BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Pada awalnya terjadi kegiatan pembebasan lahan petani yang dilakukan oleh perangkat desa Pulutan dengan pihak pemerintah Kota Salatiga dan tentunya dengan para petani pemilik lahan. Dalam pembebasan lahan tersebut, pemerintah Kota Salatiga melakukan sosialisasi tentang JLS kepada masyarakat petani di desa Pulutan. Dalam sosialisasi tersebut juga dilakukan musyawarah membahas harga ganti rugi tanah yang diberikan oleh pemerintah Kota Salatiga. Para petani Pulutan khususnya yang lahan pertaniannya menjadi kawasan JLS kemudian bermusyawarah dan dari hasil musyawarah tersebut para petani sepakat memberikan harga ganti rugi 125.000 rupiah per meter kepada pihak pemerintah Kota Salatiga. Hal tersebut menjadi bukti bahwa masyarakat petani Pulutan secara kooperatif mendukung program JLS di wilayah Pulutan. Pihak pemerintah Kota Salatiga pun menyetujui sehingga proses pembebasan lahan di desa Pulutan berjalan dengan lancar. Ketika JLS tersebut sudah dibangun dan berfungsi dengan baik, keadaan di sekitar Pulutan menjadi ramai karena arus lalulintas yang ada. Para petani melihat kondisi lalulintas yang ramai sebagai peluang (opportunities) untuk mendapatkan penghasilan. Para petani yang masih memiliki sedikit sisa lahan pertanian di tepi JLS kemudian mempunyai keinginan (desires) mengubah lahan tersebut menjadi tanah kering yang dapat mereka manfaatkan
94
untuk mendirikan warung. Para petani sebelumnya juga tidak mempunyai keterampilan, bakat maupun pengetahuan tentang berjualan. Ada pula petani yang lebih memilih menjadikan kavling-kavling yang siap disewakan kepada masyarakat yang ingin mendirikan usaha di sekitar JLS. Harga sewa lahan setahun sebesar 1.750.000 rupiah per kavling. Selain ada peluang yang para petani manfaatkan untuk berjualan dan menyewakan lahannya, ada interaksi dyadic dari petani lain yang sudah lebih dulu bergeser kegiatan ekonominya menjadi pedagang dan penyewa lahan sehingga para petani terdorong untuk memilih tindakan yang serupa.Serta ada pula petani yang menjadi perantara jual beli tanah bagi masyarakat yang ingin membeli tanah di sekitar desa Pulutan. Para petani berkeyakinan (beliefs) bahwa tindakan sosial (action) yang dilakukan dengan mendirikan warung, menyewakan lahan maupun menjadi perantara jual beli tanah penghasilan yang didapatnya mampu mencukupi kebutuhan mereka. Meskipun begitu, mereka tidak sepenuhnya meninggalkan kegiatan pertanian yang sudah mereka geluti sejak kecil. Sebelum program JLS terealisasi dan para petani Pulutan hanya bekerja sebagai petani yang dapat menuai hasil panen padi dua kali dalam setahun. Setelah JLS sudah beroperasional dengan baik, dalam sisi pendapatan para petani kini merasakan adanya peningkatan penghasilan dalam keluarga mereka. Bergesernya kegiatan ekonomi petani dari pertanian ke sektor non pertanian seperti berjualan serta menjadi penyewa lahan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor yakni sempitnya lahan untuk pertanian produktif di Pulutan
95
setelah lahan digunakan untuk pembangunan JLS, masyarakat petani merasa sisa lahan tersebut sudah tidak subur lagi jika ditanami padi serta adanya peluang ekonomi yang bisa dimanfaatkan oleh para petani dengan mengikuti dan menyesuaikan perkembangan setelah adanya JLS baik dari pembangunan, sosial, maupun ekonomi. Pergeseran kegiatan ekonomi petani menjadi pedagang, penyewa lahan maupun perantara jual beli tanah memunculkan dampak sosial ekonomi baik untuk masyarakat petani sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Dampak sosial yang muncul adalah adanya perubahan relasi sosial yang terjadi dalam paguyuban kelompok tani. Para petani yang sebelumnya sebagai anggota dalam paguyuban kelompok tani “Sido Makmur 2”, kini sudah tidak lagi termasuk dalam paguyuban kelompoktani tersebut. Polanyi (1944) melihat adanya pembangunan memberikan dampak pada hubungan relasi sosial sebagai hubungan ekonomi. Seperti yang terjadi pada masyarakat petani Pulutan, sikap komunal ketika bermata pencaharian sebagai petani, setelah adanya pembangunan JLS menjadi sikap yang transaksional karena mata pencaharian mereka sebagai pedagang, penyewa lahan dan perantara jual beli tanah yang mementingkan aspek untung rugi dalam melakukan kegiatan sehingga hubungan dalam keluarga juga menjadi merenggang. Kerjasama yang dilakukan masyarakat petani pada umumnya sudah tidak terlihat lagi ketika menjadi pedagang, penyewa lahan dan penyewa lahan. Kini, mereka lebih individualis karena kegiatan yang mereka lakukan lebih banyak di luar pertanian seperti di warung. Menurut Polanyi (1944),
96
pengaturan ekonomi masyarakat tertanam dalam hubungan-hubungan sosialnya. Pemeliharaan terhadap ikatan-ikatan sosial, di sisi lain sangatlah penting. Pertama, karena dengan mengabaikan aturan kehormatan yang disepakati, individu telah melepaskan dirinya dari masyarakat dan menjadi orang yang terbuang ; kedua, karena dalam jangka panjang semua kewajiban sosial bersifat timbal balik (reciprocal) dan pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut juga melayani kepentingan-kepentingan individu untuk saling memberi dan menerima secara maksimal. Sama halnya dengan berubahnya relasi sosial petani setelah pembangunan JLS menjadi relasi ekonomi karena para petani yang kini berdagang, menyewakan lahannya, menjadi perantara jual beli tanah memang sudah melepaskan diri dari status sosialnya menjadi petani. Status sosialnya sebagai pedagang, penyewa lahan dan perantara jual beli tanah menuntut mereka melakukan hal yang bersifat timbal balik. Perubahan petani dengan sikap transaksional yang mementingkan keuntungan tercermin pada interaksi sosial di dalam jaringan yang mempertemukan setiap kepentingan aktor-aktor ekonomi seperti petani, pedagang, penyewa lahan, perantara jual beli tanah. Bagi para petani, adanya JLS memberikan dampak sosial yang positif. Akan tetapi, dampak sosial yang negatif juga mengiringi yakni perilaku pemuda yang kurang menyenangkan karena memanfaatkan warung-warung yang ada sebagai tempat berpacaran, mabuk-mabukan. Keadaan JLS yang sepi pada dini hari dimanfaatkan oleh para pemuda bermain track-trackan. Hal tersebut cukup mengganggu kenyamanan masyarakat Pulutan.
97
Pergeseran kegiatan ekonomi yang dialami oleh para petani Pulutan juga memunculkan dampak pertumbuhan ekonomi baru di desa Pulutan. Roda perekonomian di desa Pulutan menjadi lebih beragam dan para petani mendapatkan penghasilan tambahan dan merasakan adanya peningkatan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi dalam keluarga. Secara umum, nilai jual tanah dan pajak. Harga tanah di sekitar Pulutan khususnya tanah yang berada dekat dengan JLS mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Nilai jual tanah yang tinggi juga diiringi dengan pajak yang harus dibayarkan oleh masyarakat petani sehingga sebagian petani mengeluhkan dan merasa kurang senang dengan perubahan pajak yang saat ini terjadi. Selain nilai jual tanah dan pajak yang tinggi, dampak ekonomi yang lain adalah di kawasan JLS khususnya di Pulutan berkembang sebuah pasar yang sering masyarakat sebut sebagai ‘Pasar Tiban’. Dari pasar tiban yang ada, masyarakat desa Pulutan mendapatkan penghasilan dari pengelolaan parkir dan sampah. Sehingga masyarakat desa Pulutan dapat merasakan dampak positif dari adanya JLS terutama dari segi ekonomi. Dengan berfungsinya Jalan Lingkar Salatiga (JLS) dengan baik menunjukkan bahwa tujuan awal pemerintah Kota Salatiga membangun JLS sudah berhasil yaitu untuk memperluas aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang sebelumnya hanya terpaku pada titik pusat kota Salatiga yang berada di jalan Jendral Soedirman. 5.2 Refleksi Kritis Dengan berkembangnya roda perekonomian di sekitar desa Pulutan pada umumnya, harus ada upaya dari pemerintah Kota Salatiga untuk menata
98
keberadaan warung-warung yang terlihat semprawut di tepi JLS. Dari pihak pemerintah Kota Salatiga juga diharapkan untuk mendata para pemilik warung yang ada di sekitar JLS serta membentuk paguyuban pedagang di bawah naungan pemerintah Kota Salatiga agar para pedagang dapat terjaring dalam satu wadah dengan visi dan misi yang sama dan pertumbuhan ekonomi yang ada dapat berjalan dengan baik. Penyediaan bak sampah dari pihak pemerintah Kota
Salatiga
serta
pungutan
retribusi
sampah
diharapkan
dapat
menanggulangi sampah di sekitar warung dan tidak lagi mengotori lahan persawahan para petani. Untuk pasar tiban, perlunya penanganan terhadap masalah lalulintas. Dengan kondisi saat ini, terjadi penurunan kinerja jalan akibat terjadi tundaan perjalanan pada lokasi pasar tiban tersebut.
Para
pengunjung yang datang biasanya berjalan kaki di sepanjang ruas jalan lingkar untuk berinteraksi dengan pedagang.
Hal ini juga dapat beresiko
menimbulkan kecelakaan karena bercampurnya pergerakan orang dengan kendaraan pada badan jalan. Sehingga direkomendasikan kawasan jalan yang digunakan untuk pasar tiban dijadikan sebagai kawasan Car Free Day pada jam tertentu (05.00 sampai 10.00) dan mengalihkan arus kendaraan dari arah Solo yang akan menuju arah Semarang dengan melewati desa Sraten. Sedangkan kendaraan dari arah Semarang menuju arah Solo dialihkan dengan melewati desa Blotongan.
99