BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Berikut ini dihadirkan beberapa simpulan untuk membingkai dan menata berbagai pembahasan yang telah dipaparkan. Simpulan ini diharapkan dapat mencandrakan seluruh rangkaian kegiatan penelitian tentang Keterjemahan Ungkapan Kinâyah dalam Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia (Telaah Ihwal Keterjemahan UngkapanUngkapan Kinâyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya).
5.1.1 Terjemahan Ungkapan Kinâyah: Denotatif atau Konotatif Salah satu malasah pelik dalam penerjemahan terkait dengan persoalan kultur. Persoalan ini biasanya berhubungan dengan ungkapan-ungkapan kebudayaan semisal kinâyah dan sebangsanya. Persoalan muncul manakala bahasa penerima tidak memiliki ungkapan yang sepadan dengan bahasa sumber, sehingga sulit ditemukan atau tidak ditemukan padanan yang tepat dalam bahasa penerima. Dalam kaitan ini tugas penerjemah sesungguhnya tidak sekadar mencari padanan leksikal dan gramatikal, tetapi juga menemukan cara yang sesuai untuk mengungkapkan sesuatu dalam bahasa lain. Makna berkonteks budaya terajut sangat ruwet (intricately woven) dalam tekstur bahasa, sehingga penerjemah dituntut memiliki kejelian dalam menyikapi dua budaya yang
235 berbeda. Penerjemah harus bisa menangkap warna budaya yang terdapat dalam bahasa sumber seraya mengungkapkannya dalam terjemahan yang dapat dipahami oleh pembaca bahasa sasaran. Telaah ihwal keterjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya ini menunjukkan bahwa dari 77 ungkapan kinâyah sebanyak 40 ungkapan diterjemahkan secara konotatif. Sisanya sebanyak 37 ungkapan kinâyah diterjemahkan secara denotatif. Namun demikian, dari 37 ungkapan kinâyah ini terdapat 17 ungkapan yang mendapat penjelasan lebih jauh dalam bentuk catatan kaki, sehingga amanat yang dibawanya dapat tersampaikan dalam bahasa penerima.
5.1.2 Prosedur/Teknik Penerjemahan Ungkapan Kinâyah Istilah prosedur merujuk pada proses penerjemahan kalimat sebagai unit paling kecil dalam ranah sintaksis. Sebuah kalimat tersusun dari beberapa kata atau frase yang secara sintagmatik mesti diterjemahkan sesuai dengan konteks kalimat itu sendiri. Penanganan kata atau frase dalam proses penerjemahan berada pada tataran teknik penerjemahan. Bisa dikatakan bahwa teknik penerjemahan merupakan cara penerjemahan kata dan frase dengan memperhatikan konteks kalimatnya. Secara umum Al-Quran dan Terjemahnya menggunakan metode harfiah dalam menerjemahkan ayat-ayat Alquran. Metode ini sangat text centered, sampai-sampai struktur bahasa sumber pun, termasuk word order, dipertahankan sedemikian rupa. Penggunaan metode ini juga dipertegas dengan temuan-temuan dalam penelitian ihwal keterjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya. Telaah ihwal keterjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah dalam Al-Quran dan Terjemahnya,
236 khususnya terkait dengan prosedur/teknik yang digunakan, tercandrakan dalam pemerian berikut. Sebanyak 105 ungkapan (75,54%) penerjemahan menggunakan prosedur transposisi, dengan penjabaran 47 ungkapan (33,81%) memakai teknik transfer, 20 ungkapan (14,39%) memakai teknik transmutasi, 20 ungkapan (14,39%) memakai teknik eksplanasi, 12 ungkapan (8,63%) memakai teknik reduksi, 5 ungkapan (3,60%) memakai teknik ekspansi, 1 ungkapan (0,72%) memakai teknik substitusi. Sebanyak 17 ungkapan (12,23%) menggunakan prosedur modulasi. Sebanyak 17 ungkapan (12,23%) menggunakan prosedur ekuivalensi, dengan penjabaran 12 ungkapan (8,63%) memakai teknik deskripsi dan 5 ungkapan (3,60%) memakai teknik korespondensi.
5.1.3 Keterjemahan Ungkapan Kinâyah Bahasa Alquran memiliki karakteristik yang khas dan unik. Bahasa Alquran tidak hanya merujuk pada dunia empiris semata, tetapi juga merujuk pada persoalan-persoalan ilahiah yang bersifat metafisik. Tidak mengherankan kiranya dalam Alquran terdapat banyak ungkapan-ungkapan metafora yang memiliki kedalaman makna dan keluasan cakrawala yang melampaui dimensi ruang dan waktu. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam Alquran terdapat banyak ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk di dalamnya kinâyah, majâz, dan tasybîh. Hal ini bisa dimaklumi mengingat ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis dengan segala keluwesan dan kedalaman maknanya dapat menjembatani nalar manusia yang serba terbatas dengan dimensi ilahiah yang tak berbatas. Kenyataan ini berimplikasi pada sebuah keniscayaan bahwa memahami pesanpesan Alquran tidak bisa berlandaskan pada kaidah-kaidah linguistik semata.
237 Secara teoretis terdapat perbedaan mendasar antara majâz dan kinâyah. Perbedaan ini terletak pada persoalan hubungan antara makna denotatif dan makna konotatif. Sebuah ungkapan majâz harus dipahami secara konotatif, dan sama sekali tidak boleh dipahami secara denotatif. Adapun ungkapan kinâyah, dimaksudkan sebagai suatu tuturan yang diungkapkan untuk menunjukkan maknanya yang lazim (konotatif) disertai konteks yang tidak menghalanginya dari makna asal (denotatif). Namun menurut kelaziman, makna konotatif inilah yang dikehendaki oleh si penutur dengan ungkapan kinâyah. Keunikan konsep kinâyah ini pada gilirannya melahirkan problem tersendiri dalam praktik penerjemahan. Penerjemahan ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis merupakan masalah khusus yang sangat penting. Dalam kaitan ini, problem utama dalam penerjemahan tidak hanya berhubungan dengan masalah struktur, tetapi juga berkaitan dengan masalah kultur. Yang pertama berkenaan dengan aspek linguistik, sementara yang kedua berkenaan dengan ungkapan-ungkapan kebudayaan, termasuk kinâyah di dalamnya. Sekaitan dengan ini terdapat beberapa pilihan yang dapat dilakukan dalam menerjemahkan ungkapan-ungkapan kinâyah. Pertama, jika makna kinâyah dalam Alquran sepadan dengan makna literal yang terdapat dalam bahasa Indonesia, maka ungkapan kinâyah dalam Alquran dapat dialihkan ke dalam bahasa Indonesia secara langsung. Kedua, jika makna kinâyah dalam Alquran tidak sepadan dengan makna literal yang terdapat dalam bahasa Indonesia, maka diperlukan penjelasan tambahan berupa catatan kaki, keterangan dalam kurung, atau paraprase. Wajar kiranya penerjemahan ungkapan-ungkapan yang memiliki nuansa budaya tertentu, semisal kinâyah, seringkali menjadi masalah manakala ungkapan-ungkapan
238 tersebut tidak memiliki padanannya dalam bahasa penerima. Oleh karena itu, dalam penerjemahan lazim terjadi perbandingan dinamis yang melibatkan dua bahasa dan dua kultur sekaligus. Perbandingan ini seringkali mempertegas perbedaan yang ada di antara keduanya. Dalam hal ini sebuah teks terjemahan tidaklah benar-benar ekuivalen dengan teks aslinya. Sesuatu yang kurang (loss) atau sesuatu yang berlebihan (redundant) merupakan keniscayaan dalam terjemahan. Penerjemahan kosakata kebudayaan atau ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk di dalamnya kinâyah, seringkali menimbulkan kesulitan dalam mencari padanan yang pas, berterima, dan mudah dipahami oleh pembaca teks sasaran. Asosiasi yang bersifat kultural sering melahirkan kerancuan manakala diterjemahkan secara harfiah tanpa mengindahkan makna yang sebenarnya. Diperlukan thick translation, berupa catatan kaki, keterangan dalam kurung atau paraprase, untuk memperjelas terjemahan ungkapan-ungkapan kebudayaan. Sebagai contoh penggalan و ا د اyang terdapat dalam surah al-Maidah ayat 64 akan melahirkan ketaksaan semantis manakala dimaknai secara denotatif, yakni Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Padahal, maksud ungkapan tersebut adalah Allah itu kikir. Asosiasi semacam ini tentu saja tidak berterima misalnya dalam kultur orang Sunda. Orang Sunda lazim mengatai orang kikir dengan sebutan buntut kasiran, merengkel jahe. Dalam hal ini kiranya tepat dalam Al-Quran dan Terjemahnya ungkapan tersebut diterjemahkan secara literal tetapi kemudian diberi penjelasan dalam bentuk catatan kaki, yaitu kikir. Contoh lain dalam surah al-Kahfi ayat 42 termaktub ungkapan آ. Secara literal ungkapan ini bermakna membolak-balikkan kedua tangannya. Makna ini tidaklah
239 berterima dan sulit dipahami dalam kultur orang Indonesia. Barulah makna ungkapan ini menjadi jelas, sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan Terjemahnya, manakala dibubuhi keterangan lebih jauh berupa penjelasan dalam kurung, yakni diterjemahkan membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal). Penjelasan dalam kurung ini diperlukan, sebab dalam kultur orang Indonesia ekspresi penyesalan biasanya diungkapkan dengan mengelus dada.
5.1.4 Ungkapan Kinâyah dan Implikasi Terjemahannya Penelitian ini menelaah ihwal keterjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah dalam Alquran. Secara teoretis ungkapan kinâyah berpotensi menimbulkan ketaksaan makna, sebab sebuah ungkapan kinâyah boleh dipahami secara denotatif dan konotatif. Dalam kinâyah, sebenarnya makna yang dikehendaki si penutur adalah makna konotatif, bukan makna denotatif. Kendatipun begitu, makna denotatif ini biasanya menjadi pengantar kepada makna konotatif yang dimaksud, sebab kedua makna ini memiliki nuansa kesamaan dan keterkaitan. Adakalanya sebuah ungkapan kinâyah boleh dipahami secara denotatif dan konotatif secara bersamaan. Sebagai contoh ungkapan اءyang termaktub dalam surah al-Maidah ayat 6. Kalimat اءpada ayat ini merupakan ungkapan kinâyah yang dipahami secara denotatif dan konotatif sekaligus. Sebagian ulama mengatakan bahwa secara denotatif اءberarti kamu telah menyentuh perempuan. Sementara itu ulama lainnya berpendapat bahwa makna ungkapan اءadalah bersetubuh (makna konotatif). Pendapat ini diusung, antara lain, oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, al-Hasan, Qadatah. Jika dipahami seperti ini maka ungkapan
240 اءberarti kamu telah bersetubuh dengan perempuan. Makna konotatif ini juga dipertegas dengan bentuk musyârakah (resiprokal) kata (dibaca lâmastum, bukan lamastum) pada ayat tersebut, yang berarti saling bersentuhan. Dari sini terlihat adanya keterkaitan antara makna menyentuh dan bersetubuh --menyentuh atau saling bersentuhan merupakan bagian dari bersetubuh. Perbedaan pemahaman atas ungkapan kinâyah ini sudah barang tentu berpotensi melahirkan implikasi hukum fikih yang berbeda. Sekaitan dengan ungkapan اءini, misalnya, Imam asy-Syafi’i memahaminya dalam pengertian denotatif, yakni menyentuh. Itu sebabnya menurut mazhab Syafi’i, seorang laki-laki menjadi batal wudu hanya karena menyentuh perempuan. Batalnya wudu bagi laki-laki yang bersentuhan dengan perempuan ini tentu saja tidak berlaku bagi mereka yang memahami ungkapan tersebut secara denotatif. Alhasil, perbedaan cara pandang terhadap ungkapan kinâyah ini dapat berimplikasi pada perbedaan terjemahan, dan sekaligus juga pada penetapan hukum fikih. Sungguh pun begitu, ternyata hasil penelitian membuktikan bahwa hanya dua ungkapan kinâyah dalam Alquran yang menimbulkan implikasi hukum fikih yang berbeda, yakni hanya ungkapan kinâyah yang terdapat dalam surah an-Nisa’ ayat 43 dan surah al-Maidah ayat 6. Penggunaan kinâyah dalam konteks persetubuhan ini, termasuk pula pada beberapa ayat senada (lihat QS 4 an-Nisa’: 23; QS 7 al-A’raf: 189; QS 4 anNisa’: 21; QS 2 al-Baqarah: 187; QS 2 al-Baqarah: 178) dimaksudkan untuk menghindari penggunaan ungkapan-ungkapan kotor, sehingga mitra tutur tidak merasakannya sebagai tuturan yang porno atau vulgar.
241 5.2 Saran Pada bagian simpulan di atas terlihat beberapa masalah khusus yang perlu mendapat perhatian sekaitan dengan penerjemahan ungkapan-ungkapan kinâyah. Sehubungan dengan ini penulis mengemukakan saran terkait dengan kajian ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis. Dalam bahasa Arab, ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforis cukup beragam. Tidak hanya kinâyah, Alquran juga memuat aneka ungkapan metaforis lainnya, semisal tasybîh (tasybîh tamtsîl, tasybîh dhimniy, tasybîh maqlûb), isti’ârah (isti’ârah tashrîhiyyah, isti’ârah makniyyah, isti’ârah tamtsîliyyah, isti’ârah murasysyahah, isti’ârah mujarradah, isti’ârah muthallaqah), dan sebangsanya. Akan sangat menarik bila ungkapan-ungkapan unik semacam ini, apalagi terdapat dalam kitab suci Alquran, mendapat perhatian serius. Penelitian mengenai ungkapan-ungkapan metaforis dalam Alquran ini tidak hanya dilakukan berkenaan dengan aspek keterjemahan (translatability) saja, tetapi juga dari aspek-aspek lainnya. Berbeda dengan bahasa-bahasa yang lain, bahasa Alquran memiliki karakteristik yang khas dan unik. Bahasa Alquran tidak hanya merujuk pada dunia empiris semata, tetapi juga merujuk pada persoalan-persoalan ilahiah yang bersifat metafisik. Dalam Alquran terdapat banyak gaya bahasa îjâz (ringkas, padat, mengena). Selain itu, dalam Alquran juga terdapat banyak ungkapan-ungkapan metafora yang memiliki kedalam makna dan keluasan cakrawala. Bisa dimaklumi, sebab ungkapan-ungkapan metafora dengan segala keluwesan dan kedalaman maknanya dapat menjembatani nalar manusia yang serba terbatas dengan dimensi ilahiah yang tak berbatas. Hal ini tentu saja
242 berimplikasi bahwa memahami pesan-pesan Alquran tidak mungkin hanya berlandaskan pada kaidah-kaidah linguistik semata. Penggambaran estetis (at-tashwîr al-fanniy) semacam ini sesungguhnya merupakan instrumen utama dalam gaya bahasa Alquran. Alquran menghadirkan maknamakna abstrak dengan pencandraan yang nyata, hidup, aktual, berwarna-warni, dan dinamis. Dengan begitu seseorang yang membaca atau menyimak ayat-ayat Alquran akan terpesona dan terlena dengan segenap imajinasinya hingga merasa benar-benar menyaksikan secara nyata atau merasa berada di tengah-tengah peristiwa yang sedang berlangsung. Seakan ia lupa bahwa yang dibacanya atau didengarnya hanyalah susunan huruf-huruf atau rangkaian kata-kata saja. Oleh karena itu, menerjemahkan ayat-ayat Alquran, khususnya ungkapanungkapan yang bernuansa metafora, sejatinya berlandaskan pada kitab-kitab tafsir yang muktabar (diakui). Sekaitan dengan ini, penerjemah Alquran seyogianya lebih mengutamakan tafsîr bil ma’tsûr, yakni menafsirkan ayat dengan ayat, ayat dengan Hadits Nabi, ayat dengan pendapat para sahabat atau tabi’in. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu (1) ayat-ayat Alquran merupakan satu kesatuan yang saling menjelaskan dan menguatkan satu sama lain; (2) Nabi saw. adalah orang yang paling mengetahui makna ayat-ayat Alquran, sebab wahyu diturunkan langsung kepada beliau; (3) para sahabat banyak mengetahui makna ayat-ayat Alquran, sebab mereka pernah hidup bersama beliau, sedangkan para tabi’in pernah hidup bersama para sahabat.