EFEKTIVITAS AWIG-AWIG DALAM PENGATURAN KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN DI PANTAI KEDONGANAN BALI
TYAS WIDYASTINI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Awig-awig dalam Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan di Pantai Kedonganan Bali adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013 Tyas Widyastini NIM: I34090017
ABSTRAK TYAS WIDYASTINI. Efektivitas Awig-awig dalam Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan di Pantai Kedonganan Bali. Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan di Pantai Kedonganan Bali. Awig-awig adalah salah satu dari bentuk hukum adat yang berada di Bali dan merupakan hukum yang hidup dan dibuat oleh masyarakat adat sebagai pedoman bertingkah laku dalam pergaulan hidup masyarakat. Awig-awig berisi sekumpulan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlandaskan pada filosofi ajaran Agama Hindu yaitu Tri Hita Karana. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui mengenai pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan. Responden dalam penelitian ini adalah nelayan pribumi dan pendatang yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di sekitar pesisir kedonganan. Terdapat perbedaan pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap masing-masing aturan dalam Awig-awig baik bagi nelayan pribumi maupun nelayan pendatang. Efektivitas Awig-awig dapat diketahui dari jumlah pelanggaran yang dilakukan nelayan terhadap masing-masing aturan, sanksi yang tegas, sosialisasi yang dilakukan, petugas yang melakukan kontrol dan kesadaran nelayan. Kata kunci : Awig-awig, efektivitas Awig-awig, nelayan
ABSTRACT TYAS WIDYASTINI. The Effectiveness of Awig-awig in Livelihood Arrangements of Fishing Community in Kedonganan Beach. Supervised by ARYA HADI DHARMAWAN. The purpose of this study is to analyze the effectiveness of Awig-awig in the livelihood arrangements of fishing community. Awig-awig is one of customary law in Bali and an existing law and made by indigenous people as guide to behave in social interaction. Awig-awig contains a set of rules, written or unwritten which is based on Hindu Philosopy Tri Hita Karana. This study also propose to understand about the knowledge, understanding and implementation of fishers to Awig-awig which arrange the livelihood of fishing community. The respondents of this research were indigenous and migrant fishers who are usually undertake fishing activities in Kedonganan Beach. There are difference in the knowledge, understanding and implementation to each rule in Awig-awig, either for indigenous fishers or migrant fishers. The effectiveness of Awig-awig can be known from the number of rule violations, strict sanction, intensive socialization, officers who did control and awareness of fishers. Keywords : Awig-awig, the effectiveness of Awig-awig, fishers
EFEKTIVITAS AWIG-AWIG DALAM PENGATURAN KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN DI PANTAI KEDONGANAN BALI
TYAS WIDYASTINI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi Nama N1M
: Efektivitas Awig-awig dalam Pengaturan Kerudupan Masyarakat Nelayan di Pantai Kedonganan Bali : Tyas Widyastini : 134090017
Disetujui oleh
DrIr
Tanggal Lulus:
1 2 JUL 2013
Judul Skripsi Nama NIM
: Efektivitas Awig-awig dalam Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan di Pantai Kedonganan Bali : Tyas Widyastini : I34090017
Disetujui oleh
Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, MSc Agr Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ________________
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efektivitas Awig-awig dalam Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan di Pantai Kedonganan Bali” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat untuk mendapat gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya tak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Arya Hadi Dharmawan, M.Sc Agr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak arahan, saran, dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta Papa Sumartono dan Mama Ida Widayanti, kakak tersayang Yan Widyantono serta keluarga besar yang selalu berdoa dan melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. Tidak lupa terimakasih juga penulis sampaikan kepada sahabat terbaik Tyo Nugroho yang telah memberi semangat yang luar biasa dalam proses penulisan laporan ini serta terimakasih kepada Bella, Chiko, Rocky, Rheza, Renny, Fadil, Resa, Dika, Faris, Anggie, Linda, Shitta, Meong, Adis, Tami, Lidya, Ratu, Elbie, Agustin, Tiara, Aleng, Indra, Selvi, Molin, Denissa dan Gilang atas persahabatan yang indah selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman satu bimbingan Anan dan Ayu serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Juli 2013
Tyas Widyastini NIM. I34090017
DAFTAR ISI ABSTRAK
IV
PRAKATA
IV
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
V VIII X XI
BAB I
1
PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Masalah Penelitian
3
1.3 Tujuan Penelitian
4
1.4 Kegunaan Penelitian
4
BAB II
7
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.1 Kelembagaan
7
2.2 Kelembagaan Sosial
7
2.3 Masyarakat Nelayan
10
2.4 Wilayah Pesisir
11
2.5 Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir
11
2.6 Konsep Perilaku
12
2.7 Kerangka Pemikiran
14
2.8 Hipotesis
15
2.9 Definisi Operasional
15
BAB III
19
PENDEKATAN LAPANG
19
3.1 Metode Penelitian
19
3.2 Lokasi dan Waktu
19
3.3 Teknik Pengumpulan Data
19
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
20
BAB IV
23
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
23
4.1 Kondisi Geografis
23
4.2 Kondisi Ekonomi
24
vi
4.3 Kondisi Sosial
25
4.3.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat
25
4.3.2 Struktur Mata Pencaharian Penduduk
25
4.3.4 Struktur Keagamaan dan Budaya Penduduk
26
4.4 Potensi Sosial Budaya
26
4.5 Sistem Kemasyarakatan
27
4.6 Karakteristik Responden
29
BAB V
33
BENTUK AWIG-AWIG YANG MENGATUR KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN
33
5.1 Pendahuluan
33
5.2 Gambaran Norma dan Adat Masyarakat Desa Kedonganan
33
5.3 Bentuk Awig-awig dalam Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan
34
5.4 Tujuan Dibentuknya Awig-awig
37
5.4 Wujud Kontrol dan Sosialisasi Aturan Lokal
38
5.5 Ikhtisar
41
BAB VI
45
PENGETAHUAN, PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI NELAYAN PRIBUMI DAN PENDATANG TERHADAP AWIG-AWIG
45
6.1 Pendahuluan 6.2 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan Awig-awig Nomor Satu
45 terhadap 46
6.3 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awig-awig Nomor Dua
47
6.4 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awig-awig Nomor Tiga
50
6.5 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awig-awig Nomor Empat
52
6.6 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan Awig-awig Nomor Lima
54
terhadap
6.7 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awig-awig Nomor Enam
56
6.8 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awig-awig Nomor Tujuh
58
6.9 Tingkat Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Keseluruhan Awig-awig
60
6.10 Ikhtisar
62
BAB VII
67
EFEKTIVITAS AWIG-AWIG DALAM PENGATURAN KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN
67
7.1 Pendahuluan
67
7.2 Efektivitas Awig-awig Nomor Satu
67
7.3 Efektivitas Awig-awig Nomor Dua
68
7.4 Efektivitas Awig-awig Nomor Tiga
70
7.5 Efektivitas Awig-awig Nomor Empat
71
7.6 Efektivitas Awig-awig Nomor Lima
72
7.7 Efektivitas Awig-awig Nomor Enam
74
7.8 Efektivitas Awig-awig Nomor Tujuh
76
7.9 Ikhtisar
77
BAB VIII
79
PENUTUP
79
8.1 Kesimpulan
79
8.2 Saran
79
DAFTAR PUSTAKA
81
LAMPIRAN
83
RIWAYAT HIDUP
96
viii
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5
Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17
Tabel 18 Tabel 19
Tabel 20
Tabel 21
Lama bekerja sebagai nelayan Tingkat pendidikan nelayan Usia nelayan pribumi dan nelayan pendatang Jumlah nelayan pribumi dan nelayan pendatang berdasarkan status penguasaan kapital Jumlah nelayan pribumi dan nelayan pendatang berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan Penerapan filososofi Tri Hita Karana pada Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan berdasarkan tingkatan norma Ringkasan bentuk Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 1 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 2 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 3 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 4 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan pribumi terhadap Awig-awig nomor 5 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig Nomor 6 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 7 Persentase tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap keseluruhan Awig-awig Persentase perbandingan jumlah nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig Perbandingan pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-Awig Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 2 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 3 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 5 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan
29 30 30 31
31 38 40 43 46 48 50 52 54 56 58 60
61 65
69
70
73
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24
Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 5 berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 6 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 7 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan
73
75
76
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5
Kerangka pemikiran Peta kawasan kelurahan/desa Kedonganan Struktur mata pencaharian menurut sektor Tingkat pendidikan masyarakat Struktur mata pencaharian penduduk
14 23 24 25 26
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Denah lokasi penelitian Lampiran 2 Rencana kegiatan penelitian tahun 2013 Lampiran 3 Daftar nama kerangka sampling dan penelitian nelayan pribumi Lampiran 4 Daftar nama kerangka sampling dan penelitian nelayan pendatang Lampiran 5 Dokumentasi penelitian Lampiran 6 Kuesioner penelitian
83 85 responden 87 responden 88 89 93
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim terbesar di dunia dengan dua pertiga wilayahnya terdiri dari wilayah perairan. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki 18 306 pulau yang dipersatukan oleh laut dengan panjang garis pantai 81 000 km. Laut di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar. Potensi sumberdaya tersebut ada yang dapat diperbaharui (renewable resource) seperti sumberdaya perikanan dan energi yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) seperti sumberdaya minyak dan gas bumi serta mineral. Selain itu juga terdapat potensi lain yaitu jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan untuk pembangunan ekonomi nasional seperti pariwisata bahari, industri maritim dan jasa angkutan1. Wilayah pesisir atau pantai di Indonesia juga terkenal dengan sumberdaya alamnya yang indah dan melimpah. Kekayaan alam pesisir yang melimpah dan indah tersebut perlu dijaga kelestariannya. Menurut Bengen (2001), pantai atau wilayah muka pesisir adalah bagian dari kawasan pesisir yang paling produktif. Pantai merupakan suatu kawasan pesisir beserta perairannya dimana daerah tersebut masih terpengaruh baik oleh aktivitas darat maupun laut. Garis pantai merupakan suatu garis batas pertemuan antara daratan dengan air laut. Posisinya bersifat tidak tetap, dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Pantai terletak antara garis surut terendah dan air pasang tertinggi. Sumberdaya pesisir adalah sumber daya binaan/buatan dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir. Pengelolaan sumberdaya pesisir pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono 2000 dalam Stanis 2005). Menurut Dahuri (2004) wilayah pesisir memiliki tiga ciri karakteristik unik dari ekosistem pesisir yang membuat pengelolaannya lebih menantang (challenging) dibandingkan dengan pengelolaan pada ekosistem di darat maupun dilaut lepas (high seas). Ketiga ciri tersebut yaitu sistem lingkungan alam yang kompleks, pemanfaatan yang sangat beragam, dan kepemilikan. Wilayah pesisir yang rezim kepemilikannya akses terbuka cenderung rentan terjadi kerusakan terhadap sumberdaya alamnya. Hal ini karena hak dan kewajiban mengenai pengelolaan sumberdaya tersebut tidak ada yang mengatur sehingga setiap orang bebas mengakses dan memanfaatkannya. Hak dan kewajiban atas akses dan pengelolaan sumberdaya yang tidak diatur dapat menyebabkan tragedi kepemilikan bersama sumberdaya alam atau tragedy of commons. Tragedi kepemilikan bersama ini muncul ketika manusia mengambil sumberdaya yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadi sehingga merugikan makhluk hidup lain.
1
http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3007/
2
Menurut Hutagalung (2010), terjadinya tragedi kepemilikan bersama disebabkan oleh pandangan yang menginginkan untuk meraih keuntungan yang banyak untuk kepentingan sendiri daripada membagi-bagikannya kepada manusia lain dan masing-masing mendapat jatah sedikit. Akses dan pengolahan yang dilakukan secara bebas tersebut pada awalnya akan terasa menguntungkan bagi pihak yang memakai banyak sumberdaya alam, namun pada akhirnya ketersediaan sumber daya alam akan habis dan justru memberikan dampak negatif bagi pihak yang memakai dan bagi manusia lain. Habisnya ketersediaan sumber daya alam akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan pesisir. Rezim kepemilikan akses terbuka yang menyebabkan tragedi kepemilikan bersama tersebut harus segera ditangani agar tidak merusak kelestarian lingkungan pesisir secara terus menerus. Kelembagaan mempunyai peran dalam memberikan aturan-aturan bagi masyarakat dalam mengelola dan menjaga lingkungan pesisir agar tetap terjaga kelestariannya. Kelembagaan mencakup kelembagaan formal dan kelembagaan informal, dimana dalam kelembagaan informal terdapat kelembagaan lokal yang dibentuk yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dan kelembagaan formal dibentuk oleh pemerintah. Menurut Koentjaraningrat (1990), pranata sosial adalah sistem kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi komplekskompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Kelembagaan sosial sering diartikan dengan pranata sosial. Kelembagaan lokal adalah pranata sosial di tingkat lokal. Wilayah pesisir yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat setempat terdapat kelembagaan lokal yang mengatur sistem tata-kelakuan dan hubungan dalam kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk kelembagaan lokal yaitu Awig-awig yang terdapat di daerah Bali. Awig-awig yang terdapat di daerah Bali, masih banyak yang ditaati dengan baik oleh masyarakat sekitar. Awig-awig sebagai salah satu bentuk dari hukum adat, merupakan hukum yang hidup yang dibuat oleh masyarakat adat sebagai pedoman bertingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat (Astiti et al. 2011). Awig-awig mempunyai landasan filosofis Tri Hita Karana yaitu ajaran pada agama hindu yang pada intinya mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Awig-awig berisi sekumpulan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis beserta sanksi dan aturan pelaksanaannya. Kelembagaan lokal yang terdapat dalam wilayah pesisir tersebut berguna agar tidak terjadi penyelewengan atau pelanggaran yang dapat merusak sumber daya alam. Aturan-aturan yang terdapat pada kelembagaan lokal merujuk pada kearifan lokal yang dimiliki masyarakat. Menurut Sartini (2004), kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah yang terbentuk sebagai keunggulan budaya setempat dan merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat berupa bentuk nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum dan aturan-aturan khusus. Pantai Kedonganan terdapat di sebelah utara Pulau Bali, terletak di Desa Kedonganan Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Pantai Kedonganan status pengelolaannnya oleh pemerintah daerah diserahkan kepada masyarakat adat setempat namun tetap dalam pengawasan pemerintah. Desa Kedonganan yang wilayahnya terletak di pinggir pantai, terkenal dengan sebutan desa nelayan karena mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Meskipun jumlah
3
masyarakat yang bekerja sebagai nelayan berkurang seiring berjalannya waktu, namun Desa Kedonganan masih terkenal sebagai desa nelayan. Pantai Kedonganan yang masih terdapat banyak nelayan tersebut menarik perhatian para wisatawan untuk berkunjung. Para wisatawan tertarik untuk melihat perahuperahu tradisional nelayan atau biasa disebut jukung, melihat kegiatan nelayan dalam menangkap ikan dan tertarik untuk berkeliling pantai menggunakan perahu nelayan. Para nelayan pun biasanya menyewakan perahu mereka pada wisatawan untuk berkeliling pantai. Untuk menjaga kelestarian lingkungan Pantai Kedonganan serta untuk mengatur perilaku nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan, maka diberlakukan Awig-awig yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan. Awig-awig yang berlandaskan filosofi ajaran Agama Hindu dan lekat dengan budaya Bali tersebut tidak hanya berlaku bagi nelayan pribumi tetapi juga berlaku bagi nelayan pendatang. Tulisan ini mengkaji tentang efektivitas Awigawig yang merupakan pranata sosial dalam kehidupan masyarakat nelayan di Pantai Kedonganan.
1.2 Masalah Penelitian Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan keindahan alam dan pantainya. Selain panorama yang indah, pesisir Bali mempunyai sumberdaya alam yang melimpah dan lingkungan yang lestari. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, kelembagaan lokal mempunyai peranan penting. Kelembagan lokal merupakan kelembagaan atau pranata sosial di tingkat lokal yang merupakan suatu kompleks atau sistem-sistem peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting. Pranata sosial tersebut mengatur sistem tata kelakuan dan hubungan dalam kehidupan masyarakat. Salah satu wujud kelembagan lokal yaitu Awig-awig yang berlaku pada masyarakat Bali. Awig-awig adalah salah satu bentuk dari hukum adat, merupakan hukum yang hidup yang dibuat oleh masyarakat adat sebagai pedoman bertingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat. Awig-awig mempunyai landasan filosofis Tri Hita Karana yaitu ajaran pada agama hindu yang pada intinya mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Awig-awig diperlukan untuk menjaga kelestarian lingkungan pesisir agar terjaga dengan baik. Wilayah pesisir yang mempunyai rezim kepemilikan akses terbuka cenderung memungkinkan terjadinya tragedi kepemilikan bersama. Hal ini terjadi karena tidak ada nya aturan jelas yang mengatur hak dan kewajiban dalam mengakses dan mengelola sumber daya pesisir. Tragedi kepemilikan bersama sumber daya alam dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Untuk menghindari hal tersebut, maka pengelolaan sumber daya pesisir diserahkan kepada masyarakat setempat dan dibentuk kelembagaan lokal yang berisi aturanaturan adat dalam menjaga kelestarian lingkungan. Aturan-aturan serta sanksi pelanggaran dibuat berdasarkan nilai, pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat setempat. Pantai kedonganan merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa Kedonganan Bali yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat setempat. Desa Kedonganan yang wilayahnya terletak di pinggir pantai, terkenal dengan
4
sebutan desa nelayan karena mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan. Meskipun jumlah masyarakat yang bekerja sebagai nelayan berkurang seiring berjalannya waktu, namun para nelayan masih banyak yang menggunakan alatalat tradisional dalam kegiatan menangkap ikan. Selain nelayan yang merupakan penduduk asli daerah tersebut, terdapat juga beberapa nelayan yang berasal dari luar daerah bahkan dari luar pulau. Dalam mengatur perilaku nelayan khususnya dalam kegiatan penangkapan ikan, terdapat kelembagaan lokal atau yang dikenal dengan istilah Awig-awig yang memuat aturan-aturan adat yang telah disepakati oleh masyarakat setempat baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Nelayan yang melaut di daerah pantai kedonganan harus mematuhi dan mentaati aturan-aturan yang dimuat dalam Awig-awig mengenai pengaturan kehidupan masyarakat nelayan. Nelayan yang berasal dari Bali banyak yang memeluk Agama Hindu dan mereka lekat dengan budaya Bali sejak kecil sedangkan nelayan pendatang mempunyai latar belakang budaya dan agama yang berbeda dengan budaya yang melekat pada Awig-awig. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, pertanyaan penelitian ini adalah: 1. Bagaimana bentuk Awig-awig yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan di Pantai Kedonganan? 2. Bagaimana perbandingan pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan pribumi dan nelayan pendatang terhadap Awig-awig yang kehidupan masyarakat nelayan? 3. Bagaimana efektivitas Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan?
1.3 Tujuan Penelitian 1. 2.
3.
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Mengetahui bentuk Awig-awig yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan. Menganalisis perbandingan pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan pribumi dan nelayan pendatang terhadap Awig-awig yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan. Menganalisis efektivitas Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.
2.
Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut: Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya serta menambah khasanah penelitian mengenai efektivitas Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk mengambil manfaat dari hasil penelitian yang dilakukan penulis.
5
3.
Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk program-program pemerintah dalam melakukan usaha pelestarian lingkungan pesisir.
6
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelembagaan Menurut Djogo et al. (2003), kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan hubungan antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktorfaktor pembatas dan pengikut berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta intensif untuk bekerja sama dan mencapai tujuan bersama. Menurut Uphoff (1993) dalam Soekanto (2009), kelembagaan adalah seperangkat norma yang bertahan dari waktu ke waktu dengan memenuhi kebutuhan kolektif. Menurut Djogo et al. (2003), kelembagaan mempunyai beberapa unsur penting a) Institusi merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat b) Norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat dan diterima secara luas untuk melayani tujuan bersama yang mengandung nilai tertentu dan menghasilkan interaksi antar manusia yang terstruktur c) Peraturan dan penegakan aturan/hukum d) Aturan dalam masyarakat yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama dengan dukungan tingkah laku, hak dan kewajiban anggota e) Kode etik f) Kontrak g) Pasar h) Hak milik i) Organisasi j) Intensif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan Menurut Nasution et al. (2007) kelembagaan yang terbentuk di masyarakat adalah dilatarbelakangi berupa pola-pola kepemimpinan lokal yang mengikuti pola-pola kesukuan dan bersifat informal. Artinya masing-masing suku biasanya memiliki pemimpin lokal sendiri. 2.2 Kelembagaan Sosial Kelembagaan sosial sering diartikan sebagai pranata sosial. Menurut Koentjaraningrat (1990), pranata sosial adalah sistem kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Dalam sosiologi, kelembagaan sosial adalah suatu kompleks atau sistem peraturanperaturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting.
8
Kelembagaan sosial pada dasarnya menyangkut seperangkat norma atau tata laku. Menurut Doorn dan Lammers (1959)2, fungsi kelembagaan sosial : a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan. b. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat terpelihara. c. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control): artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. d. Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Menurut Soekanto (1990), ciri-ciri yang membedakan kelembagaan dari konsepsi-konsepsi lain seperti grup, asosiasi, dan organisasi lainnya adalah sebagai berikut : a. Merupakan pengorganisasian pola pemikiran dan perilaku yang terwujud melalui aktivitas masyarakat dan hasil-hasilnya. b. Memiliki kekekalan tertentu: perkelembagaan suatu norma memerlukan waktu yang lama karena itu cenderung dipertahankan. c. Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu. d. Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan. e. Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu. f. Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis. Menurut Tahir dan Wasistiono (2007), Kelembagaan lokal merupakan pranata sosial tingkat lokal yang berdiri antara individu dalam kehidupan pribadinya dengan lingkungan, yang ternyata tidak hanya berperan mengatur tata kehidupan masyarakat saja, akan tetapi juga mempunyai peranan sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu masyarakat. Menurut Setiadi et al. (2011), norma adalah pola-pola sesuatu yang menjadi pedoman untuk mencapai tujuan dari kehidupan sosial yang didalamnya terdapat seperangkat perintah dan larangan berupa sanksi. Aturan lokal terbentuk berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat. Secara konseptual ada empat tingkat norma yaitu cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat istiadat. Perincian keempat tingkatan norma tersebut adalah sebagai berikut : a. Cara (usage): lebih menonjol di dalam hubungan antarindividu dalam masyarakat atau menunjuk pada suatu bentuk perbuatan. Suatu penyimpangan terhadapnya, secara moral dirasakan sebagai sesuatu yang tidak pantas oleh pelakunya. Penyimpangan tersebut oleh masyarakat hanya dinilai sebagai suatu perbuatan yang dianggap janggal. b. Kebiasaan (folkways): mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dibandingkan cara. Bagi yang melanggar kebiasaan tersebut, secara moral akan merasa malu dan akan dicela oleh masyarakat di sekitarnya. c. Tata kelakuan (mores): merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku dan diterima sebagai norma-norma pengatur. Orang-orang 2
Dikutip dari Modul Sosiologi Umum Institut Pertanian Bogor (2003)
9
yang melanggar tingkatan norma tata-kelakuan, secara moral akan merasa bersalah. Di samping itu, pelanggar akan dihukum oleh masyarakat sekitar. d. Adat istiadat (customs): merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat intergrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Bila adat istiadat dilanggar, secara moral pelanggar akan merasa berdosa. Kemudian masyarakat akan mengeluarkan pelakunya dari komunitasnya. Dengan kata lain, sanksinya berwujud suatu pederitaan bagi pelanggarnya. Awig-awig merupakan salah satu contoh kelembagaan lokal yang berada di daerah Bali dan Lombok. Awig-awig berasal dari kata wig yang artinya rusak sedangkan awig artinya tidak rusak atau baik. Awig-awig artinya adalah sesuatu yang menjadi baik. Awig-awig berisi aturan-aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat dengan tujuan mengatur tata tertib kehidupan sehari-hari (Husni 2002 dalam Saba 2003). Awig-awig sebagai salah satu bentuk dari hukum adat di Bali, merupakan hukum yang hidup yang dibuat oleh masyarakat adat sebagai pedoman bertingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat (Astiti et al. 2011). Menurut Suasthawa (2001), desa adat merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk mengatur dan mengendalikan perilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat. Selain itu Awig-awig juga berfungsi untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan. Menurut Astiti et al. 2011, Hukum adat Bali (Awig-awig) mempunyai kekhususan antara lain terkait dengan filosofi, asas-asas dan sanksi serta caracara penyelesaian sengketa. Awig-awig mengandung filosofi Tri Hita Karana. Ajaran Tri Hita Karana adalah salah satu ajaran pada agama hindu yang pada intinya mengajarkan tentang keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Masyarakat Bali menganggap kebahagiaan akan tercapai jika tiga keseimbangan dari Tri Hita Karana dapat terwujud. Konsep dari Tri Hita Karana adalah bahwa manusia hidup sesuai dengan kodratnya senantiasa mangandung unsur untuk mencapai kebahagiaan. Didalam memenuhi tuntutan hidupnya itu manusia senantiasa tergantung pada manusia lain. Hubungan manusia dengan alam dimana ia hidup berpijak menimbulkan rasa cinta pada tanah tumpah darahnya. Menurut Astiti et al. (2011), Awig-awig yang berisi sekumpulan aturan tersebut mempunyai sanksi-sanksi bagi yang melanggar. Sanksi tersebut ada beberapa jenis antara lain sanksi melaksanakan kewajiban (ayahan), membayar sejumlah uang (danda), minta maaf (pangampura), membuat upacara, pangucilan (kasepekang) dan dipecat sebagai krama. Jika ditinjau dari filosofi Tri Hita Karana, maka penerapan sanksi-sanksi tersebut terkait dengan tiga keseimbangan yang diajarkan dalam Tri Hita Karana. Sanksi berupa pelaksanaan upacara itu berkaitan dengan unsur hubungan manusia dengan Tuhan. Sanksi permintaan maaf dan ayahan dapat dikatakan terkait dengan unsur hubungan manusia dengan manusia. Ketiga sanksi tersebut mengacu pada hubungan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan serta manusia dengan manusia. Berbeda dengan sanksi pangucilan dan dipecat sebagai krama. Keduanya tergolong sanksi yang berkaitan dengan hubungan manusia dan manusia namun tidak mencerminkan adanya keharmonisan karena bersifat menjauhkan seseorang atau sekelompok warga dari warga lain. Aturan-aturan
10
dalam Awig-awig tersebut dapat ditambah dan dikurangi. Itu berarti Awig-awig dapat diubah untuk disempurnakan. Pada Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan di Pantai Kedonganan, masing-masing aturan mempunyai tingkat norma yang berbeda-beda. 2.3 Masyarakat Nelayan Nelayan dapat didefinsikan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan3. Sementara masyarakat nelayan adalah kelompok atau sekelompok orang yang bekerja sebagai nelayan, nelayan kecil, pembudi daya ikan kecil yang bertempat tinggal di sekitar kawasan nelayan (Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 15/Permen/M/2006). Seiring dengan perkembangan sektor perikanan, pelaku penangkapan ikan menjadi beragam statusnya karena adanya diferensiasi sosial. Masyarakat nelayan biasanya tinggal di daerah dekat laut dan memilki hubungan erat berdasarkan kekeluargaan. Menurut Satria (2002), berdasarkan status penguasaan kapital nelayan dapat dibagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal, jaring dan alat tangkap ikannya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau sering disebut sebagai Anak Buah Kapal (ABK) Menurut Satria (2002), nelayan dapat digolongkan berdasarkan kapasitas teknologi, orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi. Pembagian kelompok nelayan sebagai berikut : 1. Peasant-fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi ada pemenuhan kebutuhan sendiri. Alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (khusus pangan) dan bukan diinvestasikan untuk pengembangan usaha. Alat tangkap yang digunakan masih tradisional, tanpa motor dan melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama. 2. Post-peasant fisher yaitu nelayan yang telah menggunakan teknologi penangkapan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Orientasi pasar sudah sangat terasa dan pekerjaan dilakukan dengan menggunakan tenaga kerja (ABK) dan tidak bertanggung pada anggota keluarga saja. 3. Commercal fisher yaitu yang berorientasi pada peningkatan keuntungan. Teknologi penangkapan yang digunakan lebih modern dan memperkerjakan tenaga kerja lebih banyak dengan pembagian kerja yang jelas. 4. Industrial fisher yaitu nelayan yang memiliki usaha penangkapan yang bersifat pada modal dan dikelola secara modern dan memiliki orientasi eskpor.
3
Dikutip dari Buku Statistik Perikanan Indonesia (2010)
11
Terbatasnya sumber daya alam untuk kegiatan penangkapan ikan, maka di Indonesia didominasi oleh nelayan peasant-fisher dan post-peasant fisher. Menurut Satria (2002), Penggolongan nelayan juga dapat dilakukan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan, antara lain : 1. Nelayan ikan penuh, yaitu orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan atau pemeliharaan ikan. 2. Nelayan ikan sambilan, yaitu orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan atau pemeliharaan ikan. 3. Nelayan ikan sambilan tambahan, yaitu orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan atau pemeliharaan ikan. 2.4 Wilayah Pesisir Menurut kesepakatan internasional, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terpengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua. Menurut Dahuri et al. (2004), hingga saat ini belum ada definisi pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coast line), maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas (boundaries) yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus garis pantai (cross shore).Menurut Dahuri et al. 2004, Wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi antar habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Pengelolaan pesisir baik secara langsung maupun tidak langsung harus memperhatikan keterkaitan ekologis antar ekosistem di wilayah pesisir. Menurut Dahuri et al. 2004, wilayah pesisir dapat dikembangkan untuk kegiatan pembangunan seperti pengembangan kawasan pemukiman di pesisir, pengembangan lahan pertambakan, kegiatan pengilangan minyak di wilayah pesisir, kegiatan reklamasi di wilayah pesisir, kegiatan industri yang dikembangkan di wilayah pesisir, kegiatan pariwisata dan bahari, serta kegiatan pertanian dan perkebunan di lahan atas. Menurut Dahuri et al.(2004), wilayah pesisir memiliki tiga ciri karakteristik unik dari ekosistem pesisir yang membuat pengelolaannya lebih menantang (challenging) dibandingkan dengan pengelolaan ekosistem di darat maupun di laut lepas (high seas). Ketiga ciri tersebut yaitu sistem lingkungan alam yang kompleks, pemanfaatan yang beragam dan kepemilikan. 2.5 Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir Menurut Afiati (1999), pengelolaan sumberdaya alam adalah usaha manusia dalam mengubah ekosistem untuk memperoleh manfaat maksimal, dengan mengupayakan kesinambungan produksi dan menjamin kelestarian
12
sumberdaya tersebut. Menurut Dahuri et al. (2004), Pengelolaan wilayah pesisir memerlukan suatu pengelolaan yang tepat dan terpadu baik bagi sumber daya alam maupun masyarakatnya. Keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir ini mencakup empat aspek yaitu keterpaduan wilayah/ekologis, keterpaduan sektor, keterpaduan disiplin ilmu dan keterpaduan stakeholders. Dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir, aspek ekologis dalam hal kelestarian sumberdaya dan fungsi-fungsi ekosistem harus dipertahankan. Pengelolaan sumberdaya pesisir pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan terutama kesejahteraan komunitas masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir. Pemanfaatan sumberdaya pesisir diharapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing ground, spawning ground maupun nursey ground ikan. Undang-Undang no 27 tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil telah mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Menurut Sumardjono (2008), masyarakat adat adalah sekelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bermukin di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum. Dalam pasal 12 UU No. 27/2007 dijelaskan bahwa masyarakat adat diberikan hak untuk memilki Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). Menurut Nikijuluw (1994) dalam Stanis (2007), pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa disebut Community Based Management merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Pengelolaan berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, di mana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat daerah tersebut. Pantai kedonganan pengelolaannya berbasis masyarakat atau biasa disebut Community Based Management 2.6 Konsep Perilaku Menurut Sunaryo (2002) perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan respons serta diamati secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Sarwono (1983) sebagaimana dikutip oleh Sunaryo (2002) ciri-ciri perilaku manusia yang membedakan dari makhluk lain adalah kepekaan sosial, kelangsungan perilaku, orientasi pada tugas, usaha dan perjuangan, individu adalah unik. Kepekaan sosial artinya kemampuan manusia untuk dapat menyesuaikan perilakunya sesuai dengan pandangan dan harapan orang lain. Kelangsungan sosial artinya antara perilaku yang satu ada kaitannya dengan perilaku yang lain, perilaku yang sekarang adalah kelanjutan perilaku yang baru lalu dan seterusnya. Orientasi pada tugas memiliki pengertian bahwa setiap perilaku manusia selalu memiliki orientasi seperti contohnya adalah mahasiswa yang rajin belajar menuntut ilmu, orientasinya adalah untuk dapat menguasai ilmu pengetahuan tertentu. Usaha dan
13
perjuangan memiliki arti bahwa usaha dan perjuangan pada manusia telah dipilih dan ditentukan sendiri, serta tidak akan memperjuangkan sesuatu yang memang tidak ingin diperjuangkan. Tiap-tiap individu manusia adalah unik dimana unik di sini mempunyai arti bahwa manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain, tidak ada manusia yang sama persis di dunia ini walaupun dia dilahirkan kembar. Menurut Sirait (2005) perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu perilaku sebagai bentuk pengetahuan dalam kaitannya dengan situasi atau rangsangan dari luar. Selanjutnya adalah perilaku sebagai bentuk sikap terhadap rangsangan dari luar dan perilaku sebagai bentuk tindakan yang konkrit berupa perebutan terhadap situasi atau rangsangan dari luar. Perubahan komponen pengetahuan, sikap dan perbuatan merupakan komponen penyusun yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku. Menurut terjadinya secara umum perilaku dibagi atas perilaku alami dan perilaku operan atau perilaku psikologis yaitu perilaku yang diperoleh, dibentuk, dipelajari melalui proses belajar dan dapat dikembangkan. Pada manusia perilaku yang paling dominan adalah perilaku yang dibentuk. Terjadinya perubahan perilaku karena adanya perubahan komponen yang menyusunnya yaitu komponen pengetahuan, sikap dan perbuatan. Menurut Sirait (2005), dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, manusia sebagai komponen yang dominan mungkin jadi perusak lingkungan bila menggunakan sumberdaya alam yang hanya didasari oleh pertimbangan ekonomi, tetapi bila manusia menyadari kesalahannya dan merubah fungsi dari makhluk perusak menjadi pengelola (pembina) lingkungan. Dalam hubungan inilah perilaku menjadi sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, sehinga nilai-nilai pragmatisme yang ada pada manusia harus dikaitkan dengan kepentingan alam itu sendiri. Seperti yang dikutip pada modul belajar Ilmu Penyuluhan, seorang ahli pendidikan yaitu Bloom dan rekan-rekannya mengembangkan klasifikasi hasil belajar yang disebut taksonomi Bloom. Para ahli tersebut mecoba merumuskan taksonomi di tiga ranah perilaku yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotrik. Pada studi ini akan mempelajari perilaku nelayan pada ranah kognitif. Pada ranah kognitif terdiri dari tahap pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa dan evaluasi. Namun pada penelitian ini akan menganalisis sampai tahap penerapan atau implementasi saja untuk melihat efektivitas Awig-awig dalam mengatur perilaku nelayan. Efektivitas dalam mengatur perilaku tersebut dilihat dari jumlah individu yang mentaati dan yang melanggar aturan. Tahap pengetahuan meliputi informasi yang disimpan dalam ingatan manusia dan digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan mengingat (recall) atau mengenal kembali. Selanjutnya pada tahap pemahaman, individu mempunyai kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari berbagai hal yang pernah dilakukan dan dipelajarinya pada kondisi kongkrit dan baru. Tahap penerapan merupakan kemampuan individu itu menerapkan atau mengimplementasikan apa yang telah dipelajari. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan sebelumnya karena memahami suatu kaidah belum tentu membawa kemampuan untuk menerapkannya terhadap suatu kasus atau problem baru.
14
2.7 Kerangka Pemikiran Awig-awig merupakan sekumpulan aturan lokal yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat bersama untuk mengatur perilaku seharihari dalam bermasyarakat. Awig-awig berbentuk aturan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sejak dahulu, Desa Kedonganan dikenal sebagai desa nelayan karena mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan dan wilayahnya yang berada di sekitar Pantai Kedonganan. Nelayannya pun masih banyak yang memakai alat tangkap dan jukung tradisional. Untuk mengatur perilaku nelayan, maka diberlakukan pula Awig-awig mengenai pengaturan kehidupan masyarakat nelayan khususnya dalam pengaturan penangkapan ikan. Awig-awig yang dibuat atas kesepakatan tokoh masyarakat, ketua nelayan dan beberapa nelayan setempat ini sudah ada sejak dulu namun ada yang mengalami beberapa perubahan karena menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Aturan dalam Awig-awig tersebut mempunyai tingkatan norma yang berbeda dan mempunyai sanksi sebagai wujud kontrol sosial.
Awig-awig Desa Kedonganan
Bentuk Awig-awig dalam kehidupan masyarakat nelayan
Perilaku Nelayan Pengetahuan
Nelayan Pribumi
Pemahaman Implementasi
Efektivitas Awig-awig
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Nelayan Pendatang
15
Keterangan : : Uji Kuantitatif : Analisis kualitatif : Terdiri dari Dalam penelitian ini akan menganalisis perilaku nelayan terhadap Awigawig tersebut yang dilihat dari aspek pengetahuan, pemahaman dan implementasi mereka. Pengetahuan meliputi apakah mereka mengetahui adanya aturan tersebut atau tidak. Pemahaman meliputi apakah nelayan memahami isi dan tujuan dari aturan tersebut atau tidak. Sementara itu, implementasi meliputi apakah nelayan mengimplementasikan aturan tersebut atau melanggarnya. Nelayan yang melaut di Pantai Kedonganan tidak hanya nelayan pribumi yang berasal dari Desa Kedonganan atau yang berasal dari Pulau Bali tetapi juga terdapat nelayan pendatang yang berasal dari berbagai daerah. Baik nelayan pribumi maupun nelayan pendatang harus mentaati Awigawig yang berlaku. Untuk itu responden dalam penelitian ini adalah nelayan pribumi dan nelayan pendatang. Nelayan pribumi sebagai orang yang lekat dengan kebudayaan Bali dan memeluk Agama Hindu tentu sudah tidak asing lagi dengan Awig-awig yang dibuat berlandaskan filosofi ajaran Agama Hindu yaitu Tri Hita Karana. Sedangkan nelayan pendatang berasal berbagai daerah yang mempunyai latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Nelayan pendatang cenderung membawa budaya nya masing-masing. Efektivitas Awigawig dalam mengatur perilaku nelayan dapat terlihat dari jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan. Selain itu juga dapat dianalisis faktor-faktor keefektivitasan tersebut seperti bentuk sosialisasi, petugas, sanksi dan kesadaran nelayan. 2.8 Hipotesis 1.
2.
Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut: Diduga terdapat perbedaan tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi Awig-awig antara nelayan pribumi dan nelayan pendatang. Diduga tingkat efektivitas dalam mengatur perilaku nelayan pribumi lebih tinggi karena mereka lebih mentaati adat setempat dan ajaran agama hindu dibandingkan nelayan pendatang.
2.9 Definisi Operasional Definisi operasional merupakan konsep-konsep yang dibuat untuk membantu dalam pengumpulan data di lapangan, serta membantu dalam mengelola dan menganalisis data. Sejumlah konsep operasional yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan adalah bentuk dari hukum adat di Pantai Kedonganan berisi seperangkat aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tentang kehidupan masyarakat nelayan seperti pengaturan alat tangkap saat melaut, pengaturan mengenai biota laut yang dilindungi, pengaturan
16
2.
3. 4.
5. 6. 7. 8.
9. 10.
11.
12.
13. 14.
mengenai kebersihan panatai dan pengaturan mengenai waktu-waktu tertentu yang dilarang untuk melaut. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu/kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Nelayan pribumi adalah nelayan yang merupakan penduduk asli yang lahir dan sejak lama tinggal di Pantai Kedonganan. Nelayan pendatang adalah nelayan yang bukan merupakan penduduk yang lahir dan berasal dari daerah Pantai Kedonganan ataupun bukan berasal dari Pulau Bali. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh nelayan. Umur adalah usia nelayan pada saat mengisi kuesioner. Umur responden dihitung dalam satuan tahun. Agama adalah kepercayaan yang dianut oleh nelayan meliputi Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Lama bekerja sebagai nelayan adalah lama nelayan aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan khususnya di Pantai Kedonganan. Lama bekerja dihitung dalam satuan tahun. Pekerjaan sampingan adalah perkerjaan lain yang dilakukan oleh responden selain menjadi nelayan. Pengetahuan nelayan adalah seberapa meliputi mengetahui atau tidak mengetahui aturan-aturan tersebut dan dapat mengingat kembali aturan yang pernah diketahuinya. Akan disediakan pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan dan disediakan dua jawaban yaitu YA dan TIDAK. Pemahaman nelayan meliputi memahami atau tidak memahami aturan-aturan tersebut serta nelayan dapat menjelaskan bentuk peraturannya, makna dari aturan tersebut, tujuan dari aturan tersebut dan dapat menjelaskan contoh-contohnya. Akan disediakan pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan disediakan dua jawaban yaitu YA dan TIDAK. Implementasi nelayan meliputi menerapkan atau tidak menerapkan aturan lokal tentang pengaturan kehidupan masyarakat nelayan yang terdapat di Pantai Kedonganan Bali. Akan disediakan pertanyaan yang berkaitan dengan implementasi dan disediakan dua jawaban yaitu YA dan TIDAK. Jumlah pelanggaran dihitung dari jumlah responden yang tidak mengimplementasikan aturan dalam Awig-awig. Tingkat pengetahuan nelayan adalah seberapa besar nelayan mengetahui aturan lokal pengaturan kehidupan masyarakat nelayan yang terdapat di Pantai Kedonganan Bali. Pengetahuan ini meliputi mengetahui atau tidak mengetahui aturan-aturan tersebut. Akan disediakan pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan dan disediakan dua jawaban yaitu YA dan TIDAK. Jawaban YA akan diberi indeks 2 dan jawaban TIDAK akan diberi indeks 1.
17
15. Tingkat pemahaman nelayan adalah seberapa dalam nelayan memahami aturan lokal pengaturan kehidupan masyarakat nelayan yang terdapat di Pantai Kedonganan Bali. Pemahaman ini meliputi memahami atau tidak memahami aturan-aturan tersebut serta nelayan dapat menjelaskan bentuk peraturannya. Akan disediakan pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat pengetahuan dan disediakan dua jawaban yaitu YA dan TIDAK. Jawaban YA akan diberi indeks 2 dan jawaban TIDAK akan diberi indeks 1. 16. Tingkat implementasi nelayan adalah sejauh mana nelayan menerapkan aturan lokal tentang pengaturan kehidupan masyarakat nelayan yang terdapat di Pantai Kedonganan Bali. Akan disediakan pertanyaan yang berkaitan dengan implementasi dan disediakan dua jawaban yaitu YA dan TIDAK. Jawaban YA akan diberi indeks 2 dan jawaban TIDAK akan diberi indeks 1. 17. Efektivitas Awig-awig dapat lihat dari tingkat efektivitas Awig-awig dalam mengatur perilaku nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan. Tingkat efektivitas Awig-awig dalam mengatur perilaku nelayan dapat digolongkan berdasarkan jumlah pelanggaran sebagai berikut: a. Tingkat pelanggaran sedang Kategori aman yaitu jika jumlah pelanggaran dalam rentang 0% sampai 25%. Kategori pelanggaran kurang serius yaitu jika jumlah pelanggaran dalam rentang 25% sampai 49%. b. Tingkat pelanggaran tinggi Kategori pelanggaran serius yaitu jika jumlah pelanggaran dalam rentang 50% sampai 74%. Kategori pelanggaran sangat serius yaitu jika jumlah pelanggaran dalam rentang 75% sampai 100%.
18
19
BAB III PENDEKATAN LAPANG 3.1 Metode Penelitian Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dan metode penelitian kuantitatif. Metode penelitian kualitatif dilakukan melalui observasi dan wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat desa, ketua kelompok nelayan dan nelayan kedonganan. Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui bentuk norma dan adat Desa Kedonganan, bentuk kelembagaan lokal, tujuan dibentuknya kelembagaan lokal, wujud kontrol sosial dan sosialisasi Awig-awig serta untuk mendukung metode kuantitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan penelitian survei menggunakan instrumen kuesioner dengan mengambil sampel dari satu populasi. Metode kuantitatif dalam penelitian ini digunakan untuk meneliti beberapa variabel seperti karakteristik nelayan (usia, agama, asal daerah, lama bekerja sebagai nelayan, pekerjaan sampingan dan status penguasaan kapital), perilaku nelayan (pengetahuan, pemahaman dan implementasi) serta bentuk sosialisasi yang paling efektif bagi nelayan. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang dibuat untuk penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Selain itu selama penelitian ini juga dilakukan pengujian hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di sekitar Pantai Kedonganan yang terdapat di sebelah utara Pulau Bali, terletak di Desa Kedonganan, Kecamatan Kuta Kabupaten Badung. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purpose) dengan pertimbangan karena karakterisitik yang sesuai dengan penelitian yaitu Pantai Kedonganan merupakan pantai yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat adat sehingga masih terdapat kelembagaan lokal khususnya dalam mengatur kehidupan masyarakat nelayan. Pantai kedonganan juga terkenal dengan pantai yang masih terdapat banyak nelayan tradisional baik nelayan asli daerah tersebut maupun nelayan pendatang dari luar daerah. Kelembagaan lokal tersebut dikenal dengan nama Awig-awig yang berisi sekumpulan aturan adat yang berdasarkan nilai, pengetahuan dan kearifan lokal beserta sanksi nya. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari kuesioner dan wawancara mendalam. Kuesioner dibagikan kepada responden. Bentuk dari kuesioner dalam penelitian ini dapat dilihat pada lampiran 6. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan kepada informan maupun responden. Responden dalam penelitian ini adalah nelayan yang biasa
20
menangkap ikan di Pantai Kedonganan Bali. Kemudian dilakukan cluster sampling yaitu nelayan pribumi dan nelayan pendatang. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Penentuan pengambilan responden dilakukan dengan penentuan jumlah responden yaitu dengan mengumpulkan data jumlah nelayan pribumi dan nelayan pendatang. Jumlah keseluruhan populasi nelayan yang didapat sebanyak 135 orang. Populasi sasaran nelayan pribumi sebanyak 65 orang dan nelayan pendatang sebanyak 70 orang. Jumlah populasi nelayan pribumi didapatkan dari data kelompok nelayan dan jumlah populasi nelayan pendatang diperoleh dari hasil penelusuran lapang yaitu mendata beberapa nelayan pendatang yang melaut di Pantai Kedonganan dan bekerja sebagai nelayan di kedonganan minimal enam bulan. Setelah diperoleh data populasi nelayan pribumi dan nelayan pendatang, lalu diambil masing-masing 30 orang nelayan pribumi dan 30 orang nelayan pendatang untuk dijadikan responden dengan menggunakan metode pengambilan data acak sederhana (simple random sampling) yaitu sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Pengambilan data acak sederhana menggunakan microsoft excel 2010. Data kerangka sampling dan responden nelayan pribumi dapat dilihat pada Lampiran 3 dan nelayan pendatang pada Lampiran 4. Pemilihan informan dilakukan secara purposive dan tidak ditentukan jumlahnya. Informan kunci yang dipilih adalah perangkat desa adat yang mengelola kawasan Pantai Kedongan serta mengetahui dan memahami secara mendalam mengenai Awig-awig dalam kegiatan penangkapan ikan, ketua kelompok nelayan dan nelayan. Data sekunder diperoleh dari buku penelitian, laporan penelitian, skripsi, tesis, serta jurnal dan karya ilmiah melalui internet yang berkaitan dengan tujuan penelitian 3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif diperoleh melalui penyebaran kuesioner di lapangan yang diperkuat dengan teknik wawancara langsung dengan responden. Data kuantitatif digunakan untuk menggambarkan seperti karakteristik nelayan (usia, agama, asal daerah, lama bekerja sebagai nelayan, pekerjaan sampingan dan status penguasaan kapital), perilaku nelayan terhadap Awig-awig (pengetahuan, pemahaman dan implementasi) serta bentuk sosialisasi yang diperoleh nelayan. Dalam pengolahan kuantitatif, data dibagi menjadi dua yaitu data nelayan pribumi dan data nelayan pendatang untuk dilihat perbandingan antar keduanya. Pengelolahan data kuantitatif pada penelitian ini mengacu pada langkah-langkah pengolahan dari Effendi et al. (1989) yaitu Pertama, memasukkan data ke dalam kartu atau berkas data. Kedua, membuat tabel frekuensi atau tabel silang. Ketiga, mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemui setelah membaca tabel frekuensi atau tabel silang. Kemudian data yang sudah dikumpulkan akan diolah menggunakan microsoft excel 2010 untuk menghitung jawaban responden dalam bentuk tabel frekuensi. Data kualitatif diperoleh dari wawancara mendalam terhadap informan dan wawancara langsung dengan responden. Hasil wawancara tersebut ditulis dalam catatan harian secara sistematis. Data kualitatif akan diolah melalui tiga
21
tahapan. Pertama, reduksi data yang bertujuan untuk merangkum, memilih halhal pokok, memfokuskan pada hal-hal penting dan membuang data-data yang tidak diperlukan. Kedua, penyajian data yaitu data yang berbentuk teks naratif seperti pada catatan harian dibuat dalam bentuk matriks seperti bentuk pengaturan dalam Awig-awig, sanksi yang diterapkan, penghargaan yang diberikan, bentuk sosialisasi yang dilakukan dan faktor-faktor yang menyebabkan nelayan melakukan pelanggaran. Hal ini mempermudah peneliti dalam mengorganisir dan memahami data. Ketiga, penarikan kesimpulan yaitu menghasilkan temuan baru atas objek penelitian dan atas hasil analisis data yang diperoleh. Dalam mengukur tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi akan disediakan masing-masing 7 pertanyaan mengenai masing-masing aturan dalam Awig-awig yang berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman dan implementasi responden. Akan disediakan jawaban YA dan TIDAK. Jawaban YA akan diberi indeks 2 dan jawaban TIDAK akan diberi indeks 1. Pengetahuan meliputi apakah responden mengetahui atau tidak mengetahui aturan tersebut dan dapat mengingat kembali informasi yang didapat. Pemahaman meliputi memahami atau tidak memahami aturan-aturan tersebut serta nelayan dapat menjelaskan bentuk peraturannya, makna dari aturan tersebut, tujuan dari aturan tersebut dan dapat menjelaskan contoh-contohnya. Sedangkan implementasi meliputi apakah responden menerapkan atau tidak menerapkan aturan lokal tentang pengaturan kehidupan masyarakat nelayan yang terdapat di Pantai Kedonganan Bali. Efektivitas Awig-awig dalam mengatur perilaku nelayan dapat dilihat dari jumlah pelanggaran. Tingkat efektivitas Awig-awig dalam mengatur perilaku nelayan dapat digolongkan menjadi tingkat pelanggaran sedang dan tingkat pelanggaran tinggi. Tingkat pelanggaran sedang berada dalam kategori aman jika jumlah pelanggaran dalam rentang 0%-24%. Tingkat pelanggaran rendah dalam kategori pelanggaran kurang serius jika jumlah pelanggaran dalam rentang 25% sampai 49%. Tingkat pelanggaran tinggi berada pada kategori pelanggaran serius jika jumlah pelanggaran dalam rentang 50% sampai 74% dan kategori pelanggaran sangat serius jika jumlah pelanggaran dalam rentang 75% sampai 100%.
22
23
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Desa Kedonganan merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Topografi Desa Kedonganan merupakan dataran rendah dengan tinggi tempat dari permukaan laut 43 mdl. Desa ini memiliki curah hujan 1 700 Mm dan suhu rata-rata harian 23.5 – 25 C. Wilayah desa kedonganan terletak di tepi pantai atau pesisir Desa Kedonganan memiliki luas wilayah sekitar 190.75 ha dan memiliki batas-batas wilayah Sebelah Utara : Kelurahan Tuban Sebelah Selatan : Kelurahan Jimbaran Sebelah Timur : Selat Badung Sebelah Barat : Samudera Indonesia Desa Kedonganan merupakan desa administratif (desa dinas) yang memiliki enam dusun yaitu Dusun Kubu Akit, Dusun Ketapang, Dusun Anyar Gede, Dusun Pasek, Dusun Kerthayasa dan Dusun Pengenderan. Adapun jarak menuju ibukota kecamatan 5 Km, jarak ke ibukota kabupaten 26 Km dan jarak ke ibu kota provinsi 20 Km. Jalan Desa Kedonganan terdiri dari : Jalan provinsi yang melewati desa 1.1 km dengan kondisi beraspal Jalan kabupaten yang melewati desa 1.1 km dengan kondisi beraspal Jalan Desa 15.595 dengan kondisi beraspal
Gambar 2 Peta kawasan kelurahan/desa Kedonganan
24
4.2 Kondisi Ekonomi Desa Kedonganan terkenal sebagai desa nelayan karena mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah nelayan semakin berkurang dan muncul sektor-sektor baru di Desa Kedonganan yang menjadi mata pencaharian penduduk. Desa Kedonganan menitikberatkan pada sektor industri menengah dan besar. Meskipun sektor perikanan sudah bukan menjadi sektor utama, namun jumlah produksi perikanan masih cukup tinggi dan masih menjadi potensi perkembangan desa yang sangat potensial disamping pariwisata dengan indikator unggulan wisata kuliner seafood dan program minapolitan. Komoditi perikanan yang menjadi andalan nelayan Desa Kedonganan adalah ikan tuna yang jumlah produksi nya mencapai 9 005.5 ton pertahun, ikan tongkol sebesar 1 478.5 ton pertahun dan ikan sarden 547.1 ton pertahun. Nelayan kedonganan mayoritas masih menggunakan alat tradisional dalam menangkap ikan seperti perahu tradisional, jala dan pancing. Sektor ekonomi yang menonjol dan menjadi andalan selain sektor industri menengah dan besar adalah sektor industri kecil. Pada sektor jasa yang berkembang cukup pesat termasuk di dalamnya adalah usaha jasa transportasi dan perhubungan serta usaha rumah makan atau restaurant. Pada sektor industri kecil yang paling menonjol adalah kerajinan kayu, kerajinan batu dan kerajinan anyaman. Menurut data terakhir yang terdapat di Desa Kedonganan pada tahun 2010, berdasarkan struktur mata pencaharian menurut sektor, komposisi penduduk dapat dilihat seperti dalam Gambar 3.
Struktur Mata Pencaharian Menurut Sektor 60,00% 48,40%
50,00%
37,20%
40,00%
30,00% 20,00%
Struktur Mata Pencaharian Menurut Sektor
10,10%
10,00%
4,30%
0,00% Perkanan
Industri Kecil
Industri Menengah dan Besar
Jasa
Sumber : Profil kelurahan kedonganan, 2010. Gambar 3 Struktur mata pencaharian menurut sektor
25
4.3 Kondisi Sosial Data yang diperoleh pada tahun 2010, menunjukkan jumlah peduduk Desa Kedonganan sebanyak 5 037 orang yang terdiri dari 2 500 orang perempuan dan 2 537 orang laki-laki. Jumlah kepala keluarga sebanyak 1 075 kk dengan kepadatan penduduk 2 637 per km2. Jumlah penduduk menurut penggolongan usia dapat dirinci sebagai berikut : Penduduk usia 0-6 tahun : 50 orang : 851 orang Penduduk usia 7-18 tahun yang masih sekolah Penduduk usia 18-56 tahun yang bekerja : 3 360 orang : 776 orang Penduduk usia 56 tahun ke atas 4.3.1 Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Kedonganan memberikan dukungan penuh agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Seperti memberikan sarana dan prasarana pendidikan yaitu gedung sekolah TK, SD, SMP dan SMA serta gedung tempat bermain anak dan perpustakaan desa. Struktur penduduk menurut tingkat pendidikan menunjukkan kualitas dan potensi sumber daya manusia sebagai modal dasar pembangunan yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Tingkat Pendidikan Masyarakat 70,0%
64,4%
60,0% 50,0% 40,0% 30,0%
Tingkat Pendidikan Masyarakat
21,4%
20,0% 9,7%
10,0%
4,5%
0,0% SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
Gambar 4 Tingkat pendidikan masyarakat 4.3.2 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Mata pencaharian dapat secara langsung mempengaruhi kondisi ekonomi masyarakat Desa Kedonganan. Beberapa masyarakat ada yang mempunyai pekerjaan di luar wilayah Desa Kedonganan. Hal ini karena daya dukung sektorsektor di Desa Kedonganan ada yang tidak sesuai dengan kemampuan dan keinginan beberapa masyarakat. Struktur mata pencaharian penduduk Desa
26
Kedonganan menurut jenis pekerjaan dan komposisi penduduk dapat dilihat pada Gambar 5.
Struktur Mata Pencaharian Penduduk 45,00% 39,10% 36,75% 40,00% 35,00% 30,00% 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 3,80% 3,50% 3,90% 7,75% 3,50% 1,70% 5,00% 0,00%
Struktur Mata Pencaharian Penduduk
Gambar 5 Struktur mata pencaharian penduduk 4.3.4 Struktur Keagamaan dan Budaya Penduduk Struktur penduduk Desa Kedonganan menurut agama atau penganut kepercayaan yaitu mayoritas penduduk atau masyarakat menganut agama Hindu dengan persentase sebesar 90%. Pemeluk Agama Hindu merupakan masyarakat asli Bali. Masyarakat pendatang menganut agama Islam, Kristen, Katholik, Budha. Desa Kedonganan masih lekat dengan budaya agama Hindu yang menganut ajaran Tri Hita Karana yaitu keseimbangan atau keharmonisan hidup antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Secara administratif, penduduk yang tinggal di Desa Kedonganan mayoritas masyarakat etnis Bali dan sisanya masyarakat etnis Jawa dan China. Meskipun terdapat beberapa etnis dan budaya yang dibawa oleh masyarakat pendatang, namun masyarakat Desa Kedonganan hidup dengan rasa tenggang rasa dan toleransi. 4.4 Potensi Sosial Budaya Masyarakat Desa Kedonganan masih terasa kental solidaritas sosialnya. Hal ini dapat terlihat dari adanya kelompok-kelompok masyarakat yang secara suka rela melakukan aktivitas gotong royong dalam membersihkan lingkungan, mengolah dan membuat fasilitas desa serta dalam mengatur pelaksanaan upacara kegamaan desa. Seperti hal nya para nelayan yang bergotong-royong dalam aktivitas membersihkan lingkungan pantai yang biasanya rutin dilakukan dua minggu sekali. Selain itu, budaya yang menjadi daya tarik adalah nelayan di pantai kedonganan yang masih banyak menggunakan jukung tradisional dalam
27
menangkap ikan dan biasanya jukung tradisional tersebut disewakan kepada para wisatawan yang ingin menikmati keindahan pantai pada sore hari Desa Kedonganan mempunyai beberapa pura untuk tempat beribadah dan tempat upacara keagamaan penduduk setempat yang memeluk agama Hindu. Pura-pura tersebut antara lain Pura Segara, Pura Penataran dan Pura tiga kahyangan yang terdiri dari Pura Puseh, Pura Desa dan Pura Dalem. Pura-pura tersebut mempunyai fungsi-fungsi yang diatur dalam Awig-awig yaitu Pura Puseh dan Pura Dalem untu melaksanakan upacara wuku dungulan, Pura Dalem untuk melaksanakan wuku kuningan, Pura Penataran untuk upacara wage kuningan dan Pura Segara untuk melaksanakan upacara purnama kedasa. Masyarakat Desa Kedonganan berpegang teguh ada Awig-awig dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Awig-awig dibuat berdasarkan landasan ajaran agama hindu yaitu Tri Hita Karana. Awig-awig merupakan aturan lokal atau aturan adat baik tertulis maupun tidak tertulis. Dalam bidang seni, masyarakat Desa Kedonganan mempunyai perkumpulan seni seperti Bali Musician Community (BMC), Sekaha Gong Sekha Budhi Sentana dan Sekaha Gong Wanita. 4.5 Sistem Kemasyarakatan 1. Sistem Nilai dan Agama Penduduk Desa Kedonganan mayoritas memeluk Agama Hindu yaitu sebesar 90% dan merupakan penduduk asli Bali. Selain Agama Hindu ada juga penduduk yang memeluk agama lain seperti Agama Islam, Kristen, Katholik dan Budha yang merupakan penduduk pendatang. Baik penduduk pribumi maupun penduduk pendatang mempunyai rasa toleransi yang tinggi. Hal ini terlihat dari mulai terdapat beberapa tempat ibadah seperti mushola di Desa Kedonganan dan mereka saling menghargai ketika menjalankan ibadah. Sistem nilai yang dijalankan oleh masyarakat banyak berpegang teguh pada Awig-awig desa yang mengatur keseimbangan hubungan atau keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungan. Ajaran Awig-awig berlandaskan ajaran Agama Hindu yaitu Tri Hita Karana karena penduduk pribumi menganut Agama Hindu dan Bali lekat dengan budaya Agama Hindu. 2. Sistem dan Organisasi Sosial Desa Kedonganan terdiri dari desa dinas dan desa pakraman atau desa adat. Sistem masyarakat dan organisasi sosial masyarakat desa kedonganan dapat diamati melalui aspek kelembagaannya. Desa dinas dipimpin oleh seorang kepala desa yang bertugas untuk mengurus menjalankan pemerintahan desa sesuai dengan hukum formal yang berlaku serta mengurus masalah administrasi warga desa. Desa pakraman atau desa adat dipimpin oleh seorang bendesa adat yang bertugas mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan adat-istiadat secara turun menurut sesuai dengan hukum adat yang berlaku seperti sistem norma, tradisi dan tata krama pergaulan hidup bermasyarakat. Adapun lembaga-lembaga yang terdapat di Desa Kedonganan dikelompokkan menjadi dua, yaitu : Lembaga adat Lembaga formal atau dinas
28
A. Lembaga Adat Desa Kedonganan di tetapkan menjadi desa adat berdasarkan Peraturan Daerah nomor 6 tahun 1986. Desa Adat Kedonganan terbagi atas beberapa banjar yaitu Banjar Ketapang, Banjar Kubu Alit, Banjar Kerthayasa, Banjar Anyar Gede, Banjar Pasek dan Banjar Pengenderan. Seluruh Desa Adat di Bali sejak dikeluaran Peraturan Daerah Provinsi Bali no 3 tahun 2001. Desa Pakraman mempunyai hak untuk mengelola rumah tangganya sendiri serta memiliki wilayah tertentu. Desa Pakraman masih memegang adat istiadat, tradisi, nilai dan norma secara turunmenurun dalam mengatur kehidupan bermasyarakat serta tunduk terhadap hukum adat yang berlaku. Desa Pakraman mempunyai beberapa tugas dan fungsi yang harus dijalankan, yaitu : Membuat dan menjalankan Awig-awig Mengatur krama desa Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa serta memanfaatkan dan menjaga potensi desa untuk kesejahteraan masyarakat Melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama keagamaan, budaya dan kemasyarakatan Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali Mengayomi krama Melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam wilayah Desa Pakraman Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari maupun dalam menyelesaikan sengketa antar masyarakat, Desa Adat Kedonganan berpegang teguh pada Awigawig atau pararem. Awig-awig merupakan aturan adat baik tertulis maupun tidak tertulis. Seperti yang tertulis pada Awig-awig Desa Kedongaan Sarga II Pawos 4, Desa Adat Kedonganan berpegang teguh pada pancasila, UUD 1945 pamekas pasal 18, Tri Hita Karana dan Perda nomor 6 tahun 1986. Kelompok Nelayan Kertha Bali merupakan kelompok nelayan yang paling aktif di Desa Kedonganan. Kelompok nelayan tersebut merupakan lembaga adat sebelum disahkan pemerintah pada tahun 1996. Namun dalam membuat peraturan, kelompok nelayan tersebut masih menggunakan aturan adat atau biasa disebut Awig-awig. Aturan adat tersebut ada yang tertulis mauun tidak tertulis. Aturan tersebut berlaku bagi semua nelayan yang melaut di Pantai Kedonganan baik nelayan pribumi maupun nelayan pendatang. Lembaga-lembaga adat yang berada di Desa Kedonganan Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BPK2P) Widyasabha Bali Musician Community (BMC) Sekaha Gong Sekar Budhi Sentana Sekaha Gong Wanita Baru Pasek B. Lembaga Formal atau Dinas Desa Kedonganan juga termasuk desa dinas yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Desa dinas berasal dari keperbekelan yang dulu dipimpin oleh seorang perbekel dan dibagi menjadi beberapa dusun atau biasa disebut banjar dinas yang dipimpin oleh seorang kelian banjar dinas. Tugas desa dinas berbeda dengan tugas desa adat. Desa dinas berada langsung di bawah kecamatan yang bertugas untuk mengurusi masalah administrasi kependudukan dan melaksanakan
29
program pemerintah. Selain itu, tugas dari pemerintah desa dinas adalah mengajukan rancangan peraturan desa, menetapkan peraturan desa, membina kehidupan masyarakat dan perekonomian desa serta mengkoordinasi pembangunan secara partisipatif. Desa dinas Kedonganan mempunyai beberapa lembaga yang bersifat formal. Beberapa penduduk Desa Kedonganan terlibat dalam pelaksanaan kegaiatan lembaga-lembaga tersebut. Adapun lembagalembaga formal di Desa Kedonganan Badan Usaha Milik Desa Koperasi Unit Desa (KUD) Koperasi Simpan Pinjam BUMDES Lembaga keamanan : Hansip, linmas dan satpam swakarsa Karang Taruna Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) 4.6 Karakteristik Responden Karakteristik nelayan yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah 30 nelayan pribumi dan 30 nelayan pendatang. Nelayan yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah nelayan yang rata-rata menggunakan alat perahu tradisional yang tidak memakai mesin atau nelayan yang memakai perahu 3 sampai 5 Gross Ton (GT). Pembagian karakteristik nelayan menjadi dua yaitu nelayan pribumi dan nelayan pendatang bertujuan untuk melihat perbandingan tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi mereka terhadap aturan lokal yang dibuat berlandasakan ajaran agama hindu Tri Hita Karana. Nelayan pribumi sangat lekat dengan budaya dan ajaran agama Hindu dan nelayan pendatang yang datang dari budaya dan ajaran agama berbeda. Nelayan yang menjadi responden merupakan nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melaut di Pantai Kedonganan. Lama bekerja sebagai nelayan merupakan lamanya waktu seseorang menjadi nelayan di Pantai Kedonganan walaupun tidak tinggal menetap di Desa Kedonganan. Dalam penelitian ini mengambil responden yang minimal bekerja sebagai nelayan selama enam bulan karena nelayan tersebut pernah melewati Hari Raya Nyepi, upacara keagamaan setempat dan musim yang dilarang untuk melaut. Lama bekerja sebagai nelayan di Pantai Kedonganan sangat beragam, terdapat perbedaan lamanya bekerja sebagai nelayan antara nelayan pribumi dan nelayan pendatang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Lama bekerja sebagai nelayan Lama Bekerja 0 – 10 tahun 11 – 20 tahun 21 – 30 tahun
Nelayan Pribumi 7 orang 15 orang 8 orang
Nelayan Pendatang 12 orang 10 orang 8 orang
Lama bekerja sebagai nelayan dibedakan menjadi tiga kategori yaitu lama bekerja selama 0-10 tahun, 11-20 tahun dan 21-30 tahun. Tabel 1 menunjukkan bahwa lama bekerja nelayan pribumi paling banyak selama 11- 20 tahun yaitu berjumlah 15 orang atau mencapai 50% sedangkan lama bekerja nelayan
30
pendatang paling banyak selama 0-10 tahun yaitu berjumlah 12 orang atau mencapai 40%. Responden dalam penelitian ini mempunyai tingkat pendidikan yang beragam mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tingkat pendidikan nelayan adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh nelayan. Tingkat Pendidikan nelayan pribumi dan nelayan pendatang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Tingkat pendidikan nelayan Tingkat Pendidikan SD SMP SMA
Nelayan Pribumi 5 orang 20 orang 5 orang
Nelayan Pendatang 6 orang 17 orang 7 orang
Tabel 2 menunjukkan bahwa baik nelayan pribumi maupun nelayan pendatang banyak yang menempuh jenjang pendidikan sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu nelayan pribumi sebanyak 20 orang atau sebesar 66% dan nelayan pendatang sebanyak 17 orang atau sebesar 56%. Kategori umur responden dalam penelitian ini menggunakan kategori umur menurut Havighurst yaitu usia 18-30 tahun yang dikategorikan sebagai usia dewasa awal, usia 31-55 tahun yang dikategorikan sebagai masa usia pertengahan dan 55 tahun keatas sebagai masa tua. Usia nelayan pribumi dan nelayan pendatang pada saat dilakukannya penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Usia nelayan pribumi dan nelayan pendatang Usia Responden Usia Dewasa Awal (18-30 tahun) Masa Usia Pertengahan (31-55 tahun) Masa Tua (55 tahun keatas)
Nelayan Pribumi 6 orang
Nelayan Pendatang 11 orang
22 orang
19 orang
2 orang
-
Tabel 3 menunjukkan bahwa usia nelayan pribumi sebagian besar berada pada masa usia pertengahan yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 73% dan usia nelayan pendatang sebagian besar juga berada pada masa usia pertengahan yaitu sebanyak 19 orang atau sebesar 63%. Nelayan pribumi yang menjadi responden dalam penelitian ini secara keseluruhan memeluk Agama Hindu yang menjadi agama mayoritas penduduk di Bali sedangkan nelayan pendatang sebesar 90% memeluk Agama Islam dan sisanya memeluk Agama Kristen. Berdasarkan status penguasaan kapital, nelayan dibagi menjadi nelayan juragan dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang memilki sarana penangkapan seperti kapal, jaring dan alat tangkap lainnya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau sering disebut sebagai Anak Buah Kapal (ABK). Nelayan yang berada di Pantai Kedonganan pun terbagi atas nelayan juragan dan nelayan buruh. Jumlah nelayan pribumi dan nelayan pendatang berdasarkan status penguasaan kapital dapat dilihat pada Tabel 4.
31
Tabel 4 Jumlah nelayan pribumi dan nelayan pendatang berdasarkan status penguasaan kapital Status Penguasaan Kapital Nelayan Buruh Nelayan Juragan
Nelayan Pribumi 16 orang 14 orang
Nelayan Pendatang 17 orang 13 orang
Tabel 4 menunjukkan jumlah nelayan pribumi yang merupakan nelayan buruh sebanyak 16 orang atau sebesar 53 % dan jumlah nelayan pibumi yang merupakan nelayan juragan sebanyak 14 orang atau sebesar 47%. Jumlah nelayan pendatang yang merupakan nelayan buruh sebanyak 17 orang atau sebesar 57% dan nelayan pendatang yang meupakan nelayan juragan sebanyak 13 orang atau sebesar 43%. Selain penggolongan berdasarkan status penguasaan kapital, nelayan juga digolongkan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan yaitu nelayan ikan penuh, nelayan ikan sambilan dan nelayan ikan sambilan tambahan. Nelayan ikan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau pemeliharaan ikan, nelayan ikan sambilan adalah orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan atau pemeliharaan ikan, sedangkan nelayan ikan sambilan tambahan adalah orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan penangkapan atau pemeliharan ikan. Nelayan yang bekerja di Pantai Kedonganan termasuk golongan nelayan ikan penuh dan nelayan ikan sambilan. Jumlah nelayan pribumi dan nelayan pendatang berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan pribumi dan nelayan pendatang berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan Waktu Operasi Penangkapan Nelayan Ikan Penuh Nelayan Ikan Sambilan
Nelayan Pribumi 16 orang 14 orang
Nelayan Pendatang 17 orang 13 orang
Tabel 5 menunjukkan jumlah nelayan pribumi yang merupakan nelayan ikan penuh sebanyak 16 orang atau sebesar 53 % dan jumlah nelayan pibumi yang merupakan nelayan ikan sambilan sebanyak 14 orang atau sebesar 47%. Jumlah nelayan pendatang yang merupakan nelayan ikan penuh sebanyak 17 orang atau sebesar 57% dan nelayan pendatang yang meupakan nelayan ikan sambilan sebanyak 13 orang atau sebesar 43%.
32
33
BAB V BENTUK AWIG-AWIG YANG MENGATUR KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN 5.1 Pendahuluan Kelembagaan sosial sering diartikan sebagai pranata sosial yaitu sistem kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat 1990). Kelembagaan sosial mempunyai fungsi untuk memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat, menjaga keutuhan, memberi pegangan kepada masyarakat untuk melakukan kontrol sosial dan memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Kelembagaan lokal merupakan kelembagaan sosial di tingkat lokal. Awig-awig merupakan salah satu contoh kelembagaan lokal karena berisi sekumpulan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat dengan oleh masyarakat dengan tujuan untuk mengatur tata tertib kehidupan sehari-hari. Awig-awig merupakan salah satu kelembagaan lokal yang berada di Bali dan Lombok namun Awig-awig yang diterapkan di Bali berlandasakan filosofi ajaran Agama Hindu. Desa Kedonganan merupakan salah satu desa adat yang di Bali yang terkenal sebagai desa nelayan karena dulu mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan dan letak desa yang berada di dekat Pantai Kedonganan. Desa Kedonganan juga memberlakukan Awig-awig dalam kehidupan bermasyarakat secara keseluruhan dan juga terdapat Awig-awig yang khusus mengatur kehidupan masyarakat nelayan. Dalam penelitian ini akan mengkaji kelembagaan lokal atau Awig-awig dalam mengatur kehidupan masyarakat nelayan dan pada bab ini akan dibahas mengenai bentuk kelembagaan lokal, tujuan dibentuknya kelembagaan lokal dan wujud kontrol sosial serta bentuk sosialisasi aturan yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan 5.2 Gambaran Norma dan Adat Masyarakat Desa Kedonganan Masyarakat Desa Kedonganan merupakan masyarakat yang lekat dengan budaya Bali dan Agama Hindu. Mereka menganut aturan-aturan adat yang dibuat berdasarkan ajaran Agama Hindu yaitu Tri Hita Karana yang mengajarkan tentang keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungan. Aturan yang berlandaskan ajaran Tri Hita Karana disebut sebagai Awig-awig. Bentuk Awigawig dapat berupa sekumpulan aturan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur perilaku masyarakat. Masyarakat Desa Kedonganan tidak hanya terdiri dari masyarakat pribumi, namun banyak juga masyarakat pendatang yang berasal berbagai daerah. Masyarakat pendatang pun harus tetap mentaati aturan-aturan adat yang berlaku di Desa Kedonganan meskipun mereka berasal dari latar belakang budaya dan agama yang berbeda. Namun ada beberapa aturan dalam Awig-awig yang hanya berlaku bagi masyarakat beragama hindu. Masyarakat Desa Kedonganan yang terdiri dari masyarakat pribumi dan masyarakat pendatang tersebut dapat hidup berdampingan secara rukun dan
34
teratur. Mereka saling menghargai agama dan budaya masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa mushola yang dibangun untuk mempermudah masyarakat yang beragama Islam untuk beribadah. Mereka pun saling membantu bila menyelenggarakan acara keagamaan. Meskipun masyarakat kedonganan terdiri dari beragam agama dan budaya, namun Awig-awig tetap menjadi pedoman hidup bermasyarakat karena Desa Kedonganan merupakan desa adat yang lekat dengan budaya Bali dan agama Hindu Desa Kedonganan dikenal sebagai desa nelayan karena dahulu mayoritas masyarakat bekerja sebagai nelayan. Terdapat aturan-aturan lokal atau Awig-awig yang mengatur perilaku nelayan dalam kehidupan bermasyarakat. Awig-awig tersebut dibuat berdasarkan kesepakatan bersama antar nelayan pribumi dan ada juga yang melibatkan tokoh masyarakat adat. Aturan dalam Awig-awig tersebut yang tertulis dan tidak tertulis. Awig-awig yang mengatur kegiatan penangkapan ikan tersebut berlaku bagi semua nelayan yang melaut di Pantai Kedonganan baik nelayan pendatang dan nelayan pribumi. Dalam Awig-awig tersebut terdapat sanksi-sanksi bagi yang melanggar dan mempunyai tingkatan norma yang berbeda dalam setiap aturan yang berlaku. 5.3 Bentuk Awig-awig dalam Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan Awig-awig merupakan sekumpulan aturan lokal setempat yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama untuk mengatur perilaku masyarakat setempat. Awig-awig merupakan bentuk dari kelembagaan lokal yang dibuat oleh bendesa adat beserta pengurus desa pakraman yang dapat berubah seiring perkembangan zaman dan sesuai kesepakatan bersama. Awig-awig tertulis Desa Kedonganan belum mengalami perubahan sejak tahun 1989 sehingga banyak yang berbentuk tidak tertulis. Desa Pakraman memberikan hak kepada kelompok nelayan untuk membuat Awig-awig yang berlaku bagi nelayan dalam pengaturan penangkapan ikan karena Desa Kedonganan terkenal sebagai desa nelayan. Awig-awig tersebut berlaku bagi semua nelayan yang menangkap ikan di Pantai Kedonganan. Seperti yang dituturkan oleh ketua kelompok nelayan (IKD/48 tahun): “Awig-awig yang berlaku bagi nelayan dibuat berdasarkan kesepakatan bersama nelayan pribumi yang tergabung dalam kelompok nelayan. Ada beberapa Awig-awig yang memang berlaku untuk keseluruhan masyarakat dan tertuang dalam buku Awigawig desa serta ada juga Awig-awig yang tidak tertulis. Diharapkan Awig-awig dapat efektif mengatur perilaku nelayan agar lingkungan tetap terjaga kelestariannya, budaya yang dianut masyarakat tidak memudar dan untuk keselamatan para nelayan selama melaut” Awig-awig dalam pengaturan penangkapan ikan yang berlaku bagi nelayan yang melaut di Desa Kedonganan terdiri dari tujuh aturan. Berikut rincian lebih jelas mengenai isi dari aturan lokal Awig-awig tersebut: Awig-awig nomor 1: Dilarang menangkap ikan menggunakan bom, potasium, racun, pukat harimau dan bahan kimia berbahaya lainnya.
35
1.
Aturan ini dibuat dengan tujuan agar tidak merusak biota laut dan tetap terjaga kelestariannya Awig-awig nomor 2: Dilarang merusak terumbu karang secara sengaja. Aturan tersebut meliputi larangan mengambil terumbu karang, membuang limbah secara sengaja ke wilayah yang banyak terumbu karang dan membuang jangkar di sekitar terumbu karang Awig-awig nomor 3: Dilarang mengambil biota laut yang dilindungi. Biota laut yang dilindungi meliputi lumba-lumba, penyu belimbing, penyu hijau, penyu pipih, penyu ridel, penyu sisik, penyu tempayan, pelagic thresher (hiu monyet, tikusan, cucut pedang), bigeye thresher (hiu lancur, hiu lutung, hiu tikus, paitan) dan hiu common thresher. Untuk mempermudah nelayan mengetahui jenis-jenis biota laut yang dilindungi, dipasang sebuah papan besar di tepi pantai yang bertuliskan larangan menangkap, menyimpan diatas kapal, dipindahkan antar kapal, digudangkan, dijual dan ditawarkan untuk diperdagangkan baik berbentuk utuh maupun sebagian. Selain itu juga tertera gambar dan nama jenis-jenis biota laut yang dilindungi. Awig-awig tentang larangan mengambil biota laut yang dilindungi sudah ada sejak dahulu namun jenis biota lautnya tidak spesifik, sehingga Awig-awig tersebut diperbaharui dengan mengadopsi aturan pemerintah yang berlaku sekarang. Awig-awig nomor 4: Dilarang melaut pada saat Hari Raya Nyepi. Aturan tersebut tidak hanya berlaku bagi nelayan melainkan berlaku bagi seluruh masyarakat Bali baik yang beragama Hindu maupun beragama lain. Pada Hari Raya Nyepi seluruh masyarakat Bali melakukan catur brata penyepian yaitu dilarang menyalakan api atau listrik (amati geni) kecuali jika di tempat tinggal nya ada bayi berumur kurang dari tiga bulan, ada orang yang sakit dan ada orang yang meninggal. Selain itu, terdapat larangan untuk bekerja (amati karya), larangan untuk tidak menikmati hiburan (amati lelanguan), dan larangan untuk tidak berpergian (amati lampah) kecuali bila dalam keadaan sakit dan perlu pergi ke rumah sakit ataupun alasan mendesak lainnya dengan didampingi tokoh desa adat setempat beserta pecalang. Bagi masyarakat yang melanggar akan dikenakan sanksi adat oleh pecalang. Aturan mengenai larangan melakukan aktivitas pada saat hari raya nyepi termasuk melaut, tertulis pada Awig-awig Desa Kedonganan pasal 68 (pawos 68) yang berisi : Upacara rahina nyepi /sipeng patut kamargiang catur brata: a. Amati geni, sajawaning : - Madruwe rare durung tiga sasih, ring genah rare inucap - Metepetin ring sang sungkan - Madruwe layon, ring sawe inucap b. Amati karya, tan kengin nyambut gawe sejawaning pecalang desa lan prajuru dines miwah sang polih uak-uakan (ijin) antuk ilikita, pastika saking sang angawerat c. Amati lampah, tan kengin melelungaan d. Amati lelangunan, tan kengin masuara gora, maoneng-onengan (mepelalian) lsp
36
2.
Prade wenten krama amurung brata penyepian, kaicen piceketpiceket/kedanda manut parerem Riwus rahina nyepi kawastaning ngemak geni mapiteges pengelukaran yoga semadi kedulurin antuk pengaksama, soang-soang krama desa/banjar makacihna pangawit icaka warsa
3.
Awig-awig nomor 5: Dilarang melaut di sekitar Pantai Kedonganan pada saat dilaksanakan upacara desa setempat. Aturan tersebut melarang nelayan untuk melaut di sekitar Pantai Kedonganan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan desa setempat yang dilakukan di sekitar pantai atau di Pura Segara yang letaknya berada di pinggir Pantai Kedonganan. Upacara yang dilaksanakan di sekitar Pantai Kedonganan diantaranya adalah upacra purnama sasih kedasa, upacara melasti dan upacara ngaben. Upacara purnama kedasa adalah upacara yang dilaksanakan pada bulan purnama ke 10 di Pura Segara. Makna dari upacara ini adalah memohon berkah dan dan karunia dari Hyang Widi (Tuhan Yang Maha Esa) yang telah menerangi dunia berserta isinya. Pada upacara purnama kedasa, masyarakat melakukan sembahyang dan memohon kepada Tuhan agar diberi pengampunan dan disucikan lahir batin dari kesalahan-kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja. Upacara melasti adalah upacara yang dilakukan tiga hari sebelum Hari Raya Nyepi. Umat Hindu melakukan upacara dan sembahyang di tepi pantai dengan tujuan untuk mensucikan diri dari segala perbuatan buruk di masa lalu yang pernah dilakukan dan membuangnya ke laut. Upacara melasti dilaksanakan sebelum Tapa Brata Penyepian. Selain melakukan sembahyang, dilakukan juga penyucian benda-benda sakral milik Pura yang akan diarak keliling desa dengan tujuan untuk menyucikan desa dan selanjutnya dibawa ke laut untuk ritual penyucian terakhir. Upacara yang dilakukan di tepi pantai selanjutnya adalah upacara ngaben yaitu upacara pembakaran mayat yang dilakukan umat Hindu di Bali, upacara pembakaran jenazah ini dilakukan untuk menyucikan roh leluhur orang sudah wafat menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Upacara ngaben dilaksanakan sebagai wujud kasih sayang dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Jenazah orang yang meninggal tersebut akan diarak keliling desa sebelum menuju tempat pembakaran. Setelah jenasah dibakar, abu nya dimasukkan dalam buah kelapa gading kemudian dilakukan upacara pelarungan abu ke laut yang dianggap suci. Awig-awig nomor 6: Dilarang membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir Kedonganan. Aturan mengenai larangan membuang sampah di laut meliputi limbah, sampah organik maupun sampah non-organik. Aturan ini dibuat bertujuan agar kebersihan pantai dan kelestarian lingkungan pantai tetap terjaga karena pantai kedonganan termasuk pantai yang sering dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Agar nelayan dan masyarakat tidak membuang sampah di sembarang tempat, maka disediakan tempat sampah yang letaknya di pinggir Pantai Kedonganan Awig-awig nomor 7: Dilarang melaut pada saat angin musim barat
37
Aturan mengenai larangan melaut pada angin musim barat ini bertujuan untuk menjaga keselamatan nelayan selama melaut. Angin musim barat biasanya berlangsung pada bulan Desember sampai Februari. Angin musim barat adalah angin yang mengalir dari Benua Asia menuju Benua Australia. Pada saat angin musim barat, angin bertiup sangat kencang, curah hujan tinggi dan gelombang laut menjadi tinggi. Nelayan di Pantai Kedonganan mengidentifikasikan musim angin barat ketika langit selalu terlihat gelap selama berhari-hari dan curah hujan tinggi antara bulan Desember sampai Februari. Bila tanda-tanda seperti yang disebutkan sudah terlihat, maka nelayan dilarang melaut demi keselamatan bersama. Larangan melaut pada musim angin barat juga biasanya diumumkan oleh polisi air setempat. 5.4 Tujuan Dibentuknya Awig-awig Sejak dahulu Desa Kedonganan dikenal sebagai desa nelayan karena penduduknya mayoritas bekerja sebagai nelayan. Nelayan Desa Kedonganan memegang teguh aturan lokal atau Awig-awig untuk mengatur perilaku mereka khususnya dalam kegiatan menangkap ikan. Awig-awig merupakan suatu bentuk kelembagaan lokal yang mempunyai sistem norma dan dibentuk berdasarkan kesepakatan masyarakat bersama. Tujuan dibentuknya Awig-awig yang merupakan kelembagaan lokal tersebut adalah untuk memberikan pedoman berperilaku pada nelayan dalam bermasyarakat khususnya dalam kegiatan penangkapan ikan, menjaga keutuhan masyarakat nelayan karena mereka menjadikan Awig-awig sebagai pedoman yang diterima bersama, memberi pegangan kepada nelayan untuk mengadakan kontrol sosial seperti sistem pengawasan untuk menghindari dampak negatif lingkungan dan memudarnya budaya akibat kegiatan yang mereka lakukan serta untuk memenuhi kebutuhan pokok nelayan dalam kegiatan menangkap ikan. Awig-awig tersebut dibuat berdasarkan ajaran agama Hindu yang melekat dengan budaya Bali. Landasan Awig-awig tersebut adalah Tri Hita Karana yang mengajarkan tentang keharmonisan dan keseimbangan hidup manusia yaitu keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Walaupun sekarang bermunculan sektor-sektor lain yang lebih mendominasi selain sektor perikanan serta meningkatnya jumlah nelayan pendatang, namun Awig-awig mengenai pengaturan penangkapan ikan tetap dipertahankan dan diterapkan dengan tujuan agar keseimbangan hubungan yang terkandung dalam ajaran Tri Hita Karana tetap dijalankan. Selain itu, budaya Bali harus tetap dipertahankan seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya budaya dari berbagai daerah. Wujud penerapan ajaran Tri Hita Kirana dapat terlihat dari isi aturan-aturan dalam Awig-awig tersebut. Filosofi Tri Hita Karana yang melandasi masing-masing aturan dapat dilihat pada Tabel 6.
38
Tabel 6 Penerapan filososofi Tri Hita Karana pada Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan Filosofi Tri Hita Karana Keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan
Keharmonisan hubungan manusia dengan manusia Keharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan
Turunan Filosofi Tri Hita Karana pada Awig-awig - Awig-awig nomor 4: larangan melaut pada Hari Raya Nyepi - Awig-awig nomor 5: larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan - Awig-awig nomor 7: larangan melaut pada angin musim barat - Awig-awig nomor 1: larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya - Awig-awig nomor 2: larangan merusak terumbu karang secara sengaja - Awig-awig nomor 3: larangan mengambil biota laut yang dilindungi - Awig-awig nomor 6: larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir
Ajaran mengenai keseimbangan hubungan antara manusia denga Tuhan diwujudkan dengan Awig-awig nomor 4 yaitu larangan melaut pada saat Hari Raya Nyepi karena pada hari tersebut diharapkan semua masyarakat terutama umat Hindu melakukan perenungan atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan di masa lalu dan berharap pada Tuhan Yang Maha Esa agar diberikan kesucian lahir batin. Ajaran mengenai keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia diwujudkan dengan Awig-awig nomor 5 yaitu larangan mengenai larangan melaut di sekitar Pantai Kedonganan pada saat dilaksanakan upacara keagaaman. Aturan ini bertujuan agar masyarakat menghargai orang-orang yang sedangkan melangsungkan upacara keagamaan dan tidak menimbulkan gangguan agar menjaga kekhidmatan ibadah. Aturan nomor 7 yaitu larangan melaut pada angin musim barat merupakan wujud dari keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia. Aturan ini dibuat untuk melindungi nelayan dari ancaman kecelakaan saat melaut pada angin musim barat karena gelombang air laut yang cenderung meningkat. Ajaran mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungan diwujudkan dengan Awig-awig nomor 1 mengenai larangan menangkap ikan menggunakan bom, potasium, racun, pukat harimau dan berbahaya lainnya, Awig-awig nomor 2 mengenai larangan merusak terumbu karang secara sengaja, Awig-awig nomor 3 mengenai larangan merusak biota laut yang dilindungi, Awig-awig nomor 6 mengenai larangan membuang sampah di laut. Aturan-aturan tersebut dibuat agar lingkungan pantai tetap terjaga kelestariannya. 5.4 Wujud Kontrol dan Sosialisasi Aturan Lokal Awig-awig merupakan aturan lokal yang mengatur sistem perilaku atau tata kelakuan manusia dalam kehidupan masyarakat. Awig-awig berisi
39
sekumpulan norma yang mempunyai beberapa tingkatan norma baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Sebagai wujud kontrol Awig-awig agar dapat berjalan sesuai dengan nilai dan norma yang telah disepakati, maka diterapkan sanksi-sanksi bagi pihak yang melanggar aturan tersebut. Kontrol sosial bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Penerapan sanksi merupakan suatu wujud upaya represif. Sanksi tersebut ada yang bersifat ringan dan berat tergantung dengan jenis pelanggarannya. Seperti yang disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat (NS/50 tahun) “Dalam setiap aturan dalam Awig-awig terdapat sanksi-sanksi yang sifatnya sebagai kontrol terhadap perilaku masyarakat. Sanksi-sanksi tersebut ada yang ringan dan ada yang berat tergantung jenis pelanggarannya. Setiap nelayan harus mematuhi dan mentaati Awig-awig tersebut. Dalam kebudayaan Bali, bagi yang melanggar Awig-awig akan dikenakan sanksi yang berlaku dan tidak memandang status sosial. Misalnya ada yang melanggar aturan mengenai larangan untuk berpergian pada saat Hari Raya Nyepi. Walaupun yang melanggar status sosial nya tinggi di masyarakat, namun tetap menerima hukuman dari pecalang berupa denda dan bersih-bersih lingkungan desa” Sanksi yang berlaku berbeda-beda dalam setiap aturan. Berikut rincian sanksi dari setiap aturan yang berlaku: Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor 1: Pembakaran jukung (perahu) dan tidak diperkenankan melaut di sekitar laut Kedonganan. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor 2: Penyitaan kapal selama beberapa hari dan pembayaran sejumlah denda. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor 3: Penyitaan kapal selama beberapa hari dan pembayaran sejumlah denda. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor 4: Membayar sejumlah denda dan mendapat hukuman bersih-bersih lingkungan desa. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor 5: Sanksi berupa teguran namun bila sudah sangat menganggu kekhidmatan beribadah maka akan mendapat hukuman membayar sejumlah denda atau hukuman bersihbersih lingkungan pantai. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor 6: Sanksi berupa teguran namun bila membuang sampah dengan jumlah yang sangat banyak maka akan dikenakan hukuman membayar denda. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor 7: Sanksi hanya berupa teguran karena aturan ini dibuat untuk melindungi keselamatan nelayan dari musibah akibat gelombang tinggi dan cuaca buruk. Terdapat empat tingkatan norma berdasarkan sanksi dan pelanggarannya, mulai dari yang terlemah sampai dengan yang terkuat sanksinya yaitu cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores) dan adat (customes). Awigawig nomor 2, 3 dan 4 termasuk dalam tingkatan norma tata kelakuan karena sanksi bagi yang melanggar berupa hukuman. Awig-awig nomor 5, 6 dan 7 termasuk dalam tingkatan norma kebiasaan karena hukuman bagi yang melanggar
40
adalah berupa teguran dan secara moral akan merasa malu. Namun bila jenis pelanggarannya dianggap sangat berat, maka Awig-awig nomor 5 dan 6 dapat digolongkan dalam tingkatan norma tata kelakuan. Awig-awig nomor 1 termasuk dalam tingkatan norma adat karena sanksi bagi yang melanggar adalah tidak diperbolehkan lagi melaut di Pantai Kedonganan dengan kata lain nelayan mengeluarkan pelaku dari komunitasnya. Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan berdasarkan tingkatan norma dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan berdasarkan tingkatan norma No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Awig-awig Larangan menangkap ikan menggunakan bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya Larangan merusak terumbu karang secara sengaja Larangan mengambil biota laut yang dilindungi Larangan melaut pada Hari Raya Nyepi Larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan Larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir Larangan melaut pada angin musim barat
Tingkatan Norma Adat (customes) Tata kelakuan (mores) Tata kelakuan (mores) Tata kelakuan (mores) Kebiasaan (folkways) Kebiasaan (folkways) Kebiasaan (folkways)
Sosialisasi aturan lokal perlu dilakukan sebagai bentuk proses penanaman atau transfer kebiasan atau nilai dan aturan dalam lingkungan masyarakat. Bentuk sosialisasi Awig-awig bagi nelayan dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan dilakukan melalui beberapa cara diantaranya sosialisasi yang dilakukan secara lisan oleh tokoh masyarakat desa, tokoh pemerintah, ketua nelayan, penduduk pribumi serta sosialisasi melalui media tulisan. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah hanya diperoleh pihak-pihak tertentu saja sehingga tidak semua nelayan mendapatkan sosialisasi langsung dari pemerintah. Sosialisasi yang dilakukan oleh ketua kelompok nelayan biasanya dilakukan ketika diadakan pertemuan kelompok nelayan atau ketika mereka sedang berkumpul bersama khusunya kepada nelayan yang baru. Ketua kelompok nelayan juga dibantu oleh beberapa nelayan pribumi yang dituakan di Desa Kedonganan. Bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh tokoh masyarakat desa biasanya gencar dilakukan ketika mendekati Hari Raya Nyepi atau ketika akan diadakan upacara kegamaan setempat. Bentuk sosialisasi melalui media tulisan yaitu terdapat papan yang berisi aturan larangan menangkap biota laut yang dilindungi dan juga terdapat Awig-awig tertulis yang dibukukan namun tidak ada buku khusus Awig-awig dalam mengatur kehidupan masyarakat nelayan, hanya peraturan mengenai larangan-larangan pada saat Hari Raya Nyepi yang terdapat di buku tersebut karena aturan tersebut berlaku bagi seluruh masyarakat desa. Selain terdapat tulisan yang berisi larangan dan peringatan, terdapat pula gambar-gambar dan nama jenis-jenis biota laut yang dilindungi untuk mempermudah nelayan mengetahui jenis-jenis biota laut yang dilindungi. Seperti yang dilakukan oleh salah satu tokoh masyarakat desa (KP/50 tahun)
41
“Kami selaku tokoh masyarakat juga memberikan sosialisasi kepada nelayan sebelum Hari Raya Nyepi dan sebelum berlangsungnya upacara kegamaan di sekitar pantai khususnya kepada nelayan pendatang. Kalau pada zaman dahulu, setiap ada upacara keagamaan desa, seluruh masyarakat desa dihimbau untuk tidak melakukan pekerjaan selama dua hari, namun sekarang zaman sudah berbeda karena biaya kebutuhan sudah meningkat sehingga masyarakat harus tetap bekerja kecuali pada Hari Raya Nyepi. Selain itu kami juga turut menghimbau agar nelayan menjaga kebersihan pantai dan tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan yang dapat merusak lingkungan dan biota laut. Kami juga mengimbau kepada nelayan asli Desa Kedonganan untuk melakukan sosialisasi khususnya kepada nelayan pendatang” 5.5 Ikhtisar Awig-awig merupakan suatu bentuk kelembagaan lokal yang mengatur perilaku atau tata kelakuan masyarakat sesuai nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Awig-awig dalam pengaturam kehidupan masyarakat nelayan bertujuan mengatur perilaku nelayan baik nelayan pribumi maupun nelayan pendatang. Awig-awig merupakan sekumpulan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat berlandaskan ajaran agama Hindu Tri Hita Karana yang mengajarkan keharmonisan atau keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan lingkungan. Agama Hindu sangat melekat dengan kebudayaan Bali. Terdapat tujuh aturan lokal pada Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan, yaitu: Awig-awig nomor 1: larangan mengambil ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya. Awig-awig nomor 2: larangan merusak terumbu karang secara sengaja. Awig-awig nomor 3: larangan mengambil biota laut yang dilindungi. Awig-awig nomor 4: larangan melaut pada Hari Raya Nyepi. Awig-awig nomor 5: larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan setempat. Awig-awig nomor 6: larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir. Awig-awig nomor 7: larangan melaut pada angin musim barat. Tujuan dibentuknya kelembagaan lokal Awig-awig tersebut adalah adalah untuk memberikan pedoman berperilaku pada nelayan dalam bermasyarakat khususnya dalam kegiatan penangkapan ikan, menjaga keutuhan masyarakat nelayan karena mereka menjadikan Awig-awig sebagai pedoman yang diterima bersama, memberi pegangan kepada nelayan untuk mengadakan kontrol sosial seperti sistem pengawasan untuk menghindari dampak negatif lingkungan dan memudarnya budaya akibat kegiatan yang mereka lakukan serta untuk memenuhi kebutuhan pokok nelayan dalam kegiatan menangkap ikan. Selain itu Awig-awig juga mempunyai tujuan agar keseimbangan hubungan dan keharmonisan yang
42
terkandung dalam ajaran Tri Hita Karana dan merupakan kebudayaan yang sudah melekat pada masyarakat Bali tetap dipertahankan seiring dengan perkembangan zaman. Awig-awig juga bertujuan untuk mengatur tata kelakuan dan perilaku masyarakat dalam hal ini nelayan agar menuju keseimbangan dan keharmonisan khususnya dalam kegiatan penangkapan ikan. Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan juga berperan sebagai kontrol terhadap budaya dan lingkungan agar terhindar dari dampak negatif. Kontrol sosial bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat serta sebagai sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. Sebagai wujud kontrol sosial, maka diberlakukan sanksi untuk setiap bentuk pelanggaran. Sanksi yang diterapkan merupakan satu wujud upaya represif. Terdapat empat tingkatan norma berdasarkan sanksi dan pelanggarannya, mulai dari yang terlemah sampai dengan yang terkuat sanksinya yaitu cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores) dan adat (customes). Awig-awig yang mempunyai tingkatan norma kebiasaan (folkways) yaitu Awig-awig nomor 5 mengenai larangan melaut pada Hari Raya Nyepi, Awig-awig nomor 6 mengenai larangan melaut ada saat berlangsungnya upacara keagamaan setempat dan Awig-awig nomor 7 mengenai larangan melaut pada angin musim barat. Awig-awig yang mempunyai tingkatan norma tata kelakuan (mores) yaitu Awig-awig nomor 2 mengenai larangan merusak terumbu karang secara sengaja, Awig-awig nomor 3 menegnai larangan mengambil biota laut yang dilindungi dan Awig-awig nomor 4 mengenai larangan melaut pada saat Hari Raya Nyepi. Awig-awig yang mempunyai tingkatan norma adat (customes) yaitu Awig-awig nomor 1 mengenai larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, potasium, bom dan bahan kimia berbahaya lainnya. Bentuk sosialisasi Awig-awig bagi nelayan dalam pengaturan penangkapan ikan dilakukan melalui beberapa cara diantaranya sosialisasi yang dilakukan secara lisan oleh tokoh masyarakat desa, tokoh pemerintah, ketua nelayan, penduduk pribumi atau nelayan pribumi yang dihormati di Desa Kedonganan serta sosialisasi melalui media tulisan seperti papan pengumuman atau buku Awigawig. Ringkasan mengenai aturan Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan dapat terlihat pada Tabel 8.
43
Tabel 8
No 1
Ringkasan bentuk Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan
Isi Awig-awig Dilarang menangkap ikan menggunakan bom, potasium, racun, pukat harimau dan bahan berbahaya lainnya Dilarang merusak terumbu karang secara sengaja
Sasaran Nelayan Pribumi dan Pendatang
Penghargaan Mendapatkan bantuan kapal dari Pemerintah pada tahun 2012
Nelayan pribumi dan Pendatang
Sanksi Pembakaran perahu dan tidak diperkenankan melaut di Pantai Kedonganan lagi Penyitaan kapal dan pembayaran sejumlah denda
3
Dilarang mengambil biota laut yang dilindungi
Nelayan pribumi dan pendatang
Penyitaan kapal dan pembayaran sejumlah denda
-
4
Dilarang melaut pada Hari Nelayan Raya Nyepi pribumi dan pendatang
Membayar sejumlah denda dan mendapat hukuman bersihbersih desa
-
5
Dilarang melaut di sekitar Pantai Kedonganan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan
Nelayan pribumi dan pendatang
Mendapat teguran, membayar sejumlah denda atau bersih-bersih desa
6
Dilarang membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir
Nelayan pribumi dan pendatang
Mendapat teguran atau membayar denda
7
Dilarang melaut pada angin musim barat
Nelayan pribumi dan pendatang
Mendapat teguran
Warga secara sukarela membantu bila ada nelayan yang mengadakan acara adat atau keagamaan walaupun bukan umat Hindu Penambahan anggaran dari desa untuk fasilitas nelayan -
2
-
44
45
BAB VI PENGETAHUAN, PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI NELAYAN PRIBUMI DAN PENDATANG TERHADAP AWIGAWIG 6.1 Pendahuluan Aturan lokal di Pantai Kedonganan Bali atau yang disebut dengan Awigawig merupakan aturan lokal yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan khususnya dalam kegiatan penangkapan ikan bagi nelayan. Awig-awig tersebut dibuat atas kesepakatan nelayan setempat dan juga tokoh masyarakat desa adat untuk menjaga keseimbangan hubungan atau keharmonisan hidup. Awig-awig dibuat berlandaskan ajaran Agama Hindu Tri Hita Karana yaitu keharmonisan atau keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Selain untuk menjaga keseimbangan hubungan dan keharmonisan hidup, Awig-awig juga dibuat dengan tujuan untuk melestarikan nilai, norma dan budaya Bali yang melekat pada Awig-awig, memberi pedoman berperilaku, menjaga keutuhan, memenuhi kebutuhan pokok dan untuk melindungi budaya serta lingkungan dari dampak negatif. Efektivitas Awig-awig dalam mengatur perilaku nelayan dapat dilihat dari pengetahuan, pemahaman dan implementasi yang dimiliki oleh nelayan pribumi dan nelayan pendatang. Selain itu juga dapat menunjukan aturan lokal tersebut tersampaikan dengan baik atau tidak kepada nelayan pribumi maupun nelayan pendatang. Latar belakang budaya yang berbeda antara nelayan pribumi dan nelayan pendatang serta bentuk sosialisasi juga memberikan pengaruh pada tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi terhadap aturan lokal. Pengetahuan, pemahaman dan implementasi merupakan ranah kognitif domain. Pengetahuan meliputi mengetahui atau tidak mengetahui suatu informasi dan mampu mengingat kembali informasi tersebut. Pemahaman meliputi memahami isi informasi yang sudah diketahui tersebut dan memahami tujuan dari informasi serta mampu menjelaskan dan mencontohkan. Implementasi adalah penerapan dari pengetahuan dan pemahaman yang sudah diperoleh sebelumnya pada kondisi nyata untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan informasi adalah informasi tentang Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan. Tingkat peghayatan terhadap Awigawig dari tingkat terendah sampai tertinggi yaitu mengetahui, memahami dan mengimplementasikan. Implementasi merupakan tingkatan yang paling tinggi karena dalam tahap ini nelayan sudah memiliki pengetahuan, pemahaman, keyakinan, kesadaran dan didukung dengan berbagai kondisi sehingga mampu menerapkan Awig-awig dalam kehidupan nyata. Pada bab ini akan dibahas pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan pribumi dan nelayan pendatang terhadap Awig-awig nomor satu sampai Awig-awig nomor tujuh serta tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap keseluruhan aturan dalam Awig-awig. Setelah mengetahui pengetahuan, pemahaman dan implementasi yang dimiliki responden, maka dapat terlihat efektivitas Awig-awig tersebut dalam mengatur perilaku nelayan. Efektivitas Awig-awig dapat dinilai dari kemampuan Awig-awig tersebut dalam mengatur perilaku nelayan yang dapat dilihat dari tingkat pelanggaran yang
46
terjadi. Tingkat pelanggaran terbagi menjadi dua yaitu tingkat pelanggaran sedang dan tingkat pelanggaran tinggi. 6.2 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awigawig Nomor Satu Awig-awig dalam pengaturan penangkapan ikan bagi nelayan merupakan aturan mengenai larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan berbahaya kimia lainnya. Tujuan dibuatnya aturan ini adalah agar melindungi lingkungan laut dari dampak negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan seperti tercemarnya air laut, rusaknya biota laut yang dilindungi dan rusaknya terumbu karang. Efektivitas Awig-awig nomor 1 dalam mengatur perilaku bagi nelayan pribumi dan nelayan pendatang dapat dilihat dari pengetahuan, pemahaman dan implentasinya. Persentase nelayan pribumi dan pendatang terhadap pengetahuan, pemahaman dan implementasi Awig-awig nomor 1 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 1 Kategori Nelayan
Mengetahui
Memahami
Mengimplentasikan
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
Nelayan Pribumi
100
0
100
0
100
0
Nelayan Pendatang
100
0
100
0
100
0
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebanyak 100% responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awigawig nomor 1. Alasan mereka sangat mentaati aturan tersebut, antara lain : 1. Mereka mentaati aturan tersebut karena merasa bahwa menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya merupakan tindakan yang jahat karena dapat mencemari laut dan merusak biota laut. 2. Bila laut sudah tercemar dan biota laut banyak rusak, maka sumber mata pencaharian mereka akan berkurang. 3. Sanksi yang berlaku pun sangat berat yaitu pembakaran kapal dan tidak diperbolehkan lagi melaut di pesisir kedonganan. Selain itu mereka juga akan dikenakan sanksi dari pemerintah seperti pembayaran denda dan penangkapan. 4. Petugas patroli kerap mengawasi dan mengontrol jalannya kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia termasuk di laut kedonganan. Jika petugas mengetahui adanya pelanggaran penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, maka petugas akan menangkap dan memberi hukuman pada nelayan.
47
5. Bagi nelayan pendatang, menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya juga berlaku di semua perairan Indonesia, tidak hanya di laut kedonganan saja. Sehingga nelayan pendatang yang tidak hanya melaut di Pantai Kedonganan tetapi juga melaut di beberapa perairan Indonesia, sudah terbiasa dengan aturan tersebut. 6. Bagi nelayan penatang, mereka merasa sebagai pendatang harus turut menghargai dan menjaga kelestarian lingkungan laut yang menjadi sumber mata pencaharian mereka. Seperti yang dikatakan oleh salah satu nelayan pendatang yang menjadi responden pada penelitian ini (BG/45 tahun) “Di seluruh perairan di Indonesia sekarang sudah berlaku larangan menggunakan alat-alat dan bahan kimia berbahaya dalam menangkap ikan. Petugas juga selalu mengawasi jalannya kegiatan melaut apalagi pada malam hari. Kalo petugas mengetahui adanya nelayan yang melanggar aturan tersebut maka akan langsung ditangkap dan diberi hukuman bahkan bisa mendapat hukuman kurungan dan denda. Lagipula di sini kan kami hanya menumpang bekerja ya sudah seharusnya kami juga turut menjaga lingkungan laut” Para nelayan pribumi dan nelayan tersebut mengetahui Awig-awig nomor 1 melalui sosialisasi lisan yang dilakukan oleh pemerintah, ketua kelompok nelayan dan tokoh masyarakat desa. Seperti yang dikatakan salah satu responden nelayan pribumi (IKD/48 tahun) “Kami tidak menggunakan bom, potasium, pukat harimau dan bahan-bahan kimia karena itu perbuatan yang akan menyebabkan biota laut musnah dan laut jadi tercemar. Sumber mata pencaharian kami akan berkurang. Laut merupakan anugrah dari Sang Hyang Widhi yang harus kami jaga apalagi kami adalah orang asli desa ini. Sanksi yang berlaku pun berat jika ada yang melanggar aturan tersebut. Baik sanksi adat maupun dari pemerintah.” Disimpulkan bahwa semua responden nelayan pribumi maupun pendatang mengimplementasikan Awig-awig nomor 1 karena faktor sanksi, petugas dan kesadaran nelayan akan bahaya nya penggunaan alatalat tersebut 6.3 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan Terhadap Awigawig Nomor Dua Aturan lokal nomor dua yaitu mengenai larangan merusak terumbu karang secara sengaja. Seluruh nelayan yang melaut dilarangan mengambil terumbu karang, membuang limbah di sekitar terumbu karang dan membuang jangkar di wilayah yang dekat dengan terumbu karang sehingga benturannya dapat merusak terumbu karang. Selain itu, pemboman dan penggunaan bahan kimia dalam
48
menangkap ikan juga dapat merusak terumbu karang. Persentase nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig nomor dua mengenai larangan merusak terumbu karang secara sengaja dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 2 Kategori Nelayan
Nelayan Pribumi Nelayan Pendatang
Mengetahui
Memahami
Mengimplentasikan
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
83
17
76
24
70
30
100
0
100
0
70
30
Tabel 10 menunjukkan sebanyak 83% responden nelayan pribumi mengetahui adanya aturan tersebut dan 17% tidak mengetahui adanya aturaan tersebut, 76% memahami dan 24% responden tidak memahami mengenai aturan Awig-awig nomor 2, 76% responden mengimplementasikan aturan dan 24% responden yang melanggar aturan tersebut. Responden yang memahami maksud dari aturan tersebut sudah pasti mengetahui mengenai adanya aturan tersebut dan responden yang mengimplementasikan aturan tersebut sudah pasti mengetahui dan memahami. Responden yang tidak mengetahui adanya Awig-awig nomor 2 tersebut memiliki alasan mengapa mereka tidak mengetahui aturan tersebut, yaitu: 1. Mereka mengaku tidak pernah mendapat sosialisasi secara lisan maupun tulisan. Padahal menurut keterangan tokoh masyarakat, sosialisasi sudah pernah dilakukan dan sosialisasi antar sesama nelayan pun sering dilakukan. 2. Mereka juga merasa bahwa terumbu karang memang sudah banyak yang rusak akibat kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden (IKY/40 tahun) “Saya tidak mengetahui adanya larangan tersebut karena saya tidak pernah mendapatkan sosialisasi mengenai larangan itu. Terumbu karang di sini kan memang bukan menjadi andalan. Beberapa nelayan juga ada yang mengambil terumbu karang kecil dan dijual kembali sebagai souvenir, saya pun kadang begitu atau hanya sekedar jadi hiasan di rumah” Responden nelayan pribumi yang mengetahui adanya aturan tersebut namun tidak memahami dan tidak mengimplementasikan nya mengaku tidak memahami maksud dari larangan merusak terumbu karang secara sengaja, mereka tidak dapat menjelaskan tujuan, makna dan memberi contoh tindakan merusak terumbu karang secara sengaja. Mereka hanya sekilas mengetahui mengenai aturan tersebut. Responden yang tidak memahami mengenai maksud dari aturan tersebut, secara langsung juga tidak mengimplementasikannya. Mereka mempunyai beberapa alasan mengapa tidak mengimplementasikan padahal mereka mengetahui dan memahaminya, alasan tersebut antara lain :
49
1.
2.
3.
Mereka yang tidak mengimplementasikan aturan tersebut beralasan bahwa terumbu karang yang berada di sekitar laut kedonganan dari dulu memang tidak terlalu bagus dan tidak terlalu terpelihara sehingga mereka terkadang mengambil terumbu karang untuk dijadikan koleksi pribadi. Mereka hanya mengambil terumbu karang yang kecil untuk koleksi pribadi namun terkadang dijual kepada penjual souvenir di saat musim tangkapan ikan sedikit untuk menambah penghasilan namun tidak sering. Terumbu karang yang bentuknya kecil mudah luput dari pengawasan petugas. Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden yang mengetahui mengenai Awig-awig nomor 2 tersebut namun tidak memahami dan mengimplementasikannya (IWK/45 tahun) “Dari dulu terumbu karang di laut kedonganan memang tidak terlalu bagus dan tidak terpelihara, apalagi sejak banyak jukung yang menggunakan mesin. Saya tidak memahami maksud dari aturan tersebut karena memang tidak ada pihak yang menjelaskan pada saya dan juga tidak aturan yang tertulis. Kalau mengambil karang yang kecil-kecil saya rasa tidak apa-apa, saya juga terkadang ngambil tapi tidak sering”
Sementara itu, Tabel 10 menunjukkan bahwa sebesar 100% responden pendatang yang mengetahui Awig-awig nomor 2, 100% responden yang memahami dan 70% yang mengimplementasikan aturan lokal yang telah disepakati tersebut. Responden yang mengimplementasikan aturan tersebut sudah pasti memahami dan mengetahui. Begitu pula responden yang memahami sudah pasti juga mengetahui. Jumlah responden yang memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai larangan merusak terumbu karang secara sengaja, menunjukkan bahwa sosialisasi yang dilakukan sudah membuat nelayan pendatang memahami dan mengerti meskipun masih ada nelayan yang melanggar aturan. Responden yang mengetahui, memahami namun tidak mengimplementasikan aturan lokal tersebut memiliki beberapa alasan mengapa mereka tidak mengimplementasikannya, yaitu: 1. Mereka beralasan hanya mengambil terumbu karang yang kecil saja untuk koleksi pribadi. Mereka menganggap bahwa mengambil terumbu karang yang kecil tidak akan menimbulkan kerusakan besar. 2. Mereka juga tidak terlalu memperhatikan wilayah tempat mereka membuang jangkar, terkadang mereka juga membuang jangkar di sekitar terumbu karang bila memang banyak ikan yang berkumpul di sekitar wilayah tersebut meskipun mengetahui resiko yang akan ditimbulkan bila jangkar tersebut berbenturan dengan karang. Seperti yang dikatakan oleh salah satu nelayan pendatang yang menjadi responden dalam penelitian ini (SN/30 tahun) “Kalau misalnya kami memancing di tengah laut dan banyak ikan yang berkumpul di wilayah sekitar terumbu karang maka kami membuang jangkar di sekitar situ agar kapal kami tidak terbawa arus. Walaupun benturan jangkar bisa merusak terumbu karang tapi mau bagaimana lagi karena kita juga harus menangkap ikan yang banyak untuk di bawa ke daratan”
50
Disimpulkan bahwa masih ada 30% nelayan pribumi dan 30% nelayan pendatang yang tidak mengimplementasikan Awig-awig nomor 2 karena faktor perbedaan persepsi, sosialisasi yang kurang dapat dimengerti masyarakat dan batas wilayah yang tidak jelas. 6.4 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awigawig Nomor Tiga Larangan mengambi biota laut yang dilindungi juga termasuk aturan lokal yang berlaku bagi nelayan di Pantai Kedonganan. Aturan tersebut termasuk dalam Awig-awig nomor 3. Biota laut yang dilarang untuk diambil antara lain meliputi lumba-lumba, penyu belimbing, penyu hijau, penyu pipih, penyu ridel, penyu sisik, penyu tempayan, pelagic threser (hiu monyet, tikusan, cucut pedang), bigeye threser (hiu lancur, hiu lutung, hiu tikus, paitan) dan hiu common threser. Untuk mempermudah nelayan mengetahui dan mengingat jenis biota laut yang dilindungi, maka terdapat papan yang berisi tulisan larangan mengambil biota laut serta nama-nama dan gambar biota laut yang dilarang untuk ditangkap. Persentase jumlah responden yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awigawig nomer 3 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 3 Kategori Nelayan
Nelayan Pribumi Nelayan Pendatang
Mengetahui
Memahami
Mengimplentasikan
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
100
0
96
4
86
14
100
0
100
0
76
24
Tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak 100% nelayan pribumi sudah mengetahui adanya aturan mengenai larangan mengambil biota laut yang dilindungi, 96% responden yang memahami dan 86% responden yang mengimplementasikan aturan tersebut. Responden yang mengetahui namun tidak memahami mengenai larangan tersebut mengaku belum pernah mendapatkan sosialisasi secara lisan dan belum sempat membaca papan yang berisi aturan mengenai larangan mengambil biota laut yang dilindungi tersebut. Larangan mengambil biota laut yang dilindungi ini juga merupakan aturan pemerintah yang sedang gencar di sosialisasikan untuk melindungi satwa-satwa dari kepunahan. Responden yang sudah mengetahui namun belum memahami yaitu hanya berjumlah satu orang atau sebesar 96%. Responden yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig nomor 3 mempunyai beberapa alasan mengapa mereka mentaati aturan tersebut, antara lain : 1. Aturan dalam Awig-awig nomor 3 mempunyai sanksi formal yang sangat berat dari pemerintah seperti membayar denda dengan sejumlah uang dan hukuman penjara.
51
2.
Selain mendapatkan sanksi dari pemerintah, bagi pihak yang melanggar juga mendapat sanksi adat. Untuk itu mereka menghindari tindakan pelanggaran tersebut karena akan sangat merugikan. 3. Mereka juga merasa bahwa biota laut tersebut perlu dilindungi agar tidak punah. Responden yang mengetahui, memahami namun tidak mengimplementasikan aturan tersebut mempunyai alasan bahwa mereka terkadang membawa pulang penyu kecil yang menyangkut di jala mereka dan membawanya pulang untuk dibiakkan. Jika sudah dibiakkan maka mereka akan mengembalikannya ke laut lagi. Mereka melakukan hal itu sebagai hobi yang menyenangkan dan petugas pun tidak selalu mengadakan kontrol terhadap hasil tangkapan. Namun tetap saja perbuatan itu melanggar aturan lokal yang ada. Seperti yang dikatakan salah satu nelayan pribumi yang menjadi responden pada penelitian ini (IMR/45 tahun): “Kalau ada penyu kecil yang menyangkut di jala dan ngga ketahuan sama petugas ya saya bawa pulang saja untuk dibiakkan. Tapi nanti kalau sudah pada besar saya kembalikan lagi ke laut” Sementara itu, Tabel 11 menunjukkan bahwa 100% responden nelayan pendatang mengetahui dan memahami mengenai Awig-awig nomor 3 serta 74% responden yang mengimplementasikan dan 24% responden yang tidak mengimplementasikan. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa sosialisasi yang dilakukan mengenai larangan mengambil biota laut sudah dapat dipahami dan dimengerti oleh nelayan pendatang dengan baik. Selain itu sosialisasi mengenai aturan tersebut tidak hanya di lakukan di kedonganan melainkan dilakukan di seluruh perairan Indonesia sehingga nelayan pendatang sudah mendapatkan sosialisasi tersebut di beberapa tempat. Responden yang mengetahui, memahami namun tidak mengimplementasikan aturan tersebut mempunyai beberapa alasan mengapa mereka tidak mentaati aturan tersebut, yaitu: 1. Mereka mengambil penyu yang menyangkut di jala atau juga sengaja mengambil penyu tersebut untuk dibiakkan. Setelah berkembang biak maka akan dikembalikan lagi ke laut. 2. Petugas yang tidak selalu mengadakan kontrol terhadap hasil tangkapan nelayan sehingga mereka sembunyi-sembunyi mengambilnya. 3. Harga penyu yang lumayan tinggi dapat menambah penghasilan nelayan Seperti yang dikatakan oleh salah satu nelayan pendatang yang menjadi responden (SN/30 tahun) “Kalau penyu nyangkut di jala kita, kadang kita ambil saja buat dibiakkan lalu di kembalikan lagi ke laut bahkan ada juga yang jual karena harganya lumayan tinggi. Tapi kalau ketahuan sama petugas penyu nyangkut di jala ya langsung kita lepaskan saat itu juga. Tetapi petugas juga tidak bisa selalu mengontrol hasil tangkapan nelayan. Letak pos petugas nya saja tidak menyebar di sekitar pantai”
52
Disimpulkan bahwa masih ada 14% nelayan pribumi dan 24% nelayan pendatang yang tidak mengimplementasikan Awig-awig karena faktor ketidaksengajaan, faktor ekonomi dan lemahnya pengawasan. 6.5 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awigawig Nomor Empat Hari Raya Nyepi merupakan hari yang suci bagi umat Hindu dimana pada hari itu seluruh penduduk di Bali melakukan Catur Brata yaitu tidak boleh menyalakan api atau listrik (amati geni) kecuali di dalam rumah nya terdapat orang yang sakit, orang yang meninggal dan bayi berumur kurang dari tiga bulan, tidak boleh bekerja (amati karya), tidak boleh menikmati hiburan (amati lelanguan) dan tidak boleh berpergian (amati lampah). Jika mereka ada yang melanggar maka akan mendapat sanksi adat dari pecalang yaitu istilah yang digunakan untuk polisi adat. Larangan melaut pada saat Hari Raya Nyepi di sekitar Pantai Kedonganan pun juga berlaku bagi nelayan pendatang meskipun mereka berasal dari daerah, budaya dan agama yang berbeda. Begitu pula dengan kegiatan melaut yang dilakukan oleh nelayan pun dihentikan selama Hari Raya Nyepi. Persentase jumlah responden nelayan yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig nomor 4 dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 4 Kategori Nelayan
Nelayan Pribumi Nelayan Pendatang
Mengetahui
Memahami
Mengimplentasikan
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
100
0
100
0
100
0
100
0
100
0
93
7
Tabel 12 menunjukkan bahwa 100% responden nelayan pribumi yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan larangan melaut pada Hari Raya Nyepi. Hal ini karena mereka memeluk agama Hindu secara turun menurun sehingga mereka sangat menghargai Hari Raya Nyepi yang merupakan hari suci umat Hindu. Mereka telah mengetahui dan memahami aturan tersebut sejak mereka masih kecil. Selama Hari Raya Nyepi berlangsung, para nelayan pribumi melakukan renungan dan doa kepada Sang Hyang Widi agar diampuni segala kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dan meminta agar disucikan lahir dan batin. Selain itu, mereka meminta kehidupan yang lebih baik di masa depan. Tabel 12 juga menunjukkan bahwa sebanyak 100% responden nelayan pendatang yang sudah mengetahui dan memahami mengenai larangan melaut di sekitar Pantai Kedonganan pada saat Hari Raya Nyepi. Tokoh masyarakat dan ketua kelompok nelayan sangat gencar melakukan sosialisasi mengenai aturan tersebut kepada nelayan pendatang menjelang Hari Raya Nyepi. Selain itu, nelayan pribumi dan masyarakat setempat juga ikut memberitahu nelayan pendatang mengenai larangan apa saja yang berlaku pada saat Hari Raya Nyepi.
53
Dari data yang diperoleh, terdapat 93% responden yang mengimplementasikan aturan tersebut dan sebesar 7% yang melanggar atau sebanyak 2 orang. Mereka yang melanggar aturan tersebut beralasan bahwa mereka ingin menyelamatkan perahu mereka yang mulai terbawa arus air dan bukan bermaksud tidak menghargai Hari Raya Nyepi. Nelayan pendatang yang melanggar aturan tersebut merupakan nelayan yang belum lama bekerja sebagai nelayan di Kedonganan. Walaupun mereka beralasan ingin menyelamatkan perahu mereka yang terbawa arus, namun tetap saja tindakan tersebut melanggar Awig-awig yang berlaku. Mereka mendapat hukuman dari pecalang berupa denda dan hukuman membersihkan desa. Seperti yang dikatakan oleh salah satu nelayan pendatang yang melanggar aturan (AL/40) “Saya memahami dan mengerti mengenai larangan pada Hari Raya Nyepi. Namun pada saat itu saya mendapat kabar bahwa perahu saya terbawa arus air laut, saya dan salah satu teman saya yang juga nelayan pergi ke pantai untuk menyelamatkan perahu saya agar tidak hilang. Tapi pada akhirnya ketahuan oleh pecalang dan mendapatkan hukuman. Saya bukan berniat ingin melanggar aturan namun terpaksa keluar rumah untuk menyelamatkan perahu saya” Responden nelayan pendatang yang mengetahui, memahami dan juga mengimplementasikan larangan melaut Pada Hari Raya Nyepi mempunyai beberapa alasan mengapa mereka mentaati aturan tersebut, yaitu: 1. Walaupun mereka berasal dari budaya dan agama yang berbeda, namun mereka tetap menghargai dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perayaan Hari Raya Nyepi yang merupakan hari raya umat Hindu. 2. Peraturan yang ketat diterapkan pada saat Hari Raya Nyepi tidak hanya berlaku bagi umat Hindu melainkan berlaku bagi semua orang yang berada di Pulau Bali. Petugas adat atau yang biasa disebut pecalang, selalu mengadakan patroli di setiap sudut jalan dan akan menjatuhkan sanksi yang berat bila ada yang melanggar seperti membayar denda dan bersihbersih desa. Pecalang dikenal sangat tegas dalam memberi hukuman. Untuk itu, nelayan pendatang memilih untuk mentaati daripada harus terkena sanksi tersebut. Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden nelayan pendatang yang mengimplementasikan Awig-awig nomor 4 (TB/26 tahun) “Pecalang di sini lebih ditakuti daripada polisi. Apalagi waktu Hari Raya Nyepi. Mereka sangat tegas memberi hukuman. Maka dari itu kita mentaati larangan tersebut. Selain karena menghargai umat Hindu, kita juga tidak mau mendapat sanksi. Malu kalau kena sanksi bersih-bersih keliling desa.” Disimpulkan bahwa masih ada 7% nelayan pendatang yang tidak mengimplementasikan Awig-awig nomor 4 karena faktor ketidaksengajaan sedangkan responden nelayan pribumi 100% sudah mengimplementasikan.
54
6.6 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awigawig Nomor Lima Awig-awig nomor 5 yang berlaku bagi nelayan di Pantai Kedonganan yaitu aturan mengenai larangan melaut di sekitar Pantai Kedonganan di saat berlangsungnya upacara keagamaan. Awig-awig nomor 5 ini berlaku pada saat berlangsungnya upacara keagamaan tertentu yang biasanya dilaksanakan di sekitar pantai seperti upacara purnama kedasa, upacara melasti dan upacara ngaben. Tujuan diberlakukannya aturan tersebut adalah agar prosesi upacara keagamaan berjalan khidmat. Aturan tersebut juga berlaku bagi nelayan pendatang meskipun mereka berasal dari daerah, agama dan budaya yang berbeda. Namun aturan tersebut tidak seberat dan tidak seketat aturan mengenai larangan melaut pada Hari Raya Nyepi. Awig-awig nomor 5 sudah banyak mengalami perubahan dari isi aturan maupun dari sanksi yang berlaku. Persentase jumlah responden nelayan yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig nomor 5 dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan pribumi terhadap Awig-awig nomor 5 Kategori Nelayan
Mengetahui
Memahami
Mengimplentasikan
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
100
0
100
0
83
17
86
14
76
24
46
54
Nelayan Pribumi Nelayan Pendatang
Tabel 13 menunjukkan bahwa 100% responden nelayan pribumi sudah mengetahui dan memahami mengenai Awig-awig nomor 5. Sebanyak 87% nelayan pribumi yang mengimplementasikan dan 17% yang melanggar. Responden yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan aturan dalam Awig-awig nomor 5 mengatakan bahwa mereka menghargai berlangsungnya upacara keagamaan dan aturan yang berlaku karena hal itu merupakan wujud penghargaan mereka sebagai umat Hindu kepada Sang Hyang Widi. Aturan tersebut sudah berlaku sejak dulu namun seiring perkembangan zaman, aturan tersebut mengalami beberapa perubahan. Dulu bila ada upacara keagamaan desa, maka seluruh penduduk desa termasuk nelayan tidak boleh bekerja selama dua hari dan membantu persiapan upacara seperti bersih-bersih desa atau yang disebut urung gae. Seiring berjalannya waktu, aturan tersebut mengalami beberapa perubahan dan aturan yang berlaku sekarang bagi nelayan adalah dilarang melaut di sekitar pantai kedonganan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan tertentu. Responden yang tidak mengimplementasikan Awig-awig nomor 5 mempunyai alasan bahwa aturan tersebut sekarang bersifat fleksibel asal jangan terlalu menganggu kekhidmatan prosesi upacara. Seperti yang dikatakan oleh
55
salah satu nelayan pribumi yang menjadi responden dalam penelitian ini (IKD/48 tahun) “Kebetulan saya tidak ikut bersembahyang di pura sini dan bila sedang berlangsung upacara keagamaan, saya tetap mencari ikan di sekitar pantai namun tidak sampai menimbulkan gangguan yang mengganggu kekhidmatan beribadah. Sanksi nya kadang hanya mendapat teguran. Aturan tersebut sudah fleksibel sekarang karena banyak juga penduduk pendatang di sini dan kita tidak bisa memaksakan aturan tersebut kepada mereka karena kita mempunyai keyakinan masing-masing” Tabel 13 juga menunjukkan bahwa 86% responden nelayan pendatang yang mengetahui mengenai Awig-awig nomor 5, 14% responden yang tidak mengetahui, 76% responden yang memahami dan 24% responden yang tidak memahami mengenai aturan tersebut, 46% responden yang mengimplementasikan aturan tersebut dan 54% responden yang melanggar. Jumlah pelanggaran Awigawig nomor 5 ini cukup tinggi. Responden yang mengetahui namun tidak memahami dan mengimplentasikan mengaku bahwa mereka mengetahui aturan tersebut namun tidak memahami tujuan dan isi dari aturan tersebut karena mereka tidak mendapatkan penjelasan dan tidak mau mencari informasi karena mereka menganggap bahwa itu adalah keyakinan dan tradisi umat Hindu yang mereka tidak perlu mengikuti asal tetap menghargai prosesi ibadah. Responden yang mengetahui, memahami namun tidak mengimplementasikan aturan tersebut memiliki beberapa alasan mengapa mereka tidak mentaatinya, antara lain : 1. Mereka mengaku bahwa mereka memahami dan mengerti mengenai larangan tersebut namun mereka merasa bahwa agama dan budaya lain jangan sampai terlalu mengikat mereka yang penting mereka saling menghargai. 2. Warga setempat juga sudah mempunyai rasa toleransi yang tinggi sehingga sanksi yang berlaku biasanya hanya berupa teguran bila menangkap ikan terlalu dekat dengan tempat berlangsung nya ibadah atau membayar sejumlah denda bila kegiatan menangkap ikan tersebut dianggap sudah mengganggu kekhidmatan upacara. Sanksi tersebut dianggap merupakan sanksi ringan bagi nelayan pendatang. 3. Nelayan pendatang menganggap bahwa jika mereka tidak melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan setempat maka mereka tidak akan mendapat penghasilan sama sekali atau mendapatkan penghasilan yang sedikit. Seperti yang dikatakan oleh salah satu nelayan pendatang yang tidak mengimplementasikan Awig-awig nomor 5 (PN/30 tahun) “Saya mengetahui dan memahami larangan tersebut, tapi itu kan agama dan budaya mereka. Kita mempunyai agama dan budaya masing-masing yang penting saling toleransi dan menghargai. Kalau saya tidak menangkap ikan pada saat berlangsungnya upacara, nanti saya pulang membawa uang sedikit”
56
Salah satu warga yang juga merupakan tokoh masyarakat adat mengatakan bahwa Awig-awig nomor 5 mengalami perubahan dengan berbagai pertimbangan diantaranya adalah faktor ekonomi nelayan. Bila dulu nelayan tidak diperbolehkan melaut pada saat upacara kegamaan desa dan hari besar umat Hindu namun sekarang bila aturan ini diberlakukan maka nelayan tidak akan mendapat penghasilan. Seperti yang dikatakan oleh salah satu nelayan pribumi yang memeluk agama Hindu (IKD/48 tahun) “Saya sebagai umat Hindu dan juga orang Bali merasa bahwa agama dan kebudayaan yang saya miliki jangan sampai terlalu mengikat orang lain apalagi yang berbeda agama dan budaya. Intinya agama dan kebudayaan diyakini masing-masing dan jangan sampai mengikat agama dan kebudayaan lain. Saya kalau melihat ada nelayan yang masih melaut di sekitar pantai kedonganan pada saat berlangsungnya upacara, tidak saya tegur karena mereka juga masih menghargai. Kecuali mereka melakukan tindakan yang sangat menganggu jalannya upacara” Disimpulkan bahwa masih ada 17% nelayan pribumi dan 54% nelayan pendatang yang tidak mengimplementasikan Awig-awig nomor 5 karena faktor ekonomi, perbedaan sudut pandang nelayan dan faktor mulai melemahnya budaya. 6.7 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awigawig Nomor Enam Awig-awig nomor 6 merupakan aturan yang berisi larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir. Sampah tersebut meliputi limbah, sampah organik maupun sampah non-organik. Aturan ini dibuat bertujuan agar kebersihan pantai dan kelestarian lingkungan pantai tetap terjaga. Untuk mendukung upaya menjaga kebersihan pantai, maka di sediakan dua tempat sampah besar yang diletakkan di ujung pantai. Wisatawan, pedagang dan semua orang yang berada di pantai tersebut juga harus turut serta dalam menjaga keindahan pantai yang sekarang sudah menjadi objek wisata. Selain itu, kafe yang sudah banyak didirikan di sekitar pantai membuat para wisatawan tertarik untuk berkunjung. Persentase jumlah responden nelayan yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig nomor 6 dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig Nomor 6 Kategori Nelayan
Nelayan Pribumi Nelayan Pendatang
Mengetahui
Memahami
Mengimplentasikan
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
80
20
76
24
40
60
90
10
90
10
50
50
57
Pada Tabel 14 dapat terlihat bahwa 80% responden nelayan pribumi mengetahui Awig-awig nomor 6 dan 20% responden yang tidak mengetahui, 80% responden yang memahami dan 20% yang tidak memahami serta 40% responden yang mengimplementasikan dan 60% responden yang melanggar. Responden yang tidak mengetahui adanya larangan tersebut mengaku belum pernah mendapat pemberitahuan adanya aturan tersebut. Mereka menganggap bahwa sampah yang dibuang ke pesisir akan terbawa arus air menuju laut lepas. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa responden yang mengetahui mengenai aturan tersebut juga sekaligus memahami dan mengerti mengenai larangan membuang sampah tersebut. Responden yang mengetahui, memahami namun tidak mengimplementasikan mempunyai beberapa alasan, yaitu: 1. Mereka hanya membuang sampah kecil seperti sampah bungkus rokok, putung rokok atau plastik kecil dan mereka menganggap sampah-sampah kecil tersebut tidak akan terlalu mengotori lingkungan secara besarbesaran. 2. Mereka selalu rutin mengadakan kerja bakti di sekitar pantai setiap dua minggu sekali sehingga mereka merasa walaupun membuang sampah sembarangan namun mereka juga rutin mengadakan kerja bakti 3. Sanksi bagi yang membuang sampah dalam jumlah sedikit tidak terlalu memberatkan. 4. Letak tempat sampah yang jarang sekali di tepi pantai dan di kapal mereka tidak ada tempat sampah sehingga mereka membuang sampah di laut. Seperti yang dikatakan oleh salah satu nelayan pribumi yang tidak mengimplementasikan aturan tersebut (IWU/45 tahun) “Kalau hanya membuang sampah rokok atau bungkus rokok yang kecil sih saya rasa tidak apa-apa walaupun saya tahu dan paham bahwa sampah tersebut juga dilarang dibuang ke pantai tetapi itu kan hanya sampah kecil. Kalau saya sedang mencari ikan di pesisir sini kan juga tidak ada tempat sampah di kapal ya jadi saya buang saja di air asalkan bukan sampah dalam jumlah besar” Tabel 14 juga menunjukkan bahwa sebanyak 90% responden nelayan pendatang yang mengetahui dan 10% responden yang tidak mengetahui adanya aturan tersebut, 90% responden yang memahami dan 10% responden yang belum memahami mengenai larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir. Responden yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan aturan tersebut sebesar 50% dan jumlah responden yang melanggar sebesar 50%. Responden yang belum mengetahui mengenai aturan tersebut mengaku bahwa mereka tidak mengetahui bahwa ada aturan mengenai larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir laut. Selain itu tidak ada tulisan mengenai larangan tersebut dan mereka tidak pernah mendapat sosialisasi secara lisan. Mereka juga menganggap nelayan membuang sampah di pesisir laut itu sudah biasa. Responden yang mengetahui, memahami namun tidak mengimplementasikan mempunyai alasan yang sama seperti nelayan pribumi yaitu mereka hanya membuang sampah kecil seperti plastik, rokok dan bungkus rokok. Mereka memahami bahwa sampah tersebut termasuk sampah yang
58
dilarang untuk dibuang sembarangan namun mereka menganggap hal itu masih dalam batas wajar. Tetapi tetap saja tindakan mereka melanggar aturan yang ada karena sampah kecil akan menjadi menumpuk dan mengotori lingkungan. Seperti yang dikatakan oleh ketua kelompok nelayan (IKS/37 tahun) “Nelayan di sini biasanya suka membuang sampah plastik kecil, bungkus rokok dan putung rokok padahal mereka sudah mengetahui dan mengerti adanya aturan yang berlaku. Tetap saja walaupun sampah kecil tapi kalo banyak yang melakukannya akan menjadi sampah yang menumpuk. Dan pedagang ikan di sini pun sering membuang air bekas cucian di pantai yang bisa membuat pantai tercemar. Mungkin untuk kedepannya akan diperbanyak tempat sampah dan larangan tersebut di tulis di papan agar mudah dibaca” Disimpulkan bahwa masih ada 60% nelayan pribumi dan 50% nelayan pendatang yang tidak mengimplementasikan Awig-awig nomor 6 karena faktor kurangnya kesadaran nelayan akan kebersihan, sanksi yang tidak terlalu memberatkan dan letak tempat sampah yang tidak menyebar 6.8 Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Awigawig Nomor Tujuh Awig-awig nomor 7 mengenai larangan melaut pada angin musim barat dibuat dengan tujuan untuk melindungi keselamatan nelayan saat melaut. Pada angin musim barat, gelombang laut akan cukup tinggi biasanya berlangsung pada bulan Desember sampai Februari. Aturan ini dibuat karena meningkatnya jumlah nelayan yang tenggelam akibat melaut pada saat angin musim barat. Petugas akan memberi pengumuman kapan waktu yang diperbolehkan melaut dan kapan waktu yang dilarang untuk melaut. Persentase jumlah responden nelayan yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig nomor 7 dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Persentase pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig nomor 7 Kategori Nelayan
Mengetahui
Memahami
Mengimplentasikan
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
Ya (%)
Tidak (%)
73
27
66
34
57
43
80
20
80
20
53
47
Nelayan Pribumi Nelayan Pendatang
Tabel 15 menunjukkan bahwa 73% responden nelayan pribumi yang mengetahui dan 27% responden yang tidak mengetahui mengenai aturan tersebut, 60% responden yang memahami dan 34% responden yang tidak memahami, 57% responden yang mengimplementasikan dan 43% responden yang tidak
59
mengimplementasikan. Responden yang tidak mengetahui mengenai larangan tersebut mengaku bahwa mereka tidak tahu bahwa ada Awig-awig yang melarang melaut pada angin musim barat karena selama ini mereka biasanya hanya mendapatkan peringatan saja dari polisi air. Sebelum diberlakukannya Awig-awig mengenai larangan melaut pada angin musim barat, nelayan biasanya tidak melaut jika awan sudah berwarna gelap selama beberapa hari pada bulan Desember sampai Februari. Awig-awig ini memang baru dibuat karena meningkatnya jumlah korban nelayan akibat tenggelam pada angin musim barat. Nelayan yang mengetahui namun tidak memahami dan tidak mengimplementasikan mengaku bahwa mereka mengetahui adanya aturan tersebut namun tidak memahami mengenai angin musim barat dan tujuan dibuatnya aturan tersebut. Responden yang mengetahui, memahami namun tidak mengimplementasikan beralasan bahwa mereka tetap nekat melaut karena memang harus mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Responden yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan aturan tersebut mengaku bahwa mereka mentaati aturan tersebut karena demi keselamatan mereka mengingat sudah banyak korban yang nekat melaut pada saat gelombang tinggi. Seperti yang dikatakan oleh salah satu responden nelayan pribumi (IKD/48 tahun) “Saya mentaati larangan tersebut demi keselamatan saya juga karena sudah banyak korban nelayan yang tenggelam. Biasanya petugas memberitahu kapan waktu yang diperbolehkan untuk melaut dan kapan waktu yang tidak diperbolehkan untuk melaut” Tabel 15 juga menunjukkan bahwa 80% responden nelayan pendatang yang mengetahui dan 20% responden yang tidak mengetahui mengenai aturan tersebut, 80% responden yang memahami dan 20% responden yang tidak memahami, 53% yang mengimplementasikan dan 47% yang melanggar aturan. Responden yang belum mengetahui aturan tersebut mengaku belum mengetahui adanya larangan tersebut karena belum mendapatkan sosialisasi atau pemberitahuan. Responden yang mengetahui dan memahami namun tidak mengimplementasikan aturan tersebut mengaku bahwa mereka nekat melaut namun tidak sejauh biasanya. Ada juga nelayan yang nekat melaut untuk pulang ke daerah asalnya. Seperti yang dikatakan oleh salah satu nelayan pendatang yang menjadi responden (BR/45 tahun) “Saya sudah cukup lama melaut di sini sehingga saya tahu jarak yang aman untuk melaut pada saat angin musim barat sehingga saya tetap melaut untuk mencari ikan atau kembali ke daerah asal saya” Disimpulkan bahwa masih ada 43% nelayan pribumi dan 47% nelayan pendatang yang tidak mengimplementasikan Awig-awig nomor 7 karena faktor perbedaan persepsi nelayan dan belum gencarnya sosialisasi
60
6.9 Tingkat Pengetahuan, Pemahaman dan Implementasi Nelayan terhadap Keseluruhan Awig-awig Tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan pribumi dan nelayan pendatang diukur untuk menganalisis apakah keberadaan Awig-awig yang mengatur mengenai kehidupan masyarakat nelayan tersebut masih menjadi pedoman nelayan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Selain itu juga untuk mengetahui perbandingan tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi antara nelayan pribumi dan nelayan pendatang. Untuk mengukur tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan, akan disediakan masingmasing pertanyaan yang berkaitan dengan pengetahuan, pemahaman serta implementasi dan disediakan dua jawaban yaitu YA dan TIDAK. Jawaban YA akan diberi indeks 2 dan jawaban TIDAK akan diberi indeks 1. Tingkat pengetahuan adalah seberapa besar nelayan mengetahui aturan lokal tentang kegiatan penangkapan ikan, tingkat pemahaman adalah seberapa dalam nelayan memahami aturan lokal tentang kegiatan penangkapan ikan dan tingkat implementasi adalah sejauh mana nelayan menerapkan aturan lokal tentang kegiatan penangkapan ikan yang terdapat di Pantai Kedonganan Bali. Hasil pengolahan data mempunyai nilai yang tinggi jika indeks total pertanyaan mempunyai rentang nilai antara 11-14 dan rendah jika indeks total pertanyaan mempunyai nilai antara 7-13. Dari hasil data yang diperoleh di lapangan maka tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan pribumi dan nelayan pendatang terhadap keseluruhan Awig-awig dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa sebanyak 100% nelayan pribumi dan nelayan pendatang sudah memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, sebanyak 97% nelayan pribumi yang memiliki tingkat pemahaman yang tinggi dan 100% nelayan pendatang sudah memiliki tingkat pemahaman yang tinggi serta 90% nelayan pribumi yang memiliki tingkat implementasi yang tinggi dan 83% nelayan pendatang yang memiliki tingkat implementasi yang tinggi terhadap Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan. Nelayan pribumi dan nelayan pendatang masih memiliki tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi yang tinggi. Hal ini menunjukkan Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan masih menjadi pedoman hidup nelayan walaupun mengalami beberapa perubahan seiring berkembangnya zaman dan jumlah nelayan pendatang yang melaut di pantai kedonganan semakin meningkat. Tabel 16 Persentase tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap keseluruhan Awig-awig Kategori Nelayan
Pengetahuan
Pemahaman
Implementasi
Nelayan Pribumi Nelayan Pendatang
Rendah (%) 0 0
Rendah (%) 3 0
Rendah (%) 10 17
Tinggi (%) 100 100
Tinggi (%) 97 100
Tinggi (%) 90 83
Perbandingan jumlah responden yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan keseluruhan Awig-awig antara nelayan pribumi dan pendatang perlu dianalisis untuk mengetahui pihak mana yang lebih mendalami
61
Awig-awig. Dari hasil data yang diperoleh di lapangan maka perbandingan jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig dari Awig-awig nomor 1 sampai nomor 7 dapat dilihat pada Tabel 17 Tabel 17 Persentase perbandingan jumlah nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig Kategori Nelayan Nelayan Pribumi Nelayan Pendatang
Mengetahui (%) 90,5
Memahami (%) 86,2
Mengimplementasikan (%) 77,1
93,8
92,4
70,5
Tabel 17 menunjukkan bahwa jumlah responden nelayan pendatang yang mengetahui keseluruhan Awig-awig lebih banyak daripada nelayan pribumi yaitu sebesar 93,8%. Begitu pula jumlah responden yang memahami Awig-awig lebih banyak nelayan pendatang daripada nelayan pribumi yaitu sebesar 92,4%. Akan tetapi jumlah responden yang mengimplementasikan keseluruhan Awig-awig lebih banyak berasal dari nelayan pribumi yaitu sebesar 77,1% daripada jumlah nelayan pendatang yaitu sebesar 70,5%. Penurunan jumlah responden dari tahap mengetahui ke tahap memahami yang terjadi antara nelayan pribumi dan nelayan pendatang disebabkan karena mereka tidak mendapatkan penjelasan yang cukup mengenai aturan tersebut sehingga mereka hanya sampai dalam tahap mengetahui. Selain itu, mereka ada yang dari awal tidak setuju atau tidak sependapat dengan aturan dalam Awig-awig tersebut sehingga enggan untuk memahami lebih dalam. Perbandingan jumlah responden yang mengetahui dan memahami lebih banyak berasal dari nelayan pendatang daripada nelayan pribumi karena nelayan pendatang jika datang ke sebuah tempat yang bukan daerah asal mereka untuk mencari nafkah, maka mereka cenderung untuk ingin mengetahui dan mempelajari aturan yang berlaku di daerah tersebut agar mereka bisa beradaptasi. Sedangkan nelayan pribumi cenderung tidak mengetahui dan memahami aturanaturan yang berlaku karena terlalu banyaknya aturan yang mereka pelajari, tidak hanya Awig-awig mengenai kehidupan masyarakat nelayan namun Awig-awig yang berlaku di Desa. Analisis Chi Square juga dilakukan untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kategori nelayan dengan perilaku nelayan yang terdiri atas pengetahuan, pemahaman dan implementasi. Dengan menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai Asymp. Sig. (2-sided) hitung sebesar 0,791 > α (0.05) sehingga kategori nelayan tidak mempunyai mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku nelayan Selain itu, Awig-awig yang mengalami banyak perubahan, kesadaran nelayan pribumi yang kurang, serta rasa toleransi nelayan pribumi yang tinggi terhadap nelayan pendatang menyebabkan perbandingan jumlah responden nelayan pribumi yang mengetahui dan memahami Awig-awig lebih rendah daripada nelayan pendatang. Akan tetapi jumlah responden nelayan pribumi yang mengimplementasikan keseluruhan Awig-awig lebih banyak daripada nelayan
62
pendatang. Hal ini disebabkan karena nelayan pendatang setelah mengetahui dan memahami aturan-aturan yang berlaku, mereka ada yang setuju dan tidak setuju dengan aturan tersebut. Kesetujuan atau ketidaksetujuan mereka dilatarbelakangi oleh pemikiran individu, agama dan budaya yang mereka bawa. Sementara itu, nelayan pribumi banyak yang mengimplementasikan karena mereka taat pada budaya dan ajaran Agama Hindu yang terkandung dalam Awig-awig yaitu Tri Hita Karana. Maka dapat dikatakan bahwa nelayan pribumi lebih mendalami awig-awig daripada nelayan pendatang dilihat dari jumlah responden yang mengimplementasikan. Implementasi merupakan tahapan tertinggi karena merupakan perwujudan dari pengetahuan dan pemahaman yang sudah diperoleh dan diterapkan pada situasi yang baru dan nyata. Jika responden sudah pada tahap implementasi maka dapat dikatakan Awig-awig sudah efektif dalam mengatur perilaku. 6.10 Ikhtisar Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan memiliki tujuh aturan yaitu larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya, larangan merusak terumbu karang secara sengaja, larangan mengambil biota laut yang dilindungi, larangan melaut pada Hari Raya Nyepi, larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara, larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir dan larangan melaut pada angin musim barat. Nelayan pribumi dan pendatang masing-masing mempunyai pengetahuan, pemahaman dan implementasi yang berbeda pada setiap aturan dalam Awig-awig tersebut. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pelanggaran terendah yang dilakukan oleh nelayan pribumi adalah pelanggaran terhadap Awig-awig nomor satu yaitu larangan mengambil ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya serta Awigawig nomor lima mengenai larangan melaut pada Hari Raya Nyepi. Sebanyak 100% responden nelayan pribumi yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig nomor satu dan sebanyak 100% responden nelayan pribumi yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awigawig nomor lima. Pelanggaran tertinggi yang dilakukan nelayan pribumi adalah pelanggaran terhadap Awig-awig nomor enam yaitu larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir. Sebanyak 80% responden mengetahui Awig-awig nomor enam dan 20% responden yang tidak mengetahui, 80% responden yang memahami dan 20% yang tidak memahami serta 40% responden yang mengimplementasikan dan 60% responden yang melanggar. Alasan nelayan pribumi yang melanggar Awig-awig nomor 6 mengenai larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir: 1. Mereka hanya membuang sampah kecil seperti sampah bungkus rokok, putung rokok atau plastik kecil dan mereka menganggap sampah-sampah kecil tersebut tidak akan terlalu mengotori lingkungan secara besar-besaran 2. Mereka selalu rutin mengadakan kerja bakti di sekitar pantai setiap dua minggu sekali sehingga mereka merasa walaupun membuang sampah sembarangan namun mereka juga rutin mengadakan kerja bakti
63
3.
Sanksi bagi yang membuang sampah dalam jumlah sedikit tidak terlalu memberatkan 4. Letak tempat sampah yang jarang sekali di tepi pantai dan di kapal mereka tidak ada tempat sampah sehingga mereka membuang sampah di laut. Pelanggaran terendah yang dilakukan oleh nelayan pendatang adalah pelanggaran terhadap Awig-awig nomor satu. Sebanyak 100% responden nelayan pendatang yang mengetahui, memahami dan mengimplementasikan Awig-awig nomor satu. Sedangkan pelanggaran tertinggi yang dilakukan oleh nelayan pendatang adalah pelanggaran terhadap Awig-awig nomor lima yaitu larangan melaut di sekitar pantai kedonganan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan. Sebanyak 80% responden mengetahui Awig-awig nomor 6 dan 20% responden yang tidak mengetahui, 80% responden yang memahami dan 20% yang tidak memahami serta 40% responden yang mengimplementasikan dan 60% responden yang melanggar. Alasan nelayan pendatang melanggar Awig-awig nomor 5 1. Mereka mengaku bahwa mereka memahami dan mengerti mengenai larangan tersebut namun mereka merasa bahwa agama dan budaya lain jangan sampai terlalu mengikat mereka yang penting mereka saling menghargai. 2. Warga setempat juga sudah mempunyai rasa toleransi yang tinggi sehingga sanksi yang berlaku biasanya hanya berupa teguran bila menangkap ikan terlalu dekat dengan tempat berlangsung nya ibadah atau membayar sejumlah denda bila kegiatan menangkap ikan tersebut dianggap sudah mengganggu kekhidmatan upacara. Sanksi tersebut dianggap merupakan sanksi ringan bagi nelayan pendatang. 3. Nelayan pendatang menganggap bahwa jika mereka tidak melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan setempat maka mereka tidak akan mendapat penghasilan sama sekali atau mendapatkan penghasilan yang sedikit. Seiring berkembangnya zaman dan meningkatnya jumlah nelayan pendatang yang berasal dari berbaga daerah, Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan mengalami beberapa perubahan. Untuk menganalisa apakah Awig-awig masih dihargai dan menjadi pedoman hidup oleh nelayan, maka diukur tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap keseluruhan Awig-awig dalam pengaturan penangkapan ikan. Dari hasil data yang diperoleh, 100% nelayan pribumi dan pendatang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap Awig-awig, 97% nelayan pribumi yang memiliki tingkat pemahaman tinggi dan 100% nelayan pendatang yang memiliki tingkat pemahaman yang tinggi serta 90% nelayan pribumi yang memiliki implementasi tinggi dan 83% nelayan pendatang yang memiliki implementasi tinggi. Nelayan pribumi dan nelayan pendatang memiliki tingkat pengetahuan, pemahaman dan implementasi yang tinggi terhadap keseluruhan aturan dalam Awig-awig walaupun dengan persentase yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa Awig-awig masih menjadi pedoman hidup nelayan kedonganan dan masih dihargai keberadaannya meskipun perlu ada beberapa perbaikan untuk meningkatkan keefektivitasan Awig-awig. Jumlah responden yang mengetahui dan memahami keseluruhan Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan mulai dari Awig-awig nomor 1 sampai nomor 7 lebih banyak berasal dari
64
nelayan pendatang daripada nelayan pribumi. Hal ini karena nelayan pendatang jika datang ke sebuah tempat yang bukan daerah asal mereka untuk mencari nafkah, maka mereka cenderung untuk ingin mengetahui dan mempelajari aturan yang berlaku di daerah tersebut agar mereka bisa beradaptasi. Akan tetapi jumlah responden yang mengimplementasikan keseluruhan Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan lebih banyak berasal dari nelayan pribumi daripada nelayan pendatang. Hal ini karena mereka taat pada budaya dan ajaran Agama Hindu yang terkandung dalam Awig-awig yaitu Tri Hita Karana. Perbandingan pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig dapat dilihat pada Tabel 18. Tanda (+) menunjukkan bahwa aturan tersebut diketahui, dipahami atau diimplementasikan oleh lebih dari 50% responden dan tanda (-) menunjukkan bahwa aturan tersebut diketahui, dipahami atau diimplementasikan oleh kurang dari atau sama dengan 50% responden.
65
Tabel 18 Perbandingan pengetahuan, pemahaman dan implementasi nelayan terhadap Awig-awig No
1
2 3 4 5
6 7
Awig-Awig
Larangan menangkap ikan menggunakan bom, potasium, racun, pukat harimau dan bahan kimia berbahaya lainnya Larangan merusak terumbu karang secara sengaja Larangan mengambil biota laut yang dilindungi Larangan melaut pada Hari Raya Nyepi Larangan melaut di sekitar Pantai Kedonganan pada saat dilaksanakan upacara desa setempat Larangan membuang sampah di sekitar Pantai Kedonganan Larangan melaut pada angin musim barat
Nelayan Pribumi Pengetahuan Pemahaman Implementasi + + + -
Nelayan Pendatang Pengetahuan Pemahaman + + -
Implementasi + -
66
67
BAB VII EFEKTIVITAS AWIG-AWIG DALAM PENGATURAN KEHIDUPAN MASYARAKAT NELAYAN 7.1 Pendahuluan Efektivitas Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan dapat dinilai dari kemampuan Awig-awig tersebut dalam mengatur perilaku nelayan yang dapat dilihat dari tingkat pelanggaran yang terjadi. Tingkat pelanggaran terbagi menjadi dua yaitu tingkat pelanggaran sedang dan tingkat pelanggaran tinggi. Tingkat pelanggaran sedang dibagi menjadi dua kategori yaitu kategori aman jika jumlah pelanggaran sebesar 0%-24% dan kategori pelanggaran kurang serius jika jumlah pelanggaran sebesar 25%-49%. Tingkat pelanggaran tinggi dibagi menjadi dua kategori yaitu pelanggaran serius jika jumlah pelanggaran sebesar 50%-74% dan pelanggaran sangat serius jika jumlah pelanggaran sebesar 75%-100%. Awig-awig dikatakan efektif mengatur perilaku nelayan jika berada pada tingkat pelanggaran sedang dan Awig-awig dikatakan kurang efektif mengatur perilaku nelayan jika berada pada tingkat pelanggaran tinggi. Selain dilihat dari tingkat efektivitas dalam mengatur perilaku nelayan, keefektivitasan Awig-awig dapat dilihat dari beberapa hal seperti bentuk sosialisasi, bentuk sanksi-sanksi yang diterapkan, petugas yang memantau, kesadaran nelayan, kondisi nelayan, ketersediaan sarana dan prasarana serta kondisi wilayah. Keefektivitasan Awig-awig ini dianalisis dengan tujuan untuk mengetahui apakah Awig-awig efektif dalam mengatur perilaku nelayan dan efektif diterapkan di Pantai Kedonganan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai efektivitas masing-masing aturan dalam Awig-awig yang dilihat dari tingkat efektivitas dalam mengatur perilaku nelayan dan dari berbagai aspek baik nelayan pribumi maupun nelayan pendatang. Selain itu dalam bab ini juga akan dibahas mengenai alasan-alasan pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan. 7.2 Efektivitas Awig-awig Nomor Satu Awig-awig nomor 1 mengenai larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya merupakan aturan yang memiliki jumlah pelanggaran terendah baik bagi nelayan pribumi maupun nelayan pendatang. Dari hasil data yang diperoleh menunjukkan bahwa jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang mengimplementasikan Awig-awig nomor satu sebanyak 100%. Alasan mereka tidak melanggar aturan tersebut karena menganggap kegiatan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya merupakan tindakan kejam karena akan sangat merusak lingkungan laut dan biota laut. Tidak hanya di pesisir Kedonganan yang menerapkan aturan seperti itu tetapi di seluruh perairan Indonesia juga diterapkan larangan tersebut karena larangan tersebut juga merupakan program pemerintah yang sedang gencar di sosialisasikan guna menjaga kelestarian biota laut dan lingkungan.
68
Petugas patroli pun sering mengawasi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan khusus nya pada malam hari. Jika petugas mengetahui ada nelayan yang melanggar peraturan tersebut maka akan diberi hukuman berupa pembayaran denda bahkan hukuman kurungan. Selain itu sanksi adat yang diterapkan pun memberatkan yaitu pembakaran kapal dan larangan melaut di sekitar pesisir kedonganan lagi. Sanksi adat pernah beberapa kali diterapkan bagi yang melanggar. Pelanggaran terakhir terjadi sekitar tahun 2003 saat ada beberapa orang nelayan pendatang yang menggunakan bom saat menangkap ikan. Mereka lalu diberi hukuman berupa pembakaran kapal dan larangan melaut di sekitar pesisir kedonganan lagi. Awig-awig nomor 1 mengenai larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan berbahaya kimia lainnya merupakan Awig-awig yang sangat efektif dalam mengatur perilaku nelayan. Sanksi yang sangat berat, petugas yang tegas, sosialisasi yang gencar di lakukan di seluruh perairan Indonesia termasuk di kedonganan, kesadaran nelayan akan bahayanya menggunakan alat-alat tersebut merupakan hal yang mempengaruhi efektivitas Awig-awig nomor 1 dalam mengatur perilaku nelayan pribumi maupun pendatang sehingga jumlah pelanggaran yang dilakukan pun rendah. Efektivitas Awig-awig nomor 1 dalam mengatur perilaku nelayan pribumi dan nelayan pendatang jika dilihat dari jumlah pelanggaran berada pada tingkat pelanggaran sedang yaitu berada pada kategori aman. Aturan tersebut sudah efektif mengatur perilaku nelayan pribumi dan pendatang dilihat dari tidak adanya jumlah pelanggaran. Hal ini menunjukkan bahwa Awig-awig nomor satu sudah tersampaikan dengan baik 7.3 Efektivitas Awig-awig Nomor Dua Awig-awig nomor 2 mengenai larangan merusak terumbu karang secara sengaja memiliki jumlah pelanggaran sebesar 30% bagi responden nelayan pribumi dan 30% bagi nelayan pendatang. Alasan mereka melanggar aturan tersebut antara lain adalah mereka hanya mengambil terumbu karang yang kecil dan menganggap hal tersebut bukanlah tindakan pengrusakan. Mereka yang melanggar mengaku tidak mengetahui adanya larangan tersebut karena tidak pernah mendapatkan sosialisasi dan menganggap bahwa terumbu karang di pesisir kedonganan memang sudah banyak yang tercemar sejak lama. Adapula yang tidak memahami maksud dari larangan tersebut. Selain mengambil terumbu karang yang kecil, mereka pun kerap membuang jangkar di wilayah yang banyak terumbu karangnya sehingga benturan jangkar tersebut bisa merusak terumbu karang. Petugas polisi air yang berada di daratan pun jarang melakukan pengawasan terhadap hasil tangkapan pada saat nelayan nelayan sampai di daratan. Selain itu, terumbu karang yang berukuran kecil dapat luput dari pengawasan petugas. Proporsi jumlah pelanggaran responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang sama yaitu sebesar 30%. Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 2 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan dapat dilihat pada Tabel 19.
69
Tabel 19 Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 2 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan Status Penguasaan Kapital Nelayan Buruh Nelayan Juragan
Nelayan Pribumi (%) Melanggar Mentaati
Total (%)
Nelayan Pendatang (%) Melanggar Mentaati
Total (%)
37.5 21.4
100 100
23.5 29.4
100 100
62.5 78.6
76.5 70.6
Tabel 19 menunjukkan bahwa responden nelayan pribumi yang melanggar Awig-awig nomor 2 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 37.5% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 21.4% nelayan yang melanggar merupakan nelayan juragan. Responden nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 2 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 23.5% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 29.4% merupakan nelayan juragan. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap Awig-awig nomor 2 sebagian besar dilakukan oleh nelayan pribumi yang merupakan nelayan buruh dan jumlah pelanggaran terendah dilakukan oleh nelayan pendatang yang merupakan nelayan buruh. Nelayan pribumi buruh banyak yang melanggar karena mereka mengambil terumbu karang tersebut untuk hiasan rumah atau dijual sebagai souvenir untuk menambah penghasilan terutama di saat tangkapan ikan sedikit. Nelayan pendatang buruh banyak yang mentaati larangan tersebut karena merasa terumbu karang di Pantai Kedonganan tidak terlalu bagus dan tidak ada maanfaatnya bila diambil. Efektivitas Awig-awig nomor 2 jika dilihat dari jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan pribumi maupun nelayan pendatang yaitu sebesar 30% berada dalam tingkat pelanggaran sedang yaitu kategori pelanggaran kurang serius. Pelanggaran yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : 1. Nelayan menganggap bahwa terumbu karang di Pantai Kedonganan memang tidak bagus sehingga tidak masalah bila diambil. 2. Tidak adanya pembatasan zona-zona konservasi terumbu karang yang menyebabkan nelayan tidak mengetahui zona-zona yang tidak diperbolehkan menangkap ikan, sehingga jangkar nelayan sering mengalami benturan dengan terumbu karang ketika menangkap ikan. 3. Terumbu karang yang kecil mudah luput dari pengawasan petugas 4. Meskipun nelayan memahami isi aturan yang berlaku, namun terkadang mereka juga mempunyai persepsi sendiri. Seperti mereka menganggap mengambil terumbu karang yang kecil tidak akan menimbulkan kerusakan besar dan mengambilnya untuk dijadikan koleksi pribadi merupakan hal yang wajar. Hal ini menunjukkan Awig-awig nomor 2 mengenai larangan merusak terumbu karang efektif mengatur perilaku nelayan khususnya mengatur perilaku nelayan pribumi yang merupakan nelayan juragan. Nelayan yang melakukan pelanggaran terhadap Awig-awig nomor 2 bukan berarti mereka tidak memahami
70
aturan tersebut namun mereka terkadang mempunyai persepsi dan pendapat sendiri mengenai aturan tersebut. 7.4 Efektivitas Awig-awig Nomor Tiga Awig-awig nomor 3 mengenai larangan mengambil biota laut yang dilindungi merupakan Awig-awig dengan jumlah pelanggaran sebanyak 14% bagi nelayan pribumi dan 24% bagi nelayan pendatang. Responden yang melanggar larangan tersebut biasanya mengambil penyu berukuran kecil. Alasan mereka melanggar aturan adalah karena penyu kecil tersebut tersangkut di jala mereka dan kemudian mereka bawa pulang untuk dibiakkan. Setelah penyu tersebut dibiakkan, mereka mengembalikannya ke laut tapi ada pula yang menjualnya. Walaupun dikembalikan lagi ke laut setelah dibiakkan tetapi tetap saja hal itu melanggar aturan. Hal ini karena dalam aturan tertulis penyu dilarang ditangkap, disimpan di atas kapal, dipindahkan antar kapal, didaratkan, digudangkan, dijual atau ditawarkan untuk diperdagangkan. Penyu kecil pun biasanya luput dari pengawasan petugas. Meskipun sudah terdapat papan pengumuman yang berisi mengenai larangan mengambil biota laut yang dilindungi serta terdapat jenis-jenis biota laut yang dilindungi, namun papan tersebut hanya terletak di ujung pantai sedangkan nelayan kedonganan tersebar di wilayah pantai tersebut dan tidak hanya berada di ujung saja. Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 3 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 3 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan Status Penguasaan Kapital Nelayan Buruh Nelayan Juragan
Nelayan Pribumi (%) Melanggar Mentaati
Total (%)
Nelayan Pendatang (%) Melanggar Mentaati
Total (%)
18.75 7.14
100 100
17.65 30.78
100 100
81.25 92.86
82.35 69.22
Tabel 20 menunjukkan bahwa responden nelayan pribumi yang melanggar Awig-awig nomor 3 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 18.75% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 7.14% nelayan yang melanggar merupakan nelayan juragan. Responden nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 3 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 17.65% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 30.78% merupakan nelayan juragan. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap Awig-awig nomor 3 sebagian besar dilakukan oleh nelayan pendatang yang merupakan nelayan juragan dan pelanggaran terendah dilakukan oleh nelayan pribumi yang merupakan nelayan juragan. Nelayan pendatang juragan banyak yang melanggar larangan mengambil biota laut yang dilindungi karena biasanya mereka menjual kembali penyu tersebut dengan harga tinggi. Mengambil penyu dan menjual nya memiliki resiko yang tinggi apalagi jika diketahui oleh petugas. Nelayan juragan biasanya memiliki status ekonomi yang
71
lebih tinggi daripada nelayan buruh sehingga bila tertangkap oleh petugas, mereka beralasan bisa membayar petugas tersebut sehingga tidak sampai dibawa ke jalur hukum. Meskipun sampai sekarang belum ada yang tertangkap oleh petugas. Selain itu, petugas cenderung tidak mencurigai nelayan juragan karena biasanya memilki status ekonomi yang cukup tinggi. Nelayan pribumi juragan banyak yang mentaati larangan mengambil biota laut yang dilindungi karena memiliki kesadaran yang tinggi untuk menjaga kelestarian lingkungan termasuk kelestarian biota laut. Mereka mengaku lebih baik mereka mempunyai kerja sampingan daripada harus menjual penyu dan mereka tidak tertarik untuk membiakkan penyu. Jika mereka tertangkap oleh petugas dan mendapat sanksi dari pemerintah, maka mereka akan sangat malu apalagi sebagai orang pribumi, mereka seharusnya turut menjaga kelestarian lingkungan sendiri. Efektivitas Awig-awig nomor 3 jika dilihat dari jumlah pelanggaran yang dilakukan nelayan pibumi yaitu sebesar 14% maupun nelayan pendatang yaitu sebesar 24%, berada pada tingkat pelanggaran sedang yaitu dalam kategori aman. Hal ini menunjukkan bahwa Awig-awig nomor 3 mengenai larangan mengambil biota laut yang dilindungi sudah cukup efektif mengatur perilaku nelayan khususnya dalam mengatur perilaku nelayan pribumi yang merupakan nelayan juragan meskipun masih ada beberapa pelanggaran yang dilakukan namun sosialisasi yang dilakukan sudah efektif dilakukan seperti sosialisasi lisan maupun tulisan. Pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain : 1. Biasanya nelayan mengambil penyu yang kecil dan penyu kecil sering kali luput dari pengawasan petugas. Selain itu jumlah pos petugas pun tidak tersebar di sekitar pantai. 2. Harga penyu yang lumayan tinggi sehingga nelayan tertarik untuk menjualnya meskipun hanya sedikit nelayan yang berani menjualnya. 3. Nelayan biasanya hanya membiakkan penyu lalu bila penyu tersebut sudah berkembang biak maka mereka mengembalikkannya ke laut sehingga mereka beranggapan perbuatan tersebut bukan perbuatan yang merusak biota laut. 7.5 Efektivitas Awig-awig Nomor Empat Awig-awig nomor 4 mengenai larangan melaut pada Hari Raya Nyepi merupakan Awig-awig yang tidak memilki jumlah pelanggaran bagi nelayan pribumi dan memilki jumlah pelanggaran sebesar 7% atau sebanyak 2 orang yang melanggar. Alasan mereka melanggar aturan tersebut adalah karena mereka ingin menyelamatkan perahu mereka yang mulai terbawa arus agar tidak hilang, untuk itu mereka keluar rumah untuk menyelamatkan perahu mereka. Mereka tidak bermaksud untuk tidak menghargai Hari Raya Nyepi, mereka hanya ingin menyelamatkan perahu mereka agar tidak terbawa arus air laut. Namun tetap saja hal itu melanggar peraturan yang berlaku karena pada Hari Raya Nyepi seluruh masyarakat yang tinggal di Bali dilarang untuk bekerja, berpergian, menyalakan listrik atau api dan dilarang menikmati hiburan. Tidak adanya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan pribumi karena semua nelayan pribumi memeluk Agama Hindu dan mereka menghargai hari besar agama mereka karena merupakan suatu bentuk penghormatan kepada Sang
72
Hyang Widi. Jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan pendatang merupakan jumlah pelanggaran yang rendah karena mereka menghargai Hari Raya Nyepi dan selain itu karena sanksi yang diterapkan juga cukup berat seperti membayar sejumlah denda dan mendapatkan hukuman bersih-bersih keliling desa. Petugas yang mengawasi pada saat Hari Raya Nyepi dan memberi sanksi bila ada masyarakat yang melanggar disebut pecalang. Petugas pecalang dikenal sangat tegas memberi hukuman pada masyarakat bila ada yang melanggar aturan. Tokoh masyarakat desa, kelompok nelayan dan penduduk sekitar memberikan sosialisasi kepada nelayan khususnya kepada nelayan pendatang beberapa hari sebelum pelaksanaan Hari Raya Nyepi. Efektivitas Awig-awig nomor 4 dalam mengatur perilaku nelayan jika dilihat dari jumlah pelanggaran berada pada tingkat pelanggaran sedang yaitu dalam kategori aman. Hal ini menunjukkan bahwa larangan melaut pada Hari Raya Nyepi sudah efektif mengatur perilaku nelayan khususnya nelayan pribumi. Nelayan pendatang yang melakukan pelanggaran merupakan nelayan buruh yang bekerja di Pantai Kedonganan kurang dari satu tahun. Petugas yang tegas, sanksi yang diterapkan, rasa penghargaan terhadap Hari Raya Nyepi dan sosialisasi yang dilakukan sesama masyarakat maupun dari tokoh masyarakat sudah efektif. Namun untuk meningkatkan keefektivitasan, maka perlu ditingkatkan sosialisasi untuk memperingatkan para nelayan agar memastikan perahu nya sudah bersandar dengan baik agar tidak terbawa arus air laut. Selain itu nelayan juga peralatan tangkap agar disimpan di tempat yang aman khususnya kepada nelayan pendatang buruh yang bekerja kurang dari satu tahun. 7.6 Efektivitas Awig-awig Nomor Lima Awig-awig nomor 5 mengenai larangan melaut di sekitar pesisir kedonganan pada saat berlangsung nya upacara keagamaan memiliki jumlah pelanggaran sebesar 17% bagi nelayan pribumi dan 54% bagi nelayan pendatang. Larangan tersebut mengalami beberapa perubahan dari waktu ke waktu. Jika dulu larangan tersebut berlaku untuk semua upacara keagamaan desa, namun sekarang larangan tersebut hanya berlaku untuk upacara yang dilaksanakan di sekitar Pantai Kedonganan seperti upacara purnama kedasa, upacara melasti dan upacara ngaben. Larangan tersebut dulu berlaku selama dua hari dimana masyarakat turut membantu persiapan upacara keagamaan atau yang disebut urung gae. Namun sekarang hanya berlaku pada saat berlangsungnya upacaa keagamaan Alasan nelayan pribumi yang melanggar larangan tersebut adalah mereka tetap melaut di sekitar pesisir kedonganan namun tidak sampai menganggu kekhidmatan beribadah. Bagi nelayan pendatang alasan mereka melanggar aturan tersebut adalah karena mereka harus tetap melaut agar menghasilkan uang dan menganggap suatu agama dan budaya jangan terlalu mengikat seseorang yang memiliki agama dan budaya yang berbeda. Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 5 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan dapat dilihat pada Tabel 21.
73
Tabel 21 Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 5 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan Status Penguasaan Kapital Nelayan Buruh Nelayan Juragan
Nelayan Pribumi (%) Melanggar Mentaati
Total (%)
Nelayan Pendatang (%) Melanggar Mentaati
Total (%)
12.5
87.5
100
70.6
29.4
100
21.4
78.6
100
30.77
69.23
100
Tabel 21 menunjukkan bahwa responden nelayan pribumi yang melanggar Awig-awig nomor 5 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 12.5% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 21.4% nelayan yang melanggar merupakan nelayan juragan. Responden nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 5 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 70.6% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 30.77% merupakan nelayan juragan. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap Awig-awig nomor 5 sebagian besar dilakukan oleh nelayan pendatang yang merupakan nelayan buruh. Salah satu alasan pelanggaran adalah karena mereka harus tetap bekerja mencari nafkah walaupun berlangsungnya upacara keagamaan di sekitar pantai asal tidak mengganggu kekhidmatan prosesi upacara. Pelanggaran terendah terhadap Awig-awig nomor 5 dilakukan oleh nelayan pribumi yang merupakan nelayan buruh. Mereka beranggapan bahwa mereka harus tetap menghargai upacara keagamaan agama mereka sendiri dan juga mereka beranggapan bahwa Tuhan akan memberi rezeki yang lebih bila mereka menghargai agama nya sendiri. Kita dapat melihat dari penggolongan nelayan berdasarkam waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan antara lain nelayan ikan penuh yaitu orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan atau pemeliharaan ikan dan nelayan ikan sambilan yaitu orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan atau pemeliharaan ikan. Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awigawig nomor 5 berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 5 berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan Waktu yang digunakan Nelayan Ikan Penuh Nelayan Ikan Sambilan
Nelayan Pribumi (%) 28.6 7.7
Nelayan Pendatang (%) 57.15 61.5
Tabel 22 menunjukkan bahwa responden nelayan pribumi yang melanggar Awig-awig nomor 5 dibagi berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan maka 28.6% nelayan yang melanggar merupakan
74
nelayan ikan penuh dan 7.7% nelayan yang melanggar merupakan nelayan ikan sambilan. Responden nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 5 dibagi berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan maka 57.15% nelayan yang melanggar merupakan nelayan ikan penuh dan 61.5% merupakan nelayan ikan sambilan. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap Awig-awig nomor 5 sebagian besar dilakukan oleh nelayan pendatang yang merupakan nelayan ikan sambilan. Efektivitas Awig-awig nomor 5 dalam mengatur perilaku nelayan pribumi jika dilihat dari jumlah pelanggaran berada pada tingkat pelanggaran sedang yaitu dalam kategori aman dilihat dari jumlah pelanggaran sebanyak 17%. Hal ini menunjukkan bahwa Awig-awig nomor 5 mengenai larangan melaut pada saat berlangsungnya upacara keagamaan sudah efektif mengatur perilaku nelayan pribumi. Efektivitas Awig-awig nomor 5 dalam mengatur perilaku nelayan pendatang jika dilihat dari jumlah pelanggaran sebesar 54% berada pada tingkat pelanggaran tinggi yaitu dalam kategori pelanggaran serius dimana Awig-awig nomor 5 kurang efektif mengatur perilaku nelayan pendatang khususnya nelayan buruh yang merupakan nelayan ikan sambilan. Sanksi yang kurang tegas, kurang nya sosialisasi baik lisan maupun tulisan dan faktor pemenuhan kebutuhan yang dirasa lebih penting bagi nelayan merupakan alasan pelanggaran yang terjadi pada Awig-awig nomor 5. 7.7 Efektivitas Awig-awig Nomor Enam Awig-awig nomor enam yang berisi mengenai larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir kedonganan memilki jumlah pelanggaran sebesar 57% bagi nelayan pribumi dan sebesar 50% bagi nelayan pendatang. Responden yang melanggar Awig-awig nomor 6 memiliki alasan bahwa sampah yang mereka buang adalah sampah kecil seperti sampah plastik, putung rokok maupun bungkus rokok namun tetap saja hal itu melanggar aturan dan dapat menjadi sampah yang menumpuk bila dilakukan terus-menerus. Selain itu mereka beralasan bahwa di dalam kapal mereka tidak ada tempat sampah sehingga mereka terpaksa membuang sampah ke laut jika sedang menangkap ikan dan tempat sampah hanya terdapat di ujung pantai dan tidak tersebar di sepanjang pantai. Ada pula yang belum mengetahui aturan tersebut karena tidak pernah mendapatkan sosialisasi secara lisan maupun tulisan. Sanksi yang diterapkan pun tidak terlalu memberatkan yaitu hanya berupa teguran dan bila membuang sampah dalam jumlah banyak maka akan mendapatkan sanksi denda. Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 6 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan dapat dilihat pada Tabel 23.
75
Tabel 23 Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 6 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan Status Penguasaan Kapital Nelayan Buruh Nelayan Juragan
Nelayan Pribumi Melanggar Mentaati
Total (%)
Nelayan Pendatang Melanggar Mentaati
Total (%)
62.5 50
100 100
58.8 38.5
100 100
37.5 50
41.2 61.5
Tabel 23 menunjukkan bahwa responden nelayan pribumi yang melanggar Awig-awig nomor 6 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 62.5% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 50% nelayan yang melanggar merupakan nelayan juragan. Responden nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 6 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 58.8% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 38.5% merupakan nelayan juragan. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap Awig-awig nomor 6 sebagian besar dilakukan oleh nelayan pribumi yang merupakan nelayan buruh. Nelayan pribumi buruh banyak yang melanggar karena kurangnya kesadaran mereka akan kebersihan lingkungan. Mereka menganggap sampah yang kecil tidak akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang besar. Mereka juga menganggap sudah turut serta menjaga kebersihan karena selalu rutin mengikuti kerja bakti. Nelayan pendatang juragan banyak yang mentaati larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir karena mereka menyadari sebagai pendatang mereka harus menjaga kebersihan lingkungan dan tidak mengotorinya. Efektivitas Awig-awig nomor 6 dalam mengatur perilaku nelayan pribumi jika dilihat dari jumlah pelanggaran maka Awig-awig berada pada tingkat pelanggaran tinggi yaitu dalam kategori pelanggaran serius. Hal ini menunjukkan aturan tersebut kurang efektif dalam mengatur perilaku nelayan pribumi jika dilihat dari jumlah pelanggaran sebanyak 57% khususnya kurang efektif dalam mengatur perilaku nelayan pribumi yang merupakan nelayan buruh. Awig-awig nomor 6 dalam mengatur perilaku nelayan pendatang juga berada pada tingkat pelanggaran tinggi yaitu termasuk dalam pelanggaran serius. Hal ini menunjukkan aturan tersebut kurang efektif dalam mengatur perilaku nelayan pendatang jika dilihat dari jumlah pelanggaran sebesar 50%. Kurangnya efektivitas Awig-awig nomor 6 mengenai larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir Kedonganan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : 1. Sanksi yang diterapkan kurang tegas, hanya berupa teguran saja. 2. Sosialisasi yang kurang gencar dilakukan untuk meningkatkan kesadaran nelayan seperti tidak adanya tulisan larangan membuang sampah yang tersebar di sekitar wilayah pantai. 3. Jumlah tempat sampah yang sedikit dan tidak menyebar di sekitar wilayah pantai. 4. Petugas yang tidak selalu dapat melakukan kontrol. 5. Kesadaran nelayan yang kurang akan kebersihan lingkungan.
76
7.8 Efektivitas Awig-awig Nomor Tujuh Awig-awig nomor 7 mengenai larangan melaut pada angin musim barat memiliki jumlah pelanggaran sebesar 40% bagi nelayan pribumi dan 47% bagi nelayan pendatang. Responden yang melanggar Awig-awig nomor 7 memiliki alasan mereka tetap nekat melaut karena harus mendapatkan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ada pula yang beralasan mereka tetap melaut namun tidak sejauh biasanya karena memahami jarak yang aman untuk melaut pada saat angin musim barat. Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 7 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Persentase jumlah responden nelayan pribumi dan nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 7 berdasarkan status penguasaan kapital nelayan Status Penguasaan Kapital Nelayan Buruh Nelayan Juragan
Nelayan Pribumi Melanggar Mentaati
Total (%)
Nelayan Pendatang Melanggar Mentaati
Total (%)
35.3
64.7
100
62.5
37.5
100
46.2
53.8
100
28.6
71.4
100
Tabel 24 menunjukkan bahwa responden nelayan pribumi yang melanggar Awig-awig nomor 7 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 35.3% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 46.2% nelayan yang melanggar merupakan nelayan juragan. Responden nelayan pendatang yang melanggar Awig-awig nomor 5 dibagi berdasarkan status penguasaan kapital maka 62.5% nelayan yang melanggar merupakan nelayan buruh dan 28.6% merupakan nelayan juragan. Hal ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap Awig-awig nomor 7 sebagian besar dilakukan oleh nelayan pendatang yang merupakan nelayan buruh. Efektivitas Awig-awig nomor 7 dalam mengatur perilaku nelayan jika dilihat dari jumlah pelanggaran maka Awig-awig nomor 7 berada pada tingkatan pelanggaran sedang yaitu merupakan pelanggaran yang kurang serius. Hal ini menunjukkan bahwa efektif dalam mengatur perilaku nelayan pribumi jika dilihat dari jumlah pelanggaran sebanyak 40%. Awig-awig nomor 7 dalam mengatur perilaku nelayan pendatang juga berada pada tingkatan pelanggaran sedang yaitu merupakan pelanggaran yang kurang serius. Hal ini menunjukkan aturan tersebut cukup efektif dalam mengatur perilaku nelayan pendatang jika dilihat dari jumlah pelanggaran sebesar 47%. Pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Mereka tetap nekat melaut karena memang harus mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup. 2. Mereka tetap nekat melaut namun tidak sejauh biasanya walaupun belum ada penetapan zona-zona yang dilarang untuk melaut pada saat angin musim barat.
77
7.9 Ikhtisar Efektivitas Awig-awig dianalisis untuk mengetahui sejauh mana Awigawig tersebut efektif diterapkan di Pantai Kedonganan. Keefektivitasan Awigawig dapat dilihat dari kemampuan Awig-awig tersebut dalam mengatur perilaku nelayan. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa Awig-awig yang paling efektif mengatur perilaku nelayan pribumi adalah Awig-awig nomor satu mengenai larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya serta. Awig-awig nomor satu dikatakan sangat efektif karena: 1. Jumlah pelanggaran responden sebesar 0%. Alasan mereka mentaati Awigawig nomor satu adalah karena mereka menganggap perbuatan menangkap menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya merupakan perbuatan yang menyebabkan biota laut musnah dan laut akan tercemar sehingga mata pencaharian mereka akan berkurang. Laut merupakan anugerah dari Sang Hyang Widi yang harus mereka jaga apalagi mereka adalah penduduk asli daerah Pantai Kedonganan. 2. Sanksi adat maupun sanksi dari pemerintah yang sangat berat dan petugas yang selalu melakukan patroli menyebabkan mereka tidak melanggar aturan tersebut. Selain Awig-awig nomor satu, Awig-awig yang juga sangat efektif mengatur perilaku nelayan pribumi adalah Awig-awig nomor empat mengenai larangan melaut pada Hari Raya Nyepi. Alasan nelayan pribumi mentaati Awig-awig nomor empat adalah karena seluruh nelayan pribumi memeluk Agama Hindu dan Hari Raya Nyepi merupakan hari yang suci bagi mereka sehingga pada hari tersebut mereka benar-benar khusuk melakukan ibadah. Awig-awig yang kurang efektif dalam mengatur perilaku nelayan pribumi adalah Awig-awig nomor empat mengenai larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir. Alasan mereka melanggar aturan tersebut adalah karena mereka hanya membuang sampah kecil dan tidak dalam jumlah besar serta keberadaan tempat sampah yang jarang. Awig-awig yang paling efektif mengatur perilaku nelayan pendatang adalah Awig-awig nomor satu. Alasan mereka mentaati aturan tersebut sama seperti alasan nelayan pribumi, yaitu: 1. Mereka menganggap perbuatan tersebut kejam karena akan sangat merusak lingkungan 2. Sanksi yang tegas baik sanksi adat maupun sanksi formal dan petugas yang selalu melakukan kontrol. 3. Larangan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan berbahaya lainnya juga merupakan aturan pemerintah sehingga sosialisasi nya pun gencar di lakukan di seluruh perairan Indonesia dan bukan hanya di Pantai Kedonganan saja. Awig-awig yang kurang efektif mengatur perilaku nelayan pendatang adalah Awig-awig nomor lima mengenai larangan melaut di sekitar pantai pada saat berlangsungnya upacara keagamaan. Alasan mereka melanggar aturan tersebut adalah mereka merasa bahwa agama dan budaya lain jangan sampai terlalu mengikat mereka yang penting mereka saling menghargai. Jika mereka tidak
78
melaut pada saat upacara keagamaan berlangsung, maka mereka akan mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit. Awig-awig yang paling efektif diterapkan adalah Awig-awig nomor satu dan Awig-awig nomor empat. Hal ini dilihat dari jumlah pelanggaran yang rendah, sanksi yang tegas, kesadaran nelayan yang tinggi, petugas yang selalu melakukan kontrol serta bentuk sosialisasi yang gencar dilakukan pemerintah maupun tokoh masyarakat. Awig-awig yang kurang efektif diterapkan adalah Awig-awig nomor enam mengenai larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir. Awigawig tersebut dikatakan kurang efektif disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. Jumlah pelanggaran yang tinggi 2. Sarana yang kurang memadai seperti tidak adanya tempat sampah di setiap kapal dan tempat sampah yang kurang menyebar di sekitar pantai 3. Petugas yang tidak bisa selalu melakukan kontrol 4. Sanksi yang kurang tegas dan kesadaran nelayan yang kurang akan kebersihan pantai seperti menganggap bahwa sampah kecil tidak masalah bila dibuang di pantai padahal sampah kecil akan menjadi sampah yang menumpuk bila dilakukan terus-menerus. Selain itu, untuk menjaga kebersihan lingkungan pantai juga perlu adanya partisipasi dari pedagang, masyarakat sekitar dan pengunjung.
79
BAB VIII PENUTUP 8.1 Kesimpulan Bentuk-bentuk Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan bagi terdiri atas tujuh aturan, diantaranya: 1. Larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya. 2. Larangan merusak terumbu karang secara sengaja. 3. Larangan mengambil biota laut yang dilindungi. 4. Larangan melaut pada Hari Raya Nyepi. 5. Larangan melaut di sekitar pantai dan pesisir kedonganan pada saat berlangsungnya upacara keagamaan. 6. Larangan membuang sampah di sekitar pantai dan pesisir. 7. Larangan melaut pada angin musim barat. Terdapat perbedaan pengetahuan, pemahaman dan implementasi antara nelayan pribumi dan nelayan pendatang. Hal ini dapat dilihat dari jumlah responden yang mengetahui, memahami dan mengimplementasi keseluruhan Awig-awig yang mengatur kehidupan masyarakat nelayan di Pantai Kedonganan. Jumlah responden yang mengetahui dan memahami keseluruhan Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan mulai dari Awig-awig nomor 1 sampai nomor 7 lebih banyak berasal dari nelayan pendatang daripada nelayan pribumi. Hal ini karena nelayan pendatang jika datang ke sebuah tempat yang bukan daerah asal mereka untuk mencari nafkah, maka mereka cenderung untuk ingin mengetahui dan mempelajari aturan yang berlaku di daerah tersebut agar mereka bisa beradaptasi. Akan tetapi jumlah responden yang mengimplementasikan keseluruhan Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan lebih banyak berasal dari nelayan pribumi daripada nelayan pendatang. Hal ini karena mereka taat pada budaya dan ajaran Agama Hindu yang terkandung dalam Awig-awig yaitu Tri Hita Karana. Awig-awig yang paling efektif dalam mengatur perilaku nelayan adalah Awig-awig nomor 1 mengenai larangan menangkap ikan menggunakan bom, potasium, racun, pukat harimau dan bahan kimia berbahaya lainnya. Hal ini terlihat dari jumlah responden sebanyak 100% yang mentaati aturan tersebut. Selain itu juga dapat terlihat dari sosialisasi yang gencar dilakukan, petugas yang selalu mengadakan patroli, kesadaran nelayan akan bahaya dari penggunaan alatalat tersebut dan sanksi yang tegas. Awig-awig dalam pengaturan kehidupan masyarakat nelayan secara keseluruhan paling efektif mengatur nelayan pribumi daripada nelayan pendatang karena jumlah responden yang mengimplementasikan keseluruhan aturan lebih banyak berasal dari nelayan pribumi. Maka hipotesis 1 dan hipoetesis 2 dapat diterima. 8.2 Saran Untuk meningkat keefektivitasan Awig-awig maka perlu dilakukan evaluasi terhadap beberapa peraturan sehingga dapat dilakukan perbaikan.
80
Evaluasi tersebut dapat meliputi bentuk sosialisasi, bentuk sanksi-sanksi yang diterapkan, petugas yang memantau, kesadaran nelayan, kondisi nelayan, ketersediaan sarana dan prasarana serta kondisi wilayah. Untuk selanjutnya diharapkan aturan-aturan dalam Awig-awig tersebut dibuat dalam bentuk tulisan dan diletakkan di tempat yang dapat dijangkau oleh para nelayan sehingga nelayan dapat terus mengingat aturan tersebut. Sanksi-sanksi yang diterapkan pun harus lebih tegas dan jumlah petugas yang memantau ditingkatkan.
81
DAFTAR PUSTAKA Afiati N. 1999. Aspek Hayati Teknik Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pesisir. Semarang (ID): Bapedalda. Astiti TIP, Windia W, Sudantra IK, Wijaatmaja IGM, Dewi AAIAA. 2011. Implementasi Ajaran Tri Hita Karana. [jurnal]. Denpasar (ID): Universitas Udayana. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Kebijakan Pembangunan Pesisir Sebagai Alternatif. [Internet]. [diunduh1Maret 2013]. Tersedia pada: http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3007/ Bengen DG. 2001. Ekosistem dan Sumber Daya Alam Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta (ID): PT Pramadya Pramita. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta (ID): PT Pramadya Pramita. Djogo T, Sunaryo, Suharjito D, Sirait M. 2003. Kelembagaan Kebijakan Dalam Agroforesti. Bogor (ID): ICRAF. Hutagalung RA.2010. Ekologi Dasar. [internet]. [diunduh 1 Maret 2013]. Tersedia pada: http://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Kepemilikan_Bersama#cite_refb_2-0 Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Antropologi. Jakarta (ID): Penerbit Universitas. Mugniesyah SS. 2006. Materi Bahan Ajar Ilmu Penyuluhan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nasution Z, Sastrawidjaja, Hartono TT, Mursidan, Priyatna FN. 2007. Sosial Budaya Masyarakat Nelayan. Jakarta (ID): Badan Riset Kelautan dan Perikanan. [PM] Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 15 tahun 2006 pasal 1:(14). Saba ES. 2003. Penguatan Makna dan Peran Awig-awig Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. [jurnal]. [internet]. [diunduh 1 Maret 2013]. Tersedia pada: http://dgiindonesia.com/wpcontent/uploads/2009/02/menggalikearifanlokalnusantara1.pdf Satria A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta (ID): Cidesindo. Setiadi EM, Kolip U. 2011. Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial. Jakarta (ID): Kencana Prenada Media Grup. Singarimbun M dan Masri S. 2008. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): Penerbit Pustaka LP3ES. Sirait E. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Kemasyarakatan dan Kearifan Lokal : Studi Kasus Pengelolaan Cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa TenggaraTimur. [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Soekanto S. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada.
82
Stanis S. 2005. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui pemberdayaan kearifan lokal di Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur. [tesis] . Semarang (ID): Universitas Diponegoro. 116 hal. Sub Direktorat Data dan Perikanan Tangkap. 2011. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2010. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Sumardjono MS. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kompas. Sunaryo. 2002. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta (ID): EGC Suasthawa DIM. 2001. Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali. Denpasar (ID): Upada Sastra. Tony F. 2003. Kelembagaan Sosial. Di dalam: Kolopaking LM, Sitorus MTF, Sumarti T, Dharmawan AH, Nawireja IK., editor. Sosiologi Umum. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. hlm 29-35. Wasistiono S dan Tahir M. 2007. Prospek Pengembangan Desa. Jakarta (ID): Fokus Media.
83
LAMPIRAN Lampiran 1 Denah lokasi penelitian
Keterangan : X : Lokasi penelitian
84
85
Lampiran 2 Rencana kegiatan penelitian tahun 2013 Kegiatan Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal Pengambilan data lapang Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan laporan penelitian
Februari Maret April Mei Juni Juli 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
3
4
86
87
Lampiran 3 Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian nelayan pribumi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nama IKS IGS IWN KS IWW IWK INS IMD IPR IMK IWG IMS IKD IMB IKS IKP IMSS IKS IMW IMR IGS IPS INK IWR IMR IKS IKD IMS IMS IWA KW IMM IMB IPD IKM IMM IMR INR IKN IMM IMM IMS
Usia (tahun) 37 30 32 40 41 45 44 40 28 38 37 36 48 36 49 53 60 57 58 45 38 44 47 39 43 35 40 43 45 52 40 54 46 27 55 53 49 38 34 41 36 47
No 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
Nama INN IMR INS MB IWD AN IGB IML IMB INA IMS IMK IWB IWU IWT IWK IKD MS MM IWS IKS IMM IKY
Usia (tahun) 42 56
25 51 43 38 46 50 53 45 45 30 46 55 47 25 35 50 40
= Responden Penelitian
88
Lampiran 4 Daftar nama kerangka sampling dan responden penelitian nelayan pendatang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Nama TM ART ANP WA PND MST AMC BAN DPE RBP AGG ALP DD ARF MSKR FA IWS YWS FHT TN TS SHR TD SN BR GR JKO BG HR BHRDN BMG SYAM MRH DD MRN YSF BG SYR SDQ JK NH SN MRY
Usia (tahun) 48 43 39 25 30 40 31 19 33 42 16 39 20 34 35 34 29 21 44 45 31 47 30 22 34 52 30 26 40 26 48 45 50 36 48 25 35 49 35 35 27 33 39
No 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Nama DRA AA HEN MUR ABD TN SUW IRF DDN DNG MT YT MSD STD ADI SNI ACH HKM DDG IRL TB TGR EDO FMN HR ALI AGS
Usia (tahun) 27 39 48 38 30 41 36 26 43 50 29 33 36 29 44 30 44 33 38 25 26 38 44 28 50 40 55
= Responden Penelitian
89
Lampiran 5 Dokumentasi penelitian
Nelayan saat menepikan perahu
Suasana pantai kedonganan yang dipenuhi perahu nelayan
90
Papan larangan menangkap biota laut yang dilindungi
Perahu tradisional nelayan
91
Penjual ikan di Pantai Kedonganan
Pedagang ikan yang membuang limbah di pantai
92
Balai milik kelompok nelayan untuk tempat berkumpul
Buku Awig-awig Desa Adat Kedonganan
93
Lampiran 6 Kuesioner penelitian
Efektivitas Awig-awig dalam Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan No. Kuesioner
:
Tanggal Wawancara
:
Jam
:
Salam sejahtera bagi kita semua, semoga selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa. Perkenalkan saya : Tyas Widyastini (I3400017), mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat – Fakultas Ekologi Manusia IPB untuk mengajukan beberapa pertanyaan yang tercantum dalam lembar kuesioner ini. Kuesioner ini dibutuhkan untuk menggali data yang bermanfaat untuk kepentingan penelitian dan penyelesaian tugas akhir saya. Untuk itu saya mohon saudara dapat bekerja sama dalam menjawab pertanyaan yang terlampir pada kuesioner ini. Data yang saudara berikan terjamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Terima kasih. A. Karakteristik Responden Nama Umur Agama Daerah asal Pengalaman sebagai nelayan Pendidikan terakhir Pekerjaan sampingan
: : : : : : :
tahun
B. Tingkat Pengetahuan Berikut ini adalah pertanyaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan nelayan tentang aturan lokal (Awig-awig) yang terdapat di Pantai Kedonganan Bali. Berikanlah tanda silang (X) pada jawaban yang sesuai dengan pilihan anda. No
1
2 3
Pertanyaan
Saya mengetahui adanya larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya Saya mengetahui larangan merusak terumbu karang secara sengaja Saya mengetahui larangan mengambil biota laut
Ya
Tidak
94
4 5
6 7
yang dilindungi Saya mengetahui larangan melaut pada Hari Raya Nyepi Saya mengetahui larangan melaut di sekitar pantai kedonganan pada saat upacara keagamaan desa setempat Saya mengetahui larangan membuang sampah di laut Saya mengetahui larangan melaut pada musim tertentu
C. Tingkat Pemahaman Berikut ini adalah pertanyaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemahaman nelayan tentang aturan lokal (Awig-awig) yang terdapat di Pantai Kedonganan Bali. Berikanlah tanda silang (X) pada jawaban yang sesuai dengan pilihan anda. No Pertanyaan 1 Saya memahami adanya larangan menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya 2 Saya memahami larangan merusak terumbu karang secara sengaja 3 Saya memahami larangan mengambil biota laut yang dilindungi 4 Saya memahami larangan melaut pada Hari Raya Nyepi 5 Saya memahami larangan melaut di sekitar pantai kedonganan pada saat upacara keagamaan desa setempat 6 Saya memahami larangan membuang sampah di laut 7 Saya memahami larangan melaut pada musim tertentu
Ya
Tidak
D. Tingkat Implementasi Berikut ini adalah pertanyaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan implementasi nelayan tentang aturan lokal (Awig-awig) yang terdapat di Pantai Kedonganan Bali. Berikanlah tanda silang (X) pada jawaban yang sesuai dengan pilihan anda. No Pertanyaan 1 Saya tidak menangkap ikan menggunakan pukat harimau, bom, potasium dan bahan kimia berbahaya lainnya
Ya
Tidak
95
2 3 4 5 6 7
Saya tidak merusak terumbu karang secara sengaja saat melaut Saya tidak mengambil biota laut yang dilindungi Saya tidak melaut pada Hari Raya Nyepi Saya tidak melaut di sekitar pantai kedonganan pada saat upacara keagamaan desa setempat Saya tidak membuang sampah di laut Saya tidak melaut pada musim tertentu
E. Sosialisasi Aturan Lokal Berikut ini pertanyaan tentang hal-hal yang berkaitan dengan sosialisasi aturan lokal bagi nelayan yang terdapat di Pantai Kedonganan. Berikan tanda silang (x) pada jawaban yang sesuai dengan pilihan anda
No Pertanyaan 1 Mengetahui aturan lokal melalui media tulisan 2 Mengetahui aturan lokal dari sosialisasi tokoh masyarakat desa 3 Mengetahui aturan lokal dari sosialisasi tokoh pemerintah 4 Mengetahui aturan lokal dari sosialisasi ketua kelompok nelayan 5 Mengetahui aturan lokal melalui informasi dari sesama nelayan 6 Mengetahui aturan lokal melalui informasi dari masyarakat setempat
Ya
Tidak
96
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Jakarta pada 10 Juli 1991. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari Bapak Sumartono dan Ibu Ida Widayanti. Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Narotama II Malang (1997-2003), Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 3 Malang (2003-2006), dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Bogor (2006-2009). Kemudian pada tahun 2009, penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Selama di IPB, penulis tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai bendahara Divisi Public Relation dari tahun 2011-2012. Selain itu, penulis juga aktif dalam kepanitiaan yaitu anggota divisi pertandingan Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2010, anggota divisi acara OMI tahun 2011, anggota divisi humas Ecology Sport Event 2011 (E’Spent) Fakultas Ekologi Manusia IPB, anggota divisi acara pada Masa Perkenalan Departemen (MPD) tahun 2011 dan presenter pada final aerobik dan basket OMI tahun 2011. Penulis pernah meraih finalis presenter terbaik pada acara Communication Day tahun 2011.