BAB V PEMBAHASAN
1)
Analisis Kondisi Geografis Maluku Tengah Kabupaten Maluku Tengah (Masohi) dikenal sebagai jantungnya provinsi
Maluku karena memiliki hutan yang luas dan lebat serta potensi alam yang besar dengan luas wilayah 147.480 Km2, dan secara administratif memiliki 11 kecamatan dengan 161 anak negeri/ desa serta didiami oleh berbagai macam etnik/suku yang beranekaragam budaya, agama dan adat-istiadatnya. Tidak terkecuali bagi masyarakat suku Nuaulu yang telah mendiami Pulau Seram ini selama berpuluh-puluh tahun. Tidaklah mengherankan bahwa dengan potensi alam yang ada, Maluku Tengah menyimpan begitu banyak pesona dan kekayaan alam yang melimpah bagi masyarakat Maluku karena luasnya hutan yang mengitari daerah ini, sehingga memungkinkan masyarakat suku Nuaulu merasa aman menetap di wilayah ini. Suku Naualu adalah komunitas yang masih menganut agama dan budaya tradisional. Adat istiadat yang masih dipertahankan diantaranya adalah daur hidup (life cycles) yang merupakan salah satu keragaman budaya yang dimiliki masyarakat bangsa Indonesia. 2)
Analisis Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Jauh sebelum terjadi perjumpaan dengan berbagai bangsa di Maluku, para
leluhur telah mengambil peranan sebagai pelaku kebudayaan. Mereka ditantang dengan pengalaman alamiah, di mana hidup tidak bebas dari peristiwa-peristiwa yang
menakutkan, kalaupun ada waktu-waktu untuk mengantarkan pada keadaan damai dan sukacita. Mereka membutuhkan kehidupan yang tidak terus diganggu atau dihadang dalam perjalanan mencapai bahagia, dan terdapat kekuatan tertentu yang mereka sebut upu (Tuhan) alam kodrati dan tantangannya menjadi pemicu mempersiapkan kerangka bagi mereka dalam menjawab berbagai kekuatan yang dihadapi manusia sehingga semakin menyadarkan potensi dirinya dan menyadari pula kebersamaannya dalam pembentukan Hena (negeri/desa) dan menyabar pada Pata/Uli (lingkaran beberapa hena yang mempunyai ikatan kekeluargaan). Dalam aturan-aturan adat tersebut masyarakat dibina untuk menjaga ikatan persaudaraan dan untuk mencapai partisipasi antar sesama, kerja sama dan saling membantu, menghargai dan saling memberi hormat. Pada konteks ini kita harus memahami secara terperinci apa yang disebut dengan “Budaya komunikatifbersaudara” yakni yang dikenal dengan budaya Pela yang merupakan ikatan kekerabatan antara dua atau lebih negeri, yang disebabkan karena bantuan negeri satu kepada negeri yang lain karena peristiwa bahaya atau untuk membangun sarana penting, seperti mesjid atau gereja dan baileu. Gandong merupakan hubungan saudara-saudara sekandung, yang pada masa lampau terpisah antara satu dengan yang lainnya dari kampung halaman mereka. Dalam masyarakat adat Maluku hubunganhubungan sosial budaya antar sesama itu ditertibkan melalui aturan-aturan adat (ada perjanjian) dan sanksi-sanksi bagi pelanggarnya sehingga tetap terpelihara luhur. Pada intinya terbentuknya pela di Maluku sangat dipengaruhi oleh wilayah Maluku yang sangat rentan terhadap timbulnya konflik, hal tersebut juga ditunjang
dengan karakter masyarakat Maluku yang bertensi tinggi, hal ini disebebkan oleh kondisi topografis dan iklim di daerah Maluku yang sangat panas, berkisar antara 27,70-32,70 serta struktur tanah yang subur namun terdiri dari bebatuan yang keras, telah membentuk masyarakat Maluku menjadi manusia yang memiliki tempramen yang tinggi. Terkadang suatu masalah yang kecil dapat berujung pada konflik. Kemudian mengenai sistem pemerintahan yang dilaksanakan di Maluku pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan keputusan Mendagri No. 18 tahun 1993 yakni bahwa sistem pemerintahan desa dikepalai oleh seorang kepala desa. Jika dilihat berdasarkan keadatan maka sistem pemerintahan yang dianut adalah maka yang memerintah adalah seorang raja, hal ini dapat dipahami karena jika sekilas kita melihat tentang arti kata “Maluku” itu itu sendiri walaupun belum dapat dipastikan dari sumber-sumber tradisional yang ada, baik dari Naidah maupun Kronik Bacan. Pedagang-pedagang Arab menyebut daerah Maluku ini dengan sebutan “Jazirat-almuluk” artinya daerah dari banyak tuan. Tentu yang dimaksud adalah wilayah yang diperintah oleh raja-raja. Selanjutnya mengenai pemilihan tua-tua adat dalam mekanisme pemilihannya terdapat unsur pendidikan politik, karena pemilihan dilaksanakan lima tahun sekali, bukannya berlangsung seumur hidup. Hal ini tentunya punya keterkaitan dengan ritual pataheri (masa dewasa bagi laki-laki suku Nuaulu), dimana mereka yang telah dipilih dalam jangkaun tiga hari dari ritual tersebut telah dipersiapkan untuk dijadikan sebagai calon tua adat selanjutnya. Mengenai sistem pendidikan dari masyarakat suku Nuaualu mereka mengenal dua macam sistem pendidikan saat ini yaitu sistem pendidikan Informal dan formal.
Hal positif yang baik dari mereka adalah adanya kesadaran untuk sekolah, sehingga orang tua walaupun tidak sekolah dan buta huruf tetapi mereka mau menyekolahkan anak-anak mereka. Tentunya ini menjadi suatu kemajuan bagi pengembangan suku Nuaulu kedepan, sehingga bisa membuka wawasan mereka tentang pentingnya kehidupan yang higenis. Dalam hal ini tidaklah melarang pelaksaan ritual yang menjadi aturan tata adat mereka, akan tetapi sebainya hal-hal yang negatif yang dapat merugikan mereka dapat dirubah seiring dengan disekolahkannya anak-anak suku Nuaulu, sehingga mereka mampu menerima pencerahan yang baik bagi kelangsungan hidup masyarakat suku Nuaulu sendiri. 3)
Analisis Karakteristik Masyarakat Suku Nuaulu Secara umum kita mengakui bahwa masyarakat suku Nuaulu memiliki
karakteristik adat budaya tersendiri. Karakteristik adat budaya yang khas bagi masyarakat suku Nuaulu
itu tertuang dalam
ketujuh unsur kebudayaan yang
universal. Masyarakat suku Nuaulu tentunya memiliki karakteristik budaya masyarakat yang kompleks, yakni dengan adanya sistem bahasa yang merupakan suatau sistem komunikasi yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupuan manusia yang dipakai untuk berhubungan antara satu dengan yang lainnya sampai-sampai sebuah kisah nyata dari seorang Hellen Keller, dapat membuat kita mengerti akan arti sebuah bahasa. wanita yang dilahirkan buta dan tuli, sampai umur 19 tahun, ia belum pernah berkomunikasi dengan manusia lainnya berikut kisahnya yang kemudian di filmkan oleh produksi Film India dengan judul “ Black ”
“ Guru saya memegang tangan saya dan membiarkannya diguyur oleh air yang mengalir dari pompa sewaktu air yang sejuk itu mengguyuri tangan saya, pada tangan saya yang satu lagi guru saya mengeja air, mula-mula secara lambat kemudian cepat. Tiba-tiba saya merasakan suatu kesadaran yang samar-samar, seolah-oleh sesuatu pikiran kembali lagi dan rupanya selubung rahasia dari bahasa terungkapkan pada saya. Waktu itu saya menjadi tahu bahwa w-a-t-e-r (air) berarti hal yang sejuk yang mengenakan dan mengguyur tangan saya. Kata yang hidup tersebut membangunkan jiwa saya. Tentu masih banyak pengahalang, tetapi hal itu dapat disisihkan. Saya pergi dari pompa air dengan kegairahan untuk belajar. Sewaktu saya kembali kerumah rasanya semua barang yang saya sentuh memancarkan getaran hidup. demikian perasaan saya karena segala sesuatu saya tanggapi dengan pandangan yang baru saya temukan. ” Ilustrasi ini menunjukan bahwa betapa pentingnya kata-kata dan makna yang diwakili oleh kata-kata tersebut. Hal tersebut pula yang dirasakan oleh masyarakat suku Nuaulu, sehingga walaupun mereka mampunyai bahasa tersendiri akan tetapi mereka juga belajar bahasa orang lain yang ada disekitarnya seperti bahasa Tamilou dan bahasa Melayu Ambon untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik, karena bahasa adalah realitas utama yang membedakan manusia dari makhluk bumi lainnya yang memungkinkannya berkebudayaan. Bahasa adalah sistem komunikasi yang menjadi pangkal dalam kompleks relasi maupun oposisi sosial, tanpa bahasa tidak mungkin orang berfikir, tanpa bahasa tidak mungkin perkembangan pribadi seseorang akan tumbuh. Oleh sebab itu, dalam suatu masyarakat yang bhineka masalah bahasa khususnya bahasa lokal merupakan kunci untuk membuka pintu dunia yang lebih luas. Mengenai sistem pengetahuan, walaupun masyarakat suku Nuaulu ini tidak bersekolah (baru mengenal sekolah pada generasi muda sekarang) akan tetapi mereka secara alami dan naluriah mengetahui tentang ilmu Astronomi (perbintangan) di
mana dalam pengamatan mereka terhadap peredaran bintang-bintang di malam hari yang sangat berguna sebagai pedoman arah pelayaran dan awal bahari serta penentuan mengenai cuaca hari besok. Begitu pula dengan benda langit lainnya yaitu bulan dalam menentukan kegiatan untuk mencari ikan di laut. Jika diperhatikan, maka pengetahuan tentang alam ini dapat dikatakan sebagai awal dari pengetahuan sains manusia, yang diperoleh dari pengamatan manusia terhadap peritiwa-peritiwa alam, seperti matahari yang terbit di arah timur dan terbenam di arah barat, bahkan pengamatan terhadap benda-benda langit yang merupakan awal perkembangan ilmu Astronomi (pada bangsa Babilonia) dengan mengetahui terjadinya proses gerhana bulan setiap delapan belas tahun sekali. Bukan hanya itu saja, melainkan dalam hal pengobatan, mereka mampu meramu daun-daunan ataupun tumbu-tumbuhan serta buah-buahan yang dianggap mampu/mujarab untuk menyembuhkan berbagai penyakit.
Berdasarkan pengalaman ketika ada anak yang sakit (panas) mereka
mampu menyembuhkan dengan menggunakan daun jarak, dengan jalan mengoleskan minyak didaun kemudian menempelnya di badan si anak yang sakit, dua hari kemudian panas anak tersebut turun, dan ia kembali bermain bersama temantemannya. Mengenai sistem organisasi sosial, suku Nuaulu pun memiliki bentuk organisasi sosial yang bersifat keadatan, yang dikenal dengan sebutan istilah “Soa”. di mana anggotanya terdiri dari beberapa klen. Dalam kehidupan suku Nuaulu dikenal adanya dua soa, masing-masing soa mempunyai tugas dan fungsi masingmasing yang dilambangkan dengan binatang. Hal tersebut secara tegas menyatakan
kalau kepercayaan berupa Totemism diyakini mereka. Totemism merupakan suatu bentuk religi dari masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kekerabatan, yang masing-masing memiliki lambangnya (totem) sendiri berupa jenis hewan yang melambangkan leluhurnya. Mereka percaya bahwa binatang-binatang tersebut dianggap memiliki roh yang dapat memberikan perlindungan bagi mereka, sehingga menurut mereka binatang-binatang ini adalah suatu perubahan wujud dari moyang/leluhur mereka, bahkan mereka menganggap binatang-binatang ini memiliki kekuatan tertentu atau kekuatan magis. Sistem teknologi, sebagaimana setiap masyarakat entah itu yang sudah modern maupun yang masih tradisional, tentu memiliki sejumlah keahlian dalam masalah teknologi. Contohnya, masyarakat zaman purba (paleolotikum, mesolitikum dan neolitikum) memiliki alat teknologi yang mereka gunakan dari batu dengan berbagai tipe dapat mereka ciptakan untuk kelangsungan hidup mereka. Demikian juga masyarakat suku Nuaulu mereka telah menggunakan alat-alat produktif seperti dalam aktivitas berkebun dan meramu, selain itu mereka mampu menciptakan bentuk bangunan rumah yang unik dan menarik, serta beragam pernik yang dibuat dari kulit kerang (bia), juga beragam bentuk anyaman (nyiru). Mengenai sistem mata pencaharian, masyarakat suku Nuaulu mengenal sistem berburu, meramu, berkebun dan melaut (nelayan). Semuanya dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Namun satu hal yang perlu dicatat dan menjadi suatu hal yang dapat kita pelajari dari suku ini, yaitu kerja sama (gotong royong) yang dipertahankan dan sangat sulit untuk ditemui dalam dunia sekarang ini,
serta hidup yang mau berbagi satu dengan yang lain dan tolong menolong. Solidaritas ini merupakan suatu pelajaran bermakna bagi masyarakat sekarang ini.
Menyangkut religi, di beberapa wilayah Indonesia, seperti Ambon (Seram/suku Nuaulu), Bali, Lombok, Flores, dan lain-lain religi rakyat masih dipercaya penuh. Karena itu, di lokasi tersebut masih berkembang keyakinan pada dukun dan pawang dalam segala aktivitas hidup. Bahkan, di tempat tersebut banyak berkembang ihwal religiomagis. Hal ini berkembang lagi menjadi sebuah kepercayaan animism dan dinamism, dan kadang bagi masyarakat modern hal tersebut kurang masuk akal. Namun demikian, bagi pendukung budaya yang bersangkutan yang dipentingkan adalah sikap dasar spiritual yang berbau emosi religi, bukan logika.
Perlu ditekankan dalam kajian religi, bahwa kajian budaya, bukanlah “sebuah sains eksperimental yang mencari suatu kaidah, tetapi sebuah sains interpretatif yang mencari makna”. Makna harus dicari dalam fenomena budaya. Keyakinan terhadap makna ini, didasarkan pada kondisi hidup manusia, selalu berada pada tiga tingkatan: (1) kepribadian individual, yang dibentuk dan diatur oleh, (2) suatu sistem sosial, yang pada akhirnya dibentuk dan dikontrol oleh, (3) suatu “sistem budaya” yang terpisah. Tingkatan (3) ini yang merupakan jaringan kompleks dari simbol, nilai, dan kepercayaan, berinteraksi dengan individu dan masyarakat.
Tegasnya dalam kajian budaya religi, peneliti akan memahami religi bukan semata-mata agama, melainkan sebagai fenomena kultural. Religi adalah wajah
kultural suatu bangsa yang unik. Religi adalah dasar keyakinan, sehingga aspek kulturalnya sering mengapung di atasnya. Hal ini merepresentasikan bahwa religi adalah fenomena budaya universal. Religi adalah bagian budaya yang bersifat khas. Budaya dan religi memang sering berbeda dalam praktek dan penerapan keyakinan. Namun demikian keduanya sering banyak titik temu yang menarik diperbincangkan. Dengan demikian religi adalah sebuah pengalaman unik yang bermakna, memuat identitas diri, dan kekuatan tertentu bagi yang menganutnya.
Selanjutnya yang terakhir mengenai kesenian. Kesenian adalah salah satu isi dari kebudayaan manusia secara umum, karena dengan berkesenian merupakan cerminan dari suatu bentuk peradaban yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan keinginan dan cita-cita dengan berpedoman kepada nilai-nilai yang berlaku dan dilakukan dalam bentuk aktifitas berkesenian, sehingga masyarakat mengetahui bentuk keseniannya. Bagi masyarakat Nuaulu bentuk kesenain yang ada hanyalah dalam bentuk lagu-lagu yang merupakan lukisan dari kisah moyang mereka tempo dulu, dan tarian maku-maku yang biasa dilaksanakan pada saat upacara adat. Alat yang dipakai hanyalah tifa (gendang kecil), totobuang (gendang besar) serta uper (alat musik dari kulit bia/kerang). Walaupun hanya dalam bentuk yang sangat sederhana tapi merupakan kebahagiaan tersendiri bagi mereka apabila mereka menyanyikan lagu-lagu sambil didendangkan dengan tifa dan tari-tarian. 4)
Analisis Ritual Upacara Daur Hidup (Life Cycles) Masyarakat Suku Nuaulu
Penelitian ritual boleh dikatakan paling menarik karena banyak hal yang unik dalam ritual tersebut. Dari sekian banyak ritual yang melingkupi hidup manusia, tampaknya adat istiadat yang berhubungan dengan upacara daur hidup (life cycles) adalah yang paling menarik, khususnya ritual daur hidup (life cycles) dari masyarakat suku Nuaulu yang ada di pulau Seram ini, menyimpan begitu banyak kekayaan yang belum banyak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Maluku pada khususnya. Padahal terdapat bagian-bagian dari budaya yang sebenarnya harus dipertahankan dari arus morernisasi sekarang, karena sesungguhnya ada ritual-ritual kecil yang sering terlupakan dan di dalamnya memuat keunikan-keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan ritual daur hidup (life cycles) dengan masyarakat lainnya di Indonesia bahkan mungkin di dunia.
Kekayaan budaya di Indonesia memang tak dapat diragukan lagi seperti halnya daerah lain, upacara daur hidup merupakan salah satu unsur budaya yang sifatnya universal. Hampir setiap daerah mempunyai cara-cara yang khas untuk memperingati masa-masa penting dalam suatu kehidupan dengan suatu upacara daur hidup. Hal ini tidak dapat lepas dari cara pandang masyarakat itu sendiri. Upacara daur hidup dilakukan berdasarkan tradisi yang mereka anut secara turun-temurun, begitu pula dengan upacara daur hidup pada masyarakat suku Nuaulu.
Jika dilihat kembali bagaimana ritual tersebut dilaksanakan, ada perbedaan yang begitu mencolok yang dapat kita lihat berbeda dengan daerah lainnya dinataranya seperti, ritual masa kehamilan sembilan bulan dan kelahiran, dimana apa pembangunan posone (rumah yang nantinya dipakai untuk proses kelahiran si bayi)
bahkan ketika lahirpun bayi tidak di bawa ke rumah sakit tapi di bawah ke rumah posone. Dengan modal sebilah pisau yang terbuat dari bambu mereka mampu melalui proses persalinan walaupun nyawa adalah taruhannya karena bisa saja bambu tersebut tertular infeksi ataupun terjadi peristiwa yang tidak diinginkan seperti perdarahan dll, yang bisa mengakibatkan kematian pada ibu dan bayi. Hal ini mengingatkan kita pada besarnya angka kematian ibu di Indonesia adalah yang tertinggi di Asia.
Walaupun pada prinsipnya pandangan masyarakat suku Nuaulu bahwa darah adalah suatu hal yang kotor karena berakibat buruk, namun dalam relevansinya dengan pendidikan IPS terutama dalam aspek pengetahuan, perlu adanya sosialisasi tentang kekeliruan pandangan lama ini, bahwa perempuan yang akan melahirkan dan yang mendapat haid berada dalam kondisi kotor atau tidak suci adalah keliru, yang perlu dilakukan
yakni memberikan pengetahuan tentang kesehatan/higenis,
kebersihan serta bantuan medis pada saat kelahiran. Sehingga kondisi lama (keliru) tidak perlu dilestarikan, karena tidak menguntungkan bagi perempuan (para ibu), jadi tidak juga menguntungkan bagi masyarakat suku Nuaulu.
Upacara masa dewasa baik bagi laki-laki dan perempuan dewasa suku Nuaulu, untuk upacara yang satu ini boleh dikatakan adalah suatu bentuk ritual upacara yang paling unik karena hanya ada pada masyarakat suku Nuaulu di Provinsi Maluku.
Ada banyak fase yang harus dilalui untuk menjalani ritual ini baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki. Lihat saja keunikannya mulai dari tanda yang
mereka pakai untuk mengukur atau menentukan masa kedewasaan seorang laki-laki (ketika dia mampu berburu, meramu dan berkebun) maupun perempuan (ketika pertama kali mendapat haid). Belum lagi proses ritual yang boleh dikatakan sangat berbeda dengan masyarakat lainnya bagi perempuan (pinamou), selama dalam rumah posone tidak diperbolehkan untuk mandi, bahkan hanya memakai pakaian setengah telanjang (hanya dibagian bahwah pusar), jika dilihat dari segi kesehatan hal tersebut tidaklah baik untuk bagi si gadis karena dapat mengakibatkan timbulnya penyakit. Kemudian papar gigi, jika kita kembali pada keyakinan kita sebenarnya Tuhan menciptkan gigi baik itu gigi geraham, gigi taring dan gigi seri, masing-masing memiliki fungsinya, jika diratakan dimana nanti fungsi gigi taring, padahal diketahui suku Nuaulu ini gemar memakan daging. Bahkan ketika harus berjalan dengan setengah telanjang dada (walaupun ada ditutupi dengan manik-manik) tapi bagi masyarakat yang sudah modern untuk melakukan hal yang seperti demikian adalah suatu yang memalukan.
Pada upacara masa dewasa untuk laki-laki (Pataheri) yang membutuhkan tantangan yang besar atau tanggung jawab yang nantinya mereka embankan sebagai generasi penerus keturunan suku Nuaulu, dengan melalui tahap-tahap seperti adanya kegiatan berburu, pemakian cidako dan kain berang, dan papar gigi. Dengan hanya memakai cawat yang ditutupi dengan sehelai kain berang, menjadi suatu khasanah budaya yang berbeda dengan budaya lainnya. Tapi itulah suatu keunikan yang mereka miliki. Tentunya menjadi suatu wacana bagi pemerintah untuk melihat hal ini
(menyangkut dengan pandangan lama masyarakat suku Nuaulu, terutama menyangkut kesehatan/higenis)
Begitu pula dalam ritual adat perkawinan yang mungkin agak berbeda dengan masyarakat lainnya dalam cara pemberian/pengesahan sepasang suami istri dengan pemasangan kain pada kedua mempelai sebagai sebuah lambang atau bukti bahwa mereka adalah sepasang suami istri yang sah baik dimata Upu (Tuhan), masyarakat maupun adat. Tentunya tidak kita temukan pada masyarakat lain di Indonesia.
Ritual terakhir yakni ritual kematian, satu hal yang unik dan berbeda dengan ritual masyarakat lainnya yaitu ketika ada proses, menabuh tifa waktu meninggal, menaruh piring abu, penebangan pohon sagu dan kemudian diproses/diolah menjadi berbagai jenis khas makanan Maluku, juga kegiatan berburu (kusu, sapi dan rusa) yang dilakukan sebagai suatu ucapan rasa sukacita mereka karena saudara mereka yang telah meninggal itu telah ada bahagia dikehidupan yang lain (dunia lain).
Dengan demikian penelitian mengenai ritual daur hidup suatu masyarakat adalah sesuatu yang unik. Apalagi masyarakat/suku yang kita teliti belumlah banyak diketahui oleh masyarakat. Tentunya ini sangat membantu masyarakat bahwa di pelosok Nusantara ini ada begitu banyak suku/etnik tertentu yang sebenaranya unik dengan berbagai perilaku budaya dan adat istiadat mereka masing-masing. Memang Penelitian tentang ritual dewasa ini sudah banyak, akan tetapi Kiblat penelitian ritual, di Indonesia masih seputaran pulau Jawa, bahkan hampir tidak bisa lepas dengan kajian Geertz (1989) tentang ritual abangan, santri, dan priyayi. Varian struktur
masyarakat demikian sedikit banyak telah mengilhami peneliti ritual pada umumnya. Hal semacam ini pun sebenarnya tidak keliru, karena memang penelitian ritual (di Jawa) yang benar-benar dilandasi kajian ilmiah yang jarang ditemukan.
Jauh sebelum itu, telah ada buku ritual yang dihimpun dari pengalaman turuntemurun ke dalam primbon. Buku ini merupakan “kitab” khusus mereka yang menyelenggarakan ritual. Di samping primbon, juga telah muncul Serat Tatacara oleh Ki Padmasusastra, yang di dalamnya memuat ritual di Jawa. Selanjutnya buku tersebut sedikit dikembangkan lagi ke dalam Adat Istiadat Jawa oleh Marbangun Hardjowirogo. Buku tersebut lebih banyak sebagai petunjuk praktis ritual, yang tentu saja belum mampu mewadahi ritual yang telah berkembang sampai dewasa ini. Itulah sebabnya, memang menarik untuk meneliti ritual dari waktu ke waktu, sehingga ditemukan keistimewaan ritual bagi pendukungnya.
Meneliti ritual memang memiliki keasyikan tersendiri karena di samping memenuhi standar ilmiah peneliti ritual juga memperoleh kepuasan batin yang tidak pernah ditemukan sebelumnya oleh penulis. Dengan demikian maka berdasarkan data-data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa ritual daur hidup (life cycles) pada masyarakat suku Nuaulu sangat menarik karena menyimpan begitu banyak keaslian dan pesona budaya yang tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya di Indonesia.
5)
Analisis makna dari setiap simbol yang digunakan dalam ritual daur hidup (life cycles)
Kata simbol berasal dari kata Yunani yaitu symbolon yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan dengan simbol-simbol yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia adalah animal symbolicum, artinya bahwa pemikiran dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu.
Manusia adalah makhluk budaya dan budaya manusia penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang.
Begitupun dalam setiap tahapan ritual upacara daur hidup (life cycles) masyarakat suku Nuaulu terkandung makna simbol yang berhubungan dengan aspekaspek religi (keagamaan), filosofis, etika dan estetika. Bahkan makna dari simbol tersebut dapat digunakan untuk mengintepretasikan fungsi simbol dalam upacara adat sebagai unsur pengetahuan dan dan partisipasi (sosial). “The symbol is the smallest unit of ritual which still retains the specific properties of ritual behavior. It is the ultimate unit of specific structure in a ritual context”. Maksudnya, simbol adalah unit (bagian) terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari tingkah laku ritual yang bersifat khusus. Simbol tersebut merupakan unit pokok dari struktur khusus dalam konteks ritual. Itulah sebabnya, Turner menyatakan bahwa “the ritual is an agregation of symbols”. Dengan demikian, jika tindakan ritual itu banyak
mengungkapkan simbol, berarti analisis ritual juga harus diarahkan pada simbolsimbol ritual tersebut.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa simbol merupakan bagian terkecil dari ritual yang menyimpan sesuatu makna dari tingkah laku atau kegiatan dalam upacara ritual yang bersifat khas. Dengan demikian, bagian-bagian terkecil ritual pun perlu mendapat perhatian.
Upacara daur hidup (life cycles) masyarakat suku Nuaulu mengandung berbagai norma atau aturan yang harus dipenuhi. Norma dan aturan itu tumbuh dan berkembang dalam kehidupan suatu masyarakat secara turun temurun yang berfungsi melestarikan ketertiban hidup masyarakat. Keputusan setiap warga masyarakat terhadap suatu norma atau aturan yang terdapat dalam suatu upacara, berimplikasi pada kesenangan dan kekhawatiran terhadap sanksi yang bersifat sakral-magis. Dengan demikian ritus upacara daur hidup (life cycles) dapat dianggap sebagai bentuk pranata sosial yang mengatur sikap dan tingkah laku masyarakat agar tidak menyimpang dari adat kebiasaan atau tata pergaulan yang berlaku.
Sebagai bentuk pranata sosial, ritus upacara daur hidup (life cycles) yang sarat dengan simbol-simbol berperan sebagai alat komunikasi antar sesama warga; di samping merupakan penghubung antara dunia nyata dan dunia gaib. Bagi para pendukung yang berperan dalam penyelenggaraan upacara, unsur-unsur yang berasal dari dunia gaib menjadi tampak nyata melalui pemahaman mereka terhadap simbol-
simbol itu. Simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan, serta membentuk disposisi pribadi dari para pelaku mengikuti modelnya masing-masing.
6)
Analisis Relevansi nilai-nilai adat dan tradisi dibalik daur hidup (life cycles) sebagai sumber pembelajaran IPS Simbol-simbol yang terbentuk dalam ritus upacara daur hidup (life cycles)
pada masyarakat suku Nuaulu tentunya berdasarkan atas nilai-nilai dan pandangan hidup berlaku dalam kehidupan masyarakat. Adanya nilai-nilai dan pandangan hidup itu mencerminkan corak kebudayaan masyarakat bersangkutan. Melalui simbolsimbol itu pesan nilai-nilai dan pandangan hidup dapat disampaikan kepada seluruh warga masyarakat sehingga pelaksanaan ritus upacara daur hidup (life cycles) merupakan sarana sosialisasi terutama bagi warga peserta didik yang berada dalam taraf penyesuaian diri terhadap tata pergaulan masyarakat. Pesan nilai-nilai dan pandangan hidup itu mengandung keinginan dan harapan agar warga masyarakat memelihara ketertiban, kerukunan, ketentraman, saling menghormati, bekerja keras, tolong-menolong, tanggung jawab, disiplin, juga nilai persatuan karena keunikan budaya yang dimiliki. Ritus upacara itu diselenggarakan untuk mencapai integritas kebudayaan dalam rangka menjaga keseimbangan hidup masyarakat. Suatu keadaan kehidupan
yang senantiasa didambakan oleh suku Nuaulu dalam kelangsungan hidupnya. Dengan demikian, penghormatan terhadap arwah para leluhur, dalam bentuk upacara daur kehidupan mengandung bermacam-macam harapan serta tujuan diselenggarakan di dalam upacara tersebut sebagaimana diajarkan oleh para orang tua. Transmisi polapola budaya ini terus berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan beberapa perkembangan yang mengikutinya sebagai konsekuensi perkembangan pola pikir manusia, maka dalam perjalanan waktu nilai-nilai tradisional ini ada yang berubah, bergeser, disebabkan masuknya perkembangan ilmu dan teknologi. Nilainilai yang berharga dan positif oleh generasi muda Nuaulu dipertahankan, akan tetapi nilai-nilai yang sudah tidak sesuai atau merugikan masyarakat akan ditinggalkan. Dalam kehidupan manusia, sejak dulu hingga sekarang nilai mempunyai peranan yang amat penting. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada dasarnya seluruh kehidupan manusia berkisar pada usaha-usaha menciptakan, memperjuangkan dan mempertahankan macam-macam nilai, dari nilai yang sederhana hingga yang sangat kompleks. Seseorang bekerja keras untuk memperoleh uang atau harta benda bagi kesejahteraan hidupnya, dan pada dasarnya usaha itu memperjuangkan suatu nilai yang tergolong sebagai nilai ekonomi; sekelompok orang bersatu mendirikan sebuah perkumpulan dan mengatur sendiri kehidupan politiknya, maka upaya itu mengarah kepada memperjuangkan suatu nilai yang bercorak politik; dan seseorang atau kelompok masyarakat secara khidmat berdoa, sholat dan berpuasa atau berbagai kegiatan
ritual
lainnya,
yang
sesungguhnya
perbuatan
itu
adalah
mengembangkan atau mempertahankan nilai yang termasuk nilai religius.
upaya
Atas dasar gambaran pemahaman ini, bahwa nilai mempunyai berbagai perwujudan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk ide tentang ritual. Setiap individu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat sehingga konsepsi atau ide yang terkandung di dalamnya sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Hal itulah yang menyebabkan nilai-nilai budaya itu sulit berubah atau diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat. Peralihan nilai pada peserta didik tentunya dilakukan melalui wahana (kendaraan) pengetahuan, yang memberikan pemahaman kepada siswa mengenai ritual daur hidup dari masyarakat suku Nuaulu. Dimulai dari kelahiran sampai kematian; 1) Upacara masa kehamilan 9 bulan. Nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran IPS, untuk ritual masa kehamilan Sembilan bulan ini adalah nilai dasar moral, rasa penghargaan akan arti sebuah
kehidupan
agar
tidak
menyia-nyiakan
dengan
hal
yang
negatif/merugikan. Di dalamnya juga terdapat nilai kerja keras yang merupakan ciri-ciri seorang pelopor, dimana nantinya siswa sebagai tenaga muda penerus generasai cita-cita bangsa diharapkan mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada. 2) Upacara masa kelahiran Nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran IPS, untuk ritual masa kelahiran yaitu nilai dasar akan kepedulain terhadap sesama, akan adanya empati dan kebaikan sosial lainnya yang dimiliki siswa. Dimana siswa harus peka dan
peduli terhadap konsep isu hak asasi manusia (HAM), yang secara eksplisit ada di dalam Pancasila dan UUD 1945. Sehingga siswa merasa bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat dunia dan secara pribadi menolak pengabaian atas hak asasi manusia.
3) Upacara masa dewasa Nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran IPS, untuk ritual masa dewasa yaitu nilai dasar akan penghargaan/rasa saling menghoramati akan perbedaan yang ada, baik agama, suku, budaya, bahasa dan adat istiadat (Multikultural). Tentunya dengan landasan tersebut dapat mengatasi masalah konflik. Boleh dikatakan bahwa hampir semua nilai dalam upacara ritual kedewasaan sesuai dengan nilai dalam pendidikan IPS antara lain ada nilai kerja keras, keuletan, keberanian, disiplin serta bertanggung jawab. 4) Upacara masa perkawinan Nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran IPS, untuk ritual masa dewasa yaitu nilai etika, dalam pengambilan sebuah keputuasan. Tentunya dengan tidak adanya pelatihan ketrampilan degan sebuah pembinaan di sekolah, siswa tidak akan mampu dalam menyelesaikan masalah dengan baik dan benar. Oleh Karena itu dalam pembelajaran IPS terdapat proses pembelajaran menyangkut pembelajaran pengambilan keputusan, sebagai berikut: 1) mengidentifikasi persoalan dasar, 2) mengemukakan jawaban-jawaban alternatif, 3) menggambarkan bukti yang mendukng setiap alternatif, 4)
mengidentifikasi nilai-nilai yang dinyatakan dalam setiap alternatif, 5) menggambarkan kemungkinan akibat dari pilihan alternatif, 6) membuat pilihan dari berbagai alternatif, 7) menggambarkan bukti dan nilai yang dipertimbangkan dalam pembuatan pilihan.
5) Upacara masa kematian Nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran IPS, untuk ritual kematian yaitu nilai saling tolong menolong, siswa diberikan pemahaman bahwa manusia tidak akan pernah mampu hidup sendiri (individulaistis), karena ia akan menjadi orang yang sombong dan tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga ketika dihadapi dengan suatu masalah terkadang ia mengambil jalan pintas karena tidak mampu memecahkan masalahnya akibatnya bisa sampai ke tingkat stress dan bunuh diri, oleh karena kita membutuhkan orang lain (bersosialisasi) dan saling tolong menolong. Selain itu sumbangan lain kepada pengetahuan tentang ritual daur hidup yaitu; tentang pentingnya hidup sehat/higenis agar terhindaar dari penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Siswa juga mengetahui tentang budaya-budaya lokal yang terdapat dalam ritus-ritus kehidupan, bahwa inisiasi adalah merupakan bagian dari kehidupan manusia, serta adanya lembaga perkawinan yang mengatur akan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dilembagakan oleh masyarakat dan agama di
dalam budaya lokal, dan bahwa yang namanya kematian adalah rahasia ilahi, dokter atau seorang professor sekalipun tidak akan pernah tahu hari kematian itu. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan satu bidang kajian ilmu yang potensial bagi pengembangan tugas-tugas pembelajaran yang kaya akan nilai. Karakteristik ilmu yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia dan banyak membahas tentang bagaimana manusia dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama, lingkungan dan Tuhan, membuat bidang kajian ini sangat kaya dengan sikap, nilai, moral, etika, perilaku dan tentu saja pengetahuan. Jika dirangkum dalam unsur besar pendidikan IPS maka tergambar adanya nilai-nilai IPS yakni sebagai berikut : 1.
Nilai Sejarah
Adapun nilai sejarah yang terkandung dalam upacara ini adalah bahwa peristiwa dimasa lampau yang selama ini belum banyak diketahui oleh masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat Maluku pada khususnya. Mengenai adanya suatu kelompok masyarakat yang sering disebut dengan istilah suku Nuaulu yang tinggal di pulau Seram adalah merupakan keturunan dari suku besar di Maluku yaitu Alune dan Wemale. Nilai sejarah ini memberikan sebuah integritas dan jati diri yang kuat dan kokoh pada masyarakat suku Nuaulu, dengan budaya adat masyarakat setempat yang masih mempertahankan nilai-nilai luhur moyang mereka dengan pelaksanaan ritual
upacara daur hidup, yakni pataheri dan pinamou yang menunjukan suatu kehormatan bagi mereka sebagai sebuah pengenalan jati diri orang Naualu. 2.
Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi yang ada yaitu bahwa hendaknya upacara ritual daur hidup ini harus dilestarikan sebagai sebuah kearifan lokal yang memiliki potensi untuk membangun. Bila hal ini dikemas secara baik maka bisa dijadikan sebagai aset daerah dalam membangun sector pariwisata budaya, yang justru akan bisa menumbuh kembangkan bidang ekonomi, dan juga akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini akan berbentuk pelestarian budaya, dan pengembangan sumber pendapatan asli daerah (PAD) Maluku Tengah ke depan. 3.
Nilai Antropologi
Dengan pengenalan akan adanya etnisitas masyarakat suku Nuaulu diharapkan adanya sikap saling menghargai setiap perbedaan suku, agama, ras dan golongan yang tercermin dalam motto “Bhineka tunggal Ika” yang artinya berbedabeda tetapi tetap satu jua, dalam lingkaran kesatuan Republik Indonesia. Sehingga perasaan termarginalnya mereka dari NKRI dapat dipatahkan. Bahkan ada sikap rasa saling menghargai antara kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. 4.
Nilai Geografi
Nilai Geografi yaitu dengan adanya pengenalan akan suku ini, kita belajar untuk mengenal Indonesia bukan hanya tentang pulau Jawa saja tapi juga mengenai wilayah-wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, kita akan jelajahi dan mengetahui akan adat istiadat dan tradisi mereka. Karena kenyataannya, bukan hanya siswa SD tapi mahasiswapun tidak tahu di mana letak Pulau Seram yang ada di Maluku, yang didalamnya terdapat suku Nuaulu.
5.
Nilai Muatan Lokal
Pengenalan akan budaya lokal, merupakan sesuatu yang penting untuk diketahui dan dipelajari agar jangan sampai budaya kita/adat istiadat dan tradisi kita hanya dihargai oleh negera lain. Oleh karena itu nilai muatan lokal dalam hal pembelajaran di sekolah benar-benar harus diperhatikan, sehingga adat-istiadat yang merupakan kekayaan daerah harus dipekenalkan kepada siswa. Seperti juga mengenai suku Naualu dengan adat istiadatnya. 6.
Nilai Keagamaan (magis religius)
Tidak terkecuali mengenai nilai yang satu ini, yang benar-benar sangat penting dalam kehidupan manusia. Dari upacara daur hidup masyarakat suku Nuaulu kita bisa mengetahui bahwa dalam kehidupan manusia dalam setiap simbol yang digunakan ada makna-makna tersembunyi yang secara simbolik mereka gunakan. Juga ternyata masih ada masyarakat kita yang memegang teguh kepercayaan mereka
(belum memeluk 5 agama resmi yang ada di Indonesia), dan itupun harus kita hargai sebagai suatu bentuk penghormatan kepada mereka. 7.
Nilai identitas diri
Keberadaan nilai identitas diri, di lingkungan masyarakat suku Nuaulu dalam sejarahnya telah menunujukkan bentuk dan sosoknya yang unik dan sampai sekarang menjadi ciri khas masyarakat daerah itu. Mereka dikenal sebagai masyarakat yang tampil sederhana, apa adanya, jujur, suka berterus terang, sopan, serta saling tolong menolong. Hal ini dapat diamati dari perilaku budaya lokal terutama yang berkaitan dengan upacara daur hidup (life cycles) masyarakat suku Nuaulu. Kearifan lokal (local genius) yang berkembang dalam masyarakat Nuaulu ini pada dasarnya adalah merupakan perjuangan kolektif agar mereka tetap survive dari dominasi pengaruh asing. Kesimpulan :
Bangsa yang disegani dan dihormati bangsa lain, adalah yang mampu menjaga dan menghargai hasil-hasil budaya bukan bangsa yang menciptakan budaya. Menjaga eksistensi budaya bangsa dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Ritual upacara daur hidup (life cycles) yang masih diselenggarakan oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat suku Nuaulu pada khusunya, merupakan bentuk eksistensi. Hal tersebut sebagai indikasi bahwa kebudayaan tidak
akan punah dan hilang. Permasalahan terletak pada peran serta masyarakat untuk menampilkannya secara nyata.
Budaya lisan pada masyarakat suku Nuaulu ini menyebabkan beberapa produk budaya bersifat semu, bermakna relatif, sulit diterjemahkan, dan penuh misteri. Oleh karena itu upacara adat suku Nuaulu yang dimulai dengan upacara kehamilan sembilan bulan sampai kematian yang diintepreatsikan dalam simbol religi, etika dan filosofi yang mengandung nilai-nilai kearifan adat yang luhur. Nilainilai yang terkandung dalam upacara adat memuat pesan moral yang harus dikembangkan menjadi kearifan lokal. Hal ini dapat dicontohkan bahwa dalam setiap upacara adat terdapat pantangan, larangan dan ajaran. Larangan dan ajaran tersebut dapat dijadikan sebagai kearifan lokal yang jika dikaji mengandung pesan moral dalam setiap upacaranya. Setiap upacara menjelaskan bagaimana masyarakat menghadapi hidupnya dan mengatasi masalah hidupnya. Dengan demikian kearifan lokal yang dari dulu sudah ada dalam masyarakat harus dikembangkan dalam menghadapi arus globalisasi dewasa ini. Kearifan lokal yang dikaji dari pesan moral dalam
setiap
upacara
dapat
dijadikan
sebagai
sumber
pembelajaran
IPS. Pada setiap cabang Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) nilai memiliki tekanan yang berbeda-beda. Sejarah menekankan kepada nilai suatu kisah atau peristiwa, Geografi menempatakan nilai kesadaran wawasan dari satu kesatuan wilayah. Ekonomi menempatkan nilai manfaat dan keuntungan suatu barang/jasa.
Sosiologi menempatkan nilai pada kualitas hubungan interpersonal seseorang sebagai anggota masyarakat, dan Antropologi menempatkan nilai budaya suatu bangsa. Pengembangan pendidikan Nilai yang terintegrasi dengan pendidikan IPS memiliki arti penting bagi peningkatan kualitas pendidikan. Secara operasional pengembangan nilai pendidikan IPS melibatkan tiga tahapan yang berbeda. Tahap pertama berkisar pada pengenalan fakta-fakta di lingkungan, tahap kedua merupakan tahap pembentukan konsep-konsep dan tahap ketiga tahapan tentang pertimbangan tentang nilai yang terintegrasi. Atas dasar tahapan inilah, maka tidak cukup bagi peserta didik untuk belajar IPS dengan hanya berkisar pada konsep yang verbalistik atau hanya mengenal sejumlah fenomena, melainkan diperlukan ketajaman analisis terhadap nilai dalam sejumlah isu sosial/fenomena sosial yang ada di seputaran lingkungan siswa. Nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran IPS, dapat berupa nilai intrinsik seperti nilai dasar moral seperti kepedulian terhadap orang lain, empati dan kebaikan sosial lainnya, dan semua nilai ini penting dalam merancang priorotas penelaan IPS. Untuk itu nilai-nilai dasar moral tersebut harus terintegrasi dalam kurikulum IPS. Nilai dasar moral esensial dapat dikembangkan dari prinsip-prinsip kebenaran, keadilan, kebaikan, kepedulian dan keindahan yang terdapat dalam ajaran agama. Selain dalam bahasan tentang nilai kepada peserta didik tentunya pengetahuan yang didapat merupakan suatu bekal bagi siswa untuk lebih mengetahui dan memahami akan pentingnya kesehatan, penghargaan akan suatu kehidupan yang tertuang di
dalam hak asasi manusia, bentuk-bentuk budaya lokal dan tata cara pekawinan yang benar dalam jalur lembaga perkawinan. Melalui pembelajaran IPS yang terintegrasikan dalam nilai, etika dan moral, peserta didik diharapkan mampu mengaplikasikan konsep dan prinsip ilmu-ilmu tersebut untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Diyakini bahwa pengembangan pendidikan IPS yang benar dan bermakna akan mampu menghasilkan pribadi-pribadi sehat dan tangguh. Disinlah peranan pendidikan IPS dalam mewariskan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Kehidupan masyarakat tercipta karena tumbuh dan berkembangnya sistem nilai sosial. Hancurnya suatu masyarakat disebabkan karena melemahnya sistem nilai atau akan kacau apabila sistem nilai itu tidak memiliki kekuatan lagi. Peranan nilai-nilai luhur bangsa diperlukan untuk memberikan kekokohan suatu bangsa. Nilai-nilai luhur dari upacara ritual daur hidup (life cycles) masyarakat suku Nuaulu pada dasarnya relevan dengan pandangan mengenai hakekat studi sosial (IPS) untuk membentuk pribadi peserta didik sebagai warga masyarakat yang baik, menghargai perbedaan budaya dalam masyarakat demokratis. Nilai-nilai tersebut merupakan perisai yang melindungi generasi penerus atau peserta didik dari modernisasi sehingga nilai-nilai itu dijadikan sebagai modal dalam mengambangkan hidupnya.