ANALISIS POTENSI DAN DAYA DUKUNG EKOLOGI KAWASAN WISATA PANTAI TANJUNG KELAYANG DAN TANJUNG TINGGI UNTUK WISATA PANTAI, WISATA SELAM DAN SNORKELING DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG
ALDINO AKBAR
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Potensi dan Daya Dukung Ekologi Kawasan Wisata Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi untuk Wisata Pantai, Wisata Selam dan Snorkeling di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Aldino Akbar NRP. C252090191
* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
RINGKASAN Aldino Akbar. Analisis Potensi dan Daya Dukung Ekologi Kawasan Wisata Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi untuk Wisata Pantai, Wisata Selam dan Snorkeling di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Dibimbing oleh Hefni Effendi dan Isdradjad Setyobudiandi. Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi merupakan objek wisata pantai yang menjadi tujuan utama bagi wisatawan lokal, domestik, maupun wisatawan manca negara di Kabupaten Belitung. Akibatnya kedua objek wisata tersebut selalu ramai didatangi oleh wisatawan, bahkan kondisinya bisa menjadi sangat ramai dan padat bila ada penyelenggaraan acara tertentu. Kondisi tersebut tentu saja akan memperbesar potensi terjadinya degradasi lingkungan dan keindahan alam di dalam objek wisata tersebut, sehingga dapat mengancam pengembangan dan keberlanjutan industri wisata. Selain kondisi alam pantainya sangat indah, di perairan kedua objek wisata pantai tersebut juga terdapat ekosistem terumbu karang yang belum dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata dan mungkin berpotensi untuk dijadikan objek wisata bahari sebagai tempat aktivitas menyelam dan snorkeling. Besarnya potensi tersebut dapat diketahui dari tingkat kesesuaian ekosistem terumbu karang tersebut untuk dijadikan objek wisata selam dan snorkeling. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar potensi dan tingkat kesesuaian wisata ekosistem terumbu karang di kedua perairan ini. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis : (1) Kondisi dan kesesuaian ekosistem terumbu karang di peraian pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi untuk dikembangkan sebagai objek wisata selam (diving) dan snorkeling. (2) Daya dukung ekologi wisata pantai di pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. (3) Daya dukung ekologi wisata selam (diving) dan snorkeling di ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Penelitian ini dilakukan di objek wisata pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi yang terletak di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Adapun metode yang digunakan meliputi Indeks kesesuaian wisata dan besarnya kapasitas lingkungan untuk menampung jumlah wisatawan. Pengambilan data dilakukan dengan pendekatan partisipatif dan eksploratif. Pengambilan data biofisik lapangan untuk komunitas karang menggunakan metode garis menyinggung, untuk komunitas ikan karang menggunakan metode pencacahan langsung, untuk mengetahui luasan area pantai dan karang dengan menggunakan metode tracking GPS. Pengukuran beberapa parameter fisik dilakukan secara insitu. Data pelengkap dan pembanding didapatkan dengan melakukan wawancara dengan stakeholder. Metode analisa data untuk menilai kesesuaian wisata menggunakan matriks yang melibatkan parameter biofisik. Metode analisa data untuk daya dukung ekologi pantai, ekosistem terumbu karang, air tawar dan akomodasi dihitung berdasarkan parameter yang didapatkan dari hasil pengukuran di lapangan untuk kemudian ditentukan pengelolaan yang lebih baik secara deskriptif.
Hasil rata-rata persen penutupan karang hidup di perairan Tanjung Kelayang adalah sebesar 78,625%, sedangkan di perairan Tanjung Tinggi adalah sebesar 76,8%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang masih tergolong sangat baik. Hanya terdapat satu lokasi yang terkategori sangat sesuai untuk aktivitas wisata snorkeling di perairan Tanjung Kelayang, yaitu di stasiun 4, sedangkan lima stasiun penelitian lainnya terkategori cukup sesuai. Hasil analisis data menunjukkan bahwa seluruh stasiun pengamatan di perairan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi terkategori cukup sesuai untuk wisata selam. Perairan pantai Tanjung Kelayang memiliki daya dukung sebesar 91 wisatawan/hari untuk wisata selam dan 76 wisatawan/hari untuk snorkeling. Namun, bentuk pertumbuhan tutupan karang mengisyaratkan bahwa stasiun 1, 2 dan 3 adalah cukup rentan dan stasiun 4 sangat rentan untuk terjadi kerusakan akibat kayuhan fin penyelam. Sedangkan di pantai Tanjung Tinggi, daya dukung untuk wisata selam adalah sebesar 182 wisatawan dan 152 wisatawan/hari untuk wisata snorkeling. Akan tetapi, ekosistem terumbu karang di stasiun 5 memiliki kondisi cukup rentan dan di stasiun 6 tidak rentan untuk terjadinya kerusakan karang. Daya dukung untuk aktivitas wisata pantai di pantai Tanjung Kelayang adalah sebesar 288 wisatawan/hari dan di pantai Tanjung Tinggi adalah sebesar 98 wisatawan/hari. Informasi yang didapat dari pihak pengelola mengatakan bahwa jumlah kunjungan wisatawan di pantai Tanjung Kelayang rata-rata adalah tidak kurang dari 300 wisatawan/hari, sedangkan di Pantai Tanjung Tinggi tidak kurang dari 500 wisatawan/hari. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi sudah melebihi batas daya dukung pantainya sedangkan ekosistem terumbu karang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai objek wisata bahari untuk selam dan snorkeling. Hal tersebut mengisyaratkan pihak pengelola perlu mengoptimalkan pemanfaatan wilayah perairan untuk pengembangan pariwisata. Selain itu juga perlu dilakukan penambahan fasilitas dan akomodasi wisata. Kata kunci :
potensi wisata, daya dukung ekologi.
SUMMARY Aldino Akbar. Analyze of Potential and Ecological Carrying Capacity of Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi Beach for Coastal Tourism, Diving and Snorkeling in Sijuk, Belitung District. Under direction of Hefni Effendi and Isdradjad Setyobudiandi. Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi beach are the main coastal tourism destination in Belitung district for local, domestic and foreign country tourists. That’s why both coastal tourism objects always visited by many tourists and the condition can be saturated when special even is holded there. The saturated condition can stimulates the potential of environment and the beauty of nature degradation there become larger that will threat the sustainability of the tourism it selves. Except for the beautiful beach feature, there are also coral reef ecosystem in both of Tanjung kelayang and Tanjung Tinggi sea water which may have potential becoming marine tourism object for diving and snorkeling that have not been used as a attractive feature to attract the tourists. Therefor, it’s need to be done a research to reveal the potential of the coral reef ecosystem and it’s level of suitability as a marine tourism destination spot for diving and snorkeling. The general goal of this research are to analyse : (1) The condition and the suitability level of coral reef ecosystem that existed in Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi sea water to be develoved as a marine tourism objects for diving and snorkeling. (2) The Ecological carrying cappacity of beach and sand tourism activities at Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi beaches. (3) The ecological carrying cappacity of diving and snorkeling activities on coral reef ecosystems that existed in Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi sea waters. This research is conducted at coastal tourism objects Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi which is sited at Sijuk subdistrict, Belitung district. The methods are used are suitability tourism index and the capacity of tourism destination area to receive and accommodate the visitors. The observation for biological and physics of coral reef community data collecting used line intercept transect method, while the observation and data collecting for reef fishes community uses visual cencus method, and to collect data the extensive of coral reef area and shore area are using Global Possitioning System (GPS) tracking method. Some of physics parameter are measured on the research site. Complemented and comparising datas that are needed are collected by interviewing with the stakeholders. Analysis methods to the datas for knowing the tourism suitability is used matrix method which involved some physic and biological parameters. Analysis methods for shore ecological carrying capacity, coral reef ecosystem, fresh waters and accommodation are counted based on parameters which is collected from the measurements on the sites, then it’s used to determine the better management system descriptively. Average percentage of living coral reef cover at Tanjung Kelayang sea is 78,625%, while at Tanjung Tinggi sea is 76,8%. Those percentage values shows that coral reef ecosystem at Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi sea are rated as a very good category. There is only one area that is categories as very suitable for snorkeling tourism activity, it is the station 4, while the five others are categories as suitable enough. The result of data analysis shows that all the
observation stations at Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi sea waters are suitable enough for diving activity. Tanjung Kelayang coastal waters has its carrying capacity as many as 91 visitors per day for the diving activity and 76 visitors per day for snorkeling activity. The lifeform of coral reef presupposing that observation sation 1, 2 and 3 are susceptible enough while the station 4 is very susceptible to be broken by divers fin kicks. Tanjung Tinggi has the carrying capacity for diving and snorkeling activity as many as 182 visitors per day and 152 visitors per day respectively. But then, the coral reef ecosystem at station 5 posses susceptible condition while the station 6 is not susceptible to coral destruction by divers fin kicks. The carrying capacity of shore based tourism activity at Tanjung Kelayang beach is 288 visitors per day while at Tanjung Tinggi is 98 visitors per day. Informations which is collected from the manager of the site says that the average visits of tourists at Tanjung Kelayang beach is at least 300 visitors per day, while at Tanjung Tinggi beach is at least 500 visitors per day. Based on that conditions, it can be said that the visitors of Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi beach are exceed it’s ecological carrying capacity, but, the coral reef ecosystem in the sea water has not been used optimally as a marine tourism object for diving and snorkeling. Those all things presupposing that the managers of the Tanjung Kelayang and Tanjung Tinggi need to optimize the use of sea water area to develop the tourism there. Besides that, it is very needed to build more infrastructure, facility and accommodation for the visitors in quantity and quanlity means. Key words : tourism potential, ecological carrying capacity
©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS POTENSI DAN DAYA DUKUNG EKOLOGI KAWASAN WISATA PANTAI TANJUNG KELAYANG DAN TANJUNG TINGGI UNTUK WISATA PANTAI, WISATA SELAM DAN SNORKELING DI KECAMATAN SIJUK, KABUPATEN BELITUNG
ALDINO AKBAR
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
Judul Penelitian
: Analisis Potensi dan Daya Dukung Ekologi Kawasan Wisata Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi untuk Wisata Pantai, Wisata Selam dan Snorkeling di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung
Nama
: Aldino Akbar
NIM
: C252090191
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Hefni Effendi, MPhil
Dr.Ir.Isdradjad Setyobudiandi,MSc
Ketua
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Dan Lautan
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian : 12 Juli 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan ridho-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Analisis Potensi dan Daya Dukung Ekologi Kawasan Wisata Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi untuk Wisata Pantai, Wisata Selam dan Snorkeling di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis hingga menyelesaikan studi ini, sebagai berikut : 1. Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku anggota atas segala arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan Proposal Penelitian sampai penulisan Tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc selaku dosen Penguji Luar Komisi, yang telah bersedia menjadi penguji dan atas saran dan masukan yang sangat berharga demi perbaikan tesisi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA selaku Ketua Program Studi, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan atas segala arahan selama masa studi. 4. Rekan & teman yang telah membantu proses pengambilan data Rizza Muftiadi, Dedy dll. 5. Teman-teman Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Angkatan 16 Tahun 2009 Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor (Mohammad Akbar, Fery Kurniawan, James Walalangi, Mohamad Sayuti Djau, Mochamad Idham Shilman, Sudirman Adibrata, Syultje M. Latukolan, Suryo Kusumo, RM. Puji Rahardjo, Dewi Dwi Puspitasari Sutedjo, Ita Karlina, Al Azhar, Rieke Kusuma Dewi, Yofi Mayalanda, Destilawaty, Andi khodijah). 6. Penghargaan yang sebesar-besarnya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, ayahanda Sahani Saleh dan ibunda Asmara yang telah membesarkan, mendidik dan memberikan bantuan dan doa. Terimakasih yang tak terhingga bagi istriku Ana Chandra Sari & putraku tercinta Irsyadzaky Sandriano serta atas segala bantuannya dari adekku Dedek Kusvianti. Akhirnya, terima kasih dan hormat yang sangat mendalam penulis persembahkan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan, dukungan dan doa. Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin.
Bogor, Juli 2013
Aldino Akbar
DAFTAR ISI
1
2
3
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Wisata Pantai dan Wisata Bahari Dampak Pariwisata Terhadap Ekosistem Pantai dan Terumbu Karang Konsep Daya Dukung Wisata Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang Daya Dukung Wisata Berkaitan Dengan Ketersediaan Air Tawar METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data Penentuan Potensi Ekosistem Terumbu Karang Pengamatan Komunitas Karang Pengamatan Komunitas Ikan Karang Pengukuran Parameter Fisik Perairan Kecerahan Perairan Kecepatan Arus Kedalaman Terumbu Karang Pengukuran Parameter Kimia Perairan Analisis Data Analisis Data Biofisik dan Parameter Fisik Perairan Persen Penutupan Karang Hidup dan Jumlah Lifeform Karang Jumlah Spesies Ikan Karang Kecerahan Perairan Kecepatan Arus Analisis Kesesuaian Wisata Snorkeling Analisis Kesesuaian Wisata Selam Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Pantai Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Selam dan Snorkeling Analisis Daya Dukung Ekolgi Wisata Berdasarkan Ketersediaan Air Tawar
Halaman xv xvi xvii 1 1 2 2 3 3 5 5 7 11 12 13 14 14 14 14 14 15 16 16 18 18 18 19 19 19 19 19 19 20 20 21 22 22 23 25
Analisis Daya Dukung Ekolgi Wisata Berdasarkan Ketersediaan Akomodasi Wisata Strategi Pengelolaan 4
5
26 26
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Daerah Penelitian Kondisi Umum Desa Keciput Kondisi Umum Pengelolaan Pantai Tanjung Kelayang Kondisi Umum Pengelolaan Pantai Tanjung Tinggi Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Kondisi Komunitas Karang Kondisi Komunitas Karang di Perairan Pantai Tanjung Kelayang Kondisi Komunitas Karang di Perairan Pantai Tanjung Tinggi Kondisi Komunitas Ikan Karang Indeks Kesesuaian Wisata Selam dan Snorkeling Konsentrasi Nitrat & Fosfat Perairan Daya Dukung Ekologi Wisata Daya Dukung Ekologi Wisata Pantai Daya Dukung Ekologi Wisata Selam dan Snorkeling Daya Dukung Ekologi Wisata Selam dan Snorkeling di Pantai Tanjung Kelayang Daya Dukung Ekologi Wisata Selam dan Snorkeling di Pantai Tanjung Tinggi Daya Dukung Akomodasi Wisata Daya Dukung Air Tawar Daya Dukung Air Tawar di Pantai Tanjung Kelayang Daya Dukung Air Tawar di Pantai Tanjung Tinggi Strategi Pengelolaan
27 27 28 30 31 32 32
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
60 60 60
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
61 69 75
34 36 38 42 45 47 47 48 48 50 52 54 54 56 57
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Kebutuhan Data, Alat, Bahan dan Metode Yang Digunakan Dalam Penelitian Kategori pengamatan data komunitas karang Matriks kesesuaian wisata bahari untuk kategori wisata snorkeling Matriks kesesuaian wisata bahari untuk kategori wisata selam Jenis pekerjaan dan jumlah pekerja di Desa Keciput Tahun 2011 Hasil pengamatan komunitas karang di perairan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi Nilai indeks mortalitas karang (IMK) Jumlah spesies dan kelimpahan ikan karang di tiap stasiun pengamatan dan di kawasan perairan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi Jumlah spesies, kelimpahan ikan karang, persen penutupan karang hidup dan jumlah liveform karang di tiap stasiun pengamatan Nilai indeks kesesuaian wisata tiap stasiun pengamatan Hasil pengukuran parameter kesesuaian wisata selam dan snorkeling Kesesuaian wisata tiap stasiun pengamatan Hasil pengukuran fosfat dan nitrat di perairan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi Luas ekosistem terumbu karang di tiap stasiun pengamatan Nilai daya dukung ekologi untuk wisata selam dan snorkeling beserta jumlah wisatawan per trip di pantai Tanjung Kelayang Persen penutupan karang hidup dengan bentuk pertumbuhan ACB, ACT, CB, CF di perairan pantai Tanjung Kelayang Nilai daya dukung ekologi untuk wisata selam dan snorkeling beserta jumlah wisatawan per trip di pantai Tanjung Tinggi Hasil pengukuran contoh sumur di pantai Tanjung Kelayang Debit air sumur contoh di kawasan pantai Tanjung Tinggi Tabulasi seluruh daya dukung ekologi
15 17 20 21 28 33 34
38
41 42 43 45 45 49 49 50 51 55 56 57
DAFTAR GAMBAR
1 2 3 4 5 6 7
Kerangka pemikiran penelitian Peta Lokasi Penelitian Pengamatan ikan karang dengan metode pencacahan langsung Peta kondisi pantai Tanjung Kelayang dan lokasi penelitian Peta kondisi pantai Tanjung Tinggi dan lokasi penelitian Peta daya dukung dan kerentanan ekosistem terumbu karang di perairan pantai Tanjung Kelayang Peta daya dukung dan kerentanan ekosistem terumbu karang di perairan pantai Tanjung Tinggi
Halaman 4 14 18 31 32 50 52
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3
Hasil penghitungan tutupan ekosistem terumbu karang di tiap stasiun pengamatan Hasil penghitungan jumlah family, spesies dan kelimpahan ikan karang di perairan Tanjung Kelayang Hasil penghitungan jumlah family, spesies dan kelimpahan ikan karang di perairan Tanjung Tinggi
70 72 74
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pantai Tanjung Kelayang dan Pantai Tanjung Tinggi merupakan objek wisata pantai yang terdapat di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Belitung, kedua objek wisata pantai tersebut termasuk ke dalam wilayah yang peruntukkannya adalah untuk pengembangan pariwisata. Kedua pantai tersebut merupakan tujuan utama bagi wisatawan lokal untuk berwisata, khususnya pada hari libur. Jumlah wisatawan yang ramai dan padat selalu terkonsentrasi di kedua pantai ini. Jumlah wisatawan akan bertambah padat pada saat saat hari-hari libur atau diselenggarakannya even-even khusus yang rutin diselenggarakan seperti “Festival Muang Jong”, “Sail Belitung”, dll. Pantai Tanjung Kelayang dan Pantai Tanjung Tinggi merupakan objek wisata alam (nature-based tourism) yang mengandalkan keindahan alam berupa hamparan pasir putih halus yang panjang membentang, susunan bebatuan granit besar yang unik dan air lautnya yang jernih membiru. Pariwisata berbasiskan alam adalah pariwisata yang menampilkan/ menyajikan alam, dan merupakan bagian yang penting dari industri pariwisata dunia (Lindberg dkk 1998). Sampai saat ini, bentuk pengelolaan objek wisata pantai Tanjung Kelayang adalah wisata masal (mass-tourism) yang berupaya mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya, sehingga pihak pengelola akan lebih banyak mendapatkan keuntungan dari tiket masuk bila semakin banyak wisatawan yang datang. Pantai Tanjung Tinggi belum ada pengelolaan seperti tersebut, dan setiap wisatawan bebas masuk untuk menikmati keindahan alam tanpa harus membayar. Bila kondisi seperti tersebut di atas terus berlanjut, maka potensi untuk terjadinya kerusakan lingkungan dan ekologi di kedua pantai tersebut juga akan semakin besar. Kerusakan lingkungan yang telah terjadi di kedua pantai tersebut adalah banyaknya sampah yang mengotori pantai, dan khusus di Pantai Tanjung Tinggi, batu-batu besar di sekitar pantai tersebut telah banyak yang tercoret-coret oleh wisatawan sehingga mengurangi keindahannya. Aktivitas wisata masal diperkirakan bertanggungjawab terhadap timbulnya dampak negatif yang paling buruk dari pariwisata. Di antara semua jenis aktivitas bersenang-senang, wisata masal adalah yang paling sering harus bertanggungjawab terhadap kerusakan yang berkaitan dengan pariwisata (Budeanu 2005). Kekhawatiran terbesar yang dapat terjadi bila terjadi kerusakan lingkungan dan ekologi, maka keberlanjutan pariwisata di tempat tersebut dapat terancam. Hal tersebut dikarenakan objek wisata yang bersifat nature-based, keberlanjutannya sangat tergantung pada kondisi alam sebagai daya tarik utama bagi wisatawan. Pariwisata yang bersifat nature-based di masa yang akan datang akan sangat tergantung pada sumberdaya alam tersebut dan membutuhkan akses-akses pada lingkungan alami yang berkualitas tinggi (Priskin 2001). Suatu objek wisata sering dikunjungi oleh wisatawan selain disebabkan oleh menariknya objek wisata tersebut, juga disebabkan oleh tercapainya tujuan berwisata dari wisatawan. Konsentrasi wisatawan yang tinggi di daerah pantai pada saat beraktivitas dan menikmati keindahan alam dapat menyebabkan
2
berkurangnya kenyamanan yang bermuara pada tidak tercapainya tujuan berwisata, padahal, potensi keindahan alam yang terdapat di bawah lautnya belum dimanfaatkan dengan optimal. Adapun aktivitas wisata yang biasa dilakukan di ekosistem terumbu karang tersebut yaitu menyelam (diving) dan snorkeling. Atau dengan kata lain, mungkin dapat dilakukan pengembangan wisata di kedua pantai tersebut yang semula hanya berorientasi pada pantai saja menjadi objek wisata pantai dan wisata bahari. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat, terdapat ekosistem terumbu karang di perairan sekitar Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Namun, belum diketahui seberapa besar potensi dan kesesuaiannya untuk dijadikan objek wisata selam dan snorkeling. Sehingga, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui seberapa besar potensi tersebut berdasarkan analisis kesesuaiannya. Aspek keindahan alam, lingkungan dan ekologi yang terjaga pada objek wisata yang mengandalkan keindahan alam merupakan hal yang penting sebagai daya tarik utama wisatawan, sehingga diperlukan keseimbangan antara jumlah wisatawan yang datang dengan tetap terjaganya keindahan alam di objek wisata tersebut. Pengaruh fisik yang bersifat merugikan mungkin dapat dikurangi jika terjadi hubungan simbiotik antara pariwisata yang bersifat nature-based dengan konservasi, hal tersebut jika pariwisata dikembangkan dengan cara berkelanjutan secara ekologi (Priskin 2001). Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mencapai pengembangan pariwisata yang berkelanjutan secara ekologi tersebut adalah dengan menentukan daya dukung ekologi suatu objek wisata. Maka dari itu, selain mengetahui besarnya potensi ekosistem terumbu karang di kawasan tersebut, juga perlu dilakukan analisis daya dukung ekologi pada objek wisata pantai dan objek wisata bahari (ekosistem terumbu karang) yang terdapat di Pantai Tanjung Kelayang dan Pantai Tanjung Tinggi tersebut. Perumusan Masalah Dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pada objek wisata pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi tersebut, yaitu : 1. Bagaimana kesesuaian ekosistem terumbu karang di perairan pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi tersebut untuk dikembangkan sebagai objek wisata selam (diving) dan snorkeling. 2. Bagaimana daya dukung ekologi untuk wisata pantai di pantai Tanjung Tinggi dan di pantai Tanjung Kelayang. 3. Bagaimana daya dukung ekologi untuk wisata selam dan snorkeling di ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Tinggi dan pantai tanjung Kelayang. Kerangka Pemikiran Pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi merupakan objek wisata pantai utama di Pulau Belitung yang selalu dikunjungi oleh wisatawan lokal, domestik maupun wisatawan mancanengara. Selain itu, ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi mungkin memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari untuk wisata selam dan snorkeling. Potensi yang dimaksud dapat tercermin dari
3
kondisi ekosistem terumbu karang dan tingkat kesesuaiannya untuk dijadikan objek wisata selam dan snorkeling. Agar wisata pantai dan wisata bahari dapat terlaksana secara berkelanjutan dan ekosistem pantai dan ekosistem terumbu karang di perairannya dapat terus terjaga dan lestari, maka perlu diketahui daya dukung untuk wisata pantai dan wisata bahari di kedua objek wisata tersebut. Adapun bagan alir kerangka pemikiran pada penelitian ini seperti yang digambarkan pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Dari rumusan masalah di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan-permasalahan tersebut dengan pencapaian tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui kondisi dan kesesuaian ekosistem terumbu karang di peraian pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi untuk dikembangkan sebagai objek wisata selam (diving) dan snorkeling. 2. Mengetahui daya dukung ekologi wisata pantai di pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. 3. Mengetahui daya dukung ekologi wisata selam (diving) dan snorkeling di ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat berupa masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengembangan dan pengelolaan pariwisata di Kabupaten Belitung untuk lebih mempertimbangkan kelestarian alam dan lingkungan sehingga pariwisata yang telah ada dapat terus berkembang dengan meminimalkan kerusakan akibat aktivitas-aktivitas wisata tersebut.
4
Daya dukung ekologi di wisata Tanjung Kelayang & Tanjung Tinggi
Daya dukung ekologi wisata pantai
Data Biofisik Pantai
Kesesuaian terumbu karang sebagai objek wisata selam & snorkeling
Data Biofisik Ekosistem Terumbu Karang
Analisis Daya Dukung Wisata Pantai Analisis Kesesuaian Wisata Selam & Snorkeling Daya Dukung Ekologi Wisata Pantai
Pariwisata Berkelanjutan
Upaya Peningkatan Kelas Kesesuaian Sesuai ?
Ya Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Selam & Snorkeling
Daya Dukung Wisata Selam & Snorkeling
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Tidak
5
2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Wisata Pantai dan Wisata Bahari Pariwisata menurut Agenda 21 untuk perjalanan dan industri pariwisata tahun 1996 adalah seluruh kegiatan orang yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud lain (www.world-tourism.org). Pariwisata di Indonesia menurut UU Kepariwisataan No. 9 tahun 1990 pasal 1 (5) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidangnya. Berikut adalah definisi-definisi pariwisata yang biasa digunakan. Pariwisata yaitu pergerakan temporal ke daerah-daerah tujuan di luar rumah dan tempat kerja, aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan selama tinggal disana, dan fasilitas-fasilitas dibuat untuk memenuhi kebutuhan wisatawan (Mathieson & Wall 1982). Sebuah studi terhadap permintaan dan penyediaan akomodasi dan pelayanan-pelayanan yang mendukung untuk tinggal jauh dari rumah, dan polapola yang dihasilkan dari pengeluaran, penghasilan, dan pekerjaan (Ryan 1991). Hal-hal yang dicari orang-orang yang menguntungkan secara psikologi yang meningkat dari pengalaman-pengalaman di tempat-tempat baru, dan situasi-situasi baru yang durasinya temporer, sementara bebas dari keharusan pekerjaan, atau pola-pola normal kehidupan sehari-hari di rumah (McIntosh & Goeldner 1991). Akan tetapi, definisi ini dapat diperbaiki. Pertama, bagian terakhir sepertinya terlalu menyulitkan dan membatasi, dan penghilangannya dapat meningkatkan ekspresi ekonomi. Kedua, istilah komunitas setempat dapat dikembangkan menjadi komunitas setempat dan komunitas lingkungan untuk memperhitungkan lingkungan fisik seperti komunitas manusia. Ketiga, perlu dipertimbangkan tidak hanya bisnis dan individu di dalam pembangkitan pariwisata negara tetapi juga pemerintah, masyarakat, dan lingkungan dalam pengembangan negara-negara ini. Sehingga, definisi pariwisata yang dimodifikasi seharusnya dibaca : Penjumlahan dari fenomena dan hubungan-hubungan yang bangkit dari interaksi dalam pembangkitan dan negara-negara penyelenggara pariwisata, penyedia bisnis, pemerintahan, masyarakat dan lingkungan (Tribe 1997). Dahuri et al. (2004) menyatakan bahwa daya tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan, seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun, pasir dan sebagainya), dan hutanhutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuh-tumbuhan, burung dan hewan-hewan lain. Karena daya tariknya, maka daerah pesisir sering menjadi tujuan utama para wisatawan. Daerah pesisir secara fisik dapat dibagi menjadi daerah daratan dan perairan, sehingga berdasarkan kondisi tersebut, maka aktivitas wisata di daerah pesisir bisa diklasifikasikan sebagai wisata pantai dan wisata bahari. Konsep pariwisata pesisir mencakup seluruh selang pariwisata, bersantai, dan aktivitas-aktivitas yang berorientasi rekreasi yang bertempat di zona pesisir dan perairan pesisir lepas pantai (offshore). Juga termasuk pengembangan pariwisata pesisir (akomodasi, restoran, industri makanan, dan rumah kedua), dan infrastruktur pendukung pengembangan pesisir (contoh : bisnis retail (pengecer), marina dan penyedia aktivitas). Juga termasuk aktivitas wisata seperti rekreasi
6
berperahu, ekoturisme berbasis pesisir dan laut, pelayaran, berenang, rekreasi memancing, snorkeling dan menyelam (Miller & Auyong 1991; Miller 1993). Wisata bahari sangat erat berkaitan dengan konsep wisata pesisir tetapi juga termasuk wisata berbasis laut seperti memancing di laut dalam dan pelayaran menggunakan kapal pesiar. Orams (1999) mendefinisikan wisata bahari termasuk aktivitas rekreasi dengan bepergian dari tempat tinggal untuk fokus pada lingkungan laut (air yang bersalinitas dan dipengaruhi pasang-surut). Yayasan biologi dan rekreasi juga menekankan bahwa wisata pesisir dan laut harus juga memasukkan aktivitas-aktivitas yang berbasis di pantai, seperti pengamatan paus dari pantai, berjalan di batu karang, kapal layar dan kegiatan berlayar/pesiar, di dalam keseluruhan keinginan wisata bahari (Hall 2001). Anonimous diacu dalam Aryanto (2003) berpendapat bahwa wisata bahari merupakan jenis kegiatan pariwisata yang berlandaskan pada daya tarik kelautan dan terjadi di lokasi atau kawasan yang didominasi perairan dan kelautan. Daya tarik itu mencakup perjalanan dengan moda laut, kekayaan alam bahari serta peristiwa-peristiwa yang diselenggarakan di laut dan di pantai, seperti misalnya lomba memancing, selancar, menyelam, lomba layar, olah raga pantai, dayung, upacara adat yang dilakukan di laut. Wisata bahari dalam PPRTKIM (1995) didefinisikan sebagai kumpulan dari segala bentuk wisata yang berhubungan dengan laut, mulai dari wisata di pesisir pantai, wisata di permukaan laut (berenang, snorkeling, berlayar, berselancar dan sebagainya) bahkan sampai wisata di dasar laut (selam, selam SCUBA). Supriharyono (2000) menyatakan bahwa daerah pantai yang mempunyai ekosistem terumbu karang, hewan-hewan laut yang beraneka ragam dan pantai pasir putih secara alamiah akan memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Andalan utama kegiatan wisata bahari yang banyak diminati oleh para wisatawan adalah aspek keindahan dan keunikan terumbu karang. Terumbu karang dapat dimanfaatkan untuk objek wisata bahari karena memiliki nilai estetika yang sangat tinggi. Dari definisi-definisi di atas, maka dapat diasumsikan bahwa wisata selam merupakan salah satu bentuk dari wisata bahari yang fokus pada menikmati keindahan alam bawah laut seperti keindahan ekosistem terumbu karang dll. Hal yang menarik bagi penyelam di terumbu karang adalah petualangan untuk memasuki medium untuk menikmati kebebasan dari grafitasi dan kemampuan bergerak secara bebas dalam tiga dimensi. Pemandangan menarik dapat ditingkatkan oleh struktur-struktur tiga dimensi seperti bebatuan, karang atau kapal tenggelam (wreck). Jika pemandangan tersebut ditambah dan dihuni oleh organisme-organisme yang beraneka warna, hal tersebut menyediakan atraksi tambahan dan pada puncaknya yaitu hewan-hewan yang besar dan berbahaya dapat diamati, menjadikannya semakin lengkap (Van Treek & Schumacher 1998). Wisata pantai dan wisata bahari (selam dan snorkeling) adalah jenis wisata yang mengandalkan keindahan alam sebagai daya tarik utamanya. Pariwisata berbasis alam (nature-based) adalah bagian yang penting dari industri pariwisata dunia (Lindberg et al. 1998). Pariwisata berbasis alam sering disinonimkan dengan istilah seperti eco, sustainable, green, alternative dan responsible tourism (Weaver et al. 1998; Weiler & Hall 1992). Pariwisata berbasiskan alam didefinisikan sebagai pariwisata yang menampilkan/menyajikan alam (Komisi
7
Pariwisata Austraia Barat dan Departemen Konservasi dan Manajemen Lahan 1997). Baik pariwisata berbasiskan alam dan ekowisata keduanya bergantung pada sumberdaya alam. Penggunaan yang lebih berani dari area alam termasuk, mengendarai off-road, memanjat tebing dan menyelam (Wong 1998; Orams 1999). Teori pariwisata telah mengenal kunci pentingnya kualitas lingkungan untuk menjamin daya saing dari kebanyakan tipe daerah tujuan wisata (Inskeep 1991; Mihalic 2000). Dengan demikian, daerah yang alami memiliki peran yang penting dalam mempromosikan produk wisata. Dampak Pariwisata Terhadap Ekosistem Pantai dan Terumbu Karang Lingkungan pesisir, utamanya garis pantai berpasir lebih rentan terhadap pengaruh fisik yang bersifat negatif (Wong 1998; Orams 1999). Pengaruh negatif terhadap pesisir termasuk degradasi pada bukit pasir (dune), hilangnya keanekaragaman, erosi, eutrofikasi dan pengotoran (Wong 1998; Agen Pemerintah Jerman untuk Konservasi Alam 1997). Jika sumberdaya yang menjadi dasar tersebut berkurang maka potensi untuk menarik wisatawan juga berkurang (Priskin 2001). Pariwisata dapat berdampak membahayakan lingkungan fisik dan laut yang sekarang telah banyak diketahui (Hanna & Wells 1992). Akan tetapi, bahwa pariwisata secara otomatis memiliki pengaruh-pengaruh negatif, sekarang telah menjadi suatu kebenaran di dalam banyak literatur perjalanan di jaman sekarang ini. Tidak diragukan lagi, pengembangan pariwisata tanpa perencanaan dan pengelolaan yang jelek dapat merusak lingkungan alami, tetapi pemahaman keseluruhan dari interaksi antara pariwisata dan lingkungan utamanya di daerah pesisir sangat sedikit, dengan debat tentang dampak pengembangan pariwisata sering berhadapan dalam keadaan umum dibanding hasil penelitian ilmiah tentang dampak pariwisata di suatu lingkungan yang spesifik atau terhadap suatu spesies spesifik (Hall 1996). Walaupun demikian, peningkatan perekonomian pariwisata yang signifikan, pertumbuhan aktivitas pariwisata yang berbasis alam, dan keinginan banyak konsumen untuk merasakan pengalaman di lingkungan yang alami dari gambaran wisata telah berkontribusi pada peningkatan dalam penelitian dampak fisik dari pariwisata (Hanna & Wells 1992). Memelihara integritas ekosistem harus menjadi tujuan utama manusia, walaupun sulit untuk dicapai karena sedikit yang diketahui tentang skala spasial dan temporal ekosistem mana yang seharusnya diselamatkan dan dilindungi, batas-batas untuk menggantikan fungsi-fungsi mereka, atau batas gangguan yang dapat mereka tahan sebagai sistem-sistem yang kompleks, saling berinteraksi dan saling bergantung satu dengan lainnya (Costanza 2000). Adalah hal yang penting untuk mengerti kontribusi manusia terhadap perubahan ekosistem, dan bagaimana aktivitas-aktivitas tersebut mungkin dapat mengurangi kapasistas ekosistem untuk mencapai pelayanan- pelayanan yang terus-menerus (Gossling 2002). Aktivitasaktivitas wisatawan mempengaruhi ekosistem secara langsung maupun secara tidak langsung. Terumbu karang, sebagai contoh, dapat rusak karena terinjakinjak, pembelian, atau pengumpulan spesies karang sebagai sebuah pengaruh negatif yang terjadi secara lokal (IPCC 2001). Selain itu, bersantai berkaitan dengan pembukaan lahan mungkin sering terkonsentrasi di daerah yang relatif kecil yang sensitif secara ekologi, atau daerah-daerah yang produktivitas biologinya, secara ekologi berharga. Sehingga, pariwisata adalah faktor yang
8
paling penting penyebab dampak negatif pada lingkungan pesisir dan laut yang sensitif (WWF 2001). Secara ekologi, ekspansi aktivtas rekreasi mungkin mengancam daerah yang belum terganggu dan daerah-daerah hutan belantara demi keuntungan ekonomi jangka pendek (Wanhill & Buhalis 1999; Hohl & Tisdell 1995). Ekspansi aktivitas rekreasi tersebut merubah komposisi flora dan fauna, menciptakan polusi, erosi dan pengaruh-pengaruh secara visual, dan merusak sumberdaya alam (Cooper et al. 1998). Aktivitas rekreasi mengganggu sistem ekologi melalui berbagai cara (Garrigos et al. 2004). Dampak aktivitas rekreasi dapat menyebabkan pertukaran biota dan kepunahan spesies-spesies liar. Vitousek et al. (1997) menyatakan bahwa mobilitas manusia telah menyebabkan pertukaran spesies-spesies yang pada akhirnya berdampak pada keanekaragaman biologi dan fungsi ekosistem melalui penghomogenan biota dan gangguan pada sistem-sistem alam. Gossling (2002) menyebutkan bahwa jalan utama bagi spesies-spesies tersebut untuk memasuki lingkungan-lingkungan yang baru yaitu seperti melalui perdagangan internasional, perdagangan organisme hidup, dan dilintaskan oleh wisatawan. Pariwisata juga dapat berkontribusi dalam pemunahan spesies melalui gangguan, pengoleksian, menginjak-injak dan membeli spesies hewan dan tumbuhan. Survey secara regional telah sering membuktikan nilai dalam indentifikasi dampak pariwisata terhadap ekosistem-ekosistem laut. Sebagai contoh, dampak merugikan di Karibia yang telah dilaporkan termasuk perusakan dari jangkar kapal kecil, pendaratan kapal, dan pesnorkel dan penyelam scuba. Sebagai tambahan, laporan pengembangan pulau telah menyebabkan erosi, runoff pestisida, limbah cair, juga cemaran minyak dan penangkapan ikan berlebih. Perusakan oleh jangkar diduga sebagai salah satu ancaman paling serius terhadap sumberdaya laut di Karibia utamanya oleh jumlah pertumbuhan kapal layar berukuran sedang dan besar yang beroperasi di daerah tersebut (Allen 1992). Berikut adalah dampak kerusakan lingkungan dan ekologi yang diakibatkan oleh pariwisata, studi kasus di pulau-pulau di Pasifik (Hall 2001) : 1. Degradasi lingkungan dan polusi : − Degradasi dan polusi lingkungan oleh pelatihan golf − Polusi karena pengotoran 2. Penghancuran habitat dan perusakan ekosistem : − Pariwisata dengan manajemen yang jelek mungkin menghasilkan − Kehancuran pada lingkungan alam yang berkualitas tinggi − Tidak diaturnya gangguan manusia terhadap flora dan fauna spesies yang spesifik − Letusan dinamit dan penangkapan berlebih 3. Hilangnya sumberdaya pesisir dan laut : − Gangguan berupa proses-proses alam di darat dan pesisir, ekstraksi air tanah yang berlebihan oleh penginapan-penginapan besar menyebabkan intrusi air asin dan penurunan kualitas air dan pengisian pada aquifer
9
− Hancurnya dan rusaknya ekosistem pesisir melalui pengembangan pariwisata − Limpasan air dari daratan dan pengerukan di daerah pesisir merusak terumbu karang dan sumberdaya laut disebabkan oleh pembangunan infrastruktur wisata seperti landasan pesawat, marina, pelabuhan, area parkir dan jalan, dan penggunaan batu kapur karang dalam pembangunan hotel dan penginapan − Aktivitas wisata menghancurkan terumbu karang, laguna, mangrove, rumput air asin, dan lahan basah melalui kunjungan yang terlalu banyak dan/atau tidak diaturnya eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut gangguan pada kehidupan organisme akuatik dekat pantai oleh getaran kapal dan kapal tour − Perusahaan pariwisata merubah integritas lingkungan dan melanggar batas gaya hidup masyarakat lokal dengan mngimpor spesies-spesies eksotis untuk perburuan − Kerusakan pada ekosistem pasir berlumpur − Kerusakan pada ekosistem mangrove − Kerusakan pada ekosistem hutan hujan pesisir − Hilangnya pantai berpasir dan erosi garis pantai melalu pembangunan di pantai dan konstruksi dinding pantai (seawalls). 4. Polusi pantai : − Pembuangan dan polusi limbah cair − Polusi perairan pesisir dan siltasi oleh konstruksi penginapan di dekat pantai dan limpasan permukaan dari daerah penginapan menyebabkan kerusakan pada habitat alami, karang dan daerah mencari makan ikan − Polusi laut dan pelabuhan, polusi minyak di pesisir melalui kendaraan dan kapal-kapal bermesin Salah satu hal yang nyata dimana pembangunan yang berhubungan dengan pariwisata telah berdampak pada lingkungan pesisir adalah pengaruh aktivitas wisata dan wisatawan terhadap terumbu karang. Terumbu karang sangatlah rentan, dan aktivitas manusia yang merugikan mungkin menghasilkan kapasitas yang lebih rendah unuk beregenerasi, atau kematian dari seluruh koloni karang (TCSP 1988). Wisatawan dapat secara langsung berdampak pada terumbu karang dalam beragam cara. Skin diver dan pesnorkel dapat merusak karang melaui kayuhan kaki katak (fin) mereka. Dalam hal mencegah kerusakan tersebut, Vanuatu secara aktif melatih penyelam dalam mendapatkan gaya apung yang benar. Di Great Barrier Reef Australia, berjalan di karang oleh wisatawan pada saat surut telah menyebabkan kerusakan terhadap karang di bagian yang mudah didatangi dari pantai (Hall & Lew 1998). Ekspansi besar-besaran yang direncanakan melalui utara Laut Merah mengancam ekosistem karang dan memperingatkan bahwa meskipun kecepatan pengembangan wisatawan dikurangi, daya dukung terumbu karang dapat dilampaui dengan kemungkinan menyebarluasnya degradasi karang (Hawkins & Roberts 1994). Aspek utama secara tidak langsung pariwisata yang berdampak pada terumbu karang adalah dampak lingkungan dari pembangunan penduduk dan penginapan, pembersihan lahan, dan polusi. Polusi dapat datang dari daratan,
10
contoh: penginapan; dan sumberdaya-sumberdaya di laut, contoh: kapal-kapal wisatawan. Polusi dari daratan sering bermuatan terlalu banyak nutrient yang berasal dari limbah rumah tangga dan pupuk. Sementara kedua tipe polutan tersebut mungkin datang dari sumber non-pariwisata seharusnya dicatat bahwa septic tanks atau sistem limbah rumah tangga yang tidak layak di penginapan, atau larian permukanan pupuk dari lapangan golf mungkin berdampak pada sistem karang (Kuji 1991). Kandungan nutrient yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan alga yang menyebabkan penutupan karang dan pada akhirnya mematikannya. Hal yang serupa, sedimentasi menyebabkan pelumpuran dan kekeruhan air yang menghalangi cahaya matahari menuju karang juga dapat membunuh mereka. Pada kasus konstruksi jalan tanjung Tribulation dekat Daintree di utara Queensland oleh pemerintah pada pertengahan 1980 dalam sebuah usaha pengembangan wisata, sedimentasi pada karang di dekatnya meningkat lebih dari 6 kali lipat dibandingkan dengan daerah yang tidak diganggu di wilayah yang sama (Hopley et al. 1993). Degradasi terhadap karang terjadi ketika pariwisata bahari berkembang. Kemajuan teknis peralatan juga peningkatan minat terhadap alam, konservasi dan masalah-masalah lingkungan (Ceballos-Lascurain 1993) telah menghasilkan peningkatan popularitas rekreasi terumbu karang, utamanya menyelam scuba. Perusakan oleh penyelam beragam tergantung tipe karang yang ada. Karang bercabang adalah yang paling menderita dan paling banyak patah (Rouphael & Inglis 1997; Garrabou et al. 1998) meskipun Hawkins et al. (1999) menemukan bahwa walau pertumbuhan mereka cepat, persen penutupan karang bercabang di Bonaire meningkat 8,2% di area yang padat penyelam, adalah merupakan korbanan dari karang-karang yang tumbuh lebih lambat. Karakteristik penyelam juga berkaitan dengan kerusakan karang oleh penyelam. Penyelam yang kurang berpengalaman (< 100 penyelaman) sepertinya lebih merusak karang dibandingkan penyelam yang sudah berpengalaman (Roberts & Harriott 1994). Penyelam pria, penggunaan kamera dan fase pendahuluan dari penyelaman juga berkaitan dengan tingkat kerusakan karang (Rouphael & Inglis 2001). Fin (kaki katak) penyebab utama kerusakan karang, diikuti oleh tangan, lutut dan alat pengukur tekanan dan kedalaman (Rouphael 1997). Kayuhan fin juga dapat meresuspensi sedimen yang kemudian tertinggal di substrat sekitar, termasuk pada karang (Rouphael & Inglis 1995; Zakai & Chadwick-Furman 2002). Kontak penyelam dengan karang di St. Lucia umumnya terjadi selama 10 menit awal penyelaman, ketika penyelam mengatur peralatan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan bawah air. Kebanyakan kontak dengan karang (81,4%) disebabkan oleh kayuhan fin, dan lebih dari setengah menyebabkan menaiknya sedimen. Kebanyakan kontak (81,2%) tampak disebabkan oleh teknik berenang yang rendah, tidak benar memakai pemberat dan ketidakpedulian. Pengguna kamera lebih banyak melakukan kontak dengan karang dan merusak lebih banyak dibanding yang tidak menggunakan kamera, yaitu ketika berpegangan dengan atau berlutut di atas karang ketika akan memotret. Menyelam dari pantai lebih merusak dari menyelam dari perahu, kebanyakan karena penyelam berenang melintasi daerah berpasir yang dangkal pada awal dan akhir penyelaman (Barker & Callum 2004).
11
Konsep Daya Dukung Wisata Telah banyak publikasi yang menyatakan dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati (Misal : Tribe 1997). Raffaelli & Hawkins (1996) menyatakan Selain pengumpulan secara langsung untuk makanan, invertebrata laut banyak dikumpulkan untuk digunakan sebagai umpan untuk pemancingan komersil dan rekreasi. Pengumpulan cangkang kerang dan binatang pantai lainnya sebagai suvenir telah menjadi sumber pemasukkan berarti di banyak bagian dunia. Pariwisata juga telah merupakan bagian penting dari perekonomian di suatu negara. Laporan Team Coastal Area Management Program di Mediterania pariwisata dipandang sebagai industri yang paling penting, mewakili hampir 30 persen persinggahan wisatawan dunia dan pemasukan dari pariwisata (CAMP 1999). Dengan adanya dampak negatif terhadap daerah wisata baik secara ekologi maupun secara ekonomi dan sosial budaya, maka perlu dilakukan pembatasan dalam berbagai hal dalam industri pariwisata. Pembatasan tersebut dilakukan untuk menjaga keberlanjutan dari industri pariwisata itu sendiri. Adapun salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencapai pariwisata berkelanjutan tersebut adalah dengan mengetahui daya dukung wisata. Daya dukung wisata adalah kapasitas untuk mengakomodasi pengunjung dan pembangunan tanpa mengganggu dan merusak lingkungan laut dan sumberdaya-sumberdayanya atau berdampak pada berkurangnya kepuasan wisatawan (WTO & UNEP 1992). Daya dukung untuk daerah tujuan wisatawan mengimplikasikan bahwa ada batas pada jumlah pengembangan pariwisata dan aktivitas di suatu daerah, diantaranya yaitu kejenuhan fasilitas-fasilitas, wisatawan menjadi tidak puas dan degradasi lingkungan. Daya dukung wisata di masa yang akan datang dapat menjadi rusak pada komponen yang paling mendasar dari daya dukung ekologi, lingkungan, fisik, sosial ekonomi. Daya dukung secara fisik yaitu batas ruang, dimana fasilitas-fasilitas telah dalam kondisi jenuh (Getz 1982). Daya dukung sosial dapat dilihat dari dua perspektif, pertama yaitu kapasitas dari penduduk lokal dalam mentoleransi kehadiran wisatawan dan yang kedua yaitu tingkat dimana hilangnya kesenangan pengunjung dan terjadi ketidakpuasan wisatawan (O'Reily 1986). Daya dukung ekonomi adalah tingkat dimana campur tangan pariwisata dengan aktivitas non-wisata menjadi tidak dapat diterima secara ekonomi. Keberlanjutan ekologi pengembangan pariwisata berarti bahwa aktivitas-aktivitas sekarang ini merawat sumberdaya tersebut sehingga generasi mendatang juga dapat terus memanfaatkan sumberdaya tersebut (Ioannides 1995; Dowling 1992; Walker 1988). WTO mendefinisikan daya dukung wisata sebagai jumlah wisatawan yang menggunakan area yang bisa diakomodasi (Buckley 1999). Akan tetapi, ada basis konsep yang sangat banyak tentang daya dukung : sosial, ekonomi dan ekologi. Hampir semua definisi tersebut memasukkan dua aspek sentral : komponen tingkah laku yang merefleksikan kualitas pengalaman rekreasi, dan komponen biofisik (Saveriades 2000). Mathienson and Wall (1982) mendefinisikan, daya dukung adalah jumlah maksimum orang yang dapat menggunakan tempat tanpa merubah lingkungan fisik pada batas yang tidak bisa diterima dan penurunan kualitas pengalaman rekreasi. Hunter (1995) memberikan definisi yang lebih tepat dengan membedakan 4 tipe berbeda dari daya dukung : daya dukung fisik – batas
12
sebuah tempat melebihi yang digunakan dan dipadati akan mulai mengambil tempat atau masalah-masalah lingkungan mulai meningkat. Daya dukung psikologi (perceptual) – tingkat terendah kesenangan wisatawan yang disiapkan untuk menerima sebelum mereka mulai mencari daerah tujuan wisata alternatif. Daya dukung sosial – tingkat toleransi masyarakat lokal terhadap kehadiran dan tingkah laku wisatawan di daerah wisata, dan/atau tingkat/jumlah wisatawan yang disiapkan dan bisa diterima oleh wisatawan lainnya. Daya dukung ekonomi – kemampuan untuk menyerap aktivitas-aktivitas wisatawan tanpa memindahkan atau mengganggu aktivitas masyarakat lokal. Papageorgiou & Brotherton (1999) menggarisbawahi apa yang mereka pikirkan poin utama dari konsep daya dukung adalah : dalam konteks rekreasi, inti dari semua definisi daya dukung adalah ide untuk memelihara integritas basis sumberdaya dan penentuan pengalaman rekreasi yang berkualitas tinggi bagi wisatawan. Pada tingkat ini, kita akan mendapatkan dua elemen utama dari definisi tersebut : - dugaan batas frekuensi kuantitatif berhubungan dengan suatu luasan area yang tetap dan dengan tingkat kepuasan. – gagasan dalam memelihara sumberdaya alam dimana terdapat aktivitas pariwisata. Beberapa penulis setuju bahwa daya dukung utamanya adalah konsep ekologi, yang menyatakan hubungan antara populasi dan lingkungan alam (Abernethy 2001). Dalam hal ini, Buckley (1999) mendefinisikan daya dukung sebagai jumlah pengunjung yang menghasilkan perubahan ekologi yang tidak dapat dideteksi, atau sekurangkurangnya tidak dapat diubah terhadap ekosistem di dalam suatu daerah; atau tingkat maksimum pemanfaatan untuk rekreasi dalam hal jumlah dan aktivitas yang bisa diakomodasi oleh suatu area atau suatu ekosistem sebelum penurunan nilai ekologi yang tidak dapat diterima dan tidak dapat diubah tersebut terjadi (Papageorgiou & Brotherton 1999). Banyak penelitian pada kasus ketidakpuasan wisatawan terungkap bahwa ketidaksenangan tersebut merupakan cabang dari terlalu padatnya pengunjung di daerah wisata dan masalah-masalah lingkungan. Terlalu banyak wisatawan dan orang-orang, pengembangan komersil yang berlebihan, pembangunan daerah yang berlebihan, terlalu banyak gedung, dan terlalu banyak lalu lintas dan kemacetan adalah atribut-atribut negatif daerah tujuan wisata yang biasanya tidak diinginkan wisatawan (Alegre & Jaume 2010). Konsep daya dukung berdasarkan pernyataan umum bahwa beberapa bentuk pembangunan di dalam daya dukung ekosistem berarti sebuah pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut sesuai dengan definisi pembangunan berkelanjutan yaitu sebagai bentuk pembangunan yang menggunakan ekosistem-ekosistem alam sebagai sumberdaya dari produksi dan konsumsi dan menyisakan mereka tanpa perubahan untuk generasi mendatang, atau lebih sederhana, yaitu sebuah pembangunan di dalam daya dukung ekosistem (CAMP 1999). Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang Daya dukung ekosistem terumbu karang dapat diketahui dari perspektif ekologis, fisik dan daya dukung sosial. Daya dukung ekologis karang adalah batas jumlah pengunjung yang menggunakan dan kerusakan pada ekosistem terumbu karang yang terjadi secara insidental tanpa menyebabkan terdegradasinya
13
ekosistem terumbu karang tersebut. Maka dari itu, terumbu karang hanya dapat mentoleransi sejumlah tertentu perubahan dari kondisi ambiennya, dan faktor seperti polusi, pelumpuran dan dampak eksploitasi dengan cara yang kurang baik. Meskipun demikian, daya dukung ekosistem terumbu karang adalah sesuatu yang sulit untuk diketahui. Daya dukung fisik dari ekosistem terumbu karang berkaitan dengan ketersediaan kapal-kapal yang membawa penyelam ke daerah karang tersebut, juga jumlah penambat kapal dan juga luas dari ekosistem terumbu karang tersebut. Ukuran dan bentuk-bentuk karang dan komposisi komunitas karang juga menentukan daya dukung dari ekosistem terumbu karang. Daya dukung sosial karang adalah batas hubungan visual antara penyelam karena mereka merasa tidak puas (Salm 1986). Batasan - batasan tersebut didefinisikan sebagai daya dukung ekologi (Harriott et al.1997). Fishelson (1995) menerapkan pembatasan akses tersebut 2 penyelam per meter garis pantai per hari untuk terumbu tepi yang sangat kecil di dekat Eilat (Teluk Aqaba). Harriot et al. (1997) membedakan kerusakan terhadap karang berdasarkan pengalaman dari penyelam setelah memiliki catatan sampai 15 karang rusak untuk penyelaman selama 30 menit. Pengaruh langsung dari penyelam baru dengan kontrol gaya apung yang masih kurang baik sangat perlu menjadi perhatian. Dengan demikian, Cara terbaik untuk mengkonservasi lingkungan karang adalah dengan meminimalkan pengaruh-pengaruh antropogenik (Van Treek & Schumacher 1998). Adapun komponen-komponen yang perlu diketahui untuk menentukan daya dukung wisata ekosistem terumbu karang yaitu : ukuran dan bentuk karang, komposisi komunitas karang, kedalaman, arus dan visibility, Aksesibilitas, dan atraksiatraksi yang terdapat di dalamnya. Daya Dukung Wisata Berkaitan Dengan Ketersediaan Air Tawar Air adalah salah satu sumberdaya yang paling penting bagi manusia. Melalui pariwisata, permintaan air tersebut bergeser menjadi daerah yang langka air, dan orang-orang yang tinggal di hotel secara umum terlihat menggunakan lebih banyak air daripada di rumah : konsumsi air per wisatawan terlihat antara 100 – 2000 liter per tempat tidur per malam (Gossling 2001b). Sebagai hasil dari penggunaan berlebihan, frekuensi kekurangan air secara musiman dan kejadiankejadian berbahaya seperti blooming alga, yang berkaitan dengan polusi nutrient, telah tumbuh secara signifikan pada dua dekade terakhir (UNDP/UNEP/World Bank/WRI 2000). Konflik meningkat dari penggunaan air secara global diperkirakan semakin buruk di masa yang akan datang, baik sebagai hasil pertumbuhan populasi manusia maupun konsekuensi dari perubahan lingkungan global terhadap kualitas dan ketersediaan air (Vitousek et al. 1997). WWF (2001) melaporkan bahwa rata-rata wisatawan di Spanyol mengkonsumsi 440 liter air per hari, sebuah nilai yang meningkat menjadi 880 liter jika terdapat kolam renang dan lapangan golf. Di Zanzibar, rata-rata konsumsi air per wisatawan mencapai 685 liter per tempat tidur/malam (Gossling 2001b). Dibandingkan penggunaan air rata-rata, sebagai contoh, 135 liter per hari di Jerman (UBA 1998).
14
3 METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung (Gambar 2) pada Bulan November – Desember 2010.
Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian (Sumber : BAPPEDA Kabupaten Belitung. 2003, diolah). Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer maupun data sekunder. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai : data biofisik ekosistem terumbu karang, data parameter fisik pantai dan perairan, dan data untuk analisis daya dukung wisata. Secara singkat, data tersebut ditabulasikan dalam Tabel 1. Metode Pengumpulan Data Penentuan Potensi Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang yang terdapat di sekitar perairan pantai objek wisata ditentukan besar potensinya untuk dijadikan objek wisata menyelam dan snorkeling. Besarnya potensi tersebut berdasarkan pengamatan terhadap tutupan karang, keragaman jenis ikan karang dan keragaman lifeform karang dan beberapa parameter fisik perairan. Hasil pengamatan tersebut dijadikan dasar untuk
15
menentukan nilai kesesuaiannya untuk dijadikan objek wisata berdasarkan kriteria menurut Bakosurtanal (1996) dan Yulianda (2007). Tabel 1 Data, Alat, Bahan dan Metode Yang Digunakan Dalam Penelitian Kebutuhan Data Sumber 1. Analisis Kesesuaian Pengamatan Komunitas Biotik Penutupan Karang Primer Jumlah Lifeform Karang Primer Jumlah Spesies Ikan Karang Primer Pengukuran Parameter Fisik Perairan Kecerahan Perairan Primer Kecepatan & Arah Arus Primer Kedalaman Karang Primer 2. Analisis Daya Dukung Luas Pantai Luas Area Karang Jumlah & Debit Sumber AirTawar Konsumsi Air Tawar Wisatawan Jumlah & Kapasitas Kapal
Primer Primer Primer
Metode
LIT LIT Sensus visual English et al. 1994
GPS tracking GPS tracking Pengukuran
Sekunder Primer
Konsentrasi N & P Perairan Jumlah Kamar Penginapan Waktu Kunjungan Baku Mutu Kualitas Air
Literatur Wawancara/ObservasiLangsung Primer/Sekunder Lab: Spektrofotometer Primer Wawancara Sekunder Literatur Sekunder Literatur
3. Data Pendukung Pendapat Stakeholder
Primer
Wawancara
Pengamatan Komunitas Karang Data karang diamati per kedalaman sesuai dengan kondisi perairan di lapangan, bila terumbu karang terdapat sampai kedalaman lebih dari 10 meter, maka pengamatan dilakukan pada dua kedalaman, yaitu kedalaman 10 meter yang mewakili daerah dalam dan kedalaman 3 meter mewakili daerah yang dangkal. Namun, bila terumbu karang hanya terdapat sampai kedalaman ± 5 meter, maka pengamatan dilakukan pada satu kedalaman yang mewakili. Pengambilan data dengan menggunakan alat SCUBA dengan menggunakan metode Transek Garis Menyinggung (LIT), yaitu transek garis dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar garis pantai pada kedalaman tertentu, kemudian dicatat transisi transek, jenis dan genus karang yang bersinggungan dengan transek garis tersebut.
16
Persen penutupan karang dihitung berdasarkan panjangnya transek yang menyinggung koloni karang dibagi dengan total pajang transek garis. Pengamatan biota pengisi habitat dasar didasarkan pada bentuk pertumbuhan karang (Tabel 2) untuk mengetahui jenis dan jumlah bentuk pertumbuhan karang di daerah tersebut sesuai dengan parameter yang dibutuhkan pada matriks analisis kesesuaian untuk wisata bahari (snorkeling dan selam). Selain itu, pengamatan juga dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah genus karang yang terdapat di perairan tersebut. Pencatatan jenis dan jumlah genus ini untuk mengetahui jenis-jenis dan jumlah genus karang yang terdapat di perairan Tanjung Tinggi dan Tanjung Kelayang tersebut agar bisa memberikan informasi yang lebih banyak tentang daerah penelitian. Pengamatan Komunitas Ikan Karang Untuk mengetahui potensi ekosistem terumbu karang sebagai objek wisata selam dan snorkeling, dilakukan juga pengamatan terhadap komunitas ikan karang. Pengamatan ikan karang menggunakan metode sensus visual (visual census) pada transek garis yang sama untuk pengamatan biota karang, yaitu transek garis yang dibentangkan sepanjang 50 m sejajar garis pantai dan menggunakan peralatan SCUBA. Setelah transek garis dibentangkan, stasiun pengamatan dibiarkan beberapa saat agar ikan-ikan karang yang lari dan bersembunyi pada saat pemasangan transek keluar dari tempat persembunyiannya. Pencatat data ikan karang berenang di atas transek garis sepanjang 50 m sambil mencatat seluruh spesies ikan dan kelimpahannya yang ditemukan sejauh 2,5 m ke kiri dan kanan transek. Pengamatan terhadap kelimpahan dan jenis ikan karang dilakukan pada interval waktu antara jam 08:30 sampai 17:00 agar data ikan yang diambil merupakan ikan karang yang bersifat diurnal, karena jenis ikan yang teramati sangat dipengaruhi oleh waktu pelaksanaan pengamatan. Identifikasi ikan karang yang teramati berdasarkan Kuiter (1992) dan Allen (1999). Adapun cara pengamatan ikan karang dengan menggunakan metode sensus visual seperti yang diilustrasikan pada Gambar 3. Pengukuran Parameter Fisik Perairan Untuk mendapatkan tingkat kesesuaian ekosistem terumbu karang sebagai objek wisata selam dan snorkeling, tidak hanya dibutuhkan informasi mengenai parameter biotik saja, tetapi juga dibutuhkan data dan keterangan mengenai kondisi beberapa parameter perairan. Kegiatan ini meliputi pengumpulan data primer dengan cara mengamati dan melakukan pengukuran insitu pada parameterparameter lingkungan yang diperlukan dalam penelitian ini. Parameter lingkungan yang dimaksudkan yaitu : kecerahan perairan, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang.
17
Tabel 2 Kategori pengamatan data komunitas karang Kategori Karang Batu : Dead Coral Dead Coral with Algae Acropora
Non-Acropora
Fauna lain
Algae:
Abiotik:
Lifeform
Kode DC DCA
Branching
ACB
Encrusting
ACE
Submassive Digitate
ACS ACD
Tabular Branching Encrusting
ACT CB CE
Foliose
CF
Massive Submassive
CM CS
Mushroom Millepora Heliopora Tubipora Soft Coral Sponges Zoanthids Others
CMR CME CHL CTU SC SP ZO OT
Algae Assemblage Coraline Algae Halimeda Macroalgae Turf Algae
AA
Sand Rubble Silt Water Rock Sumber : English et al. (1994)
Keterangan Baru saja mati, warna putih sampai putih kotor Karang mati yang masih tampak bentuknya tapi sudah ditumbuhi alga Sedikitnya 2 cabang. Cth: Acropora palmata, A. formosa Biasanya berupa pelat dasar dari bentuk Acropora yang belum dewasa Kokoh berbentuk bonggol/baji Percabangan tidak sampai 20. Cth: A. humilis, A. digitifera, A. gemmifera Pelat datar seperti meja Percabangan ± 20 Sebagian besar menempel pada substrat sebagai pelat laminar Karang menempel pada satu atau lebih titik, bentuk menyerupai daun Berbentuk bola atau batu besar/tanggul Membentuk kolom kecil, baji atau bonggol Soliter Karang api Karang biru, soliter Karang lunak
Ascidians, anemon, gorgonia, raksasa, timun laut, bulu babi, dll Terdiri lebih dari satu spesies
kima
CA HA MA TA S R SI WA RCK
Warna merah, coklat, dll Algae filamen yang lembut, sering ditemukan dalam wilayah damselfish Pasir Pecahan karang tak beraturan Lumpur Celah lebih dari 50 cm Tapakan karang termasuk kapur, batuan
18
Gambar 3 Pengamatan ikan karang dengan metode pencacahan langsung (Sumber : English et al. 1994) Kecerahan Perairan Pengukuran kecerahan perairan dilakukan secara visual dan dilakukan pada siang hari ketika sinar matahari cerah. Pada saat melakukan pengukuran kecerahan, posisi si pengukur tidak menghalangi cahaya matahari ke daerah yang sedang di ukur. Metode yang digunakan sesuai dengan yang tercantum dalam English et al. (1994). Secchi disk diturunkan ke perairan sampai pada kedalaman tertentu saat secchi disk tersebut mulai hilang dari pandangan mata (D1), kemudian Secchi disk diturunkan sampai tidak terlihat, lalu ditarik lagi ke atas sampai mulai terlihat (D2). Kecepatan Arus Kecepatan arus yang diukur adalah kecepatan arus permukaan perairan saja. Pengukuran kecepatan arus dilakukan dengan menggunakan layang arus (floating dredge) bertali yang memiliki skala ukuran panjang sampai ketelitian sentimeter (cm). Layang arus dimasukkan ke perairan, kemudian dicatat waktu tempuh layang arus (t) sampai jarak tertentu (S) dengan menggunakan stop watch. Selain itu, arah arus juga dicatat dengan menggunakan petunjuk arah dari GPS. Kedalaman Terumbu Karang Kedalaman perairan dimana terdapat terumbu karang dapat diketahui dari alat pengukur kedalaman (depth gauge) yang terintegrasi dengan peralatan selam SCUBA. Selain itu, pengukuran kedalaman juga dapat dilakukan dengan menggunakan tali berskala yang diberi pemberat. Pemberat diturunkan sampai ke dasar perairan, kemudian kedalaman perairan diketahui dari skala pada tali yang
19
tampak tepat berada di permukaan perairan. Dengan demikian, pengukuran kedalaman dapat dilakukan dari atas kapal. Pengukuran Parameter Kimia Perairan Pengukuran parameter kimia air laut di daerah penelitian diperlukan untuk mengetahui kondisi perairan di objek wisata pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi. Parameter kimia perairan yang diukur adalah konsentrasi nitrat (NO 3 -N), total nitrogen (total N), total fosfat (PO 4 -P), dan ortofosfat yang terkandung di kedua perairan tersebut. Data parameter kimia tersebut nantinya dipergunakan sebagai dasar untuk pengelolaan dan pelaksanaan daya dukung wisata di kedua objek wisata tersebut. Untuk dapat mengetahui nilai kandungan parameter kimia di perairan objek wisata Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi, dilakukan pengambilan contoh air laut yang dimasukkan ke dalam wadah botol plastik dan kemudian langsung dibekukan di dalam lemari es. Contoh air tersebut segera dikirim ke Laboratorium Pengujian Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan (ProLing) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Konsentrasi nitrat diketahui dengan menganalisis air laut contoh tersebut dengan menggunakan sedangkan total nitrogen metode APHA, ed. 21, 2005, 4500-NO 3 -E, menggunakan metode APHA, ed. 21, 2005, 4500-N-C, total fosfat dan ortofosfat menggunakan metode APHA, ed. 21, 2005, 4500-P-E&J. Analisis Data Analisis Data Biofisik dan Parameter Fisik Perairan Persen Penutupan Karang Hidup dan Jumlah Lifeform Karang Persen penutupan karang hidup dapat dihitung dengan menggunakan persamaan menurut English et al. (1994). Jumlah bentuk pertumbuhan (lifeform) karang dari tiap kategori dicatat dan dihitung jumlahnya pada tiap stasiun pengamatan. : % 𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻 𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲 𝑯𝑯𝑯𝑯𝑯𝑯𝑯𝑯𝑯𝑯 =
𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻 𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷 𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻 𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲𝑲 𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷 𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻 𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻𝑻
Jumlah Spesies Ikan Karang
× 𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏𝟏% ............(1)
Pengamatan ikan karang dilakukan pada transek garis sepanjang 50 meter dan 2,5 meter ke kiri dan kanan transek. Hal tersebut berarti dilakukan pengamatan dalam dimensi persegi panjang dengan panjang 50 meter dan lebar 5 meter. Maka akan terdata jumlah spesies ikan karang dalam luasan 250 m2. Kecerahan Perairan Setelah didapatkan nilai D1 dan D2 dalam satuan meter, maka kecerahan perairan dapat dihitung dengan persamaan : 𝐷𝐷1 + 𝐷𝐷2 …………………………………………………(2) 𝐾𝐾 = 2
20
Keterangan : K D1 D2
: Kecerahan secchi : Kedalaman perairan saat keping secchi mulai tidak terlihat : Kedalaman perairan saat keping secchi mulai terlihat Kecepatan Arus
Kecepatan arus (V) perairan dapat diketahui dengan menggunaan persamaan umum berikut : 𝑆𝑆 𝑇𝑇
𝑉𝑉 = Keterangan : V S T
………………………………………………………..(3)
: Kecepatan arus (cm/detik) : Jarak yang ditempuh (cm) : Waktu tempuh (detik). Analisis Kesesuaian Wisata Snorkeling
Data yang telah dikumpukan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam matriks kesesuaian untuk mengetahui kelas kesesuaian ekosistem terumbu karang tersebut sebagai objek wisata bahari. Masing-masing parameter di dalam matriks kesesuaian ini memiliki skor dan bobot yang berbeda berdasarkan tingkat kepentingan terhadap pariwisata bahari. Penentuan kelas kesesuaian ekosistem terumbu karang tersebut menggunakan matriks kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari kategori wisata snorkeling (Tabel 3) dan selam (Tabel 4) berdasarkan modifikasi Bakosurtanal (1996) dan Yulianda (2007). Tabel 3 Matriks kesesuaian wisata bahari untuk kategori wisata snorkeling Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan komunitas terumbu karang (%) Jumlah Life form Jumlah (spesies) Ikan karang Kecepatan Arus (cm/detik) Kedalaman Terumbu Karang (m)
Bobot
S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
2
20<80
1
<20
0
5
100
3
80 <100
5
>75
3
50-75
2
25-50
1
<25
0
3
>12
3
<7-12
2
1
<4
0
3
>50
3
30-50
2
1
<10
0
1
015
3
>1530
2
4-7 10<30 >3050
1
>50
0
1
1-3
3
>3-6
2
>6-10
1
>10 <1
0
Sumber: Modifikasi dari Bakosurtanal (1996) dan Yulianda (2007)
21
Penghitungan nilai kesesuaian untuk wisata snorkeling dan menggunakan persamaan berikut (Yulianda 2007) :
Keterangan : IKW Ni Nmax
𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 = �[
.......................................................(4) 𝑁𝑁𝑁𝑁 ] × 100% 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁
: Indeks Kesesuaian Wisata : Nilai Parameter Ke-i (Bobot x Skor) : Maksimum dari suatu kategori wisata = 54 Analisis Kesesuaian Wisata Selam Tabel 4 Matriks kesesuaian wisata bahari untuk kategori wisata selam
Parameter Kecerahan Perairan (%) Tutupan komunitas terumbu karang (%) Jumlah Lifeform Jenis (spesies) Ikan karang Kecepatan Arus (cm/detik) Kedalaman Terumbu Karang (m)
Bobot
S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
1
<20
0
5
>80
3
50-80
2
2050
5
>75
3
>5075
2
25-50
1
<25
0
3
>12
3
2
1
<4
0
3
>100
3
1
<20
0
1
0-15
3
4-7 20<50 >3050
1
>50
0
1
6-15
3
1
>30 <3
0
<7-12 50100 >1530 >1520 3-<6
2 2 2
>2030
Sumber: Modifikasi dari Bakosurtanal (1996) dan Yulianda (2007) Penghitungan nilai kesesuaian wisata selam menggunakan persamaan berikut (Yulianda, 2007) :
𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼𝐼 = �[ Keterangan : IKW Ni Nmax
𝑁𝑁𝑁𝑁 ] × 100% 𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁𝑁
……..……………………….(5)
: Indeks Kesesuaian Wisata : Nilai Parameter Ke-i (Bobot x Skor) : Maksimum dari suatu kategori wisata = 54
Kelas kesesuaian : S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 83-100 % S2 = Cukup Sesuai, dengan nilai 50-<80 % S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai 17-<50 % N = Tidak sesuai, dengan nilai <17 %
22
Penjelasan kelas kesesuaian menurut Bakosurtanal (1996) adalah : Kelas S1: Sangat sesuai (Highly suitable) Daerah ini tidak mempunyai batas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukkan/tingkatan perlakuan yang diberikan. Kelas S2: Cukup sesuai (Moderately suitable) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas ini akan meningkatkan masukkan/tingkatan perlakuan yang diperlukan. Kelas S3: Sesuai Bersyarat (Marginally suitable) Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas akan lebih meningkatkan masukkan/tingkatan perlakuan yang diberikan. Kelas N: Tidak sesuai (Not suitable) Daerah ini mempunyai pembatas permanent, sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut. Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Penentuan daya dukung wisata dalam penelitian ini lebih menekankan kepada kondisi fisik-ekologis dari suatu objek wisata yang sering menjadi batasan utama dari pengembangan suatu objek wisata. Hal ini berarti informasi mengenai existing condition di daerah objek penelitian adalah sesuatu yang sangat penting untuk diketahui. Laporan Team Laboratrium Perencanaan Lingkungan Universitas Aegen, Yunani (2001) menyatakan, komponen fisik-ekologis yang digunakan yaitu komponen yang bersifat tetap tetap seperti kapasitas dari sistem-sistem alam biasanya dinyatakan sebagai kapasitas ekologis, kapasitas asimilasi dll. Komponen fisik-ekologis terdiri dari semua komponen-komponen yang tetap (fix) dan yang fleksibel dari alam dan lingkungan buatan-budaya, seperti infrastruktur. Komponen tetap seperti kapasitas dari sistem-sistem alam yang terkadang dinyatakan sebagai kapasitas ekologis, kapasitas asimilasi dll. Komponen tetap ini tidak bisa dimanipulasi dengan mudah oleh manusia dan untuk meningkatkan batas-batas ini dapat diestimasi dan harus diobservasi secara hati-hati. Informasi tentang existing condition tersebut diketahui dengan studi literatur dan pengamatan langsung di lapangan. Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Pantai Kebutuhan ruang bagi setiap wisatawan sangatlah beragam, hal tersebut berkaitan dengan penentuan fasilitas yang harus disediakan. Karena standar untuk aktivitas wisatawan di Indonesia dan di Asia, maka untuk mengetahui ruang yang dibutuhkan oleh wisatawan menggunakan standar Amerika dan Eropa (Wong, 1991). Daya dukung fisik dan ekologis terdiri dari akomodasi, fasilitas komunikasi, pelayanan dan fasilitas rekreasi. Adapun urutan dari analisisanalisisnya adalah : (a). Analisis panjang pantai berpasir, area ketersediaan lahan untuk akomodasi, dan ketersediaan air tawar, (b) Perbandingan antara ukuran area dengan standar yang dibutuhkan. Analisis menggunakan lima parameter berikut : (1) Panjang pantai bepasir, (2) area ketersediaan lahan untuk akomodasi, (3)
23
ketersediaan air tawar, (4) Ukuran area/lahan untuk pembuangan sampah, (5) Kemampuan perairan laut sebagai tempat aktivitas wisata pantai. Penghitungan jumlah pengunjung optimum yang secara fisik dapat dipenuhi oleh ruangan yang tersedia secara periodik menggunakan formula yang dikenalkan oleh Cifuentes (1992) berikut :
Keterangan : PCC A 𝑼𝑼 𝒂𝒂 Rf
𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷𝑷 = 𝑨𝑨 ×
𝑼𝑼 × 𝑹𝑹𝑹𝑹 ..................................................................(6) 𝒂𝒂
: Jumlah pengunjung optimum : Area yang tersedia untuk umum : Area yang dibutuhkan oleh per wisatawan (1 pengunjung per m2) : Faktor rotasi (jumlah kunjungan per hari)
Daya dukung wisata pantai dihitung hanya pada hamparan pasir putih sepanjang pantai yang biasa menjadi area utama akitivitas wisatawan, bukan seluruh ruang terbuka yang terdapat di dalam kawasan wisata. Untuk menghitung daya dukung area untuk menampung sejumlah wisatawan, terdapat beberapa asumsi potensi maksimum wisatawan per unit area per kategori wisata dan waktu yang digunakan untuk tiap kegiatan wisata tersebut (Modifikasi dari de Vantier & Turak 2004 dan Hutabarat et al. 2009). Adapun potensi maksimum wisatawan per unit area per kategori wisata adalah sebagai berikut: Jenis Kegiatan Rekreasi Pantai
(org) 1
Unit Area (Lt) 20 m2
Keterangan 1 org setiap 10m x 2m
Adapun waktu yang tersedia untuk wisata pantai adalah 6 jam dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan wisata pantai adalah selama 3 jam. Dengan demikian, faktor rotasi (Rf) adalah 6/3 = 2. Analisis Daya Dukung Ekologi Wisata Selam dan Snorkeling Konsep daya dukung wisata di ekosistem terumbu karang, belum mampu menghasilkan sebuah nilai numerik yang menentukan jumlah wisatawan dan penyelam, tetapi dinilai melalui kriteria yang dapat mempengaruhi kapasitas dan menyebabkan penurunan dalam kapasitas tersebut. Konsep tradisional dari daya dukung adalah bukan tanpa pembatasan-pembatasan daya dukung itu sendiri, dan dimodifikasi untuk melihat tindakan-tindakan yang mungkin diambil untuk meminimalkan atau membatasi dampak antropogenik yang bersifat merugikan terhadap lingkungan terumbu karang. Penghitungan jumlah pengunjung optimum yang secara fisik dapat dipenuhi oleh ruangan yang tersedia secara periodik untuk wisata selam juga menggunakan formula yang dikenalkan oleh Cifuentes (1992) (Persamaan 6). Daya dukung wisata selam dan snorkeling ini dimaksudkan hanya dilakukan untuk menikmati ekosistem terumbu karang, atau dapat dikatakan selam dan
24
snorkeling tersebut dilakukan di perairan yang terdapat ekosistem terumbu karang saja. Untuk menghitung daya dukung area untuk menampung sejumlah wisatawan, terdapat beberapa asumsi dasar, yaitu : Potensi maksimum wisatawan per unit area per kategori wisata : Jenis Kegiatan Selam Snorkeling
(org) Unit Area (Lt) 2 1000 m2 1 300 m2
Keterangan Setiap 2 org dalam 100 m x 10 m Setiap 1 org dalam 100 m x 3 m
Waktu yang digunakan untuk setiap kegiatan wisata : Kegiatan Selam Snorkeling
Waktu berwisata 2 3
Waktu yang tersedia 8 6
Rf 4 2
Selain dengan menghitung jumlah pengunjung optimum dengan formula di atas, kriteria yang juga relevan dalam penentuan daya dukung di ekosistem terumbu karang adalah kerentanan ekosistem terumbu karang tersebut. Sitepu (2008) menyatakan bahwa ekosistem terumbu karang yang memiliki persentase karang genus Acropora > 40% merupakan lokasi yang rentan, persentase karang antara 20% - 40% merupakan lokasi yang cukup rentan, sedangkan persentase sebesar < 20% dianggap kurang rentan. Jadi bisa diasumsikan, dalam luasan daerah yang sama, ekosistem terumbu karang dengan persentase tutupan karang Acropora > 40% memiliki daya dukung rendah, persentase karang 20% - 40% memiliki daya dukung sedang dan persentase penutupan karang Acropora < 20% memiliki daya dukung baik. Faktor keahlian dari penyelam juga mempengaruhi kriteria tersebut, karena penyelam dengan jam selam yang sudah tinggi dan memiliki kemampuan menyelam yang baik, peluang untuk merusak karang akibat faktor ketidaksengajaan seperti terkena kayuhan fin (kaki katak) semakin kecil, dan begitu pula sebaliknya. Berdasarkan kriteria di atas, kami merasa kriteria tersebut kurang tepat dalam menggambarkan daya dukung di ekosistem terumbu karang hanya menggunakan persen penutupan genus Acropora saja. Berdasarkan pengalaman di lapangan, tidak hanya genus Acropora saja yang rentan patah/rusak akibat terkena kayuhan fin penyelam, tetapi juga terdapat jenis yang lebih rentan semisal genus Seriatopora. Maka dari itu, dalam penelitian ini kriteria tersebut dimodifikasi dengan menggunakan bentuk pertumbuhan (lifeform) karang. Adapun jenis lifeform yang dianggap sangat rentan terhadap kerusakan akibat terkena kayuhan fin yaitu ACB (Acropora Branching), ACT (Acropora Tabulate), CB (Coral Branching), dan CF (Coral Foliose). Jumlah persen penutupan karang hidup dari ketiga lifeform tersebut akan dikriteriakan dengan persen penutupan seperti kriteria di atas, yaitu : persentase tutupan lifeform karang ACB+ACT+CB+CF: > 40% memiliki daya dukung rendah, persentase tutupan karang ACB+ACT+CB+CF: 20% - 40% memiliki daya dukung sedang dan persentase tutupan karang ACB+ACT+CB+CF: < 20% memiliki daya dukung baik. Dengan
25
demikian kesemua kriteria penentuan daya dukung ekologis wisata selam di ekosistem terumbu karang tersebut akan dibandingkan, sehingga akan memberikan lebih banyak pilihan dalam pengelolaan objek wisata selam dan snorkeling. Analisis Daya Dukung Ekolgi Wisata Berdasarkan Ketersediaan Air Tawar Jumlah wisatawan yang dapat didukung oleh suatu kawasan wisata juga sangat ditentukan volume air tawar yang tersedia. Air tawar merupakan hal yang penting dan sangat dibutuhkan dalam suatu kawasan wisata, maka dari itu, penting untuk diketahui ketersediaan air tawar di lokasi penelitian. Ketersediaan air tawar di lokasi penelitian dapat diketahui berdasarkan informasi mengenai sumber-sumber air tawar yang tersedia. Menurut informasi yang diterima, pemenuhan kebutuhan air tawar bagi wisatawan di Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi berasal dari sumur. Hal tersebut berarti ketersediaan air tawar tersebut dapat diartikan sebagai banyaknya sumur dan volume air yang dapat dimanfaatkan. Informasi mengenai ketersediaan air tawar tersebut dapat diketahui dengan mewawancarai pihak pengelola pantai atau pihak-pihak lain yang ikut memanfaatkan sumber air tawar tersebut seperti pedagang dan masyarakat sekitar. Untuk memastikan keberadaan dan kondisi sumberdaya air tawar tersebut, maka berdasarkan informasi yang didapat dari wawancara, kemudian dilakukan pemeriksaan langsung di lapangan. Hasil pemeriksaan tersebut diharapkan akan memberikan informasi mengenai jumlah sumber air tawar yang tersedia dan fluktuasi ketersediaannya sepanjang tahun. WTO (1981) menyatakan bahwa konsumsi air bersih di penginapan yang terletak di daerah pesisir adalah 200-300 liter per hari. Dengan demikian, bila diasumsikan wisatawan tidak menginap di objek wisata, maka konsumsi air bersih akan menjadi setengah dari nilai tersebut, yaitu 100-150 liter per hari. Berdasarkan informasi di atas, maka untuk perhitungan daya dukung wisata berdasarkan ketersediaan air tawar dapat dilakukan dengan mengetahui debit sumber air tawar yang tersedia di dalam area objek wisata tersebut. Bila wisatawan menginap di objek wisata maka daya dukung wisata berdasar ketersediaan air tawar dapat dihitung menggunakan formulasi sbb : 𝑄𝑄 × 𝑊𝑊𝑊𝑊 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶
𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 (maks) =
Keterangan :
DDAM (maks) DDAM (min) Q Wt Cmaks Cmin
: : : : : :
𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 (min) =
𝑄𝑄 × 𝑊𝑊𝑊𝑊 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶
…..…..(7)
Daya dukung air maksimum bila wisatawan menginap. Daya dukung air minimum bila wisatawan menginap Debit sumber air (sumur) Waktu sehari semalam (24 jam) Konsumsi maksimum air oleh wisatawan (300 l/hari) Konsumsi minimum air oleh wisatawan (200 l/hari)
Namun, bila wisatawan diasumsikan tidak menginap di dalam area objek wisata, maka daya dukung wisata berdasarkan ketersediaan air tawar adalah :
26
𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 (maks) =
Keterangan : DDATM (maks) DDAM (min) Q Wt Cmaks Cmin
: : : : : :
𝑄𝑄 × 𝑊𝑊𝑊𝑊 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶
𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎𝑎
𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷𝐷 (min) =
𝑄𝑄 × 𝑊𝑊𝑊𝑊…...(8) 𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶
Daya dukung air maksimum bila wisatawan tidak menginap Daya dukung air minimum bila wisatawan tidak menginap Debit sumber air (sumur) Waktu sehari semalam (12 jam) Konsumsi maksimum air oleh wisatawan (150 l/hari) Konsumsi minimum air oleh wisatawan (100 l/hari)
Analisis Daya Dukung Ekolgi Wisata Berdasarkan Ketersediaan Akomodasi Wisata Akomodasi dan fasilitas merupakan salah satu instrumen penting dalam penyelenggaraan aktivitas wisata di suatu kawasan wisata. Ketersediaan akomodasi wisata juga dapat menjadi faktor pembatas kehadiran wisatawan di dalam suatu kawasan wisata. Bila ketersediaan atau daya dukung dari akomodasi dan fasilitas wisata tersebut melebihi daya dukung ekosistem dalam menampung jumlah wisatawan, maka akan menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem yang menjadi daya tarik wisatawan. Bila kondisi tersebut terjadi maka akan mengurangi tingkat kepuasan wisatawan yang berwisata. Akomodasi dan fasilitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketersediaan tempat penginapan (hotel, dll), rumah makan dan kapal-kapal yang akan mengangkut wisatawan. Daya dukung penginapan dapat diketahui dari jumlah kamar yang tersedia. Daya dukung kapal, dapat diketahui dari berapa banyak kapal yang tersedia dan kapasitas muatan penumpang kapal tersebut di dalam kawasan wisata untuk mengangkut wisatawan. Adapun daya dukung fasilitas tempat makan dapat diketahui dari berapa banyak rumah makan yang tersedia dan kapasitas tampungnya. Dengan demikian dapat diketahui apakah daya dukung akomodasi dan fasilitas wisata tersebut telah melebihi atau masih di bawah daya dukung ekosistem. Strategi Pengelolaan Dari hasil analisis daya dukung ekologi kawasan wisata tersebut, kemudian didapatkan tabulasi daya dukung untuk setiap parameter. Dengan demikian dapat diketahui tingkat daya dukung kawasan dan kemudian dirumuskan secara deskriptif strategi dan bentuk pengelolaan yang sebaiknya dilakukan agar pengelolaan pariwisata di daerah tersebut tidak melewati daya dukung ekologi kawasannya. Selain itu, perbandingan antara daya dukung alam dengan daya dukung fasilitas yangt tersedia dapat menjadi dasar untuk mengetahui upaya apa yang seharusnya dilakukan agar pariwisata di tempat tersebut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Informasi yang didapat dari wawancara kepada stakeholder secara purposive digunakan untuk menambahkan informasi agar strategi pengelolaan yang dirumuskan tersebut semakin baik.
27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Daerah Penelitian Objek wisata pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi Terletak di Desa Keciput, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Akses masuk langsung menuju pulau Belitung dari luar daerah biasanya melalui Jakarta dengan menggunakan moda transportasi udara dan laut. Moda transportasi udara dari Jakarta menuju Belitung ditempuh ± selama 50 menit dan terdapat enam kali penerbangan setiap harinya. Selain itu juga terdapat penerbangan langsung dengan rute Pangkal Pinang - Belitung (PP) setiap hari dengan lama penerbangan ± 1 jam. Bila menggunakan jalur laut menggunakan kapal ferry dari pelabuhan Tanjung Priok, maka dapat ditempuh selama ± semalam perjalanan, namun demikian, jadwal pelayarannya tidak pasti. Kapal ferry tersebut transit di pelabuhan Tanjung Ru yang dapat ditempuh selama ± 30 menit perjalanan dari kota Tanjungpandan. Kapal ferry tersebut setelah transit untuk menurunkan dan menaikkan penumpang kemudian akan melanjutkan perjalanan ke Pontianak. Akses masuk ke pulau Belitung melalui jalur laut juga dapat dilakukan dari Pontianak dengan kapal yang sama. Jalur alternatif lain menuju ke pulau Belitung dapat menggunakan kapal “Roro” yang berlayar dengan rute pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta ke pelabuhan Tanjung pandan serta Kabupaten Belitung Timur - pelabuhan Ketapang (Kalimantan Barat) dengan jumlah pelayaran keduanya sekali semingu. Selain itu, akses langsung menuju pulau Belitung juga dapat melalui pulau Bangka dengan menggunakan jalur laut. Perjalanan melalui jalur laut dari pulau Bangka ke Belitung (PP) menggunakan kapal cepat dengan waktu tempuh ± 4 jam setiap harinya, kecuali hari selasa tidak ada pelayaran. Kapal cepat dengan rute Bangka-Belitung atau sebaliknya tersebut akan berlabuh di pelabuhan yang terletak di kota Tanjungpandan. Perjalanan dari Tanjungpandan ke pantai Tanjung Kelayang dapat ditempuh selama ± 30 menit dan ke pantai Tanjung Tinggi ± 40 menit. Bila perjalanan dimulai dari bandara (Air Port) H.A.S. Hanandjoedin ke pantai Tanjung Kelayang bisa ditempuh selama ± 40 menit dan ke pantai Tanjung Tinggi dapat di tempuh selama ± 30 menit. Perjalanan menuju ke kedua objek wisata tersebut biasanya akan berjalan lancar dan waktu yang ditempuh dapat diprediksi, hal tersebut selain dikarenakan akses jalan yang baik, juga dikarenakan tidak adanya kemacetan lalu lintas di daerah ini. Sebelum dilakukan pengembangan wilayah, pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi termasuk di dalam wilayah Desa Keciput. Desa ini merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung. Awalnya Desa Keciput terdiri dari dua dusun, yaitu Dusun Keciput dan Dusun Tanjung Tinggi. Namun pada Tahun 2011, dengan adanya program pengembangan wilayah oleh pemerintah daerah, Dusun Tanjung Tinggi kemudian berubah menjadi desa tersendiri, yaitu Desa Tanjung Tinggi. Dengan demikian, objek wisata pantai Tanjung Kelayang masih menjadi bagian Desa Keciput, sedangkan pantai Tanjung Tinggi kemudian menjadi bagian dari Desa Tanjung Tinggi. Karena merupakan desa yang baru terbentuk, sehingga kelengkapan data tentang informasi Desa Tanjung Tinggi belum banyak tersedia. Akibatnya data
28
yang dipergunakan untuk mengetahui profil wilayah kedua objek wisata pantai tersebut masih menggunakan data yang tersedia di Desa Keciput saja yang masih mencakup baik wilayah keciput dan juga wilayah Tanjung Tinggi. Kondisi Umum Desa Keciput Desa Keciput memiliki luas wilayah sebesar 3.725 Km2, jarak dari ibukota kecamatan adalah 12 Km dan jarak dari ibukota kapupaten adalah 40 Km. Sebelum dipisahkan dengan Desa Tanjung Tinggi, Desa Keciput memiliki batasbatas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Tanjung Binga, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Air Selumar dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Sijuk. Sejarah nama Desa Keciput berasal dari nama teluk yang terletak di antara daerah pelabuhan Bilik dan sekarang dikenal dengan nama Pantai Bilik yang diberi nama oleh Nek Niduk yang berasal dari suku Sawang. Tahun 2011, desa ini masih terkategori sebagai desa tertinggal karena dianggap kualitas sumberdaya manusianya (SDM) masih rendah karena tingkat pendidikan masyarakatnya masih rendah. Pada Tahun 2011, penduduk Desa Keciput berjumlah 2.986 jiwa, yang terdiri dari 1554 orang laki-laki dan 1432 orang perempuan. Dari jumlah penduduk tersebut, terdapat 1001 kepala keluarga (KK) dan 1773 orang termasuk dalam usia produktif. Adapun mata pencaharian penduduk di desa ini cukup beragam, seperti yang disajikan dalam Tabel 5 berikut : Tabel 5 Jenis pekerjaan dan jumlah pekerja di Desa Keciput Tahun 2011 Jenis Pekerjaan
Jumlah (orang) PNS 23 Berdagang 160 Berkebun 248 Buruh 200 Nelayan 400 Pekerja Serabutan 200 Sumber : Profil Desa Keciput Tahun 2011 Sebagai desa yang memiliki objek wisata pantai yang indah dan ramai dikunjungi oleh wisatawan, perkembangan pariwisata di sana seharusnya memberikan dampak positif dan kemajuan bagi kesejahteraan masyarakatnya. Namun sebaliknya, kenyamanan dan pengalaman indah wisatawan dalam perjalanan wisatanya akan sangat ditunjang oleh sarana dan prasarana yang tersedia baik di dalam maupun di sekitar objek wisata. Perjalanan wisatawan menuju ke objek wisata akan melewati desa ini dan kemungkinan mereka membutuhkan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kenyamanan selama di perjalanan. Oleh sebab itu, ketersediaan sarana dan prasarana wisata yang terdapat di desa juga akan sangat mendukung perkembangan pariwisata. Berdasarkan pengamatan, saat ini, jalan akses menuju lokasi objek wisata pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi kondisinya sangat baik, berupa jalan aspal dan nyaman untuk dilalui kendaraan darat maupun dengan berjalan kaki. Akses jalan penghubung desa dengan kecamatan adalah jalan aspal dengan kondisi yang sangat baik, sedangkan jalan penghubung antar kampung atau dusun utamanya
29
adalah jalan aspal dan jalan alternatif berupa jalan tanah yang sudah mengeras. Masyarakat di Desa Keciput dan di Pulau Belitung umumnya memiliki kendaraan pribadi untuk bermobilisasi dan sebagian kecil yang menggunakan kendaraan umum. Mayoritas masyarakat di Desa Keciput menggunakan kendaraan roda dua (sepeda motor) sebagai alat transportasi utama. Selain itu, saat ini terdapat 5 unit kendaraan pribadi yang dijadikan angkutan umum pedesaan sebagai pendukung mobilitas masyarakat dari dan menuju ke Desa Keciput. Selama melakukan kegiatan atau perjalanan wisata, wisatawan juga biasanya membutuhkan sarana peribadatan untuk menjalankan ibadah atau ritual keagamaannya. Selain itu keberadaan toko dan warung dapat menunjang kenyamanan wisatawan saat berwisata untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan perlengkapan lainnya. Sarana peribadatan yang terdapat di Desa Keciput adalah hanya tempat peribadatan umat muslim saja berupa 3 buah mesjid dan 1 buah mushola. Hal tersebut disebabkan karena mayoritas penduduk di Desa Keciput adalah umat muslim. Tempat peribadatan untuk agama lain selain agama islam dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat ± 30 menit yang banyak terdapat di ibukota kabupaten, Tanjungpandan. Sementara itu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan perlengkapan lainnya selama berwisata, terdapat 51 warung dan 53 toko di lingkungan Desa Keciput. Keberadaan warung makan yang utamanya menyediakan masakan seafood banyak terdapat di sekitar objek wisata Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi, sedangkan toko-toko banyak terdapat di sepanjang jalan utama desa, sehingga toko-toko tersebut mudah ditemukan bila wisatawan ingin membeli sesuatu selama perjalanan wisatanya. Selain objek wisata yang menarik, budaya masyarakat setempat juga dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan. Bahkan tidak jarang, kebudayaan menjadi daya tarik utama atau alasan utama wisatawan datang berwisata ke suatu daerah. Oleh karena itu, pariwisata di daerah ini sepertinya akan lebih baik dan lebih berkembang bila keindahan alam di objek wisata dan kebudayaan masyarakat setempat lebih dipadukan dan dikolaborasaikan untuk menarik lebih banyak perhatian wisatawan agar datang berwisata. Adapun kegiatan-kegiatan budaya lokal yang terdapat di Desa Keciput ini yaitu acara Selamatan Kampong, Buang Jong, Syukuran Kelahiran (Betangga’ Tebu/Begumbang) dan acara Adat Perkawinan. Upaya untuk mengembangkan pariwisata di Desa Keciput dengan cara menggabungkan antara keindahan alam dengan budaya memang sudah dilakukan, tetapi sepertinya masih belum optimal. Adapun kegiatan budaya masyarakat setempat yang rutin diselenggarakan di objek wisata Tanjung Kelayang yaitu upacara selamatan laut yang dikenal dengan upacara “Buang Jong”. Pada saat dilaksanakannya upacara ini, masyarakat setempat dan juga banyak wisatawan yang datang menyaksikan proses jalannya ritual adat tersebut, sehingga objek wisata pantai Tanjung Kelayang menjadi ramai didatangi pengunjung. Namun sayangnya pelaksanaan upacara Buang Jong tersebut hanya dilakukan sekali dalam setahun, sehingga moment penyatuan antara keindahan alam pantai Tanjung Kelayang dengan kegiatan budaya masih jarang dilakukan. Sampai saat ini, Terdapat 2 kelompok kesenian untuk menunjang kegiatan budaya dan pariwisata di Desa Keciput, yaitu Kelompok Marawis dan Hadra (rebana) yang biasanya digunakan pada saat ada acara selamatan pernikahan dan penyambutan tamu.
30
Faktor lain yang mungkin menyebabkan wisatawan mau datang berwisata ke suatu daerah adalah faktor keamanan dan keselamatan wisatawan ketika berada di suatu objek wisata. Ancaman terhadap kemanan dan keselamatan jiwa wisatawan bisa terjadi karena faktor manusia dan faktor alam. Ancaman terhadap keamanan dan keselamatan dari tindak kejahatan atau faktor manusia mungkin dapat dikurangi dengan meningkatkan kewaspadaan wisatawan dan peningkatan pengamanan baik oleh pihak pengelola objek wisata maupun oleh masyarakat setempat. Namun sepertinya di objek wisata pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi, keamanan wisatawan selalu dapat terjaga. Hal tersebut selama ini terbukti dengan tidak pernah terjadinya kasus tindak kriminal yang dapat membahayakan jiwa dan keselamatan wisatawan di kedua objek wisata tersebut. Selain karena faktor manusia, keamanan dan keselamatan wisatawan ketika berada di dalam suatu objek wisata juga bisa terancam oleh faktor bencana alam. Faktor bencana alam merupakan faktor yang tidak bisa ditentukan oleh manusia, namun bisa diantisipasi untuk mengurangi dampaknya. Berdasarkan informasi yang didapat, bahwa di desa Keciput selama ini tidak pernah terjadi bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, gunung meletus, angin puting beliung dan sebagainya. Kondisi tersebut tentunya dapat menjadi nilai lebih objek wisata yang terdapat di daerah ini bagi keamanan dan keselamatan wisatawan dan calon wisatawan. Kondisi Umum Pengelolaan Pantai Tanjung Kelayang Secara lebih spesifik, objek wisata pantai Tanjung Kelayang terletak di Desa Keciput, Kecamatan Sijuk (Gambar 4). Pada pelaksanaan Sail Wakatobi Belitong (Sail Wabe) 2011, pantai Tanjung Kelayang merupakan tempat pelaksanaan acara puncak kegiatan tersebut. Dengan adanya kegiatan Sail WaBe tersebut, maka keindahan pantai Tanjung Kelayang tidak hanya populer bagi wisatawan domestik tapi juga ramai didatangi wisatawan dari manca negara. Secara pengelolaan, pantai Tanjung Kelayang dibagi menjadi 2 wilayah, yaitu wilayah yang dikelola oleh pemerintah daerah dan wilayah yang dikelola oleh pihak swasta atau perorangan. Wilayah yang dikelola pihak swasta ditandai dengan adanya pagar kayu dan sebuah pos jaga yang terdapat sebuah pintu masuk bagi wisatawan. Pintu masuk tersebut selalu di jaga pada siang hari dan wisatawan harus membayar tiket masuk untuk dapat memasuki kawasan wisata ini. Sedangkan kawasan yang dikelola oleh pemerintah daerah adalah daerah pantai selain kawasan yang dikelola oleh pihak swasta tersebut sampai dengan sebelum perkampungan penduduk. Sekilas terlihat bahwa lahan yang menjadi wewenang pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan terhadap lokasi tersebut adalah sisa-sisa dari lahan yang dikelola oleh pihak swasta. Hal tersebut dikarenakan secara alami, keindahan pantai yang dikelola oleh pihak swasta memiliki pemandangan ke arah laut yang lebih indah dibandingkan dengan yang dikelola oleh pemerintah daerah. Peran pemerintah daerah dalam pengelolaan potensi wisata pantai yang dimilikinya bisa dikatakan baru terlihat semenjak adanya kegiatan Sail WaBe tersebut.
31
Gambar 4. Peta kondisi pantai Tanjung Kelayang dan lokasi penelitian (Sumber : BAPPEDA Kabupaten Belitung 2003, diolah) Hal ini sepertinya memang terjadi bukan tanpa alasan yang jelas, berdasarkan informasi yang didapat, bahwa pemerintah daerah sudah berniat serius ingin memajukan pariwisata di daerah ini, hanya saja kendala utama yang dihadapi yaitu, lahan yang potensial untuk dikembangkan telah diprivatisasi dari sejak lama, sehingga pemerintah daerah sepertinya sulit untuk bisa melakukan hal yang kongkret dalam pengelolaan potensi wisata yang terdapat di daerahnya sendiri. Kondisi Umum Pengelolaan Pantai Tanjung Tinggi Pantai yang terletak di Desa Tanjung Tinggi, Kecamatan Sijuk ini memiliki keindahan alam yang tak kalah indah dibandingkan pantai Tanjung Kelayang (Gambar 5). Susunan batu-batu granit besar tersebut menbentuk seperti teluk yang melindungi pantai dari gempuran ombak dari tengah laut yang menuju pantai. Akibatnya perairan pantai Tanjung Tinggi lebih tenang sepanjang tahun dibandingkan dengan perairan pantai Tanjung Kelayang. Namun, walaupun meiliki keindahan alam dan besarnya potensi wisata yang terdapat di daerah ini, sepertinya objek wisata pantai Tanjung Tinggi memiliki nasib yang hampir sama dengan yang terjadi pada pantai Tanjung Kelayang. Hal tersebut dikarenakan lahan yang terdapat di kawasan pantai tersebut sudah menjadi milik pribadi atau perorangan. Akibatnya, pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak dalam mengembangkan potensi wisata yang dimilikinya. Kondisi tersebut tentu saja akan menghambat upaya pengembangan pariwisata yang sedang dilakukan.
32
Gambar 5. Peta kondisi pantai Tanjung Tinggi dan lokasi penelitian Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu atraksi dan daya tarik utama pariwisata di daerah pesisir. Umumnya, ekosistem terumbu karang yang berkondisi baik lebih disukai oleh wisatawan daripada terumbu karang yang tutupan karang hidupnya terkategori sedang dan jelek. Menurut Gomez dan Yap (1988), ekosistem terumbu karang dapat dikatakan memiliki kondisi baik bila persen penutupan karang hidup lebih dari 75%. Kondisi Komunitas Karang Pengamatan terhadap komunitas karang dilakukan di dua lokasi pengamatan yaitu pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Komunitas karang di Tanjung Kelayang diamati di empat stasiun pengamatan, sedangkan di Tanjung Tinggi dilakukan pengamatan di dua stasiun pengamatan. Hasil pengamatan yang telah dilakukan seperti yang ditampilkan pada Tabel 6. Hasil pengamatan yang telah dilakukan di enam stasiun tersebut menunjukkan persen penutupan karang hidup tertinggi terdapat di stasiun 4 yang terletak di perairan pantai Tanjung Kelayang yaitu di daerah Batu Gerude dengan penutupan karang hidup sebesar 87,78% dan tergolong sebagai ekosistem terumbu karang yang terkategori memuaskan (penutupan karang hidup > 75%). Sementara itu, persen penutupan karang hidup terendah terdapat di stasiun 2 dan 3 yang juga terletak di perairan pantai Tanjung kelayang dengan persen penutupan yang sama yaitu sebesar 73,6 %. Namun demikian, berdasarkan kriteria kondisi ekosistem terumbu karang menurut Gomez dan Yap (1988), kondisi ekosistem terumbu karang yang terdapat di stasiun 2 dan 3 tersebut masih termasuk dalam kondisi sedang.
33
Tabel 6 Hasil pengamatan komunitas karang di perairan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi Jenis (%) HC (Hard Coral) SC (Soft Coral) DC (Death Coral) DCA (Death Coral with Algae) OT (Others) SP (Sponge) MA (Macro Algae) AA (Assemblage Algae) CA (Coraline Algae) TA (Turf Algae) ZO (Zooanthids) Lamun S (Sand) R (Rubble) Sumber : data primer
Tanjung Tanjung Kelayang Tinggi St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 79,52 73,60 73,60 87,78 78,10 75,50 0,00 0,00 0,00 1,14 0,00 4,72 1,64 0,24 0,24 3,96 7,40 1,54 4,90 7,82 1,92 1,52 6,80 2,68 0,22 0,54 1,56 1,20 4,48 5,98 3,06 0,70 2,52 0,62 0,72 0,30 1,90 3,90 5,22 0,94 0,76 4,84 0,00 3,96 4,86 0,34 0,16 0,96 0,00 0,00 0,00 0,52 0,72 3,12 0,00 0,18 0,00 0,00 0,00 0,14 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,22 0,00 3,82 8,94 0,00 0,00 0,00 8,76 3,68 1,14 1,98 0,12 0,00 0,00 1,56 0,00 0,00 0,74 0,00
Berkurangnya tutupan karang hidup adalah disebabkan oleh kematian terumbu karang. Kematian terumbu karang dapat disebabkan oleh faktor alam, namun utamanya kematian dan kerusakan ekosistem terumbu karang disebabkan oleh faktor antropogenik atau aktivitas manusia. Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa persen penutupan karang yang telah mati (DC) terendah terdapat di stasiun 2 dan 3 yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang dengan persentase penutupan yang sama yaitu sebesar 0.24%, sedangkan tutupan karang mati tertinggi ditemukan di stasiun 5 yang terletak di perairan pantai Tanjung Tinggi dengan persentase tutupan sebesar 7.4%. Karang yang telah mati tersebut, baik berupa bongkahan besar maupun berupa patahan karang akan menjadi substrat bagi kehidupan yang baru baik oleh polip karang baru maupun organisme lain. Namun biasanya bongkahan atau potongan karang yang telah mati tersebut akan menjadi substrat bagi tumbuhnya alga, sehingga juga dikenal adanya karang mati yang ditumbuhi alga (Death Coral with Algae/ DCA). Dalam suatu ekosistem terumbu karang, karang mati hanya akan berperan sebagai substrat bagi hidupnya organisme baru, namun karang mati yang ditumbuhi oleh alga akan ikut berperan dalam menentukan organisme yang hidup di ekosistem terumbu karang tersebut, utamanya jenis-jenis ikan karang. Hal tersebut dikarenakan alga merupakan salah satu jenis makanan bagi ikan-ikan yang hidup di ekosistem terumbu karang. Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan, diketahui bahwa persen penutupan DCA terendah terdapat di stasiun 4 yang terletak di perairan pantai Tanjung Kelayang dengan persen penutupan sebesar 1.52%, sedangkan persen penutupan DCA tertinggi terdapat di stasiun 2 yang juga terdapat di perairan Tanjung Kelayang dengan persen penutupan sebesar 7.82%.
34
Besarnya tingkat degradasi atau perubahan karang hidup menjadi karang mati dapat diketahui dengan menghitung nilai indeks kematian karang atau yang lebih dikenal dengan indeks mortalitas karang (IMK). Nilai IMK tersebut dapat diketahui dengan membagi nilai atau total panjang transisi karang mati dengan jumlah transisi baik karang mati dan karang hidup. Adapun hasil perhitungan nilai IMK dari keenam stasiun pengamatan yang telah dilakukan seperti yang ditampilkan pada Tabel 7 berikut : Tabel 7 Nilai indeks mortalitas karang (IMK) Lokasi Pantai Tj Kelayang
Pantai Tj Tinggi
Stasiun St 1 St 2 St 3 St 4
IMK 0.076 0.099 0.029 0.059
St 5 St 6
0.154 0.053
Sumber : data primer Berdasarkan nilai-nilai IMK pada Tabel 7 di atas, dapat diketahui bahwa nilai IMK terendah terdapat di stasiun 3 yang terletak di perairan pantai Tanjung Kelayang, sedangkan niai IMK tertinggi terdapat di stasiun 5 yang terletak di perairan pantai Tanjung Tinggi. Dari nilai-nilai IMK tersebut dapat diketahui bahwa nilai IMK di suatu ekosistem terumbu karang akan semakin besar dengan semakin tingginya kematian karang. Hal tersebut berarti bahwa kerusakan atau besarnya degradasi ekosistem terumbu karang paling besar terdapat di stasiun 5. Selain itu, walaupun kondisi ekosistem di stasiun 2 dan 3 dapat dikatakan sama, namun ternyata besarnya degradasi atau tingkat perubahan dari karang hidup menjadi karang mati yang lebih besar terjadi di stasiun 2. Kondisi ini mengindikasikan bahwa walaupun kondisi sekarang ekosistem terumbu karang di stasiun 2 dan 3 tersebut dapat dikatakan sama, namun tekanan lingkungan yang dapat menyebabkan terus berkurangnya tutupan karang hidup lebih besar terdapat di stasiun 2. Selain itu, dari seluruh stasiun pengamatan, berdasarkan nilai IMK yang didapat, dapat diketahui bahwa tekanan lingkungan yang dapat mengurangi tutupan karang hidup atau merusak ekosistem terumbu karang paling besar terjadi di stasiun 5 yang terdapat di perairan pantai Tanjung Tinggi. Kondisi Komunitas Karang di Perairan Pantai Tanjung Kelayang Kondisi ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang dapat diketahui berdasarkan pengamatan terhadap 4 stasiun pengamatan yang dianggap mewakili daerah tersebut. Dua stasiun pengamatan terletak di depan pantai yang merupakan daerah berkumpul utama wisatawan (stasiun 2 dan 3) dan dua stasiun terletak di sisi ujung pantai yang merupakan daerah yang jarang didatangi oleh wisatawan (stasiun 1 dan 4). Berdasarkan arah mata angin, stasiun 1 terletak di sisi sebelah timur pantai, stasiun 2 dan 3 terletak tegak lurus pantai atau di sisi utaranya, sedangkan stasiun 4 terletak di sisi sebelah
35
barat pantai. Lokasi stasiun 1 dicirikan dengan adanya warung-warung makan di tepi pantai, stasiun 2 dan 3 terletak di depan pasir putih yang sering menjadi daerah bermain wisatawan, sedangkan stasiun 4 terletak di depan kumpulan batu besar yang berbentuk kepala burung dan sering disebut sebagai “Batu Gerude” oleh masyarakat setempat. Ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang merupakan jenis terumbu karang tepi (fringing reef) yang berupa rataan karang (reef flat) maupun sekumpulan-sekumpulan karang (patch reef) dan terdapat di perairan yang dangkal. Berdasarkan kriteria kondisi ekosistem terumbu karang menurut Gomez dan Yap (1988), kondisi ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang pada tiap stasiun pengamatan yaitu : stasiun 1 dan 4 dalam kondisi memuaskan (penutupan karang hidup > 75%), sedangkan stasiun 2 dan 3 ekosistem terumbu karangnya dalam kondisi baik (penutupan karang hidup 50 - 75%). Bila dirata-ratakan persen penutupan karang hidup di keempat stasiun pengamatan tersebut, maka didapatkan persen penutupan karang hidup di kawasan perairan pantai Tanjung Kelayang sebesar 78,625%. Sehingga dapat dikatakan kondisi ekosistem terumbu karang di perairan pantai Tanjung Kelayang adalah dalam kondisi memuaskan. Kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Pantai Tanjung Kelayang yang dapat dikatakan memuaskan tersebut dapat menjadi salah satu indikator bahwa tekanan lingkungan terhadap kehidupan terumbu karang di perairan tersebut mungkin masih dalam tingkat yang rendah. Walaupun di perairannya terdapat ekosistem terumbu karang, namun aktivitas pariwisata yang terdapat di pantai Tanjung Kelayang sampai saat ini masih dominan aktivitas wisata pantai seperti bermain pasir, berenang di pantai, duduk bersantai sambil menikmati suasana alam pantai, berjalan-jalan di sepanjang pantai dan berkumpul bersama teman dan keluarga sambil menikmati hidangan “seafood” di warung-warung makan yang terdapat di tepi pantai. Hal tersebut berarti pemanfaatan wilayah perairan di pantai Tanjung Kelayang masih miniml untuk dimanfaatkan sebagai objek atau tempat melakukan aktivitas wisata. Adapun jenis wisata yang dilakukan di wilayah perairan pantai Tanjung Kelayang tersebut yaitu sebatas aktivitas berenang di perairan pantai yang dangkal. Selain itu, baru-baru ini telah mulai digalakkan wisata selam, seperti diselenggarakannya acara penanaman terumbu karang buatan di sekitar pantai dalam rangka memperingati hari terumbu karang (coral day). Pemanfaatan perairan pantai Tanjung Kelayang hanya sebagian kecil sebagai tempat melakukan aktivitas wisata, dominannya adalah sebagai tempat berlabuhnya perahu-perahu nelayan setempat. Selain sebagai tempat berlabuhnya perahu-perahu nelayan, pantai Tanjung Kelayang juga menjadi tempat berlabuhnya perahu-perahu motor wisata yang akan mengantarkan wisatawan untuk berwisata ke pulau-pulau kecil yang berada tidak jauh dari pantai tersebut seperti pulau Lengkuas dan pulau Kepayang. Selain itu, perairan tersebut juga menjadi tempat mencari ikan bagi nelayannelayan setempat atau masyarakat sekitar desa Tanjung Kelayang sebagai mata pencaharian sampingan dengan menggunakan alat tangkap pancing, bubu dan jaring insang.
36
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka dapat diperkirakan tekanantekanan lingkungan terhadap ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang tersebut. Adapun bentuk-bentuk tekanan terhadap ekosistem terumbu karang yang merupakan akibat dari aktivitas manusia di perairan tersebut adalah seperti terinjak-injaknya karang oleh nelayan yang menangkap ikan baik menggunakan pancing, jaring insang atau bubu, rusaknya karang akibat jangkar perahu nelayan dan perahu wisata. Tekanan terhadap ekosistem terumbu karang tersebut mungkin hanya sebagian kecil yang berupa terinjak-injaknya karang oleh wisatawan yang berenang, snorkeling dan menyelam di ekosistem terumbu karang tersebut. Selain itu, secara tidak langsung, limbah organik yang berasal dari rumah makan dan penginapan (cottage) di sekitar pantai yang masuk ke perairan akan meningkatkan kesuburan perairan dan meningkatkan pertumbuhan alga yang merupakan kompetitor karang terhadap ruang dan cahaya. Secara lebih spesifik, tekanan lingkungan atau ancaman kerusakan terhadap ekosistem terumbu karang yang terdapat di stasiun 1 yaitu terinjakinjaknya terumbu karang oleh nelayan yang menangkap ikan menggunakan alat tangkap pancing, jaring insang dan bubu, meningkatnya kesuburan perairan yang memacu pertumbuhan alga akibat masuknya limbah organik dari rumah makan dan cottage ke perairan. Tekanan lingkungan yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang di stasiun 2 dan 3 yaitu terinak-injaknya terumbu karang oleh wisatawan, jangkar kapal nelayan dan kapal wisata yang dapat mematahkan dan mematikan karang, masuknya limbah organik yang berasal dari cottage dan rumah makan di sekitar pantai, dan terinjak-injaknya terumbu karang oleh nelayan yang menangkap ikan. Sedangkan di stasiun 4, tekanan atau ancaman terhadap ekosistem terumbu karang yaitu jangkar perahu nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap pancing. Hal tersebut di atas mungkin dapat menjelaskan mengapa kondisi ekosistem terumbu karang di stasiun 4 kondisinya paling baik di perairan tersebut, karena tekanan lingkungan yang dapat menyebabkan rusaknya ekosistem terumbu karang di tempat tersebut hanya sedikit. Kondisi Komunitas Karang di Perairan Pantai Tanjung Tinggi Pengamatan ekosistem terumbu karang di perairan pantai Tanjung Tinggi hanya dilakukan di dua stasiun pengamatan (stasiun 5 dan 6). Hal tersebut dikarenakan bentuk pantai Tanjung Tinggi yang berupa teluk dan terumbu karang hanya tumbuh ke arah sisi kiri dan kanan di mulai dari mulut teluk, sehingga dua stasiun pengamatan di kiri dan kanan teluk tersebut dianggap sudah mewakili ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan Tanjung Tinggi. Kedua stasiun pengamatan tersebut memiliki ciri lokasi yang mirip, yaitu terumbu karang tumbuh di perairan yang di sisi daratannya berbatasan dengan kumpulan bongkahan besar batu granit yang tersusun di pinggir pantai dan bukannya pasir putih seperti yang terdapat di pantai Tanjung Kelayang. Hanya saja, terumbu karang yang terdapat di sisi kanan pantai (stasiun 5) tumbuh di perairan yang lebih dalam daripada terumbu karang yang terdapat di sisi kiri pantai (stasiun 6). Hal tersebut mungkin berkaitan dengan dasar perairan yang menjadi substrat
37
untuk hidupnya terumbu karang di sisi kanan pantai memiliki kedalaman yang curam, sedangkan dasar perairan di sisi kiri pantai kondisinya lebih landai. Pantai Tanjung Tinggi merupakan salah satu objek wisata favorit di pulau Belitung dan biasanya sangat ramai dikunjungi wisatawan pada saat libur akhir pekan dan hari-hari libur lainnya. Pasir putih yang landai dan panjang membentang, bongkahan batu granit besar di sisi kiri dan kanan pantai serta perairan yang tenang merupakan atraksi keindahan alam yang menghiasi pantai ini. Sehingga pantai ini bisa menjadi tempat bagi wisatawan untuk bermain di pasir, berenang di perairan pantai yang jernih atau menikmati hidangan sea food bersama teman dan keluarga sambil menikmati suasana dan keindahan alam pantai. Di pantai ini terdapat banyak warung makan yang berjejer di sepanjang pantai dan menyediakan menu-menu masakan seafood. Di perairannya, wisatawan hanya melakukan aktivitas wisata berenang atau berendam di air menggunakan pelampung yang terbuat dari bagian dalam ban mobil yang diisi angin. Namun demikian, didapatkan informasi bahwa terdapat juga nelayan yang menangkap ikan menggunakan potassium, walaupun pada saat melakukan penelitian hanya terlihat beberapa orang yang sedang memancing ikan dan menebar jaring insang di sekitar terumbu karang yang terdapat di perairan tersebut. Kondisi ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Tinggi dapat dikatakan memuaskan. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa persen penutupan karang hidup di dua stasiun pengamatan tersebut adalah lebih besar dari 75%. Adapun rata-rata tutupan karang dari kedua stasiun pengamatan tersebut adalah sebesar 76,8% dan hal tersebut berarti kawasan perairan pantai Tanjung Tinggi memiliki ekosistem terumbu karang yang kondisinya sangat baik/memuaskan. Namun, berdasarkan hasil penghitungan nilai IMK, diketahui bahwa indeks kematian karang di stasiun 5 adalah yang terbesar dari seluruh stasiun pengamatan, yaitu sebesar 0,145. Hal ini dapat juga berarti bahwa 14,5% karang hidup di stasiun 5 tersebut telah berubah menjadi karang mati. Ekosistem terumbu karang yang terdapat di stasiun 5 terlihat memang jarang didatangi oleh wisatawan karena perairannya yang dalam dan kondisinya yang terlihat menyeramkan karena terdapat di depan kumpulan batu-batu besar di tepi pantai. Namun, menurut informasi yang didapat, di sekitar tempat tersebut lah nelayan yang menggunakan potassium dulunya sering menangkap ikan. Hal tersebut mungkin merupakan penyebab perubahan karang hidup menjadi karang mati di tempat tersebut lebih besar dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa persen penutupan karang hidup di stasiun 5 dan 6 berturut-turut yaitu sebesar 78,1% dan 75,5%. Data tersebut mungkin dapat menjadi suatu indikasi bahwa tekanan lingkungan terhadap ekosistem terumbu karang di stasiun 6 lebih besar daripada yang terdapat di stasiun 5. Karena kondisi perairan di stasiun 6 tersebut relatif dangkal dan landai, sehingga mudah untuk didatangi. Meskipun ekosistem terumbu karang tersebut jarang didatangi oleh wisatawan, namun tempat tersebut merupakan daerah yang sering didatangi oleh penangkap ikan baik menggunakan alat tangkap pancing dan jaring insang yang megoperasikan alat tangkapnya sambil berjalan di atas karang. Sehingga, potensi terjadinya kerusakan terumbu karang akibat
38
terinjak-injak di stasiun 6 tersebut lebih besar dibandingkan di stasiun 5. Hal tersebut mungkin dapat menjelaskan mengapa persen penutupan karang hidup di stasiun 6 lebih rendah dibandingkan dengan stasiun 5. Selain itu, dari pengamatan yang dilakukan terlihat bahwa persen penutupan makro alga sebagai kompetitor ruang dan cahaya matahari bagi karang di stasiun 6 lebih besar dibandingkan yang terdapat di stasiun 5, yaitu penutupan alga di stasiun 6 sebesar 4,84%, sedangkan di stasiun 5 hanya sebesar 0,76%. Penutupan substrat dasar oleh makro alga tersebut mungkin dapat menghambat pertumbuhan karang akibat adanya kompetitor karang dalam mendapatkan ruang dan cahaya matahari. Kondisi Komunitas Ikan Karang Warna-warni ikan karang yang berenang di sekitar terumbu karang merupakan salah satu atraksi yang menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan wisata bahari selam dan snorkeling selain menikmati keindahan terumbu karang itu sendiri. Supriharyono (2000) menyatakan bahwa ikan-ikan karang biasanya mempunyai warna yang sangat indah, selain itu bentuknya sering kali unik, sehingga memberikan kesan tersendiri kepada wisatawan. Hal tersebut mungkin berarti bahwa atraksi dan keindahan ikan karang beserta terumbu karang merupakan menu utama yang ingin dinikmati atau pengalaman utama yang dicari oleh wisatawan ketika melakukan aktivitas wisata bahari bersnorkeling dan menyelam. Sehingga, sangat logis bila jumlah spesies ikan karang di suatu ekosistem terumbu karang menjadi kriteria utama dalam penentuan kesesuaian sebagai objek wisata bahari untuk jenis wisata selam dan snorkeling. Pengamatan terhadap komunitas ikan karang dilakukan pada transek garis yang sama dengan pengamatan persen penutupan komunitas karang, yaitu 2,5 meter ke kiri dan kanan transek garis sepanjang 50 meter. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan di 4 stasiun pengamatan di perairan pantai Tanjung Kelayang dan 2 stasiun pengamatan di perairan pantai Tanjung Tinggi, maka didapatkan data jumlah family, spesies dan kelimpahan ikan karang seperti yang ditampilkan pada Tabel 8 berikut : Tabel 8 Jumlah spesies dan kelimpahan ikan karang di tiap stasiun pengamatan dan di kawasan perairan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi Lokasi Tanjung Kelayang St 1 St 2 St 3 St 4 Tanjung Tinggi St 5 St 6 Sumber : data primer
Σ spesies 68 30 26 17 32 39 30 20
Kelimpahan (ind/250m2) 435 120 98 69 148 588 200 388
Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa di kawasan perairan pantai Tanjung Kelayang terdapat 68 spesies ikan karang dari 16 family dengan kelimpahan total sebanyak 435 ekor ikan/1000 m2, sementara di kawasan perairan
39
pantai Tanjung Tinggi terdata ikan karang sebanyak 39 spesies dari 11 family dengan kelimpahan total sebesar 588 ekor ikan/500 m2. Data hasil pengamatan jumlah spesies dan kelimpahan tiap spesies ikan karang di perairan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi terlampir pada Lampiran 2 dan 3. Bila jumlah spesies ikan berdasarkan kawasan perairan tersebut digunakan dalam kriteria kesesuaian untuk wisata selam dan snorkeling, maka jumlah spesies ikan karang di perairan pantai Tanjung Kelayang termasuk ke dalam kelas Sangat Sesuai (S1) untuk jenis wisata snorkeling dan Cukup Sesuai (S2) untuk jenis wisata selam. Sementara itu, perairan pantai Tanjung Tinggi termasuk ke dalam kelas Cukup Sesuai (S2) untuk jenis wisata snorkeling dan Sesuai Bersyarat (S3) untuk jenis wisata selam. Dari seluruh stasiun yang diamati di kedua perairan tersebut, diketahui bahwa jumlah spesies ikan terbanyak ditemukan di stasiun 4 yaitu sebanyak 32 spesies. Sedangkan di stasiun 3 ditemukan jumlah spesies ikan yang paling sedikit, yaitu sebanyak 17 spesies. Sehingga, bila berdasarkan jumlah spesies ikan karang yang ditemukan di tiap stasiun, maka tidak ada stasiun yang termasuk ke dalam kelas Sangat Sesuai (S1) untuk kategori wisata snorkeling dan selam. Bila kita bersnorkeling atau menyelam di perairan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi, maka yang terlihat jelas adalah keindahan terumbu karangnya, sedangkan jumlah ikan yang berlalu lalang di sekitar karang hanya sedikit dan terasa sepi. Jika dilihat dari data persen penutupan karang yang dapat dikatakan secara umum kondisi ekosistem terumbu karang di kedua perairan tersebut masih baik, maka mungkin jumlah jenis dan kelimpahan ikan karang di kedua perairan tersebut seharusnya lebih banyak. Namun ternyata kondisi yang sesungguhnya terjadi adalah sebaliknya. Padahal menurut Nybakken (1999) Keberadaan ikan karang di perairan sangat tergantung pada kesehatan terumbu yang ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Hal ini dimungkinkan karena ikan karang hidup berasosiasi dengan bentuk dan jenis terumbu sebagai tempat tinggal, perlindungan dan tempat mencari makan. Selain itu, ikan karang secara relatif menetap hampir di seluruh hidup mereka. Walaupun belum ada penelitian yang membenarkan, tetapi mungkin fenomena sedikitnya kelimpahan ikan yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi tersebut menunjukkan gejala sedang atau telah terjadinya penangkapan berlebih (overfishing). Kelimpahan ikan karang dari keempat stasiun pengamatan yang terletak di perairan Tanjung Kelayang terlihat lebih tinggi di daerah kiri & kanan pantai yaitu di stasiun 4 dan 1, sedangkan kelimpahan ikan di daerah terumbu karang yang terletak di depan pantai (stasiun 2 dan 3) lebih rendah. Nelayan-nelayan yang menangkap ikan di ekosistem terumbu karang yang terletak di perairan Tanjung Kelayang mayoritas mendatangi lokasi penangkapan dengan berjalan kaki. Sehingga daerah ekosistem terumbu karang yang agak jauh utk didatangi dan memiliki perairan lebih dalam seperti di stasiun 4, tidak terusik oleh nelayannelayan tersebut. Walaupun kedalaman perairan di stasiun 1, 2 dan 3 relatif dangkal, namun keberadaan ekosistem terumbu karang di stasiun 1 lebih jauh ke arah laut, sehingga biasanya hanya didatangi saat air laut surut saja. Ekosistem terumbu karang yang terdapat di stasiun 2 dan 3 letaknya tepat de depan pantai yang merupakan lokasi utama wisatawan berkumpul. Selain itu, letaknya lebih
40
dekat dari pantai, sehingga lebih mudah dicapai. Sehingga lokasi tersebut menjadi daerah yang sering didatangi oleh para penangkap ikan baik nelayan maupun wisatawan yang ingin memancing. Dengan kata lain, ikan karang yang terdapat di stasiun 2 dan 3 lebih sering dieksploitasi daripada di stasiun 1 dan 4, hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa kelimpahan ikan karang di stasiun 2 dan 3 lebih rendah dibandingkan kedua stasiun pengamatan lainnya. Sementara itu, hasil pengamatan kelimpahan ikan karang pada dua stasiun yang terdapat di perairan Tanjung Tinggi (stasiun 5 dan 6), menunjukkan bahwa walaupun jumlah spesies ikan karang di stasiun 6 lebih sedikit dibandingkan stasiun 5, tetapi total kelimpahan ikan di stasiun 6 lebih besar dibandingkan stasiun 5. Hal tersebut dikarenakan ketika pengamatan dilakukan, terdapat kumpulan ikan selar yang lalu-lalang di atas hamparan terumbu karang di stasiun 6. Terhitung jumlah ikan Selar mendominasi komposisi ikan yang tercatat, yaitu sebesar 87,63% dari total kelimpahan ikan. Ikan selar (Selar boops) merupakan jenis ikan pelagis kecil yang hidupnya di perairan pesisir dan berasosiasi dengan karang, makanannya berupa plankton dan invertebrata bentik (http://fishbase.sinica.edu.tw). Dengan demikian, ikan selar bukan merupakan spesies yang seluruh hidupnya menetap di ekosistem terumbu karang. Sehingga, bila ikan Selar tersebut tidak dihitung sebagai bagian dari ikan karang, maka kelimpahan ikan di stasiun 6 tersebut akan menjadi sangat sedikit, yaitu hanya 48 individu/250 m2. Jumlah tersebut jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kelimpahan ikan karang di stasiun 6 yang mencapai 200 individu/250 m2. Ekosistem terumbu karang yang terletak di stasiun 6 memiliki kedalaman yang lebih dangkal dibandingkan stasiun 5, sehingga sering menjadi lokasi utama bagi nelayan, wisatawan, maupun pemancing-pemancing yang hanya sekedar menyalurkan hobi untuk menangkap ikan di perairan sekitar pantai Tanjung Tinggi. Dengan demikian, ikan-ikan yang terdapat di stasiun 6 lebih sering dieksploitasi dibandingkan ikan-ikan yang ada di stasiun 5, sehingga baik kelimpahan dan mungkin jumlah spesies ikan yang terdapat di ekosistem terumbu karang tersebut menjadi berkurang. Keberagaman, kelimpahan dan biomasa ikan meningkat dengan semakin kompleksnya habitat (Lowe-McConnel 1987). Struktur karang yang kompleks menyediakan habitat fisik dan tempat berlindung yang mengakomodasi banyak ukuran kelas dan khususnya individu invertebrata khas yang berukuran kecil di koloni karang, tumpukan patahan karang dan turf alga sebagai makanan bagi banyak spesies ikan (Sale, 1991). Dalam hal ini, kekompleksan habitat tersebut mungkin bisa diartikan sebagai jumlah bentuk pertumbuhan karang (lifeform) atau adanya habitat lain selain ekosistem terumbu karang, semisal adanya padang lamun di sekitar atau berasosiasi dengan terumbu karang tersebut. Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 9, terlihat bahwa jumlah spesies ikan di tiap stasiun pengamatan cenderung berbanding lurus dengan besarnya tutupan karang hidup. Hal ini berarti semakin besar tutupan karang hidup di perairan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi, maka akan semakin banyak jumlah spesies ikan karang yang ditemukan. Stasiun 2 dan 3 memiliki persen penutupan karang hidup yang sama yaitu sebesar 73,60%. Akan tetapi jumlah spesies ikan karang lebih banyak ditemukan di stasiun 2 dibandingkan stasiun 3. Hal tersebut dikarenakan kondisi habitat ekosistem terumbu karang di stasiun 2 lebih kompleks dibandingkan
41
stasiun 3. Lebih kompleksnya habitat di stasiun 2 tersebut maksudnya adalah, terdapat patahan-patahan karang (rubble) dan turf algae yang tidak terdapat di stasiun 3 (Lampiran 1). Hal tersebut berarti stasiun 2 dapat menyediakan habitat bagi lebih banyak jenis ikan karang dibandingkan stasiun 3. Lowe-McConnel (1987) menyatakan bahwa banyak spesies ikan yang mengambil hewan invertebrata yang khas di koloni karang, tumpukan patahan karang dan turf algae. Karang mati menyebabkan penurunan secara nyata jumlah spesies ikan dan individu-individu yang berasosiasi dengan terumbu. Peningkatan daerah permukaan dari dasar dan celah-celah dan gua-gua yang tak terhingga jumlahnya menyediakan tempat untuk bersembunyi untuk bermacam-macam invertebrata yang merupakan makanan dari ikan-ikan. Tabel 9 Jumlah spesies, kelimpahan ikan karang, persen penutupan karang hidup dan jumlah lifeform karang di tiap stasiun pengamatan. Lokasi Tanjung Kelayang St 1 St 2 St 3 St 4 Tanjung Tinggi St 5 St 6 Sumber : data primer
Σ spesies ikan 68 30 26 17 32 39 30 20
Kelimpahan ikan 435 120 98 69 148 588 200 388
% Cover Karang 78,625 79,52 73,60 73,60 87,78 76,80 78,10 75,50
Σ Life form 15 10 10 10 12 11 8 11
Jumlah spesies ikan karang di tiap stasiun pengamatan di perairan Tanjung Kelayang juga cenderung semakin banyak dengan semakin beragamnya jenis bentuk pertumbuhan (lifeform) karang. Hal tersebut dikarenakan bentuk-bentuk pertumbuhan karang selain menyediakan beragam habitat dan makanan, juga dapat menjadi tempat berlindung bagi ikan-ikan karang. ikan-ikan karang juga bisa berlindung Ikan-ikan karang memanfaatkan bentuk-bentuk terumbu karang untuk mempertahankan diri (Nybakken 1999). Namun demikian, jumlah spesies ikan karang di perairan Tanjung Tinggi tidak mengikuti trend seperti di perairanTanjung Kelayang. Stasiun 5 memiliki jumlah lifeform karang lebih sedikit dibandingkan stasiun 6, tetapi terdata lebih banyak spesies ikan karang di stasiun 6 dibanding stasiun 5. Hal tersebut dikarenakan perairan di stasiun 5 lebih dalam dibandingkan stasiun 6. Ekosistem terumbu karang di stasiun 5 berupa lerengan karang (reef slope) yang memiliki kedalaman perairan bervariasi dari dangkal sampai dalam, sedangkan stasiun 6 ekosistem terumbu karangnya berupa rataan karang dan memiliki perairan yang dangkal. Kondisi perairan dan terumbu karang yang berbeda di dua stasiun tersebut menyebabkan pengaruh pasang surut air laut akan memberikan pengaruh yang sangat berbeda terhadap jumlah spesies dan kelimpahan ikan karang pada keduanya. Hal tersebut dapat menjelaskan mengapa stasiun 5 memiliki jumlah spesies ikan yang terdata dibandingkan stasiun 6 yang memiliki lifeform karang lebih banyak Ikan-ikan yang berada di suatu habitat untuk sementara waktu (transient fish) ditemukan mendominasi kumpulan ikan di perairan dangkal dan komposisi dalam kumpulan tersebut
42
bervariasi terhadap kondisi pasang surut. Kelimpahan ikan dan kekayaan jenis dalam kelompok dari semua individu habitat-habitat karang (rataan karang dan bombies) ditemukan sangat berbeda dari semua individu yang berhabitat di lamun (inshore, mid- and far-shore), kecuali di lamun yang jauh dari pantai, rataan karang dan bombies. Daerah karang bombie tidak memiliki perubahan yang jelas dalam kelimpahan dan kekayaan jenis berkaitan dengan perubahan pasut, tetapi kumpulan ikan di rataan karang menunjukan sebuah pengurangan dalam kelimpahan dan kekayaan jenis disebabkan pasang ke surut (Richard et al. 2007). Saat surut umumnya terjadi pengurangan pada kelimpahan dan keragaman ikan (Nagelkerken et al. 2000). Walaupun menurut Robertson (1980), di habitat pasang surut pesisir tropis pergerakan ikan ke dan dari lamun mungkin termasuk migrasi ke habitat-habitat lainnya termasuk terumbu karang. Indeks Kesesuaian Wisata Selam dan Snorkeling Indeks kesesuaian wisata menyatakan seberapa sesuai suatu kawasan atau daerah untuk dijadikan suatu objek wisata selam dan snorkeling. Berdasarkan data hasil pengamatan di lapangan, kemudian data terebut diolah menggunakan matriks kesesuaian wisata untuk kategori wisata selam dan snorkeling. Penghitungan indeks kesesuaian wisata selam dan snorkeling dilakukan pada tiap stasiun pengamatan dan juga pada dua kawasan wisata yaitu kawasan Pantai Tanjung Kelayang dan Pantai Tanjung Tinggi. Nilai hasil perhitungan indeks kesesuaian wisata pada setiap stasiun pengamatan seperti yang disajikan pada Tabel 10 berikut : Tabel 10 Nilai indeks kesesuaian wisata tiap stasiun pengamatan IKW (%)
St. 1 Snorkeling 84,21 77,78 Selam Sumber : data primer
Tanjung Kelayang St. 2 St. 3 St. 4 70,18 70,18 82,46 64,91 59,65 77,19
Tanjung Tinggi St. 5 St. 6 82,46 77,19 78,95 77,19
Dari Tabel 10 tersebut terlihat bahwa indeks kesesuaian wisata untuk jenis wisata snorkeling di seluruh stasiun pengamatan lebih tinggi dibandingkan nilai indeks kesesuaian wisata untuk jenis wisata selam. Hal tersebut disebabkan tingginya tutupan komunitas karang hidup dan kondisi perairan yang memiliki kecerahan sampai ke dasar (100%) yang merupakan parameter indeks kesesuaian dengan bobot paling besar (bobot = 5) untuk kesesuaian wisata snorkeling. Pada indeks kesesuaian wisata untuk jenis wisata snorkeling, terdapat tiga stasiun yang memiliki nilai indeks kesesuaian di bawah 83%, yaitu pada stasiun 2,3 dan 6. Hal tersebut disebabkan tutupan karang hidup di stasiun 2 dan 3 kurang dari 75% (kondisi sedang, English et al, 1994) sehingga mengurangi nilai indeks kesesuaian wisata snorkeling di tempat tersebut. Adapun parameter yang mengurangi nilai kesesuaian di stasiun 6 tersebut adalah parameter kedalaman terumbu karang. Kedalaman terumbu karang di perairan tersebut adalah sedalam 3,5 meter, sedangkan kedalaman perairan yang sangat sesuai untuk aktivitas wisata snorkeling adalah 1 sampai 3 meter. Kondisi tersebut menyebabkan berkurangnya nilai indeks kesesuaian wisata untuk jenis wisata snorkeling. Nilai indeks
43
kesesuaian wisata untuk jenis wisata selam di semua stasiun pengamatan < 83%. Hal tersebut utamanya disebabkan oleh rendahnya jumlah spesies ikan karang yang ditemukan dan jumlah bentuk pertumbuhan (lifeform) karang. Selain itu, kedalaman terumbu karang yang relatif dangkal juga menyebabkan rendahnya nilai indeks kesesuaian wisata selam di stasiun-stasiun pengamatan tersebut. Data atau hasil pengamatan yang dilakukan pada 6 stasiun pengamatan untuk penghitungan nilai indeks kesesuaian wisata untuk jenis wisata selam dan snorkeling disajikan pada Tabel 11 berikut : Tabel 11 Hasil pengukuran parameter kesesuaian wisata selam dan snorkeling Parameter Kecerahan air (%) Tutupan karang hidup (%) Jumlah life form karang Jumlah spesies ikan karang Kecepatan arus (cm/dtk) Kedalaman karang (m) Sumber : data primer
Tanjung Kelayang Tanjung Tinggi St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 100 100 100 100 100 100 79,52 73,60 73,60 87,78 78,10 75,50 10 10 10 12 8 11 30 26 17 32 30 20 7,58 7,58 7,62 6,70 2,25 2,80 1,50 1,50 2 4 6 3,50
Hasil pengukuran di tiap stasiun pengamatan menunjukkan bahwa kecerahan perairan adalah 100% atau bisa dikatakan cahaya matahari dapat menembus sampai ke komunitas terumbu karang yang berada di dasar perairan. Kondisi perairan yang cerah tersebut dikarenakan sungai yang bermuara ke laut terletak jauh dari lokasi dan ekosistem terumbu karang tersebut. Sehingga, partikel-partikel terlarut dan tersuspensi yang terbawa aliran sungai dan dapat mengurangi kecerahan perairan tidak sampai ke daerah tersebut. Dari keseluruhan stasiun yang diamati, hanya 2 stasiun (stasiun 2 & 3) yang terdapat di perairan Tanjung Kelayang yang memiliki tutupan karang hidup kurang dari 75% (kondisi sedang), sedangkan di stasiun pengamatan yang lain, tutupan karang hidup memiliki kondisi yang baik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa yang menyebabkan berkurangnya tutupan karang hidup di stasiun 2 adalah penutupan substrat dasar oleh lamun (3.82%), makro alga (3,90%), turf algae (3,96%) dan karang mati yang telah ditutupi algae (7,82%). Sedangkan di stasiun 3, berkurangnya tutupan karang hidup karena substrat dasar juga ditutupi oleh lamun (8,94%), makro alga (5,22%) dan alga assemblage (4,86%). Data hasil pengamatan seluruh stasiun yang diamati ditunjukkan pada Lampiran 1. Pengamatan yang telah dilakukan di semua stasiun menunjukkan bahwa jumlah bentuk pertumbuhan karang (lifeform) paling banyak ditemukan di stasiun 4 (12 bentuk pertumbuhan) dan paling sedikit ditemukan di stasiun 5 (8 bentuk pertumbuhan). Sedangkan jumlah spesies ikan karang paling banyak ditemukan di stasiun 4 (32 spesies) dan paling sedikit ditemukan di stasiun 3 (17 spesies). Hasil pengukuran arus permukaan menunjukkan bahwa kecepatan arus di perairan Tanjung Kelayang rata-rata lebih besar dibandingkan kecepatan arus di perairan Tanjung Tinggi. Pengukuran kedalaman perairan dimana terdapatnya ekosistem terumbu karang, diketahui bahwa perairan terdalam terdapat di stasiun 5 yaitu
44
sedalam 6 meter dan terdangkal terdapat di stasiun 1 dan 2 yaitu sebesar 1,5 meter. Secara umum, perairan di Pantai Tanjung Tinggi memiliki perairan lebih dalam dibandingkan perairan di Pantai Tanjung Kelayang. Besar kecilnya gelombang di permukaan perairan dipengaruhi oleh cuaca dan musim. Namun demikian, gelombang perairan yang besar akan mengurangi kenyamanan pesnorkeling yang dominan berada di permukaan perairan dan juga penyelam saat berada di permukaan air sebelum menyelam. Hasil pengukuran yang dilakukan menunjukkan bahwa hampir di seluruh stasiun yang diamati memiliki ketinggian gelombang yang rendah dan hanya di stasiun 4 gelombang di permukaan memiliki ketinggian diantara 25 - 50 cm. Kondisi gelombang tersebut tidak akan mempengaruhi kenyamanan para penyelam dan pesnorkeling karena perairan yang relatif tenang, kecuali di musim barat (Desember - Februari) gelombang akan menjadi besar akibat pengaruh angin yang bertiup kencang. Dengan demikian, berdasarkan hasil penghitungan indeks kesesuaian wisata di seluruh stasiun pengamatan, dapat diketahui tingkat kesesuaian untuk jenis wisata selam dan snorkeling di tempat tersebut (Tabel 12). Untuk jenis wisata snorkeling, hanya terdapat 1 stasiun yang termasuk kategori sangat sesuai (SS), yaitu di stasiun 1. Kesesuaian di lima stasiun lainnya termasuk kategori cukup sesuai (CS) sebagai objek wisata snorkeling. Namun demikian, terdapat 2 stasiun yang nilai indeks kesesuaian wisata untuk jenis wisata snorkeling hampir tergolong sangat sesuai dengan nilai kesesuaian sebesar 82,64%, yaitu di stasiun 4 yang terletak di Tanjung Kelayang dan stasiun 5 yang terletak di perairan Pantai Tanjung Tinggi. Parameter kesesuaian yang menyebabkan berkurangnya nilai indeks kesesuaian adalah parameter kedalaman perairan. Parameter kedalaman perairan merupakan faktor yang sulit untuk dimodifikasi untuk meningkatkan kelas kesesuaian wisata. Maka dari itu, strategi pengelolaan wisata snorkeling di stasiun 4 tersebut adalah dialokasikan untuk pesnorkeling yang sudah mahir atau ingin mencari tantangan untuk menikmati keindahan ekosistem terumbu karang di perairan yang lebih dalam. Pada saat pengamatan dilakukan (jam 11:58 WIB), kondisi perairan hampir pasang penuh, sehingga kondisi perairan akan lebih sesuai untuk aktivitas snorkeling di waktu lebih pagi atau lebih sore. Adapun parameter kesesuaian yang mengurangi nilai kesesuaian stasiun 5 untuk wisata snorkeling adalah sedikitnya jumlah lifeform karang. Kelas kesesuaian tersebut bisa ditingkatkan semisal dengan upaya melakukan transplantasi karang yang memiliki bentuk pertumbuhan berbeda dengan yang sudah ada di tempat tersebut. Kelas kesesuaian wisata dari enam stasiun yang diamati menunjukkan bahwa untuk kategori wisata selam, seluruh stasiun tergolong cukup sesuai sebagai objek wisata selam. Adapun parameter kesesuaian atau faktor pembatas yang menyebabkan berkurangnya nilai kesesuaian wisata selam di stasiun-stasiun pengamatan tersebut adalah kedalaman perairan yang relatif dangkal. Walaupun terdapat satu stasiun yang kedalaman terumbu karangnya sesuai sebagai objek wisata selam yaitu di stasiun 5 yang terletak di peraian Pantai Tanjung Tinggi dengan rata-rata kedalaman terumbu karang sedalam 6 meter. Namun, jumlah bentuk pertumbuhan karang yang sedikit menyebabkan nilai indeks kesesuaiannya berkurang. Selain itu, sedikitnya jumah spesies ikan karang juga menyebabkan berkurangnya nilai indeks kesesuaian tersebut. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kelas kesesuaian lokasi tersebut menjadi sangat
45
sesuai (SS) adalah dengan melakukan transplantasi karang dengan jenis karang yang memiliki lifeform berbeda dari yang sudah ada. Dilakukannya transplantasi karang tersebut juga akan menyebabkan peningkatan tutupan karang hidup dan menyediakan habitat lebih beragam yang akan dihuni oleh jenis-jenis ikan karang yang baru. Tabel 12 Kesesuaian wisata tiap stasiun pengamatan Tanjung Kelayang Tanjung Tinggi St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 CS CS CS CS CS Snorkeling SS CS CS CS CS CS CS Selam Keterangan : SS = Sangat Sesuai, CS = Cukup Sesuai Sumber : data primer IKW
Konsentrasi Nitrat dan Fosfat Perairan Pengukuran konsentrasi Nitrat dan Fosfat dilakukan pada contoh air yang dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan IPB. Contoh air tersebut diambil dari 4 stasiun/lokasi di perairan pantai Tanjung Kelayang dan 2 stasiun/lokasi di perairan pantai Tanjung Tinggi. Jumlah stasiun pengambilan contoh air di perairan pantai Tanjung kelayang lebih banyak (4 stasiun) dibandingkan stasiun di perairan pantai Tanjung Tinggi (2 stasiun) dikarenakan kondisi pantai maupun di perairan pantai Tanjung Kelayang lebih beragam dibandingkan pantai Tanjung Tinggi. Pada stasiun 1 di Tanjung Kelayang, di pantainya terdapat berjejer rumah makan dan di perairannya sering ditemukan pemancing ikan. Stasiun 2 merupakan daerah tempat utama berkumpulnya aktivitas wisatawan, terdapat penginapan/cottage dan sebuah rumah makan di daratannya serta tempat bertambatnya beberapa perahu yang dapat mengantar wisatawan ke pulau-pulau kecil terdekat, pada stasiun 3 juga sering menjadi tempat beraktivitasnya wisatawan namun lebih sepi dibanding stasiun 2 dan di daratannya hanya terdapat rumput dan pohon kelapa. Stasiun 4 merupakan daerah yang jarang menjadi tempat aktivitas wisatawan, namun sering menjadi tempat menambatkan perahu-perahu nelayan penangkap ikan. Sementara itu di perairan pantai Tanjung Tinggi yang berbentuk teluk, stasiun 1 lebih dekat ke arah pantai yang selalu menjadi pusat aktivitas wisata para wisatawan dan terdapat rumah makan di sepanjang pantai, dan di stasiun 2 terletak di mulut teluk lebih mengarah ke laut. Adapun hasil pengukuran kandungan nitrat dan fosfat di perairan kedua pantai tersebut seperti ditunjukkan pada Tabel 13. berikut : Tabel 13 Hasil pengukuran fosfat dan nitrat di perairan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi Tanjung Kelayang (mg/l) St 1 St 2 St 3 St 4 0,027 0,023 0,001 0,009 Nitrat NO3-N < 0,010 < 0,010 0,177 1,533 Fosfat PO4-P Sumber : data primer Parameter
Tanjung Tinggi (mg/l) St 1 St 2 0,019 0,020 0,121 0,684
46
Nilai rata-rata kandungan nitrat di perairan pantai Tanjung Kelayang adalah sebesar 0,015 mg/l dan kandungan fosfat sebesar 0,855 mg/l. Nilai ratarata kandungan nitrat tersebut adalah hasil rata-rata hasil pengukuran kandungan nitrat pada contoh air dari 4 stasiun pengamatan, sedangkan nilai rata-rata kandungan fosfat merupakan nilai rata-rata dari hasil pengukuran contoh air laut yang berasal dari dua stasiun pengamatan, yaitu stasiun 3 dan 4. Hal tersebut dikarenakan berdasarkan hasil analisis laboratorium, kandungan fosfat di dua stasiun lainnya yaitu stasiun 1 dan 2, kandungan fosfatnya sangat rendah dan berada di bawah batas deteksi (DL) alat ukur, sehingga tidak didapatkan nilai pasti besar kandungan fosfat tersebut. Sementara itu nilai rata-rata kandungan nitrat dan fosfat di perairan pantai Tanjung Tinggi secara berturut-turut adalah 0,0195 mg/l dan 0,4025 mg/l. Nilai ambang batas perairan laut yang ditetapkan oleh KepMen LH No.51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk wisata bahari, untuk Nitrat adalah sebesar 0,015 mg/l dan untuk fosfat adalah sebesar 0,008 mg/l. Bila dibandingkan nilai konsentrasi rata-rata N dan P di perairan Tanjung Kelayang dengan KepMen LH No.51 Tahun 2004 tersebut, nilai nitrat sudah mencapai nilai ambang batas yang diperkenankan dan kandungan posfat sudah jauh melebihi nilai baku mutunya. Begitu juga dengan konsentrasi rata-rata nitrat dan fosfat di perairan Tanjung Tinggi, sudah melebihi nilai baku mutunya. Nilai ambang batas (NAB) yang ditetapkan US-EPA untuk nitrat yakni≤ 0,0 05 mg/l untuk kehidupan biota laut. Sementara itu, menurut Brotowidjoyo et al (1995) kadar fosfat di perairan laut yang normal berkisar antara 0,00001 – 0,004 mg/l. Konsentrasi rata-rata nitrat dan fosfat di perairan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi bila dibandingkan dengan nilai ambang batas menurut US-EPA (1972) dan Brotowidjoyo et al. (1995) tersebut, sudah melebihi nilai ambang batas dan nilai kadar normal yang diperkenankan. Hal ini berarti suatu peringatan bagi pihak pengelola dan pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan masalah lingkungan di dalam suatu kawasan objek wisata berkaitan dengan pengelolaan sampah organik dan limbah cair yang berasal dari daratan. Pengambilan air contoh dilakukan pada bulan Mei yang mendekati musim peralihan 1 (April) dimana konsentrasi nitrat dan fosfat di perairan lebih rendah dan konsentrasi tersebut akan menjadi tinggi pada musim peralihan 2 (Oktober). Muchtar (2002) menyatakan tinggi rendahnya kandungan nitrat dan fosfat tergantung kepada musim dan juga keadaan sekelilingnya. Dengan bertambahnya penduduk dan aktivitas masyarakat serta meningkatnya pembangunan industri di sekitar perairan tersebut, lama kelamaan akan berpengaruh pada kualitas perairan tersebut. Kandungan nitrat dan fosfat di perairan juga dipengaruhi oleh sumbangan yang berasal dari daratan seperti sumbangan dari daerah mangrove yang serasahnya membusuk karena adanya aktivitas penguraian oleh bakteri menjadi zat hara dan terbawa oleh aliran air, diantaranya nitrat dan fosfat. Konsentrasi nitrat dan fosfat di perairan lebih tinggi pada bulan Oktober (musim peralihan 2) dibandingkan pada bulan April (musim peralihat 1) akibat tingginya curah hujan di bulan Oktober yang mengakibatkan lebih tingginya volume air dari daratan yang masuk daripada di bulan April. Kondisi lahan di sepanjang pantai Tanjung Kelayang utamanya didominasi oleh lahan terbuka, bangunan rumah makan dan penginapan, sementara di sepanjang pantai Tanjung Tinggi hanya terdapat lahan terbuka dan rumah makan.
47
Kondisi tersebut menyebabkan aliran limpasan permukaan dari daratan akan langsung masuk ke laut. Akibatnya bila terjadi hujan, maka sampah dan semua benda yang dapat terbawa aliran permukaan akan masuk ke laut. Air limpasan permukaan dan buangan limbah dari daratan dapat menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap kualitas perairan pesisir yang menyebabkan degradasi terumbu karang (Reopanichkul et al. 2009). Rumah makan merupakan penghasil utama sampah organik dan air limbah rumah tangga di kedua pantai tersebut. Sampah organik tersebut utamanya berupa sisa makanan, potongan ikan dan sayuran, sedangkan limbah cairnya berupa air bekas pencucian, piring, ikan, sayur dan air bilas wisatawan yang berasal dari kamar mandi. Sampai saat ini penanganan masalah sampah masih diserahkan kepada pihak rumah makan secara mandiri. Sampah organik tersebut akan dikumpulkan oleh tiap-tiap rumah makan secara sendiri-sendiri lalu dibuang ke tempat yang lebih jauh dari pantai atau dimasukkan dan dikumpulkan ke dalam lobang yang terletak di belakang rumah makan tersebut lalu dibakar. Seperti yang umum diketahui bahwa sumber masukan nitrat dan fosfat ke perairan adalah berasal dari dekomposisi bahan organik dan limbah cair rumah tangga. Bila pengaturan dan pengelolaan sampah dan limbah yang dihasilkan oleh rumah makan, penginapan dan wisatawan yang berkunjung tidak dikelola dengan baik, maka hal ini akan dapat mengurangi keindahan pantai dan berdampak buruk bagi pariwisata itu sendiri. Kondisi lebih buruk dapat terjadi bila sampah organik dan limbah cair yang berasal dari rumah makan dan penginapan tidak dikelola dengan baik dan terus-menerus langsung terbawa masuk ke laut. Akibatnya akan terjadi peningkatan konsentrasi nitrat dan fosfat di perairan yang akan menyebabkan tumbuh suburnya makro alga dan mikro alga yang dapat menjadi kompetitor karang terhadap ruang dan cahaya matahari sehingga menyebabkan berkurangnya tutupan karang hidup. Bahkan dapat terjadi kondisi yang lebih berbahaya bila terjadi blooming alga di perairan. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi pihak pengelola dan pemerintah daerah untuk dapat menjaga keindahan alam dan keberlanjutan pariwisata kawasan wisata pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi. Daya Dukung Ekologi Wisata Daya Dukung Ekologi Wisata Pantai Untuk menghitung daya dukung ekologi wisata pantai tersebut dibutuhkan data luasan pantai. Luasan pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi diketahui dari hasil perkalian panjang dan lebar pantai. Luasan pantai tersebut dihitung pada saat air laut sedang pasang dan surut. Hal tersebut dilakukan, karena lebar dan luasan pantai berubah-ubah tergantung kondisi pasang surut air laut, sedangkan panjang pantai dapat dikatakan relatif tetap dan tidak dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Selain berdasarkan hasil pengukuran langsung, informasi mengenai lebar pantai juga berdasarkan keterangan nelayan atau masyarakat setempat agar lebih mendekati kondisi yang sebenarnya. Dengan demikian didapatkan luasan pantai pada saat pasang dan pada saat surut di kedua pantai tersebut. Berdasarkan hasil penghitungan, diketahui bahwa luas pantai Tanjung Kelayang saat pasang adalah 11,520 m2 dan saat surut adalah 23,040 m2,
48
sedangkan luas pantai Tanjung Kelayang pada saat pasang adalah 3,555 m2 dan saat surut adalah 8,295 m2. Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi adalah objek wisata masal yang sifatnya “open access”, sehingga semua orang boleh memasuki kawasan pantai tersebut baik siang maupun malam hari. Berdasarkan hasil pengamatan dan informasi dari pedagang di lokasi wisata tersebut, wisatawan biasanya mulai datang pada jam 8:00 pagi dan sepi pada saat menjelang petang (maghrib) sekitar pukul 18:00. Dengan demikian, dapat diasumsikan waktu yang tersedia bagi wisatawan untuk melakukan aktivitas wisata pantai (Wt) di pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi adalah selama 10 jam/hari. Berdasarkan data yang diperoleh dan kemudian diolah, maka didapatkan nilai daya dukung ekologi wisata pantai di kedua objek wisata tersebut. Pada saat surut, pantai Tanjung Kelayang dapat menampung wisatawan sebanyak 384 orang, sedangkan pada sat air laut pasang, pantai tersebut dapat menampung wisatawan sebanyak 192 orang. Sementara itu, pantai Tanjung Tinggi dapat menampung wisatawan sebanyak 138 orang pada saat air laut sedang surut dan 59 orang pada saat air laut sedang pasang. Karena pantai Tanjung Kelayang dan pantai Tanjung Tinggi memiliki tipe pasut diurnal dengan periode pasut 24 jam (1 hari), yang menyebabkan saat pasang dan surut tidak pada waktu yang selalu sama, maka akan lebih baik jika nilai jumlah wisatawan tersebut dirata-ratakan, sehingga didapatkan rata-rata daya dukung jumlah wisatawan per hari di kedua pantai tersebut. Dengan demikian, diketahui bahwa objek wisata pantai Tanjung Kelayang memiliki daya dukung sebesar ± 288 wisatawan per hari, sementara itu, objek wisata pantai Tanjung Tinggi memiliki daya dukung sebesar ± 98 orang wisatawan per hari. Informasi yang didapat dari pihak pengelola mengatakan bahwa jumlah kunjungan wisatawan di pantai Tanjung Kelayang rata-rata adalah tidak kurang dari 300 wisatawan/hari, sedangkan di Pantai Tanjung Tinggi tidak kurang dari 500 wisatawan/hari. Berdasarkan kondisi tersebut, maka pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi sudah melebihi batas daya dukung pantainya. Daya Dukung Ekologi Wisata Selam dan Snorkeling Daya dukung wisata selam dan snorkeling pada penelitian ini adalah berapa banyak jumlah wisatawan yang dapat ditampung oleh ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai tersebut dalam sehari. Untuk dapat mengetahui seberapa besar daya dukung tersebut menggunakan persamaan Cifuentes (1992), maka diperlukan data mengenai luasan area terumbu karang yang diperuntukkan untuk wisata selam dan snorkeling tersebut. Adapun luasan karang di tiap stasiun pengamatan seperti yang disajikan pada Tabel 14. Daya Dukung Ekologi Wisata Selam dan Snorkeling di Pantai Tanjung Kelayang Berdasarkan data luasan ekosistem terumbu karang di tiap stasiun pengamatan tersebut, maka dapat diketahui besarnya daya dukung ekologinya. Adapun hasil penghitungan daya dukung ekologi ekosistem terumbu karang yang terdapat di pantai Tanjung Kelayang untuk wisata selam dan snorkeling seperti yang disajikan pada Tabel 15.
49
Tabel 14 Luas ekosistem terumbu karang di tiap stasiun pengamatan Lokasi Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Luas total Stasiun 5 Stasiun 6 Luas total Sumber : data primer
Luas Terumbu Karang (m2) 7340,6 1660,5 1566,1 1088,9 11656,1 13215 9716 22931
Tabel 15 Nilai daya dukung ekologi untuk wisata selam dan snorkeling beserta jumlah wisatawan per trip di pantai Tanjung Kelayang Lokasi DDsel St 1 58 St 2 13 St 3 12 St 4 8 Total 91 Sumber : data primer
DDsnor 48 11 10 7 76
Σ sel/trip 14 3 3 2 22
Σ snor/trip 24 5 5 3 37
Hasil interview terhadap pelaku wisata yaitu operator kapal dan pemandu wisata di pantai Tanjung Kelayang tersebut, diketahui bahwa rata-rata wisatawan yang melakukan penyelaman per hari adalah sebanyak 15 orang. Dari data daya dukung di atas, dapat diketahui bahwa pemanfaatan ekosistem terumbu karang di perairan pantai Tanjung Kelayang tersebut masih jauh di bawah daya dukungnya. Sebenarnya hanya terdapat 1 lokasi yang sesuai untuk melakukan penyelaman di perairan pantai Tanjung Kelayang tersebut, yaitu di stasiun 4. Hal tersebut dikarenakan faktor kedalaman perairan di stasiun 1, 2, dan 3 tidak sesuai untuk melakukan penyelaman yaitu hanya rata-rata sedalam 1,5 meter. Dengan demikian bila memang penyelaman wisatawan tersebut dilakukan di stasiun 4, maka dapat dikatakan pemanfaatan ekosistem terumbu karang di stasiun 4 tersebut telah melebihi daya dukungnya. Hasil pengamatan terhadap ekosistem terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan karang yang rentan terhadap kerusakan akibat kayuhan fin di perairan pantai Tanjung Kelayang menunjukkan bahwa terdapat tiga stasiun dengan persen penutupan karang dengan bentuk pertumbuhan ACB+ACT+CB+CF yang nilainya berkisar antara 20% - 40% yaitu terdapat pada stasiun 1, 2 dan 3. Sedangkan pada stasiun 4, tutupan karang dengan bentuk pertumbuhan ACB+ACT+CB+CF > 40%. Hal tersebut menunjukkan bahwa karang-karang yang terdapat di stasiun 1, 2 dan 3 cukup rentan untuk terjadi kerusakan akibat terkena kayuhan fin penyelam. Sedangkan di stasiun 4, karangkarang di tempat tersebut sangat rentan dan terjadi kerusakan akibat dari kayuhan fin penyelam. Adapun nilai tutupan karang dengan bentuk pertumbuhan
50
ACB+ACT+CB+CF di perairan pantai Tanjung Kelayang seperti yang tertera pada Tabel 16 berikut : Tabel 16 Persen penutupan karang hidup dengan bentuk pertumbuhan ACB, ACT, CB, CF di perairan pantai Tanjung Kelayang. Lokasi ACB+ACT+CB+CF (%) Tanjung Kelayang St. 1 21,34 St. 2 20,14 St. 3 22,26 St. 4 53,14 Sumber : data primer
Daya Dukung
Kerentanan
Sedang Sedang Sedang Rendah
Cukup rentan Cukup rentan Cukup rentan Rentan
Bila data tersebut divisualisasikan dalam bentuk gambar maka kondisi kerentanan dan daya dukung ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Kelayang adalah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Daya Dukung Ekologi Wisata Selam dan Snorkeling di Pantai Tanjung Tinggi Hasil penghitungan daya dukung ekologi untuk wisata selam dan snorkeling di pantai Tanjung Tinggi dengan menggunakan persamaan Cifuentes (1992) adalah seperti yang disajikan pada Tabel 17.
Gambar 6
Peta daya dukung dan kerentanan ekosistem terumbu karang di perairan pantai Tanjung Kelayang terhadap kerusakan akibat kayuhan fin penyelam.
51
Tabel 17 Nilai daya dukung ekologi untuk wisata selam dan snorkeling beserta jumlah wisatawan per trip di pantai Tanjung Tinggi Lokasi DDsel St 5 105 St 6 77 Total 182 Sumber : data primer
DDsnor Σ sel/trip 88 26 64 19 152 45
Σ snor/trip 44 32 76
Hasil pengamatan dan interview dengan pelaku usaha wisata yaitu pekerja rumah makan di pantai Tanjung Tinggi, diketahui bahwa hampir tidak pernah dilakukan aktivitas penyelaman di ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan tersebut. Jenis aktivitas wisata bahari yang terlihat dilakukan oleh wisatawan adalah snorkeling, itu pun hanya terlihat pada hari libur saja (hari sabtu dan minggu). Rata-rata jumlah wisatawan yang melakukan snorkeling di ekosistem terumbu karang di perairan pantai Tanjung Tinggi ini pada hari libur tersebut adalah sebanyak 5 orang wisatawan. Jumlah tersebut tentu saja masih sangat jauh dibandingkan hasil penghitungan daya dukung ekologi untuk jenis wisata snorkeling pada Tabel 17 di atas. Tidak adanya wisatawan yang melakukan aktivitas wisata menyelam di ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan pantai Tanjung Tinggi ini mungkin dikarenakan profil ekosistem terumbu karangnya yang sedikit curam dan kelihatan seram karena berada di bawah batu-batu granit besar yang terdapat di sepanjang pantai. Sehingga wisatawan lebih tertarik untuk melakukan snorkeling di dalam teluk pantai karena memiliki perairan yang tenang akibat terlindung oleh susunan bebatuan granit yang besar-besar tersebut. Padahal bila dilihat persen penutupan karang hidup yang masih tergolong baik dan kondisi perairan yang lebih tenang sepanjang tahun sudah cukup menjadi alasan bahwa ekosistem terumbu karang tersebut potensial untuk dijadikan lokasi wisata menyelam. Selain itu, letak ekosistem terumbu karang yang dekat dari pantai dan tidak memerlukan perahu untuk mencapai lokasi tersebut bisa menjadi nilai tambah ekosistem terumbu karang di perairan ini untuk dijadikan sebagai destinasi wisata selam. Hal tersebut dikarenakan wisatawan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk sewa perahu untuk menuju ke lokasi penyelaman. Pengamatan terhadap ekosistem terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan karang yang rentan terhadap kerusakan akibat kayuhan fin pada 2 stasiun pengamatan (stasiun 5 & 6) di perairan pantai Tanjung Kelayang menunjukkan bahwa stasiun 5 memiliki persen penutupan karang dengan bentuk pertumbuhan ACB+ACT+CB+CF sebesar 28,92% atau dapat dikatakan cukup rentan dan daya dukungnya sedang. Sedangkan pada stasiun 6, tutupan karang dengan bentuk pertumbuhan ACB+ACT+CB+CF adalah sebesar 12,62% atau dapat dikatakan kurang rentan untuk terjadinya kerusakan akibat kayuhan fin penyelam dan memiliki daya dukung yang baik. Kondisi kerentanan dan daya dukung ekosistem terumbu karang di perairan Tanjung Tinggi tersebut divisualisasikan seperti pada Gambar 7.
52
Gambar 7
Peta daya dukung dan kerentanan ekosistem terumbu karang di perairan pantai Tanjung Tinggi terhadap kerusakan akibat kayuhan fin penyelam Daya Dukung Akomodasi Wisata
Akomodasi sering kali menjadi kendala bagi wisatawan untuk berwisata ke suatu objek wisata. Akomodasi wisata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penginpan atau hotel tempat menginapnya wisatawan di lokasi objek wisata dan jumlah atau kapasitas rumah makan/restoran yang tersedia. Berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa pelaku industri wisata, kendala utama dalam penyediaan akomodasi bagi wisatawan adalah minimnya jumlah hotel dan penginapan yang tersedia. Tentu saja hal tersebut dapat menjadi hambatan dan kendala bagi wisatawan untuk dapat menikmati kunjungan wisatanya ke objek wisata tersebut, khususnya bagi wisatawan yang berasal dari luar daerah untuk melakukan perjalanan wisatanya. Tersedianya penginapan di dalam kawasan suatu objek wisata selain dapat menjadi tempat melepas lelah dan beristirahat bagi wisatawan, juga dapat memberikan nuansa yang lebih bagi para wisatawan dengan menikmati suasana malam di objek wisata tersebut tanpa harus datang dan masuk ke kawasan wisata pada malam hari. Dengan demikian, maka daya dukung akomodasi/penginapan dapat dikatakan sebagai berapra banyak kamar dan tempat tidur yang dapat dipergunakan oleh wisatawan yang tersedia di suatu objek wisata. Kesesuaian antara jumlah kamar dan tempat tidur yang tersedia dengan jumlah wisatawan yang menginap diharapkan dapat memberikan pelayanan dan kenyamanan yang optimal kepada wisatawan. Selain itu, pemanfaatan fasilitas yang sesuai dengan kapasitas dan peruntukannya akan membuat daya tahan dan daya pakai fasilitas tersebut menjadi lebih lama. Berdasarkan hasil survey, di
53
dalam wilayah pantai Tanjung Kelayang terdapat penginapan berupa 8 buah “cottage” atau pondok-pondok dengan sebuah kamar dan di dalamnya terdapat fasilitas satu atau dua tempat tidur dengan kapasitas 2 orang per kamar. Walaupun tiap kamar tersebut dapat diisi lebih dari dua orang untuk menginap, namun berdasarkan jumlah tempat tidur yang tersedia, dan untuk memberikan kenyamanan optimal bagi wisatawan, maka dapat dikatakan daya dukung penginapan di pantai Tanjung Kelayang adalah sebanyak 16 orang. Namun, sepertinya kapasitas tampung wisatawan di pantai Tanjung Kelayang sepertinya akan bertambah, karena ketika penelitian ini dilaksanakan, sedang dilakukan pembangunan beberapa tempat penginapan lagi. Sementara itu di dalam kawasan pantai Tanjung Tinggi tidak terdapat penginapan atau hotel. Hanya saja tidak jauh dari pantai tersebut terdapat sebuah hotel dengan waktu tempuh ± 10 – 15 menit dengan berjalan kaki dan dapat dicapai dalam waktu < 5 menit dengan kendaraan bermotor. Hotel yang berupa cottage tersebut memiliki total 19 kamar, yang juga berarti bila dalam satu kamar diperuntukkan untuk 2 orang, maka memiliki kapasitas atau daya tampung sebanyak 38 wisatawan. Selain membutuhkan tempat untuk beristirahat, wisatawan juga pasti membutuhkan makanan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya selama melakukan perjalanan wisata. Bahkan, seringkali wisatawan datang ke pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi baik bersama keluarga maupun teman hanya untuk dapat menikmati menu seafood yang disediakan oleh rumah makan di pinggir pantai tersebut. Menikmati hidangan seafood yang baru dimasak dan menggunakan bahan masakan yang segar serta ditambah dengan pemandangan pantai dan laut mungkin memberikan nuansa yang berbeda bagi wisatawan tersebut. Hal tersebut sebenarnya bisa menjadi suatu peluang untuk dikembangkannya jenis wisata yang lain semisal wisata kuliner hidangan seafood. Namun sayangnya, dari sekian banyak rumah makan yang terdapat baik di pantai Tanjung Kelayang maupun pantai Tanjung Tinggi, jenis masakan yang ditawarkan adalah sama dan tidak ada variasinya, sehingga sepertinya perlu dilakukan diversifikasi produk olahan seafood tersebut bila nantinya dikembangkan juga jenis wisata kuliner tersebut. Berdasarkan hasil survey, diketahui bahwa di pantai Tanjung Kelayang terdapat terdapat sebuah restoran di dekat lokasi penginapan dengan kapasitas ± 50 orang. Selain itu terdapat 17 rumah makan lainnya di sekitar pantai dengan rata-rata daya tampung pengunjung sebanyak 25 orang. Rumah makan tersebut biasanya mulai buka jam 09:00 pagi dan tutup jam 09:00 malam, atau dapat dikatakan buka selama 12 jam. Bila dalam suasana santai seorang pengunjung dapat menghabiskan waktu makan selama 1 jam, maka daya tampung pengunjung rumah makan yang terdapat di pantai Tanjung Kelayang adalah sebanyak 5.700 pengunjung setiap harinya. Sementara itu di pantai Tanjung Tinggi terdapat sebanyak 23 rumah makan juga dengan daya tampung rata-rata 25 orang per rumah makan. Dengan waktu menerima pengunjung juga selama 12 jam, maka daya tampung rumah makan tersebut adalah 6.900 pengunjung setiap harinya. Catatan : Waktu yang dibutuhkan wisatawan untuk makan adalah 2-3 jam (ratarata 2,5 jam) karena dibutuhkan waktu untuk mempersiapkan/memasak makanan yang dipesan.
54
Daya Dukung Air Tawar Ketersediaan air tawar merupakan hal yang mutlak ada di dalam suatu objek atau kawasan wisata. Hal tersebut dikarenakan wisatawan sangat membutuhkan air tawar untuk pemenuhan kebutuhan air minum dan keperluan lainnya, juga merupakan penunjang kenyamanan aktivitas wisata. Berdasarkan pengamatan di dalam kawasan objek wisata pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi, air bersih dibutuhkan oleh wisatawan untuk buang air, mandi atau membilas badan setelah bermain pasir, berenang di laut dan berjemur serta membersihkan diri sebelum beribadah. Namun demikian, ketersediaan air tawar bisa menjadi faktor pembatas jumlah wisatawan di dalam suatu objek wisata, semisal objek wisata di pulau-pulau kecil. Daya dukung air tawar yang dimaksud adalah seberapa banyak jumlah kebutuhan air wisatawan yang dapat dipenuhi oleh sumber air tawar yang terdapat di dalam kawasan objek wisata tersebut. Sehingga dapat juga didefinisikan sebagai seberapa banyak jumlah wisatawan yang ditampung di dalam kawasan objek wisata berdasarkan kebutuhan air tawar. Daya Dukung Air Tawar di Pantai Tanjung Kelayang Air tawar di dalam objek wisata pantai Tanjung Kelayang selalu tersedia baik di musim penghujan maupun musim kemarau. Sumber air tawar tersebut berasal dari sebuah sumur gali yang jaraknya ± 30 meter dari pantai berpasir. Di daerah Tanjung Kelayang dan sekitarnya air tanah mulai dijumpai pada kedalaman 2 meter lithologi pasir dan breksi. Sedangkan pada sumur dalam, air tanah baru ditemukan pada kedalaman 50 meter dari permukaan tanah. Kebutuhan air bersih di daerah ini dapat dipenuhi dengan menambah beberapa sumur bor dan bisa juga dengan memanfaatkan air yang ada di sungai-sungai, rawa dan danau setelah melalui proses pengolahan (Subardi & Rubiman, 1993). Saat ini air tawar tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah makan dan penginapan yang terdapat di dalam kawasan wisata. Berdasarkan keterangan dari pengelola cottage dan rumah makan tersebut, air tawar yang berasal dari sumur tersebut secara kuantitas bisa memenuhi kebutuhan wisatawan sampai saat ini. Namun secara kualitas, air yang berasal dari sumur tersebut sepertinya tidak layak dipergunakan sebagai air minum dan hanya bisa dipergunakan untuk keperluan di kamar mandi. Hal tersebut dikarenakan air tawar tersebut secara visual terlihat berwarna kuning kemerahan, walaupun air tersebut terasa tawar. Dalam istilah bahasa daerah Belitung, kondisi air seperti tersebut dikenal dengan nama “air terajak”. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa di wilayah pantai Tanjung Kelayang terdapat 9 sumur gali dan 1 sumur bor. Satu sumur gali dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang menginap di penginapan (cottage) dan di restoran penginapan tersebut, satu sumur tua yang jarang dipakai karena letaknya jauh dari daerah pusat aktivitas wisatawan dan kondisinya tidak terawat, 7 buah sumur di belakang rumah makan dan satu sumur bor yang baru dibuat bersamaan dengan pembangunan penginapan yang baru. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat 8 buah sumur gali yang sering dipergunakan untuk keperluan wisatawan di pantai Tanjung Kelayang tersebut. Untuk mengetahui debit sumur gali sebagai sumber air tawar bagi wisatawan, maka dilakukan
55
pengukuran debit air pada tiga buah sumur yang terletak di dekat rumah makan yang dianggap mewakili untuk mengetahui debit air sumur di wilayah pantai Tanjung Tinggi tersebut. Adapun hasil pengukuran debit ketiga sumur tersebut seperti yang disajikan pada Tabel 18 berikut : Tabel 18 Hasil pengukuran contoh sumur di pantai Tanjung Kelayang Sumur
LP (m^2) 0,36 0,36 0,36
S1 S2 S3 Rata-rata Sumber : data primer
H (m) 1 -
V (l) 360 200 200
T (mnt) 60 90 7
D (l/mnt) 6 2,22 28,57
D (l/hari) 8640 3200 41142,86 17660,95
Keterangan : LP = Luas permukaan sumur, H : Kedalaman air sumur yang berkurang akibat dihisap pompa, V = Volume air sumur yang terhisap pompa, T = Waktu yang dibutuhkan air sumur kembali ke volume awal, D = Debit air sumur. Berdasarkan hasil pengukuran debit air di ketiga sumur tersebut, diketahui bahwa rata-rata debit air sumur di kawasan pantai Tanjung Kelayang adalah sebesar 17.660,95 liter/hari. Sementara itu, WTO (1981) dalam DKP (2003) menyatakan bahwa konsumsi air bersih di penginapan yang terletak di daerah pesisir adalah 200-300 liter per hari. Kebutuhan air tawar oleh wisatawan di penginapan tersebut adalah biasanya hanya untuk mandi dan berbilas setelah berenang di laut atau bermain di pantai serta untuk keperluan buang air. Sedangkan untuk konsumsi biasanya wisatawan membeli air minum dalam kemasan. Dengan demikian, peruntukkan air tawar bagi wisatawan baik yang menginap ataupun yang tidak menginap dapat dikatakan sama. Bila dirataratakan, kebutuhan air tawar bagi wisatawan menurut WTO (1981) dalam DKP (2003) tersebut didapatkan banyaknya air tawar yang dibutuhkan wisatawan yang menginap per hari adalah sebesar 250 liter. Maka dapat diketahui daya dukung air tawar bagi wisatawan yang menginap tersebut adalah sebanyak 71 wisatawan per hari. Daya dukung jumlah wisatawan tersebut adalah jika diasumsikan bahwa hanya terdapat satu buah sumur di dalam kawasan pantai Tanjung Kelayang tersebut. Sementara itu, diketahui jumlah sumur yang biasa dipergunakan oleh wisatawan adalah sebanyak 8 buah sumur, sehingga didapatkan debit total dari kedelapan sumur tersebut adalah sebesar 141287,619 liter/hari. Bila nilai debit total tersebut dibagi dengan jumlah kebutuhan air wisatawan yang menginap, maka didapatkan daya dukung air tawar di pantai Tanjung kelayang adalah sebesar 565 wisatawan/hari. Selain wisatawan yang menginap di cottage yang tersedia, objek wisata pantai Tanjung Kelayang juga banyak dikunjungi oleh wisatawan yang tidak menginap dan hanya datang ke pantai untuk menikmati pemandangan pantai, berenang dan bermain pasir di pantai, atau hanya untuk menikmati hidangan masakan yang disediakan di restoran/rumah makan yang terdapat di pinggir pantai tersebut. Aktivitas wisata tersebut biasanya dilakukan pada siang hari, dengan demikian waktu yang tersedia bagi wisatawan yang tidak menginap tersebut untuk
56
berwisata adalah sebanyak 12 jam (setengah hari). Maka, dapat juga diasumsikan bahwa jumlah air tawar yang dibutuhkan oleh wisatawan yang tidak menginap tersebut adalah setengah dari kebutuhan wisatawan yang menginap atau sebanyak 125 liter per wisatawan. Dengan demikian, bila nilai total debit air sumur yang terdapat di kawasan pantai Tanjung Kelayang tersebut dibagi dengan kebutuhan air tawar wisatawan yang tidak menginap, maka dapat diketahui bahwa daya dukung air tawar di kawasan objek wisata pantai Tanjung Kelayang adalah sebesar 1130 orang wisatawan per hari. Daya Dukung Air Tawar di Pantai Tanjung Tinggi Di dalam kawasan pantai Tanjung Tinggi terdapat 23 buah sumur gali yang terletak di belakang rumah makan yang terletak di sepanjang pantai. Adapun pemanfaatan air sumur tersebut adalah untuk mencuci bahan-bahan makanan yang akan dimasak di rumah makan, untuk mencuci perabotan dapur, untuk wisatawan berbilas seusai berenang di laut dan untuk keperluan di kamar mandi. Sedangkan untuk keperluan konsumsi dipergunakan air yang diambil dari daerah perkampungan yang ditampung dalam jirigen dan dibawa ke pantai. Karakteristik air sumur di pantai Tanjung Tinggi dapat dibagi menjadi dua, yaitu air sumur yang tidak berwarna/bening dan air sumur yang berwarna kemerahan. Bila kita memasuki jalan utama menuju ke pantai, maka sumur-sumur rumah makan yang terletak di sisi kiri jalan adalah tidak berwarna/bening sedangkan sumur-sumur rumah makan yang terletak di sisi kanan jalan tersebut berwarna kemerahan. Lebih tepatnya terdapat 12 sumur yang airnya bening dan 11 sumur yang airnya berwarna kemerahan. Namun demikian peruntukkan pemanfaatan air tersebut adalah sama. Maka dari itu, diambil 3 contoh sumur yang dianggap mewakili kondisi sumur yang memiliki air bening dan 3 contoh sumur yang dianggap mewakili sumur-sumur yang memiliki air yang berwarna kemerahan. Sumursumur yang telah ditetapkan sebagai contoh tersebut kemudian diukur debit airnya yang kemudian data debit air sumur tersebut akan digunakan untuk menghitung daya dukung air tawar di kawasan pantai Tanjung Tinggi. Adapun hasil pengukuran debit air dari sumur-sumur contoh tersebut adalah seperti yang tertera pada Tabel 19 berikut : Tabel 19 Debit air sumur contoh di kawasan pantai Tanjung Tinggi Sumur
V (liter) 200 200 200 200 200 200
S1 S2 S3 S4 S5 S6 Rata-rata Sumber : data primer
T (mnt) 35 43 51 10 25 29
D (l/mnt) 5,71 4,65 3,92 20,00 8,00 6,89 8,19
D (l/hari) 8228,57 6697,67 5647,06 28800 11520 9931,03 11804,06
Keterangan : V = Volume air sumur yang terhisap pompa, T = Waktu yang dibutuhkan air sumur kembali ke volume awal, D = Debit air sumur.
57
Hasil penghitungan debit rata-rata sumur contoh di pantai Tanjung Tinggi adalah sebesar 11804,06 liter/hari. Bila nilai rata-rata debit sumur tersebut dikalikan dengan banyaknya jumlah sumur yang terdapat di sana yaitu sebanyak 23 sumur, maka diketahui debit total sumber air tawar yang berasal dari sumur di pantai Tanjung Tinggi adalah sebesar 271493,3 liter/hari. Dengan menggunakan nilai debit sumur total tersebut, maka dapat dihitung daya dukung air tawar di kawasan wisata pantai Tanjung Tinggi adalah sebesar 2172 wisatawan/hari. Strategi Pengelolaan Hasil pengukuran seluruh daya dukung ekologi di atas bila ditabulasi adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 20 berikut: Tabel 20 Tabulasi seluruh daya dukung ekologi Daya Dukung Wisata Pantai Daya Dukung Wisata Selam Daya Dukung Wisata Snorkeling Daya Dukung Akomodasi Daya Dukung Air Tawar Sumber : data primer
Tanjung Kelayang 288 91 76 16 1130
Tanjung Tinggi 98 182 152 38 2172
Berdasarkan data pada tabel di atas, diketahui bahwa bila dibandingkan dengan data hasil wawancara, maka untuk aktivitas wisata pantai, kedua objek wisata tersebut telah melewati daya dukungnya. Walaupun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kedua objek wisata tersebut selalu ramai dikunjungi oleh wisatawan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa wisatawan tetap merasa puas dengan pengalaman wisata pantainya. Namun, untuk meminimal terjadinya kerusakan lingkungan, sebaiknya wisatawan lebih diedukasi dengan cara pemasangan poster atau peringatan untuk tetap menjaga kelestarian dan keindahan alam. Bila dibandingkan dengan hasil wawancara dengan pihak pengelola, potensi perairan di kedua objek wisata tersebut ternyata belum termanfaatkan secara optimal. Hal tersebut dapat diketahui ternyata ekosistem terumbu karangnya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata bahari untuk aktivitas selam dan snorkeling. Minimnya jumlah penginapan di kedua objek wisata tersebut sepertinya bukan suatu hal yang logis terjadi, karena sebenarnya masih tersedia cukup banyak lahan untuk pembangunan penginapan/hotel dsb. Namun karena lahan-lahan tersebut telah dimiliki secara perorangan yang hanya berniat menguasai lahan, maka penyediaan fasilitas akomodasi penginapan tambahan sepertinya sulit untuk terealisasi, karena pemerintah daerah tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Salah satu solusinya adalah dengan mendorong masyarakat setempat untuk membuat penginapan sederhana (guess house). Air tawar sepertinya bukan suatu faktor pembatas untuk lebih mengembangkan pariwisata di kedua objek wisata tersebut. Hanya saja perlu dicarikan sumber alternatif lain untuk menyediakan air tawar yang layak konsumsi. Tidak hanya wisatawan yang perlu diedukasi untuk menjaga dan melestarikan lingkungan, namun stakeholder seperti pemilik rumah makan,
58
penginapan dan operator wisata juga harus diedukasi berkaitan dengan pengelolaan limbah dan sampah yang dihasilkan dari usaha mereka. Pengelolaan pariwisata ditujukan untuk mencapai pariwisata berkelanjutan. Sampah dan limbah merupakan masalah umum yang terjadi di dalam suatu kawasan wisata. Hal yang perlu diperhatikan adalah jangan sampai permasalahan sampah dan limbah tersebut menjadi persepsi negatif dan memberikan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi wisatawan yang berakibat pada tidak adanya niat wisatawan untuk berkunjung kembali di masa yang akan datang. Bila wisatawan telah menyadari dan memiliki persepsi negatif tentang suatu objek wisata, maka upaya pengelolaan secara preventif sudah terlambat untuk dilakukan (Leujak & Ormond 2007). Maka dari itu kebijakan berkaitan dengan pembangunan pariwisata harus didukung dari tingkat lokal, kabupaten dan provinsi. Pengelolaan daerah pesisir harus direncanakan menurut prinsip keberlanjutan yang membutuhkan penguatan kapasitas pada tingkat provinsi untuk mendukung pembangunan perlindungan lingkungan dan aktivitas yang dilakukan oleh kabupaten. Dalam hal ini juga termasuk strategi pengelolaan pengurangan polusi dan rencana aksi lingkungan setempat serta monitoring dan evaluasi kondisi lingkungan (Burak et al. 2004). Alegre & Jaume (2010) menyatakan bahwa pembuat kebijakan di daerah tujuan wisata harus membuat usaha yang sama untuk meningkatkan aspek positif dan mengkoreksi aspek negatif yang ada. Diketahuinya daya dukung wisata pantai, selam dan snorkeling dapat menjadi dasar untuk pengelolaan objek wisata pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi agar menjadi lebih baik lagi. Tingkat kepuasan pengunjung adalah hal yang perlu diperhatikan secara serius oleh pihak pengelola dan pemerintah daerah, karena hal tersebut dapat berpengaruh pada kenyamanan wisatawan saat berada di dalam kawasan objek wisata dan juga dapat berpengaruh pada jumlah pengunjung yang datang atau banyaknya pengunjung yang akan berkunjung kembali di masa datang. Hal yang perlu dilengkapi adalah fasilitasfasilitas penunjang wisata yang dapat digunakan oleh wisatawan seperti kamar bilas, kamar ganti dan mushola. Sebagai daerah yang sedang berupaya untuk mengembangkan sektor wisata, pemerintah dan pihak pengelola daerah harus lebih kreatif dalam membuat acara sebagai atraksi untuk menarik wisatawan datang berwisata. Namun, acara yang dibuat tersebut harus memperhatikan pertimbangan lain seperti meminimalkan resiko terhadap kerusakan lingkungan atau acara tersebut dibuat agar dapat mengakomodir beberapa kepentingan yaitu untuk menarik wisatawan agar datang berwisata dan sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan seperti kegiatan transplantasi terumbu karang. Kegiatan ini selain dapat mendatangkan wisatawan domestik dan mancanegara, juga dapat menjadi cara untuk meningkatkan kelas kesesuaian ekosistem terumbu karang yang terdapat di perairan tersebut untuk dijadikan objek wisata selam dan snorkeling. Kegiatan tersebut pun harus tepat sasaran agar tidak membuang dana dan anggaran secara percuma. Adapun cara yang dapat dilakukan agar acara yang diselenggarakan tersebut tepat sasaran adalah dengan melibatkan akademisi dan kajian ilmiah dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tersebut. Lokasi yang dapat dijadikan tempat untuk pelaksanaan kegiatan transplantasi terumbu karang tersebut adalah daerah ekosistem terumbu karang yang memiliki persen tutupan karang hidup < 75% yaitu stasiun 2 dan 3 yang
59
terletak di perairan Tanjung Kelayang. Selain itu, kegiatan transplantasi terumbu karang tersebut juga sebaiknya dilakukan di ekosistem terumbu karang yang memiliki jenis lifeform karang yang sedikit yaitu di stasiun 5 yang terletak di perairan Tanjung Tinggi. Transplantasi terumbu karang tersebut diharapkan dapat meningkatkan persen tutupan karang hidup, menambah jumlah lifeform karang, yang dapat menjadi pemicu berkumpulnya ikan karang di tempat tersebut dan akan berdatangan spesies-spesies baru ke ekosistem terumbu karang tersebut. Kondisi ekosistem terumbu karang yang baik dan banyaknya ikan karang merupakan daya tarik utama bagi penyelam dan pesnorkeling untuk datang berwisata. Ikan karang dan kondisi terumbu karang merupakan atribut kunci yang mempengaruhi pengalaman menyelam (Uyarra dkk 2009). Kondisi atribut-atribut biologi di suatu daerah penyelaman mempengaruhi kesenangan para penyelam. Oleh karena itu, untuk menjaga daya tarik daerah penyelaman, upaya harus ditargetkan pada melindungi dan menjaga semua atribut karang pada tingkat yang membuat penyelam sangat senang dan memuaskan (Mercado & Lassoie 2002). Hal tersebut berarti semakin baik kondisi ekosistem terumbu karang dan banyak jenis dan kelimpahan ikan karang di suatu ekosistem terumbu karang, akan meningkatkan kepuasan wisatawan yang melakukan aktivitas menyelam dan bersnorkeling. Peningkatkan kelimpahan dan ukuran ikan, dan kontrol yang lebih ketat terhadap pembangunan di pesisir untuk memelihara tutupan karang yang tinggi dan jarak pandang di dalam air (Mora 2008) akan menjadi strategi pengelolaan yang efektif untuk mendapatkan peningkatan kondisi atribut karang yang sangat bernilai bagi penyelam (Uyarra et al. 2009). Pariwisata hanya akan berjalan baik, berkelanjutan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat bila stakeholder berkoordinasi membentuk jaringan yang baik. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi seluruh pelaku wisata agar tidak menimbulkan masalah-masalah baru yang dapat menghambat pembangunan dan perkembangan pariwisata itu sendiri. Dalam industri pariwisata masal yang berbasis pada keindahan alam, kelestarian dan keindahan alam menjadi syarat yang mutlak untuk dijaga dan diperhatikan. Maka dari itu perlu dilakukan inisiasi untuk lebih menguatkan jaringan yang telah ada agar semua lembaga maupun perorangan yang terlibat bisa terus mendapatkan keuntungan dari industri pariwisata tersebut. Inisiasi kolaborasi jaringan lingkungan antara perusahaan wisata dan organisasi lainnya harus lebih memperhatikan pembangunan pariwisata berkelanjutan (Erkus et al. 2010).
60
5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat disarikan pada penelitian ini adalah : 1. Hasil rata-rata persen penutupan karang hidup di perairan Tanjung Kelayang adalah sebesar 78,625% sedangkan di perairan Tanjung Tinggi adalah sebesar 76,8%, nilai tersebut menunjukkan bahwa kondisi ekosistem terumbu karang masih tergolong sangat baik. Untuk aktivitas wisata snorkeling di perairan Tanjung Kelayang, terdapat 1 lokasi yang terkategori sangat sesuai, yaitu di stasiun 1, sedangkan stasiun pengamatan lainnya terkategori cukup sesuai. Kesesuaian untuk aktivitas wisata selam seluruh stasiun pengamatan di perairan Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi terkategori cukup sesuai. 2. Daya dukung untuk aktivitas wisata pantai di pantai Tanjung Kelayang adalah sebesar 288 wisatawan/hari dan di pantai Tanjung Tinggi adalah sebesar 98 wisatawan/hari. Daya dukung tersebut lebih kecil dibandingkan jumlah wisatawan yang datang berwisata. Hal ini dikarenakan penghitungan daya dukung hanya berdasarkan hamparan pasir putih di sepanjang pantai bukan berdasarkan seluruh ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh wisatawan. 3. Perairan pantai Tanjung Kelayang memiliki daya dukung sebesar 91 wisatawan/hari untuk wisata selam dan 76 wisatawan/hari untuk snorkeling, sedangkan di pantai Tanjung Tinggi, daya dukung untuk wisata selam adalah sebesar 182 wisatawan dan 152 wisatawan/hari untuk wisata snorkeling. Daya dukung wisata snorkeling yang dilakukan untuk menikmati keindahan ekosistem terumbu karang tersebut lebih kecil dibandingkan daya dukung wisata selam dikarenakan waktu yang dibutuhkan wisatawan untuk melakukan snorkeling lebih lama dibandingkan selam. Selain itu, alokasi waktu yang tersedia untuk bersnorkeling lebih singkat dibanding untuk menyelam. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan di atas, maka hal-hal yang dapat disarankan adalah : 1. Penelitian sebaiknya dilakukan lebih lama untuk mendapatkan data time series, sehingga hasil yang didapat dapat lebih baik lagi. 2. Parameter dan kriteria untuk menentukan kesesuaian dan daya dukung wisata selam dan snorkeling sebaiknya juga mempertimbangkan biota berbahaya yang terdapat di lokasi penelitian. 3. Penentuan daya dukung untuk wisata selam dan snorkeling sebaiknya menggunakan lebih banyak parameter seperti dengan mempertimbangkan jenis-jenis karang yang sangat rentan rusak akibat kayuhan fin wisatawan.
61
DAFTAR PUSTAKA Abernethy VD. 2001. Carrying capacity: The tradition and policy implications of limits. Ethics in Science and Environmental Politics ESEP, 23, 9–18. Alegre J & Jaume G. 2010. Tourist Satisfaction and Dissatisfaction. Annals of Tourism Research, Vol. 37, No. 1, pp. 52–73. Elsevier Ltd. All rights reserved. Great Britain. Allen WH. 1992. Increased dangers to Caribbean marine ecosystems. Bioscience: 42(5):330–5. Allen G. 1999. A Field Guide for Anglers and Divers : Marine Fishes of SouthEast Asia. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore. Aryanto R. 2003. Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702): Environmental Marketing pada Ekowisata Pesisir : Menggerakkan Ekonomi Rakyat Daerah Otonom. Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor. Bogor. [BAPPEDA Kab Belitung] Badan Prencana Pembangunan Daerah Kabupaten Belitung. 2003. Master Plan Etalase Perikanan dan Kelautan Kabupaten Belitung. Belitung. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 1996. Laporan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Kupang, Bakosurtanal. Cibinong. Barg UC. 1992. Guidelines for the promotion of environmental management of coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 122p. Barker NHL, Callum MR. 2004. Scuba diver behaviour and the management of diving impacts on coral reefs. Biological Conservation 120 (2004) 481– 489. Available at : www.elsevier.com/locate/biocon. Brotowidjoyo DM, D Tribowo, Eko M. 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Liberty, Yogyakarta Buckley R. 1999. An ecological perspective on carrying capacity. Annals of Tourism Research, 26(3), 705–708. Budeanu A. 2005. Impacts and responsibilities for sustainable tourism: a tour operator’s perspective. Journal of Cleaner Production 13 (2005) 89–97. Burak S, E Dogana, C Gazioglu. 2004. Impact of urbanization and tourism on coastal environment. Ocean & Coastal Management 47 515–527. Elsevier. [CAMP] Coastal Area Management Programme Fuka-Matrouh - Egypt. 1999. Carrying Capacity Assessment For Tourism Development. Mediterranean Action Plan. UNEP.
62
Ceballos-Lascurain H. 1993. Ecotourism as a worldwide phenomenon. diacu dalam: Lindberg K, Hawkins DE. (Eds.), Ecotourism: A Guide for Planners and Managers. The Ecotourism Society, North Bennington, VT. hlm. 175. Cifuentes AM. 1992. Determinacion de Capacidad de Carga Turistica en Areas Protegidas. CATIE, Turrialba, Costa Rica. Cooper C, Fletcher J, Gilbert D, Shepherd R, Wanhill S. 1998. Tourism principles and practice (2nd ed). Harlow: Longman. Costanza R. 2000. Social goals and the valuation of ecosystem services. Ecosystems 3. hlm. 4–10. Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dal Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. deVantier L, Turak E. 2004. Managing marine tourism in Bunaken National Park and Adjacent Waters North Sulawesi Indonesia. Jakarta: Technical Report, the Natural Resources Management (NRM III) Program’s Protected Areas and Agriculture Team (PA & AT). Departemen Konservasi dan Manajemen Lahan. 1997. RecData Site Description and Inventory. A manual for the development of a Recreation and Tourism Information System (RATIS). Department of Conservation and Land Management, Perth. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman Pengembangan Wisata Bahari Berbasis Masyarakat di Kawasan Konservasi Laut (KKL). DKP. Jakarta. Dowling RK. 1992. Tourism and environmental integration:the journey from idealism to realism. Progress in Tourism, Recreation and Hospitality Management, 4, 33–46. English S, C Wilkinson, V Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australian Marina Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institut of Marine Science. Erkus H¸ Ozturk, Ayda Eraydın. 2010. Environmental governance for sustainable tourism development: Collaborative networks and organisation building in the Antalya tourism region. Tourism Management. Elsevier. Fishelson L. 1995 Eilat littoral: Life on the red line of biodegradation. Isr. Journal of Zoology 41, 43±55. Garrabou J, Sala E, Arcas A, Zabala M. 1998. The impact of diving on rocky sublittoral communities: a case study of a Bryozoan population. Conservation Biology 12, 302–312.
63
Garrigos SFJ, Narangajavana Y, Marques DP. 2004. Carrying capacity in the tourism industry: a case study of Hengistbury Head. Tourism Management 25. 275–283. ELSEVIER. Getz D. 1982. A rationale and methodology for assessing capacity to absorb tourism. Ontario Geography 19: 92-101. Gomez ED dan HT Yap. 1998. Monitoring Reef Condition. Page: 187-195 in R. A. Kenchington dan B. E. T. Hudson (eds.), Coral Reef Management Hand Book. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Gossling S. 2001b. The consequences of tourism for sustainable water use on a tropical island: Zanzibar, Tanzania. Journal of Environmental Management 61 (2), 179–191. Gossling S. 2002. Global environmental consequences of tourism. Global Environmental Change. Elsevier Science Ltd. Hall CM. 1996. Environmental impact of tourism in the Pacific. diacu dalam: Hall CM, Page S. editor. Tourism in the Pacific: issues and cases. London: Routledge. hlm 65–80. Hall CM, Lew A. 1998. editor. Sustainable tourism development: geographical perspectives. London: Addison-Wesley, Longman. Hall CM. 2001. Trends in ocean and coastal tourism: the end of the last frontier?. Ocean & Coastal Management 44 (2001) 601–618. ELSEVIER. Hanna N, Wells S. 1992. Sea sickness. In Focus (Tourism Concern); 5:4–6. Harriott V J, Davies D, Banks SA. 1997. Recreational diving and its impact in marine protected areas in Eastern Australia. Ambio 26,173±179. Hawkins JP, Roberts CM. 1994. The growth of coastal tourism in the Red Sea: present and future effects on coral reefs. Ambio; 23(8):503–8. Hawkins JP, Roberts CM, Van’t Hof T, De Meyer K, Tratalos J, Aldam C. 1999. Effects of recreational scuba diving on Caribbean coral and fish communities. Conservation Biology 13, 888–897. Hohl AE, Tisdell ClA. 1995. Peripheral tourism development and management. Annals of Tourism Research, 22(3), 517–534. Hopley D, van Woesik R, Hoyal DCJD, Rasmussen CE, Steven ADL. 1993. Sedimentation resulting from road development, Cape Tribulation Area. Great Barrier Reef Marine Park Authority Technical Memorandum 24, Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville. Hunter C. 1995. Key concepts for tourism and the environment. diacu dalam: Hunter, C. & Green H. (eds.). Tourism and the Environment. A sustainable relationship? Routledge, London-New York. hlm. 52–92.
64
Hutabarat A, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani. 2009. Pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu. Bogor: Edisi I Pusdiklat Kehutanan, Deptan, SECEN-KOREA International Cooperation Agency. Inskeep, E. 1991. Tourism planning: An integrated and sustainable development approach. New York: Van Nostrand Reinhold. Ioannides, D. 1995. A flawed implementation of sustainable tourism: the experience of Akamas, Cyprus. Tourism Management, 16(8), 583–592. [IPCC] International Panel on Climate Change, 1996. In: Houghton et al. (Eds.). Climate Change 1995: The Science of Climate Change. Contribution of Working Group Ito the Second Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, USA. [KLH RI] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2004. Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari dan Biota Laut. KLH RI. Kuiter RH. 1992. Tropical Reef Fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent Waters. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indonesia Kuji T. 1991. The political economy of golf. AMPO. Japan-Asia Quarterly Review: 22(4):47–54. Laporan Team Coastal Area Management Program (CAMP). 1999. Mediteranian Action Plan : Carrying Capacity Accessment For Tourism Development. FUKA-MATROUTH. UNEP. Mesir. Laporan Team Laboratorium Perencanaan Lingkungan. 2001: Mendefinisikan, Menduga dan mengevaluasi Daya Dukung Pada Daerah Tujuan Wisata di Eropa. Universitas Aegen, Atena, Yunani. Leujak W, Ormond RFG. 2007. Visitor perceptions and the shifting social carrying capacity of south sinai’s coral reefs. Environmental Management 39:472–489 Lindberg K, Epler Wood M, Engeldrum D. 1998. Ecotourism: a guide for planners and managers, vol. 2. North Bennington:The Ecotourism Society. Lowe RH, Mc Connell. 1987. Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Cambridge University Press. New York. Mathieson A, Wall G. 1982. Tourism: Economic, physical and social impacts. New York: Longman. McIntosh RW, CR Goeldner. 1995 Tourism: Principles, Practices and Philosophies. New York: Wiley. Mercado L, Lassoie JP. 2002. Assessing tourists’ preferences for recreational and environmental management programs central to the sustainable
65
development of a tourism area in the Dominican Republic. Environmental Development and Sustainability 4:253–278. Mihalic T. 2000. Environmental management of a tourist destination. A factor of tourism competitiveness. Tourism Management, 21, 65–78. Miller ML dan Auyong J. 1991. Coastal zone tourism: a potent force affecting environment and society. Marine Policy;15(2):75–99. Miller M. 1993. The rise of coastal and marine tourism. Ocean & Coastal Management; 21(1–3): 183–99. Mora C. 2008. A clear human footprint in the coral reefs of the Caribbean. Proceedings of the Royal Society 275:767–773. Muchtar, M. 2002. Fluktuasi Nitrat dan Fosfat Pada Musim Peralihan Di Teluk Banten, Jawa Barat. Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI, Jakarta. Nagelkerken I, G van der Velde, MW Gorissen, GJ Meijer, T van’t Hof and C den Hartog. 2000. Importance of Mangroves, Seagrass Beds and the Shallow Coral Reef as a Nursery for Important Coral Reef Fishes, Using a Visual Census Technique. Estuarine, Coastal and Shelf Science 51, 31–44. Nybakken JW. 1999. Gramedia.
Biologi laut; suatu pendekatan ekologis.
Jakarta:
Orams MB. 1999. Marine tourism. Development, Impacts and Management. London:Routle dge. O'Reily AM. 1986. Tourism carrying capacity - Concept and issues. Tourism Management 7: 254-258. Cited in Martin & Uysal (1990). PAP/RAC. 1997. Guidelines for Carrying Capacity Assessment for Tourism in Mediterranean Coastal Areas. Priority Actions Programme Regional Activity Centre, Split. viii + 51 p. Papageorgiou K, Brotherton I. 1999. A management planning framework based on ecological, perceptual and economic carrying capacity: The case study of Vikos-Aoos National Park, Greece. Journal of Environmental Management, 56, 271–284. [PPRTKIM] Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim. 1995. Pemantapan Keterpaduan dan Pendayagunaan Potensi Sumberdaya Manusia, Iptek dan Kelembagaan Kelautan Nasional Menuju Kemandirian. Di dalam: Geologi Pantai Pulau Belitung dan Peluang Sebagai Pulau Wisata Bahari di Masa Yang Akan Datang. Prosiding Seminar Kelautan Nasional. Jakarta, 15-16 September 1995. Bab III. Hlm 3-4. Priskin J. 2001. Assessment of natural resources for nature-based tourism: the case of the Central Coast Region of Western Australia. Journal of Tourism Management 22 (2001) 637–648. ELSEVIER.
66
Raffaeli D, S Hawkins. 1994. Intertidal Ecology. Chapman and Hall. London. 356 +xi hal. Robertson AI. 1980. The structure and organization of an eelgrass fish fauna. Oecologia, 47, 76–82. Richard KF Unsworth, James J. Bell, and David J Smith. 2007. Tidal fish connectivity of reef and sea grass habitats in the Indo-Pacific. Journal Marine Biology. Ass. U.K. 87, 1287–1296. Reopanichkul P, RW Carter, Suchai Worachananant, CJ Crossland. 2009. Wastewater discharge degrades coastal waters and reef communities in southern Thailand. Marine Environmental Research. Elsevier. Roberts L, Harriott VJ. 1994. Recreational scuba diving and its potential for environmental impact in a marine reserve. In: Bellwood, O., Choat, H., Saxena, N. (Eds.), Recent Advances in Marine Science and Technology 1994. James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia, pp. 695–704. Rouphael T, Inglis G. 1995. The effects of qualified recreational SCUBA divers on coral reefs. CRC Reef Research Centre Technical Report No. 4, Townsville, Australia, p. 39. Rouphael AB. 1997. The temporal and spatial patterns of impact caused by SCUBA diving in coral reefs, and the human and site specific characteristics that influence these patterns. Ph.D. Thesis, James Cook University of North Queensland, Townsville, Australia. Rouphael AB, Inglis GJ. 1997. Impacts of recreational scuba diving at sites with different reef topographies. Biological Conservation 82, 329–336. Rouphael AB, Inglis GJ. 2001. ‘‘Take only photographs and leave only footprints’’?: an experimental study of the impacts of underwater photographers on coral reef dive sites. Biological Conservation 100, 281– 287. Ryan C. 1991. Recreational Tourism: A Social Science Perspective. London: Routledge. Sale PF. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press. Callifornia. Salm RV. 1986. Coral reefs and tourist carrying capacity: The Indian Ocean experience. UNEP Industry and Environment Jan/Feb/Mar: 11-14. Saveriades A. 2000. Establishing the social tourism carrying capacity for the tourist resorts of the east coast of the Republic of Cyprus. Tourism Management, 21, 147–156. Sitepu PA. 2008. Kajian Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan Terumbu Karang Pada Zona Pemanfaatan Wisata Taman Nasional Kepulauan Seribu. Tesis
67
(Tidak Dipublikasikan). Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Supriharyono. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. x, 108 hlm 23 1/2 cm. [TCSP] Tourism Council of the South Pacific. Nature legislation and nature conservation as a part of tourism development in the Island Pacific: a report covering Cook Islands, Fiji, Kiribati, Niue, Papua New Guinea, Solomon Islands, Tonga, Tuvulu, Vanuatu and Western Samoa. Tourism Council of the South Pacific, Suva, 1988. Tribe J. 1997. The Indiscipline Of Tourism. Annals of Tourism Raearch, Vol. 24, No. 3, pp. 638457. Great Britain. Elsevier Science Ltd. [UBA]
Umweltbundesamt. 1998. Umweltbundesamt, Berlin.
Umweltdaten
Deutschland
1998.
[UNDP/UNEP/World Bank/WRI] United Nations Development Programme, United Nations Environment Programme, The World Bank, The World Resources Institute. 2000. World Resources 2000–2001. World Resources Institute, Washington DC. [U.S. EPA] US Environmental Protection Agency. 1972. Water Quality Criteria. EPA-R3-73-033-March 1973. p. 177. Uyarra MC, Andrew R, Watkinson. 2009. Managing Dive Tourism for the Sustainable Use of Coral Reefs: Validating Diver Perceptions of Attractive Site Features. Environmental Management 43:1–16. Springer Science+Business Media, LLC. Van Treek, Schumacher. 1998. Mass Diving Tourism : A New Dimension Calls for New Management Approaches. Bulletin Marine Polution Vol.37, Nos. 8-12, pp 499 – 504. Vitousek PM, Mooney HA, Lubchenco J, Melillo JM. 1997. Human domination of earth’s ecosystems. Science 277, 494–499. Walker B. 1988. Tourism and conservation:facilitation or competition. diacu dalam:B Faulkner, M Fagance (Eds.). Frontiers of Australian tourism: The search for new perspective’s in policy development research. Canberra:Bureau of Tourism Research. Wanhill St, Buhalis D. 1999. Introduction: Challenges of tourism in peripheral areas. International Journal of Tourism Research, 1, 295–297. Weaver D, Faulkner B, Lawton L. 1998. Nature-based tourism in Australia and Beyond: a preliminary investigation. CRC Tourism Work in Progress Report Series, Report 1, Griffith University. Weiler B, Hall CM. 1992. Special interest tourism. London: Bellhaven Press.
68
Wong PP. 1991. Coastal Tourism in South East Asia. ICLARM Education Series 13, 40p. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines. Wong PP. 1998. Coastal tourism development in Southeast Asia: relevance and lessons for coastal zone management. Ocean and Coastal Management, 38, 89–109. [WWF] World Wide Fund for Nature. 2001. Tourism threats in the Mediterranean. WWF Background information. WWF Switzerland. www.world-tourism.org. [WTO] World Tourism Organisation. 1981. Technical Handbook on the Collection and Presentation of Domestic and International Tourism Statistic. Madrid. [WTO, UNEP] World Wide Fund for Nature, United Nation Environment Program. 1992. Guidelines: Development of national parks and protected areas for tourism. UNEP-IE/PAC Technical Report 13. Prepared with the assistance of McNeely, J.A., Thorsell, J.W. & Ceballos-Lascurain, H. (IUCN). Yulianda F. 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Disampaikan pada Seminar Sains pada 21 Pebruari 2007 di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Zakai D, NE Chadwick-Furman. 2002. Impacts of intensive recreational diving on reef corals at Eilat, northern Red Sea. Biological Conservation 105, 179– 187.
69
LAMPIRAN
70
Lampiran 1 Hasil penghitungan tutupan ekosistem terumbu karang di tiap stasiun pengamatan. Stasiun 1 : Substrat Dasar Hard Coral : Death Coral : Death Coral With Algae : Others : Sponge : Macro Algae : Sand : Jumlah : Jmlh Life form : Stasiun 2 :
Pjg Transisi (cm) 3976 82 245 11 153 95 438 5000 10
Persen Cover (%) 79.52 1.64 4.9 0.22 3.06 1.9 8.76 100
Substrat Dasar Hard Coral : Death Coral : Death Coral With Algae : Rubble Others : Lamun : Sponge : Macro Algae : Asseblage Algae Turf Algae Sand : Jumlah : Jmlh Life form : Stasiun 3 :
Pjg Transisi (cm) 3680 12 391 78 27 191 35 195 198 9 184 5000 10+5
Persen Cover (%) 73.6 0.24 7.82 1.56 0.54 3.82 0.7 3.9 3.96 0.18 3.68 100 HC+LL
Substrat Dasar Hard Coral : Death Coral : Death Coral With Algae : Others : Sponge : Macro Algae : Asseblage Algae Lamun Sand : Jumlah : Jmlh Life form :
Pjg Transisi (cm) 3680 12 96 78 126 261 243 447 57 5000 10 +6
Persen Cover (%) 73.6 0.24 1.92 1.56 2.52 5.22 4.86 8.94 1.14 100 HC+LL
71
Lampiran 1 lanjutan Stasiun 4 Substrat Dasar Hard Coral : Soft Coral : Death Coral : Death Coral With Algae : Others : Sponge : Macro Algae : Asseblage Algae : Coraline Algae : Sand : Jumlah : Jmlh Life form : Stasiun 5 Substrat Dasar Hard Coral : Death Coral : Death Coral With Algae : Others : Sponge : Macro Algae : Asseblage Algae : Coraline Algae : Rubble : Sand : Jumlah : Jmlh Life form : Stasiun 6 Substrat Dasar Hard Coral : Soft Coral : Death Coral : Death Coral With Algae : Others : Sponge : Macro Algae : Asseblage Algae : Coraline Algae : Turf Algae : Zoanthid : Jumlah : Jmlh Life form :
Pjg Transisi (cm) 4389 57 198 76 60 31 47 17 26 99 5000 12+5
Persen Cover (%) 87.78 1.14 3.96 1.52 1.2 0.62 0.94 0.34 0.52 1.98 100 HC+LL
Pjg Transisi (cm) 3905 370 340 224 36 38 8 36 37 6 5000 8+5
Persen Cover (%) 78.1 7.4 6.8 4.48 0.72 0.76 0.16 0.72 0.74 0.12 100 HC+LL
Pjg Transisi (cm) 3775 236 77 134 299 15 242 48 156 7 11 5000 10+8
Persen Cover (%) 75.5 4.72 1.54 2.68 5.98 0.3 4.84 0.96 3.12 0.14 0.22 100 HC+DLL
72
Lampiran 2 Hasil penghitungan jumlah family, spesies dan kelimpahan ikan karang di perairan Tanjung Kelayang. FAMILY Apogonidae
Caesionidae Chaetodontidae
Centriscidae Diodontidae Haemulidae Holocantridae Holocentridae Labridae
Lethrinidae Lutjanidae
Nemipteridae Pomacentridae
SPESIES Apogon leptacanthus Apogon compressus Apogon saelei Caesio cuning Chelmon rostratus Chaetodon octofasciatus Chaetodontoplus mesoleucus Aeoliscus strigatus Diodon liturosus Plectorhinchus caetodonoides Diagramma melanacrum Myripristis hexagonatus Sargocentron microstoma Myripristis hexagona Sargocentron praslin Anampses caeruleopunctatus Chaerodon anchorago Halichoeres chloropterus Halichoeres javanicus Halichoeres kneri Halichoeres leucurus Halichoeres melanurus Halichoeres miniatus Halichoeres ornatissimus Halichoeres trimaculatus Hemigymnus melapterus Labrichthys unilineatus Labroides bicolor Scarus ghobban Stethojulis zatima Thalassoma lunare Letrinus serricintus Lutjanus carponotatus Lutjanus russellii Lutjanus vitta Scolopsis margaritifer Scolopsis sp Abudefduf bengalensis Abudefduf sexfasciatus Abudefduf sordidus
JUMLAH 1 12 2 36 7 28 2 28 1 1 1 1 1 1 1 1 3 3 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 3 2 2 1 2 1 2 3 36 6
73
Lampiran 2 lanjutan FAMILY
SPESIES Abudefduf septemfasciatus Acanthochromis polyacanthus Amblyglyphidodon ternatensis Amphiprion frenatus Amphiprion melanopus Amphiprion percula Chromis amboinensis Chromis delta Chromis lepidolepis Chromis opercularis Chromis ternatensis Chromis weberi Chrysiptera bleekeri Chrysiptera rex Dascillus trimaculatus Dischistodus chrysopoecilus Dischistodus prosopotaenia Hemiglyphydodon plagiometopon Neopomacentrus filamentosus Pomacentrus javanicus Pomacentrus grammorhynchus Paracentropyge multifasciata Pomacentrus taeniometopon Pomacentrus tripunctatus Scaridae Scarus oviceps Siganidae Siganus virgatus Siganus virgatus Juvenil siganid Synodontidae Synodus variegatus Kelimpahan total =
JUMLAH 8 40 3 7 2 16 20 2 12 1 5 3 2 1 16 1 18 34 1 1 13 1 1 6 1 2 15 217 1 652
74
Lampiran 3 Hasil penghitungan jumlah family, spesies dan kelimpahan ikan karang di perairan Tanjung Tinggi. FAMILY Apogonidae
SPESIES Apogon endekataenia Cheilodipterus sp Apogon compressus Carangidae Selar boops Caesionidae Caesio cuning Centriscidae Aeoliscus strigatus Chaetodontidae Chaetodon octofasciatus Chelmon rostratus Labridae Anampses caeruleopunctatus Chaerodon anchorago Cheilinus fasciatus Coris dorsomaculata Halichoeres chloropterus Halichoeres leucurus Halichoeres melanochir Halichoeres ornatissimus Halichoeres trimaculatus Hemigymnus fasciatus Hemigymnus melapterus Novaculichthys taeniourus Lutjanidae Lates calcarifer Lutjanus bengalensis Lutjanus carponotatus Lutjanus fulfiflamma Lutjanus vitta Monacanthidae Pseudalutarius nasicornis Nemipteridae Pentapodus bifasciatus Pomacentridae Abudefduf bengalensis Abudefduf sexfasciatus Acanthochromis polyacanthus Amblyglyphidodon ternatensis Chromis weberi Dischistodus prosopotaenia Hemiglyphydodon plagiometopon Neoglyphydodon bonang Pomacentrus grammorhynchus Stegastes fasciatus Stegastes fasciolatus Scaridae Scarus dimidiatus Scarus ghobban Kelimpahan Total =
JUMLAH 1 42 34 340 1 32 7 1 1 2 1 2 7 1 2 3 3 2 2 1 4 1 3 2 4 2 2 2 4 26 3 2 8 28 1 4 1 2 3 1 588
75
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mengkubang Kabupaten Belitung Timur pada tanggal 05 April 1985. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara dari pasangan Sahani Saleh dan Asmara. Tahun 1996, penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 11 Tanjungpandan, lulus dari SMPN 8 Tanjungpandan pada tahun 1999, dan pada tahun 2002 penulis lulus dari SMAN 1 Tanjungpandan. Tahun 2003 melanjutkan pendidikan strata satu pada Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan dan menyelesaikannya pada tahun 2007. Tahun 2009 penulis berkesempatan melanjutkan Studi Magister di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan berhasil menyelesaikan studi pada tahun 2013.