BAB V PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang diperoleh meliputi karakteristik responden dan hasil uji statistik hubungan antara pengetahuan tentang hygiene organ reproduksi dengan kejadian keputihan pada akseptor KB IUD akan dibahas pada bab ini. Dari data yang terkumpul, telah dilakukan pengolahan data untuk mengetahui adakah hubungan antara pengetahuan tentang hygiene organ reproduksi dengan kejadian keputihan pada akseptor KB IUD. A. Karakteristik Responden Hasil penelitian pada tabel 4.1 mengenai distribusi frekuensi jumlah responden berdasarkan usia didapatkan hasil sebagian besar responden berusia 20 – 35 tahun yaitu sebanyak 30 responden (57,7 %). Hal ini sesuai dengan pendapat Saiffudin (2010) bahwa sebagian besar klien keluarga berencana berusia muda (usia 20 – 35 tahun) dan pada umumnya sehat. Dimana pada wanita, masalah kesehatan reproduksi yang membutuhkan perhatian (misalnya kanker genetalia, payudara, dan fibroma uterus) jarang didapat pada usia sebelum 35 tahun. Menurut Sulistyawati (2011) pada usia 20 – 30 tahun dianjurkan untuk menjarangkan kehamilan. Cara alat kontrasepsi yang dianjurkan adalah IUD, Implan, Suntik, Pil, Kondom atau Intravagina. Menurut Hartanto (2013) umur ibu antara 20 – 30 tahun merupakan usia yang terbaik untuk mengandung dan melahirkan, kemudian
45
46
segera setelah anak pertama lahir, dianjurkan untuk memakai IUD sebagai pilihan utama, pilihan kedua adalah norplat atau pil. Hasil penelitian pada tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat pendidikan responden adalah tingkat pendidikan menengah yaitu SMP, SMA dan SMK yang berjumlah 38 responden (73,1 %). Sedangkan responden yang berpendidikan rendah yaitu SD sebanyak 11 responden (21,1 %) dan berpendidikan tinggi hanya berjumlah 3 responden (3,8 %). Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa pendidikan seseorang yang tinggi belum tentu berpengaruh terhadap perilaku sehari – hari dan orang yang berpendidikan tinggi belum tentu menggunakan alat kontrasepsi yang efektif (BKKBN, 2011). Peningkatan tingkat pendidikan umumnya akan berdampak pada tingkat kelahiran yang rendah karena pendidikan tinggi akan mempengaruhi usia kawin yang tinggi sehingga masa reproduksi menjadi lebih pendek. Lebih lanjut dalam hubungan pemakaian kontrasepsi, pendidikan akseptor dapat mempengaruhi dalam pemilihan jenis kontrasepsi yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kelangsungan pemakaiannya (Nasution, 2011). Hal ini sesuai dengan teori menurut Soekanto (2007) dalam Destyowati (2011) bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin mudah menerima informasi, sehingga semakin banyak pula pengetahuanya mengakibatkan responden mudah menerima informasi tentang kontrasepsi. Hasil penelitian pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden bekerja, diantaranya sebagai karyawan swasta, wiraswasta, guru dan PNS yaitu sebanyak 33 responden (63,5 %). Sedangkan responden yang
47
tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga sebanyak 19 responden (36,5 %). Pekerjaan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan pemilihan alat kontrasepsi, karena ketika seseorang bekerja maka lingkungan pekerjaan terebut akan mempengaruhi pemilihan metode kontrasepsi dan sangat mempengaruhi kemantapan
ibu
dalam
menggunakan
suatu metode
kontrasepsi (BKKBN, 2011). Selain itu, Kusumaningrum (2009) juga mengungkapkan bahwa adanya pekerjaan mempengaruhi seseorang untuk mengendalikan kelahiran. Sedangkan menurut Yusuf (2013) status pekerjaan dapat berpengaruh terhadap keikutsertaan KB, karena adanya faktor pengaruh lingkungan pekerjaan yang mendorong seseorang untuk ikut dalam KB. Sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi dalam pemakaian kontrasepsi. Hasil penelitian pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah mempunyai 2 anak, yaitu sebanyak 30 responden (57,7 %). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Pratiwi (2010) dalam Agung (2013) yang menunjukan bahwa paritas dapat mempengaruhi seseorang dalam memilih alat kontrasepsi yang efektif dan mantap yang sesuai dengan kondisi dirinya agar tidak terjadi kehamilan resiko tinggi yang dapat mengakibatkan kematian ibu dan bayi. Ibu yang telah memiliki 2 anak memilih untuk menggunakan alat kontrasepsi kontrasepsi jangka panjang seperti IUD yang memiliki efektivitas yang tinggi, sehingga kemungkinan untuk mengalami kehamilan lagi cukup rendah.
48
Hasil penelitian pada tabel 4.5 menunjukkan sebagian besar responden telah mendapatkan informasi tentang hygiene organ reproduksi yaitu sebanyak 40 responden (76,9 %). Pada tabel 4.6 dapat diketahui distribusi responden berdasarkan sumber informasi tentang hygiene organ reproduksi, sumber informasi yang diperoleh responden antara lain media cetak, media elektronik, orang lain dan tenaga kesehatan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2012), keterpaparan seseorang terhadap informasi dapat merubah pengetahuan, sikap dan perilaku yang dimiliki seseorang. Semakin banyak sumber informasi yang didapat semakin baik pula pengetahuan seorang akseptor IUD tentang hygiene organ reproduksi. Hasil penelitian pada tabel 4.6 juga dapat dilihat bahwa responden paling banyak dalam memperoleh informasi mengenai hygiene organ reproduksi yaitu dari media elektronik diantaranya televisi, radio maupun internet yaitu 21 responden (36,2 %) sehingga media elektronik berperan dalam memberikan informasi mengenai hygiene organ reproduksi tersebut. Sebagian besar responden memperoleh informasi dari media elektronik dibandingkan dari media cetak, orang lain maupun tenaga kesehatan. Hal ini disebabkan responden lebih banyak mengakses media elektronik seperti televisi, radio maupun internet di kesehariannya. Televisi dan radio dapat dikatakan sebagai media komunikasi massa yang dapat dimiliki oleh masyarakat dibandingkan media massa lainnya, sehingga masyarakat dapat mengakses siaran televisi maupun radio kapan saja dan dimana saja. Siaran televisi dan radio sangat komunikatif dalam
49
memberikan pesan atau informasi kepada masyarakat, sehingga media elektronik merupakan media massa yang dianggap paling sukses dalam menyebarkan informasi secara cepat kepada khalayak masyarakat (Lisa, 2012). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2012) bahwa sumber informasi merupakan segala sesuatu yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi yang dapat menstimulus seseorang, sumber informasi dapat diperoleh melalui keluarga, media cetak (surat kabar, majalah), media elektronik (televisi, radio, internet), melalui tenaga kesehatan dan sumber informasi lainnya. Hasil penelitian pada tabel 4.7 mengenai distribusi frekuensi responden berdasarkan lama penggunaan IUD menunjukkan bahwa responden terbanyak dalam lama pengguaan IUD adalah kategori 1 – 3 tahun yaitu sebanyak 32 responden (61,6 %). Hal ini telah disesuaikan dengan kriteria inklusi bahwa responden adalah akseptor KB IUD yang telah menngunakan IUD > 1 bulan dan ≤ 5 tahun, karna menurut Mochtar (2011) keputihan yang berlebihan disebabkan oleh reaksi organ genetalia terhadap benda asing biasanya terjadi dalam beberapa bulan pertama setelah insersi. Menurut Hartanto (2013), risiko infeksi meningkat dengan makin lamanya pemakaian IUD. Pada pemakaian 5 tahun atau lebih, risiko meningkat 5 kali, apalagi bila ditambah dengan partner seksual yang banyak. Lama pemakaian IUD sangat berisiko menggangu flora normal vagina (Ernawati, 2013). Hasil penelitian pada tabel 4.8 mengenai distribusi frekuensi jumlah responden berdasarkan jenis IUD menunjukkan sebagian besar responden
50
menggunakan IUD dengan jenis Cooper T yaitu sebanyak 39 responden (75 %). Hal ini sesuai dengan pendapat Glasier (2006) bahwa IUD jenis Cooper T lebih diminati karna dilihat dari sisi biaya, harganya terjangkau lebih murah untuk pemakaian alat kontrasepsi jangka panjang. Selain itu juga dilapangan para petugas KB safari menggunakan IUD jenis Cooper T. Hal ini sangat memungkinkan jumlah akseptor KB IUD jenis Cooper T lebih banyak ditemukan daripada jenis lainnya. Berdasarkan hasil penelitian juga dapat dilihat bahwa terdapat 10 responden yang tidak mengetahui jenis IUD yang digunakan. Hal ini disebabkan responden lupa dan tidak mengetahui jenis IUD yang digunakan, serta hilangnya kartu KB responden. B. Pengetahuan Tentang Hygiene Organ Reproduksi Hasil penelitian pada tabel 4.9 mengenai distribusi responden berdasarkan pengetahuan tentang hygiene organ reproduksi menunjukkan sebagian besar responden mempunyai pengetahuan tentang hygiene organ reproduksi cukup sebanyak 26 responden (50 %), sedangkan pengetahuan tentang hygiene organ reproduksi yang baik dan kurang masing-masing memiliki prosentase yang sama yaitu 25 % (13 responden). Dilihat dari jawaban akseptor IUD tentang pengetahuan hygiene organ reproduksi bahwa sebagian besar mengetahui bagaimana cara membasuh alat kelamin setelah buang air kecil maupun buang air besar, mereka juga mengetahui cara perawatan yang benar agar vagina tetap terjaga kelembabannya, misal menggunakan celana dalam yang tidak ketat dan terbuat dari bahan yang menyerap keringat, kemudian mengeringkan alat
51
kelamin setelah buang air kecil dan tidak menggunakan pembalut yang terbuat dari bahan parfum serta tidak menggunakan sabun antiseptik secara berlebihan. Berdasarkan data hasil penelitian ini, sebagian besar responden yang memiliki pengetahuan cukup pada usia 20 – 35 tahun sebanyak 16 responden dan > 35 tahun sebanyak 10 responden. Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan pada usia ini (Health, 2009). Sedangkan menurut Mardani (2010), semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang, dasar berfikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat seseorang yang telah dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup kedewasaannya. Berdasarkan data hasil penelitian ini, sebagian besar responden yang memiliki pengetahuan cukup dengan tingkat pendidikan menengah yaitu SMP, SMA, SMK berjumlah 22 responden, pendidikan tinggi sebanyak 2 responden dan pendidikan SD hanya 2 responden. Pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki seseorang. Menurut Nursalam dan
52
Siti Pariani (2001) dalam Mardani (2010) pengetahuan diperoleh dari adanya suatu proses pendidikan, utamanya pendidikan formal dimana pendidikan yang terlalu rendah akan sulit mencerna pesan dan informasi yang disampaikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah untuk menerima informasi, sehingga dengan semakin banyaknya informasi yang diperoleh maka semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal (Health, 2009). Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.9, terdapat beberapa akseptor IUD yang pengetahuannya kurang tentang hygiene organ reproduksi yang sebagian besar dengan tingkat pendidikan rendah. Faktor karakteristik responden berupa pendidikan berpengaruh terhadap informasi yang diterima dari media cetak, media elektronik, orang lain maupun penyuluhan dari tenaga kesehatan. Pendidikan yang terlalu rendah akan sulit mencerna pesan dan informasi yang disampaikan (Notoadmodjo, 2012). Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden memperoleh informasi mengenai hygiene organ reproduksi dari media elektronik (36,2 %) dan media cetak (27,6 %) dibandingkan dari orang lain (12,1 %) dan tenaga kesehatan (24,1 %) yang memiliki prosentase yang lebih kecil. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat
53
mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokonya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang serta informasi yang dibawa belum tentu terpercaya (Health, 2009). Oleh karena itu selain media elektronik dan media cetak, sumber informasi dari orang lain dan tenaga kesehatan yang berada disekitar lingkungan responden juga sangat mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki mengenai hygiene organ reproduksi. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial dalam hal ini orang lain dan tenaga kesehatan. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada di lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu (Health, 2009). Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut. Sumber informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang, meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik maka hal itu akan meningkatkan pengetahuannya (Health, 2009).
54
Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden berusia 20 – 35 tahun, memiliki anak 2 dan sebagian besar sudah menggunakan IUD selama 1 – 3 tahun. Dengan semakin bertambahnya usia, anak dan lamanya penggunaan IUD, maka semakin banyak pula pengalaman responden mengenai perilaku hygiene organ reproduksi dalam upaya pencegahan dan penanganan keputihan yang terjadi. Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan profesional serta pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya (Health, 2009). Sehingga dengan
banyaknya
pengetahuan tersebut
akan
pengalaman
yang
dimiliki
seseorang. Selanjutnya dengan menimbulkan
kesadaran
akan
meningkatkan
pengetahuan-pengetahuan
mereka dan
akhirnya akan
menyebabkan seseorang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya (Notoadmodjo, 2012). C. Kejadian Keputihan Hasil penelitian pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami keputihan yaitu sebanyak 28 responden (53,8 %). Wanita Indonesia, sedikitnya 90 % mempunyai potensi untuk terserang
55
keputihan, termasuk didalamnya keputihan dapat menyerang akseptor KB IUD. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa keputihan merupakan salah satu efek samping yang sering dikeluhkan akseptor IUD (Mochtar, 2011). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Zannah (2011), responden menyatakan leukorea (keputihan) yang mereka alami meningkat setelah menggunakan IUD dengan karakteristik encer hingga kental, namun tidak berbau, dan tidak gatal. Keputihan tersebut dirasakan tidak nyaman dan sering dikeluhkan oleh pasangan akseptor sebagai gangguan kenyamanan hubungan seksual. Maka dari itu sering kali akseptor datang ke tempat pelayanan kesehatan untuk mengontrol IUD mereka dengan keluhan keputihan. Berdasarkan hasil penelitian ini, keputihan yang dialami responden menunjukkan keputihan yang fisiologis dan patologis. Hal ini ditunjukan berdasarkan jawaban kuesioner pada kejadian keputihan bahwa keputihan terjadi pada saat sebelum dan sesudah menstruasi dengan karakteristik keputihannya berwarna jernih sampai kekuningan, encer, berbau dan gatal. Keputihan yang terjadi pada responden dalam penelitian ini dapat disebabkan oleh banyak faktor selain faktor pengetahauan yang dimiliki responden. Penyebab keputihan dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan klasifikasi keputihan itu sendiri yaitu keputihan fisiologis dan keputihan patologis. Keputihan fisiologis muncul pada saat ovulasi, rangsangan seksual, menjelang dan sesudah haid, atau pengaruh hormon (Manuaba, 2010), wanita
56
dengan penyakit menahun, neurosis, ektropion porsionis uteri dan pada kehamilan (Wiknjosastro, 2011). Selain itu kelelahan fisik dan mood atau stress juga dapat menyebabkan terjadinya keputihan (Bahari, 2012). Keputihan dapat terjadi pada semua kalangan, baik laki-laki maupun perempuan dan tidak mengenal batasan usia. Berapa pun usia seorang wanita, bisa terkena keputihan (Suhandi, 2009). Berdasarkan data hasil penelitian ini, sebagian besar responden yang mengalami keputihan berusia 20 – 35 tahun sebanyak 17 responden, usia > 35 tahun sebanyak 10 responden dan usia < 20 tahun hanya 1 responden. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Safrida (1997) dalam Anindita (2006) bahwa kelompok yang berisiko terkena keputihan terutama yang disebabkan oleh candidiasis vaginalis adalah kelompok umur 16 – 35 tahun, karena pada kelompok umur tersebut merupakan usia seksual aktif sehingga merupakan suatu potensi untuk terjadinya penularan penyakit menular seksual pada mitranya. Sedangkan menurut hasil penelitian London (2005) dalam Agung (2013), menyatakan bahwa kejadian keputihan abnormal lebih rendah berisiko terjadi pada wanita yang berumur 30 – 50 tahun dibandingkan pada wanita yang berumur 18 – 24 tahun. Menurut hasil penelitian Getas (2013), umur merupakan salah satu faktor predisposisi dari infeksi menular dan kejadian keputihan banyak dijumpai pada kelompok umur 50 – 60 tahun dan sebagian besar sudah memasuki masa menopause. Dimana pada usia remaja status imunologis atau
57
daya tahan tubuh masih cukup baik, sedangkan semakin bertambahnya usia maka daya tahan tubuh akan semakin berkurang. Saat menopause, sel-sel pada serviks uteri dan vagina mengalami hambatan dalam pematangan sel akibat tidak adanya hormon pemacu, yaitu estrogen. Vagina menjadi kering dan lapisan sel menjadi tipis, kadar glikogen menurun dan basil doderlein berkurang. Keadaan ini memudahkan terjadinya infeksi karena tipisnya lapisan sel epitel, sehingga mudah menimbulkan luka dan akibatnya timbul keputihan. Pada wanita usia lanjut, keputihan juga bisa muncul bercampur darah (senile vaginitis). Penyebabnya karena lapisan vagina sudah menipis seiring dengan bertambahnya usia (Wiknjosastro, 2011). Berdasarkan data hasil penelitian ini, keputihan terjadi pada responden yang perpendidikan rendah dan menengah yaitu SD (7 responden), SMP (10 responden), SMA (9 responden), SMK (2 responden), sedangkan responden yang berpendidikan tinggi tidak ada yang mengalami keputihan. Menurut pendapat Agung (2013) menyatakan bahwa keputihan patologis tidak mengenal tingkat pendidikan, ekonomi, dan sosial budaya, walaupun kasus pada penelitiannya lebih banyak dijumpai pada wanita dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah. Teori tersebut diperjelas dengan hasil penelitian Getas (2013) yaitu kejadian keputihan akibat candidiasis genitalis cenderung dijumpai pada wanita dengan tingkat pendidikan sekolah menengah pertama dan sekolah dasar serta yang tidak memiliki pendidikan formal atau tidak sekolah. Pendidikan akan mempengaruhi responden dalam
58
menerima informasi dari luar, termasuk informasi tentang personal hygiene yang diterima sehingga dapat membedakan perilaku kesehatan yang benar dan perilaku kesehatan yang salah. Berdasarkan data hasil penelitian ini, sebagian besar responden yang mengalami keputihan adalah reponden yang bekerja sebanyak 17 responden. Pekerjaan merupakan hal yang turut serta menentukan kesehatan seseorang. Hal ini sesuai dengan pendapat Getas (2013) yang menyatakan bahwa pekerjaan adalah salah satu aktivitas yang dilakukan oleh wanita setiap hari dan bisa melelahkan, sehingga menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga muncul gejala keputihan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Agung (2013) yang menyatakan bahwa pekerjaan mempunyai hubungan positif terhadap terjadinya keputihan. Stres yang diakibatkan oleh pekerjaan sering terjadi pada masyarakat terutama para wanita karena berhubungan dengan fisik, serta daya tahan tubuhnya (Notoatmodjo, 2010). Stres yang dialami oleh wanita juga dapat menyebabkan terjadinya keputihan. Keadaan stres dipengaruhi oleh melemahnya sistem imun, selanjutnya akan mempengaruhi terjadinya patogenesis (Mariana, 2012). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sulistianingsih (2011) yang menyatakan bahwa risiko infeksi meningkat jika daya tahan tubuh wanita diturunkan oleh stress atau penyakit, pH terganggu, atau jumlah organisme yang masuk meningkat. Sedangkan menurut Syukrila (2009) dalam Wijanti (2011), hubungan antara faktor psikologi dengan keputihan berkaitan erat dengan persoalan hormonal. Saat stres terjadi, hormon estrogen mengalami
59
peningkatan produksi sehingga menstimulasi epitel vagina dan serviks menghasilkan glikogen lebih banyak dari jumlah normal yang kemudian dilepaskan pada lumen vagina untuk membasahi daerah sekitarnya. Selain itu saat stres terjadi, daya tahan tubuh mengalami penurunan sehingga ikut menambah kerentanan seseorang terserang invasi bakteri. Terjadinya keputihan juga dapat disebabkan oleh faktor perilaku hygiene yang kurang baik diantaranya: penggunaan celana dalam berbahan nilon, frekuensi douching atau membilas vagina menggunakan sabun mandi atau sabun antiseptik, serta penggunaan air yang kotor untuk membersihkan alat kelamin. Hal ini sejalan dengan teori menurut Kasdu (2008) yang menyatakan bahwa keputihan yang patologis disebabkan oleh adanya infeksi pada alat kelamin, baik disebabkan oleh bakteri, jamur, parasit, virus serta perilaku hygiene organ reproduksi yang kurang baik. Keputihan patologis juga dapat disebabkan karena adanya kelainan alat kelamin didapat atau bawaan, adanya keganasan (tumor, kanker), adanya benda asing seperti pemakaian IUD serta pada wanita menopause (Sibagariang, 2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Mariana (2012), menyatakan bahwa keputihan disebabkan oleh masuknya benda asing ke vagina baik sengaja maupun tidak sengaja yang dapat melukai epitel vagina (benang IUD), cebok tidak bersih, daerah sekitar kemaluan lembab, menggunakan celana dalam ketat yang berbahan nilon dan menggunakan bilasan vagina (antiseptik vagina). Menurut pendapat Anindita (2006), menyatakan bahwa jenis pakaian dalam dari bahan nilon meningkatkan risiko hampir 3 kali lebih besar
60
terhadap kejadian candidiasis vaginalis dibandingkan jenis pakaian dalam dari bahan katun. Celana dalam jenis nilon tidak dapat menyerap keringat, sehingga mengakibatkan kondisi vagina menjadi lembab yang akan mempermudah pertumbuhan jamur. Celana dalam jenis nilon mempunyai serat-serat yang halus sehingga sirkulasi udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya kondisi kulit sekitar vagina menjadi lembab. Perilaku atau kebiasaan buruk dalam menjaga kebersihan genitalia eksterna, seperti penggunaan douching atau sabun genetalia dan frekuensi mencuci genetalia akan berdampak pada kejadian keputihan patologis. Mencuci vagina dengan menggunakan sabun merupakan salah satu penyebab dari vaginosis bakterial. Mencuci vagina dengan menggunakan sabun dapat mengganggu keseimbangan bakteri dalam vagina. Dapat disimpulkan bahwa beberapa tindakan pembersihan vagina meningkatkan risiko perkembangan flora intermediate vagina dan vaginosis bakterial pada wanita yang sebelumnya memiliki flora vagina yang normal (Agung, 2013). Penggunaan pembersih kewanitaan atau sabun antiseptik secara rutin dapat meningkatkan terjadinya keputihan. Menurut pendapat Suryandari (2013), pembersih kewanitaan pada umumnya mengandung banyak senyawa kimia seperti kandungan petroleum, syntetic cheminal, dan petrocheminal (chemicalshamful) yang apabila digunakan secara terus menerus dapat merusak kulit dan mengganggu keseimbangan ekosistem lingkungan vagina. Daerah
kewanitaan
merupakan
organ
tubuh
yang
paling
sensitif.
Membersihkan vagina yang mempergunakan sabun yang mempunyai pH
61
normal dilakukan 1 – 2 kali sehari sehabis mandi (untuk perawatan), sebaiknya dilakukan sebulan sekali setelah menstruasi atau datang bulan. Pada dasarnya organ kewanitaan memiliki kemampuan untuk membersihkan daerah tersebut sendiri. Adanya flora normal di dalamnya akan melindungi daerah tersebut dari berbagai kotoran, bakteri dan kuman yang masuk. Produk pembersih daerah kewanitaan hendaknya dipilih yang memiliki pH kurang lebih sama dengan pH organ intim wanita yakni sekitar 3,5 – 4,5 misalnya sabun bayi yang biasanya mempunyai pH netral (Suryandari, 2013). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prahatamaputra (2009), keputihan akibat infeksi sering kali terjadi akibat penggunaan air seperti toilet umum yang mengandung Candida sp. Infeksi terjadi kerena tercemar dari kuku atau air yang digunakan untuk membersihkan diri setelah defekasi. Candida albicans sering menimbulkan vaginitis pada wanita dengan gejala utama keputihan yang sering disertai rasa gatal. Air yang tergenang di toilet umum mengandung 70 % jamur Candida, sedangkan air yang mengalir dari keran toilet umum mengandung kurang lebih 10 – 20 % jamur pemicu rasa gatal bahkan keputihan. Sedangkan hasil penelitian Nicola (2011) dalam Agung (2013) menunjukkan pada kelompok kasus dominan menggunakan sumber air dari sumur dalam mencuci alat genetalia yang juga berpengaruh terhadap terjadinya keputihan karena merupakan sumber air yang tidak terlindung dimana terdapat banyak bakteri ataupun vektor penularan berbagai macam penyakit melalui air.
62
D. Hubungan Antara Pengetahuan Tentang Hygiene Organ Reproduksi Dengan Kejadian Keputihan Pada Akseptor KB IUD Berdasarkan hasil dari analisis lambda pada tabel 4.12 diperoleh nilai kekuatan korelasi r = 0.375 menunjukkan kekuatan korelasi lemah dengan nilai p = 0.008 (p < 0.05) membuktikan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang hygiene organ reproduksi dengan kejadian keputihan pada akseptor KB IUD. Pengetahuan
akan
membentuk
sikap
dan
perilaku
seseorang.
Pengetahuan yang baik, membentuk sikap positif seseorang dan perilaku yang baik dalam menjaga kesehatannya. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2012). Tingkat pengetahuan yang dimiliki akseptor IUD tentang hygiene organ reproduksi pada penelitian ini sebagian besar dalam kategori cukup baik. Dengan pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang sehingga akan tercipta upaya pencegahan terjadinya keputihan. Masalah fisik yang mungkin timbul dari kurangnya pengetahuan adalah kurangnya hygiene organ reproduksi, karena tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang cara perawatan organ reproduksi yang benar maka seseorang akan mudah berperilaku yang membahayakan atau acuh tak acuh terhadap kesehatan organ reproduksinya. Sebaliknya, jika seseorang yang memiliki pengetahuan tentang cara perawatan organ genetalia yang benar
63
akan lebih memilih berperilaku yang tepat dalam menjaga alat reproduksinya. Pengetahuan dan perawatan yang baik merupakan faktor penentu dalam memelihara
kesehatan
reproduksi.
Kebiasaan
membersihkan
organ
kewanitaan sebagai bentuk perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan mempengaruhi baik atau buruknya kebersihan organ kewanitaan tersebut, selanjutnya juga akan mempengaruhi angka kejadian keputihan (Pribakti, 2010). Perilaku yang buruk dalam menjaga kebersihan organ reproduksi dapat menjadi pencetus timbulnya infeksi yang menyebabkan keputihan. Sehingga, pengetahuan hygiene organ reproduksi merupakan faktor penting dalam pencegahan keputihan (Ratna, 2010). Menurut pendapat Qomariyah (2012) menyatakan bahwa dengan bekal pengetahuan yang tinggi yang menyangkut pengetahuan tentang kebersihan genitalia terutama yang berkaitan dengan mengetahui pengertian kebersihan genitalia, mengetahui cara membersihkan daerah kewanitaan dengan benar, mampu mengetahui bagaimana memilih atau memakai pakaian dalam yang baik, dan mengetahui bagaimana menjaga kebersihan pada saat menstruasi, maka seseorang akan memperoleh kebersihan genitalia yang baik. Jika hal tersebut dapat tercapai, maka setiap orang tidak perlu lagi mengalami keputihan yang patologis sehingga pada akhirnya jumlah kejadian keputihan dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Hasil penelitian pada tabel 4.11 dapat dilihat bahwa terdapat 2 responden yang memiliki pengetahuan baik dan mengalami keputihan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya
64
keputihan selain pengetahuan yang dimiliki oleh responden, diantaranya: kurangnya kebersihan alat kelamin, penggunaan air bersih, berganti-ganti pasangan, stres, adanya kelainan alat kelamin didapat atau bawaan, adanya keganasan (tumor, kanker), adanya benda asing (IUD), serta pada saat usia menopause. Pada hasil penelitian ini juga dapat dilihat bahwa ada 1 responden yang memiliki pengetahuan kurang dan tidak mengalami keputihan. Hal tersebut dapat diperkirakan karena sebelumnya responden telah mendapatkan informasi yang positif mengenai keluhan pemakaian IUD dari tenaga kesehatan dan pengalaman-pengalaman orang terdekat, maka responden menganggap hal yang dialaminya adalah wajar sehingga responden tetap merasa nyaman memakai IUD serta pengaruh dari kedisiplinan kontrol setelah pemasangan oleh responden. Jadwal kontrol penggunaan IUD akan berdampak pada kejadian keputihan patologis. Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Nicola (2011) dalam Agung (2013), kejadian keputihan menunjukkan pada kelompok kasus dominan tidak melakukan kontrol pemakaian IUD sesuai jadwal yang sudah ditetapkan. Kondisi ini berpengaruh terhadap terjadinya keputihan. Jadwal kontrol IUD yaitu 1 minggu pasca pemasangan, 1 bulan kemudian, setiap 6 bulan berikutnya, dan setiap 1 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Irwansyah (2012) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian infeksi vaginitis diantaranya adalah pengetahuan tentang infeksi vagina atau vaginitis. Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Ernawati (2013) yang
65
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian vaginosis bakterial yang diperoleh dari hasil analisis statistik dengan menggunakan Uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,003 (p < a = 0,05). Hasil Odds ratio diperoleh nilai 3,6 yang menunjukkan bahwa mereka yang berpengetahuan rendah memiliki peluang 3,6 kali menderita vaginosis dibandingkan dengan yang berpengetahuan tinggi. Nilai CI Interval diperoleh 1,51 – 8,82 menunjukkan bahwa pengetahuan berperan sebagai faktor risiko kejadian vaginosis bakterial. Selain pengetahuan, penggunaan antiseptik dan penggunaan alat kontrasepsi IUD merupakan faktor risiko kejadian vaginosis bakterial. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Qomariyah (2012), didapatkan hasil ρ = 0,000 dengan nilai korelasi r = 0,752 menggunakan uji korelasi spearman yang menjelaskan ada hubungan antara pengetahuan tentang kebersihan genitalia dengan kejadian fluor albus (keputihan) pada remaja putri dengan kekuatan korelasi yang kuat. E. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini adalah: 1.
Peneliti
tidak
bisa
mengendalikan
variabel
luar
yang
dapat
mempengaruhi hasil penelitian, diantaranya keadaan stres psikososial yang telah dijelaskan diatas dan adanya keganasan seperti kanker serviks serta penyaki alat kelamin (IMS) yang diderita oleh responden. Hal tersebut dikarenakan responden tidak pernah melakukan pemeriksaan ke
66
dokter atau pelayanan kesehatan, sehingga tidak bisa diketahui atau dideteksi ada tidaknya penyaki alat kelamin (IMS). 2.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner dalam menentukan kejadian keputihan sehingga hasil penentuan keputihan pada responden hanya berdasarkan gejala yang dalami responden dan tidak berdasarkan pada pemeriksaan klinik atau laboratorium.