51
BAB VI FAKTOR – FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya. Harga pasaran yang tinggi dan relatif stabil memberikan daya tarik tersendiri bagi pemerintah dan pengusaha. Perkembangan industri kelapa sawit di Indoensia sangat pesat. Keadaan ini membawa peluang bagi pemerintah untuk membuat kebijakan terkait perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut direalisasikan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian No.26 Tahun 2007 tentang pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan bahwa setiap perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit wajib memiliki plasma minimal 20 persen dari luas HGU. Keberhasilan program pengembangan kelapa sawit berbasis perkebunan rakyat di beberapa daerah dengan meningkatnya keadaan sosial ekonomi masyarakat menambah daya tarik komoditas kelapa sawit. Pemerintah daerah Barito Kuala khususnya dan Kalimantan Selatan pada umumnya telah menetapkan program-program terkait dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit berbasis perkebunan rakyat melalui program revitalisasi perkebunan.
Program
revitalisasi
perkebunan
adalah
upaya
percepatan
pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan, dan rehabilitasi tanaman perkebunan. Pelaksanaan program ini merupakan bentuk kerjasama dari beberapa pihak. Perbankan sebagai pihak penyedia kredit investasi, pemerintah sebagai fasilitator yang memberikan dukungan dan subsidi bunga, perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan pemasaran hasil. Pelaku utama dalam program ini adalah masyarakat sebagai peserta program dan pemilik lahan perkebunan.
52
Peraturan dan kebijakan yang mendukung program revitalisasi perkebunan antara lain: 1. Peraturan Menteri Pertanian RI, No.33/Permentan/OT.140/7/2006 tanggal 26 Juli 2006, tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan; 2. Surat Keputusan Menteri Pertanian RI, No.490/Kpts/OT.160/8/2006 tanggal 24 Agustus 2006, tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pelaksanaan Program Revitalisasi; 3. Peraturan Menteri Keuangan RI, No: 117/PMK.06/2006 tanggal 30 Nopember 2006, tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP); 4. Perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Departemen Keuangan RI dengan BRI No. PKP-01/KPEN-RP/DP3/2006 tanggal 20 Desember 2006; 5. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/MENHUT-II/2007 tentang Perubahan Kedua atas KepMenHut No.292/KPTS-II/1995, tentang Tukar Menukar Kawasa Hutan; 6. Surat Menteri Keuangan RI NO. S-313/MK.05/2007 Tentang subsidi bungan KPEN-RP; 7. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3817-310.21-D.II tanggal 6 Desember 2007 tentang Standar Satuan Biaya Sertifikat Hak Milik Program Revitalisasi Perkebunan; 8. SK. Dirjend Perkebunan No135/Kpts/RC.110/10/2008 tgl 14 Oktober 2008 tentang Satuan Biaya Pembangunan Kebun Peserta Revitalisasi Perkebunan; 9. Surat Edaran No. 40-DIR/ADK/12/2006 tanggal 20 Desember 2006 tentang KPEN-RP dengan Pola Kemitraan; dan 10. Surat Edaran NO.41-DIR/ADK/12/2006 tanggal 20 Desember 2006 tentang KPEN-RP dengan Pola Non Kemitraan. Peraturan dan kebijakan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah daerah Kalimantan Selatan dan Barito Kuala untuk membuat program-program terkait pengembangan kelapa sawit. Seperti dijelaskan sebelumnya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Daerah Tingkat II Barito Kuala bekerjasama dengan Dinas
53
Perkebunan Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan memiliki beberapa program terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit. Program tersebut seperti sosialisasi tentang perkebunan kelapa sawit, pembagian bibit bersertifikat serta bantuan pupuk. Beberapa wilayah yang menjadi tujuan program pengembangan perkebunan kelapa sawit adalah adalah desa-desa yang berada di sekitar perusahaan besar seperti Kecamatan Wanaraya, Cerbon, Jejangkit, dan lain-lain. Program pengembangan kebun kelapa sawit di Kecamatan Cerbon khususnya Desa Simpang Nungki dilaksanakan pada tahun 2007. Peserta program ini adalah transmigran yang kedatangannya pada tahun 2005 dan 2006. Beberapa sumber berpendapat bahwa tingkat keberhasilan dan keberlanjutannya hanya sekitar 50 persen saja. Namun, jika dilihat dari keadaan yang ada di lapangan, program tersebut telah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang perkebunan kelapa sawit maupun proses produksinya. Berikut data reponden yang mengikuti program tersebut. Tabel 6.1 Rumah Tangga Peserta Program Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Berdasarkan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Kategori Peserta Membangun kebun Tidak membangun kebun Jumlah
Jumlah KK 65 32 97
Persentase (%) 67,01 32,99 100,00
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa dari seluruh peserta program yang masih betahan di UPT Simpang Nungki lebih dari 50 persen membangun kebun kelapa sawit. Sisanya sekitar 32 persen tidak membangun kebun kelapa sawit. Sebagian besar dari peserta program yang tidak membangun kebun kelapa sawit adalah transmigran lokal yang lebih memilih untuk menjual bibit dan pupuk yang didapat dari program tersebut untuk mendapatkan tambahan penghasilan. Karena transmigran lokal berpendapat bahwa kebun kelapa sawit masih kurang menguntungkan, perawatannya lebih susah dan mahal, dan pengetahuan tentang pelaksanaan kebun kelapa sawit yang masih rendah. Hal ini berbeda dengan transmigran yang berasal dari luar Provinsi Kalimantan Selatan yang telah lebih dulu mengenal perkebunan kelapa sawit. Mayoritas transmigran pendatang membangun kebun kelapa sawit dengan fasilitas yang diberikan oleh Dinas
54
Kehutanan dan Perkebunan. Hal ini sesuai dengan penuturan Pak BNA (38 tahun) di bawah ini16. “Masyarakat lokal umumnya susah menerima hal baru, yah makanya susah maju. Oleh karena itu, programprogram seperti ini biasanya di lakukan di wilayah transmigrasi. Diharapkan masyrakat lokal nantinya dapat melihat keberhasilan transmigran dan mau menirunya. Program ini dilaksanakan di Desa Simpang Nungki sekitar tahun 2007, dan kebanyakan yang mau menanam kelapa sawit kan transmigran dari luar Kalimantan. Tahun ini juga ada lagi program serupa di UPT Desa Sawahan dan di Wanaraya karena memang program utama Dinas Perkebunan Kalimantan Selatan kan pengembangan komoditas perkebunan kelapa sawit ini.”
6.2 Faktor Internal Masyarakat 6.2.1 Tingkat Pengetahuan Komoditas kelapa sawit merupakan hal yang baru bagi sebagian besar masyarakat Simpang Nungki. Pengetahuan masyarakat tentang kelapa sawit diperoleh dari berbagai sumber yakni program penyuluhan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabuapten Barito Kuala yang dilaksanakan pada tahun 2007, hasil interaksi dengan petani daerah lain yang telah lebih dahulu menanam kelapa sawit, dan dari tata cara penanaman perusahaan tempat masyarakat bekerja sebagai buruh lepas. Kecamatan Cerbon memiliki program studi banding ke Kecamatan Pelaihari yang telah terlebih dahulu berhasil dalam bidang perkebunan kelapa sawit. Program ini diikuti oleh beberapa petani dan pengurus koperasi dari desa-desa di wilayah Kecamatan Cerbon termasuk Desa Simpang Nungki. Tingkat pengetahuan masyarakat dilihat dari pengetahuan tentang keuntungan dan kerugian komoditas kelapa sawit, pengetahuan tengan proses pembangunan kebun kelapa sawit, perawatan kebun kelapa sawit, dan pengetahuan tentang proses pasca produksi atau pasca kebun. Berikut data tingkat pengetahuan masyarakat Unit Pemukiman (UPT) Simpang Nungki.
16
Pak BNA adalah pegawai Dinas Perkebunan Kabupaten Barito Kuala. Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2011.
55
Tabel 6.2 Rumah Tangga Menurut Tingkat Pengetahuan Petani UPT Simpang Nungki, Kec. Cerbon, Kab. Barito Kuala, 2011 Tingkat Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah KK 37 29 68 134
Persentase (%) 27,61 21,64 50,75 100,00
Tabel di atas menunjukkan bahwa masyarakat UPT Simpang Nungki sebagian memiliki pengetahuan yang tinggi tentang tatacara pembangunan kebun, perawatan kebun dan juga memiliki pandangan yang baik terhadap perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang memiliki pengetahuan tinggi mayoritas adalah adalah transmigran yang masuk pada tahun 2005 dan 2006 yang menjadi peserta program pengembangan kebun kelapa sawit dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Sedangkan masyarakat dengan pengetahuan rendah adalah transmigran dengan tahun kedatangan 2007. Pengetahuan yang diperoleh transmigran tidak hanya berasal dari luar individu (eksternal) melainkan juga dari pengalaman setelah mencoba sesuatu. Beberapa transmigran pernah merantau ke wilayah lain dengan komoditas kelapa sawit. Sehingga memiliki pengetahuan lebih dibanding transmigran lokal. Hal ini sesuai dengan penuturan Pak Sri (46 tahun) di bawah ini17. “Beberapa transmigran memiliki pengetahuan yang tinggi tentang kebun kelapa sawit seperti Pak TRT. Dia sudah pernah merantau ke beberapa tempat seperti Sampit dan lain-lain sebelum ikut program transmigrasi. Kebetulan di sana komoditas yang diusahakan juga kelapa sawit. Makanya kebun kelapa sawit milik Pak TRT bagus. Kalo yang lain-lain seperti saya kan coba-coba dan ikut-ikut saja” Hubungan erat yang dimiliki antar transmigran membuat informasi mudah menyebar. Masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi akan menyebarkan pengetahuan yang dimiliki kepada masyarakat lain yang memiliki minat sama terhadap kelapa sawit. Hal ini menyebabkan tingkat pengetahuan masyarakat senantiasa meningkat seiring berjalannya waktu. Pengetahuan yang didapatkan masyarakat dari hasil mencoba juga akan disebarkan kepada masyarakat lain. Hal 17
Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 12 Mei 2011
56
ini terlihat dari cara penanaman sawit yang di lakukan oleh masyarakat Simpang Nungki. Menurut materi yang diberikan Dinas Perkebunan cara penanaman kelapa sawit di daerah berlahan gambut adalah dengan membuat gundukan sehingga
keasaman
tanah
dapat
berkurang.
Hal
tersebut
tidak
dapat
diimplementasikan oleh masyarakat karena jika angin besar maka pohon-pohon sawit akan tumbang. Kondisi tersebut membuat masyarakat menemukan solusi yakni dengan merendahkan gundukan dan membangun saluran air tiap pohon disekitar gundukan sehingga rendahnya gundukan tidak membuat tanah asam. Pengetahuan pemakaian pupuk yang pas juga didapat dari hasil mencoba atau eksperimen di lapangan. Banyak faktor yang menyebabkan materi-materi yang diberikan dinas tidak dapat diimplementasikan di lapangan. Namun tidak banyak petani yang senantiasa mencoba cara-cara baru untuk mencari jalan keluar dari permasalahan kebunnya. Sebagian besar masyarakat hanya menunggu atau melihat petani lain menemukan cara-cara yang lebih sesuai dan menirunya. 6.2.2 Tingkat Kepemilikan Modal Masyarakat UPT Simpang Nungki sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani (termasuk buruh lepas perkebunan kelapa sawit). Pendapatan yang didapat, sebagian diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagian disimpan sebagai modal pertanian pada masa tanam selanjutnya. Biaya yang dikeluarkan untuk kebun kelapa sawit berbeda dengan komoditas pertanian yang lain. Modal untuk membangun dan merawat kebun kelapa sawit jumlahnya jauh lebih besar. Oleh karena itu perlu kesiapan khusus terutama modal untuk membangun kebun kelapa sawit. Biaya pembangunan dan perawatan kebun didaerah berlahan gambut selama kelapa sawit belum dipanen sekitar empat puluh juta rupiah. Jumlahnya jauh lebih besar daripada kebun kelapa sawit yang dibangun di daerah dataran tinggi seperti sebagian besar Pulau Sumatera. Tingkat kepemilikan modal memiliki hubungan yang tidak langsung dengan minat petani terhadap kebun kelapa sawit. Beberapa transmigran dengan minat tinggi mendapat tambahan modal membangun kebun dengan menjual aset yang dimiliki di daerah asal atau meminjam dari kerabat. Berikut data kepemilikan modal masyarakat untuk membangun dan merawat kebun kelapa sawit.
57
Tabel 6.3 Rumah Tangga Menurut Tingkat Kepemilikan Modal Pembangunan dan Perawatan Kebun Kelapa Sawit UPT Simpang Nungki, Kec. Cerbon, Kab. Barito Kuala, 2011 Tingkat Kepemilikan Modal Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Jumlah KK 30 64 40 134
Persentase (%) 22,39 47,76 29,85 100,00
Transmigran peserta program pengembangan perkebunan kelapa sawit dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan mendapatkan bantuan modal untuk pembukaan dan perawatan kebun kelapa sawit. Bantuan berupa bibit kelapa sawit bersertifikat, pupuk, bantuan dana pembersihan lahan, pemasangan anjir dan pembuatan gundukan sangat membantu petani dengan kepemilikan modal yang terbatas untuk membangun kebun kelapa sawitnya. Masyarakat dengan kepemilikan modal tinggi tidak hanya mampu membiayai proses produksi tetapi juga akan memperluas lahan yang dimilikinya. Lahan yang luas akan menghasilkan lebih banyak dan menambah modal yang dimiliki. Hal tersebut berbeda dengan masyarakat dengan modal terbatas seperti kebanyakan transmigran yang harus mencari tambahan modal dengan pekerjaan tambahan atau meminjam uang dari pihak lain. Modal yang ada akan sulit bertambah bahkan akan terus berkurang untuk menutupi biaya produksi dan biaya hidup. Hal ini seperti yang diungkapkan STB (44 tahun) di bawah ini18. “ Kebun kelapa sawit itu membutuhkan modal yang besar dek. Saya saja sudah menjual sapi saya di Jawa. Saya juga pinjam uang adik saya. Yah demi masa depan lah, kan nantinya kalo sudah menghasilkan, uang yang diterima juga banyak. Tapi yah itu, tikus dan kebakaran lahan pas kemarau beberapa waktu lalu membuat kebun masyarakat sini rusak semua. cuma beberapa yang bisa diselamatkan. Sekarang kan bibit kalau beli sendiri mahal. Saya saja sudah hampir habis 2,5 juta untuk beli bibit buat nambal sulam bibit yang rusak dimakan tikus. Yah kalau ga kuat modal ya ga bertahan kebunnya”
18
Hasil wawancara dengan transmigran pada tanggal 3 Mei 2011
58
6.3
Hubungan antara Faktor Internal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit Faktor internal yang terdiri dari tingkat pengetahuan dan tingkat
kepemilikan modal memiliki peran terhadap pembuatan keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit pada periode kedua (2006-2011) yakni periode masuknya komoditas kelapa sawit. Pada periode ketiga (akhir 2011) faktor internal sudah tidak berperan karena pada dasarnya transmigran tidak memiliki pilihan selain bergabung dengan plasma perusahaan. Tingkat pengetahuan masyarakat Unit Pemukiman Transmigran tentang kebun kelapa sawit dilihat dari beberapa aspek yakni: a) pengetahuan tentang keuntungan dan kerugian menanam kelapa sawit yang akan mempengaruhi minat petani, b) pengetahuan tentang tatacara pembukaan kebun, c) tatacara perawatan kebun, dan d) pengetahuan tentang proses pasca produksi atau pasca kebun. Tingkat pengetahuan yang tinggi pada empat hal di atas akan mempengaruhi keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit atau dapat disebut dengan beralih komoditas. Berikut tabel yang menjelaskan hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan keputusan membangun kebun dan keberlanjutan kebun tersebut. Tabel 6.4 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Tingkat Pengetahuan Rendah Sedang Tinggi
Tidak Membangun Kebun 20 19 23
Persen (%) 54,05 65,52 33,82
Keputusan Petani (KK) Membangun Membangun Persen Tidak Kebun (%) Bertahan Bertahan 11 29,73 6 6 20,69 4 20 29,41 25
Persen Persen Jumlah (%) (%) 16,22 13,79 36,76
37 100,00 29 100,00 68 100,00
Keterangan: Hasil Uji Korelasi Rank Spearman sebesar 0,278 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,001)
Tabel di atas menjelaskan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat UPT Simpang Nungki dengan keputusan membuka kebun dan keberlanjutan kebun kelapa sawit tersebut. Sebagian besar masyarakat dengan pengetahuan rendah tidak membuka kebun. Hanya enam KK yang memiliki
59
pengetahuan rendah dan dapat bertahan. Hal tersebut dikarenakan tahun pembangunan kebun belum terlalu lama atau sekitar tahun 2009 dan 2010. Masyarakat dengan tingkat pengetahuan sedang sebagian besar tidak membuka lahan. Sedangkan masyarakat dengan tingkat pengetahuan perkebunan tinggi memiliki sebaran yang hampir merata pada ketiga keputusan yakni keputusan tidak membangun kebun, membangun kebun tidak bertahan, dan membangun kebun yang bertahan sampai sekarang. Sebagian besar masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi tidak membuka kebun dengan alasan tidak memiliki modal yang cukup. Modal awal yang didapatkan dari program pengembangan perkebunan kelapa sawit dari Dinas Perkebunan pada awal pengenalan terhadap komoditas kelapa sawit seperti bibit dan pupuk telah dijual karena minat terhadap kelapa sawit masih rendah. Keterbatasan modal juga menjadi masalah bagi masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi namun kebun kelapa sawit yang dibangunnya tidak dapat bertahan. Hal ini diperkuat dengan pendapat SHD (46 tahun) di bawah ini19. “Pengetahuan sangat berpengaruh terhadap keadaan kebunnya mbak. Karena yang punya pengetahuan tinggi kan tau apa yang harus dilakukan pada pohon kelapa sawit yang bermasalah. Kalo yang pengetahuannya rendah yah cuma ikut-ikut aja. Pas awal juga pengetahuan penting, banyak orang lokal tidak membangun kebun karena belum tahu kalo kelapa sawit itu menguntungkan” Uji korelasi menggunakan Rank Spearmen menunjukkan bahwa korelasi antara pengetahuan dengan keputusan membuka kebun dan keberlanjutannya adalah sebesar 0,278 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,001)
Hasil wawancara transmigran pada tanggal 15 April 2011
60
di mayoritas wilayah Kabupaten Barito Kuala memerlukan biaya yang lebih besar yakni sekitar 30-40 juta rupiah sampai kebun tersebut dapat berproduksi. Namun, masyarakat UPT Simpang Nungki memiliki keadaan yang berbeda, karena sebagian masyarakat pernah menjadi peserta program pengembangan perkebunan kelapa sawit yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan wilayah setempat. Bantuan yang diberikan tersebut meringankan beban biaya yang harus ditanggung petani dalam proses pembukaan dan perawatan kebun. Namun, beberapa kasus berbeda terjadi di masyarakat UPT Simpang Nungki. Masyarakat yang memiliki minat rendah untuk membangun kebun kelapa sawit memilih untuk menjual bibit dan pupuk yang diberikan oleh Dinas Perkebunan melalui program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kemudian, saat minat dan pengetahuan tentang perkebunan kelapa sawit meningkat, modal yang dimiliki tidak memadai untuk membangun dan merawat kebun tersebut. Hama tikus yang meningkat pada saat air pasang dan kebakaran lahan yang terjadi pada musim kemarau tahun 2008 dan 2009 menyebabkan banyak kebun kelapa sawit masyarakat rusak. Ketersediaan modal sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Berikut disajikan tabel yang menjelaskan hubungan antara tingkat
kepemilikan
modal
dengan
keputusan
pembukaan
kebun
dan
keberlanjutan kebun. Tingkat pengetahuan yang rendah dalam mengatasi masalah yang dihadapi petani juga membuat modal yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki keadaan kebun kelapa sawit semakin besar. Tabel 6.5 Hubungan antara Kepemilikan Modal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Tingkat Kepemilikan Modal Rendah Sedang Tinggi
Tidak Persen Membangun (%) Kebun 24 80,00 24 37,50 14 35,00
Keputusan Petani (KK) Membangun Membangun Persen Tidak Kebun (%) Bertahan Bertahan 1 3,33 5 21 32,81 19 15 37,50 11
Persen Persen Jumlah (%) (%) 16,67 29,69 27,50
30 100,00 64 100,00 40 100,00
Keterangan: Hasil Uji Korelasi dengan Rank Spearman sebesar 0,238 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,003)
Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan petani membangun kebun tidak signifikan. Petani dengan tingkat kepemilikan modal rendah lebih memilih untuk tidak membangun kebun kelapa sawit. Hanya lima kelapa keluarga dengan tingkat kepemilikan modal
61
rendah namun kebun kelapa sawit yang dibangunnya dapat bertahan hingga saat ini. Hal itu dikarenakan waktu pembangunan kebun belum terlalu lama, sehingga kebun dapat bertahan hingga sekarang. Selain itu, beberapa transmigran meminjam modal kepada kerabat atau menjual aset yang dimiliki di daerah asal untuk terus memperbaiki kondisi kebun yang dibangunnya. Masyarakat pada kelompok tingkat kepemilikan modal sedang memiliki jumlah yang paling besar dibandingkan dua kelompok lain. Hal yang lebih berpengaruh terhadap keputusan dan keberlanjutan kebun kelapa sawit adalah akses terhadap modal yang dimiliki oleh petani. Akses terhadap modal dapat berupa akses kepada lembaga keuangan yang menyediakan modal, sehingga kebutuhan modal dapat selalu terpenuhi. Petani yang memiliki akses terhadap modal akan dapat membangun dan mempertahankan kebun kelapa sawit yang telah di bangun, walaupun pengetahuan dan modal yang dimiliki rendah. Sebagian kelompok masyarakat memilih untuk tidak membangun kebun. Alasan yang diungkapkan adalah karena tidak memiliki modal yang cukup untuk membangun dan merawat kebun, namun sebagian besar masyarakat dengan tingkat kepemilikan modal sedang memilih untuk membangun kebun walaupun sebagian tidak bertahan. Kebun yang tidak dapat bertahan disebabkan pengetahuan yang dimiliki kurang sehingga modal yang dimiliki tidak dapat digunakan untuk mempertahankan kebun yang telah dibangun. Hal serupa juga terjadi pada kelompok masyarakat dengan tingkat kepemilikan modal tinggi. Pada kelompok ini, kebun yang dimiliki sekitar 15 keluarga tidak dapat bertahan sampai sekarang. Pengetahuan yang rendah tetap menjadi alasan utama. Perasaan takut gagal setelah terjadi bencana kebakaran lahan dan serangan hama tikus setiap air pasang membuat masyarakat pada tingkat kepemilikan modal tinggi tidak memperbaiki kebun kelapa sawitnya. Bahkan, 14 kepala keluarga dengan tingkat kepemilikan modal tinggi memilih untuk tidak membangun kebun kelapa sawit. Hasil uji korelasi menggunakan rank spearman antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan membuka kebun sebesar 0,238 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,003)
62
memiliki hubungan yang kuat dan positif. Jika tingkat kepemilikan modal tinggi maka keputusan untuk membangun kebun kelapa sawit juga tinggi. Tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal merupakan faktor yang saling berkaitan. Berikut disajikan tabel hubungan antara faktor internal dengan keputusan petani. Tabel 6.6 Hubungan antara Faktor Internal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Faktor Tidak Internal Membangun Kebun Rendah 26 Sedang 34 Tinggi 2
Persen (%) 76,47 40,48 12,50
Keputusan Petani (KK) Membangun Membangun Persen Tidak Kebun (%) Bertahan Bertahan 2 5,88 6 32 38,09 18 2 12,5 12
Persen Persen Jumlah (%) (%) 17,65 21,43 75,00
34 100,00 84 100,00 16 100,00
Keterangan: Hasil Uji Korelasi dengan Rank Spearman sebesar 0,397 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,000)
Tabel di atas menunjukkan bahwa faktor internal memiliki hubungan yang signifikan dengan keputusan petani membangun kebun kelapa sawit. Petani dengan tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal sedang lebih memilih untuk tidak membuka kebun atau membuka kebun namun tidak bertahan. Hasil uji korelasi Rank Spearman antara faktor internal dengan keputusan membuka kebun sebesar 0,397 sangat kuat dan searah dengan nilai p(0,000)
63
6.4 Ikhtisar Proses perubahan komoditas pertanian masyarakat Unit Pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki pada perode kedua (2006 – 2011) dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor eksternal masyarakat dan faktor internal. Faktor eksternal adalah kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang terkait pengembangan perkebunan kelapa sawit. Hasil penelitian di UPT Simpang Nungki menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah sangat mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit di wilayah Barito Kuala pada umumnya dan Desa Simpang Nungki khususnya. Hal ini dapat dilihat dari izin usaha perusahaan besar swasta yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Barito Kuala dan Kalimantan Selatan untuk beroperasi di sekitar wilayah Simpang Nungki. Sekumpulan kebijakan yang dikeluarkan oleh berbagai departemen dan kementrian untuk mendukung dan mengatur berlangsungnya program revitalisasi perkebunan. Program-program Dinas Kehutanan dan Perkebunan terkait program pengembangan perkebunan kelapa sawit berbasis perkebunan rakyat juga sangat berpengaruh terhadap perubahan pengetahuan dan minat masyarakat terhadap kelapa sawit. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa hipotesis 2 “faktor eksternal memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian” diterima. Faktor internal terdiri dari tingkat pengetahuan masyarakat tentang perkebunan dan tingkat kepemilikan modal untuk membangun dan merawat kebun kelapa sawit. Faktor internal berperan pada periode kedua (2006-2011) yakni masa masuknya komoditas kelapa sawit. Tingkat pengetahuan meliputi pengetahuan untung dan rugi perkebunan kelapa sawit, pengetahuan tatacara pembukaan dan perawatan kebun kelapa sawit, serta pengetahuan tentang proses pasca kebun atau pasca produksi. Tingkat pengetahuan masyarakat ini akan berpengaruh terhadap minat masyarakat untuk membuka kebun dan beralih komoditas menjadi kelapa sawit. Berdasarkan hasil uji korelasi menggunakan rank spearman dan tabulasi silang, tingkat pengetahuan memiliki hubungan positif dengan keputusan masyarakat untuk membuka kebun dan keberlanjutan kebunnya. Sehingga jika tingkat pengetahuan tinggi maka keputusan membuka kebun juga tinggi. Masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi dan minat besar
64
untuk membuka kebun kelapa sawit memutuskan tidak membuka kebun karena terbatasnya modal yang dimiliki untuk membangun dan merawat kebun. Tabulasi silang antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan membangun kebun tidak memiliki hubungan yang signifikan, namun hasil uji korelasi menggunakan rank Spearman menyebutkan bahwa tingkat kepemilikan modal memiliki hubungan positif dengan keputusan masyarakat untuk membuka kebun dan keberlangsungan kebunnya. Hal ini dikarenakan tidak hanya kepemilikan modal yang berpengaruh tetapi akses terhadap modal yang lebih berpengaruh terhadap pembangunan dan keberlanjutan kebun. Pengetahuan dan modal sebagai faktor internal tidak dapat di pisahkan. Tabulasi silang hubungan antara faktor internal dengan keputusan membangun kebun menunjukkan hubungan yang signifikan, begitu juga dengan hasil uji Rank Spearman. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis 1 “faktor internal memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian” diterima. Selain tingkat kepemilikan modal dan tingkat pengetahuan, terdapat beberapa faktor yang ditemukan dilapangan seperti tingkat keberanian petani untuk mencoba hal-hal baru dan menerima resiko. Selain itu jenis suku juga mempengaruhi keputusan petani. Sebagian besar petani yang tidak menanam kelapa sawit adalah masyarakat lokal suku banjar yang agak sulit menerima hal baru. Petani yang memutuskan tidak membuka kebun menganggap bahwa kelapa sawit sebagai komoditas baru memiliki keuntungan relatif, kesesuaian, kemungkinan dicoba, dan kemungkinan diamati yang rendah. Mereka juga beranggapan kerumitan dalam membangun kebun kelapa sawit tinggi.