BAB V PASAR NAGARI SEBAGAI AJANG PERTUKARAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT MINANGKABAU Bab ini mengemukakan kedudukan pasar nagari dalam sistem perekonomian masyarakat nagari di Minangkabau, dan sebagai kelembagaan ekonomi masyarakat nagari. Ternyata pasar nagari yang merupakan ajang pertukaran sosial ekonomi masyarakat sejak dahulu sampai saat ini (sejak masa pra kolonial sampai era otonomi daerah seperti sekarang ini) telah mampu bertahan dari intervensi perekonomian kapitalis (kekuatan ekonomi supra lokal).
5.1. Kedudukan dan Fungsi Pasar Nagari dalam Perekonomian Masyarakat Nagari: Sebuah Proses Perubahan. Pasar nagari merupakan sub sistem dari sistem sosial ekonomi masyarakat nagari sejak dahulu sampai sekarang di wilayah Minangkabau. Dalam perjalanan sejarahnya, pasar nagari telah menjadi tempat pertemuan antara aktor ekonomi yang terlibat, seperti antara pedagang keliling (peddler) dengan petani produsen, bahkan saat ini sebagai tempat pertemuan antara pedagang (trader) dengan peddler dan petani produsen tanaman perkebunan yang berorientasi ekspor. Pasar nagari telah menjadi tempat transaksi diantara para pedagang keliling dengan petani produsen, dan diantara petani produsen dengan pedagang tingkat Kabupaten (pedagang supra nagari). Perdagangan di pasar nagari bukan hanya dalam bentuk pertukaran barang ekonomi dari masyarakat yang mengalami kelebihan/ kekurangan barang/jasa untuk disampaikan ke masyarakat yang mengalami kekurangan/kelebihan barang dan jasa. Lebih dari itu, perdagangan di pasar nagari adalah satu bentuk pertukaran dari hasil perjuangan saling bersaing. Namun di sisi lain, perdagangan di pasar nagari juga merupakan bentuk redistribusi kekayaan ke masyarakat lain, karena seorang pedagang di pasar nagari harus tetap memelihara reputasinya sebagai seseorang yang jujur dan terhormat dengan tidak menempatkan pencarian keuntungan (profit) sebagai orientasi utama, melainkan sekali-sekali memberikan hadiah/keuntungan kepada partner dagangnya untuk menciptakan solidaritas dan loyalitas. Keadaan ini disebut dengan ekonomi moral pedagang.
135
Pasar nagari yang merupakan suatu kelembagaan ekonomi masyarakat nagari, seharusnya ada pada setiap wilayah nagari, karena keberadaan pasar merupakan salah satu syarat dapat berdirinya sebuah nagari di Minangkabau. Sebagaimana dikatakan Kato (1972:42) suatu wilayah pemukiman untuk menjadi sebuah
nagari
harus
memiliki
fasilitas
seperti
jalan
komunikasi
(road
communication), tempat pemandian umum (a public bathing place), ruang bersidang adat, adanya sebuah mesjid, adanya lapangan terbuka, dan adanya lapangan olah raga dan lapangan tempat keramaian yakni pasar (amusement). Artinya, pasar nagari semula berfungsi sebagai tempat keramaian dan hiburan bagi penduduk nagari, kemudian dalam perjalanan waktu berubah fungsinya menjadi lokasi tempat pertukaran, karena secara sosiologi ekonomi, lokasi tempat keramaian akan berubah menjadi ajang tempat pertukaran ekonomi. Oleh karena itulah, pasar nagari di Minangkabau yang semula berfungsi sebagai tempat pertukaran sosial kemudian berubah menjadi tempat pertukaran ekonomi, tanpa menghilangkan makna yang pertama, sehingga sampai saat ini pasar nagari menjadi tempat pertukaran sosial dan ekonomi. Secara formal, dalam Perda No: 9 Tahun 2000 tentang pemerintahan nagari di wilayah Provinsi Sumatera Barat dinyatakan bahwa setiap nagari memiliki harta kekayaan nagari termasuk pasar nagari. Pasar nagari adalah suatu wilayah dengan batas-batas yang jelas sebagai tempat berlangsungnya pertemuan atau transaksi antara penjual dan pembeli (Perda Provinsi Sumatera Barat No: 9 /2000 dan Perda Kabupaten Agam No: 2 Tahun 2004). Ada lima jenis pasar dalam perundangundangan ini yakni: 1. Pasar Jorong; adalah pasar yang dimiliki oleh satu jorong atau lebih 2. Pasar Nagari (Pasar A); adalah pasar yang dimiliki oleh satu nagari 3. Pasar Serikat (Pasar B); adalah pasar yang dimiliki oleh dua nagari atau lebih 4. Pasar Daerah (Pasar C); adalah pasar yang dimiliki oleh pemerintahan daerah 5. Pasar Swasta; adalah pasar yang bukan pasar jorong, pasar nagari, pasar serikat dan pasar daerah. Semua jenis pasar ini dikelola oleh pengurus pasar yang terdiri dari badan perwakilan pemilik pasar, komisi pasar, dan pengurus pasar. Badan perwakilan
136
pemilik pasar memiliki tugas mengangkat dan memberhentikan komisi pasar dan pengurus pasar, menetapkan kebijakan umum pengelolaan pasar, mengesahkan anggaran pendapatan dan pengeluaran pasar. Komisi pasar memiliki tugas mengawasi pelaksanaan anggaran pendapatan dan pengeluaran pasar, mengawasi kebijakan pengelolaan pasar, dan meminta pertanggung jawaban pengurus pasar melalui sidang badan perwakilan pemilik pasar. Sedangkan pengurus pasar terdiri dari kepala pasar (penghulu pasar), sekretaris pasar, bendahara pasar, dan petugas pasar. Tugas utama pengurus pasar adalah menyusun dan merumuskan program kerja tahunan, menyusun anggaran pendapatan dan pengeluaran pasar setiap tahun, melaksanakan pengelolaan pasar sehari-hari, dan membuat laporan bulanan kepada komisi pasar. Jadi, saat ini pengelolaan pasar nagari telah memiliki dasar legitimasi yang kuat sejak kembalinya ke pemerintahan nagari di wilayah Sumatera Barat, dan pasar nagari di kategorikan berdasarkan jumlah nagari yang terlibat dalam transaksinya. Tentu saja hal ini akan berbeda dalam perspektif sosiologi ekonomi, meskipun pasar nagari telah di differensiasi berdasarkan pasar kelas A, pasar kelas B dan bahkan pasar kelas C. Namun dalam konteks sosiologi ekonomi perkembangan pasar nagari itu juga dapat dilihat dalam perspektif yang berbeda. Bila dilihat dari konsep pasar nagari dalam terminologi Minangkabau, maka pasar nagari memang memiliki beberapa istilah yang memiliki makna yang berbeda sesuai konteksnya. Ada beberapa istilah/sebutan yang dilekatkan pada pasar nagari yakni: Balai, Pakan, dan Pasa. Ketiga isitilah ini digunakan secara bergantian dalam bahasa sehari-hari oleh penduduk nagari, tetapi dalam konteks yang berbeda. Istilah balai, merujuk kepada tempat keramaian dan tempat berkumpulnya warga nagari untuk keperluan dan kepentingan bersama terutama dalam melakukan pertukaran sosial (social exchange). Pada mulanya istilah balai merujuk kepada tempat pertemuan dan sidang-sidang pimpinan nagari (penghulu/datuak) dalam memutuskan suatu keputusan bersama. Sampai saat ini, istilah ini masih digunakan yakni merujuk kepada istilah balai adat. Balai adat merupakan sebuah bangunan di pusat nagari yang berfungsi sebagai tempat pertemuan yang memiliki ruangan yang luas dan halaman dan lapangan yang luas. Balai adat biasanya terdapat di tengah (center) wilayah nagari. Pertemuan di balai adat dilaksanakan pada hari tertentu, yang biasanya sekali dalam seminggu, dimana pada saat pertemuan diadakan akan
137
dihadiri oleh banyak orang. Peristiwa inilah yang kemudian dijadikan sebagai tempat pertukaran ekonomi bagi penduduk nagari. Pada saat sekarang di lokasi pasar nagari memang selalu ditemui balai adat untuk tempat persidangan adat. Keterkaitan antara balai adat ini dengan lokasi “balai” (pasar) sebagai tempat pertukaran sosial ekonomi nampaknya sangat erat, karena pada perangkat bangunan yang mendukung keberadaan pasar nagari selalu dekat dengan balai adat, dan kantor Walinagari, seperti pada pasar nagari Salimpaung, pasar nagari Rao-Rao, Pasar nagari Sungai Tarab, pasar Nagari Tabek Patah dan bahkan pada pasar Nagari Baso. Masing-masing di lokasi penelitian ini dijumpai bangunan balai adat, dan kantor Wali nagari dan halamannya sekaligus menjadi tempat para pedagang mengelar barang dagangannya. Berdasarkan kenyataan di lapangan, istilah balai merupakan tempat pertukaran sosial masyarakat nagari yang lebih merujuk kepada pertukaran yang bersifat lingkup nagari, dalam skala ekonominya “balai” berarti pasar yang pengunjungnya masih cenderung homogen, terutama dari warga nagari dan nagari tetangga terdekat yang dapat ditempuh dengan jalan kaki. Seperti pasar nagari Salimpaung yang oleh penduduk lebih dikenal dengan sebutan “Balai Jum’at” penduduk yang datang mengunjungi Balai Jumat di samping penduduk Salimpaung adalah penduduk dari nagari tetangga seperti nagari Lawang Mandahiling, nagari Rao-Rao, Nagari Tabek Patah, dan nagari Supayang. Pasar nagari dalam konteks sebagai “balai” inilah yang memang harus ada pada setiap nagari, namun tingkat keramaiannya dan skala transaksinya akan menentukan apakah suatu balai ini akan berubah dan berkembang menjadi pakan, atau pasar atau malah mati dan sepi dari keramaian. Hasil pengamatan di lokasi penelitian memperlihatkan bahwa beberapa pasar nagari yang terkategori sebagai balai mulai menjadi sepi, bahkan tidak lagi digelar sebagai tempat pertukaran ekonomi, seperti pasar nagari Lawang Mandahiling, pasar nagari Supayang, pasar nagari Situmbuak di kecamatan Salimpaung, pasar nagari Kumango, pasar nagari Pasir Laweh di kecamatan Sungai Tarab. Jika dikaitkan kembali kepada konsep sosiologi tentang pasar maka pasar ada apabila terdapat kompetisi (perjuangan) yang bersifat unilateral. Kumpulan orang secara fisik pada suatu tempat seperti berdagang lokal, pasar jarak jauh, atau pasar perdagangan merupakan salah satu pembentuk pasar yang utama. Pasar
138
adalah saling hubungan yang melebihi lingkup tetangga, kelompok kerabat, atau suku (Weber, 1922, 1978:637). Anggota suatu komunitas pasar (balai) tidaklah berdagang satu sama lain dengan intensitas untuk mendapat keuntungan (profit) sebanyak-banyaknya, melainkan transaksi dilakukan pada tahap awal dalam bentuk tukar menukar barang (barter), sebagai bentuk yang paling primitif dari bentuk perdagangan (silent trade). Setelah itu baru berkembang ke tahap saling bertemu dan melakukan tawar menawar (dickering). Peneliti melihat konsep balai dalam istilah penamaan untuk pasar nagari merupakan tahap berikutnya setelah silent trade, dari perkembangan sebuah pasar nagari di Minangkabau, karena di balai ini, sifat transaksinya masih memperhatikan sifat-sifat hubungan persaudaraan (fraternal relationship). Pada hal sebuah pasar moderen pada dasarnya menjadi asing bagi berbagai tipe fraternal relationship, blood kinship dan lebih mengutamakan pencaharian keuntungan semata (profit motive).
Pertukaran
yang
terjadi
pada
balai
di
Minangkabau
masih
mempertimbangkan saling hubungan sosial diantara pembeli dan penjual sebagai pelaku pasar di pasar nagari, sehingga kejujuran kedua belah pihak masih menjadi keputusan yang terbaik untuk menjaga keberlangsungan transaksi. Jadi istilah “balai” bagi pasar nagari merujuk kepada pasar nagari yang masih relatif belum berkembang dari model transaksinya, skala ekonominya masih relatif kecil karena hanya tempat pertukaran bagi penduduk di sekitarnya, dan merupakan tempat pertukaran bagi penduduk untuk barang kebutuhan sehari-hari. Dari hubungan antar aktor yang terlibat masih memperlihatkan bahwa transaksi perdagangan masih terkait dengan ikatan kekeluargaan dan persaudaraan, motif utama lebih dari sekedar pertukaran semata (barter), pembagian keuntungan menjadi tujuan utama (ekonomi moral). Kondisi ini terbentuk dikarenakan masingmasing aktor masih kuat tertanam dalam komunitasnya. Selanjutnya, sebuah pasar nagari setingkat balai akan terus berkembang menjadi sebuah Pakan terutama disebabkan oleh sifat transaksinya yang tidak lagi bersifat fraternal relationship, orientasi profit lebih menonjol, dan kedekatan hubungan antar aktor yang terlibat tidak lagi menjadi penentu terjadinya transaksi, melainkan mekanisme pembentukan harga yang menentukan terjadinya transaksi ke dua belah pihak dengan mempertimbangkan kelompok-kelompok klien (client
139
relationship). Kompetisi, perjuangan dan konflik antar aktor yang ingin keluar sebagai pemenang lebih kuat terasa disini. Kemudian dari segi lokasi dan fisik pasar, ”Pakan” lokasinya lebih luas dari balai, baik dalam jumlah kios, lamanya keramaian pasar dan waktu buka pasar, maupun dari jumlah pengunjung dan asal wilayah pengunjung Pakan. Sebagai contoh perbedaan antara pasar “balai” Jumat di nagari Salimpaung dengan Pasar “pakan Sinayan, nagari Tabek Patah, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 14 Perbandingan Kondisi Fisik Pasar Nagari Menurut Tingkatan Transaksinya No 1. 2. 3. 4. 5.
Nama Pasar Nagari Balai Jumat Salimpaung Pakan Sinayan Tabek Patah Balai Sabtu Rao-Rao Pakan Raba’a Sungai Tarab Pasar Baso
Luas (ha)
Jumlah Los
Jumlah Kios
1
6
23
1,5
9
25
0.5
4
17
2
10
25
3
15
29
Lama Waktu Pasar 5.00 s/d 15.00 wib 4.30 s/d 17.00 wib 5.00 s/d 15.00 wib 4.00 s/d 17.00 wib 3.00 s/d 17.00 wib
Jumlah Jumlah Pengunjung Penduduk < 3000
4.671
< 5000
3.185
<2000
3.221
<5000
8.365
<10.000
9.025
Sumber: Hasil Penelitian 2005 (data diolah) Berdasarkan tabel 14 di atas, terlihat bahwa jumlah los pasar nagari Salimpaung adalah sebanyak 6 buah yakni terdiri dari los kain, los beras, los makanan, los barang kelontong, los bumbu masakan dan sayur, dan los ikan/daging. Sedangkan pada “Pakan Sinayan” Tabek Patah terdapat lebih banyak los yakni 9 buah los yang sama dengan los yang ada di pasar nagari Salimpaung, tambahannya adalah los barang kerajinan (besi), los perhiasan dan emas, los buah-buahan. Semakin ramai sebuah pasar nagari semakin banyak jumlah losnya, dan semakin lama waktu dibukanya pasar dengan membuka lebih awal yakni pada dinihari. Waktu mulai transaksi ini erat kaitannya dengan komoditi yang akan dijual ke wilayah supra nagari, seperti kota Bukittinggi, Padang, Pakan Baru, Kota Dumai, Kerinci, Jambi dan bahkan Palembang. Jenis komoditi yang ditransaksikan sejak dini hari itu adalah tanaman palawija dan sayuran yang merupakan hasil pertanian penduduk yang telah berorientasi pasar, seperti cabe, tomat, kacang buncis, kol,
140
buah-buahan, kentang, bawang, atau semua jenis tanaman untuk bumbu masak untuk keperluan sehari-hari. Sehingga, sejak subuh pasar di buka, maka puluhan truk pengangkut hasil komoditi perdagangan antar kota dan antar provinsi telah berjejer menunggu muatannya. Berikutnya, Pakan akan terus berkembang menjadi sebuah pasar yang lebih besar baik dari segi luasnya, skala transaksinya, jumlah los dan kiosnya. Seperti pasar nagari Baso, yang merupaklan pasar nagari yang paling luas dan paling besar skala transaksinya. Jumlah pedagangnya juga sudah berasal dari berbagai kabupaten seperti kabupaten Agam, kabupaten Tanah Datar, Pasaman, Pariaman, dan kabupaten 50 Kota. Komoditi yang dijual juga semakin beragam dan lengkap, dan yang menjadi ciri khas pasar nagari Baso adalah komoditi pisang dan buahbuahan. Jumlah pedagang dan pengunjung hampir mencapai lebih kurang 10 ribu orang sejak di buka sejak subuh dini hari, tetapi karena lancarnya alat transportasi ke berbagai pusat nagari oleh kendaraan angkutan pedesaan dan ojek, maka suasana pasar tidak begitu padat, akan tetapi aktifitas pasarnya tetap berlangsung ramai sampai sore hari. Semua kios dan los pasar akan penuh dengan aktifitas transaksi (tawar menawar), dan yang menarik kios-kios makanan dan minuman merupakan tempattempat yang paling ramai dikunjungi, terutama untuk saling ketemu dan bercerita dengan sanak famili dan karib kerabat yang berjumpa sekali seminggu. Pada kios kios makanan inilah ditemui kumpulan kaum laki-laki yang menghabiskan waktu libur Pakannya dengan mengelar permainan dan pertunjukan yang mendatangkan uang. Pada kios-kios makanan dan minuman ini juga dilakukan pembicaraan yang menyangkut dengan masalah sosial kemasyarakatan seperti persoalan jual beli tanah, sawah, jual beli ternak, perjodohan, dan bahkan rencanarencana pekerjaan yang akan dimulai untuk pembangunan sistem pertanian, jenis tanaman baru yang laku dipasaran dan lebih menguntungkan, teknik dan teknologi produksi yang akan dikembangkan. Singkatnya, semua informasi tersedia di kioskios makanan dan minuman ini, sehingga di Minangkabau terkenal dengan tradisi cerita duduk di “lapau” (kios makanan dan minuman) yang dapat membahas segala persoalan seputar kehidupan masyarakat nagari, mulai dari berita aktual, gosip politik, gosip sosial budaya bahkan cerita keagamaan. Artinya, kios kios makanan
141
dan minuman di pasar nagari ini yang dikenal dengan sebutan “lapau” adalah salah satu tempat pertukaran sosial dan sosialisasi masyarakat nagari di Minangkabau. Ada beragam jenis makanan dan minuman khas masyarakat Minangkabau yang disajikan di kios-kios pasar nagari ini seperti lamang tapai, ampiang dadiah, karabu saga, bubur cande, goreng pisang ketan, dan jenis-jenis makanan kecil lainnya yang terbuat dari tepung beras yang merupakan ciri khas makanan tradisional Minangkabau atau daerah yang bersangkutan. Semua hidangan jenis makanan ini hanya ditemui di saat masyarakat Minangkabau membuka pasar nagari ini sekali atau dua kali dalam seminggu. Pertukaran barang dan jasa, informasi dan bentuk sosial lainnya yang terkait dengan masyarakat nagari secara sosial budaya merupakan fungsi dari pasar nagari bagi masyarakat Minangkabau. Pada tingkat Balai, fungsi pasar nagari lebih menekankan pada pelayanan cultural (cultural service), sedangkan pada tingkat Pakan dan Pasar maka fungsi pasar nagari disamping pertukaran barang dan jasa (pertukaran ekonomi) juga lebih menekankan kepada pelayanan individual (personal service). Pada tingkat balai, pasar nagari ini lebih berfungsi sebagai tempat sirkulasi barang dan jasa dalam bentuk saling hubungan pertalian darah (kinship relationship) dan fraternal relationship. Artinya sebagian besar kehidupan ekonomi dan sosial embedded dan dikoordinasikan oleh pertalian keluarga yakni separuik, sesuku, senagari. Perbedaan cara-cara pertukaran ini adalah penting bukan hanya dalam mendistribusikan sumberdaya (resources) dan memenuhi kebutuhan material, tetapi yang lebih penting adalah memperkenalkan cara-cara tertentu untuk memahami saling hubungan sosial (social relationship) dan nilai-nilai di tengah masyarakat Minangkabau. Sehingga, ada pameo, jika ingin mengetahui informasi lebih banyak tentang
situasi
sosial
budaya
masyarakat
Minangkabau,
maka
orang
memperolehnya pada dua tempat yakni di surau dan di lapau. Di surau banyak terdapat informasi yang bersifat sosio-religi-kultural, oleh karena itu, surau merupakan tempat sosialisasi kaum laki-laki masyarakat Minangkabau pertama sekali, untuk belajar ilmu agama, ilmu adat istiadat, bahkan ilmu beladiri. Sedangkan lapau yang terdapat di pasar nagari merupakan tempat sosialisasi masyarakat Minangkabau setelah beranjak dewasa, untuk menemukan jodoh, dan peluangpeluang usaha ekonomi yang baru.
142
Namun fungsi pasar nagari pada level “pasa” sebagai tempat pertukaran sosial (cultural service), mulai berkurang perannya seiring dengan semakin meningkatnya peran pertukaran barang dan jasa (personal service) dalam bentuk pasar moderen, lebih berorientasi pada memperlihatkan bentuk pertukaran ekonomi dari pada pertukaran sosial budaya. Sedangkan pasar nagari pada level balai dan pakan masih berfungsi sebagai tempat berkumpul masyarakat nagari (congregation of public) yang tetap menyediakan ruang untuk komunikasi sosial, kultural, politik, hiburan, dan religius sebagai bentuk aliran dari informasi dan isu-isu dalam bentuk sosial politik nagari. Tabel 15 Fungsi Pasar Nagari Menurut Tingkatannya No
Fungsi Pasar Nagari
1.
Cultural service and information - Sosialisasi sosial-politik - Kontrol sosial - Pertukaran sosial - Pembuatan kontrak tenurial, kontrak perkawinan - Sumber informasi gossip Economic services and information - Pertukaran barang dan jasa - Memperkuat kelompok (klientisasi) jaringan bisnis - Informasi harga dan kualitas - Outlet promosi keterampilan (skill) dan hasil kerajinan Personal services - Pemenuhan kebutuhan amenities dan hiburan - Mencari peluang (opportunity) dan kesempatan bisnis. - Membangun networking untuk kepentingan sosial ekonomi Sumber: Hasil Pengamatan, 2005-2006
2.
3.
Tingkatan Pasar Nagari Balai Pakan Pasa √ √ √ √ √
√ √ √ -
√ √ -
√ √ √ -
√ √ √ √
√ √ √ √
√
√ √
√ √
√ √
√ √
√ √
-
√
√
√
√
-
Fungsi pasar nagari yang tetap tidak berubah pada semua levelnya (balai, Pakan, dan pasa) adalah tempat tontonan (lihat tabel 15 di atas), hiburan dan kesenangan (amenities and spectacle). Transaksi di pasar nagari dilakukan dengan cara yang menarik baik melalui nyanyian, gerakan akrobatik, bujukan, rayuan, bahkan dilakukan secara tersembunyi (biasanya pada transaksi binatang ternak dengan menggunakan gerakan isyarat tangan yang ditutupi dengan kain sarung).
143
Semua jenis komoditi yang diperdagangkan di pasar nagari memberikan kiat dan seni menarik pembeli dan penjual yang berbeda satu sama lainnya, seperti teriakan harga murah, barang diobral, barang berkualitas, sampai manfaat barang. Sehingga dapat dibayangkan di tengah keramaian pasar nagari akan memberikan suara nyanyian dan gemuruh suara penjual dan pembeli untuk menawarkan barang dagangannya. Riuh rendahnya bunyi-bunyian dan suara nyanyian penjual inilah menambah juga fungsi hiburan bagi masyarakat nagari untuk datang ke pasar nagari hanya sekedar melepas rasa lelah setelah seminggu bekerja di sawah dan ladang. Itulah sebabnya keramaian pasar nagari yang dibuka sekali seminggu menjadi tempat hiburan yang tetap ramai sepanjang masa. Perubahan fungsi pasar nagari saat sekarang sangat terlihat pada fungsi pelayanan ekonomi dan penyediaan informasi, dimana pasar-pasar nagari yang masih terkategori sebagai balai, maka kapasitas aktifitas ekonominya mulai berkurang terutama lebih berfungsi untuk transaksi kebutuhan primer saja, untuk komoditi lain seperti kebutuhan sekunder seperti perhiasan, kain, dan barang-barang rumahtangga tidak lagi dijual di pasar nagari setingkat balai. Untuk komoditi hasil tanaman perkebunan dalam jumlah besar penduduk sudah tidak lagi datang ke balai untuk menjual hasil panennya, mereka lebih cenderung menjualnya ke Pakan, bahkan ke Pasar yang lebih besar. Alasannya bahwa mereka dapat bertemu dengan para
pedagang
Kabupaten,
sehingga
kemungkinan
harga
lebih
baik
jika
dibandingkan dengan menjual di balai. Walaupun banyak juga petani yang kecewa setelah bertransaksi di pasar nagari, akan tetapi ada pula mereka/petani yang mampu membangun jaringan sosial personal dan kelompok dengan pedagang perantara atau pedagang tingkat kabupaten. Sehingga petani merasa memperoleh harga yang lebih baik dari minggu-minggu sebelumnya. Fungsi pasar nagari yang relatif tidak berubah adalah sebagai tempat pelayanan budaya (cultural services) terutama pada aspek pertukaran sosial budaya, pembuatan kesepakatan pagang-gadai (kontrak tenurial), dan sumber informasi dan gosip. Artinya semakin pasar nagari masih berbentuk balai, maka fungsi kulturalnya semakin kuat, tetapi semakin pasar nagari berkembang menjadi pasar (semi moderen) dengan pengunjung yang semakin beragam maka fungsi pelayanan
kulturalnya
semakin
berkurang
sejalan
dengan
semakin
144
meningkatkannya fungsi pelayanan ekonomi dan sumber informasi bagi aktifitas perekonomian. Untuk fungsi pelayanan perorangan (personal), fungsi pasar nagari masih tetap bertahan untuk semua tingkatan perkembangan pasar nagari, karena pembukaan pasar nagari sekali seminggu memang menjadi tujuan untuk beristirahat di akhir pekan bagi para petani di wilayah pedesaan. Apalagi jika hari dibukanya pasar nagari itu adalah hari Jum’at, seperti pasar nagari Salimpaung, maka biasanya pengunjung pasar sudah sejak pagi hari datang berkunjung ke pasar sambil menunggu waktu sholat Jum’at. Selama menunggu waktu itulah, pengunjung pasar nagari mengunjungi pasar terutama kedai makanan dan minuman, tempat hiburan, dan di lokasi pedagang yang melakukan berbagai atraksi yang menarik untuk menjual barang dagangannya seperi penjual obat keliling. Jadi, perubahan yang menyolok dari perubahan fungsi pasar nagari lebih kepada fungsi pelayanan ekonomi karena adanya tuntutan pasar global (supra lokal) yang lebih efisien. Sehingga banyak pedagang pengumpul di tingkat kabupaten telah membuka gudang-gudangnya untuk dijadikan tempat penyimpanan (stock), dan petani dapat menjual hasil pertaniannya ke gudang-gudang tersebut dan ada yang tidak lagi dibawa pada saat pasar dibuka. Sehingga untuk tanaman ekspor, pasar nagari setingkat balai ada beberapa komoditi yang hilang (tidak lagi digelar) di pasar nagari. Seperti yang dialami oleh pasar nagari Salimpaung, untuk perdagangan tanaman ekspor relatif sedikit ditemui di pasar nagari. Petani telah langsung menjual ke gudang dan rumah pedagang pengumpul, kalaupun dijual di pasar nagari, maka waktunya sangat singkat yakni hanya di pagi hari saja, seperti di pasar nagari Rao-Rao, untuk tanaman kayu manis, hanya digelar antara jam 5.00 wib subuh sampai dengan jam 10 wib. Artinya perdagangan tanaman ekspor di pasar nagari hanya digelar di pasar-pasar nagari yang kurang memiliki gudanggudang penyimpanan pedagang, seperti pasar nagari Salimpaung dengan adanya gudang penyimpanan dalam bentuk gudang CV SAS, maka perdagangan di pasar nagari volumenya sangat kecil sekali, karena masyarakat sebahagian sudah langsung menjual komoditinya ke gudang CV SAS. Sedangkan pada kasus pasar nagari Tabek Patah, Rao-Rao, pasar nagari Sungai Tarab, dan pasar nagari Baso, maka tanaman ekspor ini masih ditransaksikan di pasar nagari, dengan volume yang besar.
145
5.2. Struktur dan Model Pengelolaan Pasar Nagari Sebagai Pranata Ekonomi Masyarakat Nagari Pengelolaan pasar nagari diatur dalam keputusan Kerapatan Adat Nagari (KAN) melalui sidang-sidang KAN, dimana kebijakan pengelolaan pasar nagari merupakan bentuk dari kebijakan pembangunan ekonomi nagari. Semakin baik pengelolaan pasar nagari semakin membuat aktifitas perekonomian penduduk nagari semakin menjadi lebih baik. Pasar nagari setingkat pasa, memang memperlihatkan manajemen pasarnya menjadi lebih baik dan semakin efisien. Sebaliknya pasar nagari setingkat balai, maka ditemui manajemen pengelolaan pasar nagarinya masih sangat sederhana, dan belum lagi adanya aturan main (rule of the game) yang jelas dalam masalah pengelolaan keuangannya. Semua pasar nagari yang menjadi lokasi penelitian, telah memiliki peraturan pengelolaan pasar nagari yang dituangkan dalam keputusan Walinagari. Peraturan tentang pasar nagari ini merupakan penjabaran dari peraturan daerah Kabupaten seperti peraturan daerah Kabupaten Tanah Datar No: 17 tahun 2001 pasal 80 dan peraturan daerah kabupaten Agam No: 2 tahun 2004 tentang Pasar, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 16 Peraturan Perundang-undangan Tentang Pasar Nagari No 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Peraturan Tentang Pasar Nagari Perda provinsi Sumatera Barat No: 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan pokok pemerintahan nagari Keputusan Gubernur Sumatera Barat No: 40 Tahun 2003 tentang pedoman pembentukan, pembangunan dan pengelolaan pasar nagari dalam provinsi Sumatera Barat Perda kabupaten Tanah Datar No: 13 Tahun 2004 tentang Pedoman Pembentukan, Pembangunan dan Pengelolaan Pasar A dan B Perda kabupaten Agam No: 2 Tahun 2004 tentang Pasar Peraturan nagari Sungai Tarab No: 4 Tahun 2004 tentang Pasar Nagari Sungai Tarab Keputusan Wali Nagari Salimpaung No: 02/WN/SLP/2005 tentang Pengurus dan pengelola Pasar Nagari Salimpaung Keputasan Wali Nagari Tabek Patah No: 11/WN/NTP2005 tentang pengangkatan dan pemberhentian kepengurusan Petugas Pengelola Pasar A Tabek Patah. Keputusan Komisi Pasar Serikat Baso No: 10/SK/PSR2002 tentang penetapan anggaran pendapatan dan belanja Pasar Serikat Baso.
Keterangan Pasar nagari sebagai asset nagari. Pembagian pendapatan pasar nagari
146
Sebagaimana yang telah dikatakan di atas secara konsepsi adat, pasar dalam bahasa Minangkabau dikenal dengan nama Pakan atau Balai, sementara dalam artian formal secara empiris pasar dibedakan menjadi 3: -
Pasar A adalah Pasar yang dimiliki oleh satu nagari (contohnya Pasar Nagari Koto Baru, pasar nagari Salimpaung, dan Rao-Rao).
-
Pasar B adalah Pasar Serikat antar nagari (contohnya Pasar Baso), yang meliputi 4 nagari yang berserikat antara lain: Tabek Panjang, Padang Tarok, Simarasok dan Koto Tinggi.
-
Pasar C adalah Pasar Serikat antar kecamatan. Kedudukan pasar nagari dalam sistem pemerintahan nagari sekarang ini
sangat penting dimana pasar sebagai sumber pendapatan nagari, yang berada di bawah pengelolaan pemerintahan nagari adalah berada langsung di bawah pengawasan KAN dengan membentuk Badan Perwakilan pemilik pasar nagari yang anggotanya berjumlah 9 orang -- untuk pasar nagari terkategori pasa, dan 5 orang untuk pasar nagari terkatagori Pakan, yang anggotanya berasal dari anggota KAN. Badan Perwakilan pemilik pasar nagari inilah yang menyembatani antara pengelola pasar nagari dengan pemerintahan nagari. Badan pengelola pasar nagari terdiri dari dua badan yakni komisi pasar dan pengurus pasar, kedua badan inilah yang melaksanakan dan menyelenggarakan kegiatan pasar nagari (lihat gambar di bawah).
Gambar 8 Struktur Organisasi Pengelola Pasar Nagari
147
Sebelumnya pasar Baso yang terletak di kenagarian Tabek Panjang, di kecamatan Baso Kabupaten Agam ini memiliki 6 buah pakan, yaitu Pakan Sinayan (di Tabek Panjang), Pakan Rabaa (di Padang Tarok), Pakan Kamih (di Sungai Janiah), Pakan Jumat (di Simpang Ujung Guguk), Pakan Akad (di Koto Baru) dan Pakan Ijuak (di Air Tabik).
Pakan-pakan yang ada ini setelah kembali ke
pemerintahan nagari “dibekukan”, untuk kemudian digabung ke Pasar Baso. Disebut Pasar Baso karena letaknya di Jorong Baso, nagari Tabek Panjang. Pakan Sinayan, Pakan Kamih, dan Pakan Ijuak digabung ke dalam Pasar Serikat Baso, sedangkan Pakan Jumat dan Pakan Rabaa tetap menjadi bagian dari Pasar Serikat Baso, tetapi Pakan Akad berdiri sendiri (Wawancara dengan Penghulu Pasar, 3 April 2006). Jadi Pasar Baso merupakan pasar serikat empat kenagarian (1926), antara lain: Tabek Panjang, Simarasok, Koto Tinggi dan Padang Tarok.
Pasar Serikat
Baso
tujuan
adalah
mempermudah
peninggalan
Belanda
yang
hasil
pertanian,
pengelolaan
dibentuk
dengan
terutama
hasil
untuk
perkebunan.
Pembentukan Pasar Serikat Baso ini dilakukan sekitar tahun 1850-an yang didirikan secara bergotongroyong oleh 11 kenagarian yang semula dikenal dengan Wilayah Distrik Kamang Baso. Oleh karena bentuk pasar adalah Serikat, maka yang menjadi ketua komisi pasar adalah Camat Baso dengan wakilnya adalah ketua KAN nagari Tabek Panjang, yang dibantu oleh bagian komisi tanah dan bangunan, bagian komisi ketertiban, kebersihan dan keamanan pasar, dan komisi penertiban bea dan sewa. kemudian penyelengaraan harian pasar Baso di pimpin oleh seorang Penghulu pasar yang dibantu oleh seorang sekretaris bendahara dan pembantu bendahara. Kedudukan sebagai Penghulu pasar dipilih oleh anggota komisi yag ditetapkan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati dengan masa jabatan tergantung dari prestasi selama masa kepengurusannya. Sebagai contoh, Penghulu pasar yang bernama Haji Syaifuddin Maksum telah menjadi penghulu pasar sejak tahun 1997 lalu.
Sedangkan masa
kepengurusan setiap komisi adalah 3 tahun, dimana bila sebelumnya bekerja atas dasar SK Bupati, sekarang telah keluar Perda Pasar No 2 tahun 2004 tentang Pasar. Sebagai wujud bentuk Pasar Serikat, maka anggota komisi yang berjumlah 9 orang pun diambil dari utusan dari nagari yang berserikat, antara lain:
148
Tabel: 17 Keanggotaan Komisi Pasar Baso Utusan dari Nagari Tabek Panjang Simarasok Padang Tarok Koto Tinggi
Nama Anggota Komisi Pasar AH.Dt.Kayo U.St.Majo.Lelo A.Katik Maruhun ZA.Dt.Reno Basa Y.Dt.Nan Kodoh Omsuar AK.Majo Indo (di SK Sutan Sati) Sy.Dt.Sati NBA A.Dt.Itam Nantuo M.Dt.Baju Ameh
Lokasi Pasar Serikat Baso terletak di Kenagarian Tabek Panjang (90%) dan Kenagarian Padang Tarok (10%). Asal mula tanah untuk mendirikan Pasar Serikat Baso adalah milik niniak mamak VI suku Baso yakni suku Caniago, Pisang, Sikumbang, Guci/Melayu, Koto dan Jambak. Sekalipun Lokasi Pasar Serikat Baso terletak di Nagari Tabek Panjang, namun pembagian hasil pemungutan pasar disamakan dengan ketiga nagari yang lain, yaitu masing-masing nagari mendapat bagian Rp 1.500.000,-per tahun. Inilah yang memicu permasalahan berkepanjangan yang hingga kini belum dapat diselesaikan. Inti permasalahan, pemerintahan nagari Tabek Panjang menuntut agar bagi hasil untuk nagari Tabek Panjang lebih besar. Puncak perseteruan dalam pembagian hasil pungutan pasar serikat Baso adalah pada tanggal 15 November 2001, Wali Nagari Tabek Panjang (H.Anwar Maksum), yang kebetulan adalah adik kandung penghulu Pasar Baso mengajukan surat ke Bupati Agam yang intinya menuntut pembagian hasil Pasar Baso sebanyak 90%. Hal ini dilakukan karena era masa itu adalah era otonomi daerah dan sedang digalakkan “Kembali ke Pemerintahan Nagari”.
Masalah ini hingga kini belum
terselesaikan (Wawancara dengan Penghulu Pasar, Tanggal, 3 April 2006). Kondisi yang sama juga terjadi pada pasar nagari lain, terutama pada pasar nagari Salimpaung, masing-masing jorong yang dahulu menjadi sebuah desa (dengan diberlakukannya UU No 5/1979) juga menuntut pembagian yang adil diantara hasil pemungutan pasar nagari. Pasar nagari di kelola oleh kelompok pemuda yang diambil dari wakil masing-masing desa. Bukan lagi oleh KAN, sehingga agak terasa kurang wibawanya pasar nagari waktu itu. Sehingga salah satu jalan keluarnya adalah dengan kembali ke pemerintahan nagari sehingga pasar
149
nagari sebagai salah satu sumber keuangan nagari dapat sepenuhnya dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nagari. Jadi model pengelolaan pasar nagari mulai mengacu kepada sistem manajemen moderen dengan memisahkan antara badan penyelengaraan pasar dengan badan pengawas pasar, yang merupakan bentuk perubahan dari sistem pengelolaan pasar nagari tempo dulu. Jika dahulu pasar nagari di kelola oleh pemerintahan nagari melalui perpanjangan tangan KAN, dengan menempatkan salah seorang anggota KAN yang ditunjuk sebagai kepala pasar (penghulu pasar) yang dibantu oleh petugas payung, petugas beo, dan petugas keamanan, maka saat ini penghulu pasar sebagai badan yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan pasar dibantu oleh sub-sub komisi seperti sub komisi tanah dan bangunan, sub komisi keamanan, kebersihan dan ketertiban pasar, sub komisi penertiban bea dan sewa dan los dan kios pasar. Sedangkan petugas langsung dilapangan terdiri dari tukang karcis, tukang payung, hansip, tukang kebersihan, dan pesuruh. Perubahan ini sejalan dengan perubahan struktur pemerintahan nagari, dimana di wilayah Minangkabau terdapat dua otoritas yang terus berkuasa dan memiliki kekuatan politik yang berakar dalam penguasa ke atas dan rakyat nagari yakni Walinagari dan kerapatan adat nagari (KAN). Struktur pemerintahan nagari sejak dahulu sebelum kedatangan Adytiawarman (sekitar pertengahan abad ke 14) yang membawa sistem birokrasi sentralistik, telah memiliki sistem birokrasi desentralistik (Manan, 1995). Pemerintahan nagari tradisional terdiri dari wali nagari dan Kerapatan Nagari yang masing-masing bertindak sebagai badan eksekutif dan legislatif nagari. Wali Nagari dipilih melalui sidang kerapatan nagari. Anggota kerapatan nagari merupakan wakil-wakil dari penghulu suku yang ada di suatu nagari.
Sehingga, dalam kaitannya dengan kekuasaan mengatur pasar nagari,
berada di lembaga kerapatan nagari, dan salah satu anggotanya dipilih dan diangkat sebagai penghulu pasar. Namun setelah kedatangan Adytiawarman (1347) dan kemudian masuknya pemerintahan kolonial Belanda di Minangkabau, maka struktur pemerintahan nagari tradisional mulai digantikan dengan sistem birokrasi moderen dengan memisahkan antara kekuasaan penghulu/adat melalui kerapatan nagari yang kemudian menjadi Kerapatan Adat Nagari--digantikan kedudukan dan fungsinya oleh Dewan Perwakilan Nagari (DPN). Setelah gerakan kembali ke nagari (tahun 2000) berganti
150
nama menjadi Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) yang bertindak sebagai lembaga legislatif pemerintahan nagari. Kedudukan dan peran kerapatan adat nagari (KAN) hanyalah mengurus persoalan adat-istiadat saja, walaupun keanggotaannya masih tetap dari himpunan penghulu-penghulu suku. Pergeseran kedudukan para penghulu suku dalam sistem pemerintahan nagari dan digantikan oleh Badan Perwakilan Rakyat Nagari (BPRN) yang keanggotaannya telah terbuka bagi penduduk nagari yang bukan penghulu, melainkan membuka kesempatan bagi individu lain yang tidak memiliki kedudukan secara tradisonal (datuak/penghulu) tetapi memiliki pengetahuan dan keterampilan sebagai produk dari sistem pendidikan sekuler yang berkembang. Sehingga dalam sistem pemerintahan nagari saat sekarang, telah juga diisi oleh orang-orang yang bukan penghulu, tetapi adalah individu-individu yang berasal dari unsur cerdik pandai, tokoh pemuda, wanita, Bundo Kanduang dan alim ulama, yang terakhir ini muncul sebagai pemimpin ditengah masyarakat setelah berkembangnya gerakan kaum Paderi di Minangkabau di awal abad XIX. Perubahan sosio-politik di tingkat nagari ini tentu saja sangat mempengaruhi keberadaan pasar nagari sebagai aset nagari dan sumber pemasukan keuangan nagari. Pasar nagari tidak lagi harus dipimpin oleh seorang penghulu suku, tetapi dapat saja dari unsur tokoh pemuda, dan unsur masyarakat lainnya, tetapi tetap bertanggung jawab kepada komisi atau badan pengawas pasar nagari yang diketuai oleh walinagari. Pengurus harian pasar nagari saat sekarang sudah terlepas dari otoritas kepemimpinan adat nagari (KAN), dan KAN sekarang ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi yakni sebagai pelindung dan penasehat pengurus pasar nagari. Sebenarnya penyerahan kewenangan pengelolaan pasar nagari ketingkat yang lebih rendah dalam struktur pemerintahan nagari, ini dimaknai sebagai suatu upaya untuk mendorong perekonomian masyarakat nagari agar mampu berproduksi dan mengolah hasil produksinya menjadi lebih baik. Namun karena dikelola oleh anggota masyarakat biasa, maka kewibawaan pengurus pasar kurang dibandingkan dengan jika dikelola oleh anggota KAN. Terjadi penyelewenangan dan korupsi dikalangan pengurus pasar yang lebih didominasi oleh kaum “parewa” (orang bagak kampuang) di nagari tersebut. Menurut hemat peneliti, inilah salah satu penyebab
151
kenapa akhirnya pasar nagari menjadi mundur dalam pengelolaan, kurang teratur, semrawut, kebersihan kurang, dan tidak memperlihatkan kemajuan. Oleh karena itu, membangun kembali nagari dengan menata kembali pasar nagari dengan mengembalikan pengelolaan pasar nagari ketingkat penghulu merupakan salah satu langkah yang harus segera dilakukan oleh beberapa nagari yang pasar nagarinya mulai mundur, kurang teratur, dan ditinggalkan oleh pengunjung. Sebagai contoh pasar nagari Salimpaung, dan pasar nagari Rao-Rao yang ketua pasarnya di pegang oleh anggota masyarakat (bukan elite nagari), sehingga kewibawaan penyelenggaraan pasar menjadi berkurang, dan terdapat ketidak transparanan dari keuangan pasar nagari. Artinya kerena tidak dikelola dengan otoritas yang kuat yang bersumber dari otoritas tradisional yang berakar kuat ditengah masyarakat, maka pasar nagari menjadi kurang semarak dan kurang diatur dengan baik. Di nagari-nagari yang pasar nagarinya masih dikelola oleh kepemimpinan nagari yang kuat pada level KAN, seperti pasar nagari Tabek Patah, Pasar nagari Sungai Tarab dan pasar nagari Baso, maka pasar nagari semakin berkembang, teratur, dan masih tetap ramai dikunjungi. Bahkan pasar nagari Baso telah menjadi pasar nagari serikat yang terdiri dari berbagai nagari di sekitarnya. Meskipun faktor penyebab ramai tidaknya pasar nagari bukan hanya satu-satunya penjelasan yang dapat dikemukakan, tetapi ada faktor ekonomi masyarakat nagari (komoditi unggulan yang dihasilkan), juga menjadi faktor penyebabnya. Pengelolaan pasar nagari sebagai kelembagaan ekonomi nagari, tujuannya sudah tentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nagari. Perubahan struktur atau model pengelolaan pasar nagari yang mulai bergeser ke level yang lebih rendah, yang diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat nagari menjadi lebih baik, nampaknya belum terwujud. Adanya penyelewenangan atau ketidak beresan keuangan nagari dan kurang berwibawanya kepengurusan nagari juga ikut berpengaruh terhadap pengelolaan pasar. Pengelolaan pasar nagari yang diketuai oleh seorang pengurus setingkat penghulu sebagai angggota KAN, lebih memberikan kewibawaan dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nagari, terutama faktor keamanan dan ketertiban lebih terjaga, serta perencanaan pengembangan pasar nagari ke depan lebih dapat dibicarakan di tingkat sidangsidang kerapatan adat nagari.
152
Disamping itu, jika pasar nagari dikelola oleh seorang penghulu yang menjadi anggota KAN, akan mendorong pasar nagari tetap dapat mempertahankan hubunganya dengan wilayah supra nagari atau wilayah rantau, karena umumnya para penghulu ini sebelum mereka diangkat menjadi penghulu dan menjadi anggota KAN mereka merupakan orang-orang yang telah berhasil merantau dan sukses dalam menjalankan bisnis mereka di supra nagari. Sehingga relasi sosial (network), jaringan bisnis atau hubungan dengan aktor ekonomi di supra nagari telah dimiliki dan terjalin dengan baik. Sehingga ketika mereka menjadi penghulu dan ditunjuk sebagai penghulu pasar, maka pengelolaan pasar nagari lebih berorientasi membangun relasi sosial dan jaringan bisnis dengan mitra dagangnya yang berasal dari supra nagari. Sebagai orang yang telah merantau dan berhasil dalam membangun jaringan kerja atau hubungan dagang dengan supra nagari, membuat pengetahuan dan pengalaman yang banyak tersebut sangat bermanfaat bagi mengembangkan pasar nagari sebagai bagian dari jaringan bisnis di supra nagari bahkan jaringan bisnis inter-regional. Tabel 18 Dinamika Pengelolaan Pasar Nagari dari Waktu ke Waktu No
Tahap Pengelolaan Pasar Nagari
1.
Masa Pra Kolonial
2.
Masa Kolonial
3.
Masa Orba
4.
Masa daerah
Otonomi
Lembaga pengelolanya
Pembagian Keuangan
Dipimpin oleh penghulu Pasar yang anggota KAN, bertanggung jawab pada KAN Di pimpin oleh Dewan Perwakilan Nagari (DPN), KAN di pisahkan dari pasar nagari, anggota KAN tidak lagi menjadi penghulu pasar. Pasar dikelola oleh tokoh pemuda (orang bagak kampung), pengurus pasar bertanggung jawab ke pemerintahan desa.
Semua pemasukan keuangan disetorkan ke kas nagari untuk dana pembangunan nagari Semua pemasukan keuangan pasar dimanfaatkan untuk membangun nagari, kecuali pajak-pajak pasar dipungut oleh pemerintah kolonial. Terjadi konflik internal antar desa masalah pembagian uang hasil pungutan di pasar nagari, karena pasar nagari dimiliki dan dikelola oleh semua desa yang dulu adalah bagian wilayah nagari (jorong), sebagian untuk pemda TK II. Semua hasil uang pungutan di pasar dibagi dengan semua jorong yang ada di nagari, setelah gerakan kembali ke nagari.
Penghulu, pemuda, tokoh empat jinih dan unsur cerdik-pandai yang bertanggung jawab pada Walinagari, dan BPPPN, KAN sebagai Pelindung dan penasehat. Pengelolaan pasar nagari sudah berada pada tingkat yang lebih rendah dlm struktur pemerintahan nagari.
Sumber: Hasil Penelitian, 2006-2007
153
Tabel 18 di atas memperlihatkan bahwa dalam perjalanan sejarahnya, kelembagaan pengelola pasar nagari selalu berubah-berubah, mulai dikelola oleh KAN dan dikepalai oleh seorang penghulu pasar, terutama masa pra kolonial, sampai masa kolonial pengelola pasar nagari diberikan kepada para penghulu yang menyokong sistem pemerintahan kolonial (penghulu basurek 1 ). Bahkan masa pemerintahan Orde Baru dengan diterapkan sistem pemerintahan desa (UU No: 5 Tahun 1979) pasar nagari dikelola oleh kelompok pemuda “orang bagak kampung” yang mewakili desanya masing-masing; yang dahulu mereka adalah jorong atau bagian dari nagari. Sehingga pola pengelolaan pasar nagari ini menimbulkan konflik internal antar desa yang ada dalam nagari tersebut. Setelah otonomi daerah, pasar nagari dikelola oleh Badan Perwakilan Pemilik Pasar Nagari (BPPPN) yang anggotanya dipilih melalui dewan perwakilan rakyat nagari (DPRN). Pelaksana harian pasar nagari dilakukan oleh pengurus pasar nagari dan komisi pasar nagari. Pengurus pasar nagari dan komisi pasar nagari bukan lagi diambil dari anggota KAN, melainkan dari anggota masyarakat yang dipilih melalui DPRN. Sehingga individu yang terlibat dalam unsur komisi pasar dan pengurus pasar adalah para penghulu, para pengurus nagari, dan kadang-kadang pemimpin dari tokoh empat jinih di dalam nagari serta anak nagari (unsur pemuda) yang biasanya memiliki kedekatan hubungan secara adat dan geneologis dengan penghulu. Mereka inilah yang mengontrol aktifitas pasar terutama dari segi menetapkan dan menarik pajak pasar (beo), menarik sewa kios, los, dan payung, serta fasilitas pasar lainnya, serta menyelesaikan konflik yang terjadi di pasar. Dengan terjadinya perubahan sosial-politik ditingkat nagari dari waktu-ke waktu (masa para kolonial sampai otonomi daerah) —sebagai akibat dari intervensi negara (state) terhadap pemerintahan terendah dalam masyarakat Minangkabau--
1
Panghulu Basurek adalah kelompok pemimpin tradisional dari penghulu kaum yang dimanfaatkan oleh Belanda dalam menghadapi perlawanan kaum paderi di tengah masyarakat nagari. Penghulu Basurek ini di angkat oleh pemerintah kolonial Belanda melalui Tuanku Lareh; yakni jabatan penghubung antara pemerintah kolonial paling bawah (demang) dengan pemerintahan tradisional Minangkabau yakni Walinagari. Sehingga Tuanku Lareh akan membawahi beberapa Wali Nagari yang diangkat dari unsur Penghulu Basurek. Inilah salah satu politik adu domba dan ekonomi Belanda dalam melancarkan kepentingan ekonominya di pedalaman Minangkabau, dimana pasar nagari sebagai lokasi gudang-gudang Belanda untuk pengumpulkan tanaman ekspor seperti, kopi, kayu manis, lada, dan lain-lain (lihat lebih jauh Kato, 1972, Oki, 1977, Khan, 1980, Graves, 1981, dan Dobbin, 1992).
154
telah berimplikasi terhadap struktur dan model pengelolaan pasar nagari, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan nagari secara keseluruhan. Menurut pandangan peneliti sendiri, pengelolaan pasar nagari yang lebih ideal itu adalah pengelolaannya berada di bawah kerapatan adat nagari (KAN), karena KAN merupakan representasi dari wakil-wakil dari penghulu kaum di tengah masyarakat nagari, kewibawaan pengurus pasar nagari di bawah penghulu pasar tercermin dari kewibawaan KAN di tengah masyarakat nagari. Ada beberapa alasan kenapa kepemimpinan KAN lebih unggul dibandingkan dengan kepemimpinan yang dipilih melalui DPRN. Pertama: Sebagai lembaga adat tertinggi yang terdiri dari para penghulu kaum, keanggotaan KAN dipilih berdasarkan syarat “kayo” untuk seorang penghulu yakni kaya harta, kaya ilmu pengetahuan, dan kaya budi pekerti, sehingga prinsip “primus inter pares” terpenuhi di dalam memilih seorang pemimpin di Minangkabau, yang dalam pemilihan langsung di DPRN belum tentu dapat terpenuhi karena sistem demokrasi politik lebih menguntungkan suara kelompok (suara terbanyak). Kedua; KAN lebih merepresentasikan kepentingan seluruh penduduk nagari baik penduduk pendatang maupun penduduk asal, karena keanggotaan KAN diwakili oleh para penghulu kaum dari suku-suku yang ada, baik suku asal, maupun suku pendatang. Ketiga; pengelolaan pasar nagari oleh salah seorang anggota KAN (penghulu pasar) yang dipilih lebih menjamin terdistribusinya harta kekayaan pasar nagari, dan uang pungutan pasar (beo) ke setiap kaum atau suku yang pola menetapnya cenderung berkelompok pada satu jorong, seperti jorong nan II suku di nagari Salimpaung didominasi oleh suku Caniago; dimana di bawah sistem pemerintahan desa, jorong ini menjadi sebuah desa, sulit memperoleh bagian pendapatan pasar nagari yang adil jika pasar dikelola bukan oleh anggota KAN, pada hal hanya di KANlah keanggotaan kaumnya dapat terwakili.
5.3. Pasar Nagari dan Keterlibatannya dalam Jalur Perdagangan Internasional Sejak Abad XVIII hingga Sekarang Ini Keterlibatan pasar nagari di wilayah pedalaman Minangkabau dengan kegiatan perdagangan Internasional di wilayah pesisir 2 dapat dilihat dari jenis
2
Keterlibatan pasar nagari, atau wilayah pedalaman Minangkabau dalam jaringan perdagangan luar (dunia) menurut Dobbin (1992) sudah dimulai sejak abad ke-14, dimana emas menjadi komoditi
155
komoditi ekspor tanaman perkebunan yang dibawa ke pelabuhan Teluk Bayur Padang (Emmahaven) untuk dikirimkan ke beberapa negara Eropah oleh pemerintahan Kolonial Belanda. Komoditi ekspor utama Sumatera Barat sejak tahun 1860 tercatat adalah kopi, kayu manis, gambir, tembakau dan kopra. Semua komoditi itu juga telah menjadi komoditi utama yang diperdagangkan di pasar nagari, yang kemudian diangkut ke Padang melalui angkutan kereta api (Abrar, 2001:4076). Bukti-bukti keterkaitan aktifitas perdagangan di pasar nagari dengan kegiatan ekspor di pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) adalah sampai saat ini masih banyak ditemui bekas-bekas gudang pemerintahan kolonial Belanda di pasar nagari Rao-Rao, Sungai Tarab dan Baso, untuk
mengumpulkan dan menyimpan
sementara komoditi ekspor yang di beli dari pedagang dan petani di pasar-pasar nagari. Pada umumnya lokasi pasar nagari saat ini, dahulu merupakan lokasi gudang pemerintah kolonial Belanda untuk pengumpulan komoditi kopi, gambir, dan kayu manis pada masa Sistem Tanam Paksa Kopi (1847) di Minangkabau diterapkan. Artinya, pasar nagari telah menjadi wilayah sentra aliran komoditi eksport sampai ke pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) Padang, seperti kopi, kayu manis, gambir dan kopra yang sangat dibutuhkan oleh perdagangan dunia. Ada beberapa hal yang membuat aktifitas ekonomi di pasar nagari terkait dengan aktifitas ekonomi supra nagari dan bahkan aktifitas ekonomi dunia. Pertama adalah pola merantau yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Kedua adanya jenis komoditi yang laku di pasar dunia, Keduanya ternyata telah memberikan dampak ikutan (contagion effect) bagi berkembangnya sistem perdagangan yang sangat penting (1347-1795), bahkan dikatakan perdagangan emas saat itu di dukung oleh kerajaan Pagarruyung dengan melibatkan para pengawal bersenjata istana untuk melindungi kafilah dagang dari para perampok dan pemeras, menuju tempat-tempat dagang di sungai-sungai besar sebelah Timur atau ke daerah pantai Barat. Disini terjadi pertukaran emas dengan besi—yang banyak dipakai untuk pembuatan alat-alat untuk mengerjakan penambangan dan pertanian. Dijelaskan bahwa secara umum pada saat itu perdagangan emas di Minangkabau sangat tidak terpusat dan berada dalam tangan pedagang yang lebih banyak jumlahnya di bandingkan dengan barang yang di perdagangkan. Pedagang ini oleh Belanda di bedakan atas dua kelompok yakni pelaksana kaya (pedagang kaya) dan pelaksana miskin (pedagang miskin), dimana klasifikasi ini diberikan berdasarkan strategi membeli yang dipakai mereka setelah sampai di pantai. Dengan sistem perdagangan beranting inilah muncul pemain baru yang dianggap sebagai kunci hubungan antara penjual pedalaman dengan pedagang asing-- yang dikenal dengan pialang pantai-- yang biasanya adalah orang kaya mapan atau penghulu kaum. Pada Abad ke 17 terjadi perobahan dengan dimulainya pembudidayaan suatu tanaman dagang yang bernilai tinggi dalam perdagangan internasional di sepanjang pantai Barat Sumatera, untuk pertama kali sebagian dari wilayah Minangkabau menjalankan peran baru, dan mulai sebagai penghasil utama lada dan tanaman perkebunan lainnya (untuk lebih jelasnya baca Dobbin, 1992, hal 69-118).
156
perekonomian kapitalis di tengah masyarakat Minangkabau. Banyak ditemui pelaku ekonomi (aktor) utama di pasar nagari adalah mereka yang telah melakukan perantauan ke supra nagari dan telah terlibat dengan aktifitas perdagangan dalam perekonomian inter-regional. Selama menjalani perantauan, orang Minangkabau berusaha menyerap segala pengetahuan dan keterampilan yang dianggap baik untuk dikembangkan di nagari kelak apabila mereka telah berhasil dalam artian memiliki modal untuk kembali ke nagari, merebut kedudukan sebagai orang terhormat dengan menjadi penghulu dan anggota KAN, atau jabatan lainnya di pemerintahan nagari. Di samping itu, pekerjaan utamanya adalah menjadi pedagang atau membuka kios di pasar nagari. Dengan pengalaman selama di perantauan telah menjadi modal yang kuat untuk mengembangkan usaha dagangnya membangun relasi sosial dan ekonomi dengan aktor-aktor lain baik dilingkup nagari maupun dilingkup supra nagari. Kemampuan
membaca
permintaan
pasar
supra-nagari
dan
pasar
Internasional inilah yang membuat mereka memperoleh keuntungan yang sangat besar. Sehingga dengan cepat terjadi akumulasi modal karena orang-orang yang sudah pulang dari rantau inilah yang mampu membuat terobosan-terobosan ekonomi untuk pengembangan ekonomi rumahtangganya dengan sistem monopoli alamiah. Sehingga dengan meminjam istilah Geertz (1963), merekalah penny capitalism (kapitalisme kecil) di wilayah nagari. Secara historis, munculnya perdagangan dari pasar nagari ke jalur perdagangan global telah dihubungkan oleh adanya pedagang keliling (peddler) yang membawa barang dangangan dari suatu pasar nagari ke pasar nagari lainnya, sehingga sampai ke wilayah pelabuhan. Perjalanan para pedagang keliling ini dahulu dilakukan dalam bentuk rombongan dengan menggunakan alat transportasi darat yang sederhana dalam bentuk pedati 3 . Para pedagang keliling ini, disamping menjual barang dagangannya seperti alat-alat rumahtangga, peralatan pertanian,
3
Pedati adalah sejenis alat transportasi yang ditarik oleh seekor kerbau atau sapi yang digunakan untuk membawa barang dagangan dari suatu kota ke kota lain. Begitu jauhnya jarak tempuh, sehingga se empunyanya pedati harus menempuh perjalanan berhari-hari untuk sampai ke tujuan. Alat transportasi ini digunakan sebelum kendaraan mobil antar kota ramai digunakan.
157
dan lain sebagainya, mereka juga membeli komoditi khas sebuah pasar nagari untuk dijual lagi ke pasar nagari berikutnya. Dalam perkembangan selanjutnya, karena kemudahan aksessibilitas dan infrastruktur transportasi, maka perdagangan keliling sudah tidak ada, tetapi pedagang yang datang ke setiap pasar nagari untuk mengelar barang dagangannya, kemudian kembali ke nagarinya, hal itu masih berlanjut sampai saat ini. Bahkan, para pedagang pasar nagari ini bertindak sebagai supplier untuk barang-barang kebutuhan penduduk yang bersumber dari wilayah supra nagari seperti kebutuhan garam, ikan kering, dan hasil laut lainnya Pada saat sekarang pedagang keliling (antar pasar nagari) masih ditemui terutama pada komoditi cassivera, barang-barang kelontong, pedagang kain, dan pedagang emas, tetapi sudah menggunakan kendaraan sendiri untuk berjualan dari satu pasar nagari ke pasar nagari berikutnya, sesuai dengan hari di bukanya pasar nagari. Kemudian bila dilihat dari sisi masyarakat nagari sendiri, pada umumnya masyarakat nagari menjadikan mata pencaharian berdagang sebagai pekerjaan tambahan di luar usaha tani, bahkan tidak sedikit penduduk nagari yang mengkhususkan diri memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang ke wilayah supra nagari. Hal ini dapat ditemui pada jenis komoditi tomat, cabe, pisang, dan lobak. Kebanyakan responden penelitian ini merupakan pedagang yang membeli hasil pertanian penduduk (galeh mudo) kemudian dijual ke wilayah lain seperti Bukittinggi, Payakumbuh, Pakan Baru, Kerinci, dan Jambi. Tingginya arus mobilitas penjualan komoditi hasil pertanian penduduk nagari untuk jenis tanaman mudo ini, mengikuti pola mobilitas dan alur perdagangan komoditi tanaman tua yang menjadi andalan utama masyarakat nagari untuk mendapatkan uang dengan jumlah yang lebih besar. Nagari-nagari yang memiliki dua pola pertanian padi sawah dan pertanian lahan kering ini memberikan dua hasil pertanian yang sama-sama dipasarkan ke luar wilayah nagari. Sejak semakin baiknya infrastruktur pertanian di wilayah pedesaan di setiap nagari di Sumatera Barat, maka akses menuju sentra-sentra produksi untuk komoditi tanaman muda dan tanaman tua semakin mudah. Sehingga sistem pemasaran bagi sistem pertanian penduduk ini semakin terbuka dan bersentuhan dan berintegrasi langsung dengan jaringan perdagangan supra lokal, yang dapat dilihat pada gambar 8.
158
Berdasarkan gambar 9 di bawah, terlihat bahwa untuk komoditi tanaman mudo, setiap pasar nagari saling berinteraksi satu sama lain dan berakhir pada kotakota propinsi seperti Medan, Padang, Kerinci, Jambi dan Pakan baru. Sedangkan untuk tanaman tua terutama kayu manis, nagari Salimpaung merupakan sentra jaringan perdagangan kayu manis yang bermuara pada tiga kota propinsi sebagai pelabuhan ekspor yakni Padang, Pakanbaru dan Medan. Nagari Salimpaung sebagai sentra perdagangan lebih disebabkan oleh sebagian besar (28,6 persen) pedagang kayu manis berasal dari nagari Salimpaung, kecuali untuk pasar Baso.
Gambar: 9 Aliran Komoditi Perdagangan dari Pasar Nagari ke Pasar Dunia
Alasan lain adalah bahwa memang secara historis pasar nagari Salimpaung dahulu merupakan lokasi gudang-gudang perdagangan kayu manis pada masa kolonial Belanda, dan dilanjutkan setelah kemerdekaan, adanya kerjasama dengan pemerintah Jerman melalui Agriculture Development Project (ADP) tahun 1974-1983 dengan mendirikan gudang pembelian kayu manis di pasar nagari Salimpaung.
159
Sehingga, jalur perdagangan kayu manis ini secara historis berpusat di wilayah sentra produksi nagari Salimpaung dan sekitarnya. Proyek ADP kemudian dilanjutkan dalam bentuk Koperasi rempah rempah (KPRR) di Salimpaung yang berhasil memiliki lisensi ekspor (1983). KPRRlah yang kemudian membeli kayu manis rakyat untuk langsung dikirim ke Padang untuk di ekspor. Jadi secara historis, pasar nagari Salimpaung telah menjadi penyupply terbesar kayu manis untuk kepentingan eksport kayu manis Sumatera Barat melalui proyek ADP dan KPRR. Bahkan sejak tahun 2003 sampai saat ini lisensi ekspor ini diteruskan oleh perusahaan Sentosa Alam Sejahtera (CV. SAS) yang merupakan bentuk usaha kerjasama (joint venture) antara Dinas Koperindagtam Kabupaten Tanah Datar dengan salah seorang pedagang kayu manis di nagari Salimpaung dengan menempati lokasi lahan bekas ADP/KPRR dahulu. Tabel 19 Pedagang Kayu manis Berdasarkan Pasar yang Dikunjungi No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Asal Nagari
Jumlah Pedagang
Pasar Nagari yang Dikunjungi Tabek Salimpaung RaoSungai Patah Rao Tarab Salimpaung 14 8 6 10 2 Tabek Patah 4 4 3 Rao-Rao 4 4 Sungai Tarab 4 1 2 2 4 Baso 23 Lainnya 6 3 2 4 2 Jumlah 55 16 10 23 8 Sumber Hasil Penelitian, 2006 (data diolah)
Baso 6 23 6 35
Berdasarkan tabel 19 di atas memperlihatkan bahwa dari kategori asal pedagang, jumlah pedagang Salimpaung lebih dominan di kabupaten Tanah Datar, yakni sebanyak 14 orang (25 persen) atau 43,8 persen dari pedagang kayu manis yang ada di Kabupaten Tanah Datar. Kemudian para pedagang yang berasal dari nagari Salimpaung ini juga terlihat lebih aktif sebagai pedagang antar pasar nagari. Mereka selalu atau dapat dijumpai pada semua pasar nagari yang memperdagangkan kayu manis. Pada pasar-pasar nagari yang berada di kabupaten Tanah Datar, maka perdagangan kayu manis di dominasi oleh para pedagang yang berasal dari nagari Salimpaung. Pasar nagari yang paling banyak dikunjungi oleh pedagang kayu manis Salimpaung
160
adalah pasar nagari Rao-Rao (43,5 persen), pasar nagari Tabek Patah (50 persen), dan pasar nagari Baso (17,1 persen). Dalam pada itu, yang lebih menarik adalah pedagang yang berasal dari nagari Baso yang berjumlah 23 orang dan di dominasi oleh ibu-ibu (86,9 persen). Mereka hanya berdagang di Pasar Baso saja. Dari 35 orang pedagang yang terlibat dalam perdagangan kayu manis di pasar nagari Baso, sebanyak 65,7 persen adalah pedagang Baso itu sendiri dan 17,1 persen berasal dari Salimpaung dan sebanyak 17,1 persen adalah pedagang besar yang datang ke Pasar Baso. Dominannya kaum ibu-ibu sebagai pedagang kayu manis di nagari Baso dapat dijelaskan dengan beberapa alasan sebagai berikut: Pertama; dari keterkaitan struktur mata pencaharian penduduk dengan jumlah kepemilikan lahan, ternyata hanya 23 persen penduduk yang memiliki lahan sawah dan 13,4 persen yang memiliki ladang, berarti hanya 36,6 persen penduduk nagari Baso menguasai lahan pertanian, dan sebanyak 7,3 persen penduduk bergerak di sektor pertanian tetapi tidak memiliki lahan, mereka adalah petani penyewa/penyakap. Sebagian dari mereka inilah yang menjadi pedagang di pasar Baso. Hal ini sejalan dengan ratarata luas lahan sawah dan ladang yang dimiliki oleh ibu-ibu pedagang Baso yang hanya 0,25 ha/kk. Kemudian dari hasil wawancara dikatakan kenapa ibu-ibu ini turun langsung berjualan kayu manis di pasar nagari Baso, dikatakan adalah untuk membantu suami atau untuk meneruskan usaha suami yang skala usahanya semakin besar. Artinya, terjunnya ibu-ibu ke sektor komersial ini—dari perannya sebelumnya
lebih
pada
sektor
domestik—lebih
didasarkan
atas
dorongan
pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga yang semakin tinggi dan beragam. Kedua; petani yang datang membawa kayu manis pada umumnya adalah perempuan dengan waktu panen tidak menentu, volume penjualan yang relatif kecil, sehingga kayu manis dijual hanya untuk keperluan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Volume penjualan yang kecil/sedikit dapat dibawa oleh ibu-ibu ke pasar untuk kemudian langsung digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Tipe penjual dari kaum ibu-ibu ini lebih cocok dihadapi oleh tipe pembeli ibu-ibu pula, karena keduanya lebih betah menghadapi alotnya transaksi jual beli. Biasanya pedagang laki-laki cepat jenuh menghadapi penjual kaum ibu-ibu yang sangat alot yang menghabiskan waktu lebih kurang 30-60 menit dalam bertransaksi. Itulah
161
sebabnya lebih memberikan kesempatan pada istrinya untuk membantu melakukan transaksi dengan kaum ibu-ibu lain. Ketiga; nagari Baso dan kabupaten Agam umumnya adalah nagari yang didominasi oleh tradisi/budaya politik Bodi-Caniago yang lebih demokratis dan egaliter, baik secara internal masyarakat maupun secara eksternal. Dalam pembagian kerja rumahtangga, nagari di bawah tradisi Bodi-Caniago memegang prinsip bahwa antara perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan dan tugas yang sama dalam mencari nafkah rumahtangga, istri tidak selalu menjadi tanggungjawab sepenuhnya suami, melainkan juga saudara laki-lakinya (mamak). Sementara, pergeseran peran mamak kepala rumah dan kaum yang mulai berkurang, telah mendorong istri (perempuan) menjadi lebih proaktif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Istri (perempuan) terkadang telah muncul sebagai pribadi tangguh, yang merasa bertanggung jawab menyelamatkan ekonomi rumah tangga, apalagi jika telah ditinggal suami, baik ditinggal hidup atau mati. Peneliti melihat dari sudut pandang sosiologi keluarga, dapat dijelaskan bahwa fenomena lebih dominannya perempuan Minangkabau terjun ke sektor publik sejak dulu, seperti amai-amai pedagang beras, kain, kayu manis, dan lain-lain adalah
dikarenakan
bahwa
untuk
kehidupan
idealnya,
dalam
masyarakat
Minangkabau, seorang perempuan Minang dan anak-anaknya harus dilindungi dan di urus oleh mamaknya (saudara laki-laki ibu). Tetapi faktanya sekarang, mereka tidak lagi diurus dan dilindungi sebagaimana mestinya, terutama dari segi sosialekonomi. Ini disebabkan si mamak secara sosial-ekonomi juga harus mengurus kebutuhan istri dan anak-anaknya yang (kadang kala) tidak memiliki harta pusaka yang memadai untuk diolah. Dalam kondisi tersebut, cenderung perempuan Minang terpaksa atau berusaha menanggung beban untuk mencukupi dan melindungi anak-anaknya secara sosial-ekonomi dalam keseharian. Memang dalam budaya Minangkabau, yang garis keturunan ditarik dari garis ibu (sistem matrilinial), menjadikan perempuan memiliki posisi yang khas dalam tatanan adat, seperti, sumber ekonomi diutamakan untuk perempuan, rumah tempat kediaman diutamakan untuk perempuan, perempuan sebagai tempat penyimpan hasil ekonomi atau sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan harta kekayaan. Akan tetapi dalam kondisi masyarakat yang sedang mengalami perobahan, dan semangkin terintegrasinya
162
masyarakat Minangkabau ke dalam perekonomian dunia (ekonomi kapitalis) yang berorientasi pasar, telah membawa pergeseran dalam sendi-sendi utama kehidupan masyarakatnya. Pergeseran dan desakan kebutuhan inilah yang menjadikan ibu-ibu (untuk kasus pedagang kayu manis) di pasar Baso berusaha terjun kesektor publik yang selama ini didominasi kaum laki-laki. Mereka harus tampil sebagai penyelamat ekonomi rumah tangga, sekalipun pada sektor yang jarang di geluti atau asing untuk kaum perempuan. Dalam perjalanan waktu mereka tampil sebagai kelompok pedagang yang dominan dan mengalahkan dominasi laki-laki atas komoditi ini sebelumnya. Memang dalam tradisi/kelarasan Bodi-Caniago, yang menganut paham demokratis dan egaliter, telah memungkinkan perempuan memiliki ruang atau kesempatan untuk tampil ke sektor publik, mendobrak dominasi laki-laki. Sejarah telah membuktikan dari daerah ini bahkan kaum perempuan telah terjun di medan pertempuran sebagai pemimpin perang di era kolonial sebut seperti: Siti Mangopoh dan Rohana Kudus dari Agam.
Gambar 10 Keterkaitan Pasar Nagari dengan Perdagangan Supra Nagari dan Eksportir
Gambar 10 di atas memperlihatkan bagaimana keterkaitan pasar nagari dengan aliran komoditi perdagangan kayu manis di daerah penelitian. Pasar nagari terutama pasar nagari Salimpaung, Rao-Rao, Tabek Patah, Sungai Tarab, dan Baso
163
merupakan pasar nagari yang menjadi mata rantai jalur perdagangan kayu manis Sumatera Barat. Pada saat penelitian ini dilakukan, ada tiga kelompok yang berbeda yang bermain dan menghubungkan pasar nagari dengan kegiatan eksportir kayu manis, yaitu: Pertama; pedagang pengumpul tingkat nagari dan kecamatan melakukan pembelian di rumah dan di pasar nagari, dan kemudian dijual ke pedagang besar tingkat kabupaten (pedagang supra lokal). Kedua, Pedagang pengumpul tingkat kabupaten, disamping melakukan pembelian kayu manis pada petani dan pedagang pengumpul di pasar nagari, mereka juga memiliki gudanggudang penyimpanan kayu manis, dan melakukan prosesing sesuai dengan kualitas yang diminta oleh pihak eksportir di ibu kota Provinsi. Artinya mereka adalah mata rantai kedua setelah pasar nagari untuk sampai ke pihak eksportir. Ketiga adalah ADP (1974-1983), KPRR (1983-1993), dan sekarang “bermetamerfosis” menjadi “perusahaan joint venture” pedagang kayu manis dengan Dinas Koperindagtam dalam bentuk CV. SAS (2003-sekarang). Keterkaitan pasar nagari ini dengan jaringan perdagangan dunia telah lama berlangsung. Dimulai sejak emas dan biji besi sebagai komoditi utama sampai kepada komoditi perkebunan kayu manis sebagai komoditi andalan untuk komoditi ekspor non migas. Keberlanjutan pasar nagari ini akan tetap terus bertahan karena pada saat sekarang, disamping komoditi kayu manis sebagai komoditi perdagangan yang berorientasi ekspor, komoditi tanaman mudo ((palawija) juga mulai memasuki babak baru dalam perdagangan pasar nagari dengan pasar supra lokal. Dimana sayur-sayuran dan buah-buahan yang dihasilkan dan dijual di pasar nagari, saat ini telah memasuki pasar supra lokal dalam bentuk antar kota dan antar provinsi seperti meningkatnya permintaan dari wilayah Pakan Baru, Jambi, Medan dan Dumai, setiap minggunya (Wawancara dengan pedagang, Maret 2006).
5.4. Simpulan Akhir Bab Ternyata, kedudukan dan fungsi pasar nagari dalam perekonomian masyarakat nagari, dalam perjalanan sejarahnya mengalami proses perubahan dari waktu ke waktu seiring dengan perkembangan pasar dan perobahan yang terjadi di pasar itu sendiri sebagai institusi sosial ekonomi. Perobahan fungsi pasar nagari terlihat pada fungsi pelayanan ekonomi dan penyediaan informasi, pelayanan sosial-
164
budaya, dan pelayanan personal. Semakin luas dan besar lingkup sosial yang dicakup oleh sebuah pasar, semakin longgar fungsi pasar dari segi social and cultural service, begitu juga sebaliknya. Dilihat dari struktur dan bentuk pengelolaan pasar nagari sebagai pranata ekonomi nagari, dengan terjadinya perubahan sosial-politik ditingkat nagari dari waktu-ke waktu (masa pra kolonial sampai masa otonomi daerah seperti sekarang). —sebagai akibat dari intervensi negara (state) terhadap pemerintahan terendah dalam masyarakat Minangkabau -- telah berimplikasi terhadap perobahan struktur dan model pengelolaan pasar nagari, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap pendapatan nagari secara keseluruhan. Dengan
demikian,
secara
sosiologis
historis,
telah
terbukti
bahwa
masyarakat Minangkabau, telah memiliki kontak dengan ekonomi supralokal (dunia), mulai dari abad ke 14, melalui pasar-pasar nagari. Itulah sebabnya melalui pasar, nagari-nagari di Minangkabau telah berhubungan dengan dunia luar dan telah terintegrasi dalam perekonomian dunia (Kahn, 1980, 27-75). Dikatakan bahwa pada abad ke 18 (1760) semakin meningkatnya keterlibatan masyarakat Minangkabau dalam ekonomi dunia melalui aktivitas pasar nagari, yang ditandai dengan semakin meningkatnya permintaan akan komoditi hasil pertanian Minangkabau di pasar internasional (pasar Eropa), terutama terhadap komoditi lada, cassia, dan kopi. Bahkan tanaman cassia (1762) dinyatakan sebagai tanaman monopoli kompeni dan dicari sampai ke Kerinci dan Tapanuli Utara, yang kemudian di bawa oleh pedagang perantara melalui jalur sungai ke pantai Timur Sumatera, melewati Malaka dan juga dibawa melalui jalan darat menuju pelabuhan Tiku, di Pariaman (Dobbin, 1992 dan Oki, 1977). Secara empirik sejak dulu sampai sekarang pasar dan perdagangan merupakan bagian yang integral dalam kehidupan keseharian masyarakat Minangkabau. Sehingga keberadaan pasar sampai saat ini sebagai sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan perekonomian masyarakat nagari yang mengarah kepada bentuk pola ekonomi ganda antara subsistensi dan komersial.
165