BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1.
Konsep manusia dari Erich Fromm merujuk pada pandangan yang bersifat antropologico-philosophies, dengan berada pada dua persimpangan yaitu pandangan manusia yang mendasarkan atas pemahaman tentang sifat-sifat dasariah manusia yang esensial, tetap, dan selalu hadir dalam setiap perkembangan peradaban dengan terpengaruh oleh pemikiran Freud, disisi lain Fromm terpengaruh naturalisme historis dari Marx dengan pemahaman tentang kondisi manusia yang selalu mengalami perkembangan, bersifat dinamis, dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru. Fromm memandang bahwa manusia dalam keberadaannya bersifat paradoks, dengan dikotomi-dikotominya yang bersifat kontradisksi. Hal ini dikarenakan manusia secara esensial memiliki sifat-sifat yang berdasar pada strutur psikologisnya berupa kesadaran akan dirinya yang terisolasi, teralienasi, dan kesepian, karena keterpisahannya atas berbagai ikatan primordial. Akal manusia yang telah merancukan keharmonisan manusia
dengan
alam.
Dengan
akal,
manusia
mampu
sadar
akan
ketidakberdayaannya dan ketidakkuasaannya atas kelahiran dirinya, dan kondisi kemanusiawiannya yang selalu mengalami kecemasan dalam menghadapi ujung kehidupannya yaitu kematian.
171
172
Manusia dituntut untuk mampu mengatasi kondisi yang semata pasif dan tak berdaya tersebut, dengan menggunakan imajinasinya untuk melampui segala pengertian, mencipta, dan mengatasi sebagian dari alam, manusia menngalami kebebasannya tetapi sekaligus merasa kesepian (being lonely) karena harus menanggung sendiri konsekuensi dari pilihannya. Kondisi tersebut menimbulkan kebutuhan manusia yang paling manusiawi, yaitu menemukan keharmonisan baru yang bersifat manusiawi. Fromm mengklasifikasikan kebutuhan manusia dalam menanggulangi permasalahan eksistensialnya, yaitu kebutuhan atas keberakaran (Need for Rootedness), kebutuhuan kerangka orientasi (Frame of Orientations), kebutuhan identitas diri (Need for Identity), dan kebutuhan transendensi (Need for Trancendence). Sedangkan Fromm juga membedakan jalan dalam mengatasi permasalahan eksistensial manusia tersebut dengan dua karakter, yaitu: karakter non-produktif yang didorong insting destruktif baik dalam sikap masokistis (submisif) ataupun sadisme (dominer), sedangkan karakter produktif didorong oleh insting hidup / kecintaan, yang menjunjung sikap aktif dengan mengatasi dirinya yang semata ciptaan yang pasif dan tak berdaya, dengan sikap kecintaan yang bersifat produktif akan membawa kepada keharmonisan dalam hidup dan menjadi solusi permasalahan eksistensial manusia.
2.
Realitas pengabdian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta mengalami perkembangan historis yang berbanding lurus dengan perubahan sosial politik.
173
Perkembangan tersebut secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga masa, yaitu masa kekuasaan politis Nagari Kasunanan Surakarta, masa Pergerakan Nasional, dan masa kemerdekaan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa kekuasaan Nagari Kasunanan Surakarta, abdidalem adalah pelaksana parentah ageng yang menjembatani perintah raja terhadap rakyatnya (kawula). Pengabdian abdidalem didorong oleh kebutuhan ekonomi dan status sosial, oleh karena pada masa tersebut raja adalah centre of rule sebagai wakil Hyang Agung. Pada masa tersebut abdidalem dipahami sebagai abdi raja yang harus patuh terhadap kewenangan raja, dan kemanunggalan yang terjadi berdasar pada tingkatan hierarkis dimana raja dan keluarganya memiliki kedudukan yang tertinggi. Abdidalem berada dalam posisi in-between, antara raja dengan kawula hangandap, baik dalam status sosial maupun tingkat ekonominya, dan hal tersebut yang menjelaskan bahwa abdidalem mampu memiliki pengaruh dalam perubahan sosio-kultural masyarakat masa itu. Terutama hal ini nampak pada masa Pergerakan Nasional dengan keberadaan beberapa perhimpunan yang dimotori oleh abdidalem terdidik yang menjadi pintu gerbang restorasi kerajaan dan kemajuan masyarakat Jawa. Masa kemerdekaan dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga memperlihatkan perubahan yang paling mencolok, setiap individu sebagai warga negara saat ini berhak mengaktualisasikan dirinya sesuai kebebasan yang diberikan oleh negara, baik dalam aspek ekonomi maupun politik. Keraton Kasunanan sudah tidak lagi memiliki kekuasaan politis yang
174
mengikat terhadap masyarakat maupun para abdidalem. Tetapi yang jadi menarik adalah para abdidalem dengan kesadaran pribadinya tetap mengabdikan diri pada keraton Kasunanan Surakarta, meskipun dengan pendapatan yang sangat kecil. Dalam hal ini terdapat perubahan persepsi terhadap pengabdian abdidalem dan hubungan abdidalem dengan raja. Abdidalem pada masa ini dipahami sebagai salah satu komponen kemanunggalan yang bertujuan sebagai pangembang budaya yang bersumber dari keraton., dan bukan lagi sebagai profesi yang berorientasi pada status sosial ataupun keuntungan secara ekonomi. 3.
Pengabdian abdidalem adalah suatu realitas manusiawi. Dimana menurut Fromm setiap realitas manusiawi harus dipahami mendalam dengan melihat sifat dasariah manusia yang berlandas pada kondisi eksistensialnya. Pengabdidan abdidalem masa kekuasaan politis Nagari Kasunanan Surakarta merupakan suatu sikap yang didorong oleh kebutuhannya atas tingkat ekonomi dan status sosial. raja dipandang sebagai bapak yang menjadi sumber pengayoman, sumber perlindungan, sumber kehidupan, sekaligus sumber aturan. Oleh karena itu kedudukan seorang abdidalem pada masa kekuasaan politis Nagari Kasunanan Surakarta dapat dipahami sebagai abdi raja yang hanya bersikap sendika dawuh terhadap kehendak raja. Dapat dipahami bahwa hubungan abdidalem tersebut memiliki kaitan dengan konsepsi ayah pelindung dalam pandangan Freud yang dipahami Fromm sebagai sosok the magic helper. Hal tersebut menjelaskan suatu kesatuan yang dilandasi oleh ikatan-ikatan ketergantungan yang menuntut
175
kepatuhan terhadap sosok pelindung yang sekaligus sebagai sumber aturan. Keberakaran yang terjadi bersifat masokistis (submisif), didorong oleh insting destruktif yang merusak individualitas seseorang dengan sekedar reseptif terhadap otoritas di luar diri. Orientasi yang dipegang adalah kepatuhan terhadap raja yang keputusannya dianggap mutlak (tan kena wola wali). Kondisi semacam ini bagi Fromm tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan eksistensial manusia. Pada masa pergerakan nasional, pendobrakan terhadap pintu otoritas kepada gerbang baru kemajuan itu muncul dengan berbagai perhimpunan yang dimotori oleh para abdidalem terdidik menuju kemajuan Jawa untuk kepentingan umum. Suatu bentuk restorasi kerajaan Jawa termasuk Kasunanan Surakarta dengan mengedepankan pendidikan dan semangat emansipasi tanpa merusak kemanunggalan dari kawula, abdidalem, sentanadalem, dan raja. Dimana dalam hal ini ketentuan etis yang merujuk pada harapan kondisi yang lebih baik mengalami pergeseran dari otoritas raja kepada kepentingan umum, yang mana masing-masing individu memiliki otoritas mandiri atas hidupnya. Fromm memahami bahwa sikap aktif dapat dipahami sebagai sikap yang dapat memberikan pengaruh (to effect) secara reasoning yang menjadi bukti keberadaan seseorang, untuk mengatasi diri yang sebatas pasif dengan tunduk terhadap otoritas di luar dirinya. Dan hal tersebut nampak dalam sikap yang dilakukan abdidalem pada masa Pergerakan Nasional yang telah membawa pada gerbang keharmonisan dengan semangat solidaritas yang lebih luas.
176
Perubahan sosial, politik, dan kultural dari lingkungan keraton Kasunanan Surakarta yang paling nampak adalah pada masa kemerdekaan saat terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa tersebut abdidalem memiliki kesempatan dan keleluasaan dalam menentukan arah hidupnya. Dan pengabdian abdidalem keraton Kasunanan Surkarta pada masa kemerdekaan adalah suatu sikap yang didorong oleh kesadaran pribadi dan bukan merupakan bentuk ketergantungan yang reseptif karena dijalani tanpa dasar tuntutan ekonomi dan status sosial seperti pada masa kekuasaan politis kerajaan. Dan dapat dikatakan pengabdian para abdidalem tersebut melampaui orientasi mayoritas masyarakat saat ini yaitu masyarakat modern yang mengutamakan persoalan untung rugi. Identitas dari para abdidalem pada masa kemerdekaan ini adalah pangembange budaya, yang merupakan identitas yang bersifat aktif dalam pelestarian budaya yang bersumber dari keraton Kasunanan Surakarta. Apabila dilihat dengan merujuk pada pemikiran Fromm dapat disimpulkan bahwa pengabdian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta pada masa kemerdekaan ini adalah suatu tindakan yang didorong oleh pencarian keharmonisan hidup manusia. Hal tersebut dapat dipahami dari wawancara antara peneliti dengan beberapa abdidalem, dimana hal yang mendorong abdidalem mengabdikan diri adalah semata rasa tanggungjawab / gawa gawe, dan dalam pengabdian tersebut abdidalem mampu mendapatkan kekayaan yang bersifat non-materiil yaitu sugih sedulur, sugih kesabaran, dan rasa ayem tentrem. Yang dikedepankan dalam hal ini adalah hubungan persaudaraan dan rasa nyaman dalam keharmonisan, yang
177
mana masing-masing komponen dalam kemanunggalan-nya memiliki perannya masing-masing secara aktif, yaitu secara sadar tanpa tuntutan yang berasal dari faktor eksternal, baik tekanan dari penguasa, tuntutan ekonomi, ataupun kebutuhan atas status sosial. Fromm memahami bahwa suatu ikatan manusiawi dalam keberakaran tertentu yang di dalamnya setiap komponen mampu bersikap aktif dan produktif yaitu dengan proses giving tanpa merusak individualitas masing-masing adalah suatu ikatan yang dilandasi oleh kecintaan. Dan kecintaan tersebut dapat disimpulkan adalah yang telah mendasari proses pengabdian para abdidalem tersebut pada masa kemerdekaan saat ini. Fromm memahami kecintaan semacam ini sebagai brotherly love, suatu solidaritas yang dilandasi oleh tanggungjawab, keinginan untuk memajukan, dan perasaan saling menghormati. Hal tersebut tercermin dalam keberakaran dari para abdidalem yang terjalin dalam lingkungan keraton Kasunanan Surakarta pada masa kemerdekaan ini yang dapat dipahami sebagai suatu ikatan atas dasar kecintaan, kesadaran akan tanggung jawab terhadap pelestarian budaya yang bersumber dari keraton Kasunanan Surakarta, kecintaan abdidalem kepada setiap komponen lainnya, kesatuan hubungan solidaritas yang menjunjung kemerdekaan masing-masing individu dan tidak merujuk pada idaman kesamaan yang dipaksakan, serta rasa nyaman dan mempertebal daya hidup masing-masing abdidalem tersebut
178
B. SARAN Penelitian terhadap pengabdian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta dalam perspektif filsafat manusia dari Erich Fromm semacam ini adalah penelitian yang harus terus menerus dilakukan. Dimana penguakan terhadap sifat-sifat dasariah manusia yang paling esensial seperti ini mampu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya keberadaan kesaling pemahaman antar manusia, agar mampu menekan timbulnya kesalahpahaman maupun kecurigaan dalam hubungan sosial. Berbagai aspek esensial yang mendasari keberadaan manusia patut diberikan perhatian untuk dipahami secara lebih mendalam agar mampu memberikan suatu arah atau pendasaran etis bagaimana manusia dapat memanusiawikan dirinya, mampu berhubungan dengan lingkungan sosialnya tanpa merusak individualitas dirinya dan orang lain, serta mampu membentuk keharmonisan antar umat manusia khususnya di Indonesia dengan berlandaskan pada Kemanusiaan yang Adil dan Beradab sesuai sila kedua dari Pancasila yang menjadi landasan filosofis dari Bangsa Indonesia. Penelitian ini yang telah mengambil konteks pengabdian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta sebagai objek material, mampu memberikan gambaran tentang aspek historis perkembangan keraton Kasunanan yang tidak hanya melulu bersifat top-down dengan merujuk pada kehidupan raja dan perubahan kekuasaannya. Penelitian ini mencoba mengambil perhatian pada segi-segi sosial lain yang juga memiliki kontribusi dalam perkembangan keraton
179
Kasunanan dan juga mengalami perubahan secara historis, yaitu pengabdian abdidalem keraton Kasunanan Surakarta. Semangat pengabdian para abdidalem terutama pada masa kemerdekaan yang telah disimpulkan bukan berlandaskan harapan atas keuntungan material maupun status sosial tertentu tetapi berlandaskan kecintaan tersebut perlu untuk dijadikan suatu suri tauladan bagi masyarakat Indonesia secara luas. Hal tersebut mengingat mayoritas masyarakat saat ini telah terbelenggu oleh cara pandang modern yang kompetitif dengan saling jegal menjegal berebut kedudukan, berlomba dalam hal kepemilikan barang-banrang, serta mengedepankan semangat kapitalisme yang menjadikan indikator untung rugi sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan terutama dalam kehidupan sosial. Nilai-nilai luhur yang tertanam dalam pengabdian para abdidalem Kasunanan Surakarta seperti ketulusan, tanggungjawab, dan solidaritas universal yang telah mengatasi perbedaan untuk mencapai kemanunggalan dalam proses pelestarian budaya yang bersumber dari keraton Kasunanan Surakarta, harus diilhami sebagai salah satu landasan dalam kehidupan berbangsa untuk mencapai kesatuan dan persatuan dengan ditujukan pada kepentingan umum, serta memberikan norma-norma yang bersifat manusiawi tanpa menggerus integritas tiap individu.