BAB VI ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMULIHAN KETERSEDIAAN AIR DI CIKAPUNDUNG HULU
Model yang telah diuji validitasnya dapat dianggap layak untuk dijadikan dasar dalam melakukan analisis dan pemilihan kebijakan yang akan diintervensikan ke dalam model sehingga dapat menjadi rekomendasi dalam implementasi kebijakan di dunia nyata. Dalam analisis kebijakan ini model akan dicoba untuk disimulasikan dalam jangka panjang (50 tahun) tanpa dilakukan intervensi kebijakan (skenario dasar). Selanjutnya dari hasil analisis atas perilaku yang terjadi dalam skenario dasar tersebut akan dicoba dilakukan intervensi berbagai alternatif kebijakan ke dalam model. Dari berbagai alternatif kebijakan yang diintervensikan ke dalam model tersebut selanjutnya akan dilakukan analisis lebih mendalam agar dihasilkan rekomendasi pemilihan kebijakan yang paling tepat dan layak untuk diterapkan. Meskipun di dalam penelitian ini ukuran keberhasilan dari penerapan suatu kebijakan lebih dilihat dari sisi sumber daya air dan kondisi hidrologi, namun secara umum kondisi tersebut dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang paling besar, baik terhadap masyarakat yang tinggal di DAS Cikapundung Hulu maupun terhadap masyarakat di Kawasan Cekungan Bandung. Hal ini karena air merupakan sumber utama yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan juga mahluk hidup lainnya. Dalam setiap kegiatan manusia, air selalu mengambil peran utama, baik itu dalam kegiatan manusia sebagai individu (minum, mandi, bersuci), maupun masyarakat dalam kehidupan sosial dan ekonomi (air sebagai pembangkit energi listri, air sebagai bahan baku dalam proses industri, dll. Keterkaitan dengan kehidupan masyarakat tersebut dapat digambarkan bahwa dengan semakin baiknya kondisi hidrologi DAS yang ditunjukkan dengan terjaganya (dan meningkatnya) kawasan tutupan hutan maka kawasan tersebut, yang sebagian besar merupakan kawasan dengan kondisi kelerengan yang cukup terjal, akan dapat terhindar dari potensi bencana tanah longsor. Selain itu kondisi hidrlogi yang baik akan memberikan laju infiltrasi air hujan yang tinggi ke dalam 112
tanah yang sangat bermanfaat dalam memberikan laju pengisian air tanah dalam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kawasan Cekungan Bandung. Ketersediaan air permukaan terutama dari sisi kontinyuitas penyediaannya sepanjang tahun (sepanjang musim) akan mampu memberikan suplai terhadap berbagai kebutuhan air baku yang antara lain adalah sebagai sumber air minum, air baku pembangkit listrik (PLTA) maupun irigasi. Sehingga dengan keberadaan suplai air yang kontinyu maka kelangsungan hidup masyarkat yang layak dan selalu tumbuh lebih baik (dair sisi skonomi, sosial maupun budaya) dapat selalu terjaga.
VI.1. Perilaku Model Dengan Skenario Dasar Dalam Jangka Panjang Perilaku model jangka panjang pengelolaan DAS Cikapundung Hulu didasarkan atas asumsi umum bahwa struktur fenomena bersifat tetap dan tidak mengalami perubahan dari sisi unsur maupun keterkaitannya. Selama jangka waktu simulasi model tidak terdapat faktor-faktor eksternal dan kebijakan (struktur keputusan) yang secara signifikan dapat merubah struktur model. Perilaku pertumbuhan ekonomi Kawasan Cekungan Bandung Pada awal simulasi pertumbuhan PDRB maupun stok kapital terkesan cukup lambat bahkan sempat cenderung menurun. Hal ini juga sebagai akibat dari adanya dampak krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1996 sampai dengan tahun 1999. Dampak krisis sendiri memerlukan waktu pemulihan hingga 5 tahun. Sementara dalam jangka panjang, baik PDRB maupun kapitalisasi industri serta jasa dan perdagangan mengalami peningkatan yang cukup tajam. Kondisi pertumbuhan ekonomi (PDRB dan stok kapital) sebenarnya dipengaruhi oleh efek ketersediaan air tanah dan juga efek pasokan listrik. Efek ini antara lain dipengaruhi oleh kinerja fungsi hidrologi di DAS Cikapundung, namun karena masih ada beberapa DAS lain yang mempengaruhi ketersediaan air di Kawasan Cekungan Bandung maka seolah-olah efek dari DAS Cikapundung Hulu tersebut tidak begitu berpengaruh terhadap perekonomian di Kawasan Cekungan Bandung. 113
Selain itu di dalam model ini belum dilihat pengambilan air tanah oleh industri yang tentu saja akan semakin mengurangi ketersediaan air di kawasan tersebut (bahkan penurunan yang dominan atas air tanah adalah akibat eksploitasi yang berlebihan dari sektor industri). Apabila seluruh kondisi tersebut dapat diintegrasikan maka pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan ekonomi akan sangat signifikan dan menjadi salah satu penghambat. Pada Gambar VI.1. dan VI.2. diperlihatkan perilaku jangka panjang (50 tahun) pertumbuhan ekonomi di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam penelitian ini, meskipun ditinjau juga pengaruh ketersediaan air terhadap pertumbuhan ekonomi di Cekungan Bandung, namun yang lebih menjadi fokus dalam pembahasan adalah penurunan ketersediaan air di DAS Cikapundung Hulu akibat dari perubahan fungsi lahan yang terjadi.
Perilaku Jangka Panjang Pertumbuhan PDRB 3
Milyar Rupiah
600,000 500,000
2
400,000 1 300,000
2
3
200,000
3
2 100,000 01 2 3 1,990
1 2 3 2,000
1 2 2,010
3 2 1
3
2,020
PDRB_industri PDRB_JP PDRB_Total
1 1 2,030
2,040
Tahun
Gambar VI.1. Perilaku pertumbuhan PDRB Kawasan Cekungan Bandung dalam jangka panjang
114
Perilaku Jangka Panjang Pertumbuhan Kapitalisasi Industri serta Jasa dan Perdagangan 2,000,000
2
Milyar Rupiah
1,500,000
1,000,000
1 2
2 500,000
Kapital_JP
1 2
01 2 1,990
Kapital_Industri
1 2 2,000
2
1 2,010
1
1 2,020
2,030
2,040
Tahun
Gambar VI.2. Perilaku pertumbuhan kapitalisasi industri serta jasa dan Perdagangan Kawasan Cekungan Bandung dalam jangka panjang
Perilaku Perkembangan Jumlah Penduduk Dalam jangka panjang, jumlah penduduk di Kawasan Cekungan Bandung cenderung mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. Krisis ekonomi tahun 1997-2000 tidak memberikan efek yang signifikan terhadap perkembangan jumlah penduduk, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar VI.3. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk selain faktor alamiah (kelahiran dan kematian) adalah inmigrasi dan out migrasi. Kedua unsur tersebut dipengaruhi oleh daya tarik kawasan yang dalam hal ini adalah pertumbuhan ekonomi yang memicu kebutuhan akan tenaga kerja, PDRB per kapita yang juga menjadi daya tarik kesejahteraan serta daya tarik ketersediaan air. Selain itu untuk faktor out migrasi dipengaruhi juga oleh efek krisis karena adanya pemutusan hubungan kerja yang menyebabkan tenaga kerja migran kembali ke daerah asalnya. Namun demikian, perubahan jumlah penduduk yang didorong oleh faktor migrasi tersebut relatif masih kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan alamiahnya. Dalam pertumbuhan penduduk alamiah tersebut dipengaruhi pula oleh efek ketersediaan air yang ikut memberikan efek pada kualitas kesehatan masyarakat.
115
Juta Jiwa
Perilaku Pertumbuhan Penduduk di Cekungan Bandung 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1,990
2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
Gambar VI.3. Perilaku pertumbuhan jumlah penduduk di Kawasan Cekungan Bandung dalam jangka panjang Perilaku perkembangan jumlah penduduk yang dimunculkan didasarkan atas asumsi bahwa struktur dan nilai dari variabel-variabel model tidak mengalami perubahan selama masa analisis (2010-2040). Kebijakan-kebijakan di bidang kependudukan juga sama sebelum dan sesudah tahun 2010, sehingga di dalam model kondisi tersebut direpresentasikan dengan nilai parameter yang bersifat konstan. Pada tahun 2040 diperkirakan akan ada kurang lebih 5,5 juta orang yang tinggal di Kawasan Cekungan Bandung. Adapun perilaku pertumbuhan penduduk DAS Cikapundung Hulu yang merupakan bagian dari Kawasan Cekungan Bandung juga tumbuh mengikuti pertumbuhan penduduk Kawasan Cekungan Bandung, bahkan cenderung lebih pesat. Dengan kondisi alamiah serta kebijakan di bidang kependudukan yang sama, maka dapat dikatakan bahwa pengaruh migrasi penduduk pada wilayah DAS Cikapundung Hulu tersebut cukup signifikan. Mengingat harga lahan permukiman di wilayah tersebut yang relatif cukup tinggi maka dapat dikatakan bahwa para migran yang bertempat tinggal di wilayah tersebut dari masyarakat berpenghasilan menengah ke atas sehingga meskipun terjadi kisis mereka tetap bertempat tinggal di wilayah tersebut. Nemun pada saat krisis memang terlihat pertumbuhan penduduk agak landai, tidak sepesat ketika 116
tidak terjadi krisis, dan ketika krisis berlalu pertumbuhan penduduk bertambah sangat pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi Kawasan Cekungan Bandung. Hal tersebut semakin membuktikan bahwa faktor penduduk migran cukup berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut. Pada tahun 2040 diperkirakan akan ada kurang lebih 800 ribu orang tinggal di DAS Cikapundung Hulu.
Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu 0.8 0.7
Juta Jiwa
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 1,990
2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
Gambar VI.4. Perilaku pertumbuhan jumlah penduduk di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang Perilaku Pemanfaatan Lahan DAS Cikapundung Hulu Dalam jangka panjang, peningkatan pemanfaatan lahan akan didominasi untuk memenuhi kebutuhan lahan permukiman seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Perilaku jangka panjang penggunaan lahan ini didasarkan atas asumsi bahwa pola pengembangan lahan permukiman masih menggunakan pola penyebaran secara horisontal dan belum diterapkan regulasi yang mengatur pola pengembangan permukiman secara vertikal melalui konsolidasi lahan untuk mengatasi keterbatasan ketersediaan lahan yang dapat dikonversi menjadi permukiman. Dapat terlihat bahwa mulai tahun 1998 peningkatan alih fungsi lahan menjadi lahan permukiman terlihat meningkat cukup tajam hingga akhir masa simulasi. Selain itu peningkatan kebutuhan lahan perkebunan juga terlihat meningkat. Di 117
satu sisi untuk memenuhi kebutuhan akan lahan permukiman tersebut terlihat bahwa lahan ladang dan sawah mengalami penurunan yang sangat tajam. Hal ini karena yang secara langsung mengalami konversi menjadi lahan permukiman adalah lahan ladang dan sawah. Dalam kurun waktu 50 tahun dikhawatirkan luas lahan ladang dan sawah akan menurun lebih dari setengahnya. Sedangkan lahan hutan pun akan mengalami alih fungsi menjadi lahan perkebunan dan juga menjadi lahan ladang dan sawah, namun karena adanya kebijakan reboisasi dan pembatasan penebangan hutan yang saat ini sudah dijalankan maka alih fungsi lahan hutan tersebut tidaklah setajam alih fungsi lahan ladang dan sawah. Apabila tidak ada upaya pencegahan yang siginifikan atas alih fungsi lahan hutan maka dikhawatirkan suatu saat lahan hutan akan habis terkonversi baik menjadi permukiman (dengan terlebih dahulu terkonversi menjadi lahan ladang dan sawah) maupun lahan perkebunan. Sedangkan dominiasi pemanfaatan lahan akan beralih menjadi lahan permukiman. Kondisi tersebut di atas dianggap sebagai kondisi pemanfaatan lahan yang sangat buruk untuk suatu DAS sebagaimana nanti akan diperlihatkan dalam perilaku kondisi DAS Cikapundung. Gambar VI.5. berikut akan memperlihatkan perilaku pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang (50 tahun).
Perilaku Pemanfaatan Lahan di DAS Cikapundung Hulu 9,000 3 8,000
3
1
7,000
Ha
6,000
1
3 1
1
5,000 4,000
4
3,000 2,000 1,000 4 02 1,990
1
3
4 4
2
1 4
3 2
1 2
2
3 4
Hutan Perkebunan Ladang_dan_Sawah Permukiman
2
2 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
Gambar VI.5. Perilaku pemanfaatan lahan di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang 118
Perilaku Kondisi Hidrologi DAS Cikapundung Hulu dalam Jangka Panjang Dalam perilaku kondisi hidrologi DAS Cikapundung Hulu terlihat bahwa volume runoff air hujan terus meningkat dari waktu ke waktu. Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan komponen hidrologi menuju kondisi yang tidak diinginkan, dimana air hujan yang seharusnya diresapkan (infiltrasi) ke dalam tanah sebagai suplai kebutuhan air pada daerah di bawahnya malah menjadi limpasan air hujan yang menuju ke sungai dan segera dialirkan ke laut. Terlihat bahwa debit sungai juga semakin meningkat yang mengindikasikan adanya penambahan aliran runoff ke dalam aliran sungai. Aliran runoff tersebut walaupun volumenya sangat besar namun cenderung tidak dapat dimanfaatkan karena sifat alirannya yang sesaat (tidak kontinyu) dan segera menuju ke laut. Bahkan aliran yang besar tersebut cenderung menimbulkan potensi banjir di sektar daerah pengalirannya. Dari Gambar VI.6. terlihat pula bahwa aliran infiltrasi terus menurun seiring berjalannya waktu. Infiltrasi tersebut sebagian akan menjadi aliran dasar (base flow) yang merupakan pasokan aliran sungai yang bersifat kontinyu. Penurunan infiltrasi menunjukkan bahwa lahan yang berfungsi sebagai resapan air telah banyak terkonversi menjadi lahan terbangun (di dalam model ini adalah lahan permukiman) dan apabila hal tersebut terus dibiarkan maka akan mengakibatkan permasalahan kekeringan mapun banjir.
Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu
Meter Kubik
3
3
3
3
3
3
250,000,000 1 1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
2,010
2,020
2,030
2,040
2 3
RunOff Infiltrasi Debit_S_Cikapundung
1 200,000,000 2
1,990
2,000
Tahun
Gambar VI.6. Perilaku perubahan aliran runoff, infiltrasi dan debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang 119
Pada Gambar VI.7. diperlihatkan perilaku penurunan ketersediaan air di DAS Cikapundung Hulu yang terus menurun seiring berjalannya waku. Indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung dari DAS Cikapundung Hulu dalam gambar tersebut tidak berdimensi karena diturunkan dari rasio baseflow yang terjadi dibandingkan dengan baseflow awal (tahun 1990), dan terlihat bahwa terjadi penurunan yang mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang pasokan air tanah dalam untuk Kawasan Cekungan Bandung akan terus berkurang. Dapat diasumsikan bahwa perilaku tersebut tidak hanya terjadi di DAS Cikapundung Hulu namun terjadi juga di DAS-DAS lain yang merupakan daerah tangkapan air (catchment area) untuk Kawasan Cekungan Bandung, sehingga akumulasi dari kondisi tersebut akan menimbulkan potensi permasalahan ketersediaan air yang cukup signifikan.
Perilaku Indikasi Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu
Tanpa Satuan
0.98
0.96
0.94
0.92
1,990
2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
Gambar VI.7. Perilaku penurunan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung dari DAS Cikapundung Hulu dalam jangka panjang Perilaku Kecukupan Aliran Debit Sungai Cikapundung Hulu Untuk Berbagai Kebutuhan (PLTA, PDAM dan Irigasi) Dalam Gambar VI.8. diperlihatkan perilaku penurunan debit Sungai Cikapundung pada 3 (tiga) titik pengamatan, yaitu pada section 1 yang merupakan titik sebelum dilakukan penyadapan air untuk keperluan air baku air minum PDAM pada intake 120
Dago Pakar dan penyadapan untuk alokasi kolam Dago (kolam penampungan harian untuk kebutuhan air baku PDAM intake Dago dan 2 PLTA yaitu PLTA Bengkok dan PLTA Dago Pojok). Section 2 merupakan titik setelah mendapatkan limpahan air dari PLTA namun sebelum dilakukan penyadapan air untuk air baku PDAM intake Gandok. Sedangkan section 3 adalah titik setalah dilakukan penyadapan untuk PDAM Gandok namun sebelum mendapatkan suplesi dari Sungai Cikapayang. Pada ketiga titik pengamatan tersebut terlihat adanya penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan dari tahun ke tahun yang sangat signifikan, sehingga pada akhir masa simulasi (tahun 2040) diindikasikan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan tinggal setengah dari kapasitas yang ada saat ini.
Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan (Pada Tiga Titik Penyadapan) 1 1 150,000,000
1
Meter Kubik
1 2 100,000,000
3
1
2 3
1
2 3
2 3
50,000,000
1 2
2 3 2
3
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf
1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040
Tahun
Gambar VI.8. Perilaku penurunan debit sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan Adapun dalam Gambar VI.9. diperlihatkan bahwa pada titik pengamatan 1 (section 1) sekitar tahun 2020 akan terjadi kekurangan pasokan air untuk berbagai kebutuhan (terutama untuk PLTA, karena suplai air baku untuk PDAM diambil sebelum titik pengambilan untuk PLTA). Dengan kebutuhan air diasumsikan tetap (tidak ada penambahan kapasitas PLTA maupun PDAM dari sumber air baku Sungai Cikapundeng) dan terjadinya penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanafaatkan dari tahun ke tahun maka pada tahun 2020 Sungai 121
Cikapundung tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan air terutama untuk PLTA. Simulasi tersebut dilakukan dengan diskretisasi waktu satu tahunan, sehingga apabila diskretisasi waktu tersebut diperkecil, misalnya bulanan, maka akan semakin terlihat permasalahan kekurangan pasokan air baku tersebut untuk berbagai kebutuhan, karena pada saat bulan-bulan kering (tidak turun hujan) maka debit andalan Sungai Cikapundung hanya berasal dari baseflow yang sudah barang tentu kapasitasnya tidak akan mencukupi kebutuhan PDAM, PLTA dan irigasi.
erilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung (Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi) 300,000,000
Meter Kubik
250,000,000 200,000,000
Gambar 5.28. Perilaku Penurunan Indikasi Ketersediaan Air Untuk 1
150,000,000
1
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_diman 1 Kawasan Cekungan Bandung dari 1DAS Cikapundung Hulu 1 2
100,000,000
2
2
2
1
Air_yg_Disalurkan
2 Dalam 2Jangka Panjang 1
50,000,000 0 1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040
Tahun
Gambar VI.9. Perilaku tidak tercukupinya kebutuhan air untuk keperluan air minum, PLTA dan irigasi di Sungai Cikapundung Pada Gambar VI.10. diperlihatkan indikasi kecukupan air Sungai Cikapundung untuk kebutuhan PDAM, PLTA dan irigasi. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa kebutuhan pasokan air baku untuk PDAM akan tercukupi karena pengambilan air tersebut dilakukan sebelum titik pengambilan air untuk PLTA (untuk intake Dago Pakar dan intake Dago) sedangkan untuk intake Gandok setelah Sungai Cikapundung tersebut mendapatkan suplesi dari limpahan PLTA. Untuk kebutuhan PLTA, mulai sektar tahun 2025 akan terjadi kekurangan pasokan air baku penggerak turbin sebagai akibat dari menurunnya kapasitas debit air Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Demikian halnya dengan kebutuhan air untuk irigasi yang akan mengalami kekurangan. Namun demikian untuk kebutuhan irigasi perlu dikaji lebih jauh karena seiring berjalannya waktu
122
kebutuhan air irigasi juga akan menurun sebagai akibat dari menurunnya fungsi lahan pertanian di DAS tersebut.
Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan di Sungai Cikapundung 1.0 1 2 3
123
123
123
3
3
Tanpa Dimensi
1 1 2
2 1
0.5
2 3
0.0 1,990
2,000
2,010
2,020
2,030
Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM
2,040
Tahun
Gambar VI.10. Indikasi kecukupan debit air Sungai Cikapundung untuk kebutuhan PLTA, PDAM dan irigasi
VI.1. Skenario Kebijakan Pemulihan Ketersediaan Air di DAS Cikapundung Hulu Skenario kebijakan pemulihan ketersediaan air ditujukan untuk mengetahui bagaimana efek yang dimunculkan dengan adanya intervensi suatu kebijakan terhadap struktur pengelolaan DAS Cikapundung Hulu. Skenario dilakukan terhadap beberapa alternatif kebijakan yang akan ditempuh di dalam upaya pemulihan fungsi DAS Cikapundung Hulu guna memulihkan ketersediaan air, baik air tanah maupun aliran sungai yang dapat dimanfaatkan. Mengacu pada struktur model eksisting yang telah dikembangkan dalam Bab V, pengendalian perilaku penurunan koefisien infiltrasi DAS Cikapundung Hulu yang antara lain menyebabkan penurunan kapasitas air tanah dan air Sungai Cikapundung dapat dilakukan melalui intervensi kebijakan pada aspek alih fungsi lahan terutama lahan permukiman dan lahan hutan, aspek teknis peningkatan kapasitas infiltrasi serta aspek teknis penurunan kapasitas air yang terbuang.
123
Walaupun tidak secara langsung ditujukan untuk memulihkan kondisi air tanah, intervensi kebijakan pengendalian alih fungsi lahan menjadi lahan permukiman dan pengembalian fungsi lahan hutan dalam jangka panjang akan mempengaruhi kondisi ketersediaan air tanah terutama dari aspek pengisian (infiltrasi alamiah). Adapun upaya intervensi kebijakan terkait aspek teknis peningkatan kapasitas infiltrasi diharapkan akan mampu meningkatkan koefisien infiltrasi pada lahanlahan yang secara eksisting sudah terlanjur berubah fungsi menjadi daerah terbangun (kawasan permukiman). Upaya tersebut lebih berupa rekayasa teknik dan diharapkan akan cukup efektif dalam mengembalikan kapasitas infiltrasi pada kawasan-kawasan yang telah berkurang vegetasinya. Upaya intervensi kebijakan selanjutnya yaitu terkait aspek pengendalian aliran air (sungai) yang secara langsung dilakukan terhadap badan sungai tersebut sehingga dapat menurunkan kapasitas air yang seringkali terbuang (pada bulan basah) untuk dapat dimanfaatkan pada bulan kering (kemarau). Skenario kebijakan pemulihan ketersediaan air dalam penelitian ini lebih dititikberatkan pada rekayasa struktur submodel pemanfaatan lahan DAS, submodel hidrologi dan submodel ketersediaan air, mengingat pendekatan intervensi yang dilakukan dalam submodel-submodel tersebut akan memberikan perubahan langsung terhadap perilaku kondisi ketersediaan air, baik air tanah maupun air Sungai Cikapundung. 1.
Kebijakan pertama (pembangunan rusunami) Dalam rekayasa struktur pemanfaatan lahan DAS, upaya pertama yang dapat dilakukan adalah dengan membangun sarana permukiman vertikal agar dapat menampung lebih banyak penduduk dalam lahan yang terbatas. Gagasan membangun rumah susun sederhana milik (rusunami) yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah melalaui kebijakan pembangunaan 1000 tower merupakan alternatif intervensi kebijakan yang layak dipertimbangkan untuk diimplementasikan. Kebijakan tersebut merupakan bentuk intervensi terhadap struktur submodel pemanfaatan lahan DAS yang selama ini mendapat tekanan yang sangat hebat untuk memenuhi kebutuhan lahan permukiman. Dengan disediakannya unit124
unit rusunami diharapkan tekanan tersebut akan berkurang dan konversi lahan menjadi lahan permukiman pun akan berkurang, sehingga laju peningkatan koefisien runoff akan dapat diredam guna mencegah semakin merosotnya laju infiltrasi air hujan ke dalam tanah. Dalam disain rusunami yang telah dilakukan oleh beberapa pengembang, rata-rata pada setiap unit tower rusunami memiliki 20 sampai dengan 30 lantai yang dapat menampung 1.000 sampai dengan 1.500 unit tempat tinggal. Dengan asumsi 1 unit tempat tinggal diisi oleh 1 keluarga yang terdiri dari 4 orang maka masing-masing unit tower rusunami tersebut dapat menampung 4.000 hingga 6.000 penduduk. Kebijakan pembangunan 1 (satu) tower rusunami setiap tahun diindikasikan akan mampu menahan laju tekanan kebutuhan lahan permukiman yang cukup signifikan. 2.
Kebijakan kedua (pengembalian fungsi lahan hutan) Dalam rekayasa struktur pemanfaatan lahan DAS, upaya selanjutnya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan laju infiltrasi air hujan ke dalam tanah melalui kebijakan pengembalian fungsi hutan sebagaimana SK Gubernur Jawa Barat No. 181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang Pengamanan Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara yang sebagian besar merupakan daerah tangkapan air (cathment area) untuk Kawasan Cekungan Bandung. Upaya pengembalian fungsi hutan ini di dalam struktur submodel diintervensikan pada upaya penghentian laju tebangan hutan baik untuk memenuhi kebutuhan lahan perkebunan maupun lahan ladang dan sawah. Selain itu upaya reboisasi yang telah ada di dalam struktur model mula-mula (skenario dasar) tetap dijaga dan dipertahankan. Implementasi penghentian laju tebangan hutan tersebut dapat diatur sesuai dengan beberapa variasi yang diantaranya adalah dengan penghentian laju tebangan sepanjang waktu yang artinya mulai kebijakan ini diimplementasikan tidak boleh ada lagi alih fungsi lahan hutan ke dalam bentuk apapun, dan dapat juga implementasi kebijakan tersebut hanya diterapkan selama jangka waktu tertentu (misalnya 20 tahun) untuk memulihkan kondisi lahan hutan yang selama ini telah terkonversi di luar aturan yang telah ditetapkan. Pendekatan kebijakan dalam pemanfaatan lahan ini dikembangkan dengan membangun interaksi antara unsur 125
pembentuk struktur yang telah ada dengan kebijakan yang diadopsi. Perilaku hasil penerapan kebijakan dalam pemanfaatan lahan ini akan ditentukan oleh variabel-variabel endogen dari struktur model. Implementasi alternatif kebijakan terhadap struktur submodel pemanfaatan lahan (skenario pertama dan kedua) diperlihatkan pada Gambar VI.11. berikut: reboisasi
+
+
+
Perkebunan
+
+
+ laju tebangan
+ Sawah dan Ladang
+
+
+ Hutan
+ etate tebangan pembangunan rusunami
+ +
+
Permukiman
+
pertumbuhan penduduk
Gambar VI.11. Intervensi kebijakan pembangunan rusunami dan pengembalian fungsi hutan. Pada gambar di atas untuk yang berwarna hitam merupakan skenario dasar, sedangkan yang berwarna merah merupakan intervensi kebijakan pembangunan rusunami (skenario pertama) dan yang diberi arsir warna biru menunjukkan bahwa komponen tersebut tidak aktif untuk jangka waktu tertentu (skenario kedua). 3.
Kebijakan ketiga (pembuatan lubang resapan biopori) Upaya intervensi kebijakan selanjutnya yang dapat dilakukan adalah intervensi kebijakan pada struktur submodel hidrologi, yaitu dengan membuat lubang resapan biopori pada kawasan permukiman. Dengan adanya lubang resapan biopori tersebut maka dapat dikatakan bahwa secara langsung telah dilakukan penambahan bidang resapan air, setidaknya sebesar luas 126
kolom/dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak 3.140 cm2 atau hampir 1/3 m2. Dengan kata lain suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78.5 cm2 setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3.218 cm2. Selain itu dengan adanya aktivitas fauna tanah pada lubang resapan yang telah diisi dengan sampah organik maka biopori akan terbentuk dan senantiasa terpelihara keberadaannya. Bidang resapan tersebut akan selalu terjaga kemampuannya dalam meresapkan air, dengan demikian kombinasi antara luas bidang resapan dengan kehadiran biopori secara bersama-sama akan meningkatkan kemampuan lahan dalam meresapkan air. Implementasi alternatif kebijakan terhadap struktur submodel hidrologi (skenario ketiga) diperlihatkan pada Gambar VI.12. berikut:
Pembuatan lubang resapan biopari
+ populasi penduduk + +
lahan terbangun
+
+ koefisien runoff
+ ketersediaan iInfiltrasi air tanah +
+
+ air permukaan +
baseflow
Gambar VI.12. Intervensi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori (LRB). Pada gambar di atas untuk yang berwarna hitam merupakan skenario dasar, sedangkan yang berwarna merah merupakan intervensi kebijakan pembangunan LRB. (skenario ketiga). Di dalam kebijakan tersebut direncanakan untuk dibuat lubang resapan biopori (LRB) pada seluruh lahan terbuka pada kawasan permukiman (termasuk fasilitas umum) dengan jumlah lubang yang perlu dibuat dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: 127
Jumlah LRB =
/ L
P
A
L
/
Sehingga dengan intensitas hujan 50 mm/jam (hujan lebat), asumsi luas bidang kedap adalah 70% dari total luas lahan permukiman dan laju peresapan adalah sebesar 3 liter/menit (180 liter/jam), maka perlu dibuat kurang lebih 19 LRB pada setiap 100 meter2 lahan permukiman. Dengan kondisi tersebut maka diasumsikan akan mampu menurunkan koefisien runoff dari 0,7 menjadi 0,5. Di dalam struktur model, intervensi kebijakan tersebut dilakukan terhadap komponen frasksi koefisien limpasan (runoff) pada lahan permukiman (Fr_C_Permukiman) sebagaimana dapat dilihat di dalam Gambar V.9 terdahulu. Implementasi kebijakan tersebut akan merubah variabel koefisien runoff pada struktur model dari semula sebesar 0,7 menjadi 0,5 (setelah implementasi kebijakan) yang berarti telah menambah paling tidak 20% kapasitas infiltrasi lebih banyak. 3.
Kebijakan keempat (pembangunan bendung) Upaya intervensi kebijakan terakhir yang dapat dilakukan adalah intervensi kebijakan pada struktur submodel ketersediaan air, yaitu dengan membangun bendung pada badan sungai dengan lokasi sebelum dilakukan penyadapan oleh PDAM Dago Pakar (daerah Bantar Awi). Dengan adanya bendung tersebut diharapkan akan dapat menampung kelebihan debit air sungai pada waktu musim hujan (akibat runoff yang berlebihan), untuk kemudian mendistribusikannya pada bulan-bulan kering (musim kemarau). Dalam membangun suatu bendung diperlukan perencanaan yang baik mulai dari studi kelayakan (feasibility study), analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), detail disain hingga akhirnya dilakukan tahap konstruksi bendung dan tahap pengisian/penggenangan bendung. Namun demikian, tahap yang paling penting dalam perencanaan bendung tersebut adalah tahap penentuan volume reservoir bendung. Niken dan Arwin (2008) telah menghitung volume reservoir bendung tersebut menggunakan metode Ripple dengan debit bulanan minimum periode ulang 20 tahun dan 10 tahun serta debit rata-rata 128
dari debit input. Berdasarkan perhitungan tersebut diperlukan volume waduk kurang lebih sebesar 8,2 juta m3. .
Gambar VI.13 Lokasi rencana pembangunan waduk rencana di Bantar Awi (Niken dan Arwin, 2008) Di dalam struktur model, intervensi kebijakan tersebut dilakukan terhadap komponen frasksi air terbuang sebagaimana dapat dilihat di dalam Gambar V.12 terdahulu. Implementasi kebijakan tersebut akan merubah variabel fraksi air terbuang pada struktur model dari semula sebesar 0,25 menjadi hanya sebesar 0,05 (setelah implementasi kebijakan) yang berarti telah mengurangi terbuangnya potensi debit air sebesar 20% dari total debit sungai atau sebesar 80% dari total air terbuang mula-mula.
VI.2. Simulasi dan Analisis Implementasi Kebijakan Pemulihan Ketersediaan Air di DAS Cikapundung Hulu Berkaitan dengan mekanisme kebijakan pemulihan ketersediaan air di DAS Cikapundung Hulu, ada beberapa alternatif skema kebijakan yang dapat ditempuh sebagai berikut : Skenario 1:
Adopsi kebijakan pembangunan rusunami
Skema kebijakan ini menginternalisasikan parameter pengali kebijakan lahan permukiman (sebesar 0,5) yang merupakan asumsi tertampungnya 50% pertambahan penduduk DAS (netgrowth) ke dalam program rusunami. Adopsi 129
kebijakan alternatif 1 ke dalam struktur sistem ini diharapkan akan mengurangi tekanan permintaan lahan permukiman karena telah tertampungnya 50% pertambahan penduduk tersebut, seperti terlihat dalam Gambar VI.13. Pengaruh Kebijakan Pembangunan Rusunami Terhadap Pemanfaatan Lahan 1
5
1 5 126
12
6,000
Ha
6
2
7,000
12
4,000
7
12 6
5
5,000
2,000
78
8
1,000 7 8 03 4
34
1,990
2,000
34
34
34
1
67 58
78
3,000
2 3
6
4
3
5 6 7
2,010
2,020
2,030
8
2,040
Hutan
5
56
56
56
56
56
Hutan Perkebunan
1
Meter Kubik
9,000 5 6 8,000
Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu 300,000,000
Perkebunan Ladang_dan_Sawah
250,000,000
2 3
Ladang_dan_Sawah Permukiman
12
12
12
1
12
12
5 6
200,000,000 34
Permukiman
1,990
Tahun
4
34
34
34
34
2,000
2,010
2,020
2,030
RunOff RunOff Infiltrasi Infiltrasi Debit_S_Cikapundung Debit_S_Cikapundung
3 2,040
Tahun
(a)
(b)
Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Indikasi Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu
Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan
12
12
12
12
1
12
2
150,000,000
12 1
0.96
0.94
Meter Kubik
Tanpa Satuan
0.98
1
2 1
34
56 3
100,000,000
2
2
1
56 34 6 5
2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf
4
6
5
Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf
6 3
1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040
Tahun
Tahun
(c)
(d)
Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung (Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi)
Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan di Sungai Cikapundung 1.0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 2 4 5 2 1 4 1 0.9
1 2 1
1
3 4
3 4
2 2 1
3 4
1 3 4
2 4
2
2
3 1 4
3
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Air_yg_Disalurkan Air_yg_Disalurkan
Tanpa Dimensi
2 150,000,000
Meter Kubik
Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf
4 5
34
50,000,000
1,990
Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf
3 1
634
0.92
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf
2
4 5
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf
1
2
3
2
0.7
4 3
2,010
2,020
2,030
5
3
0.6
1
2,000
3
1
100,000,000
1,990
1
0.8
6
0.5 1,990
2,040
2,000
2,010
2,020
2,030
Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM
2,040
Tahun
Tahun
(e)
(f)
Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Pertumbuhan PDRB
Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Pertumbuhan Kapitalisasi Industri serta Jasa dan Perdagangan
6
4
2,000,000
3
5 600,000
Milyar Rupiah
1 400,000
2 3 6
4
5
5 4
200,000
6
3
5
6 4 3
5 6 3 4 5 6 1 2 1 2 01 2 3 4 5 6 1 2 3 4 1,990 2,000 2,010 2,020
Tahun
(g)
PDRB_industri PDRB_industri PDRB_JP PDRB_JP
Milyar Rupiah
1,500,000
3
1 1,000,000
2 3
4
PDRB_Total
4
3
Kapital_Industri Kapital_Industri Kapital_JP Kapital_JP
PDRB_Total 500,000
1
1 3
1 2 2,030
2,040
01 2 3 4 1,990
1234 2,000
34 12 2,010
4
12
12 2,020
2,030
2,040
Tahun
(h) 130
Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Model Penduduk Cekungan Bandung
Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu 0.8
59
1
Juta Jiwa
Juta Jiwa
48 42 36 30 24 18 12 6 2 1 0 1,990
2
12
2,000
2,010
2,020
2,030
12
0.5 12
0.4
0.2 1 2 1,990
2,040
12
0.6
0.3
12
12
1
0.7
1
12 2,000
2,010
Tahun
2,020
2,030
2,040
Tahun
(i)
(j)
Keterangan : 1,3,5,7 : Skenario dasar
2,4,6,8 : Skenarion setelah implementasi kebijakan
Gambar V.14. Pengaruh
implementasi
kebijakan
pembangunan
rusunami
terhadap perilaku : (a) pemanfaatan lahan DAS Cikapundung Hulu, (b) runoff, infiltrasi dan debit sungai, (c) indikasi ketersediaan air, (d) penurunan debit sungai yang dapat dimanfaatkan, (e) tidak tercukupinya kebutuhan air, (f) indikasi kecukupan air untuk berbagai kebutuhan, (g) pertumbuhan PDRB,
(h)
pertumbuhan
kapitalisasi
industri,
jasa
dan
perdagangan, (i) populasi penduduk CekunganBandung, (j) populasi penduduk DAS Cikapundung Hulu. Dengan
mengimplementasikan
kebijakan
pembangunan
rusunami
untuk
mengantisipasi pertumbuhan penduduk di DAS tersebut mempengaruhi berbagai perilaku variabel-variabel di dalam model, sebagai berikut: Tabel VI.1. Analisisi simulasi model sebagai efek kebijakan pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) Skenario Kebijakan
1. Pembangunan Rusunami (apartemen sederhana) (Skenario 1)
Dampak Terhadap
Pemanfaatan lahan (gambar a)
Analisis Terhadap Simulasi Model
1. Lahan Hutan (garis 1 dan 2) Lahan hutan mengalami sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat dari hasil simulasi pada awalnya keduanya masih berimpit dan baru pada tahun 2018 terjadi sedikit peningkatan lahan hutan sebagai efek diimplementasikannya kebijakan. Namun demikian secara keseluruhan luas lahan hutan akan terus berkurang seiring berjalannya waktu. Hal ini karena tidak adanya hubungan secara langsung antara lahan hutan dan lahan
131
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
permukiman. Alih fungsi lahan hutan lebih kepada pemenuhan kebutuhan untuk lahan pertanian (ladang dan sawah) serta lahan perkebunan, sedangkan kebutuhan lahan permukiman dipenuhi dari alih fungsi lahan pertanian (ladang dan sawah). Namun demikian karena tekanan kebutuhan permukiman terhadap lahan ladang dan sawah berkurang maka tekanan alih fungsi lahan hutan untuk menjadi lahan ladang dan sawah pun berkurang. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga pertumbuhan lahan permukiman yang diinginkan mampu diturunkan. 2. Lahan Perkebunan (garis 3 dan 4) Lahan perkebunan, seperti halnya lahan hutan, mengalami sedikit peningkatan bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat dari hasil simulasi pada awalnya keduanya masih berimpit dan baru pada tahun 2020 terjadi sedikit peningkatan lahan perkebunan sebagai efek diimplementasikannya kebijakan. Secara keselu-ruhan luas lahan perkebunan akan terus bertambah seiring berjalannya waktu. Hal ini juga diakibatkan karena tidak adanya keterkaitan langsung antara lahan perkebunan dengan kebutuhan lahan permukiman. Namun demikian karena tekanan alih fungsi lahan ladang dan sawah menjadi lahan permukiman berkurang maka terjadi kelonggaran untuk alih fungsi lahan ladang dan sawah menjadi lahan perkebunan, sehingga lahan perkebunan cenderung meningkat. 3. Lahan Sawah dan Ladang (garis 5 dan 6) Lahan sawah dan ladang mengalami peningkatan cukup besar bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi peningkatan lahan sawah dan ladang sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan. Namun demikian, secara
132
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
keseluruhan luas lahan sawah dan ladang masih akan tetap mengalami penurunan seiring berjalannya waktu. Perilaku tersebut muncul karena adanya keterkaitan langsung antara lahan ladang dan sawah dengan lahan permukiman. Alih fungsi lahan ladang dan sawah sebagian besar akibat tekanan laju permintaan/kebutuhan lahan permukiman. Dengan berkurangnya tekanan tersebut (akibat terpenuhinya sebagian kebutuhan permukiman oleh rusunami) maka meskipun masih tetap terjadi alih fungsi lahan ladang dan sawah namun penurunan luas lahan ladang dan sawah tersebut tidak lagi setajam sebelum diimplementasikannya kebijakan pembangunan rusunami. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga laju konversi lahan ladang dan sawah menjadi lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. 4. Lahan Permukiman (garis 7 dan 8) Pengaruh paling besar atas implementasi kebijakan terjadi pada lahan permukiman, dimana terjadi penurunan kebutuhan lahan permukian yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan skenario dasar. Dapat terlihat sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi penurunan lahan permukiman sebagai efek dari diimplemen-tasikannya kebijakan. Namun demikian, secara keseluruhan luas lahan permukiman tersebut masih akan tetap meningkat seiring berjalannya waktu. Pengaruh implementasi kebijakan langsung dirasakan dengan menurunnya penggunaan lahan untuk lahan permukiman (karena sebagian penduduk menempati rusunami yang merupakan hunian vertikal sehingga mampu menampung penduduk dengan kepadatan per luas lahan sangat tinggi). Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka
133
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan 1. Runoff (garis 1 dan 2) Runoff, infiltrasi dan Terjadi penurunan sedikit pada aliran runoff debit sungai, setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal (gambar b)
tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi penurunan aliran runoff sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga perlahan-lahan aliran runoff mulai stabil (cenderung konstan) dan tidak lagi terus meningkat seperti pada skenario dasar. Perilaku ini terjadi karena alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman) berkurang, sehingga koefisien runoff DAS meskipun masih meningkat (karena alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun masih tetap terjadi) namun sudah banyak berkurang dengan terpenuhinya kebutuhan permukiman oleh rusunami. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan. 2. Infiltrasi (garis 3 dan 4) Terjadi peningkatan sedikit pada aliran infiltrasi setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi penurunan aliran infiltrasi sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga
134
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
mes-kipun tetap terjadi penurunan aliran infiltrasi namun sudah tidak terlalu tajam seperti pada skenario dasar. Dengan berkurangnya peningkatan laju aliran runoff maka aliran infiltrasi akan meningkat. Aliran infiltrasi tersebut sebagian akan mengalir sebagai baseflow dan sebagian lagi akan menjadi aliran air tanah dalam untuk mengisi cadangan air tanah di Cekungan Bandung. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan dan sebaliknya laju infiltrasi pun tidak lagi semakin turun tajam 3. Debit Sungai Cikapundung (garis 5 dan 6) Seperti halnya aliran runoff, terjadi penurunan sedikit pada debit Sungai Cikapundung setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan atau setelah beroperasinya rusunami (tahun 2013) telah terjadi penurunan debit sungai sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga perlahan-lahan debit sungai mulai stabil (cenderung konstan) dan tidak lagi terus meningkat seperti pada skenario dasar. Perilaku penurunan debit aliran sungai ini terjadi karena debit aliran sungai berasal dari 2 sumber yaitu baseflow dan runoff. Dengan menurunnya aliran runoff (meskipun baseflow juga akan meningkat dengan meningkatnya aliran infiltrasi) namun karena peenurunan runoff masih lebih besar dari pada peningkatan baseflow) maka secara keseluruhan akumulasi debit sungai selama setahun mengalami penurunan. Apabila ditinjau secara sekilas, penurunan tersebut terkesan berdampak kurang baik bagi ketersediaan air, namun sebenarnya banyak aspek positif yang
135
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
terjadi dari perilaku penurunan debit sungai tersebut. Di dalam model ini diskretisasi waktu adalah tahunan (1 tahun) sehingga sensitifitas hasil simulasi masih mampu melihat perubahan perilaku tersebut dalam bulanan. Mengingat di bahwa di dalam 1 tahun terjadi 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau maka untuk analisis hidrologi akan lebih baik apabila mempertimbangkan kondisi tersebut, dimana pada musim hujan akan terjadi debit ekstrim basah sedangkan di musim kemarau akan terjadi debit ekstrim kering. Kondisi hidrologi yang buruk (kritis) adalah apabila gap antara debit ekstrim basah dan debit ekstrim kering tersebut sangat tinggi yang menandakan bahwa dalam sistem tersebut aliran runoff sangat besar sedangkan baseflow sangat rendah, yang berakibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau dan potensi banjir pada musim hujan. Di dalam implementasi kebijakan ini terlihat bahwa terjadi upaya perbaikan atas kondisi tersebut, dimana aliran runoff diupayakan untuk ditekan agar tidak terus meningkat dan sebaliknya akan ditinghkatkan aliran infiltrasi dan sekaligus baseflow guna memperbaiki kualitas kondisi hidrologi. Implementasi kebijakan pembangunan rusunami dinilai cukup baik untuk mendukung upaya tersebut karena akan ikut menekan semakin meningkatnya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman) yang dapat berakibat meningkatnya koefisien runoff. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga debit Sungai Cikapundung pun ikut berkurang.
136
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Indikasi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu Gambar (c)
Analisis Terhadap Simulasi Model
Terjadi sedikit perbaikan atas potensi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam simulasi tersebut terlihat bahwa perlahan-lahan terjadi perbaikan atas semakin menurunnya potensi ketersediaan air tersebut. Perbaikan tersebut mulai terlihat pada tahun 2020 dimana penurunan potensi ketersediaan air tersebut tidak serendah penurunan pada skenario dasar. Perilaku tersebut terjadi karena meningkatnya laju aliran infiltrasi yang sebagian akan mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan dan sebaliknya laju infiltrasi pun tidak lagi semakin turun tajam sehingga potensi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk kebutuhan di Kawasan Cekungan Bandung tidak lagi semakin berkurang dengan tajam.
Debit Sungai 1. Section 1 (garis 1 dan 2) Cikapundung Dengan implemantasi kebijakan pembangunan Yang Dapat rusunami maka penurunan debit Sungai Dimanfaatkan Cikapundung yang dapat dimanfaatkan mampu Gambar (d) dihambat secara signifikan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan pada section 1 yang semula mengalami penurunan sangat tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku tersebut dimunculkan karena pembangunan rusunami mampu menahan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman), sehingga laju pertambahan koefisien runoff dapat dihambat dan
137
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/ mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan. 2. Section 2 (garis 3 dan 4) Seperti halnya pada section 1, implemantasi kebijakan pembangunan rusunami akan mampu menghambat laju penurunan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan pada section 2 yang semula mengalami penurunan cukup tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku tersebut dimunculkan karena laju pertambahan koefisien runoff dapat dihambat dan sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/ mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan. 3. Section 3 (garis 5 dan 6) Demikian pula dengan efek kebijakan tersebut pada pemanfaatan air sungai yang dapat dimanfaatkan pada section 3. Dengan implementasi kebijakan pembangunan rusunami maka penurunan debit Sungai Cikapundung pada section 3 tersebut dapat dihambat. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pembangunan rusunami maka debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan pada section 3 yang semula mengalami penurunan sangat tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku
138
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
tersebut dimunculkan karena pembangunan rusunami mampu menahan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman), sehingga laju pertam-bahan koefisien runoff dapat dihambat dan sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga di dalam struktur model ketersediaan air dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya laju runoff dan meningkatnya infiltrasi maupun baseflow akan berpengaruh terhadap meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Kecukupan penyediaan air Sungai Cikapundung di section 1. Gambar (e)
Pada section 1 tersebut terlihat bahwa dalam skenario dasar (garis 1) akan terjadi kekurangan pasokan air sekitar tahun 2022, namun dengan diimplementasikannya kebijakan pembangunan rusunami yang mampu meredam laju penurunan debit air yang dapat dimanfaatkan, maka kondisi kekurangan pasokan air tersebut dapat sedikit ditunda mesikipun tidak signifikan yaitu hingga tahun 2022 (garis 2). Dengan demikian masalah kekurangan pasokan air untuk berbabagai kebutuhan di section 1 masih tetap terjadi (garis 3 dan 4 menunjukka kebutuhan pasokan air di section 1).
139
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
Untuk pasokan air untuk kebutuhan di section 2 dan 3 dapat tercukupi karena adanya suplesi dari air yang telah digunakan oleh PLTA (limpahan) yang dapat digunakan kembali sebagai air baku untuk keperlulan lain. Indikasi kecukupan air untuk masing masing kebutuhan Gambar (f)
1. Indikasi kecukupan produksi listrik (garis 1 dan 2) Pada skenario dasar kebutuhan air untuk produksi listrik masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 2022, namun setelah itu kecukupan air untuk produksi listrik menurun drastis. Setelah implementasi kebijakan pembangunan rusunami yang mampu menahan laju tekanan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun akan dapat menahan laju penurunan ketersediaan air di Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Di dalam simulasi terlihat bahwa dengan implementasi kebijakan tersebut maka kekurangan pasokan air untuk produksi listrik baru terjadi pada tahun 2037. Meskipun demikian kebijakan tersebut belum sepenuhnya mampu menanggulangi ancaman kekurangan pasokan air untuk produksi listrik, apalagi kalau pasokan tersebut dilihat dalam diskretisasi waktu yang lebih kecil dari 1 tahun (bulanan atau harian) 2. Indikasi kecukupan kebutuhan irigasi (garis 3 dan 4) Demikian halnya untuk pemenuhan kebutuhan irigasi, pada skenario dasar kebutuhan air untuk irigasi masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 2022, namun setelah itu kecukupan air untuk irigasi tersebut menurun drastis, bahkan penurunan lebih tajam dibandingkan dengan penurunan kecukupan air untuk produksi listrik. Setelah implementasi kebijakan pembangunan rusunami yang mampu menahan tekanan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun, laju penurunan ketersediaan air di Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaat-kan dapat ditekan. Di dalam simulasi terlihat bahwa dengan implementasi kebijakan tersebut maka kekurangan pasokan air untuk kebutuhan irigasi baru terjadi pada tahun 2036. Meskipun demikian kebijakan tersebut belum sepenuhnya mampu menanggulangi ancaman kekurangan pasokan air untuk kebutuhan irigasi.
140
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
3. Indikasi kecukupan kebutuhan air minum (garis 5 dan 6) Lain halnya dengan pemenuhan kebutuhan air untuk air minum. Untuk pasokan kebutuhan ini baik di dalam skenario dasar maupun skenario setelah implementasi kebijakan masih akan tetap terpenuhi. Hal ini karena kebutuhan air untuk air minum memiliki prioritas yang lebih tinggi dari pada kebutuhan yang lain (PLTA dan irigasi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan ini tidak begitu berpengaruh terhadap kecukupan air yang dibutuhkan untuk air minum. PDRB Cekungan Bandung Gambar (g)
1. PDRB Industri (garis 1 dan 2) Penerapan kebijakan pembangunan rusunami yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertumbuhan PDRB industri di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya perilaku pertumbuhan PDRB industri yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar. 2. PDRB Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4) Penerapan kebijakan pembangunan rusunami yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertumbuhan PDRB jasa dan perdagangan di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan PDRB jasa dan perdagangan yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar. 3. PDRB total (garis 5 dan 6) Penerapan kebijakan pembangunan rusunami yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertumbuhan PDRB total di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan PDRB total yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar.
141
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga di dalam struktur model ketersediaan air dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya laju runoff dan meningkatnya infiltrasi maupun baseflow akan berpengaruh terhadap meningkatnya ketersediaan air dan meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Peningkatan ketersediaan air tanah dari DAS Cikapundung Hulu yang akan menyuplai kebutuhan air tanah untuk Kawasan Cekungan Bandung dan juga meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan (termasuk untuk pembangkit listrik) di dalam struktur model ekonomi merupakan efek positif yang akan mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi (PDRB) di Kawasan Cekungan Bandung. Pertumbuhan Kapitalisasi Industri, Jasa dan Perdagangan di Cekungan Bandung Gambar (h)
1. Kapital Industri (garis 1 dan 2) Seperti halnya pada pertumbuhan PDRB, penerapan kebijakan pembangunan rusunami yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertumbuhan kapital industri di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan kapital industri yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar. 2. Kapital Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4) Demikian halnya dengan pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan, penerapan kebijakan pembangunan rusunami ini juga memiliki efek positif bagi pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan di kawasan tersebut. Hal ini terlihat
142
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan kalpital jasa dan perdagangan yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga di dalam struktur model ketersediaan air dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya laju runoff dan meningkatnya infiltrasi maupun baseflow akan berpengaruh terhadap meningkatnya ketersediaan air dan meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Peningkatan ketersediaan air tanah dari DAS Cikapundung Hulu yang akan menyuplai kebutuhan air tanah untuk Kawasan Cekungan Bandung dan juga meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan (termasuk untuk pembangkit listrik) di dalam struktur model ekonomi merupakan efek positif yang akan mampu mendorong peningkatan pertumbuhan investasi (pertumbuhan kapital industri dan pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan) di Kawasan Cekungan Bandung. Pertumbuhan populasi penduduk Cekungan Bandung Gambar (i)
Dengan adanya sedikit pengaruh positif dari implementasi kebijakan ini pada pertumbuhan kapital industri serta jasa dan perdagangan, maka kebijakan tersebut juga berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung. Hal ini karena dalam setiap investasi baik di sektor industri maupun sektor jasa dan perdagangan akan menarik kebutuhan tenaga kerja baru dimana sebagian diantaranya dipenuhi dari tenaga ahli migran (inmigrasi). Selain itu peningkatan indikasi ketersediaan air juga mempunyai efek positif terhadap fraksi kelahiran dan efek negatif terhadap Kematian. Dengan demikian secara keseluruhan terjadi peningkatan
143
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
pertumbuhan pendudun di Cekungan Bandung bila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk pada skenario dasar, terutama peningkatan tersebut terlihat mulai tahun 2028. Di dalam struktur submodel pemanfaatan lahan diperlihatkan bahwa dengan intervensi unsur pembangunan rusunami ke dalam sistem maka pertumbuhan penduduk tidak lagi hanya menekan kebutuhan lahan permukiman secara normal (setiap unit tempat tinggal menempati lahan sendiri), namun sebagian mampu dirubah menjadi tempat tinggal yang menempati lahan secara bersama-sama (vertikal), sehingga kebutuhan lahan permukiman dapat dikurangi dengan signifikan. Hal tersebut berpengaruh pada struktur model hidrologi, dimana dengan melambatnya kebutuhan lahan terbangun maka laju pertambahan koefisien runoff dapat ditekan sehingga di dalam struktur model ketersediaan air dapat dilihat bahwa semakin berkurangnya laju runoff dan meningkatnya infiltrasi maupun baseflow akan berpengaruh terhadap meningkatnya ketersediaan air dan meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Peningkatan ketersediaan air tanah dari DAS Cikapundung Hulu yang akan menyuplai kebutuhan air tanah untuk Kawasan Cekungan Bandung dan juga meningkatnya debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan (termasuk untuk pembangkit listrik) di dalam struktur model ekonomi merupakan efek positif yang akan mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan kapital industri, kapital jasa dan perdagangan serta pertumbuhan PDRB) di Kawasan Cekungan Bandung. Pertumbuhan investasi yang semakin tinggi dengan adanya efek dari implementasi kebijakan tersebut di dalam struktur submodel penduduk akan mampu menarik tenaga kerja yang sebagian diantaranya berasal dari luar kawasan (inmigrasi) yang semakin tinggi pula sehingga pertumbuhan penduduk di kawasan tersebut juga semakin tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar. Pertumbuhan populasi penduduk DAS Cikapundunh
Pengaruh implementasi kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di DAS Cikapundung Hulu tidak begitu terlihat. Hal ini karena di dalam model, penduduk di DAS (yang merupakan bagian dari penduduk Cekungan
144
Dampak Terhadap
Skenario Kebijakan
Hulu Gambar (j)
Skenario 2:
Analisis Terhadap Simulasi Model
Bandung) diturunkan dari rasio pertumbuhan penduduk DAS terhadap penduduk Cekungan Bandung. Dengan demikian, karena efek kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung relatif sangat kecil, maka efek kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan penduduk DAS cenderung tidak terlihat, meskipun secara logika seharusnya ada (sangat kecil).
Adopsi kebijakan pengembalian fungsi hutan
Skema kebijakan ini menginternalisasikan parameter yang menghentikan fungsi variabel laju tebangan hutan (baik menjadi lahan ladang dan sawah maupun menjadi lahan perkebunan) dalam jangka waktu tertentu. Di dalam simulasi ini berlakunya kebijakan tersebut adalah untuk sepanjang waktu untuk memenuhi alokasi lahan hutan sebagaimana telah ditetapkan di dalam SK Gubernur tahun 1982 (di dalam model ini pamling tidak alokasi lahan hutan tahun 1990 kembali terpenuhi). Implementasi kebijakan tersebut dapat terlihat dalam Gambar VI.14 Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu
Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Pemanfaatan Lahan 5
8,000 1 7,000
2 12
Ha
6,000
5 12
6
2
2
1
1
2
5,000
6 4,000
78
78
1,000 7 8
34
34
5 3
2,000
5 6
34
7
34
03 4 1,990
3 4
6
78
3,000
1 8
5
78
1 2
5
2,000
300,000,000
6
8 2,010
2,020
2,030
56
Hutan
5
56
56
Perkebunan Perkebunan Ladang_dan_Sawah
1 2 3
Ladang_dan_Sawah
12
Permukiman
2
2
5 6
34
Permukiman
2,040
1,990
34
34
2,000
2,010
4 3
4 3
4
2,020
2,030
2,040
RunOff Infiltrasi Infiltrasi Debit_S_Cikapundung Debit_S_Cikapundung
3
(b) Pengaruh Pembangunan Rusunami Terhadap Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan 12
12
1
12 1
2
2 1
0.96
0.94
2
150,000,000
Meter Kubik
Tanpa Satuan
4
RunOff
Tahun
0.98
1
2 1
34 100,000,000
56 3
0.92
2,020
Tahun
(c)
2,030
2,040
2 12
5
63
2 1
3 4
4 634
50,000,000
2,010
1 2
4
5
2,000
1
200,000,000
Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Indikasi Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu
1,990
1 2
1
12
12
(a)
12
5 6
250,000,000
Tahun
12
5
6
Hutan
Meter Kubik
9,000 5 6
5 56
34 56
4 3
6
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf
1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040
Tahun
(d) 145
Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung (Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi)
Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan di Sungai Cikapundung 1.0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 5 6 5 6 5 6 12 4 12 4 0.9
12 1 2 150,000,000
Tanpa Dimensi
1
Meter Kubik
2
34
34
34
1
1 23
2 4
3 12 34
4
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Air_yg_Disalurkan Air_yg_Disalurkan
3
2 4
3
1
0.7
4 3
2
100,000,000
1
2
0.8
5
3
0.6
1
6
0.5 1,990
1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040
2,000
2,010
2,020
2,030
Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM
2,040
Tahun
Tahun
(e)
(f)
Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Pertumbuhan PDRB
Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Pertumbuhan Kapitalisasi Industri serta Jasa dan Perdagangan
5
2,000,000 3
600,000
500,000
1,500,000
1 2 3 300,000
6
4
5 200,000
5 4
6
3 100,000 5 6 3 4 5 6 01 2 3 4 5 6 1 2 3 4 1 2 1,990 2,000 2,010
5 3 4
6
PDRB_industri
Milyar Rupiah
Milyar Rupiah
3 400,000
PDRB_industri PDRB_JP PDRB_JP PDRB_Total
1 1,000,000 4
500,000
3 3 4
2,030
01 2 3 4 1,990
2,040
Kapital_JP Kapital_JP
1 2 3 4 2,000
1 2 2,010
4
1 2
1 2 2,020
2,030
2,040
Tahun
(h)
57
Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu 0.8
1
1
2
1
0.7
Juta Jiwa
Juta Jiwa
Kapital_Industri
1 1 2
Pengaruh Kebijakan Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Model Penduduk Cekungan Bandung
12
0.6 12 0.5 12
0.4
12
2,000
Kapital_Industri
1
(g)
12
4
PDRB_Total
Tahun
48 42 36 30 24 18 12 6 12 0 1,990
3
3
1 2 2,020
2
0.3
12 2,010
2,020
2,030
2,040
0.2 1 2 1,990
12
2,000
2,010
2,020
Tahun
Tahun
(i)
(j)
2,030
2,040
Keterangan : 1,3,5,7 : Skenario dasar
Gambar V.15.
2,4,6,8 : Skenarion setelah implementasi kebijakan
Pengaruh implementasi kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan terhadap perilaku : (a) pemanfaatan lahan DAS Cikapundung Hulu, (b) runoff, infiltrasi dan debit sungai, (c) indikasi ketersediaan air, (d) penurunan debit sungai yang dapat dimanfaatkan, (e) tidak tercukupinya kebutuhan air, (f) indikasi kecukupan air untuk berbagai kebutuhan, (g) pertumbuhan PDRB, (h) pertumbuhan kapitalisasi industri, jasa dan 146
perdagangan, (i) populasi penduduk CekunganBandung, (j) populasi penduduk DAS Cikapundung Hulu. Dengan mengimplementasikan kebijakan pengambalian fungsi hutan untuk mengembalikan fungsi hidrologi di DAS tersebut mempengaruhi berbagai perilaku variabel-variabel di dalam model, sebagai berikut: Tabel VI.2 Analisis simulasi model sebagai efek implementasi kebijakan pengembalian fungsi hutan Skenario Kebijakan
1. Pengembalian fungsi lahan hutan (Skenario 2)
Dampak Terhadap
Pemanfaatan lahan (gambar a)
Analisis Terhadap Simulasi Model
1. Lahan Hutan (garis 1 dan 2) Lahan hutan mengalami peningkatan yang sangat signifikan (garis 2) bila dibandingkan dengan skenario dasar (garis 1). Dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa setelah diimplementasikannya kebijakan tersebut maka kondisi hutan mulai pulih untuk menuju kondisi hutan yang diinginkan (tahun 1990). Efek kebijakan ini secara langsung diterima oleh lahan hutan karena tujuan kebijakan ini adalah sebagai upaya untuk pengembalian fungsi lahan hutan. Di dalam struktur model terlihat bahwa tidak ada lagi (tidak aktif) rate laju tebangan hutan baik menjadi lahan ladang perkebunan maupun menjadi lahan perkebunan. 2. Lahan Perkebunan (garis 3 dan 4) Sebagai efek dari kebijakan ini maka luas lahan perkebunan mengalami penurunan (garis 4) bila dibandingkan dengan skenario dasar (garis 3), meskipun tidak terlalu besar. Di dalam struktur model, hal ini terlihat dari berhentinya rate laju tebangan hutan menjadi lahan perkebunan sedangkan rate rebosisasi tetap dijalankan (aktif). 3. Lahan Sawah dan Ladang (garis 5 dan 6) Efek kebijakan ini sangat terasa dirasakan oleh lahan ladang dan sawah. Di dalam struktur model, hal ini terlihat dari berhentinya rate laju tebangan hutan menjadi lahan ladang dan sawah sedangkan rate rebosisasi tetap dijalankan (aktif). Sementara itu tekanan kebutuhan lahan permukiman yang menimbulkan alih fungsi lahan ladang dan sawah tetap tinggi. Sebagai akibatnya sejak implementasi kebijakan ini efektif maka penurunan lahan ladang dan sawah
147
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
semakin tajam (garis 6) bila dibandingkan pada skenario dasar (garis 5). 4. Lahan Permukiman (garis 7 dan 8) Implementasi kebijakan memberikan efek negatif terhadap lahan permukiman. Hal ini terjadi karena semakin terbatasnya lahan ladang san sawah yang dapat dikonversi menjadi lahan permukiman. Dalam simulasi terlihat bahwa sejak kebijakan tersebut efektif maka pertumbuhan lahan permukiman sedikit tertekan (garis 8) bila dibandingkan dengan skenario dasar (garis 7). Di dalam struktur model terlihat bahwa rate laju tebangan hutan menjadi lahan ladang dan sawah terhenti sehingga ketersediaan lahan ladang dan sawah yang menjadi sumber bagi lahan permukiman semakin terbatas sehingga berpengaruh terhadap laju permintaan lahan permukiman. Runoff, infiltrasi dan debit sungai, (gambar b)
1. Runoff (garis 1 dan 2) Terjadi penurunan cukup besar pada aliran runoff setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan telah terjadi penurunan aliran runoff sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga tidak lagi meningkat seperti pada skenario dasar (garis 1) namun mangalami penurunan dan akhirnya cenderung konstan (garis 2). Perilaku ini terjadi karena alih fungsi lahan hutan menjadi lahan perkebunan dan lahan pertanian (ladang dan sawah) terhenti namun reboisasi masih berlangsung, sehingga koefisien runoff DAS meskipun masih meningkat (karena alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun masih tetap terjadi) namun sudah banyak berkurang dengan pengembalian fungsi lahan hutan ini. 2. Infiltrasi (garis 3 dan 4) Terjadi peningkatan cukup besar pada aliran infiltrasi setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan telah terjadi peningkatan aliran infiltrasi sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga meskipun pada akhirnya cenderung konstan (garis 4) namun bila dibandingkan pada skenario dasar (garis 3) yang terus mengalami penurunan, efek kebijakan tersebut terhadap laju
148
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
infiltrasi sudah cukup baik. Aliran infiltrasi tersebut sebagian akan mengalir sebagai baseflow dan sebagian lagi akan menjadi aliran air tanah dalam untuk mengisi cadangan air tanah di Cekungan Bandung. 3. Debit Sungai Cikapundung (garis 5 dan 6) Seperti halnya aliran runoff, terjadi penurunan pada debit Sungai Cikapundung setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan (tahun 2010) telah terjadi penurunan debit sungai sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga perlahan-lahan debit sungai mulai stabil (cenderung konstan) (garis 5) dan tidak lagi terus meningkat seperti pada skenario dasar (garis 6). Perilaku penurunan debit aliran sungai ini terjadi karena debit aliran sungai berasal dari 2 sumber yaitu baseflow dan runoff. Dengan menurunnya aliran runoff (meskipun baseflow juga akan meningkat dengan meningkatnya aliran infiltrasi) namun karena peenurunan runoff masih lebih besar dari pada peningkatan baseflow maka secara keseluruhan akumulasi debit sungai selama setahun mengalami penurunan. Apabila ditinjau secara sekilas, penurunan tersebut terkesan berdampak kurang baik bagi ketersediaan air, namun sebenarnya banyak aspek positif yang terjadi dari perilaku penurunan debit sungai tersebut. Di dalam model ini diskretisasi waktu adalah tahunan (1 tahun) sehingga sensitifitas hasil simulasi masih mampu melihat perubahan perilaku tersebut dalam bulanan. Mengingat di bahwa di dalam 1 tahun terjadi 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau maka untuk analisis hidrologi akan lebih baik apabila mempertimbangkan kondisi tersebut, dimana pada musim hujan akan terjadi debit ekstrim basah sedangkan di musim kemarau akan terjadi debit ekstrim kering. Kondisi hidrologi yang buruk (kritis) adalah apabila gap antara debit ekstrim basah dan debit ekstrim kering tersebut sangat tinggi yang menandakan bahwa dalam sistem tersebut aliran runoff sangat besar sedangkan baseflow sangat rendah, yang berakibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau dan potensi banjir pada musim hujan.
149
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
Di dalam implementasi kebijakan ini terlihat bahwa terjadi upaya perbaikan atas kondisi tersebut, dimana aliran runoff diupayakan untuk ditekan agar tidak terus meningkat dan sebaliknya akan ditinghkatkan aliran infiltrasi dan sekaligus baseflow guna memperbaiki kualitas kondisi hidrologi. Implementasi kebijakan pembangunan rusunami dinilai cukup baik untuk mendukung upaya tersebut karena akan ikut menekan semakin meningkatnya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman) yang dapat berakibat meningkatnya koefisien runoff. Indikasi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu Gambar (c)
Terjadi sedikit perbaikan atas potensi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam simulasi tersebut terlihat bahwa perlahan-lahan terjadi perbaikan atas semakin menurunnya potensi ketersediaan air tersebut. Perbaikan tersebut mulai terlihat setelah efektifnya kebijakan (2010) dimana perlahan-lahan tidak lagi terjadi penurunan potensi ketersediaan air dan pada akirnya cenderung kontan. Perilaku tersebut terjadi karena meningkatnya laju aliran infiltrasi yang sebagian akan mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung.
Debit Sungai 1. Section 1 (garis 1 dan 2) Cikapundung Dengan implemantasi kebijakan pengembalian Yang Dapat fungsi hutan maka penurunan debit Sungai Dimanfaatkan Cikapundung dapat dihambat. Hal tersebut dapat Gambar (d) terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan, debit Sungai Cikapundung pada section 1 yang semula mengalami penurunan sangat tajam (pada skenario dasar, garis 1) dapat sedikit diredam (garis 2). Perilaku tersebut dimunculkan karena pengembalian fungsi lahan hutan mampu menahan laju pertambahan koefisien runoff dan sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah
150
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti telah diuraikan sebelumnya. 2. Section 2 (garis 3 dan 4) Seperti halnya pada section 1, implemantasi kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan akan mampu menghambat laju penurunan debit Sungai Cikapundung. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pengembalian lahan hutan maka debit Sungai Cikapundung pada section 2 yang semula mengalami penurunan cukup tajam (pada skenario dasar) dapat sedikit diredam. Perilaku tersebut dimunculkan karena laju pertambahan koefisien runoff dapat dihambat dan sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cenderung satabil/mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan. 3. Section 3 (garis 5 dan 6) Demikian pula dengan efek kebijakan tersebut pada pemanfaatan air sungai pada section 3. Dengan implemantasi kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan ini maka penurunan debit Sungai Cikapundung pada section 3 tersebut dapat dihambat. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan pengambalian fungsi hutan, debit Sungai Cikapundung pada section 3 yang semula mengalami penurunan sangat tajam (pada skenario dasar) dapat diredam. Perilaku tersebut dimunculkan karena dengan kembalinya fungsi hutan maka laju pertambahan koefisien runoff dapat dihambat dan sebaliknya laju infiltrasi dapat ditingkatkan. Adanya penurunan laju peningkatan aliran runoff (sifat aliran runoff yang cenderung sesaat, maka semakin tinggi runoff akan menyebakan potensi air terbuang semakin tinggi) dan meningkatnya baseflow (aliran baseflow cende-rung satabil/ mantap sepanjang tahun) akan menurunkan gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah sehingga air yang dapat dimanfaatkan
151
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
dapat meningkat, seperti yang sudah diuraikan di depan. Kecukupan penyediaan air Sungai Cikapundung di section 1. Gambar (e)
Pada section 1 tersebut terlihat bahwa dalam skenario dasar (garis 1) akan terjadi kekurangan pasokan air sekitar tahun 2022, namun dengan diimplementasikannya kebijakan pengambalian fungsilahan hutan yang mampu meredam laju penurunan debit air yang dapat dimanfaatkan, maka kondisi kekurangan pasokan air tersebut dapat sedikit ditunda hingga meskipun tidak signifikan (garis 2). Namun demikian masalah kekurangan pasokan air untuk berbabagai kebutuhan di section 1 masih tetap terjadi (garis 3 dan 4 menunjukka kebutuhan pasokan air di section 1). Untuk pasokan air untuk kebutuhan di section 2 dan 3 dapat tercukupi karena adanya suplesi dari air yang telah digunakan oleh PLTA (limpahan) yang dapat digunakan kembali sebagai air baku untuk keperlulan lain.
Indikasi kecukupan air untuk masing masing kebutuhan Gambar (f)
1. Indikasi kecukupan produksi listrik (garis 1 dan 2) Pada skenario dasar kebutuhan air untuk produksi listrik masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 2022, namun setelah itu kecukupan air untuk produksi listrik menurun drastis. Setelah implementasi kebijakan pengembalian fungsi hutan yang mampu menahan peningkatan koefisien runoff maka laju penurunan ketersediaan air di Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan dapat sedikit ditahan. Meskipun demikian kebijakan tersebut belum sepenuhnya mampu menanggulangi ancaman kekurangan pasokan air untuk produksi listrik, apalagi kalau pasokan tersebut dilihat dalam diskretisasi waktu yang lebih kecil dari 1 tahun (bulanan atau harian) 2. Indikasi kecukupan kebutuhan irigasi (garis 3 dan 4) Demikian halnya untuk pemenuhan kebutuhan irigasi, pada skenario dasar kebutuhan air untuk irigasi masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 2022, namun setelah itu kecukupan air untuk irigasi tersebut menurun drastis, bahkan penurunan lebih tajam dibandingkan dengan penurunan kecukupan air untuk produksi listrik. Setelah implementasi kebijakan pengembalian
152
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
fungsi lahan hutan, laju penurunan ketersediaan air di Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan dapat ditekan. Di dalam simulasi terlihat bahwa dengan implementasi kebijakan tersebut maka kekurangan pasokan air untuk kebutuhan irigasi baru terjadi pada tahun 2024. Meskipun demikian kebijakan tersebut belum sepenuhnya mampu menanggulangi ancaman kekurangan pasokan air untuk kebutuhan irigasi. 3. Indikasi kecukupan kebutuhan air minum (garis 5 dan 6) Lain halnya dengan pemenuhan kebutuhan air untuk air minum. Untuk pasokan kebutuhan ini baik di dalam skenario dasar maupun skenario setelah implementasi kebijakan masih akan tetap terpenuhi. Hal ini karena kebutuhan air untuk air minum memiliki prioritas yang lebih tinggi dari pada kebutuhan yang lain (PLTA dan irigasi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan ini tidak begitu berpengaruh terhadap kecukupan air yang dibutuhkan untuk air minum. PDRB Cekungan Bandung Gambar (g)
1. PDRB Industri (garis 1 dan 2) Penerapan kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertumbuhan PDRB industri di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan PDRB industri yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar. 2. PDRB Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4) Penerapan kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertumbuhan PDRB jasa dan perdagangan di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan PDRB jasa dan perdagangan yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar.
153
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
3. PDRB total (garis 5 dan 6) Penerapan kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung ini juga memiliki efek positif bagi pertumbuhan PDRB total di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan PDRB total yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar. Pertumbuhan Kapitalisasi Industri, Jasa dan Perdagangan di Cekungan Bandung Gambar (h)
1. Kapital Industri (garis 1 dan 2) Seperti halnya pada pertumbuhan PDRB, penerapan kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertumbuhan kapital industri di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan kapital industri yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar. 2. Kapital Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4) Demikian halnya dengan pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan, penerapan kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan ini juga memiliki efek positif bagi pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan di kawasan tersebut. Hal ini terlihat dari hasil simulasi yang memperlihatkan adanya pertumbuhan kalpital jasa dan perdagangan yang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada skenario dasar.
Pertumbuhan populasi penduduk Cekungan Bandung Gambar (i)
Dengan adanya sedikit pengaruh positif dari implementasi kebijakan ini pada pertumbuhan kapital industri serta jasa dan perdagangan, maka kebijakan tersebut juga berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung. Hal ini karena dalam setiap investasi baik di sektor industri maupun sektor jasa dan perdaganagn akan menarik kebutuhan tenaga kerja baru dimana sebagian diantaranya dipenuhi dari tenaga ahli migran (inmigrasi). Selain itu peningkatan indikasi ketersediaan air juga mempunyai efek positif terhadap fraksi kelahiran
154
Dampak Terhadap
Skenario Kebijakan
Analisis Terhadap Simulasi Model
dan efek negatif terhadap Kematian. Dengan demikian secara keseluruhan terjadi peningkatan pertumbuhan pendudun di Cekungan Bandung bila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk pada skenario dasar, terutama peningkatan tersebut terlihat mulai tahun 2028. Pertumbuhan populasi penduduk DAS Cikapundunh Hulu Gambar (j)
Skenario 3:
Pengaruh implementasi kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di DAS Cikapundung Hulu tidak begitu terlihat. Hal ini karena di dalam model, penduduk di DAS (yang merupakan bagian dari penduduk Cekungan Bandung) diturunkan dari rasio pertumbuhan penduduk DAS terhadap penduduk Cekungan Bandung. Dengan demikian, karena efek kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung relatif sangat kecil, maka efek kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan penduduk DAS cenderung tidak terlihat, meskipun secara logika seharusnya ada (sangat kecil).
Adopsi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori
Skema kebijakan ini menginternalisasikan parameter yang mempengaruhi variabel koefisien runoff pada lahan permukiman. Dengan intervensi kebijakan tersebut, koefien runoff lahan permukiman (C_Permukiman) turun dari semula 0,7 menjadi 0,5. Di dalam simulasi ini berlakunya kebijakan tersebut adalah pada tahun 2010 dengan delay pembuatan lubang resapan biopori untuk seluruh lahan permukiman selama 2 tahun. Implementasi kebijakan tersebut dapat terlihat dalam Gambar VI.15 berikut: Pengaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhadap Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu
Pengaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhadap Pemanfaatan Lahan
300,000,000
8,000 1 7,000
6
2
6,000
Ha
5
12
1
5 126
12
5,000
56
4,000
78
1,000 7 8 03 4 1,990
78
2 1
78 56
78
3,000 2,000
12
34
34
4 5 3
5 6
34
7
34 2,000
3
8 2,010
2,020
2,030
Tahun
2,040
56
Hutan
56
5
6
5
5
5
6
6
6
Hutan Perkebunan Perkebunan Ladang_dan_Sawah
Meter Kubik
9,000 5 6
1 250,000,000
3
Ladang_dan_Sawah Permukiman Permukiman
2
12
12
2
1,990
34 2,000
4 5
2
200,000,000 34
1
1
1
1
4
4
4
2
2
6
RunOff RunOff Infiltrasi Infiltrasi Debit_S_Cikapundung Debit_S_Cikapundung
4 3
3
3
3
2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
(a)
(b)
155
Pengaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhadap Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan
engaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhada Perilaku Indikasi Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu 2
12 1
12
2
12 1
2
150,000,000
2
Meter Kubik
Tanpa Satuan
1.00 1 2
1 1 0.95
1 2 34
1
1
2
2 56 3
100,000,000
1 4 5
45
34 6 5
6
2,010
2,020
2,030
2,040
2
5
Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf
3
1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040
Tahun
Tahun
(c)
(d)
Pengaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhadap Perilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung (Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi)
Pengaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhadap Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan di Sungai Cikapundung
12
1.0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 3 5 6 5 6 5 6 5 1
2
2 150,000,000
2 34
34
34
1
1 3
2
2
3
4
1 4
3 100,000,000
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Air_yg_Disalurkan Air_yg_Disalurkan
1
2
0.9
1
Tanpa Dimensi
Meter Kubik
4
6
45 6
2,000
1
3
50,000,000
0.90 1,990
3
2 63
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf
1
4 3
4 0.8
1
Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi
3
Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi
4 34
1
Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik
2
0.7
2 4
Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik
1 2
3
5
2
6
0.6
Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM
2
0.5 1,990
1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040
2,000
Tahun
2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
(e)
(f) Pengaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhadap Perilaku Pertumbuhan Kapitalisasi Industri serta Jasa dan Perdagangan
Pengaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhadap Perilaku Pertumbuhan PDRB 6
4
500,000 3
1,500,000
4
Milyar Rupiah
1 2
300,000 6
3
5 4 200,000
4
5
3
6 100,000
5 4 3
6 5 3 4 5 6 1 2 1 2 3 4 2,000 2,010
PDRB_industri PDRB_JP PDRB_JP PDRB_Total
1,000,000 1
3
PDRB_Total
3 3 4 01 2 3 4 1,990
2,040
4 1 2 3 2,000
0.8
1
2,010
2,020
2,030
2,040
51
12 0.6 12
Juta Jiwa
Juta Jiwa
1 2
Pengaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhadap Perilaku Model Penduduk Cekungan Bandung
0.7
0.5 12
12
2,000
4
1 2
1 2
(h)
Pengaruh Kebijakan Pembuatan Lubang Resapan Biopori Terhadap Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu
0.2 1 2 1,990
Kapital_JP
Tahun
(g)
0.3
Kapital_JP
2
Tahun
0.4
Kapital_Industri Kapital_Industri
1
1 2
2,030
3 4
500,000
1 2 2,020
2
4
1 2
6
01 2 3 4 5 6 1,990
PDRB_industri
Milyar Rupiah
400,000
2,010
2,020
Tahun
(i)
2,030
2,040
2
42 36 30 24
12
18 12 6 12 0 1,990
12 12 2,000
12 2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
(j)
Keterangan : 1,3,5,7 : Skenario dasar
Gambar V.16.
2,4,6,8 : Skenarion setelah implementasi kebijakan
Pengaruh implementasi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori terhadap perilaku : (a) pemanfaatan lahan DAS 156
Cikapundung Hulu, (b) runoff, infiltrasi dan debit sungai, (c) indikasi ketersediaan air, (d) penurunan debit sungai yang dapat dimanfaatkan, (e) tidak tercukupinya kebutuhan air, (f) indikasi kecukupan air untuk berbagai kebutuhan, (g) pertumbuhan PDRB, (h) pertumbuhan kapitalisasi industri, jasa dan perdagangan, (i) populasi penduduk CekunganBandung, (j) populasi penduduk DAS Cikapundung Hulu. Dengan mengimplementasikan kebijakan pembuatan lubang resapan biopori untuk menurunkan koefisien runoff dan meningkatkan laju aliran infiltrasi tersebut mempengaruhi berbagai perilaku variabel-variabel di dalam model, sebagai berikut: Tabel VI.3. Analisisi simulasi model sebagai efek kebijakan pembuatan lubang resapan biopori Skenario Kebijakan
1. Pembangunan lubang resapan biopori pada kawasan permukiman
Dampak Terhadap
Pemanfaatan lahan (gambar a)
(Skenario 3)
Runoff, infiltrasi dan debit sungai, (gambar b)
Analisis Terhadap Simulasi Model
Kebijakan pembuatan lubang resapan biopori ini adalah kebijakan dalam meningkatkan kualitas fungsi hidrologi dan hanya diintervensikan pada lahan permukiman tanpa membatasi perubahan atau alih fungsi lahan. Dengan demikian implementasi kebijakan ini sama sekali tidak berdampak atau tidak mempunyai efek terhadap perbahan perilaku pemanfaatan lahan di DAS, baik lahan hutan, lahan perkebunan, lahan ladang dan sawah maupun ladang permukiman. 1. Runoff (garis 1 dan 2) Terjadi penurunan yang sangat signifikan pada aliran runoff setelah diimplementasikannya kebijakan pembuatan lubang resapan biopori ini, bahkan jauh lebih besar dibanding dengan implementasi dua kebijakan terdahulu. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan telah terjadi penurunan aliran runoff yang sangat tajam sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga tidak lagi meningkat seperti pada skenario dasar (garis 1) namun mangalami penurunan tajam meskipun pada akhirnya cenderung konstan (garis 2). Perilaku ini terjadi karena pembuatan lubang resapan biopori ini mampu mengembalikan koefisen runoff pada daerah permukiman mendekati koefisien runoff
157
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
pada lahan perkebunan. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar air hujan tidak lagi melimpas sebagai aliran runoff namun akan mampu berinfiltrasi dengan cepat ke dalam tanah membentuk aliran dalam tanah yang berupa baseflow yang mengisi aliran sungai maupun pasokan air tanah dalam untuk Kawasan Cekungan Bandung. 2. Infiltrasi (garis 3 dan 4) Berlawanan dengan kondisi aliran runoff, pada aliran infiltrasi terjadi peningkatan yang sangat besar setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan telah terjadi peningkatan aliran infiltrasi yang sangat signifikan sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga meskipun pada akhirnya cenderung konstan (garis 4) namun bila dibandingkan pada skenario dasar (garis 3) yang terus mengalami penurunan, efek kebijakan tersebut terhadap laju infiltrasi dinilai sangat baik. Aliran infiltrasi tersebut sebagian akan mengalir sebagai baseflow dan sebagian lagi akan menjadi aliran air tanah dalam untuk mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. 3. Debit Sungai Cikapundung (garis 5 dan 6) Seperti halnya aliran runoff, terjadi penurunan pada debit Sungai Cikapundung setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan (tahun 2012) telah terjadi penurunan debit sungai sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga debit sungai mulai menurun hingga akhirnya cenderung stabil (garis 5) dan tidak lagi terus meningkat seperti pada skenario dasar (garis 6). Perilaku penurunan debit aliran sungai ini terjadi karena debit aliran sungai berasal dari 2 sumber yaitu baseflow dan runoff. Dengan menurunnya aliran runoff (meskipun baseflow juga akan meningkat dengan meningkatnya aliran infiltrasi) namun karena peenurunan runoff masih lebih besar dari pada peningkatan baseflow maka secara keseluruhan akumulasi debit sungai selama setahun mengalami penurunan. Apabila ditinjau secara sekilas, penurunan tersebut terkesan berdampak kurang baik bagi ketersediaan air, namun sebenarnya banyak aspek positif yang
158
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
terjadi dari perilaku penurunan debit sungai tersebut. Di dalam model ini diskretisasi waktu adalah tahunan (1 tahun) sehingga sensitifitas hasil simulasi masih mampu melihat perubahan perilaku tersebut dalam bulanan. Mengingat di bahwa di dalam 1 tahun terjadi 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau maka untuk analisis hidrologi akan lebih baik apabila mempertimbangkan kondisi tersebut, dimana pada musim hujan akan terjadi debit ekstrim basah sedangkan di musim kemarau akan terjadi debit ekstrim kering. Kondisi hidrologi yang buruk (kritis) adalah apabila gap antara debit ekstrim basah dan debit ekstrim kering tersebut sangat tinggi yang menandakan bahwa dalam sistem tersebut aliran runoff sangat besar sedangkan baseflow sangat rendah, yang berakibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau dan potensi banjir pada musim hujan. Di dalam implementasi kebijakan ini terlihat bahwa terjadi upaya perbaikan atas kondisi tersebut, dimana aliran runoff diupayakan untuk ditekan agar tidak terus meningkat dan sebaliknya akan ditinghkatkan aliran infiltrasi dan sekaligus baseflow guna memperbaiki kualitas kondisi hidrologi. Implementasi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori dinilai cukup baik untuk mendukung upaya tersebut karena akan ikut menekan semakin meningkatnya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman) yang dapat berakibat meningkatnya koefisien runoff.
Indikasi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu Gambar (c)
Terjadi perbaikan yang sangat signifikan atas ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam simulasi tersebut terlihat bahwa terjadi lonjakan indikasi ketersediaan air dan tidak lagi terjadi penurunan atas potensi ketersediaan air tersebut. Perbaikan tersebut mulai terlihat setelah efektifnya kebijakan (2012) dimana potensi ketersediaan air tidak lagi menurun akan tetapi terus meningkat hinggga akhir masa simulasi. Perilaku tersebut terjadi karena meningkatnya laju aliran infiltrasi yang sebagian akan mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung.
159
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
Debit Sungai 1. Section 1 (garis 1 dan 2) Cikapundung Dengan implemantasi kebijakan pembuatan Yang Dapat lubang resapan biopori, maka penurunan debit Dimanfaatkan Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan Gambar (d) mengalami efek yang negatif. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar potensi debit sungai yang berasal dari aliran runoff mengalami penurunan yang sangat signifikan sedangkan penambahan baseflow yang berasal dari peningkatan aliran infiltrasi tidak sebesar penurunan aliran runoff tersebut (hanya 35% aliran infiltrasi yang mengalir sebagai baseflow). Kondisi tersebut sepertinya berdampak tidak baik terhadap aliran debit sungai, namun sebenarnya dengan terciptanya kondisi tersebut maka gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah dapat dipersempit sehingga potensi banjir dan kekeringan pada aliran sungai dapat dihindari. Di lain sisi, kondisi tersebut telah menciptakan efek positif pada kondisi fungsi hidrologi DAS sehingga akan mampu meningkatkan potensi pengisian air tanah dalam pada Kawasan Cekungan Bandung. 2. Section 2 (garis 3 dan 4) Seperti halnya pada section 1, implemantasi kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan akan menurunkan debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan pada section 2. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan lubang resapan biopori pada kawasan permukiman maka debit Sungai Cikapundung pada section 2 semakin mengalami penurunan (garis 4) dibanding debit pada skenario dasar (garis 3). Perilaku tersebut dimunculkan karena menurunnya sebagian besar potensi debit sungai yang berasal dari aliran runoff sedangkan penambahan baseflow yang berasal dari peningkatan aliran infiltrasi tidak sebesar penurunan aliran runoff tersebut (hanya 35% aliran infiltrasi yang mengalir sebagai baseflow). Kondisi tersebut sepertinya berdampak tidak baik terhadap aliran debit sungai, namun sebenarnya dengan terciptanya kondisi tersebut maka gap antara debit ekstrim kering dan debit ekstrim basah dapat dipersempit sehingga potensi banjir dan kekeringan pada aliran sungai dapat dihindari. Di lain sisi, kondisi tersebut telah menciptakan efek positif pada kondisi fungsi hidrologi DAS
160
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
sehingga akan mampu meningkatkan potensi pengisian air tanah dalam pada Kawasan Cekungan Bandung. 3. Section 3 (garis 5 dan 6) Demikian pula dengan efek kebijakan tersebut pada pemanfaatan air sungai di section 3. Dengan implemantasi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori ini maka terjadi penurunan aliran runoff yang cukup signifikan dan penambahan baseflow akibat dari peningkatan laju infiltrasi juga tidak mampu mentupi pengurangan potensi debit dari aliran runoff yang hilang. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi model dimana setelah diimplementasikan kebijakan lubang resapan biopori pada kawasan permukiman maka debit Sungai Cikapundung pada section 2 semakin mengalami penurunan (garis 6) dibanding debit pada skenario dasar (garis 5). Namun kondisi tersebut tidak perlu dikhawatirka karena kalau dilihat dari perbaikan fungsi hidrologi, kondisi tersebut dapat dikatakan sangat baik. Kecukupan penyediaan air Sungai Cikapundung di section 1. Gambar (e)
Pada section 1 tersebut terlihat bahwa dalam skenario dasar (garis 1) akan terjadi kekurangan pasokan air sekitar tahun 2022, namun dengan diimplementasikannya kebijakan pembuatan lubang resapan biopori yang menyebabkan semakin besarnya penurunan debit air yang dapat dimanfaatkan, maka kondisi kekurangan pasokan air tersebut dapat semakin cepat terjadi (tahun 2016) (garis 2). Hal tersebut memerlukan antisipasi dengan mengimplemantasikan kebijakan yang lain. Untuk pasokan air untuk kebutuhan di section 2 dan 3 dapat tercukupi karena adanya suplesi dari air yang telah digunakan oleh PLTA (limpahan) yang dapat digunakan kembali sebagai air baku untuk keperlulan lain.
Indikasi kecukupan air untuk masing masing kebutuhan Gambar (f)
1. Indikasi kecukupan produksi listrik (garis 1 dan 2) Pada skenario dasar (garis 1) kebutuhan air untuk produksi listrik masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 2022, namun setelah itu kecukupan air untuk produksi listrik menurun drastis. Setelah implementasi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori yang mampu menurunkan aliran runoff, maka laju penurunan
161
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
kecukupan air untuk pasokan PLTA juga mengalami penurunan yang lebih tajam dan terjadi lebih cepat (tahun 2017) (garis 2). Kebijakan tersebut meskipun sangat positif bila dilihat dari kondisi hidrologi namun memerlukan antisipasi dengan mengimplemantasikan kebijakan yang lain. 2. Indikasi kecukupan kebutuhan irigasi (garis 3 dan 4) Demikian halnya untuk pemenuhan kebutuhan irigasi, pada skenario dasar kebutuhan air untuk irigasi masih dapat terpenuhi sampai dengan tahun 2022, namun setelah itu kecukupan air untuk irigasi menurun drastis, bahkan penurunan lebih tajam bila dibandingkan dengan penurunan kecukupan air untuk produksi listrik meskipun terjadi pada waktu yang sama (tahun 2017) (garis 4). 3. Indikasi kecukupan kebutuhan air minum (garis 5 dan 6) Lain halnya dengan pemenuhan kebutuhan air untuk air minum. Untuk pasokan kebutuhan ini baik di dalam skenario dasar maupun skenario setelah implementasi kebijakan masih akan tetap terpenuhi. Hal ini karena kebutuhan air untuk air minum memiliki prioritas yang lebih tinggi dari pada kebutuhan yang lain (PLTA dan irigasi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan ini tidak begitu berpengaruh terhadap kecukupan air yang dibutuhkan untuk air minum. PDRB Cekungan Bandung Gambar (g)
1. PDRB Industri (garis 1 dan 2) Penerapan kebijakan pembuatan lubang resapan biopori, meskipun mampu meningkatkan potensi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung namun karena ketersediaan air di kawasan tersebut tidak hanya ditentukan oleh DAS Cikapundung Hulu maka pengaruhnya tidak terlalu signifikan (meskipun tidak dapat dikatakan tidak ada). Dengan semakin besarnya pasokan air tanah untuk Kawasan Cekungan Bandung maka daya tarik kawasan tersebut untuk menarik investasi akan terus terjaga dan dengan demikian PDRB sektor industri di kawasan tersebut akan terus tumbuh. Namun demikian, karena adanya efek ketersediaan
162
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
listrik yang ikut berpengaruh dalam pertumbuhan investasi industri tersebut maka di dalam simulasi model terlihat bahwa peningkatan PDRB sektor industri sedikit mengalami penurunan akibat dari penurunan produksi listrik (PLTA). 2. PDRB Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4) Penerapan kebijakan pembuatan lubang resapan biopori, meskipun mampu meningkatkan potensi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung namun karena ketersediaan air di kawasan tersebut tidak hanya ditentukan oleh DAS Cikapundung Hulu maka pengaruhnya tidak terlalu signifikan (meskipun tidak dapat dikatakan tidak ada). Dengan semakin besarnya pasokan air tanah untuk Kawasan Cekungan Bandung maka daya tarik kawasan tersebut untuk menarik investasi si akan terus terjaga dan dengan demikian PDRB sektor jasa dan perdagangan di kawasan tersebut akan terus tumbuh. Namun demikian, karena adanya efek ketersediaan listrik yang ikut berpengaruh dalam pertumbuhan investasi industri tersebut maka di dalam simulasi model terlihat bahwa peningkatan PDRB sektor jasa dan perdagangan sedikit mengalami penurunan akibat dari penurunan produksi listrik (PLTA). 3. PDRB total (garis 5 dan 6) Penerapan kebijakan pembuatan lubang resapan biopori, meskipun mampu meningkatkan potensi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung namun karena ketersediaan air di kawasan tersebut tidak hanya ditentukan oleh DAS Cikapundung Hulu maka pengaruhnya tidak terlalu signifikan (meskipun tidak dapat dikatakan tidak ada). Dengan semakin besarnya pasokan air tanah untuk Kawasan Cekungan Bandung maka daya tarik kawasan tersebut untuk menarik investasi akan terus terjaga dan dengan demikian PDRB total di kawasan tersebut akan terus tumbuh. Namun demikian, karena adanya efek ketersediaan listrik yang ikut berpengaruh dalam pertumbuhan investasi industri tersebut maka di dalam simulasi model terlihat bahwa peningkatan PDRB total sedikit mengalami penurunan akibat dari penurunan produksi listrik (PLTA).
163
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Pertumbuhan Kapitalisasi Industri, Jasa dan Perdagangan di Cekungan Bandung Gambar (h)
Analisis Terhadap Simulasi Model
1. Kapital Industri (garis 1 dan 2) Seperti halnya pada pertumbuhan PDRB, penerapan kebijakan pembuatan lubang resapan biopori yang berpengaruh pada peningkatan indikasi ketersediaan air untuk Kawasan Cekungan Bandung memiliki efek positif bagi pertumbuhan kapital industri di kawasan tersebut. Namun demikian, karena adanya efek ketersediaan listrik yang ikut berpengaruh dalam pertumbuhan investasi industri tersebut maka di dalam simulasi model terlihat bahwa pertumbuhan investasi yang akan meningkatkan kapital sektor industri sedikit mengalami penurunan akibat dari penurunan produksi listrik (PLTA). 2. Kapital Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4) Demikian halnya dengan pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan, penerapan kebijakan pembuatan lubang resapan biopori ini juga memiliki efek positif bagi pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan di kawasan tersebut. Namun demikian, karena adanya efek ketersediaan listrik yang ikut berpengaruh dalam pertumbuhan investasi jasa dan perdagangan tersebut maka di dalam simulasi model terlihat bahwa pertumbuhan investasi yang akan meningkatkan kapital sektor industri sedikit mengalami penurunan akibat dari penurunan produksi listrik (PLTA).
Pertumbuhan populasi penduduk Cekungan Bandung Gambar (i)
Pertumbuhan populasi penduduk DAS Cikapundunh
Dengan adanya sedikit penurunan pada pertumbuhan kapital industri serta jasa dan perdagangan, maka kebijakan tersebut juga berpengaruh pada pelambatan pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung. Hal ini karena dalam setiap investasi baik di sektor industri maupun sektor jasa dan perdagangan akan menarik kebutuhan tenaga kerja baru dimana sebagian diantaranya dipenuhi dari tenaga ahli migran (inmigrasi). Di dalam simulasi, pelambatan pertumbuhan tersebut terlihat mulai tahun 2024. Pengaruh implementasi kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di DAS Cikapundung Hulu tidak begitu terlihat. Hal ini karena di dalam model, penduduk di DAS (yang merupakan bagian dari penduduk Cekungan Bandung) diturunkan dari rasio pertumbuhan
164
Dampak Terhadap
Skenario Kebijakan
Analisis Terhadap Simulasi Model
Hulu Gambar (j)
Skenario 4:
penduduk DAS terhadap penduduk Cekungan Bandung. Dengan demikian, karena efek kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung relatif sangat kecil, maka efek kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan penduduk DAS cenderung tidak terlihat.
Adopsi kebijakan pembangunan bendung
Skema kebijakan ini menginternalisasikan parameter yang mempengaruhi variabel fraksi air terbuang. Hal ini karena fungsi bangunan bendung yang mampu menampung kelebihan aliran air pada waktu bulan basah untuk dapat disimpan dan dimanfaatkan pada bulan kering atau dengan kata lain volume air yang terbuang sia-sia tanpa dimanfaatkan akan jauh berkurang. Dengan intervensi kebijakan tersebut, fraksi air terbuang yang pada skenario dasar (fraksi air terbuang normal) sebesar 0,25 akan jauh menurun menjadi 0,05.
Di dalam
simulasi ini berlakunya kebijakan tersebut adalah pada tahun 2010 dengan delay pembuatan lubang resapan biopori untuk seluruh lahan permukiman selama 5 tahun. Implementasi kebijakan tersebut dapat terlihat dalam Gambar VI.16 berikut Pengaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu
Pengaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Pemanfaatan Lahan 8,000 1 7,000
1
5 126
12
12
5,000
56
4,000
78
1,000 7 8 03 4 1,990
1
78 56
3 4
5 3
34
34
78
2
12
78
3,000 2,000
300,000,000
6
2
6,000
Ha
5
5 6
34
7
34
8
2,000
2,010
2,020
2,030
Perkebunan Perkebunan Ladang_dan_Sawah
1 250,000,000
2 3
Ladang_dan_Sawah Permukiman
5 6
34
Permukiman
2,040
4
1,990
34
34
34
34
2,000
2,010
2,020
2,030
RunOff RunOff Infiltrasi Infiltrasi Debit_S_Cikapundung Debit_S_Cikapundung
3 2,040
Tahun
(b) Pengaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan 250,000,000
12
2
2
46
4
2
12
0.98
12 1
0.96
0.94
200,000,000
Meter Kubik
Tanpa Satuan
1
200,000,000
ngaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Perilaku Indik Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu
12 150,000,000
100,000,000
0.92
12
56 3 4
2,010
2,020
Tahun
(c)
2,030
2,040
4
6
3 1
4 1
4 563
1 5
1 2
3
50,000,000
2,000
6
2 1
34
1,990
12
12
12
12
12
(a)
12
5
Hutan
Tahun
12
56
56
56
56
56
Hutan
Meter Kubik
9,000 5 6
5
3
5 6
5
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf
3
1,990 2,000 2,010 2,020 2,030 2,040
Tahun
(d)
165
Pengaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Perilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung (Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi) 250,000,000
2
2
Pengaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan di Sungai Cikapundung 1.0 1 2 3 4 5 6
123456
123456
123456
2456
2
2
1
Tanpa Dimensi
0.9
Meter Kubik
200,000,000 1
12 1
2
2
150,000,000
2 3
1 34
34
34
1
34
4 1
100,000,000
4
4
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Air_yg_Disalurkan
1 0.8
2 3
1 0.7
4
Air_yg_Disalurkan
5
3
3 6
0.6
Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM
3 1
1,990
2,000
2,010
2,020
2,030
0.5 1,990
2,040
2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
Tahun
(e)
(f) Pengaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Perilaku Pertumbuhan Kapitalisasi Industri serta Jasa dan Perdagangan
Pengaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Perilaku Pertumbuhan PDRB 6
4
2,000,000
3
5 600,000
Milyar Rupiah
1 400,000
2 3 4
6 5
5 4
200,000
6
3
5 6 3 4 6 1 2 01 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 1,990 2,000 2,010
5 3 4 1 2
6
2,020
PDRB_industri PDRB_industri PDRB_JP PDRB_JP
Milyar Rupiah
1,500,000
3
1 1,000,000
2 4
PDRB_Total
4
3
PDRB_Total
500,000
1 3 01 2 3 4 1,990
2,040
1 2 3 4 2,000
Kapital_Industri Kapital_JP Kapital_JP
3 4 1 2 2,010
4
1 2
1 2 2,020
2,030
2,040
Tahun
Tahun
(g)
(h) Pengaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Perilaku Model Penduduk Cekungan Bandung
Pengaruh Kebijakan Pembangunan Bendung Terhadap Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu 0.8
1
59
0.7
1
12
Juta Jiwa
0.6
Juta Jiwa
Kapital_Industri
1
1 2 2,030
3
12 0.5 12
0.4 0.3
12
0.2 1 2 1,990
2,000
2,010
2,020
Tahun
(i)
2,030
2,040
48 42 36 30 24 18 12 6 2 1 0 1,990
1
2
12 12 2,000
12 2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
(j)
Keterangan : 1,3,5,7 : Skenario dasar
Gambar V.17.
2,4,6,8 : Skenarion setelah implementasi kebijakan
Pengaruh implementasi kebijakan pembangunan bendung terhadap perilaku : (a) pemanfaatan lahan DAS Cikapundung Hulu, (b) runoff, infiltrasi dan debit sungai, (c) indikasi ketersediaan air, (d) penurunan debit sungai yang dapat dimanfaatkan, (e) tidak tercukupinya kebutuhan air, (f) indikasi kecukupan air untuk berbagai kebutuhan, (g) pertumbuhan PDRB, (h) pertumbuhan kapitalisasi industri, jasa dan perdagangan, (i) populasi penduduk CekunganBandung, (j) populasi penduduk DAS Cikapundung Hulu. 166
Dengan
mengimplementasikan
kebijakan
pembangunan
bendung
untuk
meningkatkan potensi debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan, maka pengaruh kebijkan tersebut terhadap berbagai perilaku variabel-variabel di dalam model dapat duraikan sebagai berikut: Tabel VI.4. Analisisi simulasi model sebagai efek kebijakan pembangunan bendung Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
1. Pembangunan bendung
Pemanfaatan lahan
(Skenario 4)
(gambar a)
Analisis Terhadap Simulasi Model
Kebijakan pembangunan bendung ini adalah kebijakan yang diimplementasikan pada badan sungai untuk menampung kelebihan debit Sungai Cikapundung. Dengan demikian implementasi kebijakan ini sama sekali tidak berdampak atau tidak mempunyai efek terhadap perbahan perilaku pemanfaatan lahan di DAS, baik lahan hutan, lahan perkebunan, pahan ladang dans awah maupun ladang permukiman.
Runoff, infiltrasi dan debit sungai, (gambar b)
Sama halnya dengan perilaku pemanfaatan lahan, implementasi kebijakan pembangunan bendung ini tidak berpengaruh juga pada perilaku runoff, infiltrasi dan debit sungai.
Indikasi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu
Demikian pula dengan perilaku ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu, implementasi kebijakan pembangunan bendung ini tidak berpengaruh.
Gambar (c) Debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan Gambar (d)
1. Section 1 (garis 1 dan 2) Karena kebijakan pembangunan bendung ini memang ditujukan untuk meningkatan pemanfaatan debit air Sungai Cikapundung maka efek implementasi kebijakan ini terhadap debit yang dapat dimanfaatkan sangat besar. Hal tersebut dapat dilihat dari simulasi model yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa pada perilaku debit yang dapat dimanfaatkan setelah kebijakan tersebut efektif (2015) (garis 2) bila dibandingkan dengan perilaku pada skenario dasar (garis 1). Perilaku ini terbentuk karena fungsi utama bangunan bendung tersebut yang mampu menampung potensi debit aliran sungai untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan.
167
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
2. Section 2 (garis 3 dan 4) Seperti halnya pada section 1, pengaruh implemantasi kebijakan ini terhadap debit yang dapat dimanfaatkan sangat besar. Hal tersebut dapat dilihat dari simulasi model yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa pada perilaku debit yang dapat dimanfaatkan setelah kebijakan tersebut efektif (2015) (garis 4) bila dibandingkan dengan perilaku pada skenario dasar (garis 3). Perilaku ini terbentuk karena fungsi utama bangunan bendung tersebut yang mampu menampung potensi debit aliran sungai untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan 3. Section 3 (garis 5 dan 6) Demikian pula dengan efek kebijakan tersebut pada pemanfaatan air sungai di section 3, efek implementasi kebijakan ini terhadap debit yang dapat dimanfaatkan sangat besar. Hal tersebut dapat dilihat dari simulasi model yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa pada perilaku debit yang dapat dimanfaatkan setelah kebijakan tersebut efektif (2015) (garis 6) bila dibandingkan dengan perilaku pada skenario dasar (garis 5). Perilaku ini terbentuk karena fungsi utama bangunan bendung tersebut yang mampu menampung potensi debit aliran sungai untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan Kecukupan penyediaan air Sungai Cikapundung di section 1. Gambar (e)
Indikasi kecukupan air untuk masing masing kebutuhan
Pada section 1 tersebut terlihat bahwa dalam skenario dasar (garis 1) akan terjadi kekurangan pasokan air sekitar tahun 2022, namun dengan diimplementasikannya kebijakan pembangunan bendung yang mampu mendistribusikan potensi debit Sungai Cikapundung sesuai dengan kebutuhan maka indikasi kurangnya pasokan air untuk berbagai kebutuhan tidak pernah terjadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa efek implementasi kebijakan tersebut dalam mengatasi permasalahan kebutuhan air dari Sungai Cikapundung mampu diatasi. Dalam skenario dasar, kebutuhan pasokan air untuk produksi linstrik (garis 1) dan untuk irigasi (garis 2) akan mengalami kekurangan pada sekitar tahun 2022, sedangkan untuk kebutuhan air minum dapat selalu terpenuhi. Namun dengan mulai efektifnya kebijakan pemban-
168
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
Gambar (f)
gunan bendung, kurangnya pasokan air untuk kebutuhan produksi listrik dan untuk irigasi tersebut dapat teratasi (garis 2 dan 4).
PDRB Cekungan Bandung
1. PDRB Industri (garis 1 dan 2)
Gambar (g)
Penerapan kebijakan pembangunan bendung yang sangat efektif dalam memberikan kestabilan pasokan air untuk berbagai kebutuhan (listrik, air minum dan irigasi) mempunyai pengaruh positif (walaupun tidak terlalu signifikan) terhadap pertumbuhan PDRB sektor industri. Hal ini karena tercukupinya kebutuhan listrik akan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan investasi sektor tersebut. 2. PDRB Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4) Demikian halnya dengan pengaruhnya terhadap sektor jasa dan perdagangan, penerapan kebijakan pembangunan bendung yang sangat efektif dalam memberikan kestabilan pasokan air untuk berbagai kebutuhan (listrik, air minum dan irigasi) mempunyai pengaruh positif (walaupun tidak terlalu signifikan) terhadap pertumbuhan PDRB sektor jasa dan perdagangan. Hal ini karena tercukupinya kebutuhan listrik akan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan investasi sektor tersebut. 3. PDRB total (garis 5 dan 6) Penerapan kebijakan pembangunan bendung yang sangat efektif dalam memberikan kestabilan pasokan air untuk berbagai kebutuhan (listrik, air minum dan irigasi) inin juga memberikan pengaruh positif (walaupun tidak terlalu signifikan) terhadap pertumbuhan PDRB sektor total. Hal ini karena tercukupinya kebutuhan listrik akan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan investasi di berbagai sektor.
Pertumbuhan Kapitalisasi Industri, Jasa dan Perdagangan di Cekungan Bandung Gambar (h)
1. Kapital Industri (garis 1 dan 2) Seperti halnya pada pertumbuhan PDRB, penerapan kebijakan pembangunan bendung yang sangat efektif dalam memberikan kestabilan pasokan air untuk berbagai kebutuhan (listrik, air minum dan irigasi) mempunyai pengaruh positif (walaupun tidak terlalu signifikan) terhadap pertumbuhan investasi sektor industri sehingga pertumbuhan kapital industri juga akan tumbuh lebih baik. Hal ini
169
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
karena tercukupinya kebutuhan listrik akan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan investasi sektor tersebut. 2. Kapital Jasa & Perdagangan (garis 3 dan 4) Demikian halnya dengan pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan, penerapan kebijakan pembangunan bendung yang sangat efektif dalam memberikan kestabilan pasokan air untuk berbagai kebutuhan (listrik, air minum dan irigasi) mempunyai pengaruh positif (walaupun tidak terlalu signifikan) terhadap pertumbuhan investasi sektor jasa dan perdagangan sehingga pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan juga akan tumbuh lebih baik. Hal ini karena tercukupinya kebutuhan listrik akan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan investasi sektor tersebut. Pertumbuhan populasi penduduk Cekungan Bandung Gambar (i)
Pertumbuhan populasi penduduk DAS Cikapundunh Hulu Gambar (j)
Dengan adanya sedikit pengaruh positif dari implementasi kebijakan ini pada pertumbuhan kapital industri serta jasa dan perdagangan, maka kebijakan tersebut juga berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung. Hal ini karena dalam setiap investasi baik di sektor industri maupun sektor jasa dan perdaganagn akan menarik kebutuhan tenaga kerja baru dimana sebagian diantaranya dipenuhi dari tenaga ahli migran (inmigrasi). Selain itu peningkatan indikasi ketersediaan air juga mempunyai efek positif terhadap fraksi kelahiran dan efek negatif terhadap Kematian. Dengan demikian secara keseluruhan terjadi peningkatan pertumbuhan pendudun di Cekungan Bandung bila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk pada skenario dasar, terutama peningkatan tersebut terlihat mulai tahun 2028. Pengaruh implementasi kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di DAS Cikapundung Hulu tidak begitu terlihat. Hal ini karena di dalam model, penduduk di DAS (yang merupakan bagian dari penduduk Cekungan Bandung) diturunkan dari rasio pertumbuhan penduduk DAS terhadap penduduk Cekungan Bandung. Dengan demikian, karena efek kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung relatif sangat kecil, maka efek kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan penduduk DAS cenderung tidak terlihat,
170
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
meskipun secara logika seharusnya tetap ada.
VI.4. Pemilihan Skenario Kebijakan Pemulihan Ketersediaan Air di DAS Cikapundung Hulu Keempat kebijakan yang direkomendasikan tersebut di atas bukannya tanpa kendala dan permasalahan dalam implementasinya di lapangan. Namun demikian, di samping berbagai kendala yang dihadapi, banyak juga kelebihan yang dimiliki oleh kebijakan ini bila dibandingkan dengan kebijakan lain yang sejenis. Berikut ini disampaikan kendala dan permasalahan serta kelebihan dari masing-masing kebijakan yang akan diimplementasikan. 1.
Skenario implementasi kebijakan pembangunan rusunami Kendala dan permasalahan: a. Di bidang pertanahan, yang antara lain adalah keterbatasan tanah di kawasan perkotaan, termasuk keterbatasan pemanfaatan tanah negara dan BUMN/D, belum ada aturan yang mengatur perolehan lahan untuk rusunami dengan cara hibah/pelepasan aset, ruislag, dan penyerahan lahan dari BUMN ke BUMN. Selain itu belum ada pengaturan tentang konsolidasi tanah untuk rusunami, serta belum ada ketentuan tentang pengadaan tanah untuk pembangunan rusunami sebagai kepentingan umum. b. Di bidang pembiayaan dan pajak antara lain adalah belum adanya implementasi secara nasional tentang keringanan atau pembebasan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), belum ada revisi tentang nilai jual objek pajak (NJOP) bagi tanah negara, serta belum terbitnya aturan teknis pelaksanaan penetapan PPH final 1 persen dan PPN masukan dari Menteri Keuangan. c. Kurangnya alokasi dana APBN untuk bantuan stimulus prasarana dan sarana utilitas rusunami, terbatasnya sumber dana murah untuk
171
pembiayaan kredit konstruksi dan kredit kepemilikan asset (KPA) rusunami, dan sebagainya. d. Mengingat sifat bangunan permukiman yang vertikal sehingga dengan lahan yang terbatas mampu menampung jumlah penduduk yang sangat banyak, maka kebutuhan sarana dan prasarana penduduk/penghuni rusunami terutama terkait kebutuhan air bersih dapat menjadi kendala. Sehingga perlu disiapkan secara baik dengan melihat kemampuan pasokan/ ketersediaan air yang kontinyu di kawasan tersebut. e. Di bidang perizinan, kendala yang dihadapi antara lain belum adanya dukungan Perda untuk mempercepat proses perizinan dan keringanan retribusi. Proses perizinan hampir sama dengan proses perizinan pembangunan hotel dan gedung lain. Selain itu proses AMDAL masih menggunakan proses yang normal dan belum ada percepatan waktu. f. Di bidang infrastuktur ada kendala dalam rancang bangun rusunami yang berakibat pada masih mahalnya biaya konstruksi bangunan. g. Implementasi kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan secara cepat, karena sifat bangunan fisik (konstruksi) yang memerlukan beberapa tahapan dalam implementasinya, yang antara lain meliputi feasibility study, AMDAL, detail disain, tahap konstruksi hingga pemasarannya. h. Implementasi kebijakan ini sedikit mengurangi kapasitas aliran debit Sungai Cikapundung karena sebagian potensi air mengalami infiltrasi ke dalam tanah, sehingga diperlukan implementasi kebijakan lain untuk lebih melengkapi kebijakan tersebut. i. Meskipun telah sedikit berkurang namun alih fungsi lahan hutan masih saja terjadi di kawasan ini, sehingga potensi bencana seperti banjir dan tanah longsor masih tetap ada. Kelebihan: a. Implementasi kebijakan tersebut telah dilaksanakan secara nasional melalui Kementerian Negara Perumahan Rakyat, sehingga dukungan politis cukup tinggi serta lebih mudah dalam melakukan sosialisasi implementasinya. Berbagai daerah (termasuk Kota Bandung) telah 172
mengimplemantasikan kebijakan tersebut tetapi masih terbatas untuk kawasan perkotaan. b. Masyarakat telah mulai sadar akan konsep hunian yang tidak selalu horisontal dengan aspek kepemilikan tanah untuk masing-masing hunian, namun sudah mulai bergeser dengan pertimbangan efisiensi dan kemudahan akses melalui konsep hunian vertikal (apartemen). c. Kebijakan ini terbukti mampu meredam tekanan kebutuhan lahan permukiman, sehingga alih fungsi lahan ladang dan sawah menjadi lahan permukiman dapat dihambat. Demikian pula dengan tekanan lahan huta menjadi lahan ladang dan sawah dapat menurun cukup signifikan karena berkurangnya tekanan tersebut. d. Kebijakan ini efektif untuk meningkatkan fungsi hidrologi DAS, terutama dalam menekan laju peningkatan koefisien runoff akibat peningkatan tutupan lahan oleh lahan terbangun, dan juga dalam meningkatkan laju infiltrasi yang akan mampu memberikan suplai yang lebih kontinyu terhadap aliran sungai melalui baseflow maupun terhadap air tanah dalam di Kawasan Cekungan Bandung. e. Telah banyak pengembang (developer) perumahan yang menyatakan siap untuk mendukung pelaksanaan pembangunan rusunami di seluruh kawasan di Indonesia (terutama di kota-kota besar yang padat penduduknya), sehingga pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah) tidak terlalu dibebani dengan aspek pembiayaan untuk implementasinya. Upaya yang telah dilakukan untuk mendukung percepatan implementasi kebijakan : a. Pemerintah telah membentuk Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan (PPRSKP). Tim itu diketuai oleh Menko Perekonomian, sedangkan ketua harian dijabat oleh Menpera, dengan anggotanya adalah semua departemen dan instansi terkait. b. Telah dibentuk beberapa kelompok kerja yang antara lain membidangi pembiayaan, pajak dan investasi; teknologi, pembangunan dan infrastruktur; perizinan dan kemitraan; pertanahan, tata ruang, dan lingkungan 173
hidup, serta kelompok kerja yang mengurusi pengorganisasian penghuni rusunami. c. Menpera sedang membenahi Norma Standar Pelayanan Manual (NSPM) untuk mempercepat pembangunan Rusunami. Selain itu sedang dibenahi kendala terkait pembiayaan, izin, lokasi, termasuk hak atas tanah agar dapat dicarikan jalan keluar terbaik. d. Telah dialokasikan tambahan anggaran untuk subsidi rusunami dari semula sebesar Rp 800 miliar menjadi Rp 2,5 triliun pada 2009. Selain itu pemerintah juga menyiapkan berbagai kemudahan berupa insentif bagi pengembang rusunami. Salah satu bentuk insentif yang bakal diberikan pemerintah adalah pembebasan atau memberi subsidi PPN jasa konstruksi. e. Masih diperlukan koordinasi yang sinergis antara Menpera, PLN, dan PDAM terkait dengan penyediaan infrastruktur, serta dukungan Perda untuk mempercepat proses perizinan dan keringanan retribusi sebagai implementasi dari Permendagri No 74 Tahun 2007. 2.
Skenario implementasi kebijakan pengembalian fungsi hutan Kendala dan permasalahan: a. Area hutan di DAS yang merupakan bagian dari Kawasan Bandung Utara (KBU) yang makin menyempit karena pemerintah Kabupaten dan Kota Bandung belum bisa mengendalikan pembangunan perumahan di kawasan ini. KBU yang seharusnya difungsikan sebagai daerah hijau, sebagian berubah menjadi area perumahan mewah. Hal tersebut diperparah pula dengan perilaku sebagian kecil masyarakat yang gemar melakukan penebangan liar dan kemudian menanaminya dengan sayuran yang tidak mampu menyimpan cadangan air serta akarnya tidak cukup kuat untuk menahan longsor. Akibatnya setiap tahun terjadi longsor di beberapa titik di kawasan Bandung Utara. b. Implementasi kebijakan ini sebenarnya telah dilakukan namun terkesan kurang efektif karena tingginya tekanan politis dan tekanan dari dunia usaha yang ingin mengambil keuntungan dari tingginya daya tarik kawasan Bandung Utara.
174
Kelebihan: a. Implementasi kebijakan tersebut akan mampu memperbaiki kondisi hidrologis DAS, karena lahan hutan merupakan kawasan yang memiliki fungsi utama dalam ekosistem DAS. Dengan terjaganya kawasan lahan hutan yang memiliki koefisien infiltrasi sangat tinggi maka akan dapat diimbangi laju peningkatan koefisien runoff akibat peningkatan tutupan lahan oleh lahan terbangun. Laju infiltrasi yang tinggi akan mampu memberikan suplai yang lebih kontinyu terhadap aliran sungai melalui baseflow maupun terhadap air tanah dalam di Kawasan Cekungan Bandung. b. Terjaganya ekosistem hutan akan mampu menjadi habitat bagi berbagai jenis satwa guna menjaga keanekaragaman hayati. Upaya yang perlu dilakukan untuk mendukung percepatan implementasi kebijakan : a. Kawasan Bandung Utara harus dikembalikan ke fungsinya semula sebagai area penghijauan. Bukit-bukit yang dulunya gundul harus ditanami kembali dengan pepohonan yang sesuai dengan tekstur dan jenis tanah. b. Untuk mengimplementasikan kebijakan ini diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh pihak yang terkait dalam pemanfaatan lahan. Komitmen tersebut dilandasi dengan kesadaran penuh akan pentingnya menjaga kualitas lingkungan DAS untuk keberlanjutan pemanfaatan lahan selanjutnya, terutama guna menghindari berbagai potensi bencana seperti banjir, tanah longsor dan juga kekeringan. c. Agar program reboisasi berhasil maka pemerintah kabupaten dan pemerintah kota Bandung harus bekerjasama dengan pemerintahan provinsi Jawa Barat serta bekerja sama dengan kalangan universitas, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemerhati lingkungan, dan masyarakat setempat. Melibatkan masyarakat secara aktif dalam menjaga hutan merupakan sebuah keharusan karena masyarakatlah yang akan menikmati hasilnya dan masyarakat pula yang bersentuhan langsung dengan wilayah tersebut.
175
d. Perlu pendekatan yang tepat sehingga masyarakat mau terlibat dan merasa perlu untuk menjaga hutan yang ada di sekitar tempat tinggalnya. e. Implementasi kebijakan ini akan sedikit mengurangi kapasitas aliran debit Sungai Cikapundung karena sebagian potensi air mengalami infiltrasi ke dalam tanah, sehingga diperlukan implementasi kebijakan lain untuk lebih melengkapi kebijakan tersebut. f. Kebijakan ini membatasi kebutuhan lahan untuk pertanian dan perkebunan yang dibutuhkan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat terutama di kawasan perdesaan. g. Kebijakan ini cukup mahal untuk diimplementasikan karena masih tetap memerlukan dana reboisasi sedangkan pemanfaatan hutan produksi dihentikan. Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari pemerintah (baik pusat maupun daerah) untuk mengalokasikan dana reboisasi yang cukup besar untuk implementasi kebijakan ini. 3.
Skenario implementasi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori. Kendala dan permasalahan: a. Teknologi lubang resapan biopori ini sangat sederhana, sehingga terkesan kurang baik kinerjanya dan banyak dipandang sebelah mata oleh masyarakat. b. Masyarakat masih menganggap teknologi ini mirip dengan sumur resapan yang kurang berhasil dalam implementasinya. Padahan kegagalan teknologi sumur resapan tersebut lebih karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat serta pembuatannya yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat. c. Diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas, dari wilayah hulu hingga hilir,
sehingga
teknologi
ini
bisa
dirasakan
manfaatnya
untuk
meningkatkan kapasitas air tanah dan mengatasi banjir. d. Karena sampah organik yang ada di dalam lubang akan berbah menjadi kompos, maka diperlukan pemeliharaan secara berkala yang antara lain adalah menjaga lubang tetap terisi sampah organik dengan selalu mengisi
176
sampah organik (apabila menggunakan sampah organik dapur maka setelah ±2 minggu sudah dapat dimanfaatkan sebagai kompos, sedangkan apabila menggunakan sampah kebun (daun/ranting) setelah ±2 bulan sudah dapat menjadi kompos). Pengambilan kompos dari dalam lubang dapat dilakukan dengan menggunakan alat bor yang sama dengan yang digunakan untuk membuat lubang resapan biopori. e. Implementasi kebijakan ini memerlukan dukungan masyarakat, terutama untuk merubah kebiasaan mencampur sampah organik dan anorganik. f. Implementasi kebijakan ini cukup banyak mengurangi kapasitas aliran debit Sungai Cikapundung karena sebagian potensi air mengalami infiltrasi ke dalam tanah, sehingga diperlukan implementasi kebijakan lain untuk lebih melengkapi kebijakan tersebut. g. Kebijakan ini tidak mempengaruhi perilaku pemanfaatan lahan, sehingga alih fungsi lahan hutan masih saja terjadi di kawasan ini, dan potensi bencana seperti banjir dan tanah longsor masih tetap ada. Kelebihan: a. Bermanfaat sebagai penampungan sampah organik, menjaga keanekaragaman hayati dalam tanah, menyuburkan tanah, mendukung penghijauan, serta mengurangi emisi gas rumah kaca akibat pelapukan bahan organik. b. Dari aspek sanitasi bermanfaat untuk menjaga kebersihan akibat (terutama dari sampah organik rumah tangga maupun dari kebun), mencegah polusi udara, serta berfungsi meresapkan air lebih cepat dan lebih banyak. c. Jika pembuatan lubang resapan biopori tersebut dilakukan secara masal oleh masyarakat, maka akan mampu mencegah banjir dan genangan. d. Manfaat lain biopori adalah meningkatkan cadangan air dalam tanah, mencegah amblesnya tanah, menghambat intrusi air laut, serta mengurangi pencemaran air. e. Dapat dibuat tanpa menyita lahan akan tetapi kemampuan penyerapan airnya begitu besar. Pada ukuran ideal, yakni lubang berdiameter 10 cm berkedalaman 100 cm, kemampuan resapan maksimumnya bisa mencapai 25 l liter per m2. 177
f. Implementasi kebijakan ini relatif cukup mudah untuk dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat, hal ini karena pembuatan lubang resapan biopori ini relatif mudah, cepat dan murah. g. Lubang resapan biopori akan menyerap air hujan, yang artinya akan mencegah banjir dan menambah cadangan air tanah. Organisme tanah juga akan memperbaiki ekosistem tanah sehingga tanaman di atasnya ikut diuntungkan. Sampah organik yang terurai juga dapat dipanen sebagai kompos h. Penyerapan air ini tidak akan merusak pondasi bangunan karena air meresap secara merata. Teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka. i. Pembuatan Lubang resapan biopori dapat dilakukan dengan mudah dengan menggunakan bor tanah (bor Lakonserva buatan IPB) yang telah disesuaikan untuk keperluan peresapan air dengan pendekatan biopori seharga Rp 175.000,00 j. Implementasi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori ini telah diuji coba di beberapa kota besar seperti di Jakarta, Bogor dan Bekasi, dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. k. Kebijakan ini terbukti sangat efektif untuk meningkatkan fungsi hidrologi DAS, terutama dalam menekan laju aliran runoff akibat peningkatan tutupan lahan oleh lahan terbangun, dan juga dalam meningkatkan laju infiltrasi yang akan mampu memberikan suplai yang lebih kontinyu terhadap aliran sungai melalui baseflow maupun terhadap air tanah dalam di Kawasan Cekungan Bandung. Upaya yang perlu dilakukan untuk mendukung percepatan implementasi kebijakan : a. Perlu kesadaran dan swadaya masyarakat untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan ini. b. Beberapa syarat dibutuhkan agar lubang resapan biopori dapat efektif, terutama penempatan lubang yang harus memperhitungkan daerah aliran air. Penempatan tersebut dapat dilakukan di saluran pembuangan air, 178
sekeliling batang pohon, pada setiap perubahan kontur taman atau di batasbatas taman. Jarak penempatannya amat tergantung pada kondisi tanah dan intensitas hujan, tapi idealnya antar lubang berjarak 50-100 cm c. Pada kawasan permukiman yang 100 persen kedap air, teknologi lubang resapan biopori ini dapat diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah terlanjur diperkeras menggunakan alat bor. d. Pada saluran air, lubang resapan biopori ini bisa dibuat setiap satu meter dan pada ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang. Sampah organik tidak akan meluap karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang, selain itu tidak akan ada masalah bau yang ditimbulkan dari sampah karena terjadi proses pembusukan secara organik. e. Setiap lahan 100 m2 jumlah ideal LRB yang dibuat adalah sebanyak 30 titik dengan jarak antar lubang 0,5 – 1 m. Bila lubang yang dibuat berdiameter 10 cm kedalaman 100 cm, setiap lubang dapat menampung 7,8 liter sampah organik dari dapur yang berarti tiap lubang dapat diisi sampah organik dapur 2-3 hari dan akan menjadi kompos dalam waktu 15 - 30 hari. Untuk sampah organik dari kebun (daun dan ranting) dapat menjadi kompos dalam waktu 2 – 3 bulan. Hal ini dapat dipercepat dengan penambahan bioaktifator. 4.
Skenario implementasi kebijakan pembangunan bendung Kendala dan permasalahan: a. Implementasi kebijakan ini hanya dapat dilakukan oleh pemerintah dan membutuhkan alokasi anggaran yang sangat besar. b. Implementasi kebijakan tersebut tidak dapat dilakukan secara cepat, karena sifat bangunan fisik (konstruksi) yang memerlukan beberapa tahapan dalam implementasinya, yang antara lain meliputi feasibility study, AMDAL, detail disain, tahap konstruksi hingga pengisian/ penggenangan bendung. c. Dalam proses perencanaannya memerlukan kajian yang sangat detail terutama terkait data hidrologi, klimatologi, dan juga data geologi. 179
d. Dalam pengoperasiannya diperlukan unit pengelola yang mampu mengatur pola operasi bendung dengan baik agar tampungan air dapat semaksimal mungkin dimanfaatkan. e. Diperlukan pemeliharaan yang kontinyu karena adanya ancaman sedimentasi, terutama apabila kondisi lahan di sekitarnya tidak terjaga dengan
baik
(kurangnya
vegetasi),
yang
akan
mengakibatkan
berkurangnya fungsi bendung. f. Kebijakan ini tidak mempengaruhi perilaku pemanfaatan lahan, sehingga alih fungsi lahan hutan masih saja terjadi di kawasan ini, dan potensi bencana seperti banjir dan tanah longsor masih tetap ada. Upaya yang perlu dilakukan untuk mendukung percepatan implementasi kebijakan : a. Pemerintah perlu segera melakukan penelitian awal untuk pembangunan bendung ini, terutama terkait masalah feasibility study dan AMDAL. b. Perlu perencanaan program dan anggaran untuk pembangunan bendung ini dalam APBN atau APBD sehingga pembangunan bendung dapat terealisasi sesuai waktu yang telah ditetapkan. Kelebihan: a. Implementasi kebijakan ini sangat efektif untuk meningkatkan potensi sumber daya air permukaan (aliran sungai), yaitu dengan menampung kelebihan aliran air pada bulan-bulan basah untuk dapat dimanfaatkan lebih maksimal pada bulan-bulan kering. b. Selain menjamin tersedianya pasokan air di sepanjang musim dan dalam jangka waktu yang sangat panjang, bangunan ini juga mampu memberikan fungsi pengendali banjir. Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan dan kelebihan dari masingmasing alternatif skenario kebijakan seperti telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan suatu pilihan rekomendasi implementasi kebijakan pemulihan ketersediaan air di DAS Cikapundung Hulu dengan tetap memperhatikan kualitas lingkungan DAS, sebagai berikut:
180
a. Implementasi kebijakan pembangunan rusunami pada tahun 2010. b. Implementasi pemulihan fungsi hutan mulai tahun 2010 untuk jangka waktu 20 tahun c. Implementasi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori pada seluruh kawasan terbangun (lahan permukiman) mulai tahun 2010. d. Implentasi kebijakan pembangunan bendung pada tahun 2015 sehingga diharapkan pada tahun 2020 bendung sudah dapat beroperasi. Implementasi kebijakan terpilih ini akan coba diintervensikan ke dalam model dan disimulasikan untuk melihat dampak yang terjadi pada perilaku pemanfaatan lahan, laju infiltrasi, runoff, debit sungai, ketersediaan air dari DAS, debit sungai yang dapat dimanfaatkan, kecukupan kebutuhan air, pertumbuhan PDRB dan kapital, serta pertumbuhan penduduk. Gambar VI.17 berikut menunjukkan hasil simulasi implementasi kebijakan tersebut di dalam model dan disandingkan dengan skenario dasar. Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & Bendung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Runoff, Infiltrasi dan Debit Sungai di DAS Cikapundung Hulu
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & Bendung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Pemanfaatan Lahan 9,000 5 6
300,000,000
56
7,000
12
Ha
5 126
12
6,000
2
2
1
1
2 5 6
5,000 4,000
7
2,000
5 8
1,000 7 8
1
68
34
34
78
2 3
7
78
3,000
1
4
8 5 3
5 6
34
7
34
03 4 1,990
8
2,000
2,010
2,020
2,030
Hutan
5
56
56
6
Hutan Perkebunan
Meter Kubik
8,000
Perkebunan Ladang_dan_Sawah
5
6
6 1 2 3
200,000,000 34
2,040
1
12
12
Permukiman
5
6
250,000,000
Ladang_dan_Sawah Permukiman
5
1
1
4
4
4
4
5
2
2
2
3
3
3
2,020
2,030
2,040
2
4
34
1,990
1
3
2,000
2,010
Tahun
6
RunOff RunOff Infiltrasi Infiltrasi Debit_S_Cikapundung Debit_S_Cikapundung
Tahun
(a)
(b)
engaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & Bendung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Indikasi Ketersediaan Air Dari DAS Cikapundung Hulu
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & Bendung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Penurunan Debit Sungai Cikapundung Yang Dapat Dimanfaatkan 250,000,000
12
12
1
2 1 1
0.95
200,000,000
2
46
4
12
12
150,000,000
1 34
56 34
4 2
2,010
2,020
2,030
2,040
1,990
6
56 3
4 1
45
2,000
Tahun
2,010
6 35 2,020
2 3
1 1
50,000,000
2,000
1
2
100,000,000
0.90 1,990
2
2
Meter Kubik
Tanpa Satuan
2 1.00 1 2
3
5 6
5
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_2_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_3_yg_dpt_dimanf
3
2,030
2,040
Tahun
(c)
(d)
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & Bendung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Tidak Tercukupinya Kebutuhan Air di Sungai Cikapundung (Untuk Keperluan Air Minum, PLTA dan Irigasi)
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & Bendung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Indikasi Kecukupan Air Untuk Masing-Masing Kebutuhan di Sungai Cikapundung 1.1
250,000,000 2
2
Meter Kubik
2 1
12 12 150,000,000
2 3
1 2 34
34
1
34
34
4 1
4
4
Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Debit_S_Cikapundung_Section_1_yg_dpt_dimanf Air_yg_Disalurkan Air_yg_Disalurkan
Tanpa Dimensi
1.0 1 2 3 4 5 6 200,000,000
123456
123456
123456
2456
1 2
0.8
3 1
0.7
4 5
3 3
0.6
100,000,000
2
1
0.9
3
6
Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Kecukupan_Produksi_Listrik Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Ketersd_Air_Irigasi Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM Indikasi_Kecukupan_Air_PDAM
1
1,990
2,000
2,010
2,020
Tahun
2,030
2,040
0.5 1,990
2,000
2,010
2,020
Tahun
2,030
2,040
181
(e)
(f)
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & Bendung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Pertumbuhan PDRB 6 5
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & endung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Kapitalisasi Industri sert Jasa & Perdagangan
Milyar Rupiah
1 2 3 4
6 5 200,000 3
5 4
6
56
1234 2,000
56
12 2,010
34
PDRB_industri PDRB_JP PDRB_JP PDRB_Total
1,500,000 1 1,000,000
2 3
PDRB_Total
2,030
01 2 3 4 1,990
2,040
1234 2,000
34 12 2,010
55
12
12 2,020
2,030
2,040
1
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & Bendung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Pertumbuhan Penduduk DAS Cikapundung Hulu 0.8
50 45
1
0.7
40 30 1
25
Juta Jiwa
35 2
20 15
12 12 2,000
Kapital_JP
(h)
Pengaruh Implementasi Kebijakan Pembangunan Rusunami, Biopori, & Bendung serta Pengembalian Fungsi Hutan Terhadap Perilaku Model Penduduk Cekungan Bandung
51 2 0 1,990
Kapital_JP
Tahun
(g)
10
Kapital_Industri Kapital_Industri
1
Tahun
Juta Jiwa
3 4
34
12
12 2,020
4
500,000
1
34
56
PDRB_industri
Milyar Rupiah
3 400,000
01 2 3 4 5 6 1,990
4 3
2,000,000
600,000
0.6
2,010
2,020
2,030
Tahun
(i)
2,040
12
0.5 12
0.4 0.3
12
12
0.2 1 2 1,990
12 2,000
2,010
2,020
2,030
2,040
Tahun
(j)
Keterangan : 1,3,5,7 : Skenario dasar
Gambar V.18.
2,4,6,8 : Skenarion setelah implementasi kebijakan
Pengaruh implementasi kebijakan pembangunan rusunami dan bendung, pembuatan lubang resapan biopori serta pengembalian fungsi hutan terhadap perilaku : (a) pemanfaatan lahan DAS Cikapundung Hulu, (b) runoff, infiltrasi dan debit sungai, (c) indikasi ketersediaan air, (d) penurunan debit sungai yang dapat dimanfaatkan, (e) tidak tercukupinya kebutuhan air, (f) indikasi kecukupan air untuk berbagai kebutuhan, (g) pertumbuhan PDRB, (h) pertumbuhan kapitalisasi industri, jasa dan perdagangan, (i) populasi penduduk CekunganBandung, (j) populasi penduduk DAS Cikapundung Hulu.
182
Dengan mengimplementasikan kebijakan terpilih ini, maka pengaruh kebijkan tersebut terhadap berbagai perilaku variabel-variabel di dalam model dapat duraikan sebagai berikut: Tabel VI.5. Analisis simulasi model sebagai efek kebijakan terpilih. Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
1. Pembangunan bendung
Pemanfaatan lahan
(Skenario 4)
(gambar a)
Analisis Terhadap Simulasi Model
1. Lahan Hutan (garis 1 dan 2) Lahan hutan mengalami peningkatan yang sangat signifikan (garis 2) bila dibandingkan dengan skenario dasar (garis 1). Dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa setelah diimplementasikannya kebijakan tersebut maka kondisi hutan mulai pulih dan selama 10 tahun cendrung stabil untuk kemudian seiring dengan berakhirnya masa berlaku kebijakan pengembalian fungsi hutan maka kondisi hutan kembali menurun secara perlahan. Kebijakan pengembalian fungsi hutan paling dominan di dalam menentukan perilaku lahan hutan tersebut, namun demikian kebijakan pembangunan rusunami pun turut membantu kondisi tersebut dengan mengurangi tekanan kebutuhan akan lahan permukiman. 2. Lahan Perkebunan (garis 3 dan 4) Sebagai efek dari kebijakan ini maka luas lahan perkebunan mengalami sedikit penurunan (garis 4) bila dibandingkan dengan skenario dasar (garis 3). Hal ini karena laju tebangan hutan menjadi lahan perkebunan dihentikan dan upaya rebosisasi tetap dijalankan. 3. Lahan Sawah dan Ladang (garis 5 dan 6) Efek kebijakan ini dirasakan pula oleh lahan ladang dan sawah. Meskipun pada awalnya terlihat penurunan lahan ladang dan sawah lebih cepat dari skenario dasar namun pada akhirnya lahan ladang dan sawah yang diintervensi oleh kebijakan (garis 6) mampu melampaui lahan ladang dan sawah pada skenario dasar (garis 5) dan bahkan cenderung terus naik (pada skenario dasar lahan ladang dan sawah tersebut terus menurun). Hal ini terjadi karena pada awal implementasi kebijakan pengembalian fungsi lahan hutanmenyebabkan lahan ladang dan sawah mengalami dua tekanan yaitu dari kebutuhan lahan permukiman dan dari kebutuhan reboisasi. Namun dengan berkurangnya tekanan dari lahan permukiman
183
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
akibat efektifnya kebijakan pembangunan rusunami dan berakhirnya masa kebijakan pengembalian fungsi lahan hutan maka lahan ladang dan sawah kembali meningkat.
4. Lahan Permukiman (garis 7 dan 8) Pengaruh implementasi kebijakan terhadap lahan permukiman cukup besar, dimana terjadi penurunan kebutuhan lahan permukian yang cukup signifikan (garis 8) bila dibandingkan dengan skenario dasar (garis 7). Dapat terlihat sejak mulai efektifnya kebijakan pembangunan rusunami (tahun 2013) telah terjadi penurunan lahan permukiman sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan. Namun demikian, secara keseluruhan luas lahan permukiman tersebut masih akan tetap meningkat seiring berjalannya waktu. Pengaruh implementasi kebijakan langsung dirasakan dengan menurunnya penggunaan lahan untuk lahan permukiman (karena sebagian penduduk menempati rusunami yang merupakan hunian vertikal sehingga mampu menampung penduduk dengan kepadatan per luas lahan sangat tinggi). Runoff, infiltrasi dan debit sungai, (gambar b)
1. Runoff (garis 1 dan 2) Terjadi penurunan yang sangat signifikan pada aliran runoff setelah diimplementasikannya kebijakan ini. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan telah terjadi penurunan aliran runoff yang sangat tajam sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga tidak lagi meningkat seperti pada skenario dasar (garis 1) namun mangalami penurunan tajam meskipun pada akhirnya cenderung konstan (garis 2). Perilaku ini terjadi terutama karena efek dari kebijakan pembuatan lubang resapan biopori ini mampu mengembalikan koefisen runoff pada daerah permukiman mendekati koefisien runoff pada lahan perkebunan. Kondisi tersebut menyebabkan sebagian besar air hujan tidak lagi melimpas sebagai aliran runoff namun akan mampu berinfiltrasi dengan cepat ke dalam tanah membentuk aliran dalam tanah yang berupa baseflow yang mengisi aliran sungai maupun pasokan air tanah dalam untuk Kawasan
184
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
Cekungan Bandung. 2. Infiltrasi (garis 3 dan 4) Berlawanan dengan kondisi aliran runoff, pada aliran infiltrasi terjadi peningkatan yang sangat besar setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan telah terjadi peningkatan aliran infiltrasi yang sangat signifikan sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga meskipun pada akhirnya cenderung konstan (garis 4) namun bila dibandingkan pada skenario dasar (garis 3) yang terus mengalami penurunan, efek kebijakan tersebut terhadap laju infiltrasi dinilai sangat baik. Aliran infiltrasi tersebut sebagian akan mengalir sebagai baseflow dan sebagian lagi akan menjadi aliran air tanah dalam untuk mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Efek ini terutama disebabkan karena efektifnya kebijakan pembangunan lubang resapan biopori. 3. Debit Sungai Cikapundung (garis 5 dan 6) Seperti halnya aliran runoff, terjadi penurunan pada debit Sungai Cikapundung setelah diimplementasikannya kebijakan. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil simulasi bahwa sejak mulai efektifnya kebijakan (tahun 2012) telah terjadi penurunan debit sungai sebagai efek dari diimplementasikannya kebijakan, sehingga debit sungai mulai menurun hingga akhirnya cenderung stabil (garis 5) dan tidak lagi terus meningkat seperti pada skenario dasar (garis 6). Perilaku penurunan debit aliran sungai ini terjadi karena debit aliran sungai berasal dari 2 sumber yaitu baseflow dan runoff. Dengan menurunnya aliran runoff (meskipun baseflow juga akan meningkat dengan meningkatnya aliran infiltrasi) namun karena peenurunan runoff masih lebih besar dari pada peningkatan baseflow maka secara keseluruhan akumulasi debit sungai selama setahun mengalami penurunan. Apabila ditinjau secara sekilas, penurunan tersebut terkesan berdampak kurang baik bagi ketersediaan air, namun sebenarnya banyak aspek positif yang terjadi dari perilaku penurunan debit sungai tersebut. Di dalam model ini diskretisasi waktu adalah tahunan (1 tahun) sehingga sensitifitas hasil simulasi masih mampu melihat perubahan perilaku tersebut dalam bulanan. Mengingat di
185
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
bahwa di dalam 1 tahun terjadi 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau maka untuk analisis hidrologi akan lebih baik apabila mempertimbangkan kondisi tersebut, dimana pada musim hujan akan terjadi debit ekstrim basah sedangkan di musim kemarau akan terjadi debit ekstrim kering. Kondisi hidrologi yang buruk (kritis) adalah apabila gap antara debit ekstrim basah dan debit ekstrim kering tersebut sangat tinggi yang menandakan bahwa dalam sistem tersebut aliran runoff sangat besar sedangkan baseflow sangat rendah, yang berakibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau dan potensi banjir pada musim hujan. Di dalam implementasi kebijakan ini terlihat bahwa terjadi upaya perbaikan atas kondisi tersebut, dimana aliran runoff diupayakan untuk ditekan agar tidak terus meningkat dan sebaliknya akan ditinghkatkan aliran infiltrasi dan sekaligus baseflow guna memperbaiki kualitas kondisi hidrologi. Efek ini terutama disebabkan karena efektifnya kebijakan pembangunan lubang resapan biopori. Implementasi kebijakan pembuatan lubang resapan biopori dinilai cukup baik untuk mendukung upaya tersebut karena akan ikut menekan semakin meningkatnya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun (permukiman) yang dapat berakibat meningkatnya koefisien runoff. Indikasi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu Gambar (c)
Debit Sungai Cikapundung
Terjadi perbaikan yang sangat signifikan atas ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Di dalam simulasi tersebut terlihat bahwa terjadi lonjakan indikasi ketersediaan air dan tidak lagi terjadi penurunan atas potensi ketersediaan air tersebut. Perbaikan tersebut mulai terlihat setelah efektifnya kebijakan (tahun 2012) dimana potensi ketersediaan air tidak lagi menurun akan tetapi terus meningkat hinggga akhir masa simulasi. Perilaku tersebut terjadi karena meningkatnya laju aliran infiltrasi yang sebagian akan mengisi cadangan air tanah di Kawasan Cekungan Bandung. Efek ini terutama disebabkan karena efektifnya kebijakan pembangunan lubang resapan biopori. 1. Section 1 (garis 1 dan 2) Implementasi kebijakan ini cukup efektif dalam
186
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
yang dapat dimanfaatkan Gambar (d)
Analisis Terhadap Simulasi Model
meningkatkan kapasitas debit Sungai Cikapundung yang dapat dimanfaatkan. Hal tersebut terutama ditopang oleh efektifnya implementasi kebijkan pembangunan bendung yang ditujukan untuk meningkatan pemanfaatan debit air Sungai Cikapundung sehingga efek implementasi kebijakan tersebut terhadap debit yang dapat dimanfaatkan sangat besar. Kondisi tersebut dapat dilihat dari simulasi model yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa pada perilaku debit yang dapat dimanfaatkan setelah kebijakan tersebut efektif (tahun 2020) (garis 2) bila dibandingkan dengan perilaku pada skenario dasar (garis 1). Perilaku ini terbentuk karena fungsi utama bangunan bendung tersebut yang mampu menampung potensi debit sungai untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan. 2. Section 2 (garis 3 dan 4) Seperti halnya pada section 1, efek implementasi kebijakan ini terhadap debit yang dapat dimanfaatkan sangat besar. Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap kondisi ini terutama adalah kebijakan pembangunan bendung. Hal ini dapat dilihat dari simulasi model yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa pada perilaku debit yang dapat dimanfaatkan setelah kebijakan pembangunan bendung tersebut efektif (tahun 2020) (garis 4) bila dibandingkan dengan perilaku pada skenario dasar (garis 3). Perilaku ini terbentuk karena fungsi utama bangunan bendung tersebut yang mampu menampung potensi debit aliran sungai untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan 3. Section 3 (garis 5 dan 6) Demikian pula dengan efek kebijakan tersebut pada pemanfaatan air sungai di section 3, efek implementasi kebijakan ini terhadap debit yang dapat dimanfaatkan sangat besar. Hal tersebut dapat dilihat dari simulasi model yang menunjukkan peningkatan yang luar biasa pada perilaku debit yang dapat dimanfaatkan, terutama setelah kebijakan pembangunan bendung efektif (tahun 2020) (garis 6) bila dibandingkan dengan perilaku pada skenario dasar (garis 5). Perilaku ini terbentuk karena fungsi utama bangunan bendung tersebut yang mampu menampung potensi debit sungai untuk dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan
187
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Kecukupan penyediaan air Sungai Cikapundung di section 1. Gambar (e)
Indikasi kecukupan air untuk masing masing kebutuhan Gambar (f)
PDRB Cekungan Bandung Gambar (g)
Analisis Terhadap Simulasi Model
Pada section 1 tersebut terlihat bahwa dalam skenario dasar (garis 1) akan terjadi kekurangan pasokan air sekitar tahun 2022. Dengan diimplementasikannya kebijakan terlihat bahwa pada awalnya terjadi penurunan ketersediaan air yang lebih tajam dan ada indikasi bahwa kekurangan pasokan air akan terjadi lebih cepat, namun dengan mulai efektifnya kebijakan pembangunan bendung yang mampu mendistribusikan potensi debit Sungai Cikapundung sesuai dengan kebutuhan, maka indikasi kurangnya pasokan air untuk berbagai kebutuhan tidak pernah terjadi. Hal tersebut menunjukkan bahwa efek implementasi kebijakan tersebut dalam mengatasi permasalahan kebutuhan air dari Sungai Cikapundung mampu diatasi. Dalam skenario dasar, kebutuhan pasokan air untuk produksi linstrik (garis 1) dan untuk irigasi (garis 2) akan mengalami kekurangan pada sekitar tahun 2022, sedangkan untuk kebutuhan air minum dapat selalu terpenuhi. Namun dengan mulai efektifnya kebijakan pembangunan bendung, kurangnya pasokan air untuk kebutuhan produksi listrik dan untuk irigasi tersebut dapat teratasi (garis 2 dan 4). Kondisi ini terutama karena efektifnya kebijakan pembangunan bendung. 1. PDRB Industri (garis 1 dan 2) Penerapan kebijakan ini sangat efektif dalam memberikan kestabilan pasokan air untuk berbagai kebutuhan (listrik, air minum dan irigasi) dan juga terhadap indikasi ketersediaan air dari DAS Cikapundung Hulu untuk pasokan Kawasan Cekungan Bandung. Dengan kondisi tersebut maka pertumbuhan PDRB sektor industri di Kawasan Cekungan Bandung akan ikut terdorong sehingga tumbuh sedikt lebih pesat (garis 2) dari pada skenario dasar (garis 1). 2. PDRB Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4) Demikian halnya dengan pengaruhnya terhadap sektor jasa dan perdagangan, penerapan kebijakan ini juga sangat efektif untuk ikut meningkatkan pertumbuhan PDRB sektor jasa dan perdagangan di Kawasan Cekungan Bandung sehingga tumbuh sedikt lebih pesat (garis 4) dari pada skenario dasar (garis 3).
188
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
3. PDRB total (garis 5 dan 6) Pengaruh positif tersebut terlihat pula dalam perilaku peningkatan PDRB total (garis 6) bila dibandingkan dengan perilaku pertumbuhan PDRB total dalam skenario dasar (gambar 5). Pertumbuhan Kapitalisasi Industri, Jasa dan Perdagangan di Cekungan Bandung Gambar (h)
1. Kapital Industri (garis 1 dan 2) Seperti halnya pada pertumbuhan PDRB, penerapan kebijakan ini juga mempunyai pengaruh positif (walaupun tidak terlalu signifikan) terhadap pertumbuhan investasi sektor industri, sehingga pertumbuhan kapital industri juga akan tumbuh lebih baik. Hal ini karena tercukupinya kebutuhan listrik dan juga ketersediaan air dari DAS Cikapundung yang stabil yang akan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan investasi sektor tersebut. 2. Kapital Jasa dan Perdagagan (garis 3 dan 4) Demikian halnya dengan pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan, penerapan kebijakan pembangunan bendung yang sangat efektif dalam memberikan kestabilan pasokan air untuk berbagai kebutuhan (listrik, air minum dan irigasi) mempunyai pengaruh positif (walaupun tidak terlalu signifikan) terhadap pertumbuhan investasi sektor jasa dan perdagangan sehingga pertumbuhan kapital jasa dan perdagangan juga akan tumbuh lebih baik. Hal ini karena tercukupinya kebutuhan listrik dan juga ketersediaan air dari DAS Cikapundung yang stabil yang akan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan investasi sektor tersebut.
Pertumbuhan populasi penduduk Cekungan Bandung Gambar (i)
Dengan adanya pengaruh positif dari implementasi kebijakan ini pada pertumbuhan kapital industri serta jasa dan perdagangan, maka kebijakan tersebut juga berpengaruh pada pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung. Hal ini karena dalam setiap investasi baik di sektor industri maupun sektor jasa dan perdagangan akan menarik kebutuhan tenaga kerja baru dimana sebagian diantaranya dipenuhi dari tenaga ahli migran (inmigrasi). Selain itu peningkatan indikasi ketersediaan air juga mempunyai efek positif terhadap fraksi kelahiran dan efek negatif terhadap Kematian. Dengan demikian secara keseluruhan terjadi peningkatan pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung bila dibandingkan dengan pertumbuhan pendu-
189
Skenario Kebijakan
Dampak Terhadap
Analisis Terhadap Simulasi Model
duk pada skenario dasar, terutama peningkatan tersebut terlihat mulai tahun 2028. Pertumbuhan populasi penduduk DAS Cikapundung Hulu Gambar (j)
Pengaruh implementasi kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di DAS Cikapundung Hulu tidak begitu terlihat. Hal ini karena di dalam model, penduduk di DAS (yang merupakan bagian dari penduduk Cekungan Bandung) diturunkan dari rasio pertumbuhan penduduk DAS terhadap penduduk Cekungan Bandung. Dengan demikian, karena efek kebijakan terhadap pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung relatif sangat kecil, maka efek kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan penduduk DAS cenderung tidak terlihat, meskipun secara logika seharusnya tetap ada.
Dari hasil analisis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa skenario implementasi kebijakan ini cukup efektif dalam mengatasi beberapa permasahan yang terjadi di DAS, sebagai beikut: 1. Terpenuhinya kebutuhan pasokan air Sungai Cikapundung untuk berbagai kebutuhan (PDAM, PLTA dan irigasi). 2. Terjaminnya kestabilan pasokan air tanah dalam dari DAS Cikapundung Hulu untuk Kawasan Cekungan Bandung 3. Terjaganya fungsi lahan hutan sebagai kawasan konservasi yang sangat penting untuk menjaga kualitas fungsi hidrologi DAS. 4. Terpenuhinya kebutuhan lahan permukiman bagi penduduk DAS 5. Terjaganya pertumbuhan perekonomian Kawasan Cekungan Bandung melalui keandalan pasokan air tanah dalam dari DAS Cikapundung Hulu. 6. Berkurangnya risiko bencana banjir dan tanah longsor karena terjaganya kondisi hutan dan turunnya laju runoff di DAS. Dengan demikian implementasi kebijakan terpilih tersebut akan mampu memberikan manfaat yang baik terhadap kehidupan masyarakat baik yang berada di DAS Cikapundung Hulu maupun terhadap masyarakat di Kawasan Cekungan Bandung. Manfaat terhadap masyarakat di kawasan DAS Cikapundung Hulu terutama diperoleh dengan semakin terhindarnya DAS tersebut dari potensi bencana tanah longsor (akibat semakin berkurangnya vegetasi/lahan hutan) 190
maupun bencana banjir. Selain itu ketersediaan air baik yang berupa air permukaan maupun air tanah akan sangat mendukung dalam seluruh aktivitas kehidupan sosial, ekonomi maupun budaya masyarakat. Sedangkan manfaat ketersediaan air (terutama air tanah dalam yang dipasok dari DAS Cikapundung Hulu) akan sangat bermanfaat dalam kehidupan masyarakat di Kawasan Cekungan Bandung (terutama dalam aktivitas ekonomi). Sehingga kontinyuitas ketersediaan air di DAS Cikapundung Hulu ini sangat diharapkan agar manfaatnya dalam menunjang kehidupan masyarakat dapat semakin ditingkatkan. Kondisi tersebut di atas paling tidak akan dapat membantu beberapa kendala yang dihadapi di Kawasan Cekungan Bandung terutama terkait semakin terbatasnya ketersediaan air tanah untuk keperluan industri, sehingga timbul pemikiran untuk memindahkan kawasan industri yang selama ini telah berkembang di Cekungan Bandung. Dengan meningkatkan suplai air tanah dalam untuk Kawasan Cekungan Bandung yang berasal dari seluruh DAS yang ada di Kawasan Cekungan Bandung (atau disebut juga sebagai DAS Citarum Hulu) maka kondisi ketersediaan air tanah dalam di kawasan tersebut dapat dipulihkan. Namun demikian perlu diingat pula karena pengisian air tanah dalam tersebut membutuhkan waktu yang panjang (puluhan tahun). Terkait dengan pemikiran pemindahan kawasan industri dari Cekungan Bandung tersebut seyogyanya ditinjau kembali apakah pemikiran tersebut semata-mata timbul dari permasalahan semakin terbatasnya ketersediaan air tanah di kawasan tersebut dan keberadaan industri akan memperparah kondisi tersebut, ataukah ada pertimbangan lain seperti pencemaran (air dan udara), terlalu dekat dengan kawasan permukiman dan lain sebagainya. Namun demikian, pemindahan kawasan industri tersebut sudah barang tentu akan berpengaruh pula terhadap kehidupan masyarakat terutama dari sisi ekonomi karena sektor industri tersebut selama ini banyak menyerap tenaga kerja, sehingga ada baiknya permasalahan tersebut dikembangkan dalam model lanjutan yang lebih fokus untuk melakukan analisis permasalahan tersebut (karena di dalam model penelitian ini lebih fokus pada kondisi di DAS Cikapundung Hulu dengan menggunakan kondisi penduduk dan perekonomian di Kawasan Cekungan Bandung sebagai unsur yang berpengaruh serta dipengaruhi oleh kondisi DAS).
191