BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Ketiga subjek sudah bisa menemukan makna hidupnya masing-masing dengan cara dan urutan proses yang berbeda-beda. A, B dan C sama-sama menemukan makna hidup dengan melakukan perbuatan, mengalami sebuah nilai dan lewat penderitaan. Perbuatan yang dilakukan subjek dibuktikan dengan prestasi-prestasi yang dicapai. Nilai yang dialami subjek A dan C adalah nilai agama dan nilai yang dialami oleh subjek B adalah nilai cinta kasih. Proses keberhasilan hidup bermakna lewat penderitaan pada ketiga subjek sama-sama dimulai dengan adanya pengalaman atau peristiwa tragis dan diikuti dengan penghayatan tanpa makna. Yang berbeda pada proses ini adalah urutan serta periode dimulainya proses. Pada subjek A dan B terjadi pada masa remaja, namun pada subjek C terjadi pada masa kanak-kanak. Komponen pengalaman tragis, penghayatan tanpa makna, pemahaman diri, perubahan sikap, dukungan sosial, penemuan makna, keikatan diri, kegiatan
terarah,
tantangan,
keberhasilan
dan
keimanan
merupakan
komponen-komponen yang muncul pada setiap subjek. Komponen faktor pemicu dan pencarian aktif hanya muncul pada dua dari tiga subjek, sedangkan komponen model ideal hanya muncul pada satu orang subjek. Subjek A mengalami semua komponen kecuali komponen faktor pemicu dan model ideal. Subjek B mengalami semua komponen kecuali komponen
86
pencarian aktif dan model ideal. Subjek C mengalami keseluruhan komponen proses keberhasilan bahkan mengalami dua kali tahap perubahan sikap. Pada subjek A, komponen proses keberhasilan yang paling dominan adalah komponen spiritual. Pada subjek B, komponen nilai yakni makna hidup adalah komponen yang paling dominan terlihat dalam setiap kegiatannya, sedangkan pada subjek C, komponen pencarian aktif adalah komponen yang paling dominan. Sistem nilai pencapaian makna paralel hanya dilakukan oleh B sedangkan A dan C memperoleh makna lewat sistem piramidal. Sistem piramidal mengakibatkan sikap yang agak fanatik dan rendah ambang toleransi pada A dan C. 5.2 Diskusi Penelitian terhadap Kadet TNI AL menjadi sebuah tantangan bagi peneliti. Peneliti harus tekun membaca segala hal mengenai TNI AL sebelum meneliti. Tetapi tetap saja ada istilah-istilah yang muncul pada saat wawancara dan membuat peneliti tidak memahami pembicaraan subjek. Peneliti harus bertanya terlebih dahulu kepada subjek mengenai definisi istilah tersebut. Subjek juga terkadang kebingungan dalam mencarikan padanan kata yang pas dalam istilah umum. Peneliti juga kesulitan mendapatkan buku referensi mengenai Kadet. Kendala lain yang dialami peneliti adalah ketika meminta izin untuk melakukan penelitian di AAL. Peneliti sempat menelepon ke AAL namun harus mengalami lempar bola. Penelitian tanpa observasi langsung terhadap kegiatan yang dilakukan memang akan sangat subyektif mengikuti
87
perasaan subjek. Beruntung peneliti memiliki seorang teman di AAL yang memiliki pangkat yang cukup tinggi di AAL sehingga bisa membantu mencarikan subjek. Namun hal tersebut malah berujung pada ketidakikhlasan calon subjek penelitian. Pengumpulan data mengalami sedikit masalah akibat suasana yang tidak kondusif. Tetapi informasi yang didapat lebih kaya karena ada wawancara yang dilakukan secara bersamaan kepada ketiga subjek. Terdapat temuantemuan mengenai latar belakang subjek yang malah dipaparkan oleh subjek lain. Selain itu hal ini cukup membantu pada kejadian-kejadian yang dialami oleh beberapa subjek yang sama. Terkadang jika subjek lupa dengan detail peristiwa yang dialami, subjek yang lain membantu. Ini juga merupakan sarana untuk verifikasi data yang sudah dikumpulkan dari tiap subjek. Tetapi yang menjadi masalah adalah ketika semua subjek ingin berpendapat bersamaan. Peneliti agak sulit dalam menentukan subjek mana yang harus terlebih dahulu didengar, jika salah satu subjek saja yang didengar takutnya dapat menimbulkan perasaan merendahkan subjek yang lain. Peneliti sudah mempersiapkan kemungkinan subjek merasa sedih dan tidak nyaman terkait pengalaman tragis yang dialami. Akan tetapi pada pelaksanaannya peneliti sempat merasa tidak tega. Buku tentang makna hidup masih sangat minim di Indonesia. Buku Frankl yang berjudul Man’s Search for Meaning saja sangat sulit untuk didapat. Untungnya salah seorang dosen peneliti memiliki buku terjemahannya. Buku kedua yang sulit didapat adalah buku Bastaman tahun 1996 berjudul Meraih
88
Hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis. Buku ini dijadikan sumber di setiap skripsi tentang makna hidup yang peneliti baca. Akan tetapi pada kenyataannya buku tersebut tidak ada di toko-toko buku. Bahkan peneliti sempat pergi ke PERPUSNAS yang ada di dekat Monas namun tidak juga menemukannya. Buku tersebut peneliti dapatkan di Penerbit Paramadina langsung. Petugas yang bekerja di sana menyatakan bahwa buku tersebut sudah tidak dicetak ulang. Untunglah di perpustakaan yang ada di sana mereka masih menyimpan satu eksemplar buku Meraih Hidup Bermakna: Kisah Pribadi dengan Pengalaman Tragis yang sudah sangat lusuh. Peneliti agak sulit menemukannya karena rak buku yang tidak lagi disusun berdasarkan tema dan abjad. Dari buku ini, peneliti mendapat informasi bahwa tahap pencapaian makna hidup yang diteliti oleh skripsi-skripsi lainnya ternyata merupakan sebuah proposisi
teoritis yang dikonstruksi
oleh
Bastaman
sendiri
dengan
mengadaptasi logoterapi Frankl. Hal tersebut bukanlah sebuah teori tetapi hanya sebuah konstruk yang baru diujikan pada tahun tersebut. Penemuanpenemuan komponen-komponen yang baru oleh Bastaman juga tidak dimasukkan dalam sebagian besar skripsi yang peneliti lihat. Komponenkomponen juga saling tumpang tindih dan terkadang muncul tanpa diberikan definisi yang jelas. Pada buku yang ditulis oleh pengarang yang sama dengan tema yang sama pada tahun 2007 hanya mencakup teknik untuk menemukan makna hidup dan teknik tersebut diturunkan dari penelitian yang dilakukan di tahun 1996. Buku yang juga peneliti temukan di perpustakan penerbit tersebut
89
adalah buku karangan Koeswara. Buku ini bisa dikatakan kuno karena terbitan tahun 1987. Tetapi sama seperti buku Bastaman, buku ini adalah buku terbitan satu-satunya. Proses keberhasilan hidup bermakna setiap orang berbeda-beda. Permulaan proses juga dimulai pada periode yang berbeda, seperti pada subjek C yang mengalami peristiwa tragis pada masa kanak-kanak. Padahal menurut Koeswara (1987) timbulnya makna hidup dimulai ketika individu berada pada masa pubertas. Setiap komponen juga ternyata tidak hanya satu kali dialami oleh subjek dalam proses keberhasilan hidup bermakna. Pada kasus C misalnya, ia mengalami dua kali perubahan sikap. Pada kasus B, faktor pemicunya juga sebenarnya bisa didefinisikan sebagai peristiwa yang tragis. Dengan demikian B juga bisa mengalami dua kali peristiwa yang tragis. Peristiwa tragis juga memang definisinya sangat subyektif tergantung siapa yang mengalaminya. Bagi orang lain yang membaca skripsi ini, mungkin saja tidak menganggap tragis peristiwa tragis yang dialami oleh subjek penelitian. Hal tersebut dikarenakan persepsi tragis yang berbeda pada tiap orang, tergantung kepribadian serta latar belakang seseorang. Peneliti juga sejak awal tidak mengekspektasi bahwa akan ada peristiwa tragis pada seluruh subjek penelitian. Komponen faktor pemicu dan pencarian aktif hanya ditemukan pada dua subjek sedangkan komponen ideal hanya ditemukan pada satu subjek. Komponen tantangan, keberhasilan dan keimanan terdapat pada ketiga subjek meski komponen tersebut baru ditemukan setelah penelitian yang dilakukan
90
Bastaman (1996). Komponen faktor pemicu dan pencarian aktif juga merupakan temuan baru Bastaman, namun muncul pada dua orang subjek. Model ideal juga merupakan temuan baru, baik pada penelitian ini maupun penelitian Bastaman hanya muncul pada satu dari tiga subjek. Dari penelitian ini juga didapatkan keterkaitan yang sangat erat antara peristiwa tragis yang dialami dengan tujuan hidup subjek. Pada subjek A misalnya, ia menjadi berorientasi memiliki hidup nyaman karena pernah mengalami hidup tidak nyaman. Pada subjek B, ia menjadikan ibunya tujuan hidup karena ibunya menjadi single parent dan ibunya sempat mengalami stroke. Pada C yang adik pertamanya meninggal, akhirnya ia memiliki keinginan untuk membahagiakan keluarganya terutama adik-adiknya. Sistem nilai paralel hanya dialami oleh B meski menurut Lukas (1986) sistem tersebut muncul pada the later, mature stage. Tetapi Lukas (1986) juga menambahkan bahwa terdapat korelasi antara maturity level dan makna hidup, sehingga tidak mengherankan jika B bisa mencapai sistem nilai paralel tersebut, di mana konteks maturity atau kematangan terkadang tidak sejalan dengan bertambahnya usia. 5.3 Saran 5.3.1 Saran Teoritis Untuk penelitan yang akan datang, peneliti berharap setiap komponen yang ada dalam penelitian ini tetap diujikan pada subjek, meskipun pada penelitian kali ini terdapat satu komponen yang hanya ada pada satu subjek.
91
Pemilihan subjek juga sebaiknya dilakukan sendiri oleh peneliti, tidak melalui pihak ketiga seperti lembaga atau teman. Pihak ketiga mungkin bisa membantu dalam mengenalkan saja, namun kriteria subjek belum tentu terpenuhi. Peneliti juga sebaiknya memiliki subjek cadangan,
sekiranya
subjek
utama
tiba-tiba
berhalangan
atau
mengundurkan diri. Dalam informed consent sebaiknya peneliti menyampaikan bahwa subjek kemungkinan akan merasa sedih atau tidak nyaman karena harus mengingat pengalaman tragis. Hal ini digunakan untuk memberikan warning bagi subjek, membuat subjek tidak kaget jika masalah tersebut disinggung serta untuk memperkecil dampak dari kemungkinan adanya trauma akibat peristiwa tragis. Penelitian selanjutnya juga sebaiknya dilakukan dengan frekuensi wawancara yang lebih tinggi dari penelitian ini mengingat proses pencapaian makna hidup bukanlah sebuah proses yang singkat. Pedoman wawancara juga sebaiknya dibuat selengkap dan sedetail mungkin
guna
mempersiapkan
peneliti
dengan
kemungkinan-
kemungkinan jawaban yang mungkin muncul. 5.3.2 Saran Praktis Bagi para pembaca yang pernah mengalami peristiwa tragis atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Penderitaan sebenarnya bisa menjadi faktor untuk menemukan makna hidup. Peristiwa yang menyedihkan, hambatan serta ketidakmampuan akan menjadi sebuah
92
penderitaan yang sia-sia jika dimaknai secara negatif. Seseorang perlu mengubah pola pikir terhadap hambatan-hambatan yang ada untuk dapat mencapai makna hidup. Untuk mencapai makna hidup, seseorang juga perlu melakukan kegiatan-kegiatan yang positif dibarengi dengan keterlibatan nilai spiritual dalam proses pencapaian makna hidup. Blessing in disguise mungkin bisa menjadi kiasan akan penemuan makna hidup lewat penderitaan. Kebahagiaan dapat ditemui oleh seseorang yang mampu mengambil hikmah dari kejadian buruk yang menimpa dirinya. Bagi warga sipil yang masih menganggap pendidikan militer sebagai pendidikan yang penuh dengan kekerasan. Pendidikan militer memang dilakukan secara keras. Tentara tidak akan terbentuk menjadi sebuah benteng atau pertahanan negara jika tidak dibentuk dengan caracara tegas dan keras meski tanpa kekerasan. Tentara tidak akan menjadi manusia yang kuat jika tidak pernah mengalami permasalahan yang berat. Besi tidak akan menjadi sebuah pedang jika tidak dibakar dan ditempa berkali-kali. Pendidikan militer selain berguna membentuk daya tahan tubuh, juga berguna untuk melatih disiplin dan tanggung jawab. Seorang perwira adalah orang yang bisa menyelesaikan masalahnya dengan tenang, bijak, cepat dan tepat. Itu semua tidak didapat dengan mudah, itu semua didapat dari pendidikan militer dan pengalaman. Sehingga persepsi mengenai warga militer dan juga pendidikan militer sebaiknya mulai perlahan-lahan diubah.
93