BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Pemanfaatan gua-gua atau ceruk di sekitar pegunungan karst berasal dari Asia Tenggara menjelang akhir plestosen, yang didasarkan akan adanya kebutuhan manusia akan tempat yang aman untuk berlindung baik dari binatang buas maupun dari bencana alam. Hal ini yang kemudian melatarbelakangi mereka untuk bertempat tinggal dan melakukan aktifitas di dalam gua/ceruk. Data yang diperoleh pada situs-situs yang ada di sekitar kawasan karst menunjukkan, manusia pendukung kebudayaan dalam gua, sudah mengenal adanya pembagian ruang yang bersifat profal dan sakral, dinding/atap gua juga dimanfaatkan sebagai media lukis. Perkembangan selanjutnya juga ditemukan adanya bentuk penguburan dalam gua. Seperti yang terdapat pada Situs Gua Pondok Selabe 1, Situs Gua Tritis, Situs Gua (song) Braholo, Situs Gua (song) Keplek, Situs Gua Terus, Situs Song Gentong, Situs Gua Lawa, Situs Gua Sodong, Situs Gua Marjan, Situs Liang Bua. Dan pada awal holosen, ditemukan penguburan di bentang alam di Alur Itam, Sukajadi. Bentuk penguburan terus mengalami perkembangan yang cukup signifikan hal ini terlihat dari pemanfaatan batu sebagai media kubur yang cukup bervariasi yang banyak ditemukan seperti sakropagus, pandusa, kalamba, kubur batu, waruga, watulumu dan sebagainya. Selain itu, kayu juga digunakan sebagai media kubur di sebagain wilayah indonesia bagian timur, salah satu daerah yang kaya akan tinggalan tersebut berada di pulau Sulawesi atau tepatnya yang berada di wilayah budaya suku Toraja, bahkan tradisi penguburan masih berlanjut hingga kini dan juga beberapa tempat lain di wilayah Nusantara. 100
Penelitian terhadap wadah kubur dari kayu di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat mulai mendapat perhatian akhir tahun 80-an, baik dari kalangan mahasiswa maupun dari peneliti dari instansi tertentu. Tercatat beberapa mahasisiwa arkeologi melakukan penelitian terkait dengan hal ini yang dibuat dalam karya ilmiah (skripsi). Tercatat ada 15 orang melakukan penelitian terkait wadah kubur, yaitu Leoran(1989), Ruben Girikan (1989), Jampi (1990), Amar Busthanul (1991), Muh.Hasyim (1991), Abu Thalib(1992), Hasna Lili Patilak (1992), Daniel Tandibali (1992), Abdul Haris (1993), Markus Pappang (1994), Marnice (2003), bentuk penelitian yang dilakukan bersifat deskripsi analitik atau merupakan suatu tinjauan arkeologi. Penelitian lebih lanjut kemudian di lakukan oleh Harsyad (1993) dan Faiz (2009) yang melakukan studi komparasi terhadap tinggalan yang ada di selayar dan bulukumba untuk mencoba menggambarkan konsep penguburan dengan mengambil data etnografi Toraja. Awal tahun 2000 sejumlah penelitian dilakukan oleh Balai Arkeologi Makassar dan penelitian lainnya, yang dimuat dalam jurnal Walannae seperti yang dilakukan oleh Bernadeta AKW (2007) yang menulis “Erong salah satu bentuk wadah kubur di Tana Toraja, sulawesi selatan”, dan pada tahun 2009 juga menulis “Bentuk-bentuk wadah penguburan dalam sistem kepercayaan masyarakat Mamasa, Sulawesi Barat”, dalam penelitian ini bersifat deskripsi analitik yang berusaha mendata sebanyak mungkin temuan wadah kubur yang ada dan mengkaji makna dibalik ukiran yang ada. Lebih jauh lagi, penelitian dilakukan oleh Akin Duli (2011) yang tertuang dalam tulisan “kajian terhadap bentuk-bentuk penguburan kayu di Mamasa, Sulawesi Barat” dari hasil penelitian ini bukan hanya deskripsi analitik saja tetapi pengambilan sampel untuk pertanggalan juga dilakukan. 101
Terkait dengan penelitian yang dijabarkan, penelitian yang bersifat komparasi sudah pernah dilakukan (Faiz dan Harsyad), tetapi situs yang dijadikan sampel utama berada di daerah lain tidak berada dalam wilayah budaya Toraja. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan juga melakukan studi komparasi terhadap wadah kubur pada tiga situs yang berbeda dalam satu wilayah budaya, guna mengetahui persamaan dan perbedaannya dan berikut kesimpulannya:
PERSAMAAN NO
ENREKANG
1
PERBEDAAN
KATEGORI YANG DIBANDINGKAN
BENTUK/JENIS W.K
PERAHU
TORAJA
MAMASA
PERAHU
PERAHU (BANGKABANGKA)
KERBAU
KERBAU (TEDONGTEDONG)
RUMAH ADAT
RUMAH ADAT
ENREKANG
RAGAM HIAS W.K
MEMILIKI BANYAK RAGAM HIAS
PA'SUSUK
HANYA MEMILIKI SATU RAGAM HIAS
MEMILIKI BANYAK RAGAM HIAS
3
4
UKURAN W. K
BEKAL KUBUR/TEMUAN LAIN
LEBIH DOMINAN UKURAN BESAR
LEBIH DOMINAN UKURAN BESAR
LEBIH DOMINAN UKURAN BESAR
TULANG-TULANG MANUSIA
TULANG-TULANG MANUSIA
TULANG-TULANG MANUSIA
5
TEKNIK PEMBUATAN W.K
CUNGKIL
CUNGKIL
BENTUK BABI
KERBAU DENGAN KEPALA KUDA
DIBENTUK DARI SEBATANG KAYU
DIBUAT MENYERUPAI RUMAH, BUKAN LAGI DARI SEBATANG KAYU
RAGAM HIASNYA SUDAH MULAI BERKEMBANG DENGAN BERBAGAI VARIASI DAN DITERAPKAN PADA HAMPIR SEMUA WADAH KUBUR
MEMILIKI BANYAK VARIASI RAGAM HIAS TAPI HANYA DITERAPKAN PADA BEBERAPA WADAH KUIBUR SAJA
UKURAN BESAR LEBIH UKURAN BESAR LEBIH DOMINAN UKURAN BESAR LEBIH DOMINAN DOMINAN PADA RUMAH ADAT PADA TEDONG-TEDONG DAN PADA BENTUK PERAHU DAN PERAHU PERAHU
DITEMUKAN PADA SETIAP WADAH HANYA BEBERAPA WADAH SAJA DITEMUKAN TULANG
TAU-TAU DAN KANDEA DULANG
MAMASA
TIDAK ADA BENTUK BINATANG
PA'SUSUK 2
TORAJA
DITEMUKAN PADA SETIAP WADAH
DITEMUKAN FRAGMEN GERABAH, RAHANG BABI, GELANG KERANG DAN GELANG PERUNGGU
TAU-TAU DAN KANDEA DULANG
CUNGKIL PAHAT
CUNGKIL SAMBUNG BERMOTIF
CUNGKIL SAMBUNG
TEKNIK PENGERJAAN MASIH SEDERHANA
TEKNIK PENGERJAN BERADA PADA SEMI KOMPLEKS
SUDAH MENUNJUKKAN PADA TINGKAT YANGKOMPLEKS
CUNGKIL
102
PERSAMAAN NO
ENREKANG
6
7
PERBEDAAN
KATEGORI YANG DIBANDINGKAN
LETAK WADAH KUBUR
BAHAN W.K
DI PEGUNUNGAN KAPUR
TORAJA
MAMASA
DI PEGUNUNGAN KAPUR
DI DAERAH KETINGGIAN
KAYU
KAYU
TIMUR-BARAT
TIMUR-BARAT
PENENTUAN ARAH HADAP DILAKUKAN BERDASARKAN PADA JUMLAH DOMINAN WADAH YANG MENGADAP KE ARAH TIMUR-BARAT
PENENTUAN ARAH HADAP DILAKUKAN BERDASARKAN PADA JUMLAH DOMINAN WADAH YANG MENGADAP KE ARAH TIMUR-BARAT
ENREKANG
TORAJA
MAMASA
DI DALAM CERUK
DI TEBING BATU KAPUR
DI ATAS BUKIT
DIBAGI DALAM BEBERAPA CHAMBER
DI GANTUNG, DI TOPANG, DIATAS TANAH
DILETAKKAN BERJEJER DI BAWAH SEBUAH TADANG
KAYU
BITTI
URU
URU
UTARA SELATAN
MENGARAH PADA GUNUNG APA??
UNTUK DI SITUS BUNTU BALLA ADA BEBERAPA WADAH YANG TEMUANNYA MENGHADAP KE MENGHADAP KE UTARA TIMUR BARAT, SEDANGKAN SELATAN DAN ADA JUGA TADANG NYA MENGHADAP UTARAWADAH YANG MENGHADAP SELATAN DAN DI PALADAN TIMUR BARAT MENGHADAP KE UTARA SELATAN
8
ARAH DAPAT W.K
9
FUNGSI W.K
PENGUBURAN
PENGUBURAN
PENGUBURAN
PRIMER
SEKUNDER
SEKUNDER
10
PENGUNAAN WARNA
TIDAK ADA
TIDAK ADA
TIDAK ADA PADA SITUS BUNTU BALLA
TIDAK ADA
TIDAK ADA
PADA SITUS PALADAN TERDAPAT PENGGUNAAN WARNA
Dari pemaparan tabel di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Bentuk wadah kubur yang ada di Enrekang dapat dikatakan merupakan bentuk awal dari penguburan orang Toraja, yaitu bentuk perahu. Hal ini terkait dengan asal usul nenek moyang mereka yang datang dengan menggunakan perahu, disamping itu wadah kubur berbentuk perahu tidak hanya ditemukan disini saja bahkan di luar Sulawesi seperti di Mentawai, masyarakat yang tinggal di Siberut, Tanibar, di Kepulauan Kei, di Irian Barat Daya, di Sumba disebut kabang (kapal), di Pulau Roti disebut kopa tuwo (perahu), masyarakat Ngajuk di Kalimatan menyebut kariring (bangunan makam yang mirip bentuk perahu), yang hampir semuanya mempunyai bentuk menyerupai perahu. Jadi bentuk awal dari wadah kubur ialah bentuk perahu. 103
2.
Dilihat dari seni ragam hias yang digunakan yakni ragam hias pasusuk berupa ragam hias berbentuk garis-garis vertikal yang ada di Situs Liang Datu dan beberapa situs lainnya di Enrekang, bentuk ragam hias ini termasuk salah satu dari 4 dasar ragam hias toraja. Sedangkan di Toraja dan Mamasa bentuk ragam hiasnya sudah lebih bervariasi.
3.
Dilihat dari aspek bentuk pengerjaannya, bentuk yang ada di Enrekang menunjukkan bentuk pengerjaan yang sederhana berupa bentuk persegi empat saja. Kemudian mulai berubah menjadi bentuk lonjong dan bahkan sudah ada bentuk wadah kubur yang dalam pengerjaannya sudah menggunakan teknik sambung dengan pengerjaan yang lebih halus dan motif hias yang mulai berkembang seperti yang ada di Toraja dan Mamasa.
4.
Bentuk penguburan yang ada di ketiga tempat tersebut memiliki kesamaan dengan bentuk penguburan yang ada di dataran Cina selatan, yang memanfaatkan tebing ataupun ceruk pada bukit karst. Hal ini mengindikasikan adanya kesamaan budaya yang ada dengan didukung data arkeologis yang memang membenarkan adanya proses migrasi bangsa Austronesia yang berasal dari cina selatan ke Nusantara.
5.
Dan jika dilihat dari segi fungsi wadah kubur dan dikaitkan dengan temuan tulang-tulang yang ada, bisa dikatakan duni awalnya difungsikan sebagai penguburan primer, seperti yang diketahui, penguburan primer merupakan bentuk awal yang digunakan masyarakat masa lampau.
Hasil pemaparan analisis pada masing-masing wadah kubur pada setiap situs, diketahui bahwa sistem kepercayaan, status sosial, sistem teknologi serta ketersediaan bahan di alam menjadi faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya persamaan dan perbedaan tersebut. Seperti pada Situs Liang Datu, dimana dalam kajian bentuk/jenis temuan, ragam hias, letak 104
wadah kubur, fungsi, dan arah hadap, itu sangat ditentukan oleh sistem kepercayaan mereka. Dari segi status sosial juga tercermin dari bentuk wadah, ragam hias yang ada, dan ukuran besar kecilnya suatu wadah. Sistem teknologi seperti yang terlihat pada teknik pembuatan dan bentuk ragam hiasnya, yang mengindikaikan bahwa teknik yang digunakan masih sederhana., serta ukuran wadah dimana, besar kecilnya juga dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan. Dan yang terakhir, ketersediaan bahan di alam juga menjadi faktor penting seperti dalam penggunakan bahan baku yang dalam hal ini kayu bitti, kayu ini banyak ditemukan di sekitar situs, dan letak wadah kubur yang berada di sebuah gua pada bukit karst dipilih karena ketersediaan tempat tersebut. Pada Situs Kete’kesu juga dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, status sosial, sistem teknologi dan faktor alam sekitar. Sistem kepercayaan mempunyai pengaruh terhadap bentuk wadah dimana, bentuk perahu dianggap sebagai kendaraan awah dan bentuk binatang yang dianggap memiliki kekuatan magis, serta bentuk ragam hias, fungsi wadah kubur, arah hadap, letak wadah juga mendapat pengaruh sistem kepercayaan. Pengaruh status sosial terlihat pada bentuk/jenis temuan, dimana bentuk Kerbau atau Babi dan bentuk perahu dengan ragam hias yang banyak biasanya diperuntukan bagi kaum bangsawan. Kedua yaitu ragam hias, dimana semakin banyak ragam hias biasanya menunjukkan status sosial, begitupun dengan ukuran, dan letak wadah kubur, semakin tinggi wadah kubur ditempatkan maka itu menunjukkan tingginya status sosial. Faktor alam juga terlihat disini, seperti pada bahan yang digunakan yang dalam hal ini menggunakan kayu uru, dimana kayu ini banyak tumbuh daerah itu dan letak wadah kubur yang memanfaatkan tebing karst. Faktor ke empat yaitu sistem teknologi dimana, hal ini terlihat dari teknik pembuatan wadah kubur yang lebih kompleks dan dari ragam hiasnya yang banyak mengindikasikan pula sistem teknologi yang digunakan. 105
Pada Situs Buntu Balla dan Situs Paladan, juga dipengaruhi oleh keempat faktor tersebut, yaitu sistem kepecayaan, status sosial, sistem teknologi dan ketersediaan bahan di alam. Pertama sistem kepecayaan, yang mendapat mengaruh pada bentuk/jenis temuan, ragam hias, fungsi wadah kuur, dan arah hadap suatu wadah kubur. Segi sosial, terlihat dari bentuk wadah kubur, ragam hias, ukuran wadah, dan bekal kubur. Sistem teknologi terlihat pada ragam hias, ukuran wadah, teknik pembuatan yang sudah mengalami perkembangan yang lebih kompleks dan adanya penggunaan warna pada wadah kubur. Dan yang terakhir faktor alam, dimana, kayu uru banyak terdapat di hutam Mamasa, dan letak wadah kubur juga dipengaruhi oleh faktor ini.
5.2 Saran Penelitian ini tidak lepas dari kekurangan, seperti tidak adanya dating kayu untuk pertanggalan yang jelas, dan perlunya pengambilan sampel lebih banyak lagi pada tiap kabupaten guna menarik kesimpulan secara umum. Serta perlunya dilakukan penyelamatan data pada Situs Liang Datu dengan Situs Ketekesu. Khusus untuk Kete’kesu, mengingat situs ini dijadikan sebagai objek wisata, sekiranya adanya pagar pembatas di sekitar erong, agar pengunjung tidak dengan leluasa memegang erong.
106