi tersebut dapat
berupa potensi alam maupun potensi sosial budaya masyarakat setempat. Sedangkan wawancara dilakukan untuk untuk mengetahui persepsi dan keinginan partisipasi masyarakat dalam mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat. Penggalian data secara partisipatif (participatory rural appraisal) dilakukan
terhadap
sekumpulan
anggota
masyarakat
yang
merupakan
representasi dari keseluruhan masyarakat di wilayah penelitian.
Untuk
memudahkan penggalian data maka akan digunakan beberapa alat-alat kaji yang terdapat dalam PRA diantaranya :
31
1. Diagram Venn, yang merupakan diagram yang terdiri dari beberapa lingkaran dengan berbagai ukuran yang berbeda, yang satu dengan lainnya saling berhubungan secara simbolis. Diagram ini ditujukan untuk melihat peran berbagai institusi dalam pengelolaan pariwisata di lokasi penelitian. 2. Matriks analisis stakeholder, yang digunakan untuk memetakan pihakpihak yang berperan dan memiliki kepentingan terhadap kegiatan pariwisata di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi. 3. Pemetaan yang terdiri atas pemetaan aktifitas masyarakat dan pembuatan sketsa lokasi yang menggambarkan tentang penggunaan ruang pada lokasi wisata oleh berbagai stakeholder yang ada. Diskusi kelompok terfokus, dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri atas 10 – 12 orang dengan panduan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data sekunder diperoleh dengan menghimpun informasi dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Kantor Statistik, serta dokumen-dokumen yang terdapat pada tingkat kecamatan dan kelurahan/desa. Tabel 8. Jenis data yang akan dikumpulkan Jenis data Data Primer
Data Sekunder
Aspek Persepsi, partisipasi dan harapan masyarakat. Potensi Masyarakat : Kegiatan ekonomi dan potensi sosial budaya masyarakat. Konsep Pejabat Pemerintah Persepsi pengusaha wisata Persepsi LSM Kebijakan Pemerintah : Rencana Strategik, tata Ruang dan Keputusan-keputusan pemerintah. Potensi wilayah dan masyarakat yang berkaitan dengan aspekaspek sosial,ekonomi, dan budaya.
Sumber data Masyarakat lokal Masyarakat lokal Organisasi masyarakat lokal Pengusaha wisata, LSM lokal dan KSM Pokdarwis Dinas dan Instansi terkait. Kantor Statistik, Desa/Kelurahan dan Kecamatan.
Metode Wawancara, FGD Wawancara, FGD, PRA. Wawancara. Wawancara Wawancara FGD
32
4.2.3. Analisis Data Data yang terkumpul selanjutnya diklasifikasi menurut jenisnya dengan menggunakan peralatan berupa matriks, tabulasi, dan format (Miles dan Huberman, 1992). Untuk mendukung proses analisis maka data-data tersebut diklasifikasi dan
dikelompokan kedalam suatu satuan (unit) tertentu
(Denscombe, 1998) terutama untuk mengorganisasikan data-data tentang pengertian, pandangan/persepsi, sikap dan tindakan ; serta dengan melakukan perbandingan dan membangun hubungan-hubungan antar data
tersebut.
Penelaahan dengan cara ini dimaksudkan untuk mencari kaitan yang lebih luas dari fakta yang ditemukan di lokasi penelitian. Persepsi masyarakat tentang kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini dan konsep pariwisata berbasis masyarakat akan diketahui melalui pendapat dan pandangan mereka terhadap kedua aspek tersebut. Selanjutnya untuk menentukan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat digunakan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah analisa kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk menformulasikan strategi suatu kegiatan. Analisa ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenght) dan peluang (opportunity) dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknes) dan ancaman (threat) (Rangkuti, 2003). Analisis dilakukan dengan memanfaatkan informasi yang diperoleh dari berbagai
teknik
pengumpulang
data
yang
dilakukan
dan
dilakukan
pengintegrasian antara S-O, S-T, W-O, dan W-T untuk merumuskan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Model analisisnya disusun dengan menggunakan matrik SWOT yang menggabungkan aspek atau faktor internal dan eksternal dari komponen atau bidang. Bentuk dari tahapan ini yang merupakan pengintegrasian dari S-O, S-T, W-O, dan W-T dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat disajikan pada Gambar 5.
33
Peluang (O)
Ancaman (T)
Kekuatan (S)
Kelemahan (W)
Strategi S-O
Strategi W-O
Menciptakan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Menciptakan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Strategi S-T
Strategi W-T
Menciptakan strategi l pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Menciptakan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat dengan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Gambar 5. Matrik Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Wilayah Penelitian.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.
Keadaan Masyarakat di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi
5.1.1. Karakteristik Masyarakat Kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi mencakup empat wilayah yang terdiri atas Kelurahan Labuan Bajo, Kelurahan Boneoge, Desa Limboro dan Desa Tovale. Meskipun demikian, hanya penduduk yang terdapat di kelurahan Boneoge yang seluruhnya bermukim di lokasi wisata. Pada wilayah lain seperti kelurahan Labuan Bajo dan desa Limboro penduduk yang bermukim di lokasi wisata masing-masing hanya terdapat pada satu wilayah RT dan Dusun. Untuk kelurahan Labuan Bajo, lokasi dan kegiatan wisata terdapat di Tanjung Karang yang merupakan salahsatu RT di kelurahan tersebut, sedangkan di desa Limboro kegiatan dan lokasi wisata terdapat di dusun Kaluku.
Sementara itu, lokasi
wisata yang terdapat di desa Tovale yaitu Pusentasi yang berdampingan dengan dusun Kaluku tidak dihuni oleh penduduk. Oleh karena itu, penduduk yang berinteraksi langsung dengan aktifitas pariwisata di kawasan ini hanya terdapat pada tiga wilayah dengan jumlah penduduk sebanyak 761 KK atau 3.353 jiwa. Rincian jumlah penduduk pada masing-masing lokasi wisata dikemukakan pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah penduduk yang bermukim di kawasan wisata. Lokasi Pariwisata
KK
Jumlah jiwa
Laki-laki
Perempuan
Boneoge Tanjung Karang Kaluku Jumlah
663 39 59 761
2.863 225 265 3.353
1.447 123 137 1.707
1.416 102 128 1.646
Sumber : Data statistik masing-masing desa dan kelurahan, 2006.
Penduduk yang bermukim di wilayah ini pada umumnya adalah masyarakat nelayan dan petani dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Tingkat pendidikan masyarakat dikemukakan pada Tabel 10.
36
Tabel 10. Pekerjaan dan tingkat pendidikan responden masyarakat lokal. Pekerjaan
SD
Tingkat pendidikan SMP SMA
PT
Jumlah (orang)
Nelayan Petani/peternak Dagang Sopir/Ojek Guru/PNS Buruh/Pertukangan
25 10 1 3 0 3
2 5 3 3 0 2
0 0 4 0 3 0
0 0 0 0 3 0
27 15 8 6 6 5
Jasa
1
1
1
0
3
43
16
8
3
70
Jumlah
Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel 10 diatas terlihat bahwa sebagian besar responden yaitu 61,4 % memiliki tingkat pedidikan sekolah dasar, selebihnya 22,9 % berpendidikan sekolah lanjutan pertama, 11,4 % sekolah lanjutan tingkat atas, dan sisanya 4,3 % berpendidikan tinggi.
Bila
mengamati kondisi masyarakat yang terdapat di kawasan ini, yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dapat dikemukakan bahwa potensi sumberdaya manusia yang terdapat dikawasan wisata ini masih tergolong rendah. Sebagaimana halnya dengan masyarakat yang mendiami desa-desa pesisir lainnya, sebagian besar masyarakat di wilayah penelitian ini memiliki pekerjaan sebagai nelayan. Seperti yang dikemukakan pada Tabel 10, sebagian besar responden masyarakat lokal memiliki pekerjaan atau mata pencaharian pokok sebagai nelayan. Dari 70 responden masyarakat lokal yang diwawancarai, terdapat 27 orang atau sebesar 38,6 % memiliki mata pencaharian pokok sebagai nelayan, dan sejumlah 15 orang atau sebesar 21,4 % memiliki mata pencaharian pokok sebagai petani. Sisanya memiliki mata pencaharian pokok sebagai pedagang, sopir/penarik ojek, pegawai negeri, buruh/pertukangan, dan jasa. Disamping pekerjaan pokok tersebut, mereka juga memiliki pekerjaan atau mata pencaharian sampingan.
Hal ini dilakukan disamping untuk kepentingan menambah
penghasilan keluarga, juga disebabkan karena rata-rata mereka memiliki lahan, yang dapat ditanami tanaman-tanaman tertentu seperti jagung, ubi kayu, pisang, dan tanaman sayuran.
37
Bagi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, kegiatan sampingan dilakukan pada saat tidak melaut, terutama pada saat terjadinya musim barat dimana mereka tidak dapat melakukan pekerjaan sebagai nelayan. Informasi yang diperoleh pada saat wawancara dan diskusi kelompok, kegiatan sampingan masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disamping bertani adalah bekerja sebagai buruh pelabuhan dan bangunan di kota Donggala, dan sebagian diantaranya memanfaatkan peluang dari aktifitas pariwisata yang berlangsung di wilayah ini (Tabel 11). Tabel 11. Pekerjaan dan kelompok usia responden masyarakat lokal. Usia responden (tahun)
Pekerjaan Nelayan Petani/peternak Dagang Sopir/Ojek Guru/PNS Buruh/Pertukangan Jasa Jumlah
20-30 5 2 1 2 1 1 1 13
31-40 10 5 2 2 2 2 1 24
41-50 7 5 2 1 2 2 1 20
51-60 5 2 2 1 1 0 0 11
Jumlah 61-70 0 1 1 0 0 0 0 2
27 15 8 6 6 5 3 70
Usia responden masyarakat lokal bervariasi mulai dari usia 20 tahun hinga 70 tahun. Pada Tabel terlihat bahwa informan yang berusia 20 – 30 tahun sebesar 18,6 %, usia 31 – 40 tahun sebesar 34,3 %, usia 41 – 50 tahun sebesar 28,6 %, usia 51 – 60 tahun sebesar 15,7 %, dan usia 61 – 70 tahun sebesar 2,9 %. Berdasarkan komposisi umur tersebut terlihat bahwa responden yang memiliki usia antara 20 – 60 tahun, sebagai kelompok usia produktif, jumlahnya mencapai 97,1 %, sedangkan yang memiliki usia antara 61 – 70 tahun hanya sebesar 2,9 %. Pekerjaan
utama
dari
kelompok
usia
produkstif
adalah
nelayan,
pertanian/peternakan, dagang, sopit/penarik ojek, guru, dan buruh. Sedangkan penduduk yang telah memiliki usia yang tua/kurang produktif memilih pekerjaan sebagai peternak dan dagang yang relatif kurang membutuhkan tenaga yang besar.
38
5.1.2. Perekonomian Masyarakat Masyarakat yang mendiami kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, seperti halnya masyarakat di wilayah lainnya, mengembangkan sistem perekonomian berdasarkan karakter wilayah dan potensi sumberdaya yang tersedia. Perekonomian masyarakat di kawasan ini bertumpu pada dua kegiatan yaitu pertanian/peternakan dan perikanan. Kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya berladang dan membuka perkebunan rakyat, serta sebagian kecil diantaranya menjalankan usahatani padi sawah dengan sistim irigasi desa dan padi ladang. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 12. Tabel 12. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat (Ha). Desa/Kelurahan
Jenis tanaman pertanian Padi Jagung
Jenis tanaman perkebunan Kelapa Cacao
Boneoge
0
4
102
6
Labuan Bajo
0
0
175
0
120
17
Limboro 40 10 Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006
Kegiatan perkebunan nampaknya lebih mendominasi kegiatan penduduk di wilayah ini, karena memang sejak dahulu daerah (Sulawesi Tengah) ini dikenal sebagai penghasil tanaman perkebunan, terutama kelapa.
Tanaman
kelapa bagi masyarakat di wilayah ini merupakan kegiatan utama untuk pemenuhan kesejahteraannya, sementara tanaman lainnya yang dilakukan dengan kegiatan berladang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari (subsisten) sambil menunggu panen buah kelapa yang biasanya berlangsung setiap 3-4 bulan.
Keadaan tersebut juga merupakan gambaran dari aktifitas
pertanian masyarakat yang bermukim di lokasi kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi (Tanjung Karang, Boneoge, dan Dusun Kaluku). Kegiatan pertanian dan jenis tanaman yang diusahakan oleh masyarakat di kawasan wisata ini dikemukakan pada Tabel 13.
39
Tabel 13. Kepemilikian lahan dan jenis tanaman yang diusahakan oleh masyarakat. Kelurahan/ Desa
Lokasi
Kepemilikan Lahan (ha)
Boneoge
Boneoge
0,25 – 2
Labuan Bajo
Tanjung Karang
0,25 – 2
Limboro
Dusun Kaluku
0,25 – 3
Jenis tanaman yang diusahakan Tanaman tahunan : kelapa dan coklat. Tanaman semusim : padi ladang, jagung, ubi kayu, pisang, serta tanaman-tanaman hortikultura seperti cabe, tomat dan sayuran.
Disamping mengelola lahan untuk kegiatan bercocok tanam, masyarakat juga memelihara ternak sebagai usaha sampingan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat disajikan pada Tabel 14. Meskipun hanya sebagai usaha sampingan, namun usaha peternakan ini sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging di wilayah ini dan sebagai tabungan masyarakat yang sewaktu-waktu dapat dijual bila mereka membutuhkan dana untuk berbagai keperluan yang mendesak. Tabel 14. Jenis ternak yang dipelihara oleh masyarakat di wilayah penelitian. Sapi
Jenis ternak Kambing
Ayam Buras
Boneoge
123
195
659
Labuan Bajo
54
55
270
Limboro 194 152 Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006
639
Desa/Kelurahan
Dibidang perikanan, desa-desa yang terdapat diwilayah penelitian ini merupakan penghasil ikan laut yang cukup besar bagi kecamatan Banawa. Sementara Kecamatan Banawa sendiri merupakan penghasil ikan terbesar untuk wilayah Kabupaten Donggala. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Donggala (2002), dari 8 kecamatan yang memiliki wilayah perairan laut di Kabupaten Donggala, Kecamatan Banawa merupakan penyumbang terbesar hasil tangkapan ikan di kabupaten ini. Pada tahun 2002 kontribusi penangkapan ikan laut di wilayah perairan Kecamatan Banawa terhadap total produksi di Kabupaten Donggala adalah sebesar 20,33%. Jenis peralatan penangkapan ikan yang dimiliki oleh masyarakat di wilayah ini adalah jala rumpon, pukat pantai dan gill net.
Adapun sarana
40
transportasi perikanan yang dimiliki adalah perahu/kapal motor bermesin dan sejumlah perahu tanpa mesin (Tabel 15). Tabel 15. Peralatan penangkap ikan dan sarana transportasinya di wilayah penelitian. Peralatan penangkap ikan Desa/ Kelurahan
Sarana transportasi perikanan Kapal/ Perahu Perahu Tak motor Bermotor
Jala rumpon
Pukat pantai
Gill Net
Boneoge
6
15
20
12
20
Labuan Bajo
0
0
8
5
10
Limboro 0 12 8 Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006
0
5
Meskipun terdapat berbagai peralatan nelayan berupa perahu motor dan peralatan lainnya, namun kegiatan perikanan yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat merupakan kegiatan perikanan skala kecil dengan menggunakan peralatan sederhana berupa pukat, pancing, dan panah. Penggunaan pukat pantai dan panah biasanya dilakukan oleh masyarakat untuk menangkap ikan-ikan karang yang terdapat disekitar kawasan wisata atau tempat-tempat lainnya dimana terdapat banyak gugusan karang. Kemampuan nelayan di kawasan ini untuk menangkap ikan dengan menggunakan panah dan harus menyelam tanpa menggunakan alat cukup terkenal disekitar kawasan ini, terutama di Teluk Palu dan perairan Kabupaten Donggala bagian barat. Hal ini dikarenakan mereka, terutama nelayan yang berasal dari Kelurahan Boneoge, mampu melakukan penyelaman dalam waktu yang cukup lama, jauh melebihi kemampuan rata-rata nelayan yang terdapat di sekitarnya. Hasil yang diperoleh dalam menangkap ikan-ikan karang biasanya sekitar 30 – 50 ekor sekali melaut dengan harga jual sekitar Rp. 5.000,- sampai Rp. 10.000,- per ikat. Sedangkan untuk penggunaan pancing biasanya ditujukan untuk menangkap ikan-ikan dasar dan permukaan yang biasanya dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan perahu tanpa motor. Penangkapan ikan oleh nelayan dengan menggunakan pancing, diantaranya adalah kegiatan yang disebut dengan panambe. Kegiatan panambe
41
ini merupakan kegiatan nelayan memancing ikan Julung-julung yang dalam bahasa daerah disebut dengan bau (ikan) tampai. Ikan ini merupakan ikan permukaan yang biasanya terdapat disekitar gugusan karang antara bulan April hingga September, di kawasan ini terutama terdapat di perairan sekitar dusun Kaluku dan sebagian kecil wilayah Boneoge. Kegiatan panambe yang dilakukan oleh nelayan dalam menangkap ikan ini biasanya dilakukan secara berkelompok dengan jumlah anggota sekitar 3 sampai 5 orang. Hasil tangkapan yang mereka dapatkan kemudian dimasak dengan cara pengasapan, yang sebelumnya dijepit dengan menggunakan bambu, dimana setiap jepitannya berjumlah 20 ekor.
Setiap minggu masing-masing
keluarga nelayan dapat menghasilkan sekitar 50 – 150 jepitan ikan ini dengan harga jual antara Rp. 5000,- sampai Rp. 10.000,- setiap jepitannya Kegiatan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh masyarakat, meskipun tidak menjadi kegiatan utama, adalah menenun kain sarung dari benang sutera dengan menggunakan alat tenun tradisional. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh
kaum
perempuan
yang
dilakukan
disela-sela
aktifitas
mengurus
rumahtangga dan kegiatan pertanian. Setiap sarung diselesaikan dalam waktu sekitar 1 – 2 bulan dengan harga jual per sarung sekitar Rp. 250.000,- sampai Rp. 300.000,-.
Hingga saat ini masyarakat hanya menghasilkan tenunan dalam
bentuk sarung meskipun terbuka peluang untuk menghasilkan produk yang lain dalam bentuk cindera mata karena mereka berada pada lokasi kegiatan pariwisata. Hal ini, menurut masyarakat, karena keterbatasan keterampilan yang dimiliki untuk menghasilkan produk tersebut. Disamping aktifitas yang dikemukakan tersebut, masyarakat juga menangkap peluang usaha yang dihasilkan oleh berkembangnya aktifitas pariwisata di kawasan ini. Diversifikasi usaha ekonomi yang mereka lakukan merupakan
upaya
untuk
memenuhi
kebutuhan
keluarganya
dengan
memanfaatkan waktu-waktu tertentu ketika mereka tidak melakukan aktifitas utamanya baik sebagai nelayan maupun bertani. Gambaran tentang pemanfaatan waktu mereka dalam melakukan aktifitas ekonomi dikemukakan pada Tabel 16.
42
Tabel 16. Kalender aktifitas masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi Waktu (bulan ke) Bulan 11 - 12 Bulan 11 - 3
Bulan 4 - 10
Bulan 4 – 5 Hari libur dan hari-hari besar
Lokasi dan aktifitas masyarakat Dusun Kaluku Boneoge Tanjung Karang Musim tanam (notuja) - Melakukan - Melakukan padi ladang. penangkapan ikan penangkapan ikan karang. karang. - Melakukan - Melakukan penangkapan ikan - Mengelola kebun kegiatan usaha di karang. lokasi wisata. - Mengelola ladang - Mengelola kebun. dan kebun - Menenun kain - Melakukan - Melakukan - Kegiatan kegiatan Panambe kegiatan menangkap ikan - Mengelola ladang menangkap ikan dengan pancing dan kebun dengan pancing dan pukat. - Menenun kain dan pukat serta - Melakukan kegiatan Panambe kegiatan usaha di Musim panen padi lokasi wisata. ladang (noisi/nokato) - Mengelola kebun Mengelola kebun. Membuka warung, Membuka warung, menjual hasil dan menjual hasil tankapan ikan, dan tangkapan ikan penyewaan/ojek kepada wisatawan perahu di Pusentasi lokal.
Berdasarkan hasil pemetaan aktifitas tersebut terlihat bahwa meskipun sebagian besar masyarakat di kawasan ini memiliki pekerjaan pokok sebagai nelayan dan petani, tetapi terdapat beberapa perbedaan aktifitas ekonomi pada masing-masing lokasi. Hal ini disebabkan karena disamping terdapat perbedaan potensi sumberdaya pada masing-masing lokasi juga disebabkan karena intensitas kegiatan pariwisata yang berbeda pada masing-masing lokasi tersebut. Masyarakat yang bermukim di dusun Kaluku melakukan aktifitas yang lebih beragam dibanding lainnya. Sepanjang tahun, selain melakukan kegiatan sebagai nelayan, mereka juga melakukan kegiatan pertanian ladang dengan menanam padi lokal. Hal ini dilakukan karena di wilayah ini masih terdapat lahan yang memungkinkan untuk ditanami padi ladang karena kondisi tanah dan topografi lahannya yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan menanam padi ladang ini dilakukan oleh masyarakat hanya diperuntukan bagi kebutuhan lokal masyarakat setempat.
43
Sedangkan untuk kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata hanya mereka lakukan pada hari-hari libur dengan membuka warung dilokasi Pusentasi. Berbeda halnya dengan masyarakat yang bermukim di Boneoge dan Tanjung Karang, dimana kegiatan pertanian yang dapat mereka lakukan hanyalah perkebunan kelapa dan kebun untuk tanaman buah-buahan dan sayuran. Kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan pariwisata secara intensif hanya dilakukan oleh mereka yang bermukim di Tanjung Karang, sedangkan di Boneoge hanya dilakukan ketika hari libur. 5.2. Persepsi, Partisipasi, dan Keinginan Masyarakat Terhadap Pariwisata 5.2.1. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Persepsi masyarakat lokal terhadap kegiatan pariwisata di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi, terutama yang berkaitan dengan ada tidaknya manfaat yang diberikan oleh pariwisata terhadap kehidupan masyarakat dikemukakan pada Tabel 17. Tabel 17. Persepsi responden terhadap keberadaan kegiatan pariwisata saat ini Persepsi Pekerjaan
Tidak bermanfaat
Tidak tahu
Jumlah
Bermanfaat Nelayan Petani/peternak Dagang Sopir/Ojek Guru/PNS Buruh/Pertukangan
13 7 7 5 4 4
11 7 1 1 2 1
3 1 0 0 0 0
27 15 8 6 6 5
Jasa
3
0
0
3
43
23
4
70
Jumlah
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 70 orang responden masyarakat lokal di lokasi penelitian, seperti terlihat pada tabel tersebut, menunjukan bahwa sebagian besar (61,43 %) responden masyarakat lokal menyatakan bahwa kegiatan pariwisata memberikan manfaat bagi masyarakat. Namun demikian, masih terdapat sekitar 32,86 % responden yang menyatakan pariwisata tidak memberikan manfaat bagi masyarakat di wilayah ini, sedangkan sebagian kecil lainnya (5,71 %) menyatakan tidak tahu.
Responden yang
44
menyatakan bahwa pariwisata memberikan manfaat, pada umumnya adalah mereka yang memiliki aktifitas usaha
yang berhubungan langsung dengan
kegiatan pariwisata, disamping pekerjaan pokoknya sebagai petani dan nelayan. Aktifitas usaha yang dilakukan adalah berupa pekerja/penyedia sarana penginapan, warung, transportasi wisata (perahu), pemandu wisata dan penyedia/penyewaan sarana rekreasi lainnya seperti tikar, ban, dan kacamata renang. Pandangan masyarakat dan beberapa stakeholder lainnya yang berkaitan dengan manfaat dan kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Persepsi stakeholder tentang manfaat dan kerugian dari kegiatan pariwisata Persepsi
Masyarakat Aparat lokal Pemerintah
Pengusaha Pariwisata
LSM
Jumlah jawaban Manfaat kegiatan pariwisata Membuka peluang pekerjaan Menambah pendapatan Mendorong kemajuan desa Memperkenalkan budaya lokal Lingkungan menjadi baik/bersih Dapat menjual hasil usaha Desa menjadi terkenal Kerugian kegiatan pariwisata Merusak moral Mengganggu kegiatan nelayan Mengancam kepemilikan lahan Kerusakan lingkungan
36 30 23 21 21 11 8
6 6 4 4 3 0 0
4 4 3 4 3 0 0
2 1 1 0 1 0 0
41 27 23 19
2 1 2 1
0 0 0 0
1 1 1 2
Berdasarkan informasi yang disajikan pada Tabel 18 tersebut terlihat bahwa kegiatan pariwisata diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan memperlihatkan bahwa manfaat yang paling banyak dinyatakan (51,43 %) oleh masyarakat lokal adalah terciptanya peluang pekerjaan/usaha serta meningkatkan pendapatan. Terdapat tiga hal yang secara spontan dikemukakan oleh masyarakat berkaitan dengan kepentingan ekonomi mereka yaitu terbukanya lapangan pekerjaan, menambah pendapatan, dan pemasaran dari hasil usaha perikanan mereka dapat
45
lebih terbuka. Sejalan dengan pandangan masyarakat, stakeholder lainnya juga menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat memeberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Seluruh informan yang berasal dari aparat pemerintah, pengusaha pariwisata, dan LSM menyatakan kegiatan tersebut dapat membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat, diversifikasi usaha masyarakat, dan pada akhirnya akan memberikan tambahan pendapatan. Pada saat tertentu, yaitu sekitar bulan Nopember hingga Januari masyarakat yang bekerja sebagai nelayan hampir tidak dapat turun melaut karena cuaca yang tidak memungkinkan. Oleh karena itu pada saat-saat seperti ini mereka melakukan pekerjaan diluar perikanan seperti buruh pelabuhan dan bangunan. Bagi mereka yang memiliki kesempatan untuk menjalankan usaha yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata setidaknya dapat memperoleh tambahan pendapatan meskipun tidak dapat melaut. Sebanyak 42,86 % responden masyarakat lokal menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat memberikan tambahan pendapatan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, baik pada saat wawancara maupun pada diskusi kelompok terungkap bahwa disaat cuaca tidak memungkinkan untuk melaut, mereka masih bisa mendapatkan hasil perikanan dari sekitar gugusan karang yang terdapat didepan obyek wisata Tanjungkarang. Namun, saat ini kegiatan tersebut tidak dapat lagi dilakukan oleh masyarakat karena gugusan karang ini telah menjadi lokasi penyelaman yang dilakukan oleh para wisatawan. Beberapa manfaat yang dikemukakan diatas merupakan sesuatu yang seharusnya diperoleh masyarakat disekitar lokasi kawasan wisata karena pengembangan kegiatan kepariwisataan di suatu lokasi diharapkan dapat memberikan efek positif bagi masyarakat, khususnya masyarakat lokal, dalam bentuk pendapatan dan kesempatan kerja (Pitana dan Gayatri, 2005; Liu dan Wall, 2006; Ross dan Wall, 1999; UNEP, 2002a). Bahkan bila pengelolaan pariwisata yang dilakukan berjalan dengan sistim pengelolaan yang baik, dan dengan melibatkan semua unsur masyarakat maka akan menjadikan sumber pendapatan yang dapat berlangsung terus menerus (Scheyvens, 1999). Disamping manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal, kegiatan pariwisata
juga dapat memberikan manfaat bagi pemerintah dalam
46
bentuk devisa dan peningkatan pendapatan pemerintah (Pitana dan Gayatri, 2005).
Pendapatan pemerintah inilah yang diharapkan akan memberikan
sumbangan bagi kemajuan pembangunan daerah dan tentu saja akan berakibat positif
bagi
kemajuan
desa/kelurahan
yang
menjadi
lokasi
kegiatan
kepariwisataan. Hal ini jelas terungkap didalam wawancara yang dilakukan dengan masyarakat serta dalam pelaksanaan diskusi kelompok terfokus yang dilakukan di lokasi penelitian. Seperti yang tertera pada Tabel dimuka bahwa salahsatu manfaat yang diharapkan oleh masyarakat (32,86 %) adalah kemajuan bagi desa tempat tinggal mereka. Meskipun demikian, menurut sebagian tokoh masyarakat dan aparat pemerintah pada tingkat desa, kegiatan pariwisata yang telah berlangsung di wilayah ini belum banyak memberikan sumbangan bagi kemajuan desa. Hal ini disebabkan karena redistribusi pendapatan yang diperoleh pemerintah tidak sepenuhnya ditujukan kepada pengembangan desa dan masyarakat di lokasi wisata tersebut. Berkembangnya kegiatan pariwisata diharapkan juga dapat meningkatkan pengenalan dan pemahaman orang-orang luar (wisatawan) terhadap budaya masyarakat di suatu lokasi yang dikunjungi.
Menurut masyarakat lokal dan
stakeholder lainnya pada kawasan wisata Tanjungkarang-Pusentasi bahwa kegiatan
pariwisata
yang
berlangsung
dapat
menjadi
sarana
untuk
memperkenalkan budaya lokal. Dikembangkannya atraksi budaya sebagai produk wisata yang ditawarkan kepada para wisatawan diharapkan dapat menjadi wahana memperkenalkan, memelihara, dan mendorong masyarakat untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan lokal. Berkaitan dengan pengembangan atraksi budaya tersebut, Spillane (1987) menyatakan bahwa kegiatan pariwisata dapat menggairahkan perkembangan kebudayaan asli, bahkan dapat juga menghidupkan kembali unsur kebudayaan yang sudah hampir dilupakan. Selanjutnya, Damanik dan Weber (2006) mengemukakan bahwa aspek sosial budaya juga merupakan sesuatu yang penting bagi suatu daerah tujuan wisata, karena pengalaman budaya di daerah tujuan menjadi salahsatu daya tarik yang diperhitungkan oleh wisatawan. Selanjutnya dikemukakan bahwa sekitar 42 persen wisatawan Inggris mengatakan informasi
47
kondisi sosial, ekonomi, dan politik lokal merupakan basis pertimbangan untuk memilih destinasi dan 37 persen mengatakan pentingnya menjalin interaksi dengan masyarakat setempat. Manfaat lainnya yang juga dikemukakan oleh masyarakat adalah yang berkaitan dengan kondisi lingkungan (30 %). Kondisi lingkungan yang dimaksudkan adalah menyangkut kebersihan dan keindahan lingkungan pemukiman, serta kebersihan dan keindahan pantai. Dikemukakan bahwa kondisi lingkungan pemukiman dan pantai saat ini sangat jauh berbeda dengan keadaannya ketika kegiatan pariwisata belum intensif seperti saat ini, terutama di Tanjungkarang. Pada beberapa tempat tertentu, khususnya di desa Boneoge, kebersihan dan keindahan pantai masih kurang tertata dengan baik. Hal ini disebabkan karena hanya sebagian kecil wilayah desa ini yang dimanfaatkan sebagai lokasi wisata, walaupun hampir sepanjang desa memiliki potensi wisata yang cukup baik karena memiliki pantai yang berpasir putih.
Salahsatu kendala dalam
penataan lokasi ini adalah karena padatnya rumah sebagai tempat pemukiman nelayan, utamanya di desa Boneoge. Melalui diskusi kelompok dan wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat di desa ini juga terungkap keinginan mereka untuk menata kondisi ini, meskipun masih ada kekhawatiran bila suatu saat mereka akan kehilangan lahannya ketika lokasi ini juga sudah berkembang. Disamping pemahaman tentang lingkungan yang terbatas pada aspek penataan pemukiman, sebagian masyarakat dan stakeholder lainnya juga mengemukakan tentang manfaat kegiatan pariwisata terhadap lingkungan alam. Dikemukakan bahwa keadaan ini tidak berdiri sendiri sebagai sesuatu yang dipengaruhi langsung oleh kegiatan pariwisata tetapi merupakan suatu rantai proses sebab-akibat antar berbagai manfaat tersebut. Manfaat ekonomi yang diperoleh dari kegiatan pariwisata akan mendorong masyarakat untuk tetap melestarikan budaya lokal dan menjaga kondisi lingkungan alam, karena keduanya merupakan sumberdaya ekonomi yang dimiliki oleh suatu lokasi pariwisata. Bila penanganan terhadap kedua aspek tersebut berlangsung dengan baik maka manfaat ekonomipun akan diperoleh. Selanjutnya juga dikemukakan bahwa terpeliharanya budaya lokal akan sangat
48
bermanfaat bagi terpeliharanya kondisi lingkungan alam, karena masyarakat memiliki akar budaya yang kuat dalam bentuk tata aturan pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang baik. Manfaat langsung yang juga dikemukakan oleh masyarakat adalah pemasaran langsung hasil usaha berupa hasil pertanian, perikanan, kerajian, dan masakan yang diproduksi oleh masyarakat lokal. Mereka dapat langsung memasarkan hasil pertanian mereka, terutama buah-buahan, dan hasil olahan makanan yang biasanya dikonsumsi oleh wisatawan lokal pada hari-hari libur. Sebagian besar olahan makanan merupakan hasil pertanian dan perikanan yang dihasilkan oleh masyarakat lokal.
Keadaan ini merupakan manfaat ganda
(Spillane, 1987) yang didapatkan oleh masyarakat dari adanya kegiatan pariwisata. Selain memberikan manfaat, juga terdapat beberapa kerugian atau akibatakibat negatif dari berkembangnya kegiatan pariwisata di wilayah ini. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat lokal, seperti yang tertera pada Tabel 18, akibat-akibat negatif yang terjadi dan sudah menjadi kekhawatiran masyarakat adalah berkaitan dengan moral, status kepemilikan lahan,
konflik pemanfaatan sumberdaya, dan gangguan terhadap lingkungan.
Masalah moral merupakan hal yang sangat mendapat perhatian masyarakat (58,57 %). Berdasakan penjelasan masyarakat, baik pada saat wawancara maupun ketika dilakukan diskusi kelompok, terungkap bahwa persoalan moral yang dimaksud adalah berkaitan dengan etika, tatakrama, adat istiadat dan juga hubungan-hubungan sosial antar sesama masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Agusniatih (2002) di wilayah ini juga mendapatkan bahwa dampak negatif dari kegiatan pariwisata menurut masyarakat adalah kerusakan moral pada generasi muda, yang terutama disebabkan oleh adanya wisatawan mancanegara. Kebiasaan wisatawan mancanegara yang suka berjemur dan berenang dengan menggunakan pakaian minim, menurut masyarakat akan mempengaruhi moral masyarakat, terutama kaum mudanya. Hal inilah yang oleh Yoeti (1987) dinyatakan sebagai ”kebiasaan jelek” para wisatawan yang sering mengakibatkan kegoncangan didalam masyarakat dan membuat masyarakat setempat menderita.
49
Selanjutnya,
Cohen
(1984)
dalam
Pitana
dan
Gayatri
(2005)
mengemukakan bahwa terdapat beberapa pengaruh pariwisata terhadap sosial budaya masyarakat lokal, diantaranya dampak terhadap organisasi/kelembagaan sosial masyarakat, ritme kehidupan sosial masyarakat, hubungan antar personal, adat
istiadat
yang
kemudian
menyebabkan
terjadinya
penyimpangan-
penyimpangan sosial. Demikian pula halnya dengan masyarakat di wilayah penelitian, keadaan seperti itu mungkin saja terjadi ketika perkembangan kegiatan pariwisata dilihat sebagai sebuah peluang ekonomi yang terlepas dari kepentingan dan kontrol masyarakat lokal yang memiliki budaya gotongroyong, termasuk dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan kepentingan ekonominya. Akibatnya terjadi perubahan hubungan-hubungan sosial didalam masyarakat. Dalam hal ini, menurut Mathieson dan Wall (1982) dalam Pitana dan Gayatri (2005)
pariwisata
telah
mengubah
struktur
internal
masyarakat
yang
mengakibatkan terjadinya pembedaan antara mereka yang memiliki hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Pengalaman masyarakat dalam beberapa kegiatan yang merupakan hasil rancangan pihak luar baik pemerintah maupun swasta sering menciptakan konflik kecil diantara masyarakat ketika pihak diluar
memanfaatkan salahsatu atau
beberapa anggota masyarakat untuk membawa kepentingan pihak luar. Dalam kaitan dengan dengan keadaan tersebut, seperti tergambar dalam diskusi kelompok, mereka mengharapkan bahwa diperlukan komunikasi yang lebih baik dan terbuka antara berbagai pihak dalam merencanakan dan mengembangkan program yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, termasuk juga pengembangan pariwisata. Akibat negatif lainnya yang dapat terjadi adalah terganggunya kepemilikan lahan masyarakat (38,57 %). Hasil wawancara dan diskusi kelompok dengan masyarakat terungkap bahwa bergesernya status kepemilikan lahan yang diakibatkan oleh kuatnya tuntutan untuk lebih mengembangkan kegiatan pariwisata. Pada satu sisi perkembangan kegiatan pariwisata dapat meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat, tetapi disisi lain memarginalkan masyarakat dari aktifitas tersebut, terutama bagi mereka yang tidak memiliki modal yang cukup. Penelitian yang dilakukan oleh Agusniatih (2002) di lokasi ini
50
juga mengungkapakan bahwa sebagian masyarakat di wilayah ini enggan untuk terlibat didalam kegiatan pariwisata karena memberikan dampak yang negatif bagi mereka. Kegiatan pariwisata menurut mereka suatu saat akan menggusur lahan pertanian dan pemukiman yang mereka miliki saat ini. Kehadiran pariwisata telah menimbulkan kekhawatiran (32,86 %) akan hilangnya akses mereka terhadap sumberdaya yang terdapat disekitar wilayah pemukiman masyarakat.
Kasus pelarangan terhadap masyarakat untuk
mengambil ikan yang terdapat di gugusan karang didepan lokasi wisata Tanjungkarang telah menjadi pengalaman buruk bagi masyarakat tentang pengembangan pariwisata. Karenanya, dalam wawancara dan diskusi kelompok dengan masyarakat selalu terungkap harapan mereka agar kondisi tersebut tidak terjadi pada lokasi yang lain seperti di Boneoge dan Dusun Kaluku. Berkembangnya kegiatan pariwisata, dapat memberikan keuntungan bagi lingkungan bila dikelola dengan pendekatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian sumberdaya alam. Potensi alam yang merupakan salahsatu daya tarik bagi wisatawan semestinya tetap dijaga keasliannya. Bila mengamati keadaan pariwisata di daerah ini, jelas terlihat bahwa atraksi utama yang diharapkan oleh wisatawan adalah kondisi lingkungan yang masih alami. Hal ini terutama berlaku bagi wisatawan mancanegara yang memanfaatkan suasana lingkungan tropis untuk mengisi masa liburannya. Pada disisi lain, seperti juga terjadi pada beberapa kawasan wisata lainnya di Indonesia, keadaan lingkungan yang bersifat alami kadang tergeser oleh kepentingan pembangunan sarana pariwisata (Marpaung, 2002). Padahal degradasi lingkungan yang terjadi di kawasan pariwisata, disaat meningkatnya jumlah wisatawan yang menyukai keindahan alam dan kesadaran akan lingkungan, dapat menurunkan jumlah wisatawan yang berkunjung pada suatu kawasan wisata tertentu (Lawrence, 1994). Masyarakat lokal di kawasan wisata ini (27,14 %) juga melihat bahwa kegiatan pariwisata telah menberikan akibat yang negatif bagi lingkungan. Partisipasi masyarakat lokal merupakan suatu bagian yang penting dalam menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan, termasuk juga kegiatan
51
pariwisata (Garrot, 2003).
Keadaan partisipasi masyarakat dalam kegiatan
pariwisata di Tanjung Karang Pusentasi dikemukakan pada Tabel 19. Tabel 19. Matriks partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya di Kawasan Wisata Tanjungkarang Pusentasi
Masyarakat lokal
Pengusaha pariwisata
Dinas pariwisata
Pemerintah desa/kelurahan LSM /KSM
Kelompok tani/nelayan
Karang Taruna
PKK/Dasa Wisma
Kelompok arisan
Kelompok pengajian
Lembaga adat
Stakeholder
-
√
√
√
√
-
-
-
-
-
-
√
√ √ -
√ √ -
-
√
-
√
-
-
-
-
√ √ -
√ √ √ √
√ √
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
√
√ √
-
-
√ -
-
-
-
-
-
-
√
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
√ √ √ √ Monitoring dan evaluasi kepariwisataan Keterangan : Tanda √ menandakan adanya keterlibatan/partisipasi.
-
-
-
-
Jenis / Bentuk kegiatan Pengelolaan kawasan wisata Perencanaan lokasi Wisata Pengembangan produk Pemasaran wisata Pengelolaan pintu masuk lokasi Pengelolaan usaha Akomodasi Pondok peristrahatan Transportasi wisata Penyediaan suvenir Jasa penyediaan konsumsi Pemandu wisata Penyediaan sarana rekreasi Berdagang makanan
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata setidaknya berkaitan dengan dua hal yaitu peran masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan pembagian manfaat dari kegiatan pariwisata (McIntosh dan Goeldner, 1986 dalam Ying dan Zhou, 2007). Bagi masyarakat lokal yang berada di kawasan wisata Tanjungkarang Pusentasi, kedua hal tersebut nampaknya belum sepenuhnya dapat diperoleh. Pada Tabel 23 terlihat bahwa partisipasi masyarakat lokal masih terbatas pada kegiatan usaha tertentu yang mampu mereka lakukan
52
berdasarkan sumberdaya yang dimiliki. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat lokal sebagai usaha untuk menambah pendapatan keluarga adalah penyediaan sarana rekreasi (ban untuk pemampung renang, kacamata renang, dan tikar), berdagang makanan yang dilakukan pada hari-hari libur ketika lokasi wisata ramai dikunjungi oleh wisatawan lokal, pondok peristirahatan, dan berdagang makanan. Kegiatan usaha seperti penyediaan akomodasi (penginapan), penyediaan suvenir, jasa penyediaan konsumsi belum dapat dilakukan oleh masyarakat lokal. Keadaan ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan masyarakat baik dari aspek permodalan maupun keterampilan untuk mengembangkan usaha-usaha tersebut. Beberapa informan masyarakat lokal yang melakukan usaha penyewaan sarana rekreasi dan berdagang makanan bagi kepentingan wisatawan lokal, menyatakan bahwa yang mereka lakukan saat ini hanyalah sebuah usaha yang dilakukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, karena dibangun dengan modal yang sangat terbatas dan mereka tidak memiliki keterampilan untuk mengembangkan usaha lainnya. Dari gambaran yang dikemukakan tersebut terlihat bahwa peran masyarakat dalam menjalankan usaha pariwisata di kawasan wisata ini pada umumnya masih sangat rendah, meskipun juga diakui bahwa pada lokasi Tanjungkarang peran masyarakat dalam menjalankan usaha sudah terbangun. Namun, beberapa peran lainnya seperti perencanaan pengembangan lokasi wisata, pengembangan produk dan pemasaran masih sepenuhnya ditangani oleh pemerintah dan pihak swasta. Keadaan ini menyebabkan potensi produk yang mungkin dimiliki oleh masyarakat lokal tidak dapat tergali dengan baik. Sebuah hasil studi yang pernah dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003, yang dikemukakan oleh Suranti (2005), diperoleh kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata di Indonesia masih rendah.
Hal ini disebabkan karena belum
adanya ketentuan yang jelas dan rinci mengenai keterlibatan masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata, yang ada hanyalah berupa himbauan agar masyarakat diikutsertakan dalam upaya pengembangan tersebut. Seperti halnya yang terjadi di wilayah penelitian, konsep partisipasi masyarakat masih berupa
53
arahan kebijakan (Disparsenibud Donggala, 2002), tanpa adanya penjelasan persyaratan, tata cara dan tahapan pelaksanaannya (Suranti, 2005).
Gambar 6. Salahsatu kegiatan usaha masyarakat di Tanjung Karang.
Bila kita mencermati keadaan yang berkembang pada kawasan wisata ini, seperti yang telah diuraikan diatas, terlihat bahwa terdapat dua tingkatan partisipasi yang telah terjadi ditengah masyarakat. Disatu sisi, berkaitan dengan konsep dan rencana pengembangan kawasan wisata posisi masyarakat beserta organisasi lokal yang dimilikinya masih berada pada tingkatan partisipasi yang terendah dimana masyarakat hanya mendapatkan pemberitahuan (informing), yang oleh Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997) dinyatakan sebagai partisipasi pasif. Pada posisi ini masyarakat masih ditempatkan sebagai penerima informasi dari pihak luar. Adapun proses yang dilakukan hanya bersifat formalitas sebagai suatu syarat yang mungkin harus dilakukan dan komunikasi yang terjadi bersifat satu arah. Namun pada sisi lain, masyarakat telah mengambil inisiatif untuk ikut didalam proses untuk mendapatkan manfaat dari berkembangnya kegiatan pariwisata tersebut. Keadaan yang terakhir tersebut, bila dikaitkan dengan konsep tingkatan partisipasi yang dikemukakan oleh Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997) berada pada tingkatan dimana masyarakat sudah mulai masuk pada partisipasi untuk mendapatkan insentif material.
Tingkatan ini masih sangat riskan karena
didalamnya, biasanya, tidak terjadi proses belajar yang dapat membangun kekuatan masyarakat, dan akibatnya bila aktifitas yang menjadi tempat bergantung masyarakat terhenti maka akan sangat mempengaruhi kehidupan
54
mereka. Oleh karena itu maka proses yang harus dilakukan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat kepada tingkatan yang lebih bersifat fungsional dimana mereka dapat membangun kekuatan bersama melalui pengembangan kelompok atau organisasi lokal yang dapat membangun inisiatif, ataupun merespon inisiatif dari luar dengan posisi tawar yang cukup kuat. Sehubungan dengan keadaan yang dikemukakan tersebut, diperlukan suatu upaya untuk membangun kapasitas organisasi lokal yang dimiliki oleh masyarakat dengan melibatkan mereka didalam proses kegiatan kepariwisataan di kawasan ini. Pengembangan kapasitas ini penting untuk meningkatkan kekuatan organisasi lokal dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya alam dan budaya untuk kepentingan pariwisata, dimana efektifitas pengelolaan sumberdaya tergantung kepada kekuatan organisasi tersebut dan hanya dapat dilakukan bila didukung oleh semua pihak terutama pemerintah (Pomeroy, 1995). 5.2.2. Keinginan Masyarakat Dalam Pengelolaan Pariwisata Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi kelompok yang dilakukan pada masyarakat lokal di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi terlihat bahwa mereka
memiliki keinginan untuk dapat berperan aktif dalam pengelolaan
pariwisata. Harapan masyarakat yang berkaitan dengan peran mereka dalam pengelolaan pariwisata tersebut dikemukakan pada Tabel 20. Tabel 20. Keinginan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata Unsur
Peran masyarakat
Atraksi alam dan budaya
- Perancangan produk/atraksi wisata - Pengelolaan produk/atraksi wisata
Usaha jasa
- Penyediaan homestay - Penyediaan konsumsi wisatawan - Penyediaan souvenir - Penyediaan jasa transportasi - Penyediaan jasa pemanduan - Penyediaan informasi produk wisata - Pembuatan pedoman wisata bagi wisatawan Bersama pemerintah dan swasta melaksanakan pameran/expo untuk kepentingan pariwisata Pelibatan organisasi dan kelompok masyarakat yang telah ada dalam pengelolaan pariwisata, yang mencakup aspek perencanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Informasi wisata Promosi Organisasi dan kelembagaan
55
Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel diatas terlihat bahwa masyarakat lokal memiliki keinginan untuk dapat berpartisipasi didalam pengelolaan kegiatan pariwisata di kawasan ini. Peran yang diharapkan tidak sekedar ikutserta didalam aktifitas berjualan makanan dan penyediaan sarana rekreasi bagi wisatawan lokal seperti yang ada saat ini, tetapi juga peran-peran strategis
dalam kaitannya dengan proses pengembangan dan pengelolaan
pariwisata. Peran-peran strategis yang dimaksudkan adalah berkaitan dengan perencanaan dan pengelolaan produk-produk wisata berupa atraksi wisata yang didasarkan pada potensi alam dan budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat, pengelolaan informasi yang berkaitan dengan potensi wisata dan pedoman bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata, dan keterlibatan didalam pengelolaan pameran dan pesta budaya. Keinginan masyarakat tersebut didasarkan pada potensi pariwisata yang terdapat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi. Hasil diskusi kelompok dan
pemetaan/inventarisasi
potensi
yang
dilakukan
secara
partisipatif
memperlihatkan bahwa masyarakat memiliki pandangan yang cukup luas tentang potensi atraksi wisata yang dapat dikembangkan. Pandangan masyarakat berkaitan dengan potensi pariwisata di kawasan ini dikemukakan pada Tabel 21. Tabel 21. Potensi atraksi wisata yang terdapat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi. Potensi
Lokasi
Alam
Tanjung Karang
-
Pemandangan alam Pantai pasir putih Terumbu karang Tracking
Boneoge
-
Pemandangan alam Pantai pasir putih Sunset Tracking
Budaya Pembuatan barang kerajinan dari kayu dan tempurung kelapa.
- Kegiatan panambe yang dilakukan oleh nelayan. - Produk masakan hasil laut. - Pembuatan barang kerajian dari kayu dan tempurung kelapa.
Aksesibilitas Berjarak ± 3 km dari kota Donggala dan ± 37 km dari kota Palu . Mudah dijangkau oleh semua jenis kendaraan. Berjarak ± 5 km dari kota Donggala. Beberapa lokasi tertentu di desa ini hanya dapat dijangkau dengan berjalan kaki dan menggunakan perahu.
56
Kaluku dan Pusentasi
-
Pemandangan alam Sumur Air Laut Pantai pasir putih Terumbu karang Sunset Tracking
- Kegiatan panambe yang dilakukan oleh nelayan. - Kegiatan nontanu. - Kegiatan nompaura. - Kegiatan pertanian beserta prosesi adatnya. - Pembuatan barang kerajian dari kayu, bambu, dan tempurung kelapa.
Berjarak ± 10 km dari kota Donggala. Lokasi wisata yang terdapat di dusun Kaluku hanya dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua. Saat ini sedang dilakukan proses pembangunan jalan.
Pengelolaan pariwisata di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi yang berlangsung saat ini masih menitikberatkan pada pemanfaatan potensi alam sebagai daya tariknya, sementara potensi budaya masyarakat belum mendapatkan perhatian yang serius.
Melalui diskusi kelompok yang dilakukan, terungkap
beberapa pertanyaan dan sekaligus merupakan keinginan masyarakat yang berkaitan dengan peluang aktifitas pertanian, perikanan, dan beberapa kegiatan budaya yang mereka lakukan sebagai bagian dari aktifitas pariwisata. Dikemukakan bahwa hingga saat ini belum ada aktifitas yang dilakukan oleh wisatawan untuk melakukan perjalanan (tracking) melewati atau bahkan mengunjungi lokasi-lokasi pemukiman, kebun, dan ladang yang mereka miliki. Hal ini sebenarnya dapat membuka peluang masyarakat sebagai ”pemilik” segala potensi lokal untuk mendapatkan manfaat langsung dari kegiatan pariwisata (Damanik dan Weber, 2006). Kondisi alam yang terdapat di kawasan ini, sangat memungkinkan untuk dilakukannya pengembangan kegiatan wisata lintas alam. Jarak antara Tanjung Karang dengan Pusentasi sekitar 5 - 7 kilometer dengan melewati wilayah Kelurahan Boneoge dan dusun Kaluku dimana terdapat kebun dan ladang milik penduduk dengan pemandangan alam yang cukup baik dapat dikembangkan untuk kegiatan tersebut. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dan diskusi dengan masyarakat, terdapat beberapa pilihan-pilihan jalur yang dapat dikembangkan baik melalui wilayah perbukitan, menyusuri bibir pantai yang melewati berbagai aktifitas nelayan ataupun kombinasi antara keduanya dapat dikembangkan di kawasan ini.
57
Dikembangkannya berbagai jalur seperti yang dikemukakan dimuka menyebabkan aktifitas wisatawan, terutama wisatawan lokal, tidak hanya datang untuk sekedar melihat tetapi terbangun sebuah proses pendidikan yang dapat memberi pemahaman kepada wisatawan tentang pentingnya alam dan potensinya bagi masyarakat.
Apabila kegiatan seperti ini dapat dikembangkan sebagai
salahsatu atraksi maka masyarakat akan memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk ikut terlibat didalamnya. Disamping bermanfaat untuk membangun komunikasi dan interaksi antara wisatawan dengan masyarakat berdasarkan ”sentuhan” lokal, kegiatan ini juga dapat memberi pengenalan dan pemahaman wisatawan terhadap alam dan budaya setempat. Pembahasan tentang potensi budaya ini akan dikemukakan pada bagian berikut dari tulisan ini. Pengembangan peran masyarakat seperti yang dikemukakan dimuka, merupakan bentuk dari keterlibatan masyarakat secara penuh didalam pengelolaan pariwisata di kawasan ini. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya untuk membangun mekanisme yang memungkinkan bagi masyarakat untuk dapat berperan didalamnya (Tabel 22). Tabel 22. Pandangan masyarakat tentang mekanisme peran mereka dalam pengelolaan pariwisata Unsur
Mekanisme
Atraksi alam dan budaya
- Masyarakat menggali dan merumuskan beberapa potensi alam dan budaya yang dapat dikembangkan menjadi produk wisata. - Masyarakat secara berkelompok memproduksi atraksi wisata berdasarkan potensi alam dan budaya tersebut dengan bimbingan pemerintah, swasta, LSM, dan pihak lainnya yang berkepentingan.
Usaha jasa
- Masyarakat menata pemukiman dan rumah mereka agar bagi yang berkeinginan dapat dikembangkan menjadi rumah penginapan wisatawan. - Masyarakat mengembangkan resep makan dengan bahan lokal bagi wisatawan. - Menggali dan memproduksi kembali barang kerajinan yang pernah dibuat oleh masyarakat sebagai souvenir dan peralatan makan wisatawan. - Menfungsikan perahu nelayan sebagai sarana transportasi wisata. - Pemanfaatan warga masyarakat lokal sebagai pemandu wisata. - Masyarakat bersama pihak terkait lainnya melakukan inventarisasi, dokumentasi, penyebarluasan informasi potensi wisata alam dan budaya. - Masyarakat bersama pihak lainnya menyusun pedoman bagi
Informasi wisata
58
Promosi
Organisasi dan kelembagaan
-
-
wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi. Masyarakat berperan dalam merancang dan melaksanakan pesta budaya baik yang dilakukan atas inisiatif masyarakat maupun kegiatan yang sudah dijadualkan oleh pemerintah. Masyarakat berperan dalam upaya memasarkan produk wisata. Penguatan terhadap organisasi dan kelompok masyarakat yang sudah ada. Membangun mekanisme kerjasama antar kelompok-kelompok masyarakat yang terdapat pada masing-masing desa dengan pemerintah, swasta, LSM, dan pihak lainnya yang berkepentingan.
Mekanisme yang diharapkan oleh masyarakat lokal seperti yang dikemukakan pada Tabel diatas dimaksudkan agar mereka dapat memperoleh manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata serta memiliki kontrol terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan budaya yang dimilikinya. Mekanisme proses yang dikembangkan pada masing-masing unsur diatas menjadikan masyarakat akan terlatih untuk melakukan penggalian (assessment) terhadap potensi dan peluang pasar wisata serta proses perencanaan pengembangan usaha dibidang pariwisata. Disamping itu, upaya penguatan organisasi lokal serta membangun komunikasi dan kerjasama antara organisasi dan kelompok masyarakat dengan pihak
lainnya
akan
memperkuat
partisipasi
masyarakat
lokal,
karena
keikutsertaan masyarakat secara institusi atau organisasi akan lebih efektif dan berlanjut daripada keikutsertaan individu (Upphoff, 1987 dalam Brandon, 1993). Pengembangan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, seperti yang dikemukakan oleh masyarakat diatas, masih mengalami beberapa kendala dalam implementasinya. Meskipun demikian, dari hasil diskusi kelompok terfokus dikemukakan beberapa permasalahan yang merupakan kendala dalam pengembangan peran tersebut. Permasalahan tersebut seperti yang dikemukakan pada Tabel 23 berikut.
59
Tabel 23. Permasalahan yang dihadapi masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata Unsur dan peran masyarakat Atraksi alam dan budaya - Perancangan produk/atraksi wisata - Pengelolaan produk/atraksi wisata
Usaha jasa - Penyediaan homestay - Penyediaan konsumsi wisatawan - Penyediaan souvenir - Penyediaan jasa transportasi - Penyediaan jasa pemanduan Informasi wisata - Penyediaan informasi produk wisata - Pembuatan pedoman wisata bagi wisatawan Promosi Bersama pemerintah dan swasta melaksanakan pameran/expo untuk kepentingan pariwisata Organisasi dan kelembagaan Pelibatan organisasi dan kelompok masyarakat yang telah ada dalam pengelolaan pariwisata, mencakup aspek perencanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Permasalahan
- Benturan kepentingan antara kegiatan pariwisata dengan kegiatan ekonomi masyarakat lokal dan mengancam akses masyarakat terhadap sumberdaya. - Keterampilan rendah. - Tidak ada dorongan dari pemerintah. - Pembangunan pariwisata yang lebih menekankan pada aspek fisik. - Keterampilan rendah - Kekurangan modal - Tidak ada dukungan pemerintah
- Keterampilan rendah - Tidak ada dukungan pemerintah - Akses masyarakat terhadap informasi pengembangan pariwisata masih rendah. Tidak ada dukungan pemerintah
- Tidak ada mekanisme yang jelas dari pemerintah tentang keterlibatan organisasi dan kelompok masyarakat. - Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada pengusaha.
Hasil diskusi kelompok seperti yang dikemukakan pada Tabel 23 memperlihatkan bahwa meskipun terdapat keinginan kuat masyarakat untuk berperan aktif dalam pengelolaan pariwisata namun keinginan tersebut belum dapat sepenuhnya terpenuhi karena masih terdapat berbagai permasalahan. Permasalahan yang utama adalah dukungan kebijakan pemerintah, permodalan, dan keterampilan masyarakat.
Beberapa responden masyarakat lokal
mengemukakan bahwa mereka mengembangkan usaha yang dapat dilakukan dengan modal dan keterampilan seadanya seperti membuka warung kopi, rumah
60
makan, dan penyewaan tikar
dan ban untuk keperluan wisatawan, terutama
wisatawan lokal. Salah seorang responden mengemukakan bahwa usaha warung kopi dan pisang goreng yang dimilikinya sudah berlangsung sekitar 2 tahun dengan penghasilan antara Rp. 30.000,- sampai Rp. 50.000,- per hari. Sementara itu, pemilik usaha warung makan yang terdapat di Tanjungkarang (satu-satunya warung
makan
yang
terdapat
di
Kawasan
Tanjungkarang
Pusentasi)
mengemukakan bahwa kegiatannya mengelola warung makan di lokasi wisata ini dapat memberikan pendapatan rata-rata Rp. 200.000,- sampai Rp. 300.000,- per minggu, yang dapat digunakan secukupnya untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan sekolah anak-anaknya. Untuk usaha penyawaan tikar, ban, dan kacamata renang, mereka dapat memperoleh pendapatan antara Rp. 150.000,sampai Rp. 200.000,- per minggu dari usaha tersebut. Berdasarkan pengakuan responden bahwa usaha ini yang sementara dapat mereka lakukan untuk menambah penghasilan yang terbatas dari kegiatan keluarga sebagai nelayan dan dengan keterampilan yang masih terbatas. 5.3. Kearifan Sosial Budaya Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Penduduk yang bermukim di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi sebagian besar merupakan masyarakat lokal etnik Kaili dengan dialek Unde. Oleh karena itu maka tatanan sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat di wilayah ini
adalah tatanan sosial budaya masyarakat Kaili yang sangat
menghargai hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. pandangan
Hubungan antara manusia dan alam sekitarnya, dalam
masyarakat, tidak hanya sekedar hubungan
fungsional semata,
dimana alam berfungsi memberikan kehidupan bagi manusia, tetapi memiliki hubungan yang sangat luas mencakup aspek sosial budaya dan religiusitas (Nugraha dan Murtijo, 2005). Hubungan-hubungan yang diyakini oleh masyarakat dengan alam sekitarnya biasanya diimplementasikan kedalam sikap keseharian mereka dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia.
Dalam hal ini, sebagian
masyarakat di Kawasan Tanjung Karang Pusentasi (sebagaimana masyarakat
61
Kaili pada umumnya) menerapkan hal tersebut kedalam pola pemanfaatan lahan dengan berbagai kepentingannya.
Pola pemanfaatan
lahan oleh masyarakat
dikemukakan pada Tabel berikut. Tabel 24. Pola pemanfaatan lahan pada masyarakat Kaili di Tanjung Karang Pusentasi Pola pemanfaatan dan kepemilikan
Deskripsi
Vegetasi
Pemanfaatan
Ngapa (Perorangan dan komunal)
Wilayah yang diperuntukan bagi pemukiman.
Tanaman buah, sayuran, dan tanaman obat.
Perumahan dan prasarana masyarakat.
Pampa (Perorangan)
Lahan kebun atau ladang yang ditanami tanaman berumur pendek.
Umbi-umbian, jagung, tanaman sayuran, dan tanaman obat.
Subsisten, sebagai penyanggah kehidupan sebelum talua berproduksi.
Talua (Perorangan)
Lahan kebun yang ditanami tanaman yang berumur panjang.
Kelapa, cokelat, kopi, tanaman jangka panjang lainnya, dan padi ladang (umur pada ladang ± 6-7 bulan).
Kebutuhan jangka panjang, termasuk kebutuhan pangan tahunan.
Ova (Perorangan dan komunal)
Lahan hutan bekas kebun yang telah mengalami masa bera.
Tanaman keras terutama buahbuahan, tanaman kayu, dan belukar.
Cadangan lahan dan produksi buahbuahan lokal.
Pangale (Komunal)
Hutan yang pernah dimanfaatkan atau dikelola tetapi telah pulih kembali.
Tanaman kayu, rotan, dan berbagai jenis lainnya
Produksi rotan, tanaman obat, dan perburuan satwa
Olo (Adat)
Wilayah hutan yang sama sekali tidak dapat dikelola
Tanaman kayu dan berbagai vegetasi lainnya
Sumber mata air dan perlindungan alam.
Pola pemanfaatan lahan masyarakat di kawasan ini, merupakan pola pemanfaatan tradisional yang yang sudah digunakan oleh masyarakat sejak lama. Meskipun aturan tentang pemilikan lahan telah diatur oleh pemerintah melalui kebijakannya, namun dalam beberapa hal seperti yang dikemukakan pada tabel diatas pola pemanfaatannya masih diatur oleh kesepakatan masyarakat, terutamam yang berkaitan dengan lahan yang dikelola secara komunal dan adat. Melalui diskusi kelompok dikemukakan bahwa sebagai besar lahan yang dimiliki secara perorangan oleh masyarakat lokal saat ini adalah lahan yang diwariskan
62
secara adat kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan pemukiman dan kebutuhan ekonomi masyarakat. Lahan komunal merupakan lahan yang dimiliki secara kelompok dan dimanfaatkan serta diatur penggunaannya oleh kelompok. Pengelolaan secara kelompok ini dikenal dengan sebutan nosialampale. Sementara itu, kepemilikan lahan secara adat dilakukan untuk mengatur penggunaan lahan agar kepentingan masyarakat dan kepentingan pelestarian alam dapat berjalan seimbang. Kegiatan pelestarian alam dilakukan oleh kepentingan
masyarakat selain untuk
cadangan untuk kebutuhan masa depan juga ditujukan untuk
melindungi tata air bagi suatu lokasi tertentu. Pada beberapa desa di Kecamatan Banawa, termasuk di kawasan ini, terdapat lokasi yang dilindungi oleh masyarakat melalui mekanisme adat. Suatu lokasi tertentu yang dilindungi selain dikeramatkan juga dikuti oleh aturan-aturan tertentu yang mengikat dan harus ditaati oleh masyarakat. Resiko yang akan ditanggung bila melanggar, disamping sanksi adat yang diberikan juga diyakini akan menyebabkan bencana berupa gangguan hama tanaman, banjir, hilangnya sumber air, dan dapat pula menyebabkan timbulnya wabah penyakit yang menimpa masyarakat. Keseimbangan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam ini, selain di aktualisasikan dalam pola pemanfaatan lahan, juga dilakukan oleh masyarakat dalam pengelolaan lahan pertanian.
Kegiatan pertanian dilakukan oleh
masyarakat dengan menggunakan mekanisme yang sama dengan umumnya berlaku pada masyarakat lainnya. Meskipun demikian, bagi masyarakat Kaili di kawasan
ini,
proses
pengelolaan
lahan
pertanian
menggabungkan teknik pertanian dan prosesi adat
dilakukan
dengan
yang dianut dan diyakini
manfaatnya oleh masyarakat. Mekanisme pengelolaan usahatani yang dilakukan oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 25.
63
Tabel 25. Tatacara masyarakat dalam pengelolaan usahatani. Tahap pengelolaan Penyiapan lahan
Kegiatan
Deskripsi
Nompepoyu
Penentuan lokasi usahatani yang tepat agar selaras dengan kepentingan alam. Kegiatan dimulai dengan upacara adat.
Nontalu
Pemarasan lokasi dilakukan dengan mengikuti aturan yang telah disepakati secara adat oleh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan jenis dan ukuran tanaman tertentu yang tidak boleh ditebang.
Penanaman
Notuja
Kegiatan penanaman benih tanaman yang akan diusahakan.
Pemeliharaan tanaman
Nomperava
Pembersihan gulma yang terdapat pada lahan usahatani.
Panen dan paska panen
Nokato /nompui
Kegiatan pemanenan hasil usaha tani. Istilah nokato diperuntukan bagi panen padi, sedangkan nompui untuk tanaman jagung dan buah-buahan.
Novunja
Kegiatan adat/spiritual sebagai tanda kesyukuran atas berhasilnya kegiatan usahatani.
Nosialampale
Sistim usaha bersama yang dilakukan dalam mengelola lahan usahatani. Nosialampale berarti bergandengan tangan.
Sobo
- Pemangku adat (totua nu’ada) yang diangkat sebagai pemimpin petani melalui musyawarah adat. - Sangat memahami kondisi alam dan memiliki pengetahuan bertani yang baik. Berperan sebagai pengambil keputusan terhadap semua proses dalam kegiatan usahatani.
Kelembagaan
Kegiatan nompepoyu merupakan tahapan yang paling menentukan dalam proses pengelolaan usahatani yang dilakukan oleh masyarakat karena pada tahapan ini mereka menentukan lokasi lahan usahatani yang dapat diusahakan. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang sobo yang akan melakukan dialog (nogane) dengan alam agar dapat diberi petunjuk lokasi usahatani yang tepat sehingga tidak berakibat bagi rusaknya alam.
Proses tersebut akan menghasilkan
keputusan diizinkan atau tidaknya lokasi yang direncanakan dikelola sebagai lahan usahatani. Bila keputusan akhir menyatakan bahwa lokasi tersebut tidak
64
dapat dikelola maka masyarakat yang akan membuka lahan harus mencari lokasi lain yang tepat. Pertimbangan yang diambil dalam penentuan lokasi oleh sobo merupakan perpaduan antara pertimbangan-pertimbangan topografi, ekologi, dan metafisik. Demikian pula dengan tahapan-tahapan selanjutnya seperti pengolahan lahan, penanaman, panen dan kegiatan paska panen. dimulainya pengolahan lahan dan penanaman tanda alam.
Penentuan waktu
ditentukan berdasarkan tanda-
Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut, terutama nompepoyu,
notuja, dan nokato/nompui selalu didahului dengan kegiatan ritual yang dipimpin oleh sobo dengan disertai semacam dialog dengan alam yang oleh masyarakat disebut dengan nogane. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong yang disebut nosialampale. Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang terdapat di laut, masyarakat di kawasan ini juga memiliki pengetahuan dan kearifan tertentu agar potensi tersebut dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan secara turun temurun. Masyarakat masih memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan ketersediaan sumberdaya perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Pengetahuan-pengetahuan tersebut diantaranya adalah waktu yang tepat untuk melakukan penangkapan berdasarkan tanda-tanda alam seperti perbintangan, kondisi permukaan air laut, dan kondisi pasang surutnya air laut,
serta
pengetahuan tentang habitat yang menjadi tempat hidup dan berkembangnya jenis-jenis ikan tertentu. Masyarakat yang terdapat di kawasan ini menyebut lokasi yang menjadi habitat dari ikan-ikan tersebut berdasarkan jenis ikan yang dominan di lokasi tersebut. Sebagai contoh misalnya, pasi pogo yang merupakan habitat tempat berkembangnya sejenis ikan karang yang mereka sebut dengan bau pogo. Dalam bahasa Kaili, pasi berarti gugusan terumbu karang, sedangkan bau berarti ikan. Pengetahuan mereka tentang keadaan ini juga termasuk kapan waktu yang tepat untuk dilakukan penangkapan agar supaya potensi yang terdapat pada lokasi tersebut punah.
Oleh karena itu dalam menjaga keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya tersebut maka masyarakat Kaili memiliki kearifan tertentu yang disebut ombo.
65
Tabel 26. Kearifan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya laut. Aspek
Kegiatan
Sistim pengelolaan sumberdaya
Ombo
Pemanfaatan sumberdaya perikanan
Panambe
Maninti
Adat/spiritual
Nompaura
Deskripsi Aturan yang berlaku dalam masyarakat untuk tidak memanfaatkan hasil alam tertentu dalam batas waktu yang ditentukan bersama oleh masyarakat. Untuk daerah tangkapan ikan seperti pada suatu gugusan karang, waktu jeda tersebut bermanfaat untuk memulihkan populasi ikan dan perbaikan terumbu karang. Kegiatan yang dilakukan untuk memancing ikan dengan menggunakan perahu dan melemparkan umpan yang terdapat di pancing kemudian menariknya secara perlahan untuk mengundang perhatian ikan dan menangkap umpan yang terkait di pancing tersebut. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara berkelompok dengan jumlah 3 – 5 orang. Kegiatan memanfaatkan sumberdaya laut yang terdapat pada tepi pantai hingga gugusan karang saat air laut berada pada surut terendah dengan menggunakan tombak bermata kecil, parang, dan jaring tangkap yang mirip jaring kupu-kupu. Posesi adat yang dilakukan sekali setahun yang dilakukan sebagai tanda syukur serta memberi peringatan kepada masyarakat agar memanfaatkan potensi alam dengan sebaik-baiknya tanpa melakukan perusakan.
Kearifan lokal yang dihasilkan dari pengetahuan mereka tentang sumberdaya laut tersebut merupakan potensi yang dapat dikelola untuk kepentingan pengelolaan pariwisata. Ombo sebagai sebuah sistim pengelolaan terumbu karang untuk menjaga kelestariannya tidak hanya bermanfaat bagi kepentingan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat tetapi juga sangat bermanfaat untuk pariwisata sebagai salahsatu daya tarik yang dimiliki oleh kawasan ini. Disamping itu, kegiatan perikanan yang dilakukan oleh nelayan seharusnya juga dapat memperoleh manfaat dari dikembangkannya pariwisata di kawasan ini. Manfaat yang didapatkan tidak hanya bersumber dari penjualan hasil tangkapan ikan nelayan kepada wisatawan yang berkunjung tetapi juga melalui keikutsertaan wisatawan pada aktifitas yang dilakukan oleh nelayan. Salahsatu peluang untuk hal tersebut adalah menjadikan kegiatan panambe sebagai atraksi wisata.
66
Menurut informasi yang dikemukakan oleh masyarakat pernah terjadi secara spontan wisatawan meminta untuk diikutsertakan dalam kegiatan tersebut, dan ini menurut mereka merupakan sebuah kebanggaan dimana orang luar memberikan apresiasi terhadap aktifitas yang mereka lakukan. Dengan demikian maka aktifitas masyarakat ini dapat dikembangkan menjadi salahsatu daya tarik wisata yang juga bermanfaat untuk menambah pendapatan masyarakat serta mendorong mereka melindungi sumberdaya yang menjadi tempat dilakukannya aktifitas tersebut. Disamping pengetahuan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam seperti yang dikemukakan dimuka, masyarakat juga memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menghasilkan produk-produk budaya baik yang berbentuk benda budaya maupun seni musik dan tari. Berbagai bentuk produk budaya masyarakat di kawasan wisata ini disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Produk budaya masyarakat Kaili dalam bidang kerajinan. Kegiatan
Jenis produk (Nama lokal)
Deskripsi
Menenun (Nontanu)
Buya Sabe
Suatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat Kaili yang dituangkan kedalam bentuk pembuatan kain sarung dari benang sutera dengan berbagai motif.
Pembuatan alat-alat rumahtangga
Sindu
Sendok sayur yang terbuat dari tempurung kelapa dengan menggunakan kayu sebagai tangkainya.
Bobo
Alat penyimpan air yang terbuat dari tempurung kelapa bulat yang telah dikeluarkan dagingnya. Belahan tempurung kelapa yang berbentuk mangkok sebagai tempat cuci tangan. Bentuk yang seperti ini kadang juga digunakan oleh masyarakat sebagai tempat hidangan sayur. Sendok nasi yang terbuat dari bahan kayu yang terdapat disekitar desa.
Pemanjo
Suge
Salahsatu produk budaya masyarakat di wilayah ini yang saat ini telah memiliki nilai ekonomi adalah pembuatan sarung Donggala yang diproduksi dengan menggunakan alat tenun tangan. Pembuatan sarung ini merupakan keterampilan yang telah dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat di wilayah ini serta pada masyarakat Kaili di beberapa wilayah lainnya.
Pada
67
masyarakat Kaili, kegiatan ini biasa disebut dengan kegiatan nontanu yang dalam bahasa Indonesia berarti menenun. Nontanu adalah kegiatan membuat kain sarung yang juga merupakan salahsatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat lokal Kaili yang yang dituangkan kedalam kain sarung yang ditenun secara manual dengan menggunakan alat tenun tangan. Kegiatan masyarakat ini sudah berlangsung sejak zaman dahulu, meskipun tidak diperoleh informasi yang menyatakan sejak kapan kegiatan ini dilakukan, dan merupakan keterampilan dan aktifitas yang dilakukan oleh seorang gadis disamping aktifitas-aktifitas lainnya yang dilakukan di rumah.
Meskipun dahulu produksi sarung ini bukan untuk kepentingan
ekonomi tetapi hanya merupakan aktifitas yang berorientasi sosial dan budaya, namun saat ini telah menjadi sebuah kegiatan yang memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat.
Gambar 7. Kegiatan nontanu yang dilakukan oleh seorang gadis di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi. (Foto : Yayasan BEST)
Masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi juga memiliki keterampilan untuk menghasilkan barang-barang kerajinan yang berasal dari kayu, tempurung, dan bambu yang terdapat di kawasan ini, yang biasanya dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Produk kerajian tersebut biasanya
berupa barang-barang rumahtangga seperti sendok masak, serta alat makan dan minum. Namun demikian barang-barang tersebut sudah jarang dibuat karena
68
tergeser oleh produk-produk industri.
Peluang yang dapat dilakukan adalah
menjadikan barang-barang tersebut sebagai cinderamata yang dapat dibeli oleh wisatawan serta dapat dijadikan sebagai perlengkapan makan bagi wisatawan. Selain produk budaya yang berupa barang kerajian tersebut, di wilayah ini juga masih terdapat berbagai produk kesenian seperti seni tari dan musik. Kegiatan seni tari yang masih dimiliki oleh masyarakat dan merupakan tarian yang sering dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai kegiatan adalah tari Pontanu, Peulucinde dan Pomonte.
Produk-produk kesenian tersebut
dikemukakan pada Tabel 28. Tabel 28. Produk budaya masyarakat Kaili dalam bidang kesenian. Kegiatan Tari
Jenis (Nama lokal) Pomonte
Pontanu Peulucinde Meaju
Musik
Kakula
Dadendate
Deskripsi Tarian yang menggambarkan proses pemanenan padi yang dilakukan oleh beberapa orang baik pria maupun wanita, yang dipimpin oleh seorang tadulako. Tarian yang menggambarkan proses pembuatan sarung. Tarian penyambutan tamu yang dilakukan oleh tiga orang wanita. Suatu prosesi penyambutan tamu-tamu penting, biasanya dilakukan pada saat tamu masih berada di batas desa atau arena suatu kegiatan. Seni musik yang menggunakan kulintang dan gong yang terbuat dari kuningan, dan gendang, dan biasanya dimainkan pada acara-acara tertentu. Dadendate berarti nyanyian panjang, diiringi oleh alat musik berupa suling. Dilakukan menjelang kepergian seseorang ke perantauan yang berisi pesan-pesan moral. Saat ini dadendate telah digunakan pula sebagai media penyampaian pesan-pesan lingkungan.
Tari Pomonte merupakan tarian yang menggambarkan tentang proses pemanenan padi yang ditarikan oleh beberapa orang baik wanita maupun pria, yang didalamnya menggambarkan tentang peran seorang pemimpin atau Tadulako didalam melakukan sebuah kerja kelompok. Tari Pontanu merupakan tarian yang dilakukan oleh beberapa gadis yang menggambarkan tentang proses pembuatan sarung Donggala. Sedangkan tari Peulucinde adalah tarian yang dilakukan untuk menyambut kedatangan tamu dan ditarikan pula oleh beberapa orang gadis.
69
Kegiatan budaya lainnya yang masih dijumpai adalah Meaju yang merupakan sebuat prosesi penerimaan tamu secara resmi. Kegiatan dilakukan oleh sekelompok pria dengan menggunakan pakaian tertentu dan menggunakan tombak yang melakukan arak-arakan dari tempat diterimanya tamu hingga ke tempat dilakukannya suatu acara tertentu. Meaju ini biasa dilakukan pada saat menjemput kedatangan tamu-tamu penting yang datang ke daerah ini. Seni musik tradisional yang masih terdapat pada masyarakat Kaili yang bermukim di wilayah ini adalah Kakula dan Dadendate. Kakula merupakan seni musik yang dapat dimainkan tanpa atau mengiringi seorang penyanyi. Kegiatan seni ini biasa dilakukan pada saat beberapa hari sebelum hingga menjelang pesta pernikahan (tanpa penyanyi), serta pada acara-acara tertentu lainnya dengan menggunakan penyanyi. Sedangkan dadendate (nyanyian panjang) merupakan sebuah jenis kesenian yang biasanya dilakukan menjelang kepergiaan seseorang ke perantauan dan berisi pesan-pesan moral tertentu, dinyanyikan oleh seseoang dengan diiringi oleh oleh beberapa alat musik tertentu. Selain digunakan untuk mengantar kepergian seseorang saat ini dadendate telah digunakan pula untuk menyampaikan pesan-pesan lingkungan kepada masyarakat. 5.4. Konsep Pemerintah dan Pihak Lainnya Dalam Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat membutuhkan dukungan berbagai pihak yang terkait seperti pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat. Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan memiliki peran yang sangat penting untuk mengatur keseimbangan berbagai kepentingan yang terdapat dalam kegiatan pariwisata. Berkaitan hal tersebut, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Donggala mengembangkan konsep pembangunan pariwisata seperti yang dikemukakan pada Tabel 29.
70
Tabel 29. Konsep pembangunan pariwisata di Kabupaten Donggala. Tujuan
Strategi
Pembangunan kepariwisataan 1. Mendorong masyarakat daerah yang dapat : untuk melindungi potensi alam dan budaya. 1. Mengenal dan mencintai alam dan seni budaya 2. Mendorong pengembangan daerah, kreasi seni untuk memperkaya kebudayaan 2. Memelihara keseimbangan daerah. lingkungan hidup, 3. Meningkatkan peran aktif 3. Memperluas kesempatan masyarakat serta pengusaha kerja, dan kecil dan menengah. 4. Meningkatkan pendapatan 4. Meningkatkan pengenalan masyarakat dan daerah. masyarakat luas terhadap potensi wisata daerah. 5. Mengembangkan obyek wisata lokal dengan ciri khas daerah sebagai bagian dari aktifitas masyarakat.
Program 1. Pengembangan kelembagaan 2. Mengembangkan produk kerajian masyarakat. 3. Peningkatan promosi dan pembinaan masyarakat pariwisata. 4. Pengembangan pendidikan dan pelatihan pariwisata.
Sumber : Disparsenibud Donggala (2002, 2003). Strategi pengembangan pariwisata di Kabupaten Donggala, seperti yang dikemukakan pada tabel diatas, memperlihatkan bahwa sebenarnya masyarakat memiliki kesempatan yang sangat besar untuk berpartisipasi didalam pengelolaan pariwisata di kawasan Tanjung Karang Pusentasi. Meskipun demikian, sejalan dengan kondisi yang diungkapakan oleh masyarakat lokal pada saat wawancara dan diskusi kelompok terfokus bahwa konsep pemerintah tentang pengembangan peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata belum didukung oleh pengaturan mekanisme yang jelas tentang peran tersebut. Hingga saat ini Dinas Pariwisata juga belum memiliki satupun dokumen yang dapat memberi panduan bagi semua pihak untuk mengembangkan peran bersama dalam pengelolaan pariwisata di kawasan ini. Sementara itu, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap aparat pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan dengan pandangan mereka terhadap peran masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata di Tanjung karang Pusentasi dikemukakan pada Tabel 30.
71
Tabel 30. Pandangan aparat pemerintah, swasta, dan LSM tentang peran dan posisi masyarakat. Pihak
Posisi dan peran masyarakat
Aparat Pemerintah
- Melibatkan semua komponen masyarakat, dimana pemerintah berperan sebagai fasilitator. - Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengembangan pariwisata. - Pengembangan obyek wisata sebagai bagian dari aktifitas masyarakat. - Pengembangan pariwisata dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal.
Swasta
- Melibatkan masyarakat lokal dalam mengelola pariwisata sebagai tenaga kerja. - Perlindungan potensi alam sebagai daya tarik wisata. - Pengembangan dan perlindungan budaya lokal sebagai salahsatu daya tarik wisata.
LSM/KSM
- Masyarakat lokal dilibatkan secara penuh dalam perencanaan pengembangan kawasan wisata. - Keikutsertaan masyarakat dalam usaha pariwisata melalui kelompok usaha bersama yang dibentuk oleh masyarakat lokal. - Pengembangan usaha dengan sistim kerjasama (kepemilikan bersama) antara swasta dan masyarakat lokal.
Wawancara yang dilakukan terhadap aparat pemerintah pada berbagai tingkatan memperlihatkan bahwa posisi dan peran masyarakat menjadi perhatian dalam pengembangan pariwisata di kawasan ini. Seperti dikemukakan pada tabel diatas, terlihat bahwa masyarakat sebagai pemeran utama dalam pengelolaan pariwisata dengan menjadikan kegiatan pariwisata sebagai bagian dari aktifitas masyarakat dan pengembangan pariwisata dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Meskipun demikian, beberapa responden aparat
pemerintah yang berasal dari tingkatan terendah yaitu Lurah dan Kepala Desa mengemukakan bahwa keadaan tersebut masih sulit untuk diwujudkan karena hingga saat ini belum pedoman yang jelas tentang pengembangan peran masyarakat. Hal ini penting, terutama bagi aparat pemerintahan pada tingkatan ini, agar dapat dijadikan dasar yang kuat bagi mereka untuk melakukan pengambilan
keputusan
pada
level
pemerintahan
Dikemukakan bahwa tanpa aturan dan pedoman
yang
dipimpimnya.
yang jelas sulit bagi mereka
untuk memperjuangkan peran masyarakat disaat berbagai kepentingan, termasuk
72
kepentingan pemerintahan pada level diatasnya, bertarung untuk mendapatkan manfaat dari berkembangnya kegiatan pariwisata. 5.5. Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi Berkaitan dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, beberapa hal yang merupakan faktorfaktor pendukung maupun kendala didalam mengembangkan kegiatan tersebut telah diidentifikasi melalui serangkaian proses wawancara dan diskusi baik kepada masyarakat lokal maupun stakehoder lainnya seperti pemerintah, pengusaha wisata, dan LSM.
Beberapa faktor pendukung yang berkaitan
dengan pengembangan pariwisata berbasis mastarakat tersebut adalah : 1. Potensi alam berupa pemandangan alam laut, pantai pasir putih, terumbu karang, potensi alam daratan untuk melakukan tracking (lintas alam). 2. Budaya dan kearifan masyarakat lokal dalam melakukan kegiatan yang selaras alam, kearifan masyarakat dalam melindungi terumbu karang melalui ombo, kegiatan panambe. 3. Keinginan
yang
kuat
dari
masyarakat
untuk
terlibat
dalam
mengembangkan potensi sumberdaya pariwisata. 4. Keterampilan masyarakat dalam menghasilkan produk kerajinan dan olahan makanan lokal yang berasal dari hasil laut. 5. Kelembagaan sosial masyarakat yang masih terpelihara (kelompok nelayan, institusi adat, kelompok dasawisma/PKK, kelompok pemuda, dan kelompok keagamaan). 6. Dukungan pemerintah kepada masyarakat untuk melindungi potensi sumberdaya alam dan budaya (Renstra Pariwisata Donggala). 7. Pengembangan obyek wisata lokal dengan ciri khas daerah sebagai bagian dari aktifitas masyarakat (Renstra pariwisata Donggala). 8. Dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat (Renstra Pariwisata Dongaala). 9. Keinginan pihak swasta/pengusaha untuk melibatkan masyarakat lokal. 10. Dukungan/perhatian lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong peranserta masyarakat dalam pengembangan pariwisata.
73
Sedangkan faktor-faktor yang merupakan kendala atau permasalah dalam mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan ini adalah : 1. Akses masyarakat yang lemah terhadap informasi pengembangan pariwisata. 2. Rendahnya kemampuan permodalan masyarakat dalam mengembangkan usaha yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata. 3. Masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam merancang produk dalam bentuk atraksi wisata. 4. Keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lokasi pariwisata yang masih rendah. 5. Kerjasama antar lembaga masyarakat yang terdapat di kawasan wisata yang masih rendah. 6. Tidak adanya aturan dan mekanisme yang jelas, dari pemerintah, yang dapat menjamin keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata. 7. Kegiatan pariwisata yang berbenturan dengan kegiatan ekonomi masyarakat lokal (kasus area penyelaman di Tanjung Karang) dan mengamcam akses masyarakat terhadap sumberdaya . 8. Kegiatan pembangunan pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah yang lebih menekankan pada aspek fisik. 9. Pembangunan prasarana penunjang pariwisata yang megakibatkan kerusakan lingkungan. 10. Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada pengusaha/swasta. Informasi-informasi yang berkaitan dengan faktor pendukung dan kendala yang terdapat dalam upaya mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat ini kemudian dirumuskan kedalam faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang dianalisis untuk mendapatkan strategi yang dapat mendukung dikembangkannya konsep pengelolaan tersebut. 5.5.1. Analisis Faktor Internal dan Eksternal Analisis SWOT dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor internal dan eksternal yang terdapat pada kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi untuk memberi arahan bagi pengembangan strategi pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan ini. Faktor internal adalah faktor dari dalam masyarakat
74
lokal yang mencerminkan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya (Tabel 31 dan 32). Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor diluar masyarakat lokal yang kondisinya tidak diatur atau dikendalikan oleh masyarakat, yang digambarkan melalui faktor peluang dan ancaman (Tabel 31).
Rating
Nilai
Faktor Internal
Bobot
No.
Prioritas
Tabel 31. Analisis faktor internal yang merupakan kekuatan dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
1,00
4
4,00
I
1,00
4
4,00
I
0,50
2
1,00
IV
0,75
4
3,00
II
0,75
3
2,25
III
Kekuatan : 1.
2.
3. 4.
5.
Potensi alam berupa pemandangan alam laut, pantai pasir putih, terumbu karang, dan potensi alam daratan untuk melakukan tracking (lintas alam). Budaya dan kearifan masyarakat dalam melakukan kegiatan yang selaras alam serta kearifan masyarakat dalam melindungi terumbu karang melalui ombo, kegiatan panambe, kegiatan nontanu, dan produk kesenian lokal. Keinginan yang kuat dari masyarakat untuk mengembangkan potensi sumberdaya pariwisata. Keterampilan masyarakat dalam menghasilkan produk kerajinan dan olahan makanan lokal yang berasal dari hasil laut. Kelembagaan sosial masyarakat yang masih terpelihara (kelompok nelayan, institusi adat, kelompok dasawisma/PKK, kelompok pemuda, dan kelompok keagamaan). Jumlah
14,25
Keterangan : Pembobotan didasarkan pada tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap konsep pariwisata berbasis masyarakat. Kriteria digunakan (1,00 =sangat berpengaruh ; 0,75 =berpengaruh ; 0,50 =cukup berpengaruh ; 0,25 =kurang berpengaruh ; 0,00 = tidak berpengaruh). Rating yaitu tingkat kepercayaan atau keyakinan akan pentingnya aspek tersebut, menggunakan skala Likers dengan nilai 1-4 dengan kategori : 1 =kurang penting, 2 =cukup penting, 3 =penting, 4 =sangat penting. Nilai merupakan hasil perkalian antara bobot dengan rating.
Faktor strategis kekuatan (internal) dalam pengelolaan pariwisata di Tanjung Karang Pusentasi memiliki nilai total sebesar 13,50 (Tabel 31). Bila diamati melalui berbagai faktor didalamnya, ternyata faktor keragaman potensi alam, dan faktor budaya dan kearifan masyarakat mempunyai nilai yang paling tinggi (4,00) dibanding faktor-faktor lainnya. Keadaan ini sangat beralasan bila
75
dikaitkan dengan hasil pemetaan masyarakat tentang potensi atraksi wisata alam dan budaya yang dikemukakan pada pembahasan sebelumnya.
Meskipun
demikian, faktor-faktor lain seperti keterampilan masyarakat dalam memproduksi barang kerajinan lokal (3,00), kelembagaan sosial masyarakat (2,25), dan motivasi masyarakat lokal (1,00) tetap memegang peranan penting dalam upaya pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat.
3. 4. 5.
Nilai
2.
Kelemahan : Akses masyarakat yang lemah terhadap informasi pengembangan pariwisata. Rendahnya kemampuan permodalam nasyarakat dalam mengembangkan usaha yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata. Masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam merancang produk dalam bentuk atraksi wisata. Keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lokasi wisata yang masih rendah. Belum ada kerjasama antar lembaga masyarakat yang terdapat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi.
Rating
1.
Faktor Internal
Bobot
No.
1,00
4
4,00
I
0,75
4
3,00
II
0,75
4
3,00
II
0,75
4
3,00
II
0,50
3
1,50
IV
Jumlah
14,50
Faktor internal yang merupakan kelemahan memiliki nilai total sebesar 14,50 (Tabel 32), dengan faktor kelemahan yang paling menonjol adalah akses masyarakat
yang
lemah
terhadap
informasi
pengembangan
pariwisata.
Sementara itu faktor-faktor kelemahan lainnya yang juga menonjol adalah rendahnya kemampuan permodalan masyarakat, merancang produk wisata, dan pengelolaan lokasi wisata.
Prioritas
Tabel 32. Analisis faktor internal yang merupakan kelemahan dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
76
3. 4. 5.
Faktor-faktor
strategis
eksternal
yang
Prioritas
2.
Peluang Dukungan pemerintah kepada masyarakat untuk melindungi potensi sumberdaya alam dan budaya (Renstra Pariwisata Donggala). Pengembangan obyek wisata lokal dengan ciri khas daerah sebagai bagian dari aktifitas masyarakat (Renstra Pariwisata Donggala) Dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat (Renstra Pariwisata Donggala). Adanya keinginan pihak swasta/pengusaha untuk melibatkan masyarakat lokal. Dukungan/perhatian lembaga swadaya masyarakat untuk mendorong peranserta masyarakat dalam pengembangan pariwisata. Jumlah
Nilai
1.
Faktor Eksternal
Rating
No.
Bobot
Tabel 33. Analisis faktor eksternal yang merupakan peluang dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
1,00
3
3,00
II
0,75
3
2,25
III
1,00
4
4,00
I
0,50
2
1,00
IV
0,75
4
3,00
II
merupakan
13,25
peluang
bagi
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi memiliki nilai sebesar 13,25 (Tabel 33). Faktor yang dapat diandalkan untuk mengembangkan sistim pengelolaan berbasis masyarakat adalah dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan pariwisata seperti yang tertuang dalam rencana strategi pariwisata Donggala tahun 2003. Sementara itu faktor-faktor lain yang juga dapat mendukung adalah dukungan pemerintah terhadap perlindungan potensi alam dan budaya, dukungan lembaga
swadaya
masyarakat,
dan
konsep
pemerintah
yang
akan
mengembangkan obyek wisata dengan ciri khas lokal serta menjadikannya sebagai bagian dari aktifitas masyarakat. Dukungan pihak swasta dalam hal ini tidak terlalu berpengaruh yang disebabkan karena orientasi profit yang dianut oleh pengusaha pada umumnya.
77
1.
2.
3.
4.
Ancaman : Tidak adanya aturan dan mekanisme yang jelas, dari pemerintah, yang dapat menjamin keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pariwisata. Kegiatan pariwisata yang berbenturan dengan kegiatan ekonomi masyarakat lokal dan mengamcam akses masyarakat terhadap sumberdaya. Kegiatan pembangunan pariwisata yang dilakukan oleh pemerintah yang lebih menekankan pada aspek fisik. Pembangunan prasarana penunjang pariwisata yang megakibatkan kerusakan lingkungan. Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada pengusaha/swasta.
5. Jumlah
Prioritas
Nilai
Faktor Eksternal
Rating
No.
Bobot
Tabel 34. Analisis faktor eksternal yang merupakan ancaman dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
1,00
4
4,00
I
1,00
3
3,00
II
0,75
2
1,50
IV
0,50
3
1,50
IV
0,75
4
3,00
III
13,00
Faktor-faktor eksternal yang merupakan ancaman bagi penerapan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat seperti yang dikemukakan pada Tabel 34 diatas memiliki nilai total sebesar 12,15. Faktor yang paling menonjol adalah berkaitan dengan tidak adanya aturan dan mekanisme yang dapat menjamin keterlibatan masyarakat secara penuh didalam kegiatan pariwisata. Ancaman lainnya yang menonjol adalah perbenturan kepentingan antara kegiatan pariwisata dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Variasi dari ancaman ini dapat berupa hilangnya hak masyarakat terhadap lahan yang dimilikinya, dan hilangnya akses mereka terhadap sumberdaya seperti yang terjadi pada konflik pemanfaatan terumbu karang untuk lokasi penyelaman dengan kepentingan nelayan di Tanjung Karang. Disamping itu, komitmen yang rendah terhadap pembangunan yang bersifat non-fisik dan berorientasi lingkungan, rendahnya keberpihakan pada masyarakat lokal merupakan ancaman dalam mengembangkan sistim pengelolaan yang berbasis masyarakat. Pengembangan strategi pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat dikawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi dilakukan dengan mensinergikan
78
faktor-faktor internal dan eksternal pada Tabel 31, 32, 33, dan 34 kedalam 4 pilihan strategi sebagaimana dikemukakan pada Tabel 35 berikut. Tabel 35 Matriks SWOT dalam pengelolaan pariwisata di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi
Faktor eksternal
Peluang (O) : Dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif masyarakat (4,00) Dukungan pemerintah kepada masyarakat untuk melindungi potensi alam dan budaya (3,00) Dukungan lembaga swadaya masyarakat bagi peranserta masyarakat (3,00) Kebijakanpemerintah untuk mengembangkan pariwisata dengan ciri khas lokal oleh masyarakat (2,25) Keinginan pihak swasta melibatkan masyarakat (1,00)
Faktor internal Kekuatan (S) : Kelemahan (W) : Potensi alam yang tersedia Akses masyarakat rendah (4,00) terhadap informasi Potensi budaya dan kearifan pengembangan pariwisata masyarakat (4,00) (4,00) Keterampilan masyarakat Rendahnya kemampuan dalam menghasilkan permodalan masyarakat kerajinan dan makanan hasil (3,00) laut (3,00) Rendahnya kemampuan Kelembagaan sosial masyarakat merancang masyarakat yang masih produk/atraksi wisata (3,00) terpelihara (2,25) Keterampilan pengelolaan Keinginan kuat masyarakat pariwisata yang rendah (1,00) (3,00) Belum ada kerjasama antar lembaga masyarakat (1,50) Strategi S-O : Strategi W-O : Pengelolaan potensi yang Pengembangan kapasitas beragam tersebut masyarakat lokal dan dilakukan secara bersama organisasi sosial yang oleh semua pihak dimana dimilikinya . masyarakat lokal Membangun mekanisme mengambil peran dalam penyediaan modal usaha pengambilan keputusan. bagi masyarakat lokal Mengintegrasikan modal yang mengikutsertakan sosial masyarakat (budaya semua pihak. dan kearifan lokal) dengan Mengembangkan program pemerintah. jaringan kerjasama yang Pengembangan setara antara kelompokkemampuan masyarakat kelompok atau dalam melakukan organisasi masyarakat assessment terhadap lokal dengan pemerintah, potensi lokal yang swasta, dam lembaga dimilikinya. swadaya masyarakat.
79
Tabel 35. Lanjutan Ancaman (T) : Tidak ada peraturan dan mekanisme yang jelas bagi keterlibatan masyarakat (4,00) Benturan kegiatan pariwisata dengan kegiatan ekonomi masyarakat yang mengancam akses terhadap sumberdaya (3,00) Sikap pemerintah lebih lebih berpihak kepada pengusaha (3,00) Pembangunan pariwisata yang lebih menekankan pada aspek fisik (1,50) Pembangunan prasarana pariwisata mengakibatkan kerusakan lingkungan (1,50)
Strategi S-T : Mensinkronisasikan modal sosial yang dimiliki masyarakat dengan kemampuan kapital yang dimiliki oleh stakeholder lainnya. Membangun sistim perencanaan pengembangan pariwisata yang memungkinkan terpeliharanya hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya. Mengembangkan prinsip pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan.
Strategi W-T : Menyiapkan peraturan dan mekanisme keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. Penguatan organisasi dan kelembagaan yang terdapat pada masyarakat lokal. Membangun sistim pengelolaan yang memungkinkan masyarakat sebagai pemilik saham .
5.5.2. Analisis Strategi Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat Untuk menentukan alternatif prioritas strategi yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, dilakukan penghitungan nilai dari masing-masing strategi dengan menjumlahkan nilai masing-masing faktor yang saling berinteraksi. Urutan prioritas strategi ditentukan oleh besarnya nilai hasil penjumlahan antar faktor yang berintegrasi dan disusun berdasarkan besarnya nilai masing-masing strategi tersebut. Nilai interaksi antar faktor tersebut dikemukakan pada matriks berikut. Faktor internal
Kekuatan (S) (13,50)
Kelemahan (W) (14,50)
Peluang (O) (13,25)
Strategi S-O (26,75)
Strategi W-O (27,75)
Ancaman (T) (13,00)
Strategi S-T (26,50)
Strategi W-T (27,50)
Faktor eksternal
Gambar 8. Matriks nilai strategi SWOT dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi.
80
Berdasarkan hasil perhitungan nilai interaksi antar faktor yang dikemukakan pada diatas diperoleh urutan prioritas strategi yaitu strategi W-O (27,75), strategi
W-T (27,50), strategi S-O (26,75), dan strategi S-T (26,50).
Mengacu pada nilai masing-masing strategi tersebut, maka dapat disusun strategistrategi pengelolaan sebagai berikut : 1. Strategi W-O meliputi : a. Pengembangan kapasitas masyarakat lokal dan organisasi sosial yang dimilikinya. b. Membangun mekanisme penyediaan modal usaha bagi masyarakat lokal yang mengikutsertakan semua pihak. c. Mengembangkan jaringan kerjasama yang setara antara kelompokkelompok atau organisasi masyarakat lokal dengan pemerintah, swasta, dam lembaga swadaya masyarakat. 2. Strategi W-T meliputi : a. Menyiapkan peraturan dan mekanisme keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. b. Penguatan organisasi dan kelembagaan yang terdapat pada masyarakat lokal. c. Membangun sistim pengelolaan yang memungkinkan masyarakat sebagai pemilik saham dari usaha pariwisata yang dikembangkan. 3. Strategi S-O meliputi : a. Pengelolaan potensi pariwisata yang beragam di kawasan wisata ini dilakukan secara bersama oleh semua pihak dimana masyarakat lokal mengambil peran dalam pengambilan keputusan. b. Mengintegrasikan modal sosial masyarakat (budaya dan kearifan lokal) dengan program pemerintah. c. Pengembangan kemampuan masyarakat dalam melakukan assessment terhadap potensi lokal yang dimilikinya.
81
4. Strategi S-T meliputi : a. Mensinkronisasikan modal sosial yang dimiliki masyarakat dengan kemampuan modal yang dimiliki oleh stakeholder lainnya. b. Membangun
sistim
perencanaan
pengembangan
pariwisata
yang
memungkinkan terpeliharanya hak dan akses masyarakat terhadap sumberdaya. c. Mengembangkan prinsip pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan. Bila ditelaah secara lebih seksama faktor-faktor strategis tersebut, secara garis besar mencakup beberapa isu penting yang perlu mendapatkan perhatian yaitu : Pertama, pengembangan kapasitas masyarakat dan stakeholder lainnya dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Pengembangan kapasitas masyarakat akan mencakup pengetahuan dan keterampilan, permodalan, dan pengembangan
jaringan.
Pengelolaan
pariwisata
berbasis
masyarakat
membutuhkan sebuah proses yang memungkinkan masyarakat dapat berperan lebih baik didalamnya.
Pengembangan kapasitas merupakan serangkaian
aktifitas dimana individu, kelompok, dan organisasi didalam masyarakat meningkatkan kemampuan mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Kapasitas dalam hal ini menyangkut kepedulian, keterampilan, pengetahuan, motivasi, komitmen, dan kepercayaan diri masyarakat (Raik, 2002). Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk mengukur potensi, nilai, dan prioritas mereka serta dapat mengorganisir diri (William, 1995 dalam Syahyuti, 2005) untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan potensi sumberdaya yang terdapat di lingkungannya. Pengembangan kapasitas stakeholder lainnya dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan
mereka
dalam
memahami
kepentingan-
kepentingan masyarakat lokal dan mengakomodasikannya kedalam aktifitas usaha pengembangan pariwisata yang dilakukan. Pengembangan kapasitas seperti yang dikemukakan tersebut, tidak ditujukan untuk menafikan peran pihak lain diluar masyarakat lokal seperti pemerintah, swasta, dan berbagai kelompok lainnya, yang notabene memiliki kemampuan jaringan dan permodalan yang lebih baik, tetapi sebagai upaya untuk membangun kemampuan masyarakat
82
lokal dan stakeholdre lainnya dalam melakukan kerjasama serta mampu melakukan proses pengambilan keputusan bersama yang setara dan saling menguntungkan.
Dengan demikian, proses tersebut juga akan memberikan
kemampuan bagi masyarakat dalam mengembangkan jaringan kerjasamanya dengan berbagai pihak. Pendekatan seperti ini telah dikembangkan dalam kegiatan pariwisata berbasis masyarakat yang dilakukan di beberapa Taman Nasional di Indonesia. Salahsatunya adalah yang dilakukan di Taman Nasional Rinjani, dimana masyarakat lokal
dengan stakeholder lainnya melakukan perencanaan dan
pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat secara bersama-sama (APEISRISPO, 2003a). Selain di Taman Nasional Rinjani, kegiatan tersebut telah pula dilakukan oleh berbagai lembaga dan masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (APEIS-RISPO, 2003b). Keadaan ini akan memberikan peluang bagi masyarakat untuk membangun usaha bersama dengan pihak lain ataupun mendapatkan suntikan modal karena perencanaan usaha yang dilakukan didasarkan pada proses perencanaan yang matang. Kedua, inventarisasi ataupun penggalian kembali potensi sumberdaya pariwisata baik yang bersumber dari potensi alam (termasuk didalamnya aktifitas produksi masyarakat) maupun potensi sosial budaya. Inventarisasi merupakan suatu bagian dari proses pengelolaan yang akan menentukan strategi yang dapat digunakan dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.
Flyman (2002)
mengemukakan bahwa pengambilan keputusan dan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat harus didasarkan pada pemahaman mereka tentang sumberdaya yang tersedia agar dapat menjamin kebutuhan mereka secara berkelanjutan. Inventarisasi ini juga merupakan suatu bentuk proses pembelajaran bagi masyarakat lokal dalam mempersiapkan dan memproduksi atraksi wisata. Kemampuan masyarakat lokal dalam memetakan potensi sumberdaya pariwisata yang terdapat di lingkungannya adalah modal yang sangat penting dalam mendukung keterlibatan mereka pada semua tahapan pengelolaan (Garrod, 2003). Hal ini akan memeberikan kemampuan kepada masyarakat untuk dapat
83
memetakan potensi yang mereka miliki termasuk kekurangan dan kelebihan yang terdapat didalamnya. Ketiga, pengembangan kemampuan permodalan dan pengelolaan usaha masyarakat lokal. Hal ini merupakan salahsatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi seperti yang dialami oleh kebanyakan masyarakat di desa-desa pantai yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan memiliki kemampuan modal yang sangat terbatas. Upaya yang dilakukan dalam mengembangkan kemampuan masyarakat lokal dalam pengelolaan usaha pariwisata serta seberapa besar manfaat yang diperolehnya tergantung pada beberapa faktor penting seperti jenis wisata yang dikembangkan, regulasi dalam perncanaan pengembangan, kepemilikan lahan, dan akses masyarakat terhadap permodalan (Ashley et al, 2000). Keempat, pengembangan jaringan dan kemitraan yang memungkinkan masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisata yang berlangsung.
Berbagai manfaat yang dapat diperoleh masyarakat lokal
diantaranya informasi yang berkaitan dengan peluang usaha yang dapat dikembangkan dalam menunjang kegiatan pariwisata, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola usaha pariwisata, dan kemungkinan dikembangkannya kegiatan usaha bersama dengan stakeholder lainnya.
Hal ini dimungkinkan karena masyarakat lokal meskipun memiliki
modal usaha yang terbatas tetapi memiliki asset sumberdaya alam dan budaya. Pengambilan keputusan yang meskipun dilakukan untuk kepentingan lokal yang menyangkut pengembangan masyarakat dan wilayah tertentu sangat berkaitan dengan berbagai kepentingan yang lebih luas. Oleh karenanya, untuk mengembangkan kegiatan pariwisata di wilayah ini dibutuhkan jaringan kerjasama dan kemitraan antara berbagai stakeholder terkait. Pendekatan tersebut dapat membangun tanggungjawab bersama dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan implementasi serta evaluasi kegiatan (International Council on Local Environmental Initiative, 1999). Kelima, aturan atau pedoman yang mengatur mekanisme keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata.
Salahsatu kelemahan yang
terdapat dalam upaya membangun pariwisata di daerah saat ini adalah lemahnya
84
kebijakan pariwisata daerah (Nirwandar, 2006). Kelemahan kebijakan ini tidak hanya menyangkut strategi daerah untuk mengembangkan sektor pariwisatanya, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana sebaiknya mekanisme yang ditempuh agar semua komponen yang terkait didalam sektor tersebut dapat berperan didalamnya.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat, aturan atau pedoman yang mengatur mekanisme peran berbagai pihak, terutama masyarakat lokal sangat diperlukan. Hal ini disebabkan karena dalam berbagai pengalaman, masyarakat lokal selalu terpinggirkan oleh pesatnya perkembangan pariwisata. Keadaan diatas merupakan akibat dari kebijakan dan perencanaan yang berkaitan dengan pariwisata secara umum tidak memenuhi harapan masyarakat lokal yang disebabkan oleh isi/kandungan kebijakan tersebut tidak memenuhi kepentingan masyarakat ataupun ada tetapi tidak dapat dilaksanakan (Liu dan Wall, 2006). Berkaitan dengan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi, meskipun pemerintah daerah telah menetapkan pariwisata dikembangkan dengan menggunakan pendekatan pemberdayaan masyarakat (Disparsenibud Donggala, 2002 dan 2003) namun belum memiliki mekanisme yang jelas. Hal ini sangat diperlukan agar semua pihak dapat mengembangkan perannya masing-masing sesuai dengan potensi yang dimiliki. Salahsatu contoh, misalnya, untuk menjamin pemasaran produksi (pertanian, peternakan, dan perikanan) masyarakat maka ditetapkan untuk menyediakan konsumsi bagi wisatawan yang bersumber dari produksi atau sumberdaya lokal (Garrod et al, 2006). Keenam, membangun sistim pengelolaan pariwisata yang ramah lingkungan, baik dari aspek lingkungan alam maupun lingkungan sosial budaya. Pengembangan pariwisata yang berorientasi pada kelestarian lingkungan tidak saja ditujukan bagi terpeliharanya potensi sumberdaya secara berkelanjutan tetapi juga disebabkan karena permintaan pasar pariwisata yang besar terhadap aspek ini. Berkaitan dengan itu, Damanik dan Weber (2006) mengemukakan bahwa aspek lingkungan yang alamiah menjadi incaran sebagian besar wisatawan global, mulai dari Amerika Utara sampai Eropa. Selanjutnya dikemukakan pula, tiga dari setiap empat orang wisatawan Amerika Serikat pada tahun 2003
85
memandang penting bahwa perjalanan mereka dapat menikmati kondisi alam yang masih baik. Demikian pula dengan aspek lingkungan sosial sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aspek lingkungan secara keseluruhan (Soetaryono, 2002 dalam Purba, 2002). Pertimbangan aspek lingkungan sosial memiliki kepentingan yang luas karena hal ini akan mempengaruhi berbagai sendi kehidupan masyarakat termasuk pengaruhnya terhadap lingkungan alam. Berbagai kasus memberikan contah bahwa ketidakserasian dan keseimbangan aspek sosial memberikan pengaruh pada upaya untuk melestarikan potensi sumberdaya alam. Selain itu, perhatian terhadap aspek ini juga berkaitan dengan keinginan pasar pariwisata dimana daya tarik budaya, kondisi sosial, dan politik lokal dijadikan bahan pertimbangan bagi wisatawan dalam memilih lokasi kunjungan (Damanik dan Weber, 2006). 5.5.3. Konsep Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi Berdasarkan berbagai isu strategis yang telah dikemukakan sebelumnya, maka diperlukan konsep yang dapat memberikan peluang peran masyarakat bersama stakeholder lainnya untuk mengembangkan sistim pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat.
Pengalaman yang telah dilakukan di
berbagai tempat seperti pada beberapa Taman Nasional di Indonesia (APEISRISPO, 2003a dan 2003b) dapat pula dijadikan acuan sebagai bahan perbandingan untuk mengembangkan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi. Berbagai pengalaman tersebut menempatkan masyarakat lokal dan lembaganya sebagai bagian dari proses perencanaan dan pengelolaan pariwisata. Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat yang juga merupakan kegiatan pengembangan masyarakat (community development) dimana mereka dapat berpartisipasi didalamnya secara penuh.
Pengembangan masyarakat
merupakan upaya yang dilakukan untuk mendorong dan membantu masyarakat dalam menetapkan kebutuhannya dan memberi ruang bagi mereka untuk menentukan standar pencapaiannya (Cochrane, 1971 dalam Pinel, 1998). Pengembangan
masyarakat
bertujuan
untuk
mendorong
masyarakat
86
meningkatkan kapasitas dalam memperbaiki kualitas hidupnya. Hal tersebut membutuhkan kepercayaan diri, pengalaman, pengetahuan dan kemampuan baik bagi individu, kelompok, dan organisasi yang membentuk masyarakat tersebut (Reid et al, 1993 dalam Pinel, 1998). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa upaya pengembangan masyarakat dilakukan agar mereka dapat memiliki kemampuan untuk menstrukturkan pengalaman, pengetahuan, dan harapan mereka kedalam sebuah aktifitas dan perencanaannya yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di sekitarnya. Dengan kata lain, pengembangan masyarakat merupakan upaya pemberdayaan (empowerment) diri dan potensi yang dimilikinya baik yang berupa sumberdaya alam maupun potensi sosialnya. Hal ini penting karena upaya pemberdayaan pada level akar rumput (grassroot) adalah hal penting yang dalam memformulasikan perencanaan yang bersifat komprehensip dan merupakan sarana yang penting dan menentukan bagi kelayakan kegiatan yang berbasiskan mayarakat (Tosun dan Timothy, 2003). Berkaitan dengan pemikiran yang yang dikemukakan tersebut, maka konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi dikembangkan dalam konteks pengembangan masyarakat dan wilayah yang luas. Dengan demikian berarti bahwa konsep pengelolaan yang ditawarkan tetap mempertimbangkan kepentingan dan melibatkan berbagai stakeholder lainnya seperti pemerintah, swasta, LSM, dan perguruan tinggi. Hal ini disebabkan karena terdapat berbagai masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh masyarakat pada tingkat lokal tetapi harus melibatkan pihak lain pada level yang lebih tinggi dan lebih luas (Uphoff, 1992). Konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat mencakup 4 (empat) tahapan proses yaitu tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat, tahap perencanaan dan persiapan, tahap pelaksanaan dan pendampingan, dan tahap monitoring dan evaluasi. Secara skematis, konsep pengelolaan tersebut disajikan pada Gambar 9.
87
Diisi dengan skema, gambar 9 (landscape)
88
Tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat dilakukan berupa menginventarisasi pengetahuan, pengalaman, perhatian, dan harapan masyarakat terhadap potensi dan pengelolaan pariwisata, serta menggali berbagai aspek yang berkaitan dengan potensi dan pengembangan produk pariwisata. Tahapan ini bertujuan untuk ;
pertama, mengembangkan pengetahuan dan kesadaran
bersama tentang pariwisata yang ramah lingkungan ; kedua, mengidentifikasi elemen-elemen penting untuk penyusunan pedoman dan aturan pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat ; ketiga, mengidentifikasi hubungan dan keterkaitan antar berbagai stakeholder. Assessment dan pengorganisasian masyarakat melibatkan berbagai stakeholder, baik masyarakat lokal dan non-lokal maupun berbagai pihak lain yang berkepentingan terhadap pengembangan pariwisata. Mereka diposisikan sebagai pihak yang sangat memiliki pemahaman terhadap situasi dan kondisi serta kepentingannya masing-masing. Aktifitas wawancara yang bersifat formal dan informal serta diskusi kelompok dapat dilakukan bersama (melalui fasilitasi pihak independen) untuk menggali dan berbagi pengalaman serta pengetahuan agar terbangun wawasan dan pengertian yang dalam tentang kepentingan dan peran masing-masing stakeholder. Keluaran dari assessment yang dilakukan dapat berupa hal-hal yang dapat dijadikan materi penyusunan konsep dan mekanisme pengelolaan (tangible outputs) maupun hal-hal yang berfungsi sebagai moral pendukung (less-tangible outputs) bagi
pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Pinel, 1998).
Secara umum keluaran yang mencakup kedua aspek tersebut disajikan pada Tabel 36.
89
Tebel 36. Keluaran dalam tahap assessment dan pengorganisasian masyarakat. Keluaran untuk penyusunan konsep dan mekanisme pengelolaan
Informasi-informasi dasar yang dapat dijadikan bahan pertimbangan perencanaan dan upaya pengembangan pariwisata, dan berbagai informasi yang tentang dinamika perkembangan kepariwisataan. Informasi yang berkaitan dengan aspek-aspek yang akan mempengaruhi perkembangan pariwisata dimasa datang. Informasi tentang keberadaan stakeholder langsung maupun tak langsung. Sekumpulan informasi penting yang dapat dijadikan dasar bagi penyusunan aturan dan mekanisme sebagai pedoman pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Informasi yang berkaitan dengan berbagai hambatan dan tantangan dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
Keluaran yang pendukung
bersifat
moral
Terdorongnya kepedulian semua stakeholder terhadap implikasi dan kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam pengembangan pariwisata. Terjadinya suatu kondisi dimana masyarakat dan stakeholder lainnya dapat berbagi informasi tentang kepentingan masingmasing yang selama ini tdak terungkap pada diskusi dan pertemuan formal lainnya. Terangkatnya potensi dan kearifan kolektif masyarakat dan mengkombinasikannya dengan masukan, pengalaman dan keahlian yang dimiliki oleh stakeholder lainnya. Terdorongnya kondisi diskusi yang konstruktif dan kooperatif, dan jelasnya hubungan dan keterkaitan serta kebutuhan antar berbagai stakeholder. Ketepatan hubungan atau matarantai antar berbagai isu, keputusan dan inisiatif.
Keluaran-keluaran yang mengandung materi penyusunan konsep dan mekanisme pengelolaan tersebut
diharapkan dapat menjadi informasi yang
penting dalam pembahasan tentang pengembangan dan pelaksanaan kegiatan pariwisata, penyusunan organisasi pengelolaan, perencanaan pengelolaan, dan evaluasi pengelolaan dimasa datang. Sementara keluaran yang bersifat sebagai moral pendukung akan berfungsi sebagai daya dorong yang diperlukan oleh semua stakeholder untuk memulai dan menjalankan konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat yang akan memberi pengaruh bagi kehidupan dan wilayah mereka. Tahap perencanaan dan persiapan merupakan tahapan yang dibangun berdasarkan keluaran-keluaran dan kesepakatan yang telah dilahirkan dari proses pengorganisasian pada tahap pertama. Tahapan ini bertujuan untuk : pertama,
90
merancang dan mengembangkan program dan produk-produk wisata; kedua, mengembangkan infrastruktur dan konsep pelayanan wisata ; dan ketiga, mengembangkan mekanisme dan aturan pengelolaan pariwisata.
Untuk
melengkapi informasi yang diperlukan dalam tahapan ini, dilakukan pula aktifitas yang berkaitan dengan inventarisasi terhadap sumberdaya pariwisata yang tersedia. Pada tahapan ini, proses pengembangan kapasitas masyarakat lokal seperti yang telah dimulai pada tahapan pertama semakin diperkuat. Aktifitas yang dapat dilakukan adalah berupa pelatihan-pelatihan dan bimbingan teknis. Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan konsep/program pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
Pada tahapan ini produk wisata, konsep
pelayanan wisata, dan konsep pengelolaan wisata yang dirumuskan pada tahapan sebelumnya diimplementasi dan dikomunikasikan kepada semua pihak yang berkepentingan. Disisi lain, aktifitas publikasi dan pemasaran produk yang telah dihasilkan dapat dilakukan pada tahapan ini. Tahapan yang terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Pada tahapan ini semua stakeholder secara bersama melakukan peran pemantauan dan penilaian terhadap keseluruhan aktifitas dan produk yang telah dihasilkan. Dalam hal ini juga mencakup penilaian terhadap tahapan-tahapan proses sebelumnya sehingga didapatkan suatu mekanisme proses, keluaran proses, dan produk wisata yang lebih baik. dikembangakn
Hal ini penting dilakukan agar sistim pengelolaan yang dapat
mengantisipasi
dan
beradaptasi
dengan
dinamika
perkembangan pariwisata dan masyarakat. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi dikembangkan dalam konteks pengembangan masyarakat dan wilayah yang luas, maka diperlukan beberapa faktor/elemen penting yang berfungsi sebagai penunjang. Selain berfungsi sebagai penunjang, faktor-faktor/elemen-elemen tersebut diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dari konsep bersama yang telah dilahirkan. Faktor-faktor tersebut adalah dukungan kebijakan pemerintah daerah, jaringan kerjasama dan kemitraan, pendidikan dan pelatihan, bantuan pendanaan, dan penelitian dan pengembangan.
91
Kebijakan pemerintah merupakan faktor yang sangat penting bagi terciptanya suatu proses pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat. Hal ini
penting
karena
pemerintah
memiliki
peran
kontrol,
pendukung,
pemberdayaan, dan penasehat (advisory) bagi setiap aktifitas yang dibangun berdasarkan inisiatif dan kekuatan masyarakat ( Pomeroy dan Williams, 1994 dalam
Metcalfe, 1996).
Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996
mengisyaratkan hal tersebut, dimana pemerintah berperan tidak hanya melakukan pengaturan tetapi juga berperan dalam melakukan bimbingan, pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha pariwisata. Peran tersebut berpedoman pada tujuan pembangunan pariwisata nasional yang salahsatu diantaranya adalah meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang didasarkan atas nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam era otomonomi daerah saat ini, pemerintah daerah memegang peranan yang sangat penting. Penyiapan sistim perencanaan yang matang, yang salahsatunya dalam bentuk penyiapan Rencanan Induk Pengembangan Pariwisata daerah sudah harus dimulai dengan pendekatan yang lebih mampu menemukenali wilayah yang akan dijadikan lokasi pengembangan kegiatan pariwisata (Nirwandar, 2007).
Hal ini harus dilakukan lebih mendalam dengan
mempertimbangkan potensi sumberdaya alam dan budaya serta berbagai permasalahannya agar semua pihak yang berkepentingan, meskipun berbeda, terhadap suatu wilayah dapat secara bersama memanfaatkannya.
Dengan
demikian maka diperoleh pemahaman yang luas dan mendalam terhadap potensi tersebut dan dapat dilahirkan suatu kebijakan yang tepat. Salahsatu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun kerjasama antar berbagai stakeholder adalah dengan membangun jaringan dan kemitraan. Dengan membangun jaringan dan kemitraan,
masyarakat lokal dapat memperoleh
manfaat informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang belum mereka miliki yang berasal dari pihak lainnya diluar mereka, dan pihak lain tersebut dapat pula memahami dengan benar pengetahuan, keterampilan, dan kebutuhan masyarakat lokal. Hal ini penting karena, dengan demikian, akan terbangun suatu proses dan prinsip-prinsip checks and balances diantara berbagai pihak (Agrawal dan
92
Gibson, 1999) sebagai salahsatu prasyarat pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat. Pengembangan jaringan dan kemitraan yang dilakukan tidak sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan syarat kelembagaan dari suatu proses pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat tetapi juga merupakan suatu proses edukasi bagi semua pihak yang terlibat didalamnya. Pentingnya proses edukasi ini karena berbagai pihak yang terlibat akan memiliki cara pandang yang berbeda dalam memandang masalah yang harus diselesaikan. Disatu sisi pihak-pihak lain diluar masyarakat lokal akan memiliki pandangan dengan cara pandang “orang luar” sementara masyarakat lokal, disisi lain memiliki pengetahuan lokal, yang oleh Behr et al (1995) disebutkan sebagai cara pandang dari dalam untuk mendefiniskan masalah dan menformulasikan pemecahannya.
Dengan demikian maka pendekatan ini akan memberikan
peluang terjadinya pertukaran informasi dan cara pandang sehingga diperoleh suatu keputusan bersama dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat. Pendidikan dan pelatihan merupakan salahsatu kunci bagi keberhasilan pengembangan masyarakat lokal dalam kaitan dengan pengembangan peran mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
Dengan tingkat
pendidikan masyarakat di kawasan Tanjung Karang Pusentasi, yang sebagian besar hanya sampai pada tingkat sekolah dasar akan menyebabkan terjadinya kesenjangan pengetahuan dan keterampilan dengan pihak-pihak lain yang akan terlibat.
Hal ini tentunya akan sedikit mempersulit proses komunikasi dan
perubahan prilaku masyarakat dari sekedar menerima apa adanya program yang ditawarkan oleh pihak luar menjadi masyarakat yang berdaya dan memiliki posisi tawar yang kuat.
Dengan demikian, strategi pengembangan kemampuan
masyarakat melalui pendidikan (formal dan non-formal) serta pelatihan sangat penting bagi keterlibatan mereka dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.
Karena, proses pendidikan dan pelatihan merupakan salahsatu
stimulus bagi terciptanya perubahan (Behr et al, 1995) bagi masyarakat. Sumber pendanaan bagi pengembangan usaha masyarakat untuk mendukung kegiatan pariwisata merupakan salahsatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat lokal. Oleh karena itu, dukungan semua pihak untuk mengatasi hal
93
ini sangat penting untuk dilakukan. Sumber pendanaan tidak hanya berasal dari bantuan-bantuan pemerintah, tetapi dapat bersumber dari bantuan pihak swasta dan lembaga-lambaga pendaanaan serta sumber-sumber dana yang bersifat hibah dari berbagai pihak yang memiliki kepedulian. Disamping itu, suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah bagaimana mengurangi intervensi pendanaan dari luar yang dapat memberatkan masyarakat, dengan jalan mengembangkan sumberdaya yang bersumber dari potensi lokal untuk menciptakan sumber pendanaan bagi masyarakat. Dengan demikian maka, masyarakat lokal akan memiliki kontrol yang kuat terhadap sumberdaya (Agrawal dan Gibson, 1999) yang terdapat di kawasan tersebut. Dukungan lainnya yang juga sangat penting adalah kegiatan penelitian dan pengembangan. Hal ini dilakukan untuk menemukan pemecahan terhadap masalah yang dihadapi oleh masyarakat lokal dan pihak-pihak lainnya yang terlibat langsung didalam kegiatan pariwisata. Keterbatasan yang mereka miliki dalam kaitan ini, harus dilakukan oleh pihak lain yang lebih berkompeten dan memiliki kemampuan yang tepat. Dalam hal ini, perah pihak lainnya seperti Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian yang ada baik di daerah maupun pusat sangat diperlukan. Dengan demikian maka upaya untuk membangun sinergi dengan memadukan kekuatan yang berbeda yang dimiliki oleh masing-masing pihak dapat tercipta, dan upaya untuk mebangun pariwisata berbasis masyarakat dapat diwujudkan. 5.5.4. Analisis Peran Stakeholder Dalam Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat Pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, seperti telah dikemukakan sebelumnya, menuntut adanya peranserta atau partisipasi semua pihak secara luas. Partisipasi merupakan suatu proses bersama-sama memberi
dimana berbagai pihak (stakeholders)
pengaruh dan pengawasan
terhadap inisiatif
pembangunan, pengambilan keputusan, dan pemanfaatan sumberdaya yang memberikan pengaruh kepada kehidupan mereka (World Bank, 1996 dalam Karl, 2000).
Untuk melihat posisi serta peran masyarakat lokal dan berbagai
stakeholder lainnya dalam kegiatan pariwisata dilakukan analisis stakeholder
94
dengan menggunakan mekanisme seperti yang disarankan oleh RietbergenMcCracken dan Narayan (1998). Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi kelompok yang dilakukan dengan masyarakat di kawasan wisata Tanjungkarang Pusentasi ditetapkan beberapa pihak yang merupakan stakeholder kunci dalam pengembangan kegiatan pariwisata di wilayah ini. Para pihak yang tergali didalam kegiatan wawancara kemudian diklarifikasi dan dikelompokan kedalam beberapa kelompok stakeholder ketika dilakukan diskusi kelompok terfokus.
Melalui
proses tersebut diperoleh beberapa kelompok stakeholder (Tabel 37) yaitu masyarakat lokal, pengusaha pariwisata, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga-lembaga lokal masyarakat yang terdapat di kawasan wisata Tanjungkarang Pusentasi. Kelompok
masyarakat
lokal
mewakili
kepentingan-kepentingan
masyarakat lokal di kawasan ini baik yang memiliki aktifitas berkaitan dengan pariwisata maupun yang tidak berhubungan ataupun berhubungan langsung dengan pariwisata seperti yang diuraikan pada pembahasan sebelumnya. Sementara kelompok pengusaha wisata sebagai stakeholder utama, disamping masyarakat lokal, mewakili pemilik penginapan dan cottage, serta biro perjalanan yang berasal dari kota Donggala dan Palu. Kelompok pemerintah terdiri atas Dinas Pariwisata Kabupaten Donggala serta Pemerintah Desa dan Kelurahan yang terdapat di wilayah ini. Kelompok LSM/KSM terdiri dari lembaga nonprofit yang berasal dari Donggala dan Palu yang memiliki aktifitas di Kawasan Wisata Tanjungkarang Pusentasi, dan kelompok swadaya masyarakat untuk kepentingan pariwisata. Sementara yang terakhir adalah kelompok organisasi masyarakat lokal yang masih aktif terdiri atas kelompok tani dan nelayan, PKK, kelompok arisan, kelompok pengajian, dan lembaga adat.
Hasil identifikasi
kepentingan dan pengaruh kegiatan pariwisata terhadap kepentingan kelompokkelompok stakeholder tersebut dikemukakan pada Tabel 37.
95
Tabel 37. Identifikasi kepentingan dan pengaruh pariwisata terhadap kepentingan stakeholder di Kawasan Wisata Tanjungkarang-Pusentasi saat ini (diadopsi dari Rietbergen-McCracken dan Narayan,1998). Pihak yang berkepentingan (stakeholders) Masyarakat lokal
Pengusaha pariwisata
Pemerintah Dinas Pariwisata
Pemerintah Desa/ Kelurahan LSM/KSM
Lembaga Lokal Kelompok tani dan nelayan Karang Taruna PKK-Dasa Wisma Kelompok Arisan Kelompok Pengajian Lembaga Adat
Kepentingan (interest)
Efek pariwisata terhadap interest
- Membuka kesempatan kerja - Menambah pendapatan - Menjual hasil usaha (pertanian, perikanan, dan kerajinan) - Perlindungan terhadap kebudayaan lokal - Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan - Pengembangan usaha
+ + +/-
- Pengaturan obyek wisata - Pemberian izin dan pengawasan usaha pariwisata - Peningkatan jumlah pemasukan dari retribusi usaha pariwisata Pembangunan desa/kelurahan
+ +
- Perlindungan potensi alam dan budaya - Perbaikan lingkungan Pemasaran hasil pertanian dan perikanan Pengembangan SDM pemuda Keindahan lingkungan desa Pengembangan modal usaha Kepentingan sosio-religius Kepentingan sosial budaya
+ +
+ +/+/+/+/-
Berdasarkan informasi yang dikemukakan pada Tabel 37, terlihat bahwa terdapat berbagai kepentingan yang diharapkan oleh para stakeholder dapat terpenuhi (+) melalui kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini. Bagi masyarakat lokal, kegiatan pariwisata dapat memenuhi (+) kepentingan mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan menambah pendapatan tetapi belum dapat sepenuhnya memenuhi (+/-) kepentingan mereka untuk menjual hasil pertanian dan perikanan. Disamping itu, kegiatan pariwisata saat ini belum dapat memenuhi (-) kepentingan masyarakat lokal dalam mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan lokal.
Sedangkan kepentingan pengusaha
96
pariwisata, seperti yang terungkap dalam wawancara yang dilakukan, adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan dan berkembangnya usaha yang mereka jalankan. Dikemukakan bahwa kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini dapat memenuhi (+) kepentingan mereka untuk mengembangkan usaha. Pemerintah sebagai pemegang kendali kebijakan memegang peranan yang penting didalam mengembangkan kegiatan pariwisata di wilayah ini.
Dinas
pariwisata sebagai instansi yang diberi kepercayaan untuk menjalankan fungsi tersebut memiliki beberapa kepentingan dalam kegiatan pariwisata di wilayah penelitian. Kepentingan-kepentingan tersebut adalah pengaturan obyek wisata, pemberian izin dan pengawasan usaha pariwisata, dan peningkatan jumlah pemasukan dari retribusi usaha pariwisata. Dari wawancara yang dilakukan dengan asparat pemerintahan pada tingkat kabupaten diperoleh informasi bahwa kepentingan mereka dapat terlaksana (+) dengan baik di kawasan wisata ini. Sedangkan pemerintah pada tingkat desa dan kelurahan mengharapkan adanya kemajuan bagi wilayahnya sebagai akibat dari berkembangnya pariwisata. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terlihat bahwa kepentingan pemerintahan pada level bawah ini tidak dapat tepenuhi sepenuhnya (+/-). Hal ini disebabkan karena mereka tidak sepenuhnya memiliki wewenang untuk mengatur dan mengambil keputusan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pariwisata. Bagi lembaga swadaya masyarakat/kelompok swadaya masyarakat, kegiatan pariwisata yang berlangsung saat ini belum sepenuhnya (+/-) memenuhi kepentingan
mereka
sebagai
kelompok/lembaga
yang
memperjuangkan
perlindungan terhadap potensi sumberdaya alam dan budaya, serta perbaikan lingkungan. Menurut mereka, konsep pengelolaan pariwisata yang ada selama ini masih belum memberikan peran yang luas bagi semua stakeholder untuk banyak berperan, termasuk lembaga/kelompok swadaya masyarakat sebagai kelompok yang berupaya untuk memediasi peran masyarakat dalam setiap proses pengembangan pariwisata.
Demikian pula halnya dengan lembaga masyarakat
lokal yang terdapat di wilayah penelitian. Seluruh lembaga masyarakat lokal tersebut, seperti terlihat pada tabel diatas menyatakan bahwa kepentingankepentingan mereka belum terpenuhi (-) melalui kegiatan pariwisata yang
97
berlangsung saat ini. Hal ini terjadi karena dalam proses pengembangan pariwisata belum menempatkan masyarakat lokal dan kelembagaan yang terdapat didalam masyarakat sebagai subyek, tetapi masih diposisikan sebagai obyek dalam setiap proses pengembangan pariwisata. Padahal keberhasilan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam, dimana pariwisata sebagai salahsatu bentuk pemanfaatan tersebut, sangat ditentukan oleh keterlibatan masyarakat (Damanik dan Weber, 2006) dan institusi lokal (Uphoff, 1987 dalam Brandon, 1993 ; Rasmunsen dan Meinzen-Dick, 1995 ; Selman, 2001 ; Damanik dan Weber, 2006) yang terdapat didalamnya. Meskipun secara eksplisit terlihat bahwa terdapat perbedaan kepentingan pada masing-masing kelompok stakeholder tersebut, namun sebenarnya terdapat kaitan yang sangat erat antar masing-masing kepentingan yang berbeda tersebut jika dikaitkan dengan upaya pengembangan kegiatan pariwisata. Kepentingan pengusaha pariwisata dalam upaya meningkatkan jumlah wisatawan dapat memberikan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan melalui keikutsertaan dalam kegiatan usaha penunjang pariwisata, memberikan pengaruh terhadap peningkatan jumlah pemasukan dari retribusi usaha pariwisata bagi pemerintah, serta hubungan-hubungan atar kepentingan stakeholder yang lainnya. Tetapi disisi lain, peluang untuk terjadinya benturan antar kepentingan berbagai stakeholder tersebut juga memungkinkan terjadi.
Sebagai contoh
misalnya, pengembangan usaha yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata dapat pula menjadi masalah bagi masyarakat lokal, jika upaya pengembangan usaha tersebut lebih dititik beratkan pada ekspansi usaha ke wilayah usaha yang selama ini dapat dilakukan oleh masyarakat. Pengalaman yang terjadi di Tanjungkarang, berdasarkan informasi masyarakat, pada tahun 1990an pengusaha yang memiliki penginapan dan cottage masih membagi peran dengan masyarakat lokal dalam pelayanan kepada wisatawan.
Saat itu pihak pengusaha hanya menyediakan
penginapan, sementara untuk pelayanan konsumsi diserahkan kepada masyarakat dibawah pengawasan pengusaha terutama yang berkaitan dengan kebersihannya. Namun, peran tersebut sejak beberapa tahun terakhir tidak lagi dimiliki oleh masyarakat lokal.
Disamping dapat menggeser peran masyarakat lokal,
pengembangan usaha yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata dapat pula
98
mengurangi atau bahkan menghilangkan akses masyarakat terhadap sumberdaya alam, dan mengancam hak kepemilikan masyarakat, seperti yang menjadi kekhawatiran mereka selama ini. Berkaitan dengan keadaan yang diuraikan dimuka, maka analisis terhadap kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder terhadap kegiatan pariwisata berbasis masyarakat sangat diperlukan untuk memberi arahan bagi pengembangan peran masing-masing stakeholder tersebut. Hal ini merupakan bagian yang sangat penting didalam memulai proses pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, seperti yang digambarkan pada skema pengelolaan (Gambar 9), terutama pada tahapan pertama dari proses pengelolaan. Oleh karena itu, penguraian peran masyarakat dan berbagai stakeholder lainnya secara detail baru dapat dilakukan setelah semua pihak tersebut melakukan penggalian (assessment) secara bersama-sama pada tahapan tersebut.
4 TAHAP MONITORING DAN EVALUASI
Kesiapan sistem dan mekanisme pengelolaan serta evaluasi hasil
Produk wisata, pelayanan wisata dan implementasi program
Publikasi dan pemasaran 3 TAHAP PELASANAAN DAN PENDAMPINGAN
Dukungan kebijakan Pemda
Iventarisasi peran, pengalaman, perhatian, dan harapan masing-masing stakeholder, serta hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan produk
Prengembangan program dan produk wisata
Pengembangan pengetahuan dan kesadaran tentang pariwisata ramah lingkungan Mengidentifikasi elemen-elemen penting untuk penyusunan pedoman dan aturan pelaksanaan pariwisata berbasis masyarakat Mengidentifikasi hubungan antar stakeholder
Pengembangan infrastruktur dan pelayanan wisata Pengembangan mekanisme dan aturan pengelolaan
Jaringan kerjasama dan kemitraan
Pendidikan dan pelatihan
1 TAHAP ASSESSMENT DAN PENGORGANISASIAN MASYARAKAT
2 PERENCANAAN DAN PERSIAPAN
Bantuan pendanaan
Dalam konteks pengembangan masyarakat dan wilayah yang luas
Inventarisasi sumberdaya pariwisata
Penelitian dan pengembangan
Gambar 9. Skema konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi (Diadaptasi dari Pinel, 1999)
87
DAFTAR PUSTAKA Adhikari, J. R. 2001. Community-based Natural Resource Management in Nepal with Reference to Community Forestry : A Gender Perspective. A Journal of the Environment. 6(7) : 9 – 12. Adiputro, B. S. 1999. Persepsi dan Prilaku Masyarakat Sehubungan Dengan Pencemaran Lingkungan dan Sungai. Studi Kasus Ciliwung di Kelurahan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Jurnal Lingkungan & Pembangunan, 19(2):108-119. Agrawal, A dan C. C. Gibson. 1999. Enchantment and Disenchantment : The Role of Community ini Natural Resource Conservation. World Development. 27(4) : 629 – 649. Agusniatih, A. 2002. Kajian Pengembangan Kawasan Wisata dan Pengaruhnya Pada Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir Teluk Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Allmendinger, P. 2002. Towards A Post-Positivist Typology of Planning Theory. In Planning Theory. 1 (1): 77 – 99. SAGE Publications. London. APEIS-RISPO. 2003a. Good practices for Community-based Tourism in Rinjani National Park, Indonesia. Asia-Pacific Environmental Innovation Strategies. Research on Innovative and Strategic Policy Options. http://www.iges.or.jp/APEIS/RISPO/inventory/db/pdf/0030.pdf [2 Mei 2007] APEIS-RISPO. 2003b. Community-based Tourism at Gunung Gede Pangrango National Park, Indonesia. Asia-Pacific Environmental Innovation Strategies. Research on Innovative and Strategic Policy Options. http://www.iges.or.jp/APEIS/RISPO/inventory/db/pdf/0029.pdf [2 Mei 2007] Ashley, C., C. Boyd and H. Goodwin. 2000. Pro-Poor Tourism : Putting Poverty At the Hearth of the Tourism Agenda. Natural Resource Perspectives. Overseas Development Institute. Number 52, March 2000. http://www.odi.org.uk/nrp/51.html [27 April 2007] Bappeda Kabupaten Donggala. 1999. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Donggala Tahun 1999-2009. Laporan Akhir. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Donggala. Behr, C., G. Lamb, A. Miller, S. Sadowske and R. Shaffer. 1995. Building Community Based Initiatives in Rural Coastal Communities. Center for Community Economic Development. University of Wisconsin-Extention. Staff Paper 95.2. http://www.aae.wisc.edu/cced/952.pdf [24 Pebruari 2007].
104
Brandon, K. 1993. Langkah-langkah Dasar Untuk Mendorong Partisipasi Lokal Dalam Proyek-proyek Wisata Alam. Dalam K. Lindberg dan D. E. Hawkins [Editor]. Ekoturisme : Petunjuk Untuk Perencana dan Pengelola. Private Agencies Collaborating Together (PACT) dan Yayasan Alam Mitra Indonesia (ALAMI), penerjemah. The Ecotourism Society. North Bennington, Vermont. Campbell, J. 2002. A Critical Appraisal of Participatory Method in Development Research. Int. J. Social Research Methodology. 5(1) : 19 - 29. Carr, D. S., Steven W. Selin and Michael A. Schuett. 1998. Managing Public Forests : Understanding the Role of Collaborative Planning. Environmental Management. 22(5) : 767 – 776. Cooper, C., J. Fletcher, D. Gilbert and S. Wanhill. 1999. Tourism Principles and Practice. Second Edition. Addison Wesley Longman Publishing. New York. Damanik, J dan H. F. Weber. 2006. Perencanaan Ekowisata Dari Teori ke Aplikasi. Penerbit Andi. Yogyakarta. Danim, S. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatf. Penerbit Pustaka Setia. Bandung. Decrop, A. 1999. Triangulation in Qualitative Tourism Research. Management 20: 157 – 161.
Tourism
Denscombe, M. 1998. The Good Research Guide : For Small Scale Social Research Projects. Open University Press. Buckingham-Philadelphia. Disparsenibud Donggala. 2002. Program dan Kegiatan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Donggala. Bahan Rapat Sinkronisasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah dengan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten/Kota se Sulawesi Tengah, tanggal 22 April 2002. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Donggala. 2002. Profil Perikanan dan Kelautan Kabupaten Donggala. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Donggala. Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah. 2003. Penyususnan Tata Ruang Pesisir dan Pula-pulau Kecil di Kabupaten Donggala dan Banggai Propinsi Sulawesi Tengah. Laporan Akhir. Sarana Antar Nusa Perekayasa Consultants. Jakarta. Doe, S. R. dan M. S. Khan. 2004. The boundaries and limits of community management: Lessons from the water sector in Ghana. Community Development Journal. 39(4) : 360 – 371.
105
Dowling, R. K.. 1998. Ecotourism in Southeast Asia: Appropriate Tourism or Environmental Appropriation?. Paper Presented at Third International Conference on Tourism and Hotel Industry in Indo-China & Southeast Asia: Development, Marketing, and Sustainability. June 1998. http://www.hotelonline.com/Trends/AsiaPacificJournal/July98_EcotourismSoutheastAsia. html [19 Maret 2007]. Forgus, R.H. dan L. E. Melamed. 1976. Perception A Cognitive Stage Approach. McGraw Hill Book Company. Flyman, M. V. 2002. Towards Developing A Community-based Natural Resources Assesssment System. Gumare-Qangwa Workshop Report. Agency for Cooperation and Researh in Development. Bostwana. Frank, F dan A. Smith. 1999. The Community Development Handbook : A Tool to Build Community Capacity. Human Resources Development. Minister of Public Works and Government Services. Canada. http://www.hrsdc.gc.ca/en/epb/sid/cia/comm_deve/cdhbooke.pdf [26 Januari 2007] Garrot, B. 2003. Local Participation in the Planning and Management of Ecotourism : A Revised Model Approach. Journal of Ecotourism. 2(1) : 33–53. Garrod, B., R. Wornell, and R Youell. 2006. Re-conceptualising Rural Resources As Countryside Capital : the Case of Rural Tourism. Journal of Rural Studies 22 : 117 – 128. Godde, P. 1998. Community-based Mountain Tourism : Practices for Linking Conservation with Enterprise. Synthesis of an Electronic Conference of The Mountain Forum, 13 April – May 18, 1998. http://www.mtnforum.org/resources/library/cbmt_txt.pdf [30 April 2004]. Hall, C. M. 2000. Tourism Planning: Policies, Processes and Relationships. Prentice Hall. Harris, G and D. Vogel. 2004. E-Commerce for Community-based Tourism in Developing Countries. http://rogharris.org/e-CBT.pdf [30 April 2004]. Huguinen, R., B. Musso, J. Tait and S. Herbert. 2000. Community-based Planning for Natural Resource Management : Learning from Experience and Communicating the Lesson. International Landcare. Queensland.
106
Illahi, A. K. 2000. Analisis Persepsi dan Partisipasi Petani dalam Penerapan Teknik-teknik Konservasi Tanah dan Air di DAS Gimanuk Hulu, Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. IPB. Bogor. Indonesia Culture and Tourism. 2003. Kunjungan Wisatawan Mancanegara (Wisman) dan Perolehan Devisa Dari Tahun 1969 sampai 2003. http://www.indonesiatourism.go.id/statistik.html [4 Mei 2004]. Innes, J. E. 1996. Planning Through Consensus Building : A New View of the Comprehensive Planning Ideal. Journal of the American Planning Association. 62(4) : 460 – 472. International Council on Local Environmental Initiative. 1999. Sustainable Tourism : A Local Authority Perspective. Background Paper No. 3. Commision on Sustainable Development, Seventh Session 19-30 April 1999. Department of Economic and Social Affair. New York. International Institute of Rural Reconstruction. 1998. Participatory Methods in Community-based Coastal Resource Management. International Institute of Rural Reconstruction, Silang, Cavite, Philippines. Karl, M. 2000. Monitoring and Evaluating Stakeholder Participation in Agriculture and Rural Development Projects : A Literature review. FAO. http://www.fao.org/sd/PPdirect/PPre0074.htm [9 Januari 2007]. Lahandu, J. 2007. Analisis Kebijakan Pengelolaan Akses Sumberdaya Alam oleh Masyarakat Kaili di Taman Hutan Raya (TAHURA) Sulawesi Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Laurence, K. 1994. Sustainable Tourism Development. In M. Munasinghe and J. McNeely [Editors]. Protected Area Economic and Policy : Lingking Conservation and Sustainable Development. The World Bank. Washington, D.C.: pp. 263-272. Laws, E. 1995. Tourist Destination Management: Issues, Analysis and Policies. Routledge. London and New York. Liu, A and G. Wall. 2006. Planning Tourism Employment : A developing Country Perspective. Tourism Management. 27 : 159 – 170. Marpaung, H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Edisi Revisi. Penerbit Alfabeta. Bandung. Mathieson,A. and G. Wall. 1992. Tourism: Economic, Physical and Social Impact. Longman Scientific & Technical. Singapore.
107
Metcalfe, S. 1996. Community Based Conservation and Community SelfGovernance: Whose Resources Are at Stake? www.resourceafrica.org/documents/1996/1996_whose_resources.pdf [6 Maret 2006] Mikkelsen, B. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Ngece, K. 2002. Community Based Ecotourism : What Can the People of East Africa Learn from Success Stories Elsewhere?. East African Ecotourism Development and Conservation Consultans. Nairobi. http://www.cbnrm.net/pdf/nicholas_kn_001 [28 Maret 2004]. Nirwandar, S. 2007. Pembangunan Sektor Pariwisata di Era Otonomi Daerah. http://www.pemda-diy.go.id/berita/mod/fileman/files/PEMBANGUNAN _SEKTOR_PARIWISATA.pdf [25 Pebruari 2007] Nugraha, A dan Murtijo. 2005. Antropologi Kehutanan. Penerbit Wana Aksara. Tangerang, Banten. Oppermann, M. 2000. Triangulation – A Methodological Discussion. Int. J. Tourism Res. 2 : 141 – 146. Pemda Kabupaten Donggala. 2005. Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Kabupaten Donggala Tahun 2006-2010. Pemerintah daerah Kabupaten Donggala. Pendit, N. S. 2003. Ilmu pariwisata : Sebuah Pengantar Perdana. Cetakan ketujuh. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Pinel, D. P. 1998. A Community-based Tourism Planning Process Model : Kyoquot Sound Area, B.C., M.Sc. Thesis. University School of Rural Planning and Development. University of Guelph. Pinel, D. P. 1999. Create A Good Fit : A Community-based Tourism Planning Model. http://nsgl.gso.uri.edu/washu/washuw99003/28-Pinel.pdf [8 Agustus 2006] Pitana, I.G dan P. G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta.
Penerbit Andi.
Pleumaron, A. 1997. Open Questions Conserning the Concept, Policies and Practices of Ecotourism. In J. Bornemeier, M. Victor and P. B. Durst [Editors] Ecotourism for Forest Conservation and Community Development. Proceedings of an International Seminar held in Chiang Mai, Thailand 28-31 January 1997. RECOFTC-FAO. : pp. 26-43.
108
Purba, J [Editor]. 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Yayasan Obor. Jakarta. Raik, D. B. 2002. Capacity Building for Co-management of Wildlife in North America. HDRU Series No. 02-2. Human Dimensions Research Unit Department of Natural Resources Cornell University. Ithaca, New York. www.dnr.cornell.edu/hdru/PUBS/HDRUReport02-2.pdf [6 April 2006] Rasmussen, L. N. and R. Meinzen-Dick. 1995. Local Organization For Natural Resource Management : Lesson from Theoretical and Empirical Literature. Discussion Paper No. 11. Environment and Production Technology Division. International Food Policy Research Institute. Washington, D.C. Rietbergen-McCracken, J and D. Narayan. 1998. Participation and Social Assessment : Tools and Techniques. International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Washington, D.C. Ross, G. F. 1998. Psikologi Pariwisata. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Ross, S and G. Wall. 1999. Ecotourism: Towards Congruence between Theory and Practice. Tourism Management. 20 : 123–132. Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial. Balai Pustaka. Jakarta. Sasidharan, V., E. Sirakaya, D. Kerstetter. 2000. Developing Countries and Tourism Ecolabels. Tourism Management. 23 : 161-174. Scheyvens, R. 1999. Ecotourism and Empowerment of Local Communities. Tourism Management. 20 : 245 – 249. Selman, P. 2001. Social Capital, Sustainability and Environmental Planning. Planning Theory and Practice. 2(1) : 13 – 30. Sevilla. C. G., J. A. Ochave, T. G. Punsalan, B. P. Regala dan G. G. Uriarte. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Penerbit Universitas Indonesia. Soehartono, I. 1999. Metode Penelitian Sosial. Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Soeratno dan L. Arsyad. 1993. Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Revisi. Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Managemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta. Spillane, J. J. 1987. Ekonomi Pariwisata : Sejarah dan Prospeknya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
109
Sumardjo. 2003. Pembangunan Kebutuhan Dasar Manusia. Modul Magister Managemen Pembangunan Daerah. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Suranti, R. 2005. Pariwisata Budaya dan Peran Serta Masyarakat. Makalah yang Disampaikan pada Workshop Wisata Budaya Bagi Kelompok Masyarakat Propinsi DKI Jakarta, 12 Juli 2005. http://www.budpar.go.id/filedata/495_81PariwisataBudayadanPeranSertaMasyarakat.pdf [25 Pebruari 2007]. Syahyuti. 2005. Pembangunan Pertanian dengan Pendekatan Komunitas : Kasus Rancangan Program Prima Tani. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 23(2) : 102 – 115. Tisdell, C. A. 1987. Tourism, The Environment and Profit. Economic Analysis & Policy. 17 (1) : 13–30. Cetak Ulang dalam Tisdell, C. A., 2001. Tourism Economics, the Environment and Development: Analysis and Policy. Edwar Elgar. Cheltenham, UK - Northampton, MA, USA. : pp. 19-36. Tosun, C and D. J. Timothy. 2003. Arguments for Community Participation in the Tourism Development process. The Journal of Tourism Studies. 14(2) : 2 -15. Tribuwana, W. 2002. Sekali Lagi Pariwisata Alam, Pariwisata Berkelanjutan dan Ecotourism. Warta Pariwisata. Vol. V (3) Juni 2002. P2PAR-ITB. Bandung. Trigg, S.N dan D.P. Roy, 2007. A focus group study of factors that promote and constrain the use of satellite-derived fire products by resource managers in southern Africa. Journal of Environmental Management. 82 : 95–110 UNEP. 2002a. Economic Impacts of Tourism. United Nation Environment Program. http://www.uneptie.org/pc/tourism/susttourism/economic.htm#contribute-econ [1 Maret 2003]. UNEP. 2002b. How Tourism Can Contribute to Socio-cultural Conservation. United Nation Environment Program. http://www.uneptie.org/pc/tourism/sust-tourism/soc-global.htm [1 Maret 2003]. Uphoff, N. 1992. Local Institution and Participation for Suatainable Development. Gatekeeper Series No. SA31. Sustainable Agriculture and Rural Livelihoods Programme. International Institute for Environment and Development. London.
110
Uphoff, N. 2002. Community-Based Natural Resource Management: Connecting Micro and Macro Processes, and People with their Environments. http://info.worldbank.org/etools/docs/library/97605/conatrem/conatrem/ht ml/uphoffpaper.htm [2 Mei 2007] USDA, 2005. Rural Development : Community Development Technical Assisstance Handbook. Community Development Programs. United State Department of Agriculture. Winarso, G. N. 2004. Kajian Pengembangan Wisata di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Propinsi Lampung. Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Ying, T and Y. Zhou. 2007. Community, Government and External Capitals in China’s Rural Cultural Tourism : A Comparative Study of Two Adjacent Villages. Tourism Management. 28 : 96-107.
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1
Garis Besar Pertanyaan Yang Diajukan Pada Wawancara dengan Masyarakat Lokal Dalam Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat Di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala
1. Data diri responden meliputi nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan, dan pekerjaan responden.
2. Persepsi mengenai kegiatan pariwisata, yang meliputi :
Pengetahuan dan sikap mereka terhadap kegiatan pariwisata.
Manfaat dan kerugian yang diperoleh dari kegiatan pariwiwisata.
Harapan keterlibatan dan peran mereka pada kegiatan pariwisata.
Pandangan terhadap konsep pengelolaan pariwisata yang baik dan sesuai dengan kepentingan dan keinginan mereka.
3. Keterlibatan dalam kegiatan pariwisata saat ini, yang meliputi :
Bentuk keterlibatan dalam kegiatan pariwisata.
Lama waktu keterlibatan dalam kegiatan pariwisata.
Pengalaman dalam kegiatan pariwisata.
Pendidikan dan keterampilan khusus yang dimiliki berkaitan dengan pariwisata.
Keberadaan kelompok masyarakat yang berkaitan dengan pariwisata dan keterlibatannya mereka didalamnya.
Penghasilan yang diperoleh dari kegiatan pariwisata.
Masalah/hambatan yang ditemukan dalam keikutsertaan pada kegiatan pariwisata.
4. Potensi alam, sosial, dan budaya yang mendukung pariwisata menurut masyarakat. 5. Saran dan pikiran masyarakat dalam pengembangan pariwisata kedepan.
112
Lampiran 2. Pedoman Wawancara Bagi Aparat Pmerintahatah, Pengusaha Wisata dan LSM Mengenai Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung KarangPusentasi Donggala I.
Identitas Responden yang meliputi, nama, instansi/lembaga, jabatan, dan alamat.
II.
Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan : 1. Pandangan mereka terhadap dikembangkan di kawasan ini.
kegiatan
pariwisata
yang
2. Akibat positif dan negatif dari kegiatan pariwisata. 3. Pendapat mereka tentang peran masyarakat dalam pengelolaan pariwisata. 4. Pendapat mereka bila pengelolaan pariwisata di kawasan wisata ini dikembangkan dengan sistim pengelolaan berbasis masyarakat.(Diceritakan sekilas konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat menurut peneliti) 5. Bila setuju terhadap sistim pengelolaan tersebut, bagaimana sebaiknya peran masyarakat dalam kaitannya dengan : a. Keikutsertaan dalam perencanaan b. Keikutsertaan dalam pengelolaan usaha/kegiatan pariwisata 6. Bila tidak setuju, bagaimana bentuk keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan pariwisata tersebut. 7. Pendapat mereka yang berkaitan dengan aspek sosial budaya masyarakat dan tentang pengelolaan sumberdaya alam untuk pariwisata. Sebagai contoh misalnya, pengetahuan lokal dan kearifan yang dimiliki oleh masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Apakah hal ini dapat dijadikan referensi untuk mendukung pengembangan pariwisata ? (Akan didialogkan beberapa contoh kasus) 8. Faktor-faktor apa yang dapat mendukung dan menghambat pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata ini. (Dilihat dari sudut pandang potensi/kesiapan pemerintah, masyarakat, dan swasta).
113
Lampiran 3 Pedoman Pertanyaan Dalam Diskusi Kelompok Terfokus
1. Pandangan mereka (peserta diskusi) terhadap kegiatan pariwisata yang dikembangkan di kawasan ini. 2. Apa akibat negatif dari kegiatan tersebut. 3. Apa akibat positif dari kegiatan tersebut. 4. Apakah mereka (masyarakat) berminat untuk ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. 5. Apakah model pengelolaan yang dikembangkan saat ini sudah memberi peluang bagi mereka untuk ikut terlibat. 6. Bila terdapat peluang, apakah masih diperlukan bantuan pihak lain, termasuk pemerintah. 7. Apa saran dan pendapat mereka bila kegiatan pariwisata dikembangkan dengan konsep pengelolaan yang berbasis masyarakat.
.
114
Lampiran 4. Rangkuman Hasil Diskusi kelompok Terfokus Di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi 1. Kegiatan pariwisata di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi sudah berlangsung lama (Tanjung Karang sejak tahun 1970an sementara Boneoge dan Pusentasi sejak awal tahun 1990an). Terbukanya Tanjung Karang sebagai lokasi wisata yang dikunjungi oleh wisatawan asing telah mendorong lokasi di sekitarnya untuk berkembang sebagai lokasi kegiatan wisata. 2. Akibat negatif dari kegiatan wisata : Lokasi wisata yang sering digunakan oleh orang-orang dari kota untuk tempat berpesta-pesta dan beberapa kegiatan lainnya yang sering mengganggu ketenangan masyarakat. Masuknya minuman keras dan kemungkinan telah adanya penggunaan narkoba yang dapat merusak moral masyarakat lokal. Berkembangnya Tanjung Karang sebagai lokasi wisata, terutama sebagai lokasi penyelaman (diving) telah menimbulkan konflik kepentingan antara masyarakat lokal dengan pariwisata. Terumbu karang yang terdapat di Tanjung karang merupakan lokasi yang biasa digunakan oleh masyarakat sebagai sumber ikan alternatif pada musim barat tidak dapat lagi diakses karena diperuntukan bagi kegiatan pariwisata. Rencana pemerintah dan swasta untuk mengembangkan Tanjung Karang sebagai satu kawasan/resort yang diperuntukan khusus dengan memindahkan lokasi pemukiman menimbulkan keresahan di masyarakat. Kondisi ini pula yang menyebabkan masyarakat pada lokasi lain melihat perkembangan pariwisata sebagai ancaman bagi status kepemilikan lahan mereka. Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam memperlebar jalan menuju Tanjung Karang dengan menggusur gunung dan membuang gusuran ke laut dapat mengganggu kondisi pantai. 3. Akibat positif dari kegiatan wisata : Manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat melalui pendapatan tambahan yang didapatkan dari berjualan, melayani transportasi sebagai ojek, menjual hasil laut siap saji, dan menjual buah kelapa segar (muda). Keberadaan kegiatan pariwisata mendorong keinginan masyarakat untuk kembali menggali potensi sosial budaya yang saat ini sebagian sudah tenggelam. Kegiatan pariwisata yang ada saat ini telah mendorong masyarakat untuk menata desa/kelurahan dan pemukiman mereka agar lebih bersih dan teratur. Dari aspek motivasi, sebenarnya telah mendorong masyarakat untuk ikut berpartisipasi lebih jauh dalam proses pengelolaan kegiatan pariwisata. Namun, keinginan ini masih terhambat oleh kendala berupa modal, keterampilan, dan terutama dukungan pemerintah setempat.
115
4. Minat masyarakat untuk terlibat cukup tinggi, yang dibuktikan oleh keikutsertaan mereka dalam melayani kebutuhan wisatawan akan bahan makanan, sarana transportasi dan lokasi peristrahatan. Munculnya minat masyarakat tersebut tidak hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi semata, tetapi juga berkaitan dengan upaya untuk mengambil peran yang lebih jauh agar supaya mereka dapat langsung ambil bagian dalam mencegah terjadinya akibat-akibat negatif. 5. Model pengelolaan (yang lebih bersifat top-down) yang dikembangkan saat ini masih kurang memberikan peluang bagi masyarakat untuk terlibat/berpartisipasi. Beberapa aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah selama ini (misalnya aktifitas Pekan Budaya dan Promosi Wisata yang dilakukan disini tidak melibatkan masyarakat) tidak dikomunikasikan dengan baik ke masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat sepakat bahwa model pengelolaan yang dapat memberi kesempatan keterlibatan mereka secara luas sangat diperlukan untuk mengembangkan wilayah ini. 6. Keterlibatan masyarakat didalam kegiatan pariwisata disini tetap memerlukan bantuan dari pihak lain terutama pemerintah. Masyarakat masih sangat membutuhkan upaya untuk meningkatkan keterampilannya dalam mengembangkan usaha-usaha yang berhubungan dengan pariwisata. Misalnya, pelatihan keterampilan pembuatan cindera mata, perencanaan/pembuatan paket wisata, serta perencanaan dan pengelolaan hunian bagi wisatawan. Disamping itu, diharapkan bahwa sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat dapat dijadikan sebagai modal keikutsertaan atau saham masyarakat didalam mengembangkan usaha dibidang pariwisata. Kegiatan-kegiatan usaha masyarakat (pertanian, peternakan, dan perikanan) diharapkan dapat dikembangkan menjadi atraksi wisata yang dapat dikunjungi oleh wisatawan, sehingga hasil usaha masyarakat dapat dapat pula dibeli oleh wisatawan sehingga masyarakat lokal dapat memperoleh pendapatan langsung. 7. Masyarakat sependapat bila pengelolaan pariwisata dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbasis masyarakat. Meskipun demikian, hal ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui proses yang sesuai yang dapat mendorong kearah pendekatan tersebut. Pengalaman pada beberapa kegiatan yang dilakukan dengan mengatasnamakan partisipasi masyarakat harusnya tidak terulang dalam upaya pengembangan pariwisata di kawasan ini.
116
Lampiran 5.
Sketsa lokasi wisata pantai Tanjung Karang Natural Cottages
Harmoni Cottages
Prince John Cottages Teluk Palu
Teluk Palu
Selat Makassar
A aD re g in iv
text
Ke D
ge oneo Ke B
Keterangan : Jalan Rumah penduduk Kebun penduduk Masjid
Tugu Selamat Datang Pos retribusi masuk lokasi wisata Pondok peristrahatan milik penduduk Cottage milik N Bidja
ala ongg
117
Lampiran 6.
Sketsa lokasi wisata Boneoge
Cottage milik Pemda
Selat Makassar Tg K Dari
text
Ke K
/P aluku
i ’ntas
Keterangan : Cottage Sekolah Rumah penduduk Kebun penduduk
Tugu Selamat Datang Madjid Jalan aspal Jalan setapak
arang
118
Lampiran 7.
Sketsa lokasi wisata Kaluku-Pusentasi
Selat Makassar Vatu Nolanto Lokasi “Panambe” Vatubula Dusun Kaluku
Pusentasi text
Ke D
Keterangan :
Jalan tidak beraspal
Cottage Kaluku Beach Kebun Pisang penduduk
Rumah penduduk
Kebun kelapa
Jalan beraspal
ala ongg
119
Lampiran 8. Peralatan tenun yang digunakan masyarakat lokal
120
Beberapa motif hasil tenunan masyarakat lokal
121
122
Lampiran 9. Foto beberapa peralatan rumahtangga masyarakat Tanjung Karang Pusentasi
Tempat air minum terbuat dari tempurung kelapa yang disebut bobo
Belanga tanah sebagai alat masak masyarakat
123
Tempat kue (kiri) dan buah-buahan (kanan)
Alas belanga yang diproduksi dan digunakan masyarakat lokal
124
Sendok sayur dan nasi yang digunakan masyarakat lokal
Tempurung kelapa yang telah dibersihkan sebagai alat makan
125
Lamapiran 10.
Foto beberapa lokasi di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi
Pintu gerbang memasuki lokasi Tanjung Karang
Lokasi wiasata Tanjung Karang dengan latar belakang Kota Donggala
126
Salahsatu sudut pantai Tanjung Karang
Lokasi di Pantai Boneoge
127
Salahsatu pemandangan di Pusentasi
Pusentasi (sumur air laut)
128
Cottage yang terdapat di pantai Kaluku
Lokasi pertanian masyarakat lokal di Kaluku-Pusentasi