BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut. 1.
Berdasarkan Tipologi Klassen periode 1984-2012, maka ada 8 (delapan) daerah yang termasuk kategori daerah maju dan cepat tumbuh yaitu Kota Kediri, Kota Malang, Kota Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kota Mojokerto, Kota Batu, dan Kota Probolinggo. Daerah yang termasuk dalam kategori daerah berkembang sejumlah 12 kabupaten/kota, terdiri dari Kota Madiun, Lumajang, Banyuwangi, Kota Blitar, Trenggalek, Kediri, Ponorogo, Jember, Tulungagung, Tuban, Mojokerto, dan Bondowoso. Sementara itu, daerah yang masuk dalam kategori relatif tertinggal sebanyak 18 kabupaten/kota, yaitu Nganjuk, Malang, Probolinggo, Lamongan, Magetan, Situbondo, Blitar, Kota Pasuruan, Pacitan, Sampang, Bojonegoro, Jombang, Pasuruan, Ngawi, Madiun, Pamekasan, Bangkalan, dan Sumenep. Tidak ada kabupaten/kota yang termasuk dalam kategori daerah maju tertekan. Berdasarkan tipologi sektoral Jawa Timur tahun 1984-2012, maka sektor yang termasuk dalam kategori sektor prima adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sedangkan yang termasuk sektor potensial adalah sektor keuangan, real estate, dan jasa perusahaan serta sektor pertambangan dan penggalian. Sektor pertanian dan sektor industri pengolahan termasuk dalam kategori cepat maju tapi tertekan, sedangkan sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan,
85
sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa termasuk dalam kategori sektor relatif tertinggal. 2.
Berdasarkan nilai Indeks Williamson, Provinsi Jawa Timur pada kurun waktu 1989-2009 memiliki tingkat ketimpangan yang sangat tinggi, dibuktikan dari nilai Indeks Williamson yang lebih besar dari satu. Hal ini disebabkan oleh adanya daerah yang memiliki hyper PDRB per kapita, yaitu Kota Kediri, Kota Surabaya, Sidoarjo, Gresik, dan Kota Malang. Kondisi hyper PDRB per kapita ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi sektor industri pengolahan di wilayah-wilayah ini, dimana share sektoral terhadap PDRB rata-rata sebesar 30 persen. Namun demikian, nilai Indeks Williamson dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan, meskipun masih termasuk dalam kategori tinggi, yaitu rata-rata sebesar 0,98. Sementara itu, dari hasil perhitungan Indeks Theil, diketahui tren ketimpangan dalam sepuluh tahun terakhir mengalami penurunan.
3.
Dari hasil regresi, variabel Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan share sektor industri berpengaruh signifikan dan positif, artinya peningkatan TPAK maupun kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB dapat menaikkan tingkat ketimpangan. Variabel share sektor perdagangan, hotel dan restoran berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat ketimpangan Provinsi Jawa Timur, artinya kenaikan kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB Jawa Timur akan menurunkan tingkat ketimpangan. Sementara itu, variabel pertumbuhan infrastruktur jalan tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat ketimpangan di Provinsi Jawa Timur.
86
5.2. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah penggunaan data time series untuk melakukan analisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketimpangan pembangunan antarwilayah di Provinsi Jawa Timur. Hal ini dikarenakan terbatasnya ketersediaan data PDRB kecamatan. Bagi penelitian selanjutnya disarankan menggunakan analisis data panel untuk dapat menangkap perbedaan karakter antarwilayah, sehingga dapat diperoleh informasi yang lebih spesifik. Dengan menggunakan data panel, maka variabel dummy dapat digunakan untuk menganalisis perbedaan tingkat ketimpangan antara Jawa Timur bagian utara dan Jawa Timur bagian selatan maupun wilayah industri dan non-industri.
5.3. Saran Berdasarkan hasil analisis dan simpulan dari penelitian ini, maka saran/implikasi baik bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah daerahsebagai berikut. 1.
Program pembangunan Jalan Lintas Selatan (JLS) yang dimulai sejak tahun 2001 dan sampai saat ini masih dalam proses pembangunan, diharapkan dapat segera diselesaikan untuk memperlancar arus barang dan jasa sehingga dapat mendorong aktivitas ekonomi di wilayah-wilayah yang dilalui oleh JLS yang meliputi Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.
2.
Mendorong penyebaran distribusi investasi yang lebih merata ke wilayahwilayah
diluar
kawasan
Gerbangkertosusila,
dengan
tujuan
untuk
menciptakan kutub pertumbuhan baru yang dapat meningkatkan aktivitas
87
ekonomi serta mendorong perkembangan di sektor pariwisata sehingga dapat meningkatkan kinerja sektor perdagangan, hotel dan restoran yang merupakan sektor terbesar ke-dua bagi sebagian besar perekonomian di wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur. Investasi di subsektor pariwisata diarahkan pada klasifikasi kewilayahan (cluster) sesuai RPJMD Provinsi Jawa Timur 2014-2019, yaitu Cluster Agropolitan Ijen (meliputi Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi) dan Cluster Agropolitan Bromo-TenggerSemeru (meliputi Malang, Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang). Sementara itu, sesuai dengan misi Pemerintah Provinsi Jawa Timur yaitu meningkatkan pembangunan ekonomi yang inklusif, mandiri, dan berdaya saing, berbasis agrobisnis/agroindustri dan industrialisasi, maka untuk mengembangkan industri agro, investasi diarahkan ke Cluster Agropolitan Madura (meliputi Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep), Cluster Regional Kelud (meliputi Blitar, Kediri, Tulungagung, Nganjuk, dan Trenggalek) dan Cluster Agropolitan Wilis (meliputi Ngawi, Madiun, Magetan, Ponorogo, dan Pacitan) yang merupakan basis pertanian di Jawa Timur namun termasuk kategori
wilayah
tertinggal
sehingga
perlu
didorong
pertumbuhan
ekonominya. Investasi juga diharapkan diarahkan pada sektor-sektor yang relatif tertinggal, yaitu sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa. Selain itu, upaya menarik masuknya investasi, baik investasi dalam negeri (PMDN) maupun Foreign Direct Investment, sebaiknya diarahkan pada resource-based
88
manufacturing (pertanian dan pertambangan) untuk peningkatan penyerapan tenaga kerja. 3.
Mendorong upaya peningkatan kesejahteraan petani, misalnya melalui penguatan Nilai Tukar Petani. Hal ini penting untuk dilakukan karena daerahdaerah dengan tingkat PDRB per kapita rendah mayoritas mengandalkan perekonomiannya pada sektor pertanian. Sumbangan sektor pertanian di daerah-daerah seperti Pacitan, Sampang, Bangkalan, Trenggalek, Pamekasan, dan Bondowoso cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 40 persen dari total PDRB. Namun demikian, tingginya kontribusi sektor pertanian ini tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan dari tingkat PDRB per kapita. Daerah-daerah dengan basis sektor pertanian justru memiliki tingkat PDRB per kapita yang rendah. Upaya penguatan Nilai Tukar Petani dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya meningkatkan aksesibilitas petani terhadap kredit modal kerja, pelatihan pengolahan hasil pertanian guna menaikkan daya saing produk pertanian, menjaga stabilitas pakan ternak maupun optimalisasi dan peningkatan infrastruktur pertanian.
4.
Pemerintah daerah diharapkan mampu mengenali potensi wilayahnya agar prioritas pembangunan dan pengembangan sektor ekonomi dapat lebih tepat sasaran. Setelah mampu mengenali potensi wilayah, pemerintah daerah harus lebih agresif dalam melakukan promosi daerahnya agar mampu menarik minat investor dan salah satu cara yang dapat ditempuh adalah melalui program city branding.
89
5.
Mendorong terwujudnya equal opportunity, melalui peningkatan kualitas, kuantitas dan aksesibilitas sarana pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat sehingga dapat menciptakan sumber daya manusia berkualitas yang mampu bersaing dan berperan aktif dalam perekonomian serta mampu mendorong terciptanya demand akan barang dan jasa, dimana selain investasi dan infrastruktur, demand juga merupakan faktor krusial bagi pertumbuhan ekonomi, sedangkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri merupakan sufficient condition bagi upaya penurunan ketimpangan pembangunan antarwilayah.
90