BAB V SIMPULAN, KONTRIBUSI, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN 5.1.
Simpulan
Pokok masalah yang hendak dipecahkan dalam studi ini adalah mengonfirmasi elaboration likelihood model for workplace aggression yang menjelaskan proses kognitif dalam konteks pengingkaran kontrak psikologis. Studi ini penting karena dimotivasi oleh dua hal, pertama elaboration likelihood model for workplace aggression merupakan model konseptual. Pembuktian empiris berguna untuk menguji proposisi konsep proses kognitif dalam elaboration likelihood model for workplace aggression. Kedua, studi menguji peran kontrol diri sebagai faktor disposisional yang dapat meredam munculnya perilaku kerja kontraproduktif akibat pelanggaran kontrak psikologis. Pengujian ini penting karena dapat memberikan informasi bagi manajemen dalam upaya meredam pengaruh negatif perilaku kerja kontraproduktif yang dilakukan karyawan terhadap organisasi. Hasil studi mendukung elaboration likelihood model
for
workplace
aggression
mampu
menjelaskan
proses
kognitif
terbentuknya pelanggaran kontrak psikologis yang dipicu oleh pengingkaran kontrak psikologis. Studi ini diuraikan dalam beberapa pengujian sebagai berikut, pertama menguji pengaruh persepsi pengingkaran kontrak psikologis karyawan terhadap
138
139
perilaku kerja kontraproduktif. Hasilnya, persepsi pengingkaran kontrak psikologis karyawan berpengaruh positif terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Kedua, menguji proses kognitif elaboration likelihood model for workplace aggression melalui peran atribusi pelaku sebagai pemediasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis. Hasilnya, atribusi pelaku signifikan memediasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis. Ketiga, menguji pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Pelanggaran kontrak psikologis berpengaruh positif signifikan terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Keempat, menguji peran moderasi kontrol diri pada pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Hasilnya, kontrol diri tinggi maupun kontrol diri rendah tidak signifikan memoderasi pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif, namun demikian, kontrol diri tinggi lebih mendekati signifikan dibandingkan kontrol diri rendah dalam memoderasi pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Hasil ini tidak mendukung hipotesis empat yang diajukan.
5.2.
Kontribusi
Hasil analisis memberikan kontribusi teoretis dan kontribusi manajemen. Kontribusi teoretis yang diperoleh adalah sebagai berikut, pertama elaboration
140
likelihood
model
for workplace aggression secara signifikan mampu
menjelaskan proses kognitif terjadinya pelanggaran kontrak psikologis akibat pengingkaran kontrak psikologis. Proses kognitif elaboration likelihood model for workplace aggression tidak hanya konseptual, tetapi secara empiris dapat dikonfirmasi. Kedua, penelitian ini untuk mengetahui proses terjadinya perilaku kerja kontraproduktif akibat pengingkaran kontrak psikologis. Meskipun riset empiris mengenai pengingkaran kontrak psikologis dan perilaku kerja kontraproduktif telah dilakukan (Kickul et al., 2002; Zottoli, 2003; Bordia et al., 2008), tetapi peran atribusi pelaku yang mendasari terbentuknya perilaku kerja kontraproduktif kurang diperhatikan. Atribusi pelaku dalam penelitian ini berperan sebagai variabel
pemediasi
pengaruh
pengingkaran
kontrak
psikologis
terhadap
pelanggaran kontrak psikologis. Seseorang yang mempersepsikan pengingkaran kontrak psikologis menjadi emosi, marah atau mengalami pelanggaran kontrak psikologis dalam dirinya. Pelanggaran kontrak psikologis muncul karena atribusi yang dilakukan oleh individu terhadap peristiwa pengingkaran. Hubungan tidak langsung pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis lebih besar daripada hubungan langsung antara pengingkaran kontrak psikologis dan pelanggaran kontrak psikologis. Hasil tersebut mengonfirmasi peran mediasi atribusi pelaku, dengan demikian peran atribusi pelaku sebagai variabel pemediasi dapat mengisi celah dalam literatur pengingkaran kontrak psikologis dan perilaku kerja kontraproduktif.
141
Ketiga, perbedaan konstruk pengingkaran kontrak psikologis dan pelanggaran kontrak psikologis dikonfirmasi secara empiris melalui proses kognitif elaboration likelihood model for workplace aggression. Keempat, hasil pengujian hipotesis menguatkan dukungan terhadap beberapa teori. Pengaruh langsung
pengingkaran
kontrak
psikologis
terhadap
perilaku
kerja
kontraproduktif menguatkan dukungan terhadap teori pertukaran sosial (Blau, 1964). Pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif menguatkan dukungan terhadap frustration aggression theory (Dollard et al., 1939), namun terdapat teori yang tidak didukung oleh hasil studi yaitu teori umum kriminalitas,
Gottfredson dan
Hirschi (1990). Teori ini
menyatakan bahwa kontrol diri rendah adalah karakteristik utama yang dapat menjadi penyebab munculnya perilaku kriminal. Individu kontrol diri rendah yang seharusnya memperkuat pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kontraproduktif dari hasil analisis ternyata tidak signifikan. Kelima, temuan dalam studi mendorong penelitian lebih lanjut. Mayoritas responden dalam studi ini telah bekerja lebih dari 12 tahun, namun demikian pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif signifikan. Temuan ini mendorong penelitian lebih lanjut mengenai bentuk pertukaran (transaksional dan relasional), pendekatan dalam teori pertukaran (norma timbal balik dan instrumental), masa kerja, dan pengaruhnya perilaku.
pada
142
Model
elaboration
likelihood
for
workplace
menerangkan secara spesifik faktor situasional
aggression
tidak
pemicu munculnya perilaku
agresif. Hal ini mendorong dilakukan riset dengan menggunakan anteseden selain pengingkaran kontrak psikologis. Pada studi ini didapatkan bahwa kontrol diri tinggi maupun kontrol diri rendah tidak signifikan dalam memoderasi pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kontraproduktif. Menurut Gottfredson dan Hirschi (1990) dan Grasmick et al. (1993), untuk mengintensifkan munculnya perilaku kerja kontraproduktif, variabel kontrol diri perlu disertai dengan variabel lain, seperti peluang. Informasi tersebut mendorong penelitian lebih lanjut mengenai peran peluang (misalnya dalam bentuk kontrol organisasi) dan kontrol diri dalam mengintensifkan perilaku kerja kontraproduktif yang dipicu oleh pelanggaran kontrak psikologis. Sampson dan John (1990) dalam life course theory menyatakan, keputusan seseorang untuk berkomitmen melakukan tindakan kriminal secara langsung berhubungan dengan harapan terkait dengan budaya. Studi ini mendapatkan mayoritas usia responden lebih dari tiga puluh enam tahun (57,3 %), pada tahap usia
ini
ketidakinginan
responden
untuk
mengungkapkan
perilaku
kontraproduktif dapat disebabkan oleh adanya pengaruh norma budaya sosial yang berkembang. Pemahaman ini
mendorong penelitian lanjutan mengenai
peran budaya dan kontrol diri dalam mengintensifkan munculnya perilaku kerja kontraproduktif akibat pelanggaran kontrak psikologis.
143
Hasil analisis faktor eksploratori yang dilakukan terhadap konstruk perilaku kerja kontraproduktif mengelompokkan konstruk ke dalam dua faktor. Dua faktor tersebut dikategorikan sebagai production deviance dan property deviance (Robinson & Bennet, 1995).
Hasil ini mendorong
dilakukannya
penelitian lanjutan mengenai pengaruh pengingkaran dan pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kontraproduktif production deviance dan property deviance, untuk individu dengan kontrol diri tinggi maupun rendah. Penelitian memberikan kontribusi manajemen melalui peran kontrol diri. Hasil analisis individu dengan kontrol diri tinggi tidak signifikan dalam meredam pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif, namun demikian dibandingkan kontrol diri rendah, individu kontrol diri tinggi memiliki pengaruh yang mendekati signifikan dalam memoderasi hubungan antara pelanggaran kontrak psikologis dan perilaku kerja kontraproduktif. Hasil ini tidak mengonfirmasi hipotesis yang dibangun, yakni hipotesis empat. Individu dengan kontrol diri tinggi yang seharusnya mampu meredam emosi menjadi perilaku
kerja
kontraproduktif,
justru
mendekati
signifikan
dalam
mengintensifkan munculnya perilaku kerja kontraproduktif. Meskipun hanya mendekati signifikan setidaknya bagi pihak manajemen hal ini memberikan informasi bahwa individu dengan kontrol diri tinggi juga mampu berperilaku kontraproduktif.
144
5.3.
Keterbatasan
Keterbatasan studi ini adalah sebagai berikut, pertama, elaboration model for workplace aggression, memiliki keunggulan dibandingkan model lain, yaitu membahas perilaku kerja kontraproduktif melalui tiga jalur proses,
kognitif,
afektif, dan emosi. Studi adalah cross sectional karena hanya mengamati fenomena di satu titik yaitu proses kognitif dan tidak membahas tahapan peristiwa lainnya, yaitu proses afektif dan emosi. Hasil studi terbatas hanya untuk memperoleh informasi ada tidaknya proses kognitif pada pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis, namun tidak dapat diketahui keterkaitan proses keseluruhan dalam elaboration model for workplace aggression. Saran bagi penelitian berikutnya adalah digunakan anteseden yang berhubungan dengan stereotip (strereotype) dan prasangka (prejudice) jika ingin melibatkan proses afektif dan emosi (Douglas et al., 2008), dengan demikian seluruh proses dalam elaboration likelihood model for workplace aggression dapat dikonfirmasi serta dapat dibandingkan satu sama lain. Kedua, data studi ini dikumpulkan dari
responden yang sama dan
dilakukan pada waktu yang sama, oleh karena itu diduga terdapat common method variance (Podsakoff & Organ, 1986). Common method variance tidak bisa dihindari karena informasi proses kognitif erat kaitannya dengan pendapat dan persepsi dalam diri responden atau self report. Responden yang melaporkan mengenai dirinya sendiri dapat menciptakan pelaporan palsu. Hal ini berdampak pada kesalahan pengukuran yang sistematik. Keterbatasan diminimalisasi dengan
145
cara memilih responden dengan tingkat kepatutan sosial rendah, sehingga respon yang diperoleh adalah respon yang murni dan tidak dimanipulasi. Anonimitas juga dilakukan untuk menjaga objektivitas responden, hal ini sesuai dengan pendapat Podsakoff, MacKenzie, Lee, dan Podsakoff (2003). Ketiga, butir pertanyaan dalam studi ini semua diarahkan pada pernyataan negatif sesuai dengan hipotesis yang dibangun dan topik penelitian yang dipilih, yaitu pengingkaran kontrak psikologis dan pengaruhnya terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Responden memiliki kecenderungan menjawab tidak setuju pada semua butir pertanyaan negatif yang diajukan, dengan demikian
meskipun
seluruh hipotesis
secara asosiatif dalam studi ini didukung, tetapi secara
deskriptif
jawaban responden berada di rentang tidak setuju. Studi
rerata
selanjutnya disarankan mengatur kombinasi butir pertanyaan menjadi pernyataan negatif dan pernyataan positif agar mendapatkan reliabilitas jawaban tinggi. Keempat, inti permasalahan tidak diterimanya hipotesis empat dalam studi ini adalah terletak pada rendahnya faktor pengaruh ukuran. Rendahnya faktor pengukuran bersumber dari rendahnya nilai Cronbach alpha individu kontrol diri rendah. Nilai Cronbach alpha yang rendah tidak nampak ketika kontrol diri keseluruhan digabung menjadi satu (Lihat Tabel 4.3), namun ketika dilakukan pemisahan statistik deskriptif untuk individu kontrol diri tinggi dan rendah (Lihat Tabel 4.7 dan 4.8), maka terlihat bahwa konstruk kontrol diri rendah tidak reliabel.
146
Penelitian selanjutnya perlu memperhatikan reliabilitas individu kontrol diri tinggi dan kontrol diri rendah secara terpisah sebelum melanjutkan untuk diuji pengaruhnya dalam suatu model yang diusulkan. Selain itu ada kemungkinan jumlah sampel untuk kontrol diri rendah tidak cukup besar, terutama ketika dipisah dengan individu kontrol diri tinggi.
Studi mendatang perlu
mempertimbangkan jumlah sampel yang mencukupi dari masing-masing kelompok agar memperoleh kekuatan pengujian statistik yang signifikan.
5.4.
Implikasi Penelitian
Tujuan utama studi adalah mengonfirmasi secara empiris proses kognitif elaboration likelihood model for workplace aggression, namun demikian temuan dalam
studi
juga memberikan implikasi bagi praktik. Pertama, studi ini
memberikan pemahaman mengenai istilah pengingkaran kontrak psikologis pada pimpinan perusahaan. Istilah kontrak yang dipahami pada umumnya adalah kontrak formal. Kontrak psikologis adalah suatu bentuk keyakinan individu yang dibentuk oleh organisasi berkaitan dengan kesepakatan pertukaran, pada umumnya tidak tertulis dan hanya bersifat persepsi, antara karyawan dengan organisasinya (Rousseau, 1995). Pemahaman mengenai kontrak psikologis penting untuk mencegah munculnya ketidakseimbangan pertukaran yang dapat memunculkan sikap dan perilaku negatif karyawan di kemudian hari. Kedua, studi juga memberikan pemahaman proses kognitif terbentuknya perilaku kerja kontraprodukif pada organisasi. Pemahaman proses kognitif
147
membantu pimpinan mengetahui alasan terbentuknya perilaku karyawan. Ketiga, studi memberikan informasi bagi pimpinan perusahaan bahwa pengingkaran kontrak psikologis berdampak munculnya perilaku kerja kontraproduktif. Menjaga keseimbangan pertukaran menjadi penting untuk mencegah munculnya perilaku kerja kontraproduktif. Keempat, konsekuensi atau akibat langsung temuan dalam studi ini adalah pada individu dengan kepribadian kontrol diri tinggi. Jika pada studi sebelumnya individu dengan kontrol diri rendah memiliki kecenderungan berperilaku kerja kontraproduktif, dalam penelitian ini individu dengan kontrol diri rendah maupun tinggi sama-sama tidak signifikan dalam memoderasi pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Individu dengan kontrol diri tinggi mendekati signifikan dalam memoderasi pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Implikasinya, meskipun hanya mendekati signifikan pihak manajerial perlu berhati-hati dengan individu yang memiliki kontrol diri tinggi. Perilaku kerja kontraproduktif yang dipilih oleh individu ini cenderung lebih tidak terlihat, tersembunyi, dan hanya diketahui oleh dirinya sendiri, tetapi bisa berdampak buruk pada organisasi. Kelima, hasil analisis tambahan untuk penyelia dengan kontrol diri tinggi umumnya memilih bertindak kontraproduktif dengan cara bekerja, tetapi hanya dengan kualitas dan kuantitas kerja secara minimal (production deviance). Perilaku
merusak, mengambil harta milik perusahaan tanpa izin (property
deviance) tidak dipilih karena berisiko tinggi. Berikut adalah perilaku kerja
148
kontraproduktif yang cenderung dilakukan responden diurutkan berdasarkan rerata terbesar sampai rerata terkecil. Pertama, mengambil istirahat tambahan lebih lama dari yang seharusnya. Kedua, memperlambat kehadiran ke tempat kerja tanpa
izin atau
pemberitahuan. Ketiga menghabiskan waktu untuk
melamun atau berangan-angan, bukan bekerja. Keempat, mengabaikan atau tidak mau mengikuti instruksi dari pimpinan. Kelima, memperlambat kerja secara sengaja dari yang seharusnya dapat dilakukan. Keenam, mengotori lingkungan tempat kerja. Ketujuh, mencurahkan hanya sedikit tenaga pada saat bekerja.