BAB V PEMBAHASAN
5.1 Analisis Univariat 5.1.1.Identitas Responden Hasil penelitian menurut umur didapat hasil bahwa sebagian besar responden berumur 15 tahun, hal ini sesuai dengan teori perkembangan anak yang dikemukan Jean Piaget, hampir sama juga dengan yang di lontarkan oleh James Mark Baldwin, yang membagi empat tahap perkembangan yang lebih kurang sama dengan masa infancy, pra-sekolah, anak-anak dan remaja, merujuk hal itu maka anak SMP sudah masuk dalam masa perkembangan remaja, di mana umumnya rata-rata antara 11- 15 tahun. Hal ini sesuai juga dengan data statistik Kalimatan Barat ( 2011) bahwa jenjang usia sekolah SMP / Tsanawiyah adalah umur 13- 15 tahun (83,67% .) Menurut Monks dkk ( 2004) umur rata-rata anak SMP atau yang disebut juga masa remaja awal adalah 12-15 tahun, dan 15- 18 tahun. Menurut Haifah Lya Ashali ( 2009), berdasarkan periodisasi urutan perkembangan individu, peserta didik usia Sekolah Menengah Pertama ( SMP) tercover dalam lingkup tahap perkembangan masa remaja , dengan usia rata-rata antara 12- 15 tahun. Pengertian masa remaja sendiri menurut Hurlock ( 1981) adalah yang berada pada usia 12 -18 Tahun.
71
Untuk besar uang saku dari hasil penelitian ini sebagian besar responden (25 Anak) mendapat uang saku sebesar
5000
rupiah, hal ini sudah memenuhi standar besar uang saku yang diberikan pada anak Tsanawiyah ( sekolah menengah) didaerah pedesaan. Dengan rata-rata pekerjaan orang tua adalah tani.
dan
pendapatan orang tua yang tergolong dalam quintil 1 ( pendapatan rendah) sebanyak 22 anak ( 38.59 %), untuk pendapatan keluarga, yang paling tinggi adalah pada quintil 5 dengan jumlah 3 anak ( 5.26%). Hal ini sesuai dengan pendapatan Perkapita Pontianak Kalimatan Barat, yang hanya mencapai 11.394.000,-/ Pertahun. Sesuai dengan BPS tahun 2012. Untuk Konsumsi energi dalam penelitian ini sebagian besar santri telah mengkonsumsi 83.41 % dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan yaitu 50 anak., hal ini sudah baik , sedangkan yang mengkonsumsi
kurang dari Angka 76.72% ( 7 anak)
Bahan
makanan sumber karbohidrat yang dikonsumsi seluruh santri adalah nasi sebagai makanan pokok, frekuensi makan sehari para santri adalah 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari, sedangkan makan siang para santri jajan di sekolah. Makanan jajan diantaranya berupa singkong goreng, bakwan, sirop, krupuk dan mie instan Hal ini tdak sesuai dengan Penelitian LitBang Gizi (1996) yang menyatakan Konsumsi energi di Pondok Pesantren tradisional umumnya lebih rendah dibandingkan dengan santri di pondok Pesantren modern, Konsumsi energi rata-rata 82,87% RDA dan di
Pondok Pesantren Tradisional rata-rata 71-76% RDA, Sedangkan konsumsi protein para santri di pesantren modern rata-rata 77-85% RDA dan Pesantren tradisional rata-rata 61-72% RDA.di pesantren modern frekuensi makan 3 kali sehari sedangkan dipesantren tradisional frekuensi makan hanya 2 kali sehari. Pola konsumsi dipondok pesantren modern lebih beragam dibandingkan pesantren tradisional, Ketersediaan makanan / bahan makanan di pesantren tradisional lebih terbatas dibandingkann dengan di pesantren modern baik dalam jumlah dan macamnya. Untuk konsumsi protein dalam penelitian ini sebagian besar anak telah mengkonsumsi 81.50 %,( 46.46 Gram) yaitu 43 anak,
hal ini sudah baik jika dibandingkan
dengan Angka
Kecukupan Gizi yang dianjurkan, sedangkan konsumsi protein terendah adalah 14 anak. Lauk pauk yang dikonsumsi santri adalah tempe, tahu, ikan asin, ikan goreng dan telur, selain itu pada saat jajan santri memgkonsumsi sosis ayam, dan bakso pentol campuran ayam dan tepung terigu. Untuk konsumsi fe dari hasil penelitian ini sebagian besar telah mencapai 83.15 % ( 21.62 gram ), dari Angka Kecukupan gizi yang dianjurkan hal ini sudah baik, namun masih terdapat 18 anak ( 31.57%) konsumsi fe nya masih kurang dari Angka Kecukupan gizi yang dianjurkan. Hal ini menjadi masalah sedangkan di indonesia hanya sekitar 20 % anemia defisiensi besi
Menurut Siswono ( 2008) Anemia defisiensi Gizi besi sampai saat ini masih merupakan masalah gizi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia dan di perkirakan 30% menderita anemia . Data organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan dua miliar penduduk dunia terkena anemia ( DepKes, 2008). Secara umum di Indonesia sekitar 20% mengalami anemia defisiensi besi ( DepKes, 2009). Sedangkan berdasarkan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), pada tahun 2001 menunjukkan 26.5% remaja putri, 40% WUS dan 47% anak usia 0 – 5 tahun mengalami kekurangan besi ( Bambang, 2007). Dari penelitian ini sebagian besar santri wati berstatus gizi baik menurut IMT yaitu 33 anak ( 57.9 %), dan Masih ada sebagian anak yang berstatus Gizi Kurus yaitu 19 anak (33.33%) atau nilai IMT < 18,5cm, berdasarkan Pengukuran IMT (BB/ TB 2 ) hal ini sangat memprihatinkan karena diatas Standar nasional yang hanya < 15 %. Penentuan status gizi menunjukkan apakah anak mendapat energi dan zat – zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan nya sesuai potensi pertumbuhan genetik. Status gizi kurang merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan zat-zat gizi esensial, sedangkan pada anak-anak yang konsumsi energi melebihi energi yag digunakan dapat berkibat pada obesitas ( Margen, 1984, dalam: Nofitri Rahmayanti 2012)
Dari hasil penelitian pemeriksaan kadar hemoglobin terdapat 73.7% memiliki kadar Hb Normal, dan sebanyak 26.3 % menderita anemia, rata-rata konsumsi fe ( zat besi ) siswi telah memenuhi kecukupan yaitu 80-100% AKG. Kejadian anemia gizi besi dipengaruhi oleh multi faktor tidak saja asupan zat besi yang kurang namun juga dipengaruhi oleh asupan zat gizi lain. Prevalensi anemia gizi besi anak sekolah di Indonesia sebesar 26,5 %. Faktor risiko terjadinya
anemia
dipengaruhi
pola
konsumsi
makanan
khususnya zat besi. Anemi gizi besi menyebabkan transport oksigen menjadi berkurang, dan mengakibatkan produksi energi menjadi rendah sehingga anak menjadi mudah lelah, letih, lemah, lesu, lalai, cepat capai, kurang konsentrasi. Selanjutnya dapat berakibat dapat menurunnya prestasi belajar, produktifitas kerja termasuk olah raga serta menurunkan daya tahan tubuh. Dilakukan penelitian ini dengan tujuan mempelajari apakah ada hubungan antara anemia gizi besi terhadap prestasi belajar anak sekolah di daerah endemik GAKI. Hasil dari penelitian ini di dapatkan proporsi anemi gizi besi anak sekolah dasar sekitar 25 %. Konsumsi zat besi rendah sekitar 30 % di bawah Angka Kecukupan Gizi.( Aniek prihatin dan aries irawati,2006) Penelitian Teti Kurniati dkk, mengatakan 69.71%, siswi SMP Negeri 1 Juntinyuat kabupaten Indaramayu Jawa Barat memiliki kadar Hb normal dan sebanyak 28 (28,9%) siswi
menderita anemia,rata-rata konsumsi zat gizi energi, protein dan zat besi (Fe) siswi sudah memenuhi kecukupan yaitu 80 -100% dari konsumsi zat gizinya. Dari hasil penelitian ini dengan menggunakan uji korelasi pearson product moment menunjukkan nilai rata-rata dari 7 mata pelajaran yang diambil dari raport semester ganjil pada tahun ajaran 2012 / 2013 sebesar 74.30, nilai yang terendah adalah 66.67 dan nilai tertinggi sebesar 80. Jika dibandingkan dengan nilai KKM sekolah yang hanya sebesar 65.00, maka seluruh sampel atau 57 anak (100) Prestasi para santri dikata kan baik Prestasi belajar siswa meliputi prestasi kognitif ( kemampuan berpikir dan analisa ). Prestasi afektif ( sikap) dan prestasi psikomotor (TL). Dari ketiga aspek tersebut aspek kognitiflah yang menjadi tujuan utama dari suatu sistem pendidikan tanpa mengesampingkan aspek yang lain (Syam 2001 dalam Nurmasyita 2006).
5.2. Analisa Bivariat 5.2.1. Hubungan Konsumsi Energi dan Prestasi Belajar
Penelitian Dari hasil uji Korelasi pearson product moment diperoleh hasil (p= 0,005) atau P < 0.05 dengan nilai r = 0,369, yang artinya terdapat hubungan yang positif antara kedua variabel, artinya semakin tinggi tingkat konsumsi energi maka semakin tinggi pula prestasi belajarnya, meskipun hubungan ini tergolong lemah ( r < 0.5). Hal ini sejalan dengan penelitian Ari Wahyu ’Agus Sartono (2004) yang menyatakan ada hubungan antara Tingkat Konsumsi Energi dengan Prestasi belajar. Dimana ( p = 0.000), yang artinya positif antara kedua variabel artinya semakin tinggi konsumsi energi maka semakin baik pula prestasi belajarnya Penelitian ini sejalan
juga dengan penelitian Diyah
listiyorini (2011), yang menyatakan terdapat hubungan positif dan signifikan antara konsumsi energi dan prestasi belajar dimana P= 0.037, artinya semakin tinggi tingkat konsumsi maka semakin tinggi pula prestasi belajarnya. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Irma Ratnawati, (2006) yang mengatakan
Asupan Energi dengan prestasi
belajar menunjukkan korelasi yang tidak bermakna dengan P ± 0.626 ( P> 0.05) dan memiliki arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi sangat lemah ( r = 0.053), karena berbeda tempat penelitian, berbeda sampel yang digunakan serta beda
uji Statistik
yang digunakan
dalam penelitian ini
menggunaka uji Spearman.
5.2.2 Hubungan Konsumsi Protein dan Prestasi Belajar Ada hubungan
yang bermakna antara konsumsi
protein dengan prestasi belajar dimana nilai p= 0.028 dan nilai r= 0,029.artinya semakin tinggi konsumsi protein maka semakin baik pula prestasi belajarnya, meskipun hubungan ini tergolong lemah dimana (r < 0.5) Hal ini sejalan dengan penelitian Ari Wahyu’ Agus Sartono (2004 ) yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi protein dengan prestasi belajar ( p= 0,000), artinya semakin tinggi tingkat konsumsi protein maka semakin baik prestasi belajarnya meskipun hubungan ini tergolong lemah (r < 0.5) hal ini tidak sejalan dengan penelitian Irma Ratnawati dkk, yang menunjukkan korelasi tidak bermakna dengan p= 0,0272 (p> 0,05) dan memiliki arah korelasi positif dengan kekutan korelasi sangat lemah (r=0,195), uji yang digunakan adalah uji statistik Spearman, tempat penelitian berbeda dan sampel juga berbeda, hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan semakin baik asupan Protein maka semakin baik pula prestasi belajarnya.
5.2.3. Hubungan Konsums Fe dari makanan dan pretasi Belajar Ada hubungan yang bermakna antara konsumsi fe dengan Prestasi belajar dimana (p =0,011) atau P < 0.05 dengan r = 0,335. Artinya semakin tinggi konsumsi fe maka semakin baik pula prestasi belajarnya meskipun hubungan ini tergolong lemah (r < 0.5) Hal ini sejalan dengan penelitian Nurjanah (2003), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara konsumsi zat besi dengan prestasi belajar dimana nilai p = 0,025 ( p< 0,05). Artinya semakin tinggi konsumsi zat besi (fe) maka semakin baik pula prestasi belajarnya Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Batjo Siti hadijah (2009), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengaruh anemia defisiensi besi trehadap prestasi belajar reamaja putri (RR =2,2; 95% Ci 1,45 -3,25) dengan menggunakan uji chi square. Dalam penelitian ini mengikut sertakan variabel luar pendidikan ibu, pendidikan bapak, absensi, minat dan status sosial ekonomi. Hal ini sejalan pula dengan penelitian Nany Suryani (2003) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara konsumsi fe dengan prestasi belajar dimana (p<
0.05), artinya semakin tinggi konsumsi zat besi semakin baik / tinggi pula nilai matematika. Departemen Kesehatan ( DepKes, 2008) dalam riset Kesehatan Dasar menyatakan bahwa prevalensi anemia di indonesia adalah 14.8%, dengan jenis anemia terbanyak adalah anemai mikrositik hipokromik ( 60.2%). Jika dibandingkan antara proporsi pada anak-anak anemia mikrositik hipokromik ini lebih besar proporsinya pada anak-anak ( 70.1%), sedangkan pada laki-laki dewasa 33,4% dan pada wanita dewasa 59.95. Anemia mikrositik hipokromik dapat terjadi karena kekurangan zat besi, penyakit kronis lanjut. 5.2.4 Hubungan Status Gizi dan Prestasi Belajar Ada Hubungan yang bermakna Antara Status Gizi dengan Prestasi belajar (P= 0,000) atau P< 0.05 dengan r = 0.451 yang artinya semakin baik Status Gizi Seseorang maka semakin tinggi pula Prestasi Belajarnya meskipun hubungan ini tergolong lemah (r < 0.5) Hal ini sejalan dengan penelitian Diyah listiyorini (2011), yang menyatakan terdapat hubungan positif dan signifikan antara Status gizi dan prestasi belajar dimana P= 0.037, artinya semakin baik staatus gizinya maka semakin baik pula prestasi belajarnya.
Hal ini sejalan dengan penelitian Chirstien Isdaryanti (2006) yang menyatakan ada hubungan antara status gizi dengan prestasi belajaar dimana ( p= 0.000) atau p < 0.05 dengan a.0.05 artinya semakin baik status gizinya maka semakin baik pula prestasi belajarnya. Dalam Skripsinya yang berjudul Hubungan Status gizi dengan prestasi belajar anak Sekolah dasar Arjowinangun I Pacitan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Bina Gizi masyarakat( 1994) menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan prestasi belajar siswa dengan p-value sebesar 0.032, dengan tingkat kepercayaan 95% menggunaka uji Korelasi Pearson, ada hubungan status gizi dengan prestasi belajar merupakan suatu indikator betapa pentingnya asupan zat gizi terutama energi dan protein didalam meningkatkan konsentrasi belajar siswa. Oleh karena itu peranan orang tua siswa sangat diharapkan didalam meningkaatkan status gizi anak melalui kebiasaan sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Gazalizali.BlogSpot.com 2012, yang menyatakan ada hubungan antara status gizi dengan prestasi belajar siswa dengan P = 0.043, dengan status gizi yang normal sebanyak
86.7% dan tidak normal 13.3 %, sedangkan prestasi belajar sebanyak 26.7% dan yang tidak baik sebanyak 73.3%. Sebagian besar siswa mempunyai status Gizi normal menurut DepKes RI ( 2005) dengan menggunakan IMT menurut umur sehingga perlu untuk dipertahankan. Penelitian ini jaga sejalan dengan penelitian Nuria Muliani ( 2009) yang menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan prestasi belajar siswa Sekolah Dasar negri 2 buyut Udik, Kecamatan Gunung sugih, lampung, hasl yang didapat 69.33% Status gizi baik dan Prestasi sebagian besar 49.33 % adalah baik. Penelitian ini sejalan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Anjani Khoirunisa ( 2011) dari hasil analiss Bivariat menunjukan hubungan Status Gizi dengan IPK diperoleh nilai p = 0,000 dengan nilai r = < 0,05 maka dapat disimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara status gizi dengan IPK, pada uji statistik diperoleh juga nilai or = 9,77. Kesimpulan dalam penelitian terdapat hubungan antara Status Gizi dengan IPK Mahasiswa Akademi kebidanan Gema Nusantara Bekasi. Masalah gizi merupakan faktor – faktor yang sangat mempengaruhi prestasi pada anak sekolah. Begitu pula dengan penghasilan orang tua sangat mempengaruhi status Gizi dan prestasi belajar anak. Sebab apa bila ekoomi
keluarga rendah, maka konsumsi makanan yang diberikan kepada anak juga rendah, hal ini dapat mengakibatkan kekacauan
sisa
pembakaran
yang
berdampak
pada
kelelahan, sehingga menghambat proses belajar anak akhirnya akan menurun prestasi belajarnya. Pengaturan waktu belajar serta menyediakan alat belajar, dan konsumsi gizi yang seimbang. Jika konsumsi gizi yang masuk kedalam tubuh baik, maka status gizinya juga baik pula. Faktor – faktor yang juga mempengaruhi proses dan prestasi belajar ialah tingkat kecerdasan, status gizi ( Farokah, 2007) Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Mohammad Amas ( 2001) dalam penelitian yang berjudul Hubungan status gizi dengan prestasi belajar Siswa-siswi SD Negeri no 101837. Dengan menggunakan uji statistik Chi-Squre menunjukkan nilai p= 0,482 ( p> 0,05) hal ini berarti bahwa dalam penelitian ini tidak terbukti secara signifikan adanya hubunga antara status gizi dengan prestasi belajar. Hasil ini tidak mendukung teori hji (2003) dan Noehi Nasution,dkk dan Syaiful Bahri Djamarah ( 2002) yang menyatakan bahwa status gizi berhubungan dengan prestasi belajar. Penelitian ini tidak senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Tina Mulyani, yang menyatakan adanya hubungan antara status gizi dengan hasil belajar SD kajar
Kecamatan trangkil kabupaten pati. Namun penelitian ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh V.Retno Setyaningsih ( 2003, yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada prestasi belajar berdasarkan IMT pada siswa SMK Katholik Klaten. Hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh status Kesehatan ( status Gizi) saja melainkan banyak faktor lain yang mempengaruhinya. .
5.2.5 Hubungan Kadar Hemoglobin danPrestasi Belajar Ada Hubungan yang bermakna Antara Anemia dengan Prestasi belajar (P= 0,038) atau P< 0.05 dengan r = 0.275 yang artinya semakin tinggi nilai kadar Hemoglobin Seseorang maka semakin tinggi pula Prestasi Belajarnya meskipun hubungan ini tergolong lemah (r < 0.5) Hal ini sejalan dengan penelitian Nia mei lina ( 2009), yang menyatakan anemia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar ( p < 0.05) artinya semakin tinggi tingkat anemia maka semakin kurang prestasi belajarnya. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Nurmasyita (2006) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antar kadar hemoglobin darah dengan prestasi belajar dimana didapatkan (p> 0,05) dan nilai korelasi yang menunjukkan arah korelatif positif dengan kekutan korelasi
sangat lemah. Hal yang sama dialami oleh Rafiludin dan Zen dalam penelitiannya tahun 1997 yang menyatakan bahwa tidak ada kaitan yang signifikan antara HB dan prestasi belajar dan diperkuat dengan penelitian Kartini pada tahun 2000 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kadar Hb dengan prestasi belajar. Hal ini dsebabkan jumlah sampel yang digunakan berbeda dan lebih besar yaitu 95 orang , tempat penelitiaan juga berbeda serta uji yng digunakan juga berbeda, Nurmasyit a(2006) menguji antara dua variabel dengan menggunakan uji anova dimana nilai p= 0,598 (P> 0.05) dan Nilai r=0.055 menunjukan arah hubungan positif dengan kekuatan yang sangta lemah. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Teti Kurniati dkk ( intisari2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan status Hemoglobin dengan hasil tes mata pelajaran Matematika (P-value= 0,076 dn tidak ada hubungan
kadar
hemoglobin
dengan
tes
bahasa
Indonesia(P-value = 0,10). Sejalan dengan penelitian Nuramalina ( 2011) dalam penelitiannya yang berjudul hubungan Kadar Hemoglobin dengan Prestasi Akademik siswa- siswa SD Negeri No.101837 Suka Makmur Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang yang menyatakan terdapat
hubungan antara variabel Kadar hemoglobin dengan prestasi belajar dengan menggunakan uji Chi- Square dengan P < 0.05. Hal ini sejalan pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Dahyuni ( 2003), dengan judul Hubungan Kadar HB dengan kesegaran Jasmani dan Prestassi Belajar remaja putri di asrama GOW ( Gabungan Organisasi Wanita) Cirebon,
yang mengatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara Kadar Hemoglobin ( HB) dengan prestasi belajar dimana p = 0.003 dengan angka korelasi ( r = 0.504), Hal ini senada dengan penelitian Mohammad Amas ( 2001) yang menyatakan adanya hubungan yang signifikan antara Status HB dengan prestasi belajar siswa. Dengan menggunakan uji Chi-Square menunjukan p = 0,000 (p < 0,05), hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Ali Khomson (2003) bahwa aktivitas
makan
pagi
secara
tidak
langsung
dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa. Hal ini dikarenaka ada dua manfaat pertama, sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan kadar gula darah. Kedua pada dasarnya sarapan pagi memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, vitamin dan mineral.
Ketersedian zat gizi ini bermanfaat untuk fungsi proses fisiologis dalam tubuh. Hal ini sejalan dengan penelitian Inayati ( 2001) yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara kadar HB dengan prestasi belajar dimana nilai p= 0,008 ( P < 0,05) dengan r = 0,338 artinya semakin tinggi kadar HB maka semakin besar konsetrasi belajarnya. Penelitian ini senada juga dengan jurnal Kes Suara FariKes ( 2000), dengan menggunakan analisis uji ChiSquare hasil uji statistik x2 hitung 7.699 dengan tarap signifikan 0,05 dan df = 1, koefisien 0,220. Berdasarkan hasil analisis terdapat hubungan antara kadar HB dengan prestasi belajar siswa kelas VII di SMP Negeri 2 magetan dengan tingkat hubungan rendah.