BAB V Penutup
5.1. Kesimpulan Yogyakarta, sebagai kota pelajar dan kota pariwisata, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya gedung pencakar langit yang saat ini sedang dibangun dan papan-papan iklan luar ruang yang semakin menjamur. Papan-papan iklan luar ruang ini berdiri, begitu terlihat kokoh, menutupi ruang pandang perkotaan Yogyakarta. Ruang jalan di Jalan Affandi menjadi salah satu bukti dari menjamurnya iklan-iklan luar ruang tersebut. Dengan ini, iklan disadari atau tidak telah menyusup masuk kedalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Iklan luar ruang telah menyerang ruang publik dengan tiang-tiang papannya yang mendatangkan banyak efek negatif terhadap masyarakat sendiri. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa sudah sejak lama pertokoan meramaikan ruas jalan tersebut, dan semakin kemari, papan-papan iklan luar ruang yang tadinya menempel pada bangunan akan bergerak keluar agar bisa mendapatkan perhatian masyarakat (target audiens). Ruang publik adalah ruang yang otonom terpisah dari pengaruh negara dan kepentingan pasar. Ruang publik memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses untuk menjadi pengusung opini publik. Ruang publik dapat dikatakan sebagai sebuah ekosistem yang diharapkan dapat menjadi ruang tumbuh, ruang berinteraksi dan berkembangnya masyarakat secara sehat, produktif demokratis. Ruang publik
adalah sebuah ruang yang bebas bisa digunakan oleh siapa saja. Karena bisa digunakan oleh siapapun ini, ruang ini menjadi sebuah arena perebutan. Pihak yang berkuasa menginginkan ruang ini dapat mereka gunakan sepenuhnya. ketiga aktor ini, pemerintah, sektor bisnis, dan masyarakat warga saling beradu argumen untuk dapat memenangkan ruang ini. Pemerintah selaku pengatur regulasi sekaligus pemilik ruang ini justru menggunakannya untuk mendapatkan PAD sebanyak-banyaknya. Bisnis sebagai produsen iklan, menancapkan tiang-tiang iklan luar ruangnya agar profit yang didapatkannya terus meningkat sedangkan masyarakat warga berusaha mengambil kembali ruang bebas ini melalui gerakan-gerakan kritisnya. Ketiga aktor ini kemudian dijembatani oleh local strong man yang ada pada jajaran pemerintah dan masyarakat. Local strong man ini membuat ketiga aktor ini berada pada kedudukan yang sama. Ruang jalan termasuk ke dalam barang publik (public goods) sehingga, seharusnya didalamnya tidak boleh terjadi perebutan dan setiap orang dapat mengaksesnya tanpa orang lain merasa terkurangi haknya. Tetapi yang terjadi saat ini ruang jalan terlah berubah menjadi barang-barang umum (common-pool goods). Didalam barang umum, setiap orang memang bisa mengakses barang tersebut, namun akan penuh dengan perebutan. Ada persaingan untuk dapat menggunakannya. Jalan Affandi sebagai salah satu ruang publik yang dapat digunakan dengan baik oleh masyarakat Kabupaten Sleman pada kenyatannya ‘dijual’ oleh pemerintah kepada sektor bisnis dengan menggunakan alasan peningkatan pemasukan Pendapatan Asli Daerah. Tetapi pada kenyataannya, pemasukan yang diberikan oleh
pajak reklame hanya berkisar 1-5 persen saja dari total PAD. Dibalik kekuasaannya, pemerintah membuat banyak regulasi yang mengatur mengenai iklan luar ruang, namun banyak dari regulasi tersebut yang terkesan buram dan justru memnuculkan local strong man. Selama iklan luar ruang tersebut telah lengkap persyaratannya dan telah membayar pajak yang ditentukan, maka iklan luar ruang tersebut bisa berdiri di ruang publik. Sektor bisnis dan local strong man dalam konteks ini akan selalu diuntungkan, selain karena keuntungan yang didapat dari bisnis iklan luar ruang ini cukup menjanjikan, produk yang ditawarkan melalui papan-papan iklan luar ruang tersebut akan mudah dikenali dan mudah terjual di pasaran. Kedua aktor diatas, local strong man dan bisnis, selalu mengedepankan aspek ekonomi untuk mendapatkan pundipundi uang yang tidak sedikit, sedangkan masyarakat yang hanya ingin mendapatkan sebuah ruang bebas harus menelan pil pahit mengetahui ruang tersebut telah hilang. Ruang Jalan Affandi saat ini telah memperlihatkan bahwa kekuasaan pasar sangatlah besar. Kapital bergerak menguasai ruang publik dengan menanamkan tiang-tiang iklan luar ruangnya yang menutupi sebagian besar ruang pandang masyarakat. Masyarakat warga yang peduli terhadap tata ruang kota tentu tidak akan diam saja melihat keganasan dari aktor diatas. Hadirnya Komunitas Reresik Sampah Visual, sebuah komunitas yang digagas oleh Dr. Sumbo Tinarbuko, M,Sn sebagai bentuk perlawanan terhadap iklan luar ruang yang melanggar hak publik. Beliau mengagas ruang ini sebagai wadah pemuda-pemudi yang peduli terhadap ruang publik dan lingkungan hidup agar ramah secara ekologi visual. Dalam aksinya,
komunitas ini mengajak siapapun untuk membangun kesadaran bersama demi mewujudkan ruang publik tetap menjadi milik publik, bukan hanya digunakan untuk kepentingan kapital. Media untuk beriklan saat ini tidak hanya menggunakan papanpapan iklan luar ruang namun bisa menggunakan media-media kreatif lainnya, seperti kaos, sosial media ataupun city-ads. Justru dari media-media lain inilah iklan akan bisa lebih dirasakan dampaknya. Banyaknya gedung-gedung pencakar langit dan papan-papan reklame yang menjamur seharunya diimbangi dengan hadirnya ruang publik agar masyarakat bisa menggunakannya untuk membentuk opini-opini yang netral. Masyarakat tentu mengharapan ruang publik yang benar-benar bebas dari kepentingan bisnis dan tekanan pemerintah hadir sebagai solusi atas stress kota yang mereka hadapi saat ini. Masyarakat butuh sebuah ruang yang dapat mewadahi mereka untuk dapat berinteraksi satu sama lain, sesuai dengan kodratnya sebagai mahluk sosial.
5.2. Saran Tidak hanya pemerintah yang bersalah dalam konteks ini. Pemerintah melalui dinas-dinas terkait memang bersalah karena tidak menyediakan tempat untuk iklan luar ruang bertengger, tidak membuat aturan yang jelas mengenai jumlah iklan luar ruang yang diijinkan untuk bertengger dalam suatu wilayah. DPR pun pada kenyataannya tidak segera mendesak pemerintah pusat untuk membuat aturan yang jelas. Mereka hanya membuat target PAD yang terus saja meningkat. Dinas-dinas terkait tidak pernah bergerak secara proaktif untuk pengawasan iklan luar ruang
tersebut. Dibutuhkan masterplan yang jelas dari pemerintah agar produsen iklan ini dapat meletakkan media iklan luar ruangnya tepat pada tempatnya. Tetapi masyarakat yang merasa memiliki daerah tersebut lalu dengan sesukanya meletakkan iklan-iklan luar ruangnya. Mereka bisa meletakkannya dimana saja asal pada lokasi tersebut target pasarnya dapat melihatnya. Masyarakat luas seharusnya juga bergerak aktif dalam memerangi maraknya iklan luar ruang ini. Ruang publik sama halnya dengan rumah kita masing-masing, apabila ada sampah visual yang menganggu maka wajib kita hilangkan tanpa perlu menunggu adanya tindakan dari pemerintah. Jika masyarakat tetap tidak peduli dengan keberadaan sampah iklan luar ruang yang semakin menjamur ini maka sampah-sampah visual inipun akan semakin tidak peduli dengan kenyamanan masyarakat sendiri. Tidak peduli seberapa banyak petugas yang dikerahkan oleh pemerintah untuk melepaskan iklan-iklan luar ruang yang melanggar, jika masih banyak masyarakat yang meletakkan iklan luar ruang tidak pada tempatnya, maka tidak akan ada gunanya semua jerih payah petugas tersebut. Ruang publik adalah ruang milik bersama yang tentu harus dijaga bersama-sama.