BAB V PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini pasien yang dipilih adalah berjenis kelamin pria. Jenis kelamin pria dipilih karena mayoritas populasi sampel di BBKPM adalah pria dan supaya sampel homogen. Secara fisiologis, pria dan wanita memiliki kapasitas paru yang jauh berbeda yang pada akhirnya sangat mempengaruhi Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1) (Tortora dan Derrickson, 2014). Pada penelitian ini, usia juga ikut dibatasi yaitu 51-60 tahun. Hal tersebut dilakukan karena sebagian besar populasi berada pada rentang usia 51-60 tahun dan secara statistik FEV1 akan menurun secara signifikan pada usia 60 tahun ke atas karena meningkatnya faktor resiko dari penyakit lain seperti diabetes, hipertensi dan gagal ginjal (Wise, 2006). Pada usia 60 tahun ke atas, penghitungan nilai FEV1 (liter) prediksi juga sering menyebabkan overestimate pada pasien (Alpha-1 Awareness UK, 2015). Hasil pemeriksaan FEV1 mempunyai kaitan yang sangat erat dengan umur dan jenis kelamin (GOLD, 2014; Tortora dan Derrickson, 2014). Seiring bertambahnya umur pasien, organ tubuh seperti tulang, otot dan jaringan paru akan mengalami beberapa perubahan. Tulang dada akan menjadi lebih tipis, sehingga menyebabkan rongga dada tidak mampu berkembang dengan baik ketika bernapas. Otot pernapasan utama yang bekerja saat proses inhalasi yaitu diafragma, akan melemah dan mengurangi volume udara pernapasan saat ekspirasi. Otot polos pada saluran napas melemah sehingga kurang dapat menjaga 29
30
terbukanya saluran napas secara maksimal, sehingga saluran napas cenderung untuk menyempit. Usia juga dapat menyebabkan kehilangan jaringan elastis pada alveolus sehingga terjadi penimbunan udara yang berlebihan pada paru (Cefalu, 2011; Davies dan Bolton, 2010). Oleh karena itu, FEV1 akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur pasien. FEV1 yang menurun akan menyebabkan
hiperinflasi
pada
paru
dan
menyebabkan
sesak
napas
(Papandrinopoulou et al., 2012). Hasil pemeriksaan FEV1 yang menurun pada pasien PPOK menyebabkan volume akhir ekspirasi (EELV) meningkat dan menyebabkan adanya fenomena hiperinflasi. Hiperinflasi pada paru membuat tekanan intrapulmonal menjadi lebih positif dan menyebabkan pasien harus berusaha lebih keras pada saat inspirasi sehingga pasien akan merasakan sesak napas (Papandrinopoulou et al., 2012). Adanya fenomena dynamic hyperinflation pada saat pasien melakukan aktivitas dapat memicu timbulnya sesak napas. Sehingga semakin rendah FEV1 maka akan semakin tinggi derajat sesak napas yang dirasakan oleh pasien, baik saat pasien istirahat maupun saat pasien beraktivitas. Hal tersebut sesuai dengan tabel 4.1 di mana terdapat 4 pasien dengan FEV1 60%-70% yang memiliki derajat sesak napas lebih dari 4 (cukup berat), sedangkan pasien dengan FEV1 71-80% hanya mencapai derajat sesak napas 4 (cukup berat). Sebelum melakukan analisis data dengan Uji Spearman, perlu dikakukan uji normalitas data. Hasil uji Shapiro-Wilk (Tabel 4.2) menunjukkan bahwa distribusi FEV1 tidak normal sehingga analisis data harus menggunakan uji korelasi Spearman. Selanjutnya data dianalisa menggunakan uji korelasi Spearman (Tabel
31
4.3) dan diperoleh nilai r sebesar -0.109 yang menunjukkan adanya hubungan negatif yang lemah. Hubungan negatif antar FEV1 dan derajat sesak napas membuktikan bahwa semakin rendah FEV1 maka semakin tinggi derajat sesak napas yang diderita pasien (Kodavala dan Dash, 2013). Sedangkan korelasi yang lemah menunjukkan bahwa penilaian derajat sesak napas dengan menggunakam uji Borg saja tidak dapat menentukan tingkat keparahan penyakit PPOK dan jenis terapinya (Kodavala dan Dash, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Ozalevii (2007) juga membuktikan bahwa uji Borg belum dapat menggantikan FEV1 sebagai pedoman untuk menentukan tingkat keparahan PPOK. Ketika alat spirometri tidak tersedia, uji Borg tidak dapat memprediksi tingkat keparahan dan terapi dengan tepat, sehingga dibutuhkan beberapa pemeriksaan lain. Beberapa penelitian lain juga menghasilkan korelasi yang lemah antara FEV1 dan derajat sesak napas (Fiss, 2006; Kodavala dan Dash, 2013). Korelasi yang lemah dapat disebabkan oleh karena peneliti mengabaikan riwayat pemberian obat pada pasien. Obat-obatan seperti kortikosteroid dan β-agonist secara statistik sangat mempengaruhi FEV1 pada pasien yang pada akhirnya akan mempengaruhi derajat sesak napas yang dirasakan pasien saat dilakukan tes berjalan kaki di tempat selama 6 menit (Qaseem et al., 2011; Johns et al., 2014). Banyak hal lain yaitu faktor pekerjaan, riwayat merokok dan lingkungan tempat tinggal yang juga mempengaruhi
FEV1.
Pekerjaan
dan
lingkungan
tempat
tinggal
yang
berhubungan dengan debu dan material-material berbahaya dapat menyebabkan derajat sesak napas yang lebih tinggi, meskipun nilai FEV1 tidak begitu rendah (Nishiyama et al., 2007; Johns et al., 2014). Sedangakan perokok terbiasa
32
memiliki nilai saturasi oksigen yang rendah sehingga toleransi terhadap sesak napas cukup baik dan berpengaruh pada penilaian dengan menggunakan uji Borg (Johns et al., 2014). Interpretasi hasil uji statistik terhadap korelasi Spearman pada penelitian ini, didapatkan nilai p = 0.612 menunjukkan bahwa korelasi derajat sesak napas dan nilai FEV1 adalah secara statistik tidak bermakna (Tabel 4.3). Hasil yang tidak signifikan memungkingkan adanya variasi hasil bila dilakukan penelitian di tempat dan waktu yang lain (Dahlan, 2013). Kurangnya tingkat kemaknaan pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh karena tingkat obstruksi yang berbeda karena status fungsional paru seperti kapasitas inspirasi yang bervariasi antar individu (Wijkstra et al.,2004). Menurut Hatem (2006) derajat sesak napas yang timbul pada pasien sangat berpengaruh terhadap kapasitas difusi oksigen pada jaringan paru. Akan tetapi, kapasitas difusi oksigen tidak diperiksa di dalam penelitian ini oleh karena biaya yang cukup tinggi dan keterbatasan alat. Penelitian yang dilakukan oleh Carter (2003) tentang korelasi antara FEV1 dengan 6-Minute Walk Work (6MWW) ternyata menujukkan hasil yang signifikan dibandingkan dengan berjalan di tempat selama 6 menit dengan uji Borg oleh karena 6MWW memperhatikan berat badan pasien yang berpengaruh terhadap energi yang dibutuhkan pasien untuk berjalan. Jumlah sampel yang sedikit, adanya faktor perancu seperti berat badan, tinggi badan, pekerjaan, lingkungan tempat tinggal, riwayat merokok dan distribusi variabel yang tidak normal juga ikut menyebabkan hasil penelitian ini menjadi tidak signifikan
33
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yaitu: 1.) mengabaikan riwayat pemberian obat pada pasien; 2.) tidak mengendalikan riwayat merokok, lingkungan tempat tinggal, pekerjaan, berat badan dan tinggi badan sebagai faktor perancu; 3.) jumlah sampel yang sedikit oleh karena keterbatasan waktu penelitian; 4.) tidak mengukur kapasitas difusi oksigen tiap pasien.