219
BAB V SIMPULAN A. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis Keesaan Tuhan dalam Mantra Sahadat Sunda Di Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi, maka penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1) Simpulan Struktur Dalam menganalisis struktur kita menganalisis formula sintaksis yang mendominasi dari ketiga teks MSS di Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi adalah fungsi subjek dan keterangan (tempat dan suasana perasaan). Dominasi fungsi subjek dalam teks MSS menandakan teks mantra dini mendeskripsikan (perasaan) pelaku sebagai penutur MSS. Sedangkan fungsi keterangan (tempat dan suasana perasaan) merepresentasikan tempat dan keadaan yang diharapkan penutur MSS. Setiap kata yang merujuk pada keterangan tempat dijadikan sebagai metaforis untuk mencapai tujuan. Dominasi fungsi keterangan dalam teks MSS menandakan jika teks in berisi harapan dari penuturnya. Berdasarkan kategori kata, kelas kata frasa nomina mendominasi teks MSS. Dominasi kelas kata frasa nomina berkaitan dengan alat ‘sahadat’ yang dijadikan media penyampaian harapan. Dalam keseluruhan teks MSS tidak ada kaliamat repetisi. Berdasarkan peran dalam kalimat, kata dalam teks MSS mendominasi sasaran, perbuatan dan pelaku. Dominasi ini berkaitan dengan dominasi fungsi pada teks MSS. Peran pelaku dipengaruhi oleh banyaknya fungsi subjek. Sedangkan peran pelaku dipengaruhi oleh fungsi keterangan. Pola kalimat yang sederhana pada teks MSS membantu dalam proses penciptaan dan pewarisan. Struktur seperti ini memudahkan dalam proses penciptaan karena memiliki susunan kalimat yang rapih. Hal tersebut dikarenakan teks MSS dibentuk dengan kata-kata yang mudah dituturkan dan diingat. Formula bunyi yang mendominasi dari tiga teks MSS di Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi adalah bunyi asonansi yang dominan muncul yaitu vokal /a/, sedangkan bunyi konsonan yang dominan yaitu bunyi parau, bunyi liquida dan bunyi sengau. Bunyi vokal /a/ yang menjadi asonansi paling dominan pada setiap teks, menunjukan jika teks MSS didominasi oleh bunyibunyi yang termasuk dalam bunyi rendah, hal tersebut dikarenakan teks MSS Iis Irmawan Solehah, 2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
220
berisi doa dari penutur yang menginginkan doanya di kabul oleh Allah. Artinya tidak mengherankan jika asonansi /a/ menjadi asonansi yang dominan, karena teks MSS mencerminkan harapan dan keinginan penutur (dominasi vokal /a/ menimbulkan kesan khusyuk). Aliterasi yang mendominasi bunyi-bunyi parau, menghasilkan suasana yang berkaitan dengan kesedihan, namun kombinasi bunyi-bunyi parau dalam teks MSS tidak selalu berkaitan dengan suasana kesedihan, karena dalam teks MSS bunyi parau membangun berbagai suasana, seperti kekuatan dan suasana khusyuk (penuh pengharapan, berkaitan dengan proses berdoa). Konsonan yang dominan muncul yaitu bunyi liquida, efek dari kombinasi bunyi ini menghasilkan bunyi enak didengar dan mudah dituturkan. Repetisi pada suku kata tertentu memudahkan proses penciptaan dan penghafalan, karena dengan pengulangan kata dan suku kata mempermudah pada saat penuturan dan pada saat proses menghafal. Formula irama yang mendominasi dari ketiga teks MSS di Kecamatan Cikarang Timur kabupaten Bekasi adalah didominasi oleh nada-nada bernada pedek, hal tersebut mengindikasikan teks MSS termasuk dalam mantra yang menyertai aktivitas. Dari ketiga teks MSS tidak ditemukan kekhasan (lagam) ketika dituturkan. Pola suku kata yang tidak beraturan menandakan jika teks MSS tidak termasuk dalam ciri-ciri rarakitan dan wawangsulan (termasuk dalam sisindiran Sunda, dengan pola a,b,a,b atau a,a,b,b larik pertama dan kedua berupa sampiran, larik ketiga dan keempat merupakan isi) dalam sastra melayu disebut dengan pantun melayu. Artinya mantra memiliki pola irama dan struktur larik tersendiri. Penempatan larik yang berperan sebagai pembuka, isi, tujuan, penuturan, dan penutup mantra dapat disimpan secara bebas, karena tidak terikat dengan patokan-patokan tertentu. Pada teks MSS terdapat penggunaan akhiran senada (bunyi sengau), bertujuan untuk mengejar bunyi dan irama sehingga terdengar ritmis. Pola-pola irama yang dibentuk dengan repitasi pada kata-kata tertentu menjadi salah satu pembangun kesan gaib dan pembangun kesan mistik pda MSS. Dalam teks MSS kata yang mengalami repitisi yaitu kata tunggal dan langgeng, berpengaruh repitisi pada kata ini memberikan kesan gaib (berkaitan dengan satu dan selamanya yang dianggap memberikan pengaruh pada permohonan atau doa yang dituturkan oleh penutur MSS).
Iis Irmawan Solehah, 2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
221
Bentuk pola irama yang tidak terikat dengan lagam tertentu, mempermudah penutur pada proses penciptaan dan pewarisan. Hal tersebut dikarenakan penutur tidak harus menghafal mantra beserta lagamnya. Untuk diketahui hasil dari kombinasi bunyi dan repitisi kata pada teks MSS, dengan sendirinya membentuk pola irama tertentu (lagam penuturan dengan nada-nada pendek dengan kombinasi beberapa penekanan pada bunyi-bunyi sengau). Penempatan bunyi sengau seperti /ng/ /n/ /m/ pada akhir larik menghasilkan bunyi dan irama purwakanti, sehingga memberikan kesan artistik pada teks MSS. Adapun repitisi kata dan pengulangan bunyi-bunyi vokal dam teks MSS, memberikan kemudahan pada penutur, khususnya pada saat proses penciptaan dan pewarisan, karena teks MSS lebih mudah diingat dan dituturkan. Gaya bahasa yang mendominasi dari tiga teks MSS di Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi adalah metafora, hiperbol, dan personifikasi. Gaya bahasa dalam teks MSS memberikan pengaruh terhadap sugesti penggunanya. Hal tersebut dikarenakan diksi-diksi yang membentuk gaya bahasa tertentu berdampak pada rasa dan suasana yang ditimbulkan. Pada tiga teks MSS terdapat larik-larik
yang
mendeskripsikan
suasana
perasaan
seseorang
dengan
menggunakan bahasa yang kontraktif, hal ini sangat menarik karena maksud dan tujuan penuturan MSS tersurat dalam ungkapan-ungkapan doa yang berupa permohonan. Berbagai gaya bahasa yang terkandung dalam teks MSS memberikan kontribusi pada proses penuturan dan proses pewarisan. Teks MSS yang terbentuk dari berbagai gaya bahasa seperti metafora, hiperbol, personofokasi memberikan kesan artistik (keindahan bahasa) pada teks MSS. Pemilihan diksi pada gaya bahasa tersebut menghasilkan bunyi yang ritmis dan makna yang mendalam. Penggunaan gaya bahasa dalam teks MSS mempermudah pada saat pewarisan dan penuturan. Diksi yang mendominasi dari tiga teks MSS di Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi adalah Bahasa yang digunakan dalam teks MSS yaitu bahasa Sunda. Diksi pada teks MSS di pengarugi oleh bahasa Arab sebagai serapan contohnya diksi, bismillahirrohmanirrohim, cahaya putih, iman sejati, inten-inten, urip puasa, urip, sujud. Dalam teks MSS sahadat merupakan diksi yang paling penting, karena berkaitan dengan media yang digunakan oleh penutur MSS untuk mencapai keinginannya. Sahadat termasuk ke dalam bahasa Sunda, karena sahadat menurut ajaran Sunda Wiwitan diartikan sebagai rangkaian kalimat berisi Iis Irmawan Solehah, 2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
222
doa-doa atau jampe-jampe yang disampaikan kepada Sang Pencipta Alam sesuai dengan kebutuhan, kegiatan atau masalah yang dihadapi, dan diucapkan tidak sembarangan ada kramanya. (Asep Kurnia, dkk. 2010. Hlm. 90). Pengertian Sahadat Buhun berbeda dengan maksud Sahadat (Syahadat) yang dimaksud dalam agama Islam. Berdasarkan kamus bahasa Indonesia Sahadat (Syahadat) berarti (1) pengakuan kesaksian (2) pengakuan atau kesaksian iman-islam sebagai rukun yang pertama. Bahasa Sunda disebutkan, bahwa Sahadat merupakan pernyataan kayakinan Islam. Sahadat yang terbentuk dari kombinasi konsonan /s/ /h/ /d/ /t/ dengan vokal /a/ menghasilkan bunyi yang enak didengar dan mudah pada saat diucapkan. Berbeda dengan kata syahadat yang terbentuk dari kombinasi konsonan /s/ /y/ /h/ /d/ /t/ dengan vokal /a/ menghasilkan bunyi yang sedikit berat, karena terdapat penekanan pada konsonan /y/. Penggunaan diksi yang termasuk dalam bahasa Jawa ragam sedang yaitu kata wong manusa. Kata ini merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa, dalam undak usuk bahasa Jawa kata wong manusa termasuk dalam bahasa krama ngoko atau bahasa sedang (Coolsma, 1985, hlm. 22-24). Pengaruh bahasa Jawa terhadap bahasa Sunda memang sangat terlihat, sehingga tidak mengherankan jika banyak diksi atau kata-kata bahasa Sunda yang sebenarnya serapan dari bahasa Jawa. Adapun pemilihan diksi wong manusa pada teks MSS memberikan nilai rasa yang berbeda, karena memberikan efek yang lebih dramatis (kesan mendalam). Lain halnya jika diksi wong manusa diganti dengan diksi kaula (sinonim dari kata wong manusa), maka rasa yang ditimbulkan akan berbeda, karena diksi kaula lebih memperlihatkan sisi keangkuhan sehingga terkesan sombong. Meskipun maknanya sama namun kesan yang ditimbulkan jauh berbeda. Hal ini menunjukan jika pemilihan diksi sangat berpengaruh pada keseluruhan makna. Mengacu pada tiga teks MSS terdapat tiga kombinasi bahasa terlihat saling berkorelasi, karena sesuai dengan konteks dan koteks MSS. Misalnya diksi-diksi yang mencerminkan harapan penutur, dipilih diksi yang bernuansa keteguhan, sehingga efek yang ditimbulkan terkesan artistik (indah). Adapun diksi-diksi yang mendeskripsikan perasaan bahagia (sasaran penutur), terlihat menggunakan diksi yang bernuansa ceria, seperti kata pulau napas, sehingga memberikan kesan kebingungan dan kegundahan. Tema yang terbentuk dari ketiga teks MSS Di Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi adalah pengakuan keesaan Tuhan. Tema tersebut merupakan Iis Irmawan Solehah, 2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
223
perumusan dari gabungan motif yang terkandung dalam teks MS. Setiap kata dalam tema tersebut mewakili gagasan utama dalam enam motif yaitu “pengakuan keesaan Tuhan”, (merupakan frasa yang mewakili harapan penutur MSS). Dalam konteks berdoa, MSS termasuk ke dalam rangkaian doa, karena tujuan penuturan MSS, yaitu untuk mengutarakan harapaan penutur kepada Allah Swt. Harapan yang diinginkan penutur, merupakan sistem proyeksi yang sifatnya sederhana, yaitu ingin doanya di kabulkan oleh Allah. Manusia pada teks MSS merupakan pelaku yang melakukan aktivitas berdoa. Jika dideskripsikan, tema MSS adalah keagungan Tuhan, setelah menuturkan MSS yang berupa rangkaian doa (kepada Allah), agar doanya di kabulkan oleh Allah karena Allah itu maha agung. Pembentukan tema MSS merupakan proses panjang dalam mencari gagasan pokok teks MSS. Tema MSS bersifat kompleks, karena menyangkut sistem yang melatarbelakangi kelahiran MSS. Hasil analisis tema MSS, membuktikan jika masyarakat Sunda merupakan masyarakat yang mempercayai kekuatan doa, sehingga tidak mengherankan jika mantra-mantra seperti ini tumbuh dan berbaur dalam kehidupan masyarakat Sunda. Berdasarkan berbagai formula peneliti dapat menyimpulkan bahwa pemilihan struktur kalimat yang jelas dan pemilihan diksi yang tepat membuat tema yang terkandung dalam teks MSS sampai pada pembaca. Bunyi-bunyi yang dihasilkan pada teks MSS juga mudah diingat dan dilafalkan. Irama pada teks MSS ini menggunakan nada pendek sehingga mudah di ucapkan. Diksi yang digunakan dalam teks MSS menggunakan bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa Arab, akan tetapi di dominasi oleh bahasa Sunda. Gaya bahasa yang terkandung dalam teks MSS ini beragam seperti: hiperbola, metafora, personifikasi, simile atau perumpamaan, dan repitisi. Tema yang terbentuk dari teks MSS keagungan Tuhan. 2) Simpulan Proses Penciptaan Proses pewarisan tiga teks MSS di Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi adalah pewarisan secara vertikal , karena penutur mengetahui MSS dari orang tua (Rama atau Bapak). Pada saat proses pewarisan MSS, penutur diminta untuk menghafal setiap mantra ketika menjelang tidur. Mengingat zaman dulu masih belum terbiasa dengan catatan dan tulisan, maka proses pewarisan yaitu Iis Irmawan Solehah, 2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
224
secara lisan, dilakukan secara turun-temurun. Teks MSS bisa bertahan dari generasi ke generasi karena MSS ini diturunkan kepada generasi si penutur. Hal ini yang menjadi sebuah ciri tradisi lisan. Proses penciptaan tiga teks MSS di Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi adalah sama seperti ciri tradisi lisan lainnya, MSS disebarkan secara regenerasi (turun temurun), lahir dari masyarakat bercorak pedesaan dan tidak diketahui pengarangnya atau anonim. Yang jelas MSS tersebar dan menjadi penting di masyarakat sunda. Tentu penyebaran MSS ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan pribadi atau keluarga sunda pada masa itu. Untuk mempertahankan tradisi generasi tersebut dan lebih khusus MSS di gunakan untuk menjaga keluarganya. Proses penciptaan teks MSS oleh penutur, yaitu dilakukan secara tekstual dengan adanya alat bantu, seperti kertas atau catatan. Isi MSS yang cukup panjang mencakup sebelas larik mungkin saja menjadi salah satu faktornya. 3) Simpulan Konteks Penuturan Konteks penuturan Waktu dituturkannya mantra ini adalah pada waktu dimana saja asalkan tidak ditempat kotor dan sesuka hati penutur untuk membacakannya. Alat yang dipakai untuk penuturan hanyalah alat ucap penutur itu sendiri. Biasanya tuturan ini dilakukan seorang diri. Tuturan dilakukan di rumah peneliti yang dominann masyarakat sekitarnya adalah masyarakat modern dengann budaya yang berbeda tetapi tetap sahaja dan kondisi sosial yang dominan adalah masyarakat kelas menenggah keatas. 4) Simpulan Fungsi Terdapat dua fungsi pada MSS ini. Fungsi pertama dari tradisi lisan ini mencakup beberapa aspek, baik dari segi aspek masyarakat sebagai penggunaanya maupun aspek sosial budaya. Fungsi kedua adalah fungsi pendidikan pada teks MSS berkaitan dengan masalah kemistikan, kebudayaan, dan kedisiplinan hidup. Berdasarkan analisis tiga teks MSS di Kecamatan Cikarang Timur Kabupaten Bekasi terdapat dua fungsi sastra lisan. Fungsi pertama sebagai sistem proyeksi. Seperti kita ketahui pada MSS sistem proyeksi merupakan sebuah tujuan ataupun niat yang disampaikan kepada Tuhan. Seperti larik /Nur putih sahadat sunda, tunggal gusti kalawan kaula, kaulaku kalawan pangeran/. Kata sunda jika dilihat berdasarkan isotopi kebudayaan merupakan tataletak wilayah yang memilki Iis Irmawan Solehah, 2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
225
tradisi yang khas berkenaan dengan penghambaan dirinya kepada sang pencipta. Hal tersebut terlihat pada diksi penghambaan keagungan sang pencipta yang terdapat pada frasa kaulaku kalawan pangeran yang mempunyai arti saya selalu bersama tuhan. Makna frasa yang terkandung dalam arti kalimat tersebut sangatlah besar. Mengingat dalam MSS, penutur selalu menyerahkan dirinya hanya kepada Tuhannya (Allah SWT) sebagai tujuan akhir dari segala akhir kehidupannya. Serta mantra ini mempunyai fungsi dan peranan penting dalam kehidupan manusia, terlebih pada saaat menjalani aktivitas kehidupan sehari-hari. Kekuatan magis yang terdapat pada mantra ini dipergunakan untuk kepentingan pribadi. Khususnya teks mantra digunakan untuk kita yang memang orang sunda. Fungsi kedua adalah sebagai pendidikan. Fungsi pendidikan pada teks-teks di atas berkaitan dengan masalah kemistikan, kebudayaan, dan kedisplinan hidup. Adapaun fungsi ini terdapat pada teks /pangeranku kersa ning Allah/. Frasa pangeran merupakan denotasi menggambarkan sang pencipta yang patut disembah dan diagungkan ialah Allah. Hal ini sejalan dengan isotopi keyakinan pada frasa Allah yang mempunyai komponen makna bersama sifat yang gaib dan kekal. Sehingga patut dikatakan zat Allah merupakan Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Fungsi pendidikan yang berkaitan dengan masalah kemistikan dapat ditinjau dari sejarah kepercayaan dan mentalitas masyarakat pada masa lampau. Fungsi pendidikan mengenai masalah kemistikan ini berkaitan dengan fungsi pendidikan di bidang sejarah. Bahwa sejarah tentang kepercayaan masyarakat lampau berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme yang berawal dari kesadaran akan adanya jiwa. Jadi fungsi pendidikan dalam masalah kemistikan dapat ditinjau apabila kita mempelajari sejarah masyarakat lampau. Fungsi pendidikan tentang masalah kemistikan itu diketahui dari teks-teks di atas yang mengupas tentang adanya kekuatan gaib. Fungsi pendidikan yang berkaitan dengan masalah kebudayaan dapat ditinjau dari struktur puisi-puisi mantra. Hal ini menimbulkan kekayaan budaya Indonesia khususnya budaya Sunda dalam hal tradisi lisan. Kebudayaan itu juga tergantung pada tradisi masyaakat Sunda pada zaman dahulu. 5) Simpulan Makna Mantra Sahadat Sunda Desa Serta Jaya, Desa Jati Baru dan Desa Jati Reja menghasilkan makna sebagai pengabdian seorang hamba kepada sang pencipta Iis Irmawan Solehah, 2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
226
yang sudah memberikan kenikmatan hidup yang begitu berlimpah sehingga selayaknya seorang hamba memberikan pengorbanan dengan rasa ikhlas sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhannya. Hal tersebut dikarenakan setiap larik atau kalimat terdapat diksi yang jelas menggambarkan peranan Tuhan untuk hambanya yang harus diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari.
B. SARAN Berdasarkan seluruh kegiatan penelitian teks MSS Desa Serta Jaya, Desa Jati Baru dan Desa Jati Reja yang sudah di analisis. Maka Penulis memberikan saran untuk kedepannya mengenai penelitian selanjutnya. Adapun saran yang diajukan oleh penulis sebagai berikut: 1. Universitas Pendidikan Indonesia, dapat digunakan sebagai acuan atau referensi bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian atau menganalisis puisi lama. 2. Penulis selanjutnya, untuk menganalisis puisi lama penulis selanjutnya harus menguasai teori semiotika dikarenakan pada proses analisis mantra khususnya teks MSS yang merupakan mantra yang menggambarkan tentang kehidupan sehari-hari. Teori sintaksis yang digunakan untuk memperjelas setiap kata perkata pada teks, gaya bahasa, bunyi, irama, proses penciptaan, proses pewarisan agar dalam melakukan penelitian penulis dapat memehami semua teori yang akan digunakan, dan mengetahui narasumber yang tepat. 3. Pembaca, sebagai acuan untuk mengupas secara mendalam terhadap analisis tersebut sehingga dapat mengetahui apa yang ada di dalam sebuah puisi lama tersebut.
Iis Irmawan Solehah, 2015 PENGAKUAN KEESAAN TUHAN DALAM MANTRA SAHADAT SUNDA DI KECAMATAN CIKARANG TIMUR KABUPATEN BEKASI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu