150
BAB V PENUTUP Pada tahun 1950an merupakan momen kebangkitan penghayat kepercayaan. Mereka mulai menunjukkan eksistensinya dengan membentuk organisasi berskala nasional. Wongsonegoro sebagai representasi mereka, meminta Sukarno agar aliran kepercayaan disetarakan statusnya layaknya agama resmi lainnya (Mutaqin 2014). Secara politis, Negara cukup khawatir sehingga merespon hal tersebut melalui Departemen Agama. Agar bisa diakui sebagai agama resmi di Indonesia, maka pada tahun 1952 Departemen Agama memberikan konsepsi tentang agama dikarenakan banyaknya aliran kepercayaan yang muncul pada saat itu. Karakteristik agama yang dirumuskan antara lain mempunyai nabi, kitab suci dan pengakuan berskala internasional, namun ternyata definisi tersebut ditolak oleh komunitas agama Hindu Bali karena konsepsi yang dirumuskan oleh Departemen Agama tidak representatif bagi mereka (Mulder 1998). Kemudian tak lama dari agenda tersebut, Negara membentuk Pakem pada tahun 1954 untuk mengawasi kelompok agama atau aliran kepercayaan baru yang dianggap ‘menyimpang’ dari kelompok mainstream. Pada tahun 1961 Departemen Agama kembali memberikan definisi agama yang bisa diakui di Indonesia, yakni memiliki kitab suci, mempunyai nabi, kepercayaan pada Tuhan YME dan ajaran bagi pengikutnya (Mulder 1998). Hal ini bertujuan untuk menyingkirkan aliran kepercayaan yang muncul di saat itu. Selang beberapa tahun kemudian Presiden Sukarno mengeluarkan kebijakan pembatasan agama hanya 6 yang dipeluk oleh
151
rakyat Indonesia melalui UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan dan atau Penyalahgunaan Agama pada 27 Januari 1965. Sementara itu, agama yang dianggap memenuhi kriteria tersebut dan diakui di Indonesia hanyalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu. Dalam UU tersebut, penyebutan agama yang diakui adalah dengan istilah agama yang dipeluk bangsa Indonesia berdasarkan latar historis masuknya agama-agama tersebut ke Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa keenam agama yang diakui Negara sebenarnya adalah agama-agama impor. Lalu mengapa dengan begitu banyak jumlah agama lokal maupun aliran kepercayaan sebagai agama asli Indonesia tidak dilihat sama sekali? Jika masalahnya adalah kuantitas, maka akan ada agama-agama baru yang harus diakui Negara dalam hal jaminan maupun bantuan. Jika masalahnya adalah konsepsi agama yang dicetuskan oleh Departemen Agama, maka seharusnya tidak ada agama Hindu, Budha dan Khonghucu dalam undang-undang tersebut sebagai agama resmi. Sehingga bisa terlihat bahwa pembatasan agama dalam undangundang tersebut adalah kepentingan politis Negara pada masa itu. Hal tersebut tentu tidak sesuai jika diterapkan hingga saat ini. Di tahun yang sama, peristiwa G30S menjadi alat Negara untuk mendukung kebijakan penguasa saat itu. Masa transisi pemerintahan yang direbut secara paksa oleh pemerintah orde baru melibatkan penghayat kepercayaan untuk merasakan dampak buruknya. Pemerintah orde baru mempolitisasi PKI sebagai jalan proselitasi bagi mereka yang belum memeluk agama resmi. UU No.1/PNPS/1965 menjadi sumber legitimasi mereka untuk menyelamatkan Negara dari pengaruh komunisme. PKI dicap sebagai komunitas atheis yang bertentangan dengan
152
ideologi pancasila. Atheism dianggap sebagai suatu kejahatan yang harus dilenyapkan. Konsekuensinya para penghayat kepercayaan dihadapkan dengan dua pilihan yakni memeluk agama resmi atau mati. Hal ini berdampak sangat buruk bagi eksistensi aliran kepercayaan dan agama lokal di Indonesia. Terbukti pada masa itu kuantitas pengikutnya menurun drastis. Sekalipun diantara mereka ada yang masih menjalankan ritual keagamaannya, namun mereka yang tidak berani melakukannya secara terang-terangan. Suasana politik pada masa itu jelas berbeda dengan situasi sekarang, namun kenyataannya UU No.1/PNPS/1965 masih dipertahankan di tengah-tengah kemajemukan bangsa Indonesia sehingga menjadi penghalang keharmonisan dalam beragama. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penjelasan UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan atau Penodaan/ Penyalahgunaan Agama terkait keberadaan aliran kepercayaan di Indonesia yang menyebutkan bahwa Negara berusaha menyalurkan ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa (Sihombing 2008). Padahal penghayat kepercayaan yang ada di Negara ini juga mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa seperti halnya warga kerokhanian Sapta Darma. Bagi penghayat kerokhanian Sapta Darma, mereka justru melarang keras kepercayaan pada leluhur dan sejenisnya sebagai bukti kepercayaan teguh mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Undang-undang tersebut menjadi salah satu sumber legitimasi yang kuat untuk mendiskriminasi kelompok minoritas di Negara ini dengan cara mengklaim sesat agama local maupun aliran kepercayaan yang ada karena status mereka tidak tercantum dalam
153
sebagai agama resmi Negara. Stigmatisasi buruk tersebut berimbas pada aspek kehidupan lainnya baik dalam hal bermasyarakat maupun bernegara. Dalam Tap MPR 1978 tentang GBHN disebutkan bahwa kepercayaan bukanlah termasuk agama. Namun tidak ada penjelasan lebih jauh mengenai konsepsi kepercayaan menurut perspektif Negara. Banyak pakar yang mendefinisikan arti kepercayaan maupun kebatinan. Namun definisi tersebut tidak didukung dengan dasar hukum yang jelas diberlakukan di Negara ini. Negara hanya memberikan regulasi bagi penghayat kepercayaan dalam hal administrasi kependudukan dan pelayanan lain bagi penghayat kepercayaan. Artinya, keberadaan aliran kepercayaan secara hukum diakui oleh Negara, namun pemberian hak-hak mereka masih setengah-setengah. Pada tahun 2010 bergulir wacana tentang Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB) atau yang kemudian disebut dengan Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). Spirit yang diusung oleh RUU tersebut adalah UUD 1945 pasal 29 karena dalam dasar konstitusi tersebut belum ada undang-undang turunannya. Menurut Menteri Agama saat ini, RUU PUB diharapkan mampu memberikan perlindungan kepada pemeluk di luar agama enam, bukan sebagai alat kontrol Negara. Beberapa hal yang menjadi isu dalam RUU tersebut, antara lain: hak pemeluk agama di luar enam, definisi agama, penyiaran agama, pendirian rumah ibadah dan juga tentang penodaan agama. Beberapa hal tersebut sudah mempunyai regulasi yang pasti. Misalnya pendirian
154
rumah ibadah sudah ada aturan yang jelas baik untuk pemeluk agama enam maupun di luar agama tersebut. Beberapa kebijakan Negara yang sudah diterapkan selama ini sangat diskriminatif bagi kelompok minoritas. RUU PUB yang direncanakan sebagai upaya peningkatan perlindungan bagi mereka, cukup diragukan untuk dapat dilaksanakan. Selama ini sudah banyak regulasi yang mengatur kelompok minoritas dalam beberapa hal yang berbeda, namun fakta di lapangan tidak seperti yang diharapkan. Seharusnya Negara tidak memberi batasan dalam bentuk undang-undang. Tidak ada gunanya diundangkan kalau nantinya tidak dilaksanakan sebagaimana undang-undang sebelumnya. Pendekatan kuasa seperti ini tidak solutif bagi warga negara. Sebaiknya Negara memperbaiki sistem pelayanan yang baik di berbagai ranah publik daripada membuat undang-undang baru. Sifat undang-undang yang sangat mengikat akan berdampak buruk bagi kelangsungan kemajemukan bangsa Indonesia. Jika definisi agama yang ditawarkan dalam RUU tersebut masih kental dengan nuansa Abrahamik, maka dapat dipastikan tidak dapat mengakomodasi agama atau kepercayaan di luar enam tersebut karena definisi tersebut menjadi salah satu penyebab diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Permasalahan yang dihadapi oleh warga kerokhanian Sapta Darma juga dialami oleh penghayat kepercayaan lainnya. Misalnya anak-anak komunitas Samin (Sedulur Sikep) di Kudus yang diwajibkan mengikuti pendidikan agama di sekolahnya. Pelajaran tersebut bukanlah ajaran yang mereka anut, namun
155
sekolahnya hanya menyediakan pendidikan agama yang diakui oleh Negara. Selain itu, mereka juga mendapatkan perlakuan buruk dari Negara dalam memperoleh akta kelahiran. Redaksi yang ditulis dalam akta tersebut adalah “telah lahir si Y anak ke…, perempuan luar kawin dari si X”. padahal pasangan Samin tersebut menikah secara sah menurut ajaran mereka. Hal tersebut jelas melukai hak mereka sebagai warga Negara. Di beberapa negara tentangga juga ditemukan kemiripan kasus sebagaimana di Indonesia. Maori, agama lokal di New Zealand yang di satu sisi mendapatkan pengakuan resmi dari Negara sebagaimana agama lainnya melalui Perjanjian Waitangi, namun di sisi lain Maori merasakan ketidakpuasan karena adanya pembatasan ekspresi keagamaannya yang dianggap mengarah pada Paganisme (Ahdar 2003) dan juga ritualnya yang masih diartikan sebagai hal tabu di depan publik. Karakteristik Maori yang peduli dengan alam dan lingkungan terbentur dengan kepentingan Negara yang lebih mementingkan teknologi. Di Australia dan Kanada, ada organisasi nirlaba yang dikelola oleh penganut agama lokal di kedua negara tersebut untuk membantu penganut agama lokal lainnya dalam mendapatkan hak sipil mereka. Organisasi tersebut adalah Native Counselling Services of Alberta (NCSA) di Kanada yang menyediakan layanan informasi resmi dan pegawai pengadilan asal pribumi dan Aboriginal Legal Rights Movement Inc. (ALRM) di Australia yang menyediakan jasa informasi dan perwakilan secara resmi. Hal ini dilatar belakangi adanya fakta bahwa penganut agama lokal sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif oleh Negara (Nielsen 2006) sehingga perlu didampingi dalam mendapatkan hak sipil mereka
156
dan juga advokasi dalam ranah publik lainnya. Bahkan di Australia, upaya negosiasi sudah dilakukan oleh pemeluk agama lokal di sana. Misalnya sebelum tahun 90an Negara dan orang pribumi sangat eksklusif dalam hal pemilikan tanah, namun setelah tahun 2000an keduanya lebih terbuka dan mampu bernegosiasi sehingga membawa manfaat bagi kedua belah pihak. Selain itu adalah permintaan orang pribumi agar mempunyai kedudukan setara dan dipenuhi hak sipilnya sebagaimana warga lainnya. Adanya beberapa pergerakan pribumi mampu menjembatani permasalahan tersebut. Hal ini bertujuan agar terjalin hubungan yang harmonis diantara pemeluk agama lokal, Negara maupun kelompok lainnya (Merlan 2005). Negosiasi menjadi tawaran terbaik untuk menyelesaikan masalah penghayat kepercayaan, baik di Indonesia maupun Negara lainnya. Hal tersebut dimulai dari tataran akar rumput yang selama ini langsung terkena dampak buruk akibat perlakuan diskriminasi baik oleh masyarakat sekitar maupun Negara. Beberapa komunitas sudah mampu melakukan strategi negosiasi dan terbukti meminimalisir konflik yang ada, maka kami optimis komunitas lainnya juga bisa melakukan scaling up dalam menghadapi permasalahan yang berbeda-beda.