BAB IV TANAH DATAR SEBAGAI PUSAT AKTIFITAS POLITIK DAN EKONOMI MASYARAKAT MINANGKABAU
4.1. Terbentuknya Luhak Tanah Datar Menjadi Pusat Kegiatan Politik dan Ekonomi Masyarakat Minangkabau; Saling Hubungan Antara Daerah Pedalaman dan Pesisir Minangkabau Luhak Tanah Datar terletak lebih kurang sama dengan kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu kabupaten di pedalaman provinsi Sumatera Barat yang berada pada garis 000 17’ - 00 39’ LS dan 1000 19’ BT – 1000 51’ BT, dengan luas wilayahnya adalah 1.336 km2 yang diapit oleh tiga gunung yakni gunung Merapi, Singgalang, dan gunung Sago, sehingga wilayahnya terdiri dari dataran tinggi yang didominasi oleh lahan hutan seluas 47.440 ha (35,5 persen), dan dataran rendah yang dominasi oleh lahan sawah seluas 28.910 ha (21,6 persen), selebihnya adalah pertanian lahan kering, perkebunan, pemukiman, dan lain-lain. Dengan demikian keadaan perekonomian masyarakat sangat diwarnai oleh kegiatan penanaman pada pertanian sawah dan perkebunan. Masyarakat
Minangkabau
pada
umumnya
percaya
bahwa
sejarah
masyarakat mereka pada mulanya berawal dari pemukiman penduduk di sekitar sebelah Selatan lereng gunung Merapi; sebagai dataran yang subur, terutama di wilayah Luhak Tanah Datar, seperti nagari Pariangan, V Kaum, dan Bungo Setangkai atau Sungai Tarab. Masyarakat Minangkabau memiliki kepercayaan bahwa diri mereka adalah berbeda dari etnis lain, dengan menggangap diri mereka sebagai kelompok etnik yang superior (highly superior ethnic group) karena nenek moyangnya dikatakan berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnaein; Raja besar Romawi Abad III sebelum Masehi (lihat Batuah Sango, 1955, DT. Batuah dan DT. Madjoindo, 1956, Abdullah, 1972, juga Graves, 1981), yang bermukim pertama sekali di Luhak Tanah Datar. Nagari Pariangan disebut sebagai nagari tertua, dan menjadi cikal bakal tradisi adat istiadat Minangkabau serta tradisi politik yakni kelarasan Bodi-Caniago dan kelarasan Koto-Piliang (lihat Manan, 1984). Nagari Pariangan ini sebenarnya merupakan wilayah pemukiman pertama kali para pedagang India yang dikenal sebagai chetti yang ikut terlibat dalam jalur perdagangan emas di wilayah Tanah Datar sebagai penghasil emas utama di dataran tinggi Sumatera Tengah khususnya
dari Batang Sinamar, Batang Ombilin, Batang Selo, dan Batang Saruaso atau Sungai Emas (Dobbin, 1983, 1992:70). Wilayah Tanah Datar merupakan pusat kegiatan ekonomi dan politik yang sangat penting dalam sejarah Minangkabau selanjutnya, faktor pendorongnya adalah wilayah ini selalu menjadi sentra produksi komoditi ekonomi dalam lintas perdagangan dengan daerah luar. Pada abad XVII, emas menjadi komoditi perdagangan utama, dan wilayah Tanah Datar menjadi pemasok emas bagi perdagangan emas di Pantai Barat Sumtera dengan Aceh dan India. Kemudian ketika komoditi perdagangan dunia beralih ketanaman ekspor abad XVIII, seperti lada, kopi, kayu manis, dan indigo, maka wilayah Tanah Datar kembali menjadi pusat penghasil utama untuk tanaman komoditi ekspor ini. Oleh karena itu, berkat peranannya sebagai pemasok kebutuhan utama komoditi perdagangan (supply area) itulah Tanah Datar telah menjadi wilayah utama yang memegang peranan penting dalam sejarah politik dan ekonomi Minangkabau. Terbentuknya kekuasaaan ekonomi dan politik di Tanah Datar sebagai cikal bakal terbentuknya sistem pemerintahan kerajaan Alam Minangkabau, sebenarnya, tidak terlepas dari peranaan wilayah ini sebagai penghasil komoditi emas, biji besi dan timah. Sebagai daerah penghasil utama emas dalam jalur perdagangan dunia, tentu saja daerah ini sangat menarik untuk didiami dan dikuasai. Menurut historiografi tradisional Minangkabau “tambo” 1 , alam Minangkabau merupakan bagian dari salah satu dari tiga alam dunia, yakni pertama tanah matahari terbenam (land of sunset), kedua tanah matahari terbit (land of sunrise). Ketiga tanah diantara matahari terbit dengan matahari terbenam yang disebut alam Minangkabau. Tanah matahari terbenam kemungkinannya ini adalah wilayah Kerajaan Romawi di Barat, karena dalam tradisi lisan masyarakat Minangkabau keturunan mereka selalu dikaitkan dengan Raja Kerajaan Romawi termashur yakni Alexander Zulkarnain abad III sebelum Masehi, dimana salah satu puteranya Maharaja Diraja mendarat di puncak gunung Merapi ketika wilayah ini masih dikelilingi laut, dan kemudian menetap di wilayah lereng gunung Merapi, ini yang di
1
Tambo adalah sumber sejarah masyarakat Minangkabau yang diperkirakan ditulis sekitar abad ke VII masehi dengan bahasa arab-melayu. Isinya umumnya adalah persoalan adat istiadat terutama mengambarkan bagaimana kekuasaan keraton kerajaan Minangkabau berinteraksi dengan wilayah nagari dan wilayah supra nagari. (lihat tambo alam Minangkabau, tt).
81
sebut dengan nagari Pariangan Padangpanjang, sebagai nagari pertama di Minangkabau yang terletak di kabupaten Tanah Datar. Berdasarkan sumber sejarah di dalam Tambo, dan bukti-bukti peninggalan sejarah yang ada, di nagari-nagari tertua tersebut ditemukan kuburan panjang dengan batu nisan bertuliskan bahasa Sangskerta berangka tahun 1349 Masehi dari seorang yang bernama Datuak Suri Dirajo keturunan langsung dari Maharajodirajo (Manan, 1984). Seorang raja dari wilayah Timur Sumatera yang bernama Sang Sapurba dengan armada perangnya telah datang ke wilayah Pariangan Padangpanjang, ia disambut dengan baik oleh Datuak Suri Dirajo untuk menjadi raja dengan menawarkan saudara perempuannya; Puteri Indo Jelito menjadi istri Sang Sapurba. Dari hasil perkawinan Sang Sapurba telah lahir seorang Putera yang diberi nama Sutan Paduko Basa; nanti akan menurunkan tradisi Koto-Piliang (Chosen words) yang bersifat aristokrat. Setelah Sang Sapurba meninggal, Ia digantikan kembali oleh Datuak Suri Dirajo, sedangkan saudara perempuannya Puteri Indo Jelito (janda Sang Sapurba), menikah kembali dengan seorang penasehat (orang bijak) istana yang bernama Indo Jati yang dalam sumber lisan Minangkabau juga disebut dengan Cati Bilang Pandai. Dari hasil perkawinan keduanya ini telah lahir enam orang anak yaitu: Sutan Balun; yang kemudian mewariskan tradisi adat istiadat dari kelarasan Bodi-Caniago (Valued Character) yang bersifat demokratis, Mambang Sutan, dan empat saudara perempuannya yaitu: Reno Mandah, Reno Sudi, Reno Judah, dan Gadih Jamilah (Manan, 1984). Sutan Balun, sebagai anak dari orang bijak istana, telah belajar banyak dari ayahnya, dan telah tumbuh dan berkembang sebagai seorang yang berpengetahuan dan berbudi tinggi, berkat perantauannya ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, India, dan China. Ketika di China ia telah melihat sistem kaum/suku (clan system), dimana kaum/suku adalah sistem perkawinan campuran di luar suku dan dipimpin oleh seorang yang mediatori antara masyarakatnya dengan raja Minangkabau. Ketika kembali ke Pariangan Padang Panjang, Sutan Balun memperkenalkan sistem itersebut kepada masyarakatnya. Sementara itu, saudara laki-lakinya; Sutan Paduko Basa
telah
diangkat
Katemanggungan,
dan
sebagai Sutan
penghulu/Datuak Balun,
akhirnya
dengan juga
gelar
Datuak
diangkat
menjadi
penghulu/datuak dengan gelar Datuak Perpatiah Nan Sabatang.
82
Dengan perkembangan jumlah penduduk, maka wilayah pemukiman diperluas ke berbagai nagari lainnya di sekitar lereng gunung Merapi, diantaranya Lima Kaum, Sungai Tarab, Salimpaung, Tanjung Alam, dan lain-lain. Pemukim pertama di Pariangan Padangpanjang berjumlah 8 pasangan atau masyarakat yang sebut dengan 8 kelompok. Kemudian setelah menyebar ke berbagai daerah baru, namun nagari Lima kaum tetap menjadi pusat tradisi Bodi –Caniago dan Nagari Sungai Tarab menjadi basis bagi tradisi Koto-Piliang. Sedangkan nagari-nagari sasaran penelitian ini seperti nagari Salimpaung, Rao-Rao, Tabek Patah dan Baso merupakan nagari yang berbasis tradisi Bodi-Caniago. Walaupun saat ini pada sebuah nagari sudah tidak terasa lagi perbedaan tradisi Koto-Piliang dan BodiCaniago. Jadi, sebelum kedatangan Adityawarman (1340-an) yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Minangkabau yang merupakan keturunan keraton Majapahit, wilayah Tanah Datar telah memiliki tradisi raja-raja dari India Selatan, berkat pemukiman para pedagang India Selatan yang disebut “chetty”, yang datang ke Tanah Datar untuk menguasai perdagangan di wilayah di dekat sumber emas ini (Dobbin, 1983, 1992:70-71). Kelembagaan politik dan ekonomi telah terbentuk jauh sebelum kerajaan Minangkabau didirikan, setiap nagari telah berdiri sebagai sebuah “republik-republik kecil” (as an autonomous republic) yang diperintah oleh para penghulu andiko dan dewan nagari, dimana setiap nagari dapat memilih antara dua tradisi Koto-Piliang dan Bodi-Caniago. Atau bahkan menggunakan keduanya (Manan,
1984).
Sehingga
sebelum
kedatangan
Adityawarman,
wilayah
Minangkabau sudah merupakan wilayah pemukiman yang luas yang terdiri dari tiga luhak (regencies), yang dipimpin oleh Penghulu Andiko di nagari masing-masing. Perkembangan pengaruh politik dan ekonomi India Selatan di wilayah Minangkabau ini akhirnya terhenti setelah kedatangan Adityawarman 2 sebagai utusan Kerajaan Majapahit tahun 1340-an untuk menguasai perdagangan emas di wilayah Tanah Datar ini. Tetapi Adityawarman telah bertindak lebih jauh dengan melepaskan
ikatan
janjinya
dengan
Majapahit
dan
mendirikan
kerajaan
2
Adityawarman adalah anak dari Dara Jinggo (gadis pendekar) dan keponakan dari Dara Petak (gadis pitok) yang di boyong ke Majapahit dari wilayah Minangkabau setelah expedisi Pamalayu tahun 1270an) untuk dijadikan istri oleh Raja Majapahit Raden Wijaya. Ia adalah sepupu dari Mahapatih Majapahit yang terkenal yakni Gajahmada (Tambo Alam Minangkabau, Dobbin, 1983, 1992:71).
83
Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung, wilayah yang dekat dengan sumber emas pada tahun 1347, disini ia memberikan gelar kepada dirinya Maharajadiraja
dan
Kanakamedinindra;
yang
berdaulat
atas
sebagai
tanah
yang
mengandung emas (H. Kern, 1917, dalam Dobbin, 1983, 1992:71). Kedatangan Adityawarman ini, telah membuat terjadinya perbedaan pendapat antara Datuak Katemenggungan dan Datuak Perpatiah Nan Sabatang tentang
bagaimana
status
dan
menghadapi
Adityawarman.
Datuak
Katemenggungan berpendapat bahwa Adityawarman diangkat menjadi raja, sedangkan menurut Datuak Perpatiah Nan Sabatang, Adityawarman sebaiknya diangkat sebagai Perdana Menteri. Sebenarnya, Adityawarman telah diangkat sebagai adik ipar (brother in law) oleh mereka dan diangkat sebagai Raja Minangkabau. Hal ini adalah cara terbaik yang dapat dilakukan karena penguasa Minangkabau tidak memiliki armada militer yang kuat. Sehingga dengan melalui perkawinan inilah perselisihan dapat dihindari. Masa pemerintah Adityawarman berlangsung sampai tahun 1375, selama pemerintahannya, wilayah Minangkabau telah berkembang budaya yang lebih tinggi yang merupakan sinkretis antara budaya Jawa dengan Minangkabau, tetapi unsur Minangkabaunya masih sangat dominan terutama pada masyarakat nagari yang otonom. Dengan begitu kekuasaan tertinggi kerajaan Minangkabau berada ditangan Rajo Tigo Selo yang terdiri dari tiga kekuasaan yakni: Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung, Raja Adat Berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus. Raja Alam Minangkabau hanya berkuasa secara politik dan ekonomi, terutama menguasai jalur perdagangan emas dengan wilayah pantai terutama dengan pedagang asing. Untuk urusan kekuasaan ke dalam (sosio-politik), terutama ke wilayah-wilayah nagari diserahkan kepada penghulu masing-masing yang dikoordinir oleh Raja Adat , dan Raja Ibadat. Secara vertikal kekuasaan Rajo Tigo Selo ke bawah diberikan dan dilaksanakan oleh tujuh pejabat tinggi, kekuasaan pertama menginterpretasikan hukum dan pengaturan pengadilan yang dibantu oleh empat pejabat penting (Basa Ampek Balai) yakni:
84
1). Datuak Bandaro Putiah atau Tuangku Penitahan atau Perdana Menteri yang tinggal di Sungai Tarab, ia bertindak sebagai juru bicara Raja Alam dan merupakan pimpinan puncak tradisi Koto-Piliang. 2) Datuak Indomo Menteri adat, komunikasi dan bendahara kerajaan berkedudukan di Saruaso sebagai wilayah pusat pertambangan emas. Ia dikenal pula sebagai pelindung (payung panji) Koto-Piliang. 3). Tuan Kadhi; Menteri urusan Agama, dan dianggap sebagai penasehat tradisi Koto-Piliang (suluah bendang Koto Piliang), tinggal di Padang Ganting sebagai wilayah pertambangan emas. 4). Datuak Machudum; Menteri Keuangan, dan dianggap sebagai pemelihara harta benda pusaka (alung bunian) tradisi koto-Piliang. Kekuasaan pada lapisan kedua, berpusat di wilayah Nagari Sungai Jambu yang merupakan wilayah perbukitan di lereng gunung Merapi dekat Pariangan Padangpanjang penghasil tanaman ekspor lada, kopi dan kayu manis. Wilayah ini disebut dengan wilayah Penyangga tradisi Koto-Piliang (Pasak Kungkuang KotoPiliang). Kekuasaan pada lapisan ketiga, adalah penjaga keamanan nagari KotoPiliang dari serangan luar (camin taruih Koto-Piliang) berkedudukan di nagari Singkarak di tepi Danau Singkarak, merupakan wilayah penghasil beras utama. Kekuasaan pada lapisan keempat, hak untuk memelihara disiplin dalam lingkup kekuasaan Koto-Piliang. Kedudukan kekuasaan ini adalah di wilayah Sulit Air-Tanjung Balit, disebut sebagai tokoh politik penggerak Koto-Piliang (cambut Koto-Piliang). Kedudukan kekuasaan kelima, adalah Batipuh-Padangpanjang, adalah komandan Perang dalam lingkup Koto-Piliang.Tokoh ini dijuluki sebagai harimau campo
Koto-Piliang.
Wilayah
Batipuh
Padangpanjang
ini
merupakan
jalur
perdagangan emas dari nagari Saruaso dan Tanjung Emas menuju kota Pelabuhan Pariaman sebagai pelabuhan perdagangan yang ramai pada abad XVI. Kedudukan kekuasaan ke enam, adalah di Padang Sibusuk, suatu wilayah paling Timur dari wilayah pedalaman Minangkabau yang dikenal sebagai Gajah Tongga koto-Piliang. Wilayah ini terletak di dekat Hilir Sungai Batang Hari dan berdekatan dengan kerajaan Melayu Darmasraya yang telah ditundukkan oleh Adityawarman dalam perjalananya menuju Saruaso dan Pagaruyung untuk
85
menguasai wilayah penghasil emas utama (Dobbin, 1983, 1992). Di duga wilayahwilayah
bagian
Timur
inilah
sebagai
daerah
penyangga
bagi
kekuasaan
Adityawarman dalam menaklukkan nagari-nagari di perbukitan yang telah terlebih dahulu menguasai perdagangan emas ke pelabuhan Pariaman. Terbukti ketika keluarga kerajaan sudah semakin lemah dan terdesak oleh gerakan Paderi yang berpangkal dari nagari-nagari perbukitan seperti Candung, Kamang, Tanjung Alam, Salimpaung, Lintau, maka keluarga kerajaan menyingkir ke wilayah Timur ini. Kedudukan kekuasaan di lapisan ke tujuh, adalah nagari Simawang yang merupakan wilayah yang terletak di dekat Batang Ombilin dan berbatasan dengan nagari Turawan sebagai pusat penghasil biji besi di bukit Besi di bawah kekuasaan Lima Kaum dan Pariangan Padangpanjang. Nagari ini disebut juga dengan perdamaian Koto-Piliang; yang berarti wilayah perbatasan antara kekuasaan pengikut Adityawarman dengan penguasa Minangkabau awal dari daerah Pariangan Padangpanjang dan Lima Kaum. Selanjutnya, kekuasaan politik dan ekonomi di wilayah Alam Minangkabau juga terbagi dan berada di bawah tradisi politik dan ekonomi kelarasan BodiCaniago. Berdasarkan tradisi politik dan ekonomi terutama dalam usaha untuk menguasai perdagangan emas dan biji besi, maka penguasa alam Minangkabau awal sebelum kedatangan Adityawarman, utusan Kerajaan Majapahit, berusaha untuk mempertahankan kedudukan mereka sebagai penguasa awal dalam produksi dan perdagangan emas dan biji besi. Tetapi kedatangan Adityawarman tahun 1340-an dengan armada militer yang besar melalui sungai Batang Hari, dan Batang Sinamar, dan Batang Selo, telah mengancam monopoli mereka terhadap komoditi perdagangan penting ini. Namun karena tidak memiliki armada perang yang memadai, akhirnya mereka menempuh cara yang persuasif dengan jalan perdamaian, menerima kekuasaan Adityawarman dengan konsekwensi menjadi raja Minangkabau dan membiarkan diterapkannya tradisi politik Koto-Piliang yang aristokrat, disamping tradisi politik Bodi-Caniago yang demokratis. Kedatangan gerakan pembaharuan Islam
di pedalaman Minangkabau
khususnya Tanah Datar sekitar tahun 1784 seperti Tuanku Nan Tuo, Syeh Jallaluddin,
Tuanku
Nan
Renceh,
Tuanku
Lintau,
dan
lain-lain,
untuk
mengembangkan gerakan pembaharuan Islam dari ajaran Wahabi dari Mekkah
86
Tanah Arab. Telah membangkitkan kembali kedudukan tradisi politik Bodi-Caniago yang tersingkir oleh kekuasaan raja Minangkabau dengan penyokong utamanya Tradisi Politik Koto-Piliang. Hal ini membuktikan, bahwa nagari-nagari yang dominan mengikuti tradisi politik Bodi-Caniago, seperti Wilayah Agam dengan nagarinya Kamang, Koto Laweh, Candung, wilayah Tanah Datar dengan nagarinya Lima Kaum, Tabek Patah, Salimpaung, Rao-rao, Tanjung Alam, Sulit Air dan nagari Lintau (Dobbin, 1983, 1992:167), tampil ke depan untuk mengembangkan ajaran pembaharuan Islam yang ditujukan kepada penghulu di nagari-nagari yang sangat otoriter dan kebanyakan hidup telah menyimpang dari ajaran Islam seperti berjudi, menyabung ayam, dll. Gerakan
pembaharuan
Islam
ini
akhirnya,
berhasil
menghancurkan
kekuasaan Raja Minangkabau Sultan Muningsyah di Pagaruyung, yang kemudian membuat lemahnya kekuasaan tradisi politik Koto-Piliang, di setiap nagari yang harus taat dan patuh kepada ajaran Islam (kaum paderi), dengan memasukkan unsur pimpinan agama Islam ke dalam unsur pemerintahan nagari yakni, Ulama, dan Malin 3 , di samping Penghulu yang diangkat oleh Raja Minangkabau. Kekuasaan kaum Paderi dalam perdagangan emas, dan komoditi tanaman ekspor lainnya seperti kopi, lada, dll, dapat dipertahankan dengan masuknya pedagang Inggris sekitar tahun 1818 di Padang sebagai mitra dagang mereka. Akhirnya kekuasaan kaum Paderi dalam mengguasai perdagangan komoditi ekspor berakhir setelah Belanda kembali menguasai kota Pelabuhan Padang berdasarkan Traktat London 1824 antara Inggris dengan Belanda, dan Inggris harus rela melepaskan wilayah Sumatera dan hanya menguasai semenanjung Malaya. Belanda
berhasil
memanfaatkan
perselisihan
antara
keluarga
Raja
Minangkabau dengan nagari-nagari di bawah tradisi Bodi-Caniago dengan sokongan kaum Paderi, sehingga berkat bantuan para penghulu yang kedudukan dan kekuasaannya dikurangi di nagari mereka, Belanda berhasil menghancurkan gerakan militer kaum Paderi dalam menguasai wilayah Tanah Datar sebagai pusat penghasil komoditi perdagangan. Namun gerakan Paderi secara psikologis justru
3
Malin adalah jabatan keagamaan dalam suatu kaum (lineage) yang bertugas untuk menjalankan acara-acara ritual keagamaan yang digelar dalam suatu kaum seperti doa bersama, aqiqah, dan pada upacara kenduri serta kematian.
87
telah mendorong bangkitnya rasa nasionalisme Indonesia abad XX dengan munculnya organisasi –organisasi pergerakan nasional dari kalangan kaum agama ini di Minangkabau (Abdullah, 1971, 1972). Jadi, dengan masuknya pengaruh pembaharuan Islam, kekuasaan kerajaan Minangkabau kelihatannya hanya merupakan simbol persatuan dari republikrepublik kecil nagari di Minangkabau, dan raja merupakan lambang dari persatuan Minangkabau
sebagai
satu
kesatuan.
Menurut
Abdullah
(1966)
kerajaan
Minangkabau tidak pernah berfungsi sebagai institusi pemerintah di Minangkabau “Darek”. Di daerah laras nan duo (Koto-Piliang dan Bodi Caniago) dan Luhak Nan Tigo (Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota) kerajaan bertindak sebagai lembaga tertinggi untuk urusan hukum dan adat, kerajaan merupakan kekuatan pemelihara keseimbangan yang bersifat suci dari pada institusi yang mengatur (Manan, 1995). Sedangkan kekuasaan ekonomi dan perdagangan tetap menjadi ororitas nagari-nagari terutama dari pedagang-pedagang nagari. Pada wilayah di luar darek , yang disebut rantau; merupakan wilayah pengaruh darek, dari daerah rantau inilah raja Minangkabau memperoleh upeti, ketika emas menjadi komoditi utama dalam perdagangan, maka Raja mendapat 1/16 bagian dari perdagangan emas dari nagari-nagari penambang emas (Oki, 1977, Dobbin, 1983, 1992). Pada
saat
sekarang,
ketiga
unsur
inilah
yang
membentuk
unsur
pemerintahan nagari: Penghulu, Ulama, dan kaum Cendikiawan (cadiak pandai) yang dikenal dengan tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin. Ketiga unsur inilah yang membentuk konfigurasi sistem kekuasaan politik dan ekonomi di setiap nagari di Tanah Datar. Sehingga segala upaya membangun dan mengembangkan perekonomian nagari akan ditentukan oleh konfigurasi kepemimpinan ini di dalam nagari --yang dilembagakan pada Kerapatan Adat Nagari (KAN)-- yang bertanggung jawab atas aset-aset ekonomi nagari seperti pengaturan hak milik atas tanah (property right), pengaturan pelaksana dan perkembangan pasar nagari, serta lembaga ekonomi lainnya. Selanjutnya, nagari-nagari yang merupakan pusat penambang emas, dan biji besi seperti Saruaso, Simawang, Turawan, Salimpaung, dan nagari-nagari pusat penghasil komoditi tanaman perdagangan seperti Sungai Jambu, Lima Kaum, Sungai Tarab, Salimpaung, Rao-Rao, Tabek Patah, dan Tanjung Alam, termasuk
88
Baso, menjadikan pasar nagarinya juga sebagai ajang pertukaran barang dan komoditi ekspor yang sangat ramai setiap minggunya. Pasar-pasar nagari di wilayah-wilayah ini telah mampu beradaptasi (bertahan) sesuai dengan perubahan sosial-ekonomi masyarakat nagari, dan telah menjadi wilayah yang sangat penting (sebagai pemasok/produsen) dalam proses perdagangan dengan kota Pelabuhan Padang dan Padang Pariaman, serta Siak Indragiri.
Bahkan pasar nagari telah
dapat mencerminkan sistem mata pencaharian penduduk nagari yang bersangkutan saat itu. Eksport Cassiavera Sumatera Barat Sejak Zaman Kolonial Belanda 1860-1940 4500
Volume Eksport (ton)
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
' 40 19 ' 36 19 ' 32 19 ' 28 19 ' 24 19 ' 20 19 ' 16 19 ' 12 19 ' 08 19 ' 04 19 ' 00 19 ' 96 18 ' 92 18 ' 88 18 ' 84 18 ' 80 18 ' 76 18 ' 72 18 ' 68 18 ' 64 18 ' 60
18
Tahun Cassiavera
Gambir
Sumber: De Indische Mercuur No: 12 Tanggal 27 Maret 1900, Hal. 197. Verlag van de Kamer van Koophandel en Nijverheid te Padang over het jaar 1927-1940.
Gambar 2 Perkembangan Volume Ekspor Kayu manis Sejak Zaman Kolonial Belanda dari Tahun 1860-1940 Artinya, ketika komoditi perdagangan dengan kota Pelabuhan Padang dan Padang Pariaman di dominasi oleh emas dan biji besi, maka di pasar nagari di pedalaman ini banyak digelar hasil-hasil kerajinan emas, besi. Namun ketika permintaan pasar supra lokal (pasar dunia) atau komoditi perdagangan di Kota Pelabuhan Padang dan Padang Pariaman membutuhkan hasil tanaman ekspor, seperti kopi, kayu manis, gambir, seperti gambar diatas, maka di pasar nagari di pedalaman telah pula merubah orientasi aktifitas komoditi perdagangannya. Sehingga dengan mudah bentuk produksi masyarakat akan berubah pula sesuai
89
dengan permintaan di pasar nagari. Berarti, dalam perjalanan sejarahnya proses adaptasi petani, pedagang (masyarakat Minangkabau) terhadap permintaan pasar dunia atau penyesuaian masyarakat Minangkabau terhadap kebutuhan pasar supra lokal dan relasi keduanya (pasar lokal dan supra lokal) yang telah membuat pasar nagari bertahan (persistence) dari waktu ke waktu. Berdasarkan dokumen dari Verslag van de Kamer
van Koophandel en
Nijverheid te Padang over het Jaar 1927 dan 1940 masa kolonial Belanda tercatat bahwa kayu manis sejak tahun 1860 telah menjadi komoditi ekspor yang dikirim dari pelabuhan Teluk Bayur (Emmahaven) di Padang ke berbagai negara Eropah dan Amerika seperti, Holland, Marseille, New-York dan San Francisco. Meningkatnya kegiatan ekspor kayu manis ini telah melibatkan nagari-nagari di pedalaman Minangkabau dalam perdagangan komoditi ekspor ini. Menurut Evers dan Schrader (1994, cf. Eghenter, 1999:750) bentuk perdagangan (form of exchange) pada perekonomian masyarakat pedalaman dengan masyarakat global dapat diklasifikasikan atas tipologi aktifitas perdagangan (typology of trade activities), sesuai dengan skala transaksi, investasi finansial, dan lingkup spatialnya. 4 Tipologi perdagangan itu terdiri dari: 1.
Perdagangan berskala kecil (small-scale trade); adalah bentuk perdagangan dengan volume dan nilai komoditi rendah.
2.
Perdagangan berskala kecil yang masih berorientasi subsistensi (subsistenceoriented small-scale exchange); barang-barang dagangan diproduksi oleh rumahtangga atau barang-barang dagangan dikumpulkan oleh rumahtangga, kemudian dipertukarkan masing-masing secara lokal dalam area yang lebih luas.
3.
Perdagangan berskala kecil yang berorientasi keuntungan (profit-oriented small-scale trade); barang dagangan dibawa oleh penjaja keliling (hawker and peddlars) dari satu area ke area lainnya.
4.
Perdagangan berskala besar yang berorientasi profit (large-scale trade); komoditi perdagangan bervolume besar dibawa melintasi suatu wilayah.
Merujuk kepada tipologi bentuk perdagangan di atas, maka perdagangan di pasar nagari di pedalaman Minangkabau masa lalu adalah berada pada tipologi ketiga, terutama untuk komoditi emas dan biji besi, dan barang kerajinan dari emas
90
dan besi, dan lainnya. Tetapi untuk komoditi hasil perkebunan setelah masa perluasan tanaman ekspor seperti kopi, kayu manis, maka tipologi perdagangan di pasar nagari (dari masa pra kolonial sampai sekarang) dapat dikategorikan pada tipologi keempat, karena sudah dilakukan dalam volume yang besar, berorientasi profit, dan dilakukan oleh pemodal besar, dan memiliki anggota kelompok (clique members) yang luas dari tingkat nagari sampai ke tingkat ekspor.
4.2. Struktur Sosial Masyarakat Pedalaman Minangkabau dan Kaitannya dengan Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Struktur sosial masyarakat Minangkabau berakar dari sistem matrilineal yang telah diterapkan sejak dulu. Ada dua aspek dari struktur matrilineal yang sangat relevan dengan ekonomi masyarakat nagari dan kaitannya dengan pasar nagari yakni: hubungan pertalian darah dan kaitannya dengan sistem produksi pertanian, dan hubungan pertalian darah dan kaitannya dengan sistem perkawinan (Khan, 1974:82). Sistem matrilineal masyarakat Minangkabau diperkuat oleh sistem pewarisan lahan yang berpusat kepada anak perempuan. Dalam konsepsi adat Minangkabau dikenal ada dua harta pusaka yakni harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah (Penghoeloe, 1971, dalam Manan, 1984, dan Khan, 1974:157). Harta pusaka tinggi adalah harta berupa lahan (sawah dan ladang) yang diperoleh secara turun temurun sesuai dengan garis keturunan ibu. Harta pusaka tinggi akan terbagi ke semua anak perempuan dalam satu keluarga inti. Anak lakilaki hanya memiliki hak untuk mengelola, memelihara, dan mengurus kalau terjadi sewa menyewa (pagang-gadai). Jika mengacu kepada sistem kepemilikan tanah (property right system), maka anak perempuan memiliki hak akses, hak pemanfaatan,
dan
hak
pengambilan.
Sedangkan
hak
untuk
mengelola
(management) diberikan kepada anak laki-laki. Harta pusaka tinggi pada dasarnya tidak memiliki hak untuk di jual (hak transfer) oleh siapapun; baik anak perempuan maupun anak laki-laki, kecuali dalam empat peristiwa: Pertama, apabila ada anak perempuan perawan yang belum mendapat jodoh, yang akan membuat malu keluarga dan kaumnya (lineage). Kedua, apabila tidak ada biaya untuk pengangkatan penghulu baru; biasanya membutuhkan biaya yang besar sekali, saat ini di butuhkan dana sekitar Rp 25 s/d 50 juta. Ketiga, apabila akan membangun
91
rumah adat yang baru karena sudah dimakan usia. Keempat, apabila terjadi kematian anggota keluarga kaum yang membutuhkan biaya pemakaman yang besar. Harta pusaka tinggi ini sering juga dimanfaatkan oleh keluarga kaum untuk di hibahkan bagi kepentingan umum, seperti untuk membangun mesjid/surau, membangun pasar nagari, membangun jalan, bahkan rumah sekolah, dan public services lainnya. Hal ini dilakukan terutama pada kaum keluarga yang memiliki harta pusata tinggi yang luas sedangkan anggota kaumnya banyak di dominasi oleh anak laki-laki (punah). Bahkan tidak jarang penggunaan harta pusaka tinggi di hibahkan untuk kepentingan umum, guna menjaga martabat keluarga kaum di tengah masyarakat nagari. Keadaan inilah yang ditemui dalam studi tentang pasar nagari di nagari Salimpaung, Rao-Rao, Tabek Patah, Sungai Tarab dan pasar nagari Baso. Harta pusaka rendah pada dasarnya adalah warisan yang diterima dari orang tua yang merupakan hasil pencaharian orang tua, bukan warisan kaum. Property berupa harta pusaka rendah inilah yang dapat diperjual belikan oleh si pewarisnya. Jika property ini berbentuk sawah atau kebun, maka sawah dan ladang inilah yang diolah oleh keluarga inti (nuclear family), untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka seperti bercocok tanam, menanam tanaman palawija, berkebun, menanam kayu manis, kopi, dll. Disamping adanya harta pusaka tinggi dan pusaka rendah, juga ada dikenal dengan hak kepemilikan ulayat (communal property right). Hak ini berupa lahan hutan atau lahan kosong yang ada pada suatu nagari. Pada nagari pedalaman, sering dijumpai dalam bentuk lahan hutan (rimbo larangan) yang merupakan batas antara perkebunan penduduk dengan lahan milik komunal atau kebun milik nagari. Rimbo larangan ini secara ekologis merupakan wilayah penyangga dan wilayah tangkapan air bagi sistem hidrologi wilayah nagari. Pada dasarnya dari rimbo larangan inilah sumber mata air dan hulu sungai yang mengairi sistem irigasi pada persawahan masyarakat suatu nagari di wilayah pedalaman. Pembukaan lahan perkebunan pada rimbo larangan secara perorangan dan kaum tidak diperbolehkan lagi (peraturan KAN), terkecuali pembukaan lahan untuk perkebunan nagari (ulayat nagari). Pembukaan lahan pada rimbo larangan ini di wilayah nagari Salimpaung, Rao-Rao, dan Tabek Patah terakhir adalah pada masa kolonial Belanda ketika menerapkan sistem Tanam Paksa kopi sekitar tahun 1830-
92
1870 (Graves, 1981). Pada saat sekarang kebun milik nagari ini telah ditanami kayu manis yang panennya dilakukan sekali dalam 5-10 tahun, dananya digunakan untuk pembangunan
nagari.
Sedangkan
pembukaan
lahan
sawah
sudah
tidak
memungkinkan lagi karena sempitnya lahan dan semakin bertambahnya jumlah penduduk, seperti yang digambarkan dalam tabel di bawah ini.
No
1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 3 Luas Lahan Sawah dan Kebun Sebagai Tanah Pusako di Setiap Nagari Pada Wilayah Penelitian Nagari Jumlah Luas Luas lahan Lainnya Luas Penduduk Lahan Perkebunan (ha) Total (KK) Sawah (ha) (ha) (ha) Nagari Salimpaung
4.671 210 (1.274) (17,07) Nagari Rao-Rao 3.221 240 (933) (32) Nagari Tabek Patah 3.185 160 (18,93) (712) Nagari Sungai Tarab 8.365 818 (2.075) (63,12) Nagari Tabek 9.025 378 Panjang/ Baso (2.033) (19,70) Sumber: Kecamatan Dalam Angka 2004, Data Diolah
606 (49,26) 117 (15,60) 570 (67,45) 209 (16,13) 616 (32,10)
414 (33,65) 393 (52,40) 115 (13,61) 269 (20,76) 925 (48,20)
1.230 (100) 750 (100) 845 (100) 1.296 (100) 1.919 (100)
Berdasarkan tabel 3 di atas, nagari-nagari di perbukitan seperti Salimpaung, Tabek Patah dan Baso luas lahan kering untuk perkebunan lebih dominan, terlihat pada nagari Salimpaung, luas lahan perkebunan berjumlah 606 ha (49, 26 persen), sedangkan luas lahan sawah hanya seluas 210 ha (17,07 persen). Hal yang sama juga terlihat pada nagari Baso/Tabek Panjang, luas lahan perkebunannya lebih besar dari luas lahan sawah yakni luas lahan perkebunan mencapai luas 616 ha (32,10 persen), sedangkan luas lahan sawah hanya 378 ha (19,70 persen). Sedangkan nagari Sungai Tarab merupakan nagari pada daerah dataran yang didominasi oleh luas lahan sawah yang mencapai luas 818 ha (63,12 persen) sedangkan luas lahan perkebunannya hanyalah mencapai 209 ha (16,13 persen). Jika dianalisis lebih dalam, nagari Salimpaung dengan jumlah penduduknya sebesar 4.671 jiwa (1.274 KK) berarti rata-rata luas garapan lahan sawah adalah hanya 0,2 ha per KK, sedangkan rata-rata luas garapan lahan perkebunan adalah 0,5 ha per KK. Oleh karena itu, mata pencaharian utama penduduk adalah bertani di
93
selingi dengan berladang. Kecilnya luas garapan rata-rata lahan sawah telah menyebabkan luas lahan sawah ini merupakan simbol bagi status sosial masyarakat nagari, semakin luas kepemilikan lahan sawah dan kebun dapat membuktikan bahwa keluarga dan kaum tersebut merupakan orang asal nagari tersebut. Namun karena kepemilikan lahan sawah dan kebun merupakan berdasarkan kepemilikan kaum atau penghulu (kolektif), maka berdasarkan jumlah suku yang ada di nagari Salimpaung yakni sebanyak 12 suku dengan jumlah kaum adalah sebanyak 113 kaum/penghulu. Maka jumlah kepemilikan lahan sawah per kaum di nagari Salimpaung adalah sebesar 1,1 ha per kaum, untuk luas lahan kebun adalah sebesar 5,4 ha per kaum. Kecilnya rata-rata kepemilikan lahan sawah dan ladang pada nagari-nagari di wilayah dataran tinggi ini, telah mendorong tradisi merantau masyarakatnya (Graves, 1981:19). Pada mulanya merantau dalam arti pergi ke wilayah supra nagari untuk mencari kekayaan dan sumber pendapatan lainnya, tetapi kemudian merantau telah dimaknai secara luas, bukan hanya mencari harta kekayaan, dan prestise di tengah masyarakat nagari, tetapi juga upaya untuk pengembangan diri dengan menuntut ilmu seperti bersekolah pada sekolah agama, sekolah umum, guna memperoleh pekerjaan yang permanen. Sehingga bagi seorang anak laki-laki di Minangkabau, karena tidak memperoleh hak atas harta pusaka kaumnya, maka untuk dapat diakui menjadi lelaki dewasa, maka ia harus merantau untuk mencari harta
dan
ilmu
pengetahuan
yang
dapat
dia
gunakan
sebagai
sumber
pendapatannya. Apakah dengan membeli lahan sawah baru, bekerja pada luar sektor pertanian, dan lain sebagainya. Bagi keluarga Minangkabau yang memiliki harta pusaka dan warisan sawah dan ladang yang luas, merantau juga menjadi tradisi bagi anak laki-lakinya. Tetapi merantau disini lebih ditekankan pada pencaharian ilmu pengetahuan baru untuk dapat dipergunakan sebagai sumber pencaharian nafkah atau kedudukan baru di tengah masyarakat. Kedudukan sebagai ulama, cerdik-pandai merupakan posisi baru ditengah masyarakat Minangkabau setelah kedatangan Islam. Pekerjaan sebagai guru mengaji, ulama di Surau merupakan kedudukan dan prestise baru di tengah masyarakat nagari. Inilah bentuk eksistensi laki-laki di Minangkabau dapat diakui sejajar dengan kedudukan Datuak/penghulu dan jabatan adat lainnya.
94
Jadi sistem matrilineal yang dipraktekkan dalam masyarakat Minangkabau yang lebih memberikan porsi yang besar bagi anak perempuan dalam penguasaan dan kepemilikan lahan sawah dan lahan perkebunan, telah mendorong lahirnya tradisi merantau, dan telah membuat anak lelaki di Minangkabau lebih dinamis, terbuka terhadap kemajuan dari luar, dan perubahan sosial yang terjadi. Berkembangnya ilmu pengetahuan keagamaan Islam pada tahap awal, telah melahirkan posisi dan peranan baru anak laki-laki di tengah masyarakat nagarinya, baik sebagai ulama, guru ngaji di surau, malin, manti dan lain sebagainya. Sehingga dalam suatu periode setelah kemenangan gerakan paderi, pertengahan abad ke 19 pengaruh dan kedudukan tokoh agama ini lebih populer dibandingkan dengan kedudukan dan ketokohan Penghulu/Datuak. Dari segi ekonomi, setelah Belanda berhasil menaklukkan gerakan Paderi tahun 1837, maka dimulai perkembangan baru di wilayah pedalaman Minangkabu, untuk keperluan administrasi pemerintahan Belanda, terutama pekerjaan-pekerjaan juru timbang, mandor perkebunan kopi, dan tanaman ekspor lainnya, maka Belanda memperkenalkan sekolah sekuler kepada masyarakat nagari. Bagi masyarakat Minangkabau, kesempatan ini adalah peluang kedua untuk dapat keluar dari kesulitan sempitnya lahan pertanian dan membuka kesempatan kerja baru di luar sektor pertanian yang memang tersedia terbatas buat mereka. Maka tradisi merantau semula sebagai upaya untuk mencari kekayaan dan jenis pekerjaan di luar sektor pertanian, sekarang merantau juga bertujuan untuk mengikuti sekolah sekuler yang didirikan Belanda untuk menyiapkan tenaga administrasi di wilayah-wilayah perkebunan yang baru dibuka. Sistem matrilineal yang dipraktekkan di Minangkabau telah membantu mengatasi kesulitan sistem produksi pertanian masyarakat, terutama sistem pertanian padi sawah yang umum dilakukan di nagari-nagari pedalaman Minangkabau. Sempitnya lahan pertanian sawah basah karena kondisi topografi dan geografi wilayah pedalaman telah mendorong aktifitas ekonomi penduduknya untuk mengembangkan sistem mata pencaharian di luar sektor pertanian padi sawah. Pada mulanya berkembang mata pencaharian mendulang emas, dan biji besi disamping pertanian padi sawah pada wilayah-wilayah aliran sungai besar. Sehingga melahirkan mata pencaharian masyarakat di luar sektor pertanian, seperti kerajinan emas, perak, perkakas dari besi dan lain sebagainya.
95
Kesulitan dan kurangnya lahan subur untuk sistem pertanian padi sawah, telah mendorong masyarakat Minangkabau untuk kreatif menciptakan sumbersumber mata pencaharian baru di luar sektor pertanian. Maka usaha berdagang komoditi yang laku di pasaran dunia merupakan bentuk pekerjaan baru di samping pekerjaan di sektor pertanian. Pekerjaan berdagang sudah merupakan alternatif dalam mengatasi sistem produksi pertanian yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang semakin bertambah. Pengguasaan jalur perdagangan untuk komoditi yang laku di pasaran merupakan aktifitas ekonomi yang memberikan harapan (expectation) bagi kedudukan anak-laki-laki di Minangkabau, untuk memperoleh hak-haknya di tengah masyarakat. Berdagang dan merantau merupakan pekerjaan alternatif yang sudah membudaya sejak dahulu dalam mengatasi pola pewarisan yang tidak menguntungkan posisi mereka. Menjadi pedagang juga merupakan kesempatan untuk mensejajarkan diri dengan orang-orang asal nagari yang menguasai lahan sawah dan ladang yang luas. Keuntungan perdagangan yang besar karena perdagangan dilakukan ke luar supra nagari, terutama komoditi yang laku di pasaran dunia, telah digunakan untuk menaikan atau memperkuat status sosialnya ditengah masyarakat nagari. Bahkan pada saat sekarang, dengan semakin besarnya keuntungan yang diperoleh dari aktifitas perdagangan karena mampu menghubungkan wilayah produsen dengan pedagang tingkat eksportir di kota-kota pelabuhan Minangkabau seperti Padang, Padang Pariaman, Painan, dan Salido, Pekanbaru, Dumai sebagai kota Pelabuhan di pantai Timur Sumatera, sehingga harta kekayaan yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk membangun rumah adat baru, upacara pengangkatan penghulu baru, membuka lapangan usaha keluarga seperti toko-toko kelontong di pasar nagari, disamping memperbanyak modal usahanya (akumulasi modal). Bahkan, kedudukan para pedagang ini ditengah masyarakat nagari sebagai orang kaya baru, telah mampu menyaingi pamor atau kedudukan para Penghulu/Datuak serta ulama. Sehingga pada saat sekarang, pekerjaan sebagai pedagang juga dilakoni (dilakukan) oleh para Penghulu/Datuak. Selanjutnya, kaitan sistem matrilineal dengan sistem perkawinan masyarakat nagari di Minangkabau dapat diungkapkan dengan konsep perkawinan setali darah; dalam hal ini adalah perkawinan antara anak laki-laki Minangkabau dengan anak
96
perempuan mamaknya (pamannya). Perkawinan ini pada mulanya dianggap ideal, adalah karena untuk memelihara harta pusaka tidak jatuh ke tangan kaum lain, terutama memperkuat peran anak laki-laki dalam mengawasi dan mengelola harta pusaka (Property right) kaum.
Keadaan ini berlangsung ketika peran suami di
Minangkabau tidak lebih dari sekedar penerus keturunan belaka, sedangkan urusan pengolahan dan aktifitas pertanian menjadi tanggung jawab saudara laki-laki ibu. Pada saat sekarang, peran saudara laki-laki ibu (mamak) semakin bergeser dan berkurang, seiring dengan adanya kecenderungan menetap dengan sistem keluarga inti. Sehingga seorang bapak menjadi bertanggung jawab sepenuhnya kepada anak-anaknya, mengantikan peran mamak. Hal ini lebih didorong oleh pola menetap yang cenderung pada keluarga inti, bukan lagi pola menetap dengan keluarga besar (extended family) di rumah gadang (rumah adat). Artinya, terjadinya perubahan ini, yakni pergeseran peran mamak (paman) atau kaum lelaki di Minangkabau, sangat erat kaitannya dengan sistem mata pencaharian dan pola merantau yang dilakukan (lihat Naim, 1984). Merantau
sebagai
upaya
untuk
mencari
ilmu
pengetahuan
dan
mengumpulkan harta agar dapat diakui sebagai orang dewasa, dengan memasuki usia perkawinan. Sehingga seorang anak laki-laki yang telah matang dengan ilmu pengetahuan dan memiliki harta benda dalam artian mata pencaharian yang cukup baru dapat hidup ditengah-tengah masyarakat Minangkabau. Tetapi peran tradisionalnya sebagai orang ”sumando” yang semula hanya sebagai ” abu di atas tungku” (tidak kokoh) di rumah keluarga istrinya, mulai berubah seiring dengan semakin menguatnya peran lelaki Minangkabau dalam mencari harta kekayaan melalui merantau. Apalagi jika keluarga istri sangat tergantung keuangannya pada sang suami (menantu). Aktifitas merantau lelaki Minangkabau di samping mencari ilmu pengetahuan juga sangat terkait dengan profesi berdagang atau menjadi pedagang keliling antar nagari. Perantauan yang dilakukan ke luar wilayah nagari, bahkan sampai wilayah pesisir; pada mulanya, kota-kota pelabuhan telah memberikan wawasan baru dan pengetahuan baru bagi anak laki-laki Minangkabau, sehingga dengan bekal pengetahuan dan wawasan yang bertambah luas itulah, anak laki-laki di Minangkabau dapat kembali ke tengah masyarakat nagarinya untuk menempati kedudukan sebagai kaum cerdik-pandai dan orang kaya nagari. Keadaan ini
97
memudahkan bagi anak laki-laki Minangkabau untuk mendapatkan jodohnya, terutama dengan orang asal nagari. Artinya sistem merantau telah memungkinkan terjadinya mobilitas sosial yang tinggi dan memungkinkan semakin lemahnya sistem differensiasi sosial yang tercipta selama ini berdasarkan orang asal nagari dengan orang pendatang. Sehingga pada akhirnya sistem merantau dan keterkaitannya dengan sistem perkawinan ini telah mendorong masyarakat Minangkabau kearah masyarakat yang semakin terbuka dan demokratis. Sistem matrilineal yang berkembang telah memungkinkan terjadinya pola hidup merantau, telah mendorong berubahnya pola sistem perkawinan ideal masyarakat Minangkabau dari perkawinan antar keluarga luas (extended family) yakni perkawinan dengan anak mamak, kepada perkawinan antar nagari dengan adanya tradisi orang jemputan 4 . Tradisi orang jemputan ini, telah mendorong terjadinya perkawinan lintas kelas-kelas sosial yang ada di tengah masyarakat Minangkabau, percampuran antara dua kelarasan Koto-Piliang dengan BodiCaniago,
sehingga
mendorong
kepada
pembauran
kekuatan
politik
yang
sebelumnya merupakan saling berseberangan. Boleh dikatakan sistem matrilineal yang
melahirkan tradisi merantau; yang melahirkan jenis pekerjaan baru yakni
perdagangan sebagai alternatif dari sektor pertanian, dan tradisi orang jemputan inilah yang mendorong sistem sosial budaya masyarakat Minangkabau lebih bergerak ke arah demokratis. Artinya, berkembangnya pola-pola perdagangan antar nagari di pasar telah menjadi faktor pendorong terjadinya demokratisasi di pedalaman Minangkabau.
4.3. Nagari Sebagai Kesatuan Sosial Ekonomi dan Sosial-Budaya Masyarakat Minangkabau Pesatnya perdagangan emas dan biji besi dalam sejarah awal masyarakat Minangkabau memperlihatkan bahwa adanya aktifitas perekonomian yang berpusat di tengah masyarakat yang telah teratur dan terpola dengan baik. Masyarakat
4
Orang Jemputan adalah istilah yang diberikan kepada mempelai pria yang menikah dengan dijemput atau diberikan uang oleh pihak keluarga perenpuan, karena mempelai pria ini adalah orang sukses dalam merantau (berilmu pengatahuan dan banyak harta). Untuk kajian orang jemputan lebih jauh lihat Chatra, 2005).
98
Minangkabau hidup dalam sebuah territorial nagari yang merupakan suatu kesatuan wilayah hukum adat yang memiliki aturan dan sistem perekonomian sendiri. Nagari sebagai kesatuan sosial ekonomi dan budaya sangat terkait dengan sistem kekerabatan matrilineal yang terhimpun dalam berbagai suku, dan sistem pemeliharaan dan penguasaan tanah. Kedua aspek ini merupakan hal yang fundamental dalam sebuah nagari di Minangkabau. Formasi sebuah nagari dibentuk berawal dari berkembangnya beberapa suku yang menetap pertama sekali pada sebuah dusun, taratak, koto, dan akhirnya menjadi sebuah nagari (OKI, 1977). Dusun dibentuk berdasarkan kumpulan ladang yang diolah pertama sekali oleh orang asal nagari. Pada mulanya mereka dijuluki dengan ”orang dangau” (orang Ladang); karena mendirikan pemukiman di sekitar ladang mereka. Oleh karena semakin berkembangnya ladang, terutama disebabkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk yang memungkinkan pembangunan dan pembukaan lahan pemukiman baru, telah menyebabkan dusun semakin ramai, sehingga terbentuk Taratak. Taratak berkembang menjadi sebuah Koto yang pada akhirnya menjadi sebuah nagari. Perluasan dusun yang pada akhirnya menjadi sebuah nagari dengan segala kelengkapannya telah didorong oleh: pertama, bertambahnya jumlah penduduk sehingga memerlukan perluasan wilayah nagari dengan membuka daerah baru. Kedua semakin kompleksnya sistem perekonomian, seperti terbentuknya pasar nagari bagi penyediaan kebutuhan sehari-hari penduduk, dan sebagai pemasaran hasil pertanian penduduk Koto dan Taratak. Pada keadaan sekarang tidak memungkinkan lagi untuk memperluas wilayah nagari dengan membuka hutan baru, oleh sebab itu untuk mengantisipasi dinamika masyarakat Minangkabau yang terus berkembang dalam segala aktifitasnya, maka untuk solusinya, dengan sistem merantau dengan pekerjaan
utama sebagai
pedagang dan sudah melembaga (lihat Naim, 1984, juga Graves, 1981:19). Ini berarti meningggalkan kampung halaman untuk menetap di luar nagari terutama di kota-kota dengan tujuan tidak hanya mencari nafkah tetapi juga menambah ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna nantinya setelah kembali ke nagarinya. Nagari diperintah dan diatur oleh lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang anggotanya terdiri dari himpunan kepala suku yang mewakili sukunya masing-
99
masing dan kepentingan kaumnya. Dalam menjalankan roda pemerintahan, pemerintahan nagari ini berpedoman kepada hukum adat Minangkabau (Manan, 1995), yang mengatur tugas seorang penghulu sebagai kepala nagari dan mengatur pengelolaan nagari dan pengunaan sumberdaya ekonomi seperti sumberdaya alam, sistem penggunaan tanah, sistem pajak nagari, pengelolaan pasar, sistem perkawinan dan lain sebagainya. Segala
keputusan
penting
yang
menyangkut
dengan
kesejahteraan
masyarakat nagari selalu diputuskan di lembaga KAN yakni melalui sidang-sidang KAN yang dihadiri oleh seluruh penghulu kepala suku yang menjadi anggota KAN, sehingga kepentingan masing-masing kaumnya dapat terwakili. Apalagi orang yang diangkat dan ditunjuk oleh kaumnya menduduki pimpinan kepala suku merupakan orang pilihan yang sudah “dituahi dicilakoi” (dilakukan fit and proper test), artinya sudah dikaji buruk baiknya, sehingga kepemimpinannya benar-benar berkualitas dan dapat menyuarakan aspirasi dan kepentingan kaumnya dalam musyawarah nagari. Disamping adanya KAN yang berfungsi sebagai lembaga legislatif, nagari juga dilengkapi oleh lembaga eksekutif yakni wali nagari, kepala jorong, kepala dusun
dan
orang
nan
empat
jinih 5 ,
semuanya
mencerminkan
struktur/pengorganisasian pemerintahan nagari. Wali nagari dipilih oleh KAN yang diajukan oleh masing-masing anggota KAN tersebut. Sebagai kesatuan sosial ekonomi, maka nagari juga memiliki aturan dan sistem perekonomian masyarakat nagari yang bersumber pada sistem kepemilikan tanah dan sistem kekerabatan matrilineal. Sistem perekonomian nagari tercermin dalam keberadaan pasar nagari yang berada di bawah kontrol pemerintahan nagari. Pasar dikelola dan dilaksanakan oleh seorang yang ditugaskan sebagai ”kapalo balai atau tuo balai” (penghulu pasar) yang dibantu oleh beberapa orang petugas sebagai ”tuo payuang” (penghulu payung), petugas kebersihan pasar nagari, ”tukang beo” (tukang pungut retribusi terhadap barang-barang yang diperjual belikan di
5
Orang empat jinih adalah sebutan bagi petugas pemerintahan nagari yang bertugas menjalankan upacara dan ritual keagamaan dan perhelatan nagari. Ke empat jabatan itu adalah: malin, manti, dubalang, dan bundo kanduang. Malin bertugas menyelenggarakan upacara dan peribadatan keagamaan seperti berdoa, memungut iyuran keagamaan lainnya. Manti bertugas mewakili penghulu dalam urusan administrasi dan urusan umum, dubalang bertugas menjaga keamanan korong dan kampuang, sedangkan bundo kanduang bertugas menjalankan tata cara adat dalam berbagai peristiwa sosial budaya seperti pesta perkawinan, kematian.
100
lokasi pasar tersebut, dan tukang penjaga kemananan yang diambil dari kaum ”parewa” 6 di nagari tersebut. Kapalo balai merupakan seorang penghulu, sehingga lazim di sebut sebagai penghulu pasar yang bertanggung jawab langsung kepada KAN (Dobbin, 1983,1992). Ia bertanggung jawab terhadap kelancaran pelaksanaan hari pasar di nagari tersebut, terutama keamanan dari pengutan liar dan pencurian terdahap barang-barang si pedagang dan pengunjung pasar. Ramai atau tidaknya pasar nagari yang dikunjungi oleh pedagang supra nagari terkadang juga ditentukan oleh jaminan keamanan bagi para pedagang dan pembeli di pasar tersebut. Jadi tugas utama penghulu pasar adalah mengatur agar pasar berjalan baik, terutama dengan menetapkan los-los tertentu seperti los kain, los ikan, los makanan, los barang dagangan pertanian, los “bantai” (daging) dan lain sebagainya. Pada masing-masing los ini dikepalai oleh seorang yang bertugas memungut pajak dan iyuran lainnya. Sebuah nagari juga tidak hanya mencerminkan sebuah tatanan masyarakat hukum adat. Tetapi nagari juga mengacu kepada tatanan ekonomi masyarakat, karena pada dasarnya nagari memiliki otonomi penuh sebagai sebuah lembaga sosial ekonomi masyarakat (social economic of body) (Oki, 1977:7). Paling kurang ada tiga aspek yang melekat dalam sebuah nagari sebagai republik-republik kecil yakni: 1. Nagari sebagai sebuah sistem sosio kultural 2. Nagari sebagai sebuah organisasi politik, hukum, dan kekuasaan 3. Nagari sebagai organisasi ekonomi masyarakat yang memiliki aturan dan normanorma tersendiri yang berbeda pada setiap nagari. Sebagai sebuah lembaga sosial ekonomi masyarakat, nagari memiliki kekuasaan untuk mengontrol sumberdaya ekonomi (resources economic) terutama sumberdaya alam seperti hak atas penguasaan tanah, baik hak ulayat tanah nagari maupun hak ulayat tanah suku/kaum. Di samping sebagai sebuah lembaga ekonomi, nagari juga memiliki kekuasaan dan kontrol atas produksi pertanian masyarakat melalui mekanisme sistem perpajakan, dan jual beli hasil tanaman 6
Parewa adalah sebutan untuk orang “bagak kampung” di Minangkabau, dimana sebutan ”bagak” (berani) yang melekat pada dirinya di dapat dari kemampuannya atau penguasaanya terhadap ilmu beladiri (pencak silat) sehingga bila terjadi keributan di tengah kampung atau di pasar nagari, orang ”bagak” atau parewa inilah yang bertugas menyelesaikan perselisihan tersebut (wawancara dengan Ketua KAN, tanggal 14 April, 2006)
101
maupun sumberdaya alam lainnya seperti hasil hutan, kayu, hasil tambang dan galian lainnya yang ada di nagari tersebut. Setidaknya ada 9 sumber pajak nagari yang merupakan sumber keuangan pemerintahan nagari sejak masa kolonial Belanda yang sebagian masih dilakukan pungutan sampai sekarang yakni: 1. Uang adat (money required by customary law) 2. Bunga tanah (land tax) 3. Bunga kayu (forest tax ) 4. Uang ladang (tax on non irigated field) 5. Isi adat memukat, adat pekarongan (fishing tax) 6. Isi adat Garam (salt tax) 7. Pajak buruan binatang liar berkaki empat (tax on hunting of wild quadrupeds) 8. Uang Pasar (market tax), pajak bantai (slaughter tax) 9. Uang denda, iyuran dan wakaf. (Oki, 1977:19 dan Manan, 1995:26, cf. Damsar, 2005, 50-51).
Semua sumber keuangan nagari ini menjadi sumber pemasukan bagi kas nagari, yang dimasa Belanda pungutan sangat intensif sekali. Namun saat sekarang berbagai macam pajak tidak lagi dipungut seperti pajak bunga kayu, bunga ladang, pajak buruan binatang liar, tetapi untuk berbagai jenis pajak sebagai sumber pendapatan nagari lainnya seperti pajak bantai, pajak pasar (beo) uang adat, uang lompat pagar/pencucian embun, masih dipungut sampai saat sekarang. Beberapa sumber pendapatan nagari lainnya adalah pendapatan yang diperoleh dari asset nagari seperti kebun nagari, sumbangan para perantau asal nagari, kontribusi pemerintahan lokal pada tingkat pemerintahan jorong/desa dahulu, uang adat, dan sumber pendapatan lainnya yang disahkan secara hukum (LKAAM, 1996). Kontrol nagari atas kepemilikan dan penguasaan tanah dapat dilihat pada konsepsi adat Minangkabau atas sistem property right atas tanah. Tanah nagari yang terdiri dari hutan, perbukitan, danau, sungai, lahan pertanian, dan area pemukiman, secara tradisional menurut adat ada 2 jenis, yakni: hutan tanah tinggi atau pusako tinggi (uncultivated land), dan hutan tanah rendah atau pusako rendah (cultivated land).
102
Hutan tanah tinggi biasanya juga disebut dengan tanah ulayat nagari (communal property) pada mulanya merupakan tanah cadangan untuk memperluas wilayah pemukiman sebuah nagari. Hutan tanah tinggi ini adalah terdiri dari lahan pergunungan, perbukitan, lembah, danau, sungai, dan daerah rawa-rawa. Sistem kepemilikannya merupakan milik masyarakat komunal nagari. Pada nagari yang mengikuti tradisi koto piliang, maka tanah ulayat ini dimiliki oleh seluruh masyarakat nagari, sementara itu dalam tradisi bodi caniago, hutan tanah tinggi ini dimiliki oleh suku atau kaum yang menjadi kelompok asal nagari, pengolahannya menjadi wewenang utama penghulu pucuak/andiko. Tanah pusako di tengah masyarakat Minangkabau juga memiliki makna sebagai identitas kultural (Damsar, 2005:43). Seseorang yang mengaku sebagai orang Minangkabau harus dapat menunjukkan identitas dirinya yang terkait dengan empat hal yakni “bakorong bakampuang, batapian batampek mandi, basasok bajarami, bapandam bapakuburan”. Artinya pertama mampu menunjukkan suku dan nagari asalnya, kedua: mampu menunjukkan sawah ladang sebagai tanah pusako, ketiga: mampu menunjukkan sumber air bagi kesehatan lingkungannya, keempat: mampu menunjukkan tanah perkuburan kaum kerabatnya sebagai pemukiman nenek moyang mereka. Sengketa tanah pusako timbul kalau ada pihak yang mengklaim sawah ladangnya bukan diperoleh dari pola pewarisan yang jelas. Artinya, tanah pusako merupakan juga perekat sistem kekerabatan matrilinial di Minangkabau atau perekat sosial (Damsar, 2005). Sehingga makin dekat seseorang ke ikatan pertalian kekerabatan seperti: samande (satu ibu yang melahirkan), saparuik (satu nenek), saniniak (satu eyang), sakaum (satu penghulu/rumah gadang), sasuku (satu keturunan), sanagari (satu nagari), maka semakin jelas hak kepemilikan tanah pusakonya, demikian sebaliknya. Sehingga tanah pusako sa nagari (pusako hutan tanah tinggi) sering menjadi ajang persengketaan, karena semakin besarnya jumlah anggotanya yang merasa berhak memiliki. Pada saat sekarang sengketa mengenai hak kepemilikan tanah di wilayah Minangkabau kebanyakan menyangkut dengan tanah pusako tinggi atau lebih dikenal dengan hak ulayat nagari.
Sengketa timbul karena kesulitan dalam
menentukan tradisi politik yang diikuti oleh nagari yang bersangkutan. Sebab apabila tradisi politik disebuah nagari adalah tradisi koto piliang, maka semua kaum dan suku yang ada di nagari tersebut memiliki hak atas tanah ulayat tersebut, sehingga
103
saling klaim dan caplok sering terjadi. Umumnya kericuhan ini terjadi di nagari dengan tradisi koto piliang, karena semua anggota suku atau kaum merasa berhak atas tanah ulayat nagari, siapa yang paling dahulu mengolah dan membukanya, maka sukunya yang berhak mengklaim menguasainya. Sebaliknya pada tradisi politik bodi caniago, tanah ulayat nagari hanyalah dikuasai dan diolah oleh suku asal nagari (ancestral). Suku-suku pendatang yang kemudian menetap di nagari tersebut tidak memiliki hak atas kepemilikan dan penguasaan tanah ulayat. Hutan tanah rendah atau lahan yang sudah digarap dan dimanfaatkan (pusako rendah) sistem kepemilikannya berada di bawah wewenang suku/kaum dan menjadi harta pusaka yang turun temurun dari suatu suku atau kaum. Sebagai pimpinan dari kelompok ini, maka penghulu pucuak (pada koto piliang) dan penghulu andiko (pada bodi caniago) adalah merupakan pemegang kekuasan tertinggi dalam pengelolaan tanah pusako rendah ini. Dengan merujuk kepada adat, maka sebenarnya tidak ada tanah di wilayah Minangkabau yang tidak bertuan atau tidak jelas property rightnya. Semua lahan mulai dari tanah hutan, perkebunan, padang rumput, bukit pasir/batu, dan segala sesuatu yang ada di permukaan bumi (termasuk “janggi nan sabatang”) semuanya adalah kepunyaan Penghulu/Datuak dari suatu kaum (Nasrun, 1957: 180, dalam Manan, 1984). Jadi, ada dua tipe kepemilikan tanah yang diakui di Minangkabau yakni: pertama, hak kepemilikan individual (individual property right) biasanya berupa lahan yang dibeli oleh individu (keluarga) yang biasanya digunakan untuk membangun rumah untuk keluarga inti, diluar keluarga besar (saparuik) atau setelah penghuni rumah gadang menjadi semakin banyak. Kedua, adalah hak kepemilikan bersama (communal property right) merupakan tanah pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh keturunan kelompok orang asa nagari, tanah ini sering berupa perbukitan, lahan rawa, pergunungan, goa-goa, lembah, sungai dan lahan danau dan sekitarnya, termasuk juga lokasi lapangan bermain, pasar nagari, tepian mandi, Surau/Musholla, jalan utama nagari, semuanya itu merupakan lahan yang dimiliki secara bersama oleh suku asal di suatu nagari. Izin pemanfaatannya secara individual harus diperoleh dari penghulu pucuk/andiko tetapi tidak boleh dimiliki secara pribadi atau kaum, tetapi dapat diwarisi oleh anggota kaum atau suku asal di nagari tersebut. Dengan kata lain masyarakat Minangkabau menyadari bahwa setiap
104
“jengkal tanah” (parcel) sudah ada pemiliknya, cuma saja belum ada sistem pendaftaran tanah yang baik dilakukan oleh masing-masing suku/kaum, bahkan antar nagari itu sendiri. Sebaliknya, perselisihan batas tanah antar suku dalam nagari jarang terjadi, terkecuali pada tanah-tanah yang telah menjadi hak milik individual, untuk tanah hak milik komunal di dalam suatu nagari jarang terjadi perselisihan, karena jika terjadi perselisihan, maka masing-masing suku yang bertikai akan kembali membuka tambo lama untuk menentukan suku-suku mana yang merupakan suku asal nagari (Wawancara dengan Ketua KAN, tanggal 14 April 2006). Biasanya suku-suku pendatang sudah tahu diri saja, apalagi dari nama-nama gelar penghulu yang diberikan kepada suku-suku pendatang biasanya merupakan perpanjang dari nama suku asal, misalnya gelar penghulu Datuak Sinaro dari suku Caniago, maka jika anggota suku pengembangannya setelah semakin besar akan bergelar Datuak Sinaro Batuah atau Datuak Sinaro nan Hitam. Maka dapat ditentukan bahwa orang asal nagari adalah anggota kaum Datuak Sinaro, sedangkan anggota kaum atau suku Datuak Sinaro Batuah atau Sinaro nan Hitam merupakan anggota suku/kaum pendatang setelah anggota kaum Datuak Sinaro. Oleh karena itu yang berhak atas lahan milik komunal nagari pertama sekali adalah kaum/suku Datuak Sinaro. Artinya, apabila terjadi sengketa tanah pada masyarakat nagari tersebut biasanya dapat diselesaikan secara adat dengan mengurut asal usul suatu kaum atau suku yang bersangkutan. Berdasarkan uraian diatas, dapat dikatakan bahwa sistem kepemilikan tanah di Minangkabau selalu mengacu kepada aturan atau adat istiadat Minangkabau yang berpusat pada sistem matrilineal itu sendiri, yang aturannya sudah tidak boleh dirubah (indak lapuak dihujan, indak lakang dek paneh), jika terjadi perubahan pada sistem hak-hak kepemilikan tanah ini akan membawa kepada ketidak teraturan (disorder). Selanjutnya,
dalam
kaitannya
dengan
proses
pengalihan
hak-hak
kepemilikan tanah di Minangkabau, sebenarnya ada empat cara yang dapat dilakukan yakni: 1). Hak atas tanah diperoleh melalui harta pusaka dari garis keturunan ibu. Sehingga setiap anak perempuan akan memperoleh bagian dalam sistem pewarisan harta
105
pusaka tua ini. Semakin banyak jumlah anak perempuan, maka semakin terbagibagi harta pusaka tua kaumnya. 2). Hak atas tanah diperoleh melalui pembelian atau membayar kembali (dituri) tanah kaum yang telah digadaikan kepada anggota suku atau kaum lain di dalam nagari tersebut. Tanah kaum yang sudah digadaikan kepada kaum lain masih dapat dibayarkan lagi oleh anggota kaum lain yang telah memiliki uang kembali. Sehingga pada dasarnya tanah-tanah milik suatu kaum tidak pernah berkurang sampai kapanpun, karena suatu masa ketika anggota suatu kaum telah memperoleh uang yang cukup akan berhak melakukan pembayaran kembali tanah-tanah yang pernah digadaikan oleh para pendahulu mereka, kecuali kalau tanah itu sudah diperjual belikan, maka tidak dapat dibeli lagi oleh kaumnya kelak dikemudian hari. Oleh sebab itu sudah menjadi lazim ditengah masyarakat Minangkabau untuk melakukan pengalihan hak kelola atas lahan dengan mengunakan aturan pagang gadai. Pengalihan hak atas tanah dengan jalan jual beli, hanya dilakukan pada tanah-tanah milik individual, jarang terjadi pada tanah milik suatu kaum. 3). Hak atas tanah diperoleh melalui pembukaan lahan hutan yang belum ditanami dan diolah (cancang latiah) oleh anggota suku/kaum. Pada kondisi saat sekarang pada nagari pedalaman pembukaan lahan dengan cara membuka lahan baru (manaruko) sudah jarang terjadi terutama di wilayah penelitian, karena tanah-tanah ulayat ini umumnya telah menjadi hutan lindung (rimbo larangan) sebagai penyangga ekosistem lingkungan alam nagari. Nagari-nagari pedalaman umumnya terletak di perbukitan dan lereng-lereng gunung, sehingga semenjak dahulu selalu ada ketentuan adat bahwa pembukaan lahan untuk perkebunan sampai jauh ke puncak bukit atau gunung sudah mulai dibatasi. Bagi yang melanggar atau atau dianggap merusak alam akan dikenakan pajak dan denda yang tinggi. 4). Hak atas tanah diperoleh melalui hibah oleh anggota kaum/suku yang tidak memiliki garis keturunan perempuan, biasanya pemberian hibah ini diberikan kepada kemenakan saparuik (se rumah gadang). Sengketa akan timbul apabila harta peninggalan ini akan diberikan kepada anaknya. Penerimaan hak atas tanah oleh generasi berikutnya lebih disukai sebagai hak atas tanah sebagai pembelian oleh orang tua, karena pembelian oleh orang tua
106
lebih aman dari sengketa tanah dari pada pemberian oleh warisan kaum atau suku. Biasanya seorang laki-laki di Minangkabau akan berusaha untuk membeli sebidang tanah untuk anaknya guna membangun rumah kediaman keluarga intinya. Jika hal itu dilakukan berarti ia telah memperkaya pihak kaum istrinya, tanpa menganggu harta pusaka dari kaumnya sendiri. Keadaan ini adalah kondisi yang ideal yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki di Minangkabau, sebab jika ia menggunakan tanah kaumnya untuk memperkaya keluarga kaum istrinya, maka akan menimbulkan kondisi yang tidak menyenangkan dalam relasi-relasi interpersonal di dalam suku. Apalagi kalau seorang laki-laki sampai menjual tanah milik kaumnya, untuk kepentingan ekonomi kaum istrinya, maka hal ini dianggap sebagai suatu yang tabu untuk dilakukan, kecuali anggota keluarga yang perempuan tidak ada lagi. Dalam konteks yang lebih umum, pengalihan hak atas tanah di Minangkabau lebih disukai pada sistem “pagang-gadai”, karena dengan sistem “pagang-gadai” telah memungkinkan hak-hak milik atas tanah akan tetap berada pada kaum/suku yang bersangkutan sepanjang anggota kaum atau suku mampu menebusnya apabila telah memiliki kemampuan. Prinsipnya hak atas tanah di wilayah nagari tidak jatuh kepada nagari lain, generasi berikutnya dapat lagi menebusnya, apabila ada kesempatan. Itulah sebabnya lahan milik kaum sebenarnya relatif tetap di Minangkabau.
4.4. Sistem dan Pola-Pola Aktifitas Pertanian: Pertanian Padi Sawah dan Perkebunan Kayu manis Saat Sekarang Provinsi Sumatera Barat terletak antara 0 54’ LU dan 3 30’ LS serta 98 36’ dan 101 53 BT. Wilayah ini memiliki luas 42.229,64 km2, atau setara dengan 2,17 persen dari luas Indonesia. Secara administratif, provinsi ini terdiri atas 12 kabupaten, 8 kota. Diantara 20 kabupaten dan kota, Kabupaten kepulauan Mentawai memiliki wilayah terluas yaitu 6.011,4 km2, sedangkan kota Padangpanjang merupakan daerah dengan luas terkecil yaitu 23 km2. Kondisi alam Sumatera Barat sebagian besar terdiri dari kawasan hutan yang mencapai sekitar 60 persen dari luas keseluruhan. Sedangkan lahan yang sudah termanfaatkan untuk budidaya pertanian baru tercatat sekitar 25 persen. Lahan yang digunakan untuk pertanian dan perkebunan masing-masing meliputi 5,59 persen dan 7 persen dari luas wilayah Sumatera Barat yang sebagian besar wilayahnya masih
107
didominasi hutan yang meliputi 65,84 persen dari total wilayah. Pada tahun 2005 jumlah lahan hutan wilayah Sumatera Barat adalah seluas 24.877.036 ha, dari luas lahan hutan ini dipergunakan untuk lahan perkebunan seluas 8.990.653 ha (36,1 persen), selebihnya adalah hutan lindung, memang wilayah Sumatera Barat yang memiliki topografi yang relatif bergelombang, maka kawasan hutannya lebih banyak di pertahankan untuk hutan konservasi. Di sisi lain, juga disebabkan oleh lahan hutan dianggap sebagai hak ulayat nagari, sehingga pemanfaatannya untuk perkebunan besar yang dikelola oleh pihak swasta agak mengalami kesulitan. Dilihat dari luas lahan sawah provinsi Sumatera Barat tahun 2005 adalah seluas 256.402 ha, hanya sebesar 6,1 persen dari luas keseluruhan Sumatera Barat. Kabupaten yang memiliki luas lahan sawah terluas adalah kabupaten Pesisir Selatan seluas 35.158 (13,7 persen), kabupaten Agam seluas 29.594 ha (11,5 persen), kabupaten Pasaman Barat dan Solok masing-masing seluas 25.508 ha (9,9 persen) dan 25.047 ha (9,8 persen). Terakhir adalah kabupaten Tanah Datar seluas 23.173 ha (9%). Namun demikian, jumlah produksi padi sawah terbesar adalah kabupaten Solok seluas 251.212 ton (13,2 persen) dan kabupaten Pesisir Selatan seluas 246.222 ton (12,9 persen). Sedangkan kabupaten Tanah Datar jumlah produksi padi sawahnya hanya berjumlah 194.486 ton atau 10,2 persen dari jumlah produksi padi total Sumatera Barat. Wilayah Minangkabau (provinsi Sumatera Barat) secara bio-fisik lahan terdiri dari dua kawasan yakni kawasan dataran tinggi dan dataran pantai. Dataran tinggi terutama terletak di sebelah Utara merupakan kawasan pergunungan dengan dataran tinggi Agam, Tanah Datar dan dataran tinggi Lima Puluh Kota. Di Wilayah dataran tinggi ini, kegiatan utama pertanian penduduk adalah pertanian padi sawah dan perkebunan rakyat; seperti kopi cengkeh, karet, gambir, dan kayu manis. Sedangkan dataran rendah pantai terletak di sebelah Selatan umumnya di dominasi oleh aktifitas pertanian padi sawah. Sehingga jika ditinjau dari pertumbuhan perekonomian, wilayah Sumatera Barat masih dominan bergerak di sektor pertanian. Sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini.
108
Sumbangan Sektor Pertanian dan Industri dalam PDRB Sumatera Barat 100% 80% 60% 40% 20% 0% 1970' Pertanian
1980' Industri
1990'
2000'
PerdgHtl&rest
2004' Jasa
2005'
Air Minum
Gambar 3 Sumbangan Sektor Pertanian Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat
Berdasarkan gambar 3 di atas, terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat masih di dominasi oleh sektor pertanian, walaupun sumbangannya (share) terhadap PDRB Sumatera Barat sudah mulai menurun dari 60 persen tahun 1970, menjadi 38 persen tahun 1990; artinya selama periode Pelita I sampai Pelita V, sumbangan sektor pertanian telah berkurang sebesar lebih kurang 22 persen. Sedangkan share sektor pertanian sejak sistem desentralisasi pemerintahan daerah diberlakukan melalui undang-undang otonomi daerah yakni UU No: 22 tahun 1999 yang telah direvisi melalui UU No: 32 tahun 2004, tercatat bahwa sumbangan sektor pertanian provinsi Sumatera Barat tahun 2000 adalah sebesar 23,5 persen, tahun 2005 ini justru mengalami kenaikan menjadi
28 persen. Artinya setelah krisis
ekonomi melanda perekonomian Indonesia dan wilayah Provinsi Sumatera Barat, maka sektor pertanian tetap kembali dominan sejalan dengan mulai berubahnya struktur perekonomian ke sektor perdagangan, dan jasa. Untuk sektor pertanian ini, sub sektor yang banyak menyumbang terhadap PDRB Sumatera Barat itu di tahun 2005 adalah sub sektor pertanian tanaman pangan (50,7 persen) dan sub sektor perkebunan (23,3 persen). Dengan besarnya sumbangan sub sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat, dapat dikatakan bahwa perekonomian Sumatera Barat masih sepenuhnya tergantung pada sektor pertanian terutama sub sektor tanaman pangan dan perkebunan.
109
Perkembangan Volume Eksport, Produksi dan Luas Panen Cassiavera Sumatera Barat 1,600,000.00
Ekspor (Juta Rp)
1,400,000.00
50000
1,200,000.00 40000
1,000,000.00 800,000.00
30000
600,000.00
20000
400,000.00 10000
200,000.00 -
Produksi Cassiavera
60000
0 1970'
1980'
1990'
2000'
2004'
Tahun Vol.Export Cassiavera
Luas Panen cassiavera
Produksi cassiavera
Gambar 4 Perkembangan Ekspor, Produksi dan Luas Panen Kayu manis Provinsi Sumatera Barat Tahun 1970- 2004
Selanjutnya, jika dilihat lebih jauh pada sub sektor perkebunan ini, ternyata komoditi perkebunan yang menjadi andalan itu adalah kayu manis. Berdasarkan Gambar 4 di atas, produksi kayu manis dari perkebunan rakyat, ternyata terus mengalami kenaikan produksi yang cukup signifikan selama periode Repelita. Produksi kayu manis tahun 1990 adalah sebesar 10.525 ton hal ini mengalami kenaikan drastis tahun 2000 yakni menjadi 25.093 ton
(41,9 persen). Kenaikan
produksi kayu manis secara drastis ini selama krisis ekonomi yang melanda perekonomian Indonesia lebih banyak disebabkan oleh karena semakin tingginya nilai ekspor kayu manis, disamping karena penguatan nilai dollar terhadap nilai rupiah, sehingga mendorong nilai ekspor kayu manis yang menanjak drastis selama periode krisis ekonomi. Namun luas panen kayu manis sejak kenaikan nilai ekspornya relatif konstan setelah krisis ekonomi seperti yang terlihat dalam gambar 5 di bawah.
110
Perkembangan Produksi dan Luas Panen Kulit Manis Sumatera Barat 1970-2004 60000
Produksi dan Luas Panen
50000
40000
30000
20000
10000
0 1970'
1980'
1990'
Luas Panen cassiavera
2000'
2004'
Produksi cassiavera
Gambar 5 Perkembangan Produksi dan Luas Panen Kayu manis Provinsi Sumatera Barat 1970- 2004
Artinya sebagai tanaman ekspor, terjadinya krisis moneter justru telah mendorong peningkatan jumlah dan nilai ekspor kayu manis Sumatera Barat (Lihat Gambar 3). Dapat dikatakan bahwa, kayu manis merupakan tanaman perkebunan rakyat yang sangat berperan penting bagi perekonomian rakyat, di tengah krisis ekonomi yang terjadi walaupun sebenarnya keuntungan terbesar dari kenaikan nilai ekspor itu lebih banyak dinikmati oleh para pedagang perantara dan ekspotir kayu manis. Hal ini dibuktikan oleh relatif tetapnya luas panen kayu manis sesudah krisis ekonomi di provinsi Sumatera Barat, karena perluasan skala usaha dalam bentuk perluasan areal tanaman kayu manis hanya dimungkinkan oleh diperolehnya keuntungan bagi petani kayu manis. Oleh karena itu, fenomena ini sebenarnya merupakan bentuk ekonomi moral petani yang harus bertahan dalam badai/ krisis ekonomi (safety first). Sebagai tanaman tabungan kayu manis memang dipanen pada saat-saat perekonomian padi sawah mengalami kesulitan panen, baik karena faktor on farm maupun faktor off farm seperti pemasaran produk hasil pertanian.
111
Sumbangan Ekspor Kayu manis Terhadap Volume Eksport Sumatera Barat 1970-2004
100%
80%
60%
40%
20%
0% 1970'
1980'
1990'
2000'
2004'
Vol.Export Kayu manis Ekspor Sumbar
Gambar 6 Sumbangan Ekspor Kayu manis Terhadap Volume Ekspor Sumatera Barat Sejak tahun 1970-2004.
Disamping itu, kayu manis bagi penduduk di Minangkabau (wilayah Sumatera Barat) merupakan tanaman tahunan yang dijadikan sebagai usaha tambahan di samping pertanian padi sawah. Khususnya di daerah dataran tinggi Tanah Datar, Dataran Tinggi Agam yang memiliki sistem pertanian ganda; yakni pertanian padi sawah dan pertanian perkebunan. Usaha yang dominan dari penduduk adalah pertanian padi sawah. Hal ini disebabkan karena ketersediaan air yang cukup telah memungkinkan untuk melakukan usaha tani dua kali setahun dengan diselingi dengan tanaman palawija dan sayuran yang permintaannya cukup tinggi, apalagi dekat dengan kota Bukittinggi sebagai pusat perdagangan palawija dan sayuran untuk wilayah Riau dan sekitarnya. Tanaman perkebunan seperti kayu manis dan gambir hanyalah usaha sampingan bagi penduduk dan umumnya, tanaman perkebunan merupakan ”tanaman tabungan” bagi rumahtangga, yang akan dipergunakan dan di panen disaat membutuhkan uang banyak untuk kegiatankegiatan sosial budaya dan sosial keagamaan termasuk untuk pergi berhaji dan pendidikan anak-anaknya.
112
Berkaitan dengan hal tersebut, Wilayah kabupaten Tanah Datar, sebagai wilayah yang terdiri atas dataran rendah yang didominasi oleh lahan hutan seluas 47.440 ha (35,5 persen), dan dataran rendah yang dominasi oleh lahan sawah seluas 28.910 ha (21,6 persen), selebihnya adalah pertanian lahan kering, perkebunan, pemukiman, dan lain-lain. Pertumbuhan ekonominya juga masih di dominasi oleh sektor pertanian terutama sub sektor tanaman pangan dan sub sektor perkebunan, sebagaimana dapat dilihat dalam gambar 7 di bawah. Sumbangan Sektor Pertanian dan Perdagangan Terhadap PDRB Kabupaten Tanah Datar Tahun 2000-2005 800,000.00
700,000.00
600,000.00
500,000.00
400,000.00
300,000.00
200,000.00
100,000.00
0.00 2000'
2001'
2002'
Pertanian
2003'
Industri
PerdgHtl&rest
2004'
2005'
Jasa
Gambar 7 Sumbangan Sektor Pertanian dan Perkebunan Terhadap PDRB Kabupaten Tanah Datar (data diolah)
Gambar 7 di atas memperlihatkan bahwa sumbangan sektor pertanian di kabupaten Tanah Datar sebagai sektor yang paling utama mendorong pertumbuhan perekonomian wilayah di kabupaten ini, terus memperlihatkan kecenderungan yang semakin meningkat sejak tahun 2000 sampai tahun 2005. Jadi ditinjau dari luas tanam tanaman kayu manis di Sumatera Barat tahun 2001 adalah 51.216 ha naik menjadi 57. 800 ha (11,4 persen) tahun 2005. Dari jumlah luas tanam kayu manis provinsi Sumatera Barat tahun 2005 itu, daerah tanam yang paling luas terdapat di kabupaten Solok seluas 9.846 ha (17 persen), di susul oleh Tanah Datar dan kabupaten Agam masing masing seluas 9.251 ha (16 persen) dan 8.257 ha (14,3 persen). Sedangkan dari jumlah produksi kayu manis di provinsi Sumatera Barat
tahun 2005, maka kabupaten Solok memiliki jumlah
113
produksi yang tertinggi yakni sebanyak 6.280 ton, disusul oleh kabupaten 50 Kota dan kabupaten Tanah Datar masing-masing berjumlah 6.129 ton dan 6.000 ton. Berdasarkan data ini terlihat pergeseran wilayah sentra produksi dari kabupaten Tanah Datar ke kabupaten Solok. Pergeseran wilayah sentra produksi ini di sebabkan oleh beralihnya pola pertanian rakyat di kabupaten Tanah Datar dari pola perkebunan tanaman tua ke pola pertanian palawija, seperti tomat, cabe, dan kol, karena tanaman ini lebih cepat masa panennya, dan yang terpenting adalah pemasarannya yang mudah dan tetap tinggi yakni untuk memenuhi permintaan akan bahan sayuran masyarakat provinsi Riau, terutama Pekanbaru, Dumai, dan Duri. Sehingga banyak petani yang menebang sebahagian kayu manisnya dan menukarnya dengan tanaman palawija dan sayuran ini (tanaman mudo). Keadaan ini dimungkinkan karena wilayah kabupaten Tanah Datar relatif lebih dekat aksesibilitasnya dengan provinsi Riau, sehingga pentransportasian komoditi tanaman palawija dan sayuran ini relatif mudah. Alasan lainnya adalah semakin banyaknya penduduk kabupaten Tanah Datar menjadi pedagang yang terlihat dari semakin besarnya peningkatan jumlah surat izin usaha perdagangan yang dikeluarkan Dinas Koperindagtam; dimana tahun 1995 terdapat hanya 73 surat izin dikeluarkan, tetapi tahun 2005 sudah mencapai 162 surat izin. Sehingga tidak sulit bagi mereka untuk melakukan perubahan dalam orientasi usaha taninya. Pola pertanian penduduk yang sudah berorientasi pasar sejak dahulu, memungkinkan mereka untuk beradaptasi dengan permintaan pasar. Meskipun demikian, penanaman tanaman kayu manis masih tetap dilakukan oleh petani yang bukan sekaligus sebagai pedagang, terutama petani yang memiliki lahan yang lebih luas, maka tanaman kayu manis merupakan tanaman yang digunakan untuk tanaman tabungan, dan masih ada bidang lahan perkebunan lain yang dapat diolah untuk menanam tanaman palawija dan sayuran.
4.5.Gambaran Umum Perekonomian Masyarakat Nagari di Daerah Penelitian Krisis ekonomi tahun 1997 yang melanda perekonomian Indonesia benarbenar dirasakan sampai ke masyarakat bawah, sehingga telah merubah pola-pola sistem pertanian rakyat dengan cara berusaha menyesuaikan dengan kondisi permintaan pasar. Pemanfaatan lahan menjadi lebih efisien, terutama lahan-lahan
114
yang agak subur semakin intensif untuk di garap, dengan menanam tanaman palawija dan sayuran yang dengan cepat memberikan hasil dan mendatangkan uang yang amat dibutuhkan guna membeli kebutuhan bahan makanan pokok yang harganya semakin tinggi dan susah diperoleh. Nagari-nagari di pedalaman Minangkabau umumnya merupakan nagari yang sudah terlibat dengan jaringan perdagangan dengan aktifitas ekonomi di supra nagari, sehingga, masing-masing nagari telah melakukan perubahan yang berarti dalam pola-pola aktifitas pertaniannya. Berikut ini akan di bahas lebih jauh, perekonomian nagari-nagari yang menjadi sasaran penelitian ini. 4.5.1. Nagari Tabek Panjang (Baso) Nagari Tabek Panjang merupakan salah satu nagari tertua dan terluas di kecamatan Baso, kabupaten Agam. Kecamatan Baso dengan luas 70.30 km2 ini terdiri dari lima nagari yakni Tabek Panjang, nagari Koto Tinggi, nagari Simarosok, nagari Padang Tarok, nagari Bungo Koto Tuo. Nagari Tabek Panjang, dahulu terkenal dengan sebutan nagari Baso, terletak di kecamatan Baso dengan luas lebih kurang 19,19 km2 atau setara dengan 1.919 ha (27,3 persen) tepatnya di kabupaten Agam. Nagari Tabek Panjang ini terdiri dari jorong Sungai Janiah (4,0 km2), Jorong Tabek Panjang (6,4 km2), Jorong Baso (4,8 km2), dan Sungai Cubadak (3,99 km2). Nagari ini berbatasan langsung dengan sebelah Utara: Bungo Koto Tuo dan Simarasok, sebelah Selatan berbatasan dengan Koto Tinggi, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan IV Angkat Candung dan sebelah Timur berbatasan langsung dengan Padang Tarok. Bila dilihat dari kondisi aksessibilitas, maka nagari Tabek Panjang (Baso) terletak di tengah antara jalan raya Bukittinggi dengan Payakumbuh. Jarak Nagari Tabek Panjang ke Ibu Kota Provinsi adalah 114 km yang dapat ditempuh dalam waktu 2,5 jam. Sedangkan jarak ke Ibu Kota Kabupaten adalah 70 km. Nagari Tabek Panjang berada di ketinggian 909 meter dpl, dengan curah hujan rata-rata per tahun 1500-2000 mm, dan suhu rata-rata 26-30 derajat celcius, dengan ketinggian letaknya ini dan curah hujan yang tergolong sedang, maka nagari ini cocok dengan tanaman perkebunan seperti kopi dan kayu manis. Bila dilihat pada pola penggunaan lahan, nagari Baso penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan lahan untuk pertanian lahan kering, ladang dan tegalan
115
seluas 597 ha (31,1 persen), disusul oleh lahan sawah tadah hujan seluas 293 ha (15,3 persen), lahan hutan seluas 127 ha (6,6 persen). Sehingga berdasarkan jenis penggunaan lahan ini dapat dikatakan bahwa aktifitas perekonomian nagari Baso didominasi oleh pertanian lahan kering dan perkebunan tanaman tua untuk komoditi ekspor, terutama tanaman perkebunan seperti kayu manis, dan kopi. Sedangkan untuk tanaman pada lahan kering dan tegalan kebanyakan ditanam pisang dan buah-buahan. Untuk lebih jelasnya pola penggunaan lahan di wilayah nagari Baso, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4 Pola Penggunaan Lahan di Nagari Tabek Panjang (Baso) No 1.
2. 3.
4. 5. 6. 7.
Luas Wilayah Nagari Menurut Penggunaannya Sawah: - Setengah teknis - Sederhana/tadah hujan Pertanian tanah kering dan ladang, tegalan Hutan: - Negara - Nagari Danau/telaga/rawa/sungai Tebat/tambak/kolam Tempat rekreasi dan olahraga Pemukiman dan lainnya Jumlah
Luas (ha)
Persentase
85 293 597
4,4 15,3 31,1
84 127 3,5 23 25,1 681.4 1.919
4,4 6,6 0,18 1,2 1,3 35,5 100
Sumber: Kecamatan Baso dalam Angka, 2004, (data diolah)
Berdasarkan tabel 4 di atas, luas lahan sawah di nagari Baso adalah mencakup 19,7 persen dari lahan yang ada di nagari tersebut. Sementara itu, luas lahan perkebunan adalah lebih kurang 31,1 persen dan lahan hutan nagari yang merupakan tanah ulayat nagari seluas 6,6 persen dari luas nagari seluruhnya. Data ini memberikan implikasi bahwa nagari Baso adalah nagari pedalaman Minangkabau yang memiliki pola pertanian padi sawah dan pertanian perkebunan sebagai ciri dari daerah pedalaman yang perekonomiannya sangat tergantung kepada kondisi alam dan sangat menguntungkan untuk sistem perekonomian masyarakat, karena disamping dapat mengusahakan pertanian palawija, maka disaat pergantian musim tanam masayarakatnya juga dapat melaksanakan pertanian perkebunan. Jumlah penduduk nagari Tabek Panjang seluruhnya 9.025 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 2.033 berarti rata-rata 4,4 jiwa per KK. Jika dilihat dari komposisi penduduk, jumlah penduduk laki-laki berjumlah 4.355 jiwa (48,3 persen)
116
dan jumlah penduduk perempuan 4.670 jiwa (51,7 persen), dengan kepadatan penduduk 470,3 jiwa per km2. Sebagian besar penduduk berada di usia anak-anak yakni 7-12 tahun sebanyak 1.644 jiwa (18,2 persen), usia 19-25 tahun berjumlah 1.203 jiwa (13,3 persen). Sedangkan usia lanjut di atas 60 tahun sebanyak 7,9 persen (lihat Tabel 5 di bawah). Tabel 5 Jumlah Peduduk Nagari Tabek Panjang/Baso Menurut Umur dan Jenis Kelamin Jenis Kelamin No Golongan Umur Jumlah Laki-laki Perempuan 1 0-11 bulan 64 75 139 2 1-5 tahun 323 334 657 3 5-6 tahun 87 75 162 4 7-12 tahun 771 873 1644 5 13-15 tahun 382 423 805 6 16-18 tahun 527 577 1104 7 19-25 tahun 597 606 1203 8 26-34 tahun 585 601 1186 9 35-49 tahun 387 398 785 10 50-54 tahun 182 172 354 11 55-59 tahun 123 147 270 12 60-64 tahun 134 152 286 13 65-69 tahun 112 132 244 14 Di atas 70 tahun 81 105 186 Jumlah 4355 4670 9025 Sumber: Kecamatan Baso dalam Angka, 2004, (data diolah)
Besarnya jumlah penduduk anak-anak dan remaja di nagari Baso memperlihatkan bahwa struktur umur penduduk memperlihatkan usia sekolah dan angkatan kerja di nagari Baso ini lebih tinggi. Sementara itu, kesempatan kerja di bidang pertanian dapat dilihat dengan membandingkan luas lahan pertanian terutama lahan sawah seluas 378 ha dengan jumlah jumlah angkatan kerja. Ratarata kepemilikan lahan hanyalah 0,19 ha/KK, rata-rata kepemilikan lahan sawah per KK sangatlah kecil, sedangkan rata-rata kepemilikan lahan perkebunan per KK adalah sebesar 0,36 ha/ KK. Oleh karena itu, potensi kesempatan kerja pada pertanian di nagari Baso sangat kecil, dibandingkan dengan jumlah angkatan kerjanya. Itulah sebabnya, pada umumnya penduduk usia angkatan kerja di nagari Baso lebih dominan untuk melakukan perantauan ke luar nagari dan lebih memilih pekerjaan di luar sektor pertanian.
117
Selanjutnya, bila dikaitkan antara struktur mata pencaharian penduduk dengan luas hak kepemilikan lahan di nagari Baso, maka dapat dikemukakan bahwa jumlah lahan sawah seluas 378 ha itu hanyalah dimiliki oleh 2.088 jiwa, yang berarti hanyalah sebesar 23 persen penduduk yang memiliki lahan sawah, pemilik lahan ladang dan tegalan sebanyak 1.211 jiwa yang berarti sebanyak 13,4 persen dari jumlah penduduk selebihnya adalah petani penyewa/ atau penyakap. Sehingga total penduduk yang memiliki lahan pertanian baik lahan sawah maupun lahan tegalan adalah sebayak 3.299 jiwa. Berarti hanya 36,6 persen penduduk menguasai lahan pertanian di nagari Baso. Sebanyak 662 jiwa penduduk (7,3 persen) bergerak di sektor
pertanian
tetapi
tidak
memiliki
lahan,
mereka
adalah
petani
penyewa/pengarap dan buruh tani, sebagian besar dari merekalah yang menjadi pedagang di pasar nagari. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6 di bawah.
Tabel 6 Struktur Mata Pencaharian di sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan No Status Jumlah (orang) 1 2 3 4
Pemilik tanah sawah Pemilik tanah tegal/ladang Penyewa/penggarap Buruh tani Jumlah
2.088 1.211 101 561 3.961
Sumber: Kecamatan Baso dalam Angka, 2004, (data diolah)
Artinya, jumlah penduduk nagari Baso yang bermata pencaharian pertanian berjumlah sebanyak 3.961 jiwa (48,9 persen) selebihnya bermata pencaharian di luar sektor pertanian terutama berdagang dan menjadi pegawai negeri. Jadi, kenapa banyak pedagang kayu manis yang terdiri dari ibu-ibu terdapat di pasar nagari baso dapat dilihat alasannya dari kenyataan bahwa hanya 23% penduduk Baso yang bekerja sebagai petani memiliki lahan pertanian, selebihnya adalah petani penyewa/penyakap. Sehingga tenaga kerja rumahtangga pertanian yang terdiri dari wanita lebih banyak membantu tenaga kerja laki-laki dalam mencari nafkah di luar sektor pertanian yakni berdagang di pasar Bukittinggi dan Baso. Fenomena ini juga banyak ditemui di wilayah Tanah Datar dan Agam lainnya, sehingga berdagang sudah merupakan pekerjaan alternatif setelah pertanian yang lahannya sempit dan sistem irigasinya masih sederhana. Sebaliknya, di nagari-
118
nagari yang sistem pertanian padi sawahnya dapat dilaksanakan intensif dengan dua kali musim tanam, maka mata pencaharian perdagangan bagi penduduknya relatif kecil.
Tabel 7 Jumlah Penduduk yang Bekerja di Sub Sektor Jasa/Perdagangan No 1
2. 3.
4.
Jenis Pekerjaan di Sub Sektor Jasa/Perdagangan Jasa Pemerintahan/Non Pemerintahan a. PNS - Pegawai Wali Nagari - Guru - ABRI - Mantri Kesehatan/Perawat - Bidan - Dokter b. Pensiunan ABRI/Sipil c. Pegawai Swasta Jasa Lembaga-Lembaga Keuangan: perbankan Jasa Perdagangan: - Pasar Nagari - Warung - Ruko Jasa Ketrampilan: - Tukang Kayu - Tukang Batu - Tukang Jahit/bordir - Tukang Cukur Sumber: Kecamatan Baso dalam Angka, 2004, (data diolah)
Jumlah (orang) 211 16 10 16 4 8 3 62 288 1 1 46 5 72 65 64 12
Berdasarkan tabel 7 di atas, terlihat bahwa jenis pekerjaan penduduk nagari Baso yang dominan setelah pertanian itu adalah perdagangan dan usaha swasta yakni sebanyak 340 KK (16,7 persen), selebihnya pekerjaan penduduk adalah bergerak di sektor kerajinan dan keterampilan, PNS/ABRI, dan lain-lain. Besarnya jumlah penduduk yang berkerja di sektor perdagangan dan swasta ini terkait juga dengan struktur kepemilikan lahan pertanian yang relatif kecil dan tidak merata. Jumlah penduduk yang memiliki dan menguasai tanah kurang dari 0,1 ha sebanyak 996 KK (48,9 persen), penduduk inilah yang memilih perdagangan sebagai pekerjaan sampingan mereka untuk menambah penghasilan keluarga, sebagaimana dapat dilihat pada tabel 8 di bawah, sebanyak 526 KK (25,9 persen) yang menguasai tanah dengan luas antara 0,1 - 0,5 ha, dan hanya sebanyak 310 KK yang memiliki dan menguasai lahan antara 1,1 – 1,5 ha. Sedangkan yang
119
memiliki dan menguasai lahan lebih dari 2 ha hanya berjumlah 4 KK (0,2 persen). Dari tabel 8 di bawah ini juga dapat dikemukakan bahwa luas kepemilikan lahan untuk penduduk nagari Baso sangat kecil sekali, sehingga pertanian bukanlah satusatunya mata pencaharian untuk mendapatkan sumber pendapatan.
Tabel 8 Struktur Kepemilikan Tanah di Nagari Baso No 1 2 3 4 5 6
Luas Kepemilikan Lahan Kurang dari 0,1 ha 0,1-0,5 ha 0,6-1,0 ha 1,1-1,5 ha 1,6-2,0 ha 2,1-2,9 ha Jumlah
Jumlah (KK) 996 526 116 310 71 4 2.023
Persen 48, 9 25, 9 5, 7 15, 7 3, 5 0, 2 100
Sumber: Kecamatan Baso dalam Angka, 2004, (data diolah)
Sebagai nagari yang berbasis pertanian dan telah bergerak ke sektor perdagangan dan jasa, dimana sejak dahulu nagari Baso sangat terkenal dengan perdagangan kopi dan buah-buahannya, nagari ini sangat ramai dikunjungi oleh warga dari nagari lain, karena memang merupakan wilayah pemasaran hasil pertanian dan merupakan pusat untuk melanjutkan pendidikan. Sejak dahulu nagari Baso yang berdekatan dengan nagari Canduang merupakan daerah tujuan untuk melanjutkan sekolah umum dan keagamaan, setelah pendidikan dasar. Artinya kemajuan
pendidikan masyarakat nagari Baso cukup tinggi yang terlihat dari
kecukupan lembaga pendidikan umum dan keagamaan, bahkan saat ini di nagari Baso merupakan pusat pendidikan dan latihan untuk Departemen Dalam Negeri. Itulah sebabnya angkatan kerja terdidik di nagari cukup besar yakni sebanyak 7.179 jiwa (79,5 persen). Penduduk angkatan kerja yang berkerja di nagari Baso berjumlah 3.000 jiwa, sedangkan penduduk angkatan kerja yang tidak berkerja adalah sebanyak 589 jiwa, sehingga jumlah penduduk yang tidak berkerja lebih kurang 1.846 jiwa atau sebanyak 20,5 persen dari jumlah penduduk seluruhnya. Sedangkan jumlah penduduk angkatan kerja yang tidak bekerja adalah sebanyak 589 jiwa (8,2 persen), maka sebenarnya penduduk yang tidak produktif itu hanyalah sebanyak lebih kurang
120
12,3 persen, yang umumnya mereka adalah penduduk usia lanjut, sebagaimana pada tabel 9 di bawah.
Tabel 9 Jumlah Angkatan Kerja yang Bekerja di Nagari Baso Angkatan Kerja No 1 2 3
Jumlah (orang)
Penduduk Usia Kerja Penduduk Usia Kerja Yang Bekerja Penduduk Usia Kerja Yang Tidak Bekerja Jumlah Total Jumlah Penduduk
Persen
3589 3000 589 7.179 9.025
40, 6 33, 2 6, 5 80, 3
Sumber: Kecamatan Baso dalam Angka, 2004, (data diolah)
Selanjutnya, jika dilihat dari kualitas angkatan kerja itu sendiri, maka penduduk angkatan kerja yang terdidik itu sebanyak 6.068 jiwa (84,5 persen), tingkat pendidikan penduduk angkatan kerja paling dominan adalah tamat sekolah dasar sebanyak 3.431 jiwa (56,5 persen), disusul oleh tingkat pendidikan SLTA sebanyak 1.383 jiwa (22,8 persen). Sedangkan penduduk angkatan kerja yang berkerja dengan tingkat pendidikan sarjana berjumlah 203 jiwa (3,3 persen). Tabel 10 Kualitas Angkatan Kerja Dirinci Menurut Pendidikan yang Ditamatkan No Pendidikan Jumlah (orang) 1 Buta Aksara dan Angka 2 Tidak Tamat SD 3 Tamat SD 4 Tamat SLTP 5 Tamat SLTA 6 Tamat Akademi (D1-D3) 7 Sarjana: - S1 - S2 - S3 Jumlah
3431 847 1383 172 203 12 6068
Sumber: Kecamatan Baso dalam Angka, 2004, (data diolah)
Berdasarkan Tabel 10 di atas, kualitas angkatan kerja pada nagari Baso termasuk rendah, dan pekerjaan dominannya adalah pada sektor pertanian. Penduduk angkatan kerja yang berkerja dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi sebanyak 3,3 persen, mayoritas berkerja sebagai pengawai negeri sipil dan usaha swasta.
121
Sebenarnya, jika dilihat pada tingkat pendidikan penduduk nagari Baso, maka penduduk yang terdidik dalam arti berhasil menamatkan tingkat pendidik dasar sampai kepada tingkat pendidikan tinggi adalah berjumlah 6.064 jiwa (67,2 persen), dengan tingkat pendidikan dominan adalah tamat SD dan SLTA. Jumlah penduduk yang berpendidikan perguruan tinggi hanya berjumlah 364 jiwa (4 persen) dan sebanyak 215 jiwa (59,1 persen)
telah bekerja, sehingga jumlah penduduk
berpendidikan tinggi yang belum mendapat pekerjaan adalah sebanyak 149 jiwa atau sebanyak 40,9 persen dari jumlah penduduk yang berpendidikan perguruan tinggi. Maka penduduk yang berpendidikan tinggi yang belum berkerja inilah umumnya yang menjadi pedagang komoditi hasil perkebunan di pasar nagari Baso ini, lihat lebih rinci pada tabel 11 di bawah. Tabel 11 Tingkat Pendidikan Penduduk Nagari Baso No
Uraian
A. Buta Aksara dan Angka Latin B. Putus Sekolah 1 Usia 13-15 tahun 2 Usia 16-18 tahun 3 Usia 19-25 tahun 4 Usia di atas 25 tahun C. Tamat Pendidikan Umum 5 SD/Sederajat 6 SLTP 7 SLTA 8 Akademi 9 Universitas D. Tamat Pendidikan Khusus 10 Pondok Pesantren 11 SLB 12 Keterampilan
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan 382 423
Jumlah 805
527 597 1604
577 606 1707
1104 1203 3311
1691 430 674 6 169
1740 417 709 15 195
3431 847 1383 21 364
25 2 105
19 3 214
44 5 319
Sumber: Kecamatan Baso dalam Angka, 2004, (data diolah)
Berdasarkan tabel 11 di atas, maka penduduk nagari Baso yang tidak terdidik dan buta aksara adalah berjumlah 6.423 jiwa (71,1 persen). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang terdidik sebanyak 6.064 jiwa (67,2 persen), maka dapat dikatakan bahwa penduduk nagari Baso, masih memiliki angka buta aksara yang lebih tinggi dari penduduk yang terdidik. Keadaan ini bertolak belakang dengan infrastruktur pendidikan yang ada di nagari ini, dimana nagari Baso memiliki kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan, seperti Sekolah Dasar,
122
SLTP, dan SLTA yang cukup. Barang kali besarnya jumlah penduduk yang buta aksara lebih disebabkan oleh tidak terdistribusinya dengan baik penyebaran pembangunan sarana pendidikan itu yang relatif terkonsentrasi di pusat nagari Baso, sementara lokasi jorong-jorongnya relatif jauh, dan sulitnya aksessibilitas. Artinya karena semua fasilitas dan infrastruktur sosial ekonomi berada di pusat nagari seperti gedung sekolah, pasar, puskesmas, gedung perkantoran, maka pusat nagari menjadi ramai dan padat. Maka disinilah peran pasar nagari yang dibuka dua kali seminggu memberikan waktu dan ruang bagi warga nagari yang berada di pinggiran (pheripheri) untuk datang dan berkumpul membangun interaksi sosial dengan penduduk di pusat nagari dan penduduk dari pinggiran nagari lainnya, untuk melakukan pertukaran sosial ekonomi, dan sosial budaya satu sama lainnya. Berdasarkan uraian kondisi sosial ekonomi nagari Baso di atas, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum kondisi sosial ekonomi nagari Baso masih di dominasi oleh sektor pertanian, terutama sub sektor perkebunan. Transformasi ekonomi dari sub sektor perkebunan ke sektor perdagangan dan jasa telah mulai terjadi, sejak diperkenalkannya sistem ekonomi pasar di tengah masyarakat, sehingga usaha perdagangan mulai menjadi mata pencaharian alternatif bagi penduduk di samping pertanian. Disebabkan tingkat pendidikan penduduk yang masih rendah -- karena mayoritas berpendidikan SD sampai dengan SLTA-- maka yang melalukan transformasi kegiatan ekonomi ke arah perdagangan dan jasa itu adalah umumnya mereka yang berpendidikan lebih tinggi. 4.5.2. Nagari Tabek Patah Nagari Tabek Patah dengan luas 7,18 km2, terletak di kecamatan Salimpaung kabupaten Tanah Datar, sekaligus menjadi ibu kota kecamatan Salimpaung. Nagari Tabek Patah ini terdiri dari dua Jorong yakni: jorong Koto Alam dengan luas 1.72 km2 dan jorong Tabek Patah dengan luas 5.46 km2. Nagari ini berbatasan sebelah Selatan dengan nagari Lawang Mandahiling, sebelah Utara dengan nagari Tanjung Alam, sebelah Barat dengan nagari Tanjung Alam, dan sebelah Timur dengan nagari Barulak. Dilihat dari kondisi aksessibilitas, nagari Tabek Patah terletak di pinggir jalan raya yang menghubungkan Kota Batu Sangkar (±16 km) dengan Kota Bukit Tinggi
123
(± 50 km) dan Payakumbuh (± 35 km) dengan waktu tempuh lebih kurang 1 jam dengan perjalanan mobil. Kemudahan aksessibilitas ini telah menjadikan nagari Tabek Patah menjadi daerah terbuka sejak dahulu, sehingga merupakan daerah tempat berkunjungnya pada pedagang dari berbagai nagari di kabupaten Tanah Datar. Nagari Tabek Patah memiliki kekhasan komoditi pedagangan makanannya terutama kerupuk talas, dan gula tebu (saka), yang dapat diperoleh pada saat hari “pakan” di pasar nagari Tabek Patah. Nagari Tabek Patah yang terletak pada ketinggian 900 m dpl merupakan daerah yang relatif subur karena terletak di lereng gunung Merapi. Sebagai nagari di wilayah pedalaman yang terletak pada ketinggian pergunungan Bukit Barisan, maka suhu udara sangat dingin pada siang hari berkisar antara 170 C s/d 210 C, apalagi jika malam hari. Penduduk nagari Tabek Patah saat ini berjumlah 3.185 jiwa dengan jumlah KK seluruhnya adalah sebanyak 712 KK, dan terdiri dari 1.528 jiwa (47, 9 persen) adalah laki-laki dan sebanyak 1.657 jiwa (52 persen) adalah perempuan. Struktur umur penduduk yang berusia muda (0-5 tahun) berjumlah 479 jiwa (15 persen), usia remaja dan dewasa (15 tahun ke atas) berjumlah 2.706 jiwa (84,9 persen). Besarnya jumlah penduduk umur dewasa, diiringi pula oleh semakin besarnya pula jumlah penduduk usia kerja yakni sebanyak 1.585 jiwa (49,8 persen). Penduduk usia kerja yang berkerja adalah sebanyak 1.205 jiwa (76 persen), sedangkan penduduk usia kerja yang tidak berkerja adalah sebanyak 380 jiwa (23,9 persen). Apabila dikaitkan dengan tingkat pendidikan penduduk nagari Tabek Patah, maka dapat dikemukakan bahwa jumlah penduduk yang buta aksara dan putus sekolah SD adalah sebanyak 546 jiwa (17,1 persen), dan penduduk dengan tingkat pendidikan SD dan SLTP merupakan jumlah terbanyak yakni 1.445 jiwa (45,3 persen), sedangkan penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA sebanyak 452 jiwa (14,2 persen), kemudian penduduk dengan tingkat pendidikan Perguruan tinggi sangat kecil yakni hanya berjumlah 100 jiwa (3,1 persen). Oleh karena itu, berdasarkan data ini, maka dapat dikatakan bahwa rata-rata tingkat pendidikan penduduk nagari Tabek Patah adalah tamat sekolah dasar dan SLTP. Luas lahan sawah di nagari Tabek Patah adalah cukup kecil yakni lebih kurang 160 ha (22,3 persen) yang dikuasai oleh 185 KK. Berarti bahwa rata-rata kepemilikan lahan sawah penduduk adalah 0,86 ha/kk, jumlah ini sangat kecil jika
124
dibandingkan untuk lahan pertanian ideal dimana untuk satu KK sebaiknya adalah berkisar antara 1 s/d 1,5 ha. Kecilnya rata-rata kepemilikan lahan sawah ini lebih banyak disebabkan oleh kondisi fisik lahan di nagari Tabek Patah yang terletak pada ketinggian mencapai 900 m dpl, dimana secara geografis merupakan wilayah pergunungan dan perbukitan. Sebaliknya untuk lahan perkebunan lebih luas yakni seluas 570 ha (79,4 persen) yang dikuasai oleh 550 KK yang berarti rata-rata kepemilikan lahan perkebunan penduduk adalah sebesar 1,03 ha/KK. Oleh karena itu, sistem pertanian padi sawah bukanlah menjadi tumpuan utama bagi penopang sistem mata pencaharian penduduk, melainkan adalah sub sektor perkebunan terutama untuk komoditi kayu manis, kopi dan tanaman tebu. Lahan perkebunan ini kebanyakan tidak digarap langsung oleh pemiliknya, karena di nagari Tabek Patah ini tenaga buruh tani cukup besar tersedia, yakni sebanyak 162 KK, Mereka merupakan petani pengarap/penyakap yang tidak memiliki lahan perkebunan maupun sawah. Sehingga sistem tenure lahan di nagari Tabek Patah ini sudah lama ada dan berjalan sesuai dengan aturan masyarakat setempat yang dikenal dengan sistem “sarayo” dan sistem “sasiah” 7 . Pada umumnya, sistem ini masih diterapkan dalam hal pengolahan tebu menjadi gula tebu, yang oleh masyarakat di nagari ini disebut dengan istilah “saka”. Komoditi saka inilah yang menjadi komoditi khas yang bisa ditemui di pasar nagari Tabek Patah. Jenis komoditi utama sub-sektor perkebunan di nagari Tabek Patah adalah kopi dan kayu manis, tanaman kopi dengan luas panen 39,4 ha ini adalah sebesar 21,6 persen dari produksi kopi kecamatan Salimpaung dan produksi sebesar 8,83 ton yang berarti sebesar 4,3 persen dari total produksi kecamatan Salimpaung. Luas panen kayu manis di nagari Tabek Patah adalah 145 ha yang berarti sebesar 20,6 persen dari total luas panen kecamatan Salimpaung, sedangkan besarnya produksi kayu manis di nagari Tabek Patah adalah 23,01 ton yang berarti sebesar 11,1 persen dari produksi total Kecamatan Salimpaung. Luas panen kopi terluas terletak di nagari Lawang Mandahiling seluas 54,74 ha (29,9 persen) dengan produksi sebesar 12,30 ton (25,6 persen). Sedangkan luas panen dan produksi kayu manis 7
Sarayo adalah istilah yang digunakan untuk orang yang disuruh mengerjakan/menggarap ladang si owner dan kepada si penggarap akan diberikan imbalan berupa uang atau beras, dapat juga dalam bentuk borongan atau upah harian. Bentuk relasi yang tercipta lebih mengarah kepada hubungan patron-clien. Sedangkan sasiah adalah istilah bagi orang yang mengerjakan pengolahan sawah kemudian akan mendapat upah berupa beras dan uang dari pemilik sawah.
125
terluas dan terbanyak juga terdapat di nagari Lawang Mandahiling yakni seluas 270 ha (38,3 persen) dan 68,05 (33 persen). Jadi, nagari Tabek Patah bukan sentra produksi kayu manis di kecamatan Salimpaung, karena yang menjadi sentra produksi kayu manis itu adalah di nagari Lawang
Mandahiling
dan
nagari
Salimpaung,
meskipun
demikian,
sentra
perdagangan kayu manis di kecamatan Salimpaung ini berada di pasar nagari Tabek Patah.
4.5.3. Nagari Salimpaung Nagari Salimpaung memiliki luas 12,30 km2
(20,5 persen), terletak di
kecamatan Salimpaung, merupakan salah satu dari 6 nagari di kecamatan Salimpaung yang memiliki luas lahan perkebunan kayu manis terluas di kecamatan Salimpaung. Nagari Salimpaung ini terdiri dari tiga jorong yakni: jorong Koto Tuo (277 ha), jorong Salimpaung (670,5 ha), dan jorong Padang Jaya (147 ha), ketiga jorong ini dahulu merupakan sebuah desa dalam sistem pemerintah desa berdasarkan UU No: 5 tahun 1979, baru setelah adanya UU Otonomi Daerah yakni UU No: 22 tahun 1999 dan diperkuat oleh Perda Provinsi Sumatera Barat No: 9 tahun 2000 dengan Perda Tanah Datar No: 17 tahun 2001 tentang kembali ke sistem pemerintahan nagari, maka desa-desa di nagari Salimpaung digabung kembali menjadi nagari Salimpaung. Secara fisik wilayah, nagari Salimpaung terletak pada ketinggian 900 m dpl dengan curah hujan rata-rata pertahun cukup tinggi yakni 2.713,5 mm/tahun dan suhu rata-rata sebesar 280 C. Nagari ini berada di lereng pergunungan, sehingga topografinya dapat di lihat dari luas lahan perbukitan/ pergunungan adalah seluas 630,65 ha (51,3 persen) lebih dominan dari luas dataran yakni hanya seluas 384,2 ha (31,2 persen). Lahan pergunungan inilah yang dijadikan lahan perkebunan penduduk untuk tanaman kayu manis dan kopi. Jumlah penduduk nagari Salimpaung tahun 2005 berjumlah 5.061 jiwa yang terdiri dari 2.444 jiwa jenis kelamin laki-laki dan sebanyak 2.617 jiwa perempuan dengan jumlah rumahtangga seluruhnya adalah 1.098 KK. Tabel 12 di bawah ini memperlihatkan bahwa penggunaan lahan di nagari Salimpaung adalah sebahagian besar untuk perkebunan rakyat dimana dari luas lahan perkebunannya (636 ha) sebanyak 606 ha (95,3 persen), adalah lahan
126
perkebunaan kayu manis, sisanya (4,7 persen) adalah untuk tanaman kopi dan pisang. Bila dilihat dari luas lahan sawah di nagari Salimpaung, adalah seluas 217 ha (17,6 persen), berarti rata-rata kepemilikan setiap KK adalah 0,19 ha/KK dan luas lahan perkebunan adalah 606 ha (49,26 persen) yang berarti rata-rata kepemilikan lahan perkebunan ini adalah 0,55 ha/KK. Kepemilikan tanah baik untuk sawah maupun perkebunan hanya di kuasai oleh sebanyak 1.296 jiwa (25,6 persen) dimana luas kepemilikan terbesar berada pada luas antara 0,6- 1 ha sebanyak 359 jiwa (27,7 persen), dan luas antara 1,1 s/d 1,5 ha sebanyak 331 jiwa (25,5 persen). Oleh karena nagari Salimpaung ini berada di lereng gunung Merapi dengan ketinggian maka luas hutan konservasi -- yang oleh masyarakat nagari di sebut sebagai “rimbo larangan” -- adalah seluas 173 ha (14 persen), lahan hutan ini merupakan lahan hutan milik komunal masyarakat nagari Salimpaung (hak ulayat adat) yang belum digarap dan tidak akan dibuka untuk kepentingan perkebunan. Ini merupakan areal konservasi yang menjadi wilayah tangkapan air (cachtment area) bagi sistem persawahan penduduknya, yang airnya sangat tergantung kepada aliran sungai Batang Ino. Tabel 12 Jenis Penggunaan Lahan di Nagari Salimpaung No 1 2
3 4 5 6
Jenis Penggunaan Tanah Perumahan dan pekarangan (pemukiman) Sawah: - Setengah teknis - Sederhana/Tadah Hujan Perkebunan Rakyat Hutan konversi Tebat/tambak/kolam Lain-lain Jumlah
Jumlah (ha) 64,0
Persentase 5,2
217 636,0 173 2,4 137,4 1.230
17,6 51,7 14,1 0,2 11,2 100
Sumber: Daftar Isian Data Dasar Potensi dan Profil Nagari Salimpaung. Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana Kabupaten Tanah Datar, Tahun 2005.
Data di atas memperlihatkan bahwa di nagari Salimpaung penguasaan dan kepemilikan lahan hanya dikuasai oleh 25,6 persen penduduk, mereka umumnya adalah orang yang tinggal di pusat nagari yang dianggap sebagai orang asal nagari. Selebihnya adalah petani pengarap yang menyewa lahan sawah dan perkebunan milik orang lain dengan sistem “pasudoan”. Mengingat besarnya ketimpangan hak
127
kepemilikan lahan di nagari Salimpaung ini, ditambah dengan kurang bergairahnya harga komoditi pertanian seperti kayu manis, tomat, cabe yang menjadi andalan tanaman palawija, telah mendorong penduduknya untuk menjadi pedagang sebagai mata pencaharian utama disamping bertani. Bila dilihat dari tingkat pendidikan penduduk nagari Salimpaung, penduduk yang terdidik berjumlah 4300 jiwa (84,9 persen) terdiri dari tamat SD sebanyak 2.592 jiwa (60,3 persen), tamat SLTP dan SLTA sebanyak 789 jiwa (32,4 persen) dan pendidikan tingkat perguruan tinggi sebanyak 183 jiwa (4,3 persen). Masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat tercermin dari tidak adanya sarana pendidikan SLTP dan SLTA di nagari Salimpaung ini, sedangkan SD sudah terdapat pada setiap jorong. Baru sejak tahun 2004 telah berdiri Madrasah Aliyah Swasta (MAS) di nagari ini. Pada umumnya penduduk yang berpendidikan rendah dan kecilnya luas penguasaan dan pengusahaan lahan pertanian, inilah yang menyebabkan banyak penduduk yang memilih mata pencaharian menjadi pedagang di pasar nagari dan menjadi pedagang pengumpul kayu manis di pasar-pasar nagari di kecamatan Salimpaung. Hanya penduduk yang melanjutkan sekolah ke wilayah supra nagarilah yang berpendidikan tinggi dan sekarang bekerja di luar sektor pertanian, dan pada umumnya menjadi pengawai negeri. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa mata pencaharian penduduk nagari Salimpaung adalah pada sektor pertanian padi sawah dan perkebunan terutama tanaman palawija, dan untuk tanaman perkebunan mayoritas ditanami kayu manis. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan adat perkawinan di nagari Salimpaung yakni “Adat Tambilang Besi”. Sehingga memiliki lahan kayu manis bagi masyarakat nagari Salimpaung adalah merupakan “prestise” tersendiri di tengah masyarakat. Inilah yang mendorong kenapa di nagari ini budidaya tanaman kayu manis terus dilanggengkan atau tetap bertahan hingga sekarang. 4.5.4. Nagari Rao-Rao Nagari Rao-Rao memiliki luas lebih kurang 7,50 km2 atau setara dengan 750 ha terletak dikecamatan Sungai Tarab, merupakan nagari paling Barat dari sepuluh nagari di kecamatan Sungai Tarab. Nagari Rao-Rao ini terdiri dari empat jorong yakni: jorong Lumbuang Bapereang, jorong Carano Batirai, jorong Balerong Bunta, dan Jorong Andiang Andiko. Ketika sistem pemerintah desa diperkenalkan, maka
128
jorong-jorong ini menjadi sebuah desa, sampai akhirnya kembali ke sistem pemerintahan nagari, maka jorong-jorong yang ada kembali bergabung menjadi satu nagari, dimana di nagari Rao-Rao saat sekarang hanya terdiri dari dua jorong saja yakni jorong Lumbuang Bapereang dan Jorong Rao-Rao, dimana jorong Carano Batirai, jorong Andiang Andiko, dan jorong Balerong Bunta digabung menjadi satu jorong yakni jorong Rao-Rao. Aksessibilitas menuju nagari Rao-Rao sangat mudah karena nagari ini terletak di pinggir jalan raya antara kota Batu Sangkar dengan Bukit Tinggi, dari pusat ibu kota kebupaten yakni Batu Sangkar sendiri, nagari ini hanya berjarak lebih kurang 10 km. Disamping itu, nagari ini dapat dengan mudah diakses dari berbagai nagari terdekat di kecamatan Sungai Tarab, seperti nagari Kumango, nagari Pasir Laweh, Nagari Sungai Tarab sendiri karena jalan antar nagari ini cukup besar sampai ke wilayah pedalamannya sebagai jalan (farm road) ke pusat-pusat aktifitas pertanian dan perkebunan. Secara fisik, nagari ini terletak pada ketinggian lebih kurang 750 m dpl yang dilingkari oleh perbukitan yang merupakan bagian dari bukit barisan yakni bukit Sibumbun, bukit Gadang (bukit besar), bukit Kociak (bukit kecil), sehingga topografi wilayah nagari ini berbukit dan bergelombang, dan pada lereng-lereng bukit inilah penduduk menanam tanaman perkebunan seperti kayu manis dan kopi. Secara geografis, nagari Rao-Rao sebelah Barat berbatasan dengan nagari Salimpaung yang hanya di pisahkan oleh Bukit Godang (bukit Besar), sebelah Utara dengan nagari Kumango, Sebelah Selatan dengan Nagari Pasir Laweh, dan sebelah Timur dengan Nagari Sungai Tarab. Jika dilihat dari pola penggunaan lahan di nagari Rao-Rao, maka penggunaan lahan dominan adalah lahan hutan seluas 325 ha (43,3 persen), pengunaan lahan sawah seluas 240 ha (31,9 persen), dan lahan untuk perkebunan seluas 115 ha (15,3 persen), sebagaimana dapat dilihat pada tabel 12 di bawah ini. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa mata pencaharian sebagian besar penduduk di nagari ini adalah pada sektor pertanian, terutama pertanian padi sawah dan pertanian lahan kering dan perkebunan. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk nagari Rao-Rao (lebih kurang 3.221 jiwa) maka rata-rata kepemilikan lahan sawah adalah sebesar 0,1 ha/ jiwa atau dengan jumlah KK seluruhnya sebanyak 933 KK, maka luas rata-rata
129
kepemilikan lahan sawah adalah sebesar 0,3 ha /KK. Sedangkan luas rata-rata kepemilikan lahan perkebunan adalah sebesar 0,03 ha/ jiwa atau 0,13 ha/KK. Masih luasnya wilayah hutan nagari yakni sebesar 43,3 persen dari luas wilayah nagari atau hanya 36 persen wilayah lahan hutan yang baru dibuka untuk lahan perkebunan, sehingga dari potensi lahan perkebunan di nagari Rao-Rao ini masih cukup besar untuk dikembangkan ke arah tanaman ekspor. Tabel 13 Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan di Nagari Rao-Rao No 1 2 3 4 5 6 7.
Uraian Perumahan dan Pekarangan Sawah Perkebunan Rakyat Hutan Nagari Tebat/Tambak/Kolam Tempat rekreasi/olahraga Total
Luas Lahan (Ha) 65 240 117 325 0,5 3 750.5
Sumber: Daftar Isian Potensi Nagari Rao-Rao, 2006.
Sebaliknya, tingkat kepadatan penduduk di nagari Rao-Rao cukup tinggi yakni 4,3 orang /ha, sehingga pemukiman penduduk di nagari Rao-Rao cukup padat, terutama hanya terkonsentrasi di wilayah jorong Rao-Rao, sedangkan jorong Lumbuang Bapereang merupakan wilayah lokasi perkebunan penduduk nagari. Pada umumnya penduduk nagari Rao-Rao memiliki lahan perkebunan kayu manis di jorong Lumbuang Bapreang dan dikerjakan oleh anggota rumahtangga petani yang ada di jorong tersebut, disamping itu, penduduk nagari Rao-Rao sangat terkenal dengan mata pencaharian sebagai pedagang keliling (vendor) (5,5 persen) untuk barang dagangan kelontong, kain, dan makanan terutama kerupuk kulit. Pada setiap pasar nagari banyak ditemui para pedagang kain dan pedagang kelontong yang berasal dari nagari Rao-Rao. Penduduk yang berkerja di sektor pertanian padi sawah adalah sebanyak 1.921 jiwa atau sebesar 59,6 persen, dengan luas lahan garapan rata-rata adalah sebesar 0,1 ha/ jiwa. Sedangkan yang berkerja pada lahan perkebunan adalah sebanyak 2.155 jiwa (66,9 persen). Artinya sebanyak 855 jiwa (26,5 persen) adalah penduduk yang berkerja pada kedua sistem pertanian ini yakni pertanian padi sawah dan pertanian perkebunan untuk komoditi tanaman ekspor, yakni tanaman kayu
130
manis, cengkeh dan kopi. Hal ini terlihat bahwa komoditi yang paling banyak dijual di pasar nagari Rao-Rao adalah kayu manis, kopi, disamping cabe dan tomat. Tingginya aktifitas perdagangan hasil-hasil perkebunan seperti kopi dan kayu manis di pasar nagari Rao-Rao sudah tidak diragukan lagi, karena sampai saat ini, pasar nagari masih menjadi ajang pertukaran hasil pertanian penduduk terutama untuk tanaman palawija dan tanaman perkebunan, bahkan sejak dahulu nagari RaoRao sangat terkenal dengan komoditi kopinyanya yang khas. Menurut kepala nagari Rao-Rao; Datuak Panghulu Basya bahwa: kopi dari Rao-Rao sampai sekarang masih menjadi nama “coffee shop” di negara Belanda, walaupun kopi bukan lagi menjadi tanaman perkebunan utama penduduk nagari Rao-Rao (Wawancara dengan Walinagari Rao-Rao, tanggal 29 Maret 2006). Jadi, sistem mata pencaharian penduduk nagari Rao-Rao sangat tergantung kepada sistem pertanian padi sawah dan sistem pertanian perkebunan. Sebagai sentra produksi kayu manis dan kopi, nagari ini telah memainkan peran penting dalam perdagangan tanaman ekspor sejak masa kolonial 8 , hingga saat sekarang, pasar nagari Rao-Rao merupakan salah satu pasar nagari yang masih hidup dan terus semakin ramai di samping pasar nagari Sungai Tarab di kecamatan Sungai Tarab. Potensi alam hutannya yang masih belum begitu banyak digarap, terutama untuk lahan perkebunan, maka nagari ini masih memiliki kesempatan untuk mengembangkan keunggulan komparatifnya terhadap nagari-nagari lain sebagai nagari yang memiliki lahan hutan dan perkebunan yang dapat dikembangkan untuk mengembangkan tanaman ekspor yang laku di pasaran dunia. Kemudian, dari segi pendidikan, jumlah angkatan kerja yang terdidik di nagari Rao-Rao adalah sebanyak 1.109 jiwa (34,4 persen) yang berpendidikan Sekolah Dasar sebanyak 377 jiwa (33,9 persen) pendidikan SLTA dan SLTP adalah sebanyak 665 jiwa (59,9 persen), dan angkatan kerja yang berpendidikan perguruan tinggi adalah sebanyak 40 jiwa (3,6 persen), dapat
dikatakan bahwa rata-rata
tingkat pendidikan penduduk nagari Rao-Rao adalah tingkat SLTA dan SLTP.
8
Pada masa kolonial daerah ini telah menjadi sentra produksi kayu manis dan kopi. Bahkan Belanda memiliki gudang rempah-rempah disini, yang digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pembeliannya pada petani. Bekas gudang Belanda di daerah ini harus disebut dengan “daerah gudang” dimana lokasinya bersebelahan dengan pasar nagari Rao-Rao.
131
4.5.5. Nagari Sungai Tarab Nagari Sungai Tarab yang dijuluki juga dengan nama nagari Bungo Setangkai memiliki luas lebih kurang 12,96 km2 atau setara dengan 1.296 ha terletak di kecamatan Sungai Tarab, kabupaten Tanah Datar. Nagari Sungai Tarab merupakan
salah
satu
wilayah
yang
menjadi
pusat
kekuasaan
kerajaan
Minangkabau dahulunya, dimana Datuak Bandaro Putiah yang menjadi Perdana Menteri Kerajaan Pagaruyung berkedudukan di nagari. Nagari Sungai Tarab sebagai salah satu dari sepuluh nagari di kecamatan Sungai Tarab saat ini, terdiri dari dari empat jorong yakni: jorong Koto Panjang, jorong Tigo Batua, jorong Koto Hiliang, dan jorong Sungai Tarab. Nagari Sungai Tarab merupakan nagari yang memiliki luas lahan sawah yang terluas di kecamatan Sungai Tarab yakni sekitar 818 ha (36,9 persen) dari luas lahan sawah di kecamatan Sungai Tarab (2.215 ha), sesudahnya adalah luas lahan sawah di nagari Gurun seluas 444 ha (20 persen), dan nagari Rao-Rao seluas 240 ha (10,8 persen) semuanya adalah beririgasi setengah teknis. Sehingga jika dibandingkan dengan luas lahan sawah untuk kabupaten Tanah Datar (28.918 ha), maka luas lahan sawah di kecamatan Sungai Tarab hanya sebesar 7,7 persen dari luas lahan sawah di Kabupaten Tanah Datar. Meskipun demikian, daerah ini merupakan daerah andalan produksi beras Tanah Datar setelah kecamatan Batipuh, dan Kecamatan Lintau Buo. Apabila dikaitkan dengan jumlah penduduk nagari Sungai Tarab (tahun 2006) berjumlah 10.678 jiwa terdiri dari 2.545 KK, rata-rata kepemilikan lahan sawah adalah sebesar 0,32 ha/KK, akan tetapi penduduk yang bermata pencaharian pertanian dengan lahan milik sendiri hanyalah sebanyak 1.647 jiwa yang berarti ratarata kepemilikan lahan sawah bagi petani di nagari Sungai Tarab adalah sebesar 0,5 ha, dan hanya sebanyak 97 KK yang memiliki lahan sawah di atas 1 ha. . Artinya, rata-rata kepemilikan lahan pertanian masih kecil dan tidak terdistribusi secara merata di tengah masyarakat nagari. Ada lebih kurang 151 orang yang menjadi petani penggarap yang tidak memiliki lahan, mereka umumnya masyarakat pendatang atau orang “malakok”, sedangkan untuk membuka lahan perkebunan baru tidak memungkinkan lagi. Di samping itu, sebanyak 301 orang memilih menjadi pedagang di pasar nagari. Untuk luas lahan hutan dan lahan kering
132
di nagari Sungai Tarab adalah seluas
3.247 ha (3,9 persen) dengan rata-rata
kepemilikan lahan perkebunan adalah 0,30 ha/ KK terutama terletak di jorong Koto Hiliang dan jorong Koto Panjang. Luas lahan kayu manis di nagari Sungai Tarab adalah seluas 209 ha yang berarti 6,4 persen dari luas lahan hutan untuk perkebunan di nagari Sungai Tarab ini. Selanjutnya, jumlah angkatan kerja yang terdidik dengan tingkat pendidikan masyarakat nagari Sungai Tarab mayoritas berpendidikan sekolah menengah sebanyak 6.825 jiwa (64 %), berpendidikan perguruan tinggi adalah sebanyak 605 jiwa atau sebanyak 5,7 persen dari total penduduk nagari. Selebihnya adalah penduduk yang berpendidikan rendah mulai dari tidak bersekolah sampai hanya tamat sekolah dasar yakni sebanyak 2.907 jiwa atau sebanyak 27,2 persen dari jumlah penduduk.
Besarnya jumlah penduduk yang berpendidikan sekolah
menengah ke bawah di nagari Sungai Tarab, sejalan dengan mayoritas mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pertanian yakni sebanyak 5.411 jiwa dan non pertanian adalah sebanyak 370 jiwa. Berdasarkan data empiris ini, nagari Sungai Tarab sudah mulai berubah sistem perekonomiannya dari dominan sektor pertanian bergerak ke sektor perdagangan, karena pasar nagari Sungai Tarab merupakan pasar nagari yang dibuka setiap hari Rabu dan sangat ramai sampai sore harinya. Hasil pertanian yang utama di nagari Sungai Tarab adalah padi, dengan luas tanam 1.487 ha, dengan produksi sebesar 6,5 ton/ha, disusul oleh tanaman palawija seperti cabe seluas 13,5 ha dengan produksi sebanyak 3,4 ton/ha, ubi kayu dengan luas panen 26 ha, dengan produksi mencapai 30 ton/ha, serta jagung dengan luas tanam sebesar 9 ha, dan produksi sebesar 3,5 ton/ha. Untuk tanaman palawija ini nagari Sungai Tarab termasuk nagari yang menjadi lumbung tanaman palawija di kabupaten Tanah Datar. Bagi penduduk nagari Sungai Tarab pendapatan dari sektor pertanian (tanaman palawija) ini merupakan sumber pendapatan utama, karena nagari Sungai Tarab tidak memiliki lahan hutan. Sumber mata pencaharian lain adalah dari hasil pertanian tanaman perkebunan, seperti kopi dengan luas tanam sebesar 12 ha, dan produksi sebesar 4 kw/ha, cengkeh dengan luas tanam sebesar 3,75 ha dengan jumlah produksi adalah sebesar 7,9 kw/ha. Sedangkan untuk luas tanam kayu manis di nagari Sungai Tarab adalah seluas 209 ha dengan jumlah produksi sebesar 276 ton/tahun.
133
Jumlah rumahtangga yang memiliki lahan perkebunan adalah sebanyak 105 KK sehingga rata-rata kepemilikan lahan kayu manis petani kayu manis di nagari Sungai Tarab ini adalah 1,9 ha. Hal ini sejalan dengan besarnya volume produksi kayu manis yang berhasil dijual di pasar nagari Sungai Tarab setiap minggunya yakni sebesar lebih kurang 12,3 ton per minggu.
134