’Kosmopolitanisme Austronesian’ dan Indonesia sebagai Sistem Politik-ekonomi1 Eriko Aoki (Ryukoku University)
Abstract Based on data from fieldwork in Flores, this article suggests an indigenous form of tolerance and suppleness as the model for a new form of multiculturalism in Indonesia. Many studies of nationalism have criticized the perspective that developing nation-states need ‘strong nationalism. However, if we step out of this hegemonic preoccupation, we come to realize that the relevant question is not how Indonesia can keep its unity but on what conditions Indonesia can function well as a politico-economic system, keeping diverse areas incorporated in the post-modern and global contexts at present and in the future. In Flores, people have been traversing real and imagined borders since the time of the Austronesian migration and the age of Southeast Asian maritime commerce. Even after Independence, Flores has had direct transnational linkage through the Catholic network and recently quite a few Catholic priests and candidates from Flores have been sent abroad. Due to the development of global capitalism, many people from mountainous areas in central Flores also go to Malaysia as low-paid labourers, and they accommodate well to the new situations. As illegal labourers, Florenese people develop social ties with the people whom they meet overseas. Even when they are arrested and forced to come home from Malaysia, they are never stigmatised in their home village. I would like to name tentatively this principle of social adaptability and political flexibility, which also orders life in Florenese villages, ‘Austronesian cosmopolitanism’. I further suggest that this Austronesian principle of political flexibility could prove a useful model for the Indonesian nation-state as it struggles to adopt a new political model that prevents the escalation of retaliatory violence and allows the country to continue as a politico-economic unit.
Latar belakang: ke mana Indonesia menuju? ke mana dunia berjalan? Abad ke-20 adalah zaman perang dan negara-bangsa (nation-state). Kaitan antara keduanya bukan sebuah kebetulan. Sebuah 1
Tulisan ini adalah penyempurnaan dan terjemahan dari makalah berjudul ‘”Austronesian cosmopolitanism” and Indonesia as a politico-economic system’ yang dipresentasikan dalam panel ’How will Eastern Indonesia Maintain “Unity in Diversity”? Responses
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
negara-bangsa adalah satu-satunya satuan politis yang dibenarkan menjadi agen yang memonopoli kekerasan, baik terhadap anggotaanggota dan wilayahnya maupun terhadap to Religious-Ethnic Discord, Refugees and Regional Autonomy in East Indonesia’ pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke3: ‘Rebuilding Indonesia, a Nation of “Unity in Diversity”: Towards a Multicultural Society’, Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
81
pihak lain, terutama dilakukan melalui perang. Pengembangan teknologi perang dengan tujuan meningkatkan kemampuan menghancurkan dilakukan oleh negara-bangsa. Sudah diketahui bahwa umat manusia dapat musnah dalam perang nuklir. Di bawah ancaman ini, masyarakat negara-bangsa yang sudah ‘maju’ tidak berani memupuk rasa nasionalisme berlebihan, sebab khawatir bahwa hal tersebut dapat mendorong masyarakat untuk saling bertikai. Jika kesatuan negara-bangsa tidak lagi ditekankan oleh negara-negara maju, mengapa kesatuan Indonesia menjadi persoalan? Berbagai studi mengenai nasionalisme telah mengkritik hegemoni global yang menerima begitu saja perspektif bahwa, tidak seperti negara-bangsa yang maju, negara-bangsa yang masih berkembang membutuhkan nasionalisme yang kuat (Billig 1995; Kutsuwada 2001). Meski demikian, jika kita melepaskan diri dari pemikiran hegemonis ini, kita menyadari bahwa pertanyaan relevan yang harus diajukan bukanlah bagaimana agar Indonesia dapat mempertahankan kesatuannya, melainkan apa saja syarat yang harus dipenuhi Indonesia agar dapat berfungsi sebagai sistem politik-ekonomi yang mempertahankan berbagai wilayahnya, sekalipun berada dalam konteks pascamoderen dan dibanjiri oleh aliran modal global. Negara-bangsa ‘maju’ tidak perlu memberi penekanan pada kesatuan mereka karena hanya dengan posisi mereka yang sentral dalam sistem global, negara-bangsa ‘maju’ berada dalam keadaan stabil dibanding dengan negarabangsa yang sedang berkembang. Hal ini makin jelas jika kita melihat ‘nasionalisme yang keras’ berlaku hanya secara terbatas dan sementara di negara-negara ‘maju’: contohnya rasa nasionalisme kuat yang dirasakan rakyat Amerika Serikat setelah hancurnya gedung WTC; usaha kelompok simpatisan Neo-Nazi di Jerman untuk mengusir imigran dari negara
82
maju; atau penyangkalan nasionalis-nasionalis Jepang terhadap fakta-fakta historis seperti mengenai wanita penghibur Korea. Semua contoh tersebut menunjukkan bahwa timbulnya ’nasionalisme keras’ di negara-bangsa ‘maju’ berkaitan dengan perasaan bahwa posisi stabil mereka di pusat sistem global tengah terancam. Sebagai konsekuensi, mereka berusaha mendorong orang-orang yang relatif termarjinalisasi kembali ke periferi dengan dalih bahwa itu memang posisi mereka yang sebenarnya. Seperti halnya situasi negara-bangsa maju yang secara struktural berkaitan dengan sistem global, begitu pula situasi negara-bangsa sedang berkembang meski dengan arah yang berbeda. Hal ini antara lain terkuak dalam isu bantuan internasional yang diberikan pada program Keluarga Berencana di Indonesia. ’The International Planned Parenthood Association’ yang mulai bekerja di Indonesia tahun 1957, ’adalah salah satu dari sejumlah organisasi yang didirikan dalam iklim pasca-Perang Dunia II saat pendanaan program-program ‘pembangunan’ dilihat oleh negara Barat sebagai cara untuk memastikan ‘stabilitas politik’ dunia dan akses pada bahan mentah dan sumber daya ‘dunia ketiga’ yang dapat disediakan oleh pengaturan internasional macam itu’ (Dwyer 2000:38, lihat juga Escobar 1995). Di bawah pemerintahan ’Orde Baru’ yang dipimpin Suharto, Indonesia terlibat dalam sistem global melalui program-program ‘pembangunan’ dan bisnis bantuan internasional (Hull 1994; Dwyer 2000). Dalam krisis yang terjadi setelah ’Orde Baru’, sejumlah organisasi internasional, termasuk LSM-LSM, di Indonesia tidak hanya menangani program pembangunan tetapi juga berbagai isu lain seperti gerakan separatis, proses kemerdekaan, gerakan membela hak-hak penduduk asli, kekerasan antara kelompok yang bertentangan, dan proses rekonsiliasi (Aragon 2001; Acciaioli 2001; Mote dan Ruth-
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
erford 2001; Vel 2001; Manning dan Diermen 2000). Mau tidak mau masa depan Indonesia berkaitan dengan masa depan dunia. Berdasarkan data mengenai Flores Tengah, saya ingin membahas tidak hanya masa depan Indonesia, tetapi juga masa depan dunia.
Syarat-syarat terciptanya perdamaian relatif Berbagai insiden pertumpahan darah terjadi setelah rezim Suharto di Indonesia berakhir. Meski demikian, krisis politik-ekonomi ini menimbulkan dampak yang berbeda-beda dalam masyarakat. Ada kelompok yang mengalami kekerasan untuk memperjuangkan kemerdekaan atau konflik-konflik lain untuk memperoleh otonomi, atau wewenang atas sumber daya. Kaum wiraswasta tidak menggunakan jalan kekerasan melainkan mengambil jalan menuju keuntungan akibat devaluasi mata uang rupiah. Dalam perdagangan internasional saat itu, keuntungan yang mereka raup jauh lebih banyak dari sebelumnya, tetapi mayoritas masyarakat tidak mengalami konflik ataupun peningkatan kekayaan pribadi yang drastis. Mereka tetap meneruskan kehidupan, hampir sedamai sebelumnya. Mereka tetap mengkritik pemerintah dan mengeluh tentang naiknya harga barang sembari dengan cemas mengikuti pemberitaan di media tentang krisis ekonomi dan kerusuhan sosial. Ini setidaknya berlaku bagi orang-orang di daerah pegunungan Flores Tengah.2 2
Saya melakukan penelitian antropologis di Flores Tengah dalam interval-interval antara tahun 1979 dan 1984. Penelitian lapangan ini dilakukan terkadang sendiri atau dengan Dr. S. Nakagawa. Informasi yang terdapat dalam makalah ini diambil dari penelitian tersebut, pembicaraan-pembicaraan pribadi dengan Dr. S. Nakagawa, korespondensi dengan teman-teman di wilayah tersebut dan artikel-artikel koran lokal. Saya ingin mengucapkan terimakasih kepada LIPI untuk pemberian izin mengadakan penelitian di Indonesia. Saya juga ingin berterimakasih kepada teman-teman
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Pada bulan Februari 1998, gerombolan penjarah menyerbu sejumlah toko Cina di Ende, ibukota Kabupaten Ende di pantai selatan Flores Tengah. Tidak seperti seranganserangan di tempat lain di Indonesia, kerusuhan ini tidak berakhir dengan pemerkosaan ataupun pertumpahan darah. Banyaknya orang yang kebetulan tengah berada di tempat dan menggunakan kesempatan untuk ikut menjarah begitu perusuh mendobrak toko, membuat perusuh-perusuh yang ’sesungguhnya’ tidak teridentifikasi.3 Tak lama setelah peristiwa itu, orang-orang di daerah pegunungan Flores Tengah mendapat kabar tentang kerusuhan tersebut. Kebanyakan dari mereka tidak terkesan dan meskipun aktivitas perdagangan di Ende mengalami sedikit penurunan selama beberapa bulan setelah kerusuhan tersebut, kejadian itu tidak berdampak banyak pada kehidupan di pegunungan. Walaupun sejumlah insiden yang melibatkan kekerasan terjadi di ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten di Flores Tengah dan desas-desus mengenai Ninja (pembunuh-pembunuh misterius dalam kostum hitam) sempat membuat cemas orang-orang yang tinggal di pegunungan Flores Tengah, kondisi mereka relatif damai ketika sejarah Indonesia diliputi kekerasan di banyak daerah. Tulisan ini akan menyoroti beberapa alasan di balik kenyataan tersebut. Saya tidak menyatakan bahwa penduduk daerah pegunungan Flores Tengah pada dasarnya cinta damai dan tidak menyukai kekerasan. Tidak ada alasan untuk menyangkal bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu mereka juga terlibat dalam rangkaian serangan balas dendam, seperti orang-orang di daerah lain: di Flores Tengah yang telah membantu saya dengan berbagai cara. 3
Lihat Aoki (2002) untuk tinjauan tentang interpretasi-interpretasi mengenai insiden dan identitas perusuh.
83
Maluku, Kalimantan, Poso, Irian Jaya, dan Sumba (Van Klinken 2001; Aragon 2001; Acciaioli 2001; Mote dan Rutherford 2001; Vel 2001; Manning dan Dierman 2000). Berikut ini pembahasan saya mengenai kondisi-kondisi yang dapat melibatkan mereka dalam kekerasan balas dendam. Dari berbagai laporan dan penelitian mengenai kekerasan berlatar belakang balas dendam yang terjadi di wilayah-wilayah tersebut, dapat disimpulkan adanya dua kondisi penentu. Pertama adalah adanya sumber daya yang diperebutkan. Yang disebut sumber daya adalah sumber daya alam seperti tanah dan pertambangan atau ’sumber daya sosial’ seperti jabatan-jabatan birokratis. Kondisi penentu kedua adalah pembagian masyarakat dalam dua kategori: ’asli’ dan ’pendatang’. Yang dianggap sebagai ’pendatang’ adalah mereka yang berimigrasi, baik secara spontan maupun mengikuti program pemerintah. Alasan mengapa kedua kelompok ini tidak saling bersahabat adalah karena klaim mereka atas sumber daya yang ada memiliki dasar logika yang berbeda. Selain dua hal di atas, satu kondisi penentu lagi adalah bahwa kedua kelompok yang terlibat dalam konflik harus tergabung dalam dua kategori eksklusif—kategori yang diakui eksklusif dalam wacana hegemonis negarabangsa atau dalam komunitas internasional. Kategori agama, Kristen dan Muslim, memenuhi syarat tersebut karena kedua agama eksklusif menurut definisi dan cenderung diperlakukan sebagai dua hal yang saling berlawanan dalam wacana nasional dan internasional. Kategori agama ini sering diperkuat dengan kategori kesukuan yang juga diakui sebagai eksklusif, setidaknya dalam wacana nasional. Kasus Sumba dalam hal ini merupakan pengecualian karena kekerasan terjadi antara dua kelompok Protestan. Walaupun demikian, kedua kelompok tersebut
84
berasal dari dua suku yang berbeda. Argumenargumen di bawah ini akan menyoroti kondisi penentu terakhir tersebut.
Faktor-faktor utama penyebab konflik dan kekerasan berlatar belakang balas dendam Negara-bangsa adalah titik acuan jati diri yang terhormat dalam dunia modern. Pada prinsipnya, tiap manusia harus tergabung dalam satu dan hanya satu negara-bangsa. Dengan kata lain, tiap negara-bangsa memiliki anggotaanggotanya sendiri. Seperti telah disinggung di atas, negara-bangsa adalah satu-satunya satuan politis yang dibenarkan untuk menjadi agen yang memonopolisasi kekerasan dalam bentuk perang. Identitas individu menjadi nyata dengan cara yang terhormat jika ia berpartisipasi dalam perang. Dengan demikian, identitas masyarakat dan tindak kekerasan terhadap orang lain muncul secara simultan. Mekanisme ini terjadi pada insiden-insiden pertumpahan darah di berbagai tempat di Indonesia. Tetapi dalam kasus-kasus tersebut yang menjadi agen kekerasan bukanlah negarabangsa, melainkan kelompok agama dan/atau etnis. Ada pihak yang mengatakan bahwa disfungsi kekuatan politis negara memunculkan kerusuhan tersebut. Saat negara yang berbasis kekerasan mampu menekan rakyatnya di era Suharto, kerusuhan semacam itu tidak timbul dan perspektif bahwa negara Indonesia terbagi atas kelompok-kelompok etnis, ditekan. Motto nasional, ’Bhinneka Tunggal Ika’ tidak diartikan sebagai keragaman suku, tapi sekadar budayabudaya yang mewakili wilayah-wilayah administratif (Kato 1993). Semasa rezim Suharto tidak saja kelompok suku, tetapi kebudayaan juga didepolitisasi, dikebiri, dan diasingkan (Acciaioli 1985). Segelintir orang mungkin akan menyetujui gagasan menghidupkan kembali penindasan di
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Indonesia untuk menghentikan kekerasan internal. Pemahaman tentang kehidupan di pegunungan Flores Tengah dapat membantu pencarian cara pencegahan kerusuhan berdarah di Indonesia, tanpa perlu menghadirkan kembali penindasan dan kekerasan dari negara. Hal yang sama juga dapat membantu kita mempertimbangkan kebijakan semacam apa yang berkaitan dengan keragaman sosio-kultural, yang harus diterapkan di Indonesia. Argumentasiargumentasi mengenai ’multikulturalisme’ yang didasarkan pada contoh Euro-Amerika dapat menyesatkan, terutama jika melihatnya dalam konteks masa depan Indonesia, karena Indonesia memiliki latar belakang historis dan budaya yang berbeda dari negara-negara EuroAmerika. Selanjutnya penelaahan berbagai kebijakan yang berhubungan dengan keragaman sosial-budaya dapat membantu memahami secara keseluruhan masa depan dunia di mana terdapat ancaman atau bahkan kejadian kekerasan pemusnahan antarbangsa atau masyarakat, yang secara eksklusif dibedakan menurut kategori ’suku’ dan/atau ’agama’. Dalam sistem dunia modern, seharusnya tiap negara-bangsa memiliki kedaulatan. Relativisme kebudayaan telah berperan dalam menciptakan dasar untuk prinsip penentuan diri (self-determination) ini. Meskipun demikan, gagasan relativisme kebudayaan cenderung dikemukakan sebagai dasar argumen bahwa eksklusivitas dan antagonisme antara negarabangsa, kelompok suku dan/atau agama, merupakan hal yang wajar, dapat dimaafkan atau bahkan dibenarkan. Antropologi memperkenalkan gagasan relativisme kultural untuk mengkritik euro-centrism yang ada dalam universalisme kultural di abad ke-20. Akan tetapi, hal tersebut memiliki konsekuensi yang tidak dikehendaki para antropolog yaitu menyediakan dasar legitimasi bagi mereka yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
menjunjung relativisme kultural secara berlebihan. Karenanya, di abad ke-21 ini, antropologi sebaiknya turut berusaha mengatasi hal tersebut dan mencari perspektifperspektif alternatif yang dapat mendekonstruksi fragmentasi jati diri yang terjadi dalam sistem dunia pascamodern. Untuk menelaah lebih dalam lagi isu-isu ini, di bawah ini saya akan membahas data dari Flores Tengah seputar kekerasan dan faktor-faktor penyebabnya.
Fleksibilitas politis, keteraturan hasil perundingan dan penindak kekerasan di Flores Tengah Kesaksian dari daerah pegunungan di Flores menyatakan bahwa di wilayah tersebut tidak terjadi kekerasan seperti yang pernah muncul di Maluku, Kalimantan, Poso, Irian Jaya/Papua Barat, atau Sumba. Dietrich, seorang sejarawan, membahas situasi politis di sejumlah wilayah di Flores pada abad ke-19 saat wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda hanya mencakup daerah pesisir (Dietrich 1983). Walaupun pembahasan Dietrich tidak secara langsung mengacu pada Flores Tengah, karena daerahnya yang berbukit-bukit menyebabkan pemerintah kolonial tidak masuk hingga tahun 1907, pembahasan tersebut tetap relevan untuk memahami situasi politis di Flores Tengah. Dietrich meneliti tiga kasus. Pihak protagonis dari masing-masing kasus adalah Gubernur Jenderal di Batavia, Kepala Kabupaten di Kupang (Timor), Posthouder di Flores, raja-raja lokal di daerah, dan kepala-kepala desa. Menurut pemerintahan kolonial, yang menjadi masalah di Flores adalah cara mengatasi situasi yang tidak teratur di awal abad ke-20 tanpa melibatkan administrasi kolonial dalam urusanurusan daerah. Ketidakteraturan ini muncul dalam berbagai bentuk kasus permusuhanan, perkelahian, pembunuhan, pengkhianatan, maupun kurangnya pengetahuan mengenai
85
otoritas kolonial. Kebijakan pemerintah kolonial tentang ’Pulau-pulau Luar’ adalah satu contoh ’ketidakterlibatan’ karena turun tangan secara langsung dianggap terlalu mahal. Seperti yang ditunjukkan oleh Dietrich, Belanda mengira bahwa seorang Raja memiliki kekuasaan yang efektif terhadap para kepala desa dan desa-desa mereka. Padahal hubungan politis tradisional dilakukan atas dasar hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik antara Raja, kepala desa, dan penduduk desa. Raja hanya menduduki satu dari sejumlah jabatan otoritas. Di mata Belanda, pengkhianatan dan pertikaian merupakan wujud fleksibilitas pembentukan aliansi dan kebiasaan masyarakat setempat, sehingga intervensi dari pemerintah untuk mendukung raja di mata masyarakat akan terlihat tidak rasional (Dietrich 1983). Prosedur masyarakat asli untuk memecahkan masalah mencakup ’fleksibilitas politik pragmatis’ dengan ’tujuan utama menjaga keteraturan ‘hasil negosiasi’, sebuah kompromi manusiawi dan bukan ‘keadilan’ yang bersifat abstrak dan seringkali mengecewakan’ (Sutherland 1980:1–2; dikutip dalam Dietrich 1983:52).
Peraturan dan ketertiban masa kini Saya yakin bahwa ’fleksibilitas politik pragmatis’ dan ’peraturan hasil perundingan’ masih merupakan sifat masyarakat pegunungan Flores Tengah saat ini, bahkan setelah mereka secara berturut-turut berada di bawah kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, nasionalisasi Indonesia, dan globalisasi. Saya telah melakukan penelitian lapangan di Flores Tengah sejak tahun 1979. Berikut ini saya akan menjabarkan beberapa contoh ’fleksibilitas politik pragmatis’ dan ’peraturan hasil perundingan’ yang saya peroleh semasa berada di lapangan. Pada suatu pagi di tahun 1980 ketika saya tinggal di sebuah desa di daerah pegunungan, sekitar sepuluh pria datang dari sebuah desa di pantai. Mereka berjalan menuju lapangan terbuka
86
di tengah desa. Pria-pria tersebut memegang parang yang tak disarungkan, menandakan mereka akan menyerang jika ditegur. Tak ada penduduk desa yang bicara pada mereka, meski banyak dari mereka yang merasa tersinggung. Penduduk desa khawatir bahwa akan ada pertumpahan darah jika mereka menyatakan perasaan tersebut. Kesepuluh pria dari desa di pantai itu perlahan-lahan menanamkan potongan-kayu-kapok di lapangan desa. Dengan melakukan ini, mereka menyatakan kekuasaan mereka atas lapangan tersebut. Yang dipertaruhkan adalah martabat. Berikut ini latar belakang kejadian itu. Desa di pegunungan tersebut pada awalnya dihuni oleh tiga kelompok kekerabatan patrilineal, sebut saja X, Y, dan Z. Semasa generasigenerasi terdahulu, sejumlah pria menikahi wanita Muslim dari desa pesisir dan pindah ke tepi pantai. Mereka menjadi Muslim dan sekaligus tetap menjaga hak tanah mereka di pegunungan. Pada tahun 1954 sebagian hutan dibabat untuk dijadikan sekolah dasar dan lapangan di desa pegunungan ini. Sejak saat itu, lapangan tersebut menjadi halaman bermain anak-anak sekolah. Sebuah upacara peresmian sekolah dan lapangan diadakan di bawah kepemimpinan seorang pria karismatis dari pesisir. Dalam upacara itu, kelompok kerabat X berperan sebagai pemberi tanah yang terhormat, tanpa ada seorang pun mengajukan keberatan. Kemudian, di tahun 1980 seorang pria separuh baya yang ambisius, sebut saja L, yang tinggal di pesisir dan merupakan anggota kelompok kekerabatan Y membuka kembali persoalan upacara peresmian tersebut. Merasa bahwa pihak pemberi tanah adalah keluarga Z, ia mencari dukungan dua pria muda, M dan N dari kelompok kerabat Z. M dan N bersedia dan bertekad mengembalikan kehormatan yang merupakan hak mereka. Mereka mengajak orang-orang desa mereka di pesisir untuk bergabung dan sejumlah pria, beberapa dari
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
mereka bahkan tidak memiliki hubungan dengan ketiga keluarga, juga untuk bergabung. Setelah menanamkan potongan-kayu-kapok, mereka kembali dengan tenang. Di sore hari yang sama, salah seorang di antara mereka yang berasal dari pesisir kembali ke desa pegunungan untuk menjual ikan. Kedatangannya mengejutkan penduduk desa yang tak menyetujui tindakan ritual yang dilakukan M dan N sebelumnya. Penduduk desa bertanya kepada penjual ikan sambil bercanda, mengapa ia datang di pagi hari, membawa parang yang tak disarungi. Ia menjawab dengan nada ringan, ’kalau orang datang dan meminta saya membantu mereka, saya harus bergabung’ (ata songga peka, dheko ii). Tongkat-tongkat kapok tumbang setelah beberapa hari dan kejadian itu dilupakan oleh seisi desa. Lalu di tahun 1984, L, M, dan N kembali mengumpulkan orang-orang dan mendatangi desa seperti yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Sayangnya kali ini, insiden tersebut berakhir dengan pertumpahan darah dan memakan dua korban jiwa. Ketika kelompok itu memasuki desa, mereka dihadang oleh seorang pria penduduk desa, P yang memiliki hubungan kekerabatan dengan L. Ia menghina L. L tersinggung dan melukai kaki P. Adik lelaki P membantu kakaknya dan juga terluka. Penduduk desa menolong mereka dan melukai M sebelum akhirnya berhasil mengusir kelompok itu keluar dari desa. P digotong masuk ke rumahnya yang segera dipenuhi ratapan. Seorang penduduk desa yang memiliki hubungan darah dengan X memukul hingga tewas penduduk lain yang lebih tua yang juga kerabat X. Ia menuduh penduduk yang lebih tua tersebut membantu orang-orang pesisir. Menjelang malam hari, P meninggal karena lukanya terlalu parah. Adik lelaki P, M selamat. Ketika saya mengunjungi desa beberapa bulan setelah insiden tragis itu, kehidupan di desa
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
telah normal dan konflik perebutan hak milik tanah tidak berlanjut. Hal ini khas Flores Tengah, dalam kaitannya dengan kejadiankejadian semacam itu. Orang secara politis bersikap fleksibel dan menegosiasikan masalah tanpa membalas dendam. Hemat saya, hal tersebut berlangsung demikian karena agen kekerasan tidak termasuk dalam kategorikategori eksklusivitas yang digunakan dalam konteks dan wacana lain.
Kelanggengan dan transformasi fleksibilitas politis Bangsa, suku bangsa, dan agama adalah konvensi modern. Ketiga hal tersebut merupakan dasar penetapan kategori-kategori eksklusif yang digunakan dalam konteks kekerasan. Dalam konteks ’modern’, kekerasan adalah cara yang paling efektif untuk membangkitkan identitas kebangsaan, kesukuan, dan keagamaan seseorang. Di wilayah-wilayah di tempat kerusuhan berlatar belakang balas dendam terjadi, masyarakat mengelompokkan diri mereka sesuai konvensi-konvensi tersebut. Bagaimana konvensi modern itu mempengaruhi masyarakat di Flores Tengah? Berapa jumlah suku bangsa di Flores Tengah? Menurut LeBar (1972), ada dua kelompok etnis, yaitu suku Ende dan suku Lio. Kategorisasi ini muncul dari pembagian administrasi di zaman kolonial dan secara kasar berkaitan dengan perbedaan dialek. Meskipun demikian, batas antara kedua wilayah, bahkan secara linguistik pun, tidaklah jelas. Selain itu, kedua wilayah ini memiliki ciri sosial budaya yang bersifat kontinyu. Tiap wilayah bersifat heterogen, tidak saja secara linguistik, tapi juga secara sosial budaya. Tidak ada kriteria yang secara obyektif dapat mengklasifikasi masyarakat Flores Tengah dalam kelompok-kelompok etnis. Selain itu, dalam wilayah-wilayah tersebut tidak ada otoritas yang menguasai segalanya. Masyarakat tidak pernah mempersepsikan dan
87
mengorganisasikan diri mereka sebagai orang Ende atau Lio, kecuali dalam wacana yang berhubungan dengan administrasi birokratis. Dalam bahasa daerah, kata ende dan l i o mengacu pada kategori yang tidak terbatas (unbounded category) tentang pihak lain. Arti kata tersebut bergantung pada penutur dan konteks. Dengan kata lain, tidak ada kategori suku bangsa yang menjadi dasar agensi politik yang eksklusif dan kekerasan karena balas dendam. Aliansi dan ikatan hasil negosiasi merupakan ciri kehidupan di sana. Ciri-ciri tersebut memastikan bahwa terjaganya fleksibilitas politis dan susunan sosial yang selalu dapat dirundingkan tetap bertahan. Karena mengalami program-program Katolik, pendidikan sekolah modern, program nasional dan ekonomi pasar selama beberapa puluh tahun, mayoritas penduduk pegunungan tidak memiliki kesulitan untuk mengambil peran strategis sebagai subyek modern dan mengadopsi kategori identitas modern. Meskipun dalam konteks-konteks tertentu, mereka berperan baik sebagai pemeluk Katolik maupun warga negara, tetapi dalam banyak konteks, hubungan kekerabatan, hubungan sosial lain, dan afiliasi terhadap desa-desa tradisional lebih penting bagi agensi dan identitas mereka. Setelah tahun 1990-an, mereka secara langsung terlibat dalam globalisasi. Banyak dari mereka bekerja di Malaysia sebagai pekerja berupah rendah, menerima bantuan luar negeri melalui program-program nasional, dan memanen tanaman keras (cash crops) internasional untuk dijual di pasar-pasar lokal kepada pedagang Cina atau kantor-kantor pemerintah. Barangkali, mekanisme pembentukan aturan sosial dan agensi sudah mengalami transformasi yang terjadi tidak hanya dalam konteks modern, tetapi juga pascamodern atau dalam proses globalisasi. Di saat bersamaan, fleksibilitas politis dari pengidentifikasian lokal untuk sebagian besar tetap dipertahankan.
88
Kesimpulan: setelah sistem negarabangsa modern Dapat dikatakan bahwa di Flores, orang-orang telah hidup dalam keadaan tanpa batas sejak zaman migrasi Austronesian (Belwood dkk. 1995). Keadaan ini berlanjut ketika Asia Tenggara menjadi jalur perdagangan maritim dan setelah munculnya bangsa Eropa di pentas kehidupan mereka. Bahkan setelah Kemerdekaan, Flores memiliki hubungan langsung dengan pihak-pihak di luar Indonesia melalui jaringan umat Katolik yang menyeberangi batas negara-bangsa. Belakangan ini sejumlah mahasiswa Katolik dan pastur-pastur dari Flores telah dikirim ke luar negeri. Karena pembangunan kapitalisme global, banyak orang dari daerah pegunungan Flores Tengah bekerja di Malaysia sebagai buruh berupah rendah. Mereka dapat beradaptasi dengan baik dalam situasi baru, ke mana pun mereka berimigrasi. Sebagai pekerja ilegal, mereka memiliki ketrampilan bersosialisasi, senantiasa siap menegosiasikan ikatan-ikatan sosial baru dengan orang Malaysia. Bahkan saat mereka ditangkap oleh pemerintah Malaysia dan dipaksa pulang, mereka tidak pernah mendapat cap buruk di desa asal mereka. Kemampuan adaptasi ini berkaitan erat dengan fleksibilitas politis yang telah digambarkan di atas dan merupakan sesuatu yang menurut saya merupakan ciri utama kehidupan di Flores. Saya ingin menamakan prinsip kemampuan adaptasi sosial dan fleksibilitas politis ini sebagai ’kosmopolitanisme Austronesian’ untuk sementara. Istilah ’Austronesian’ di sini digunakan sebagai kiasan. Penelitian mengenai bahasa-bahasa Austronesia menunjukkan bahwa orang-orang yang berbicara bahasa Proto-Austronesia mulai berimigrasi dari daratan Cina Tenggara atau dari Formosa sekitar enam ribu tahun lalu. Wilayah penyebaran mereka sangat luas (Fox 1993:6, dll.). Hampir semua bahasa yang ada di Indo-
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
nesia adalah bahasa Austronesia. Saat orangorang Austronesia tiba, kemungkinan wilayah ini dihuni oleh orang-orang asli. Tanpa teknologi huruf dan teknologi canggih, termasuk teknologi perang dan administratif seperti yang digunakan dalam peradaban, orang-orang asli tersebut masuk ke dalam dunia bahasa Austronesia (Belwood dkk. 1995). Aturan sosial yang fleksibel dan dapat dinegosiasi berhubungan erat dengan kenyataan bahwa teknologi huruf berperan sangat sedikit dalam kehidupan orang-orang di desa-desa di pegunungan Flores. Meski generasi muda dapat membaca dan beberapa dari mereka bekerja sebagai pegawai negeri, tradisi lisan adalah ciri khas masyarakat ini.4 Mereka tidak menuliskan ’sejarah’, ’mitos’, ’silsilah’, ’protokol ritual’ atau ’neraca jual beli’ mereka.5 Jika sebuah konflik timbul, pihak-pihak yang bersangkutan duduk dan bercakap-cakap tanpa melibatkan dokumen apapun. Percakapan dilakukan dalam bahasa puitis di depan pihak ketiga dan berlangsung hingga mencapai kesepakatan. Setelah mencapai kata sepakat, mereka berpestamakan-bersama. Dokumen tentang prosedur-
4
Berkat misi-misi agama Katolik, pendidikan sekolah dasar diperkenalkan di beberapa wilayah di tahun 1920an. Dibandingkan dengan wilayah-wilayah lain Indonesia, pendidikan tingkat dasar dan menengah cukup mapan dan persentase melek huruf di Flores tidaklah rendah. Kini, semua anak mengenyam sekolah dasar dan hampir semuanya meneruskan ke sekolah menengah pertama di ibukota kecamatan atau ibukota kabupaten, meski beberapa dari mereka akan berhenti setelah satu atau dua tahun. Beberapa anak mengenyam sekolah menengah atas di ibukota kabupaten. Meski demikian sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang berupah walaupun cita-cita mereka, biasanya para pria, adalah untuk menjadi pegawai negeri, satu-satunya pekerjaan yang tersedia di Flores. Walaupun begitu penduduk daerah ini tidak membaca koran, jurnal, ataupun buku dalam keseharian mereka. 5
Kecuali sawah, yang sejak tahun 1983 memiliki sertifikat kepemilikan, kepemilikan tanah lading tidak didokumentasikan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
prosedur ini tak pernah dibuat.6 Kehidupan sosial tidak dibekukan dalam dokumen dan dengan demikian menyisakan banyak ruang 6
Studi komparatif mengenai tradisi tulisan di Indonesia menunjukkan bahwa kecenderungan mereka mempertahankan tradisi lisan disebabkan karena masyarakat mereka tidak diperkenalkan pada tulisan sebelum awal abad kedua puluh. Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia memiliki tradisi tulisan yang didasarkan pada naskah Sansekerta di abad ke-13. Kesultanan-kesultanan yang mengandalkan perdagangan seperti Sulawesi, Sumatra, dan Maluku memiliki tradisi tulisan yang didasarkan pada naskah Arab yang dibawa masuk bersamaan dengan agama Islam pada tahun 1500-an. Komunitas-komunitas pedagang seperti Batak juga memiliki tradisi tulisan yang diturunkan dari naskah-naskah Sansekerta. Kesadaran untuk menulis mendukung terbentuknya sejumlah aliran penulisan sejarah di nusantara Indonesia dan Semenanjung Malaysia. (Rodgers 1995:31). Penelaahan lebih lanjut menunjukkan bahwa teks-teks historis tersebut berakar pada konsep-konsep lisan (Rodgers 1995:31; Siegel 1979; Sweeney 1987; John 1979; Errington 1979). ‘Siegel menemukan bahwa banyak teks historis Aceh yang ditulis dalam huruf Arab lebih ditujukan untuk menciptakan nuansa magis tertentu daripada bertujuan untuk merekam fakta-fakta secara linear, dalam urutan yang tidak dapat diputar balik.’ (Rodgers 1995:34; Siegel 1979). Walaupun tulisantulisan itu dapat disebut sebagai teks ‘irasional/premodern’ dan sangat mirip dengan tradisi oral, tulisantulisan tersebut merupakan unsur pokok kekuasaan, otoritas, dan teknologi administratif yang signifikan. Sangat mungkin bahwa masyarakat-masyarakat yang saya sebut di atas lebih reseptif terhadap tulisan yang dicetak, yang masuk setelah mengalami kontak dengan Eropa, daripada masyarakat yang saya teliti. Teknologi percetakan milik pemerintah dan penerbitan komersial merupakan kekuatan besar di daerah-daerah tersebut, terutama di Sumatera setelah pertengahan tahun 1800an, saat penguasaan Belanda menjadi kuat di daerah ini. Di pertengahan 1800-an, surat-surat resmi dan pemberitahuan penunjukkan politis yang diberikan pemerintah kolonial Belanda kepada kepala-kepala desa dan para tetua menjadi sangat penting. Di saat bersamaan, publikasi cetak, termasuk koran berbahasa Indonesia, bahasa daerah atau bahasa Belanda, mulai memiliki jumlah pembaca yang besar (Rodgers 1995:35). Di tahun 1920 dan 1930-an, pandangan terhadap sejarah yang memiliki dasar tradisi lisan maupun tertulis mulai memasuki dunia percetakan sehubungan dengan usaha untuk mendapatkan status dan wewenang (Rodgers 1995:36). Batak Toba dan Minangkabau telah mencetak silsilah klan tarombo dan Kaba (kronik) sebelum Perang Dunia II (Rodgers 1995:37).
89
untuk proses negosiasi identitas, afiliasi, dan aliansi yang dinamis. Untuk menyatakan bahwa budaya lisan dapat mencegah konflik memang terlalu optimistis, tetapi patut disadari bahwa pendokumentasian yang menjadi dasar penetapan ’keadilan’ oleh institusi hukum modern bukan merupakan cara yang lebih baik untuk menyelesaikan konflik. Agar dapat berfungsi sebagai sistem politikekonomi, Indonesia harus mengembangkan kebijakan tentang keanekaragaman yang tidak mengelompokkan kebudayaan dan suku sebagai kategori dengan batasan tegas dan dengan demikian menciptakan identitasidentitas eksklusif. Jika hal itu dapat dilakukan, ’kosmopolitanisme austronesian’ akan berfungsi dengan baik. Kita kerap mendengar argumen yang menyatakan bahwa jika di abad ke-20 benturan antarideologi politik mengancam keberadaan umat manusia, dalam abad ke-21 benturan kebudayaan/kesukuan dan agama dapat menghancurkan negara-bangsa dan komunitas internasional—benturan yang diantisipasi saat di berbagai belahan dunia, konflik suku dan agama sedang terjadi (sebagai contoh lihat Burayidi 1997; Smith dkk. 1998). Mereka yang memandang situasi global saat ini dengan cara tersebut menyesalkan runtuhnya negarabangsa modern. Tetapi pemahaman tersebut berubah jika dilihat dari sudut pandang lain. Kekacauan yang terjadi justru mengindikasikan keterbatasan sistem negara-bangsa itu sendiri. Bukanlah kekacauan yang menghancurkan sistem negara-bangsa, melainkan prinsipprinsip yang ada dalam sistem tersebut. Tidak ada negara-bangsa yang dapat berfungsi dengan benar jika tidak dianggap sebagai ’komunitas’. Selama abad ke-20, terlebih di paruh kedua, anggapan ini diterima oleh seluruh dunia. Sistem negara-bangsa dibenarkan dan diistimewakan ketika dijadikan satu-satunya prinsip tata tertib dunia. Seperti
90
ditunjukkan oleh Appadurai, di tahun 1990-an, saat dunia mengalami globalisasi, negarabangsa kehilangan posisinya dan banyak orang mulai menganggapnya khayalan belaka. ’Salah satu hal baru dan penting yang muncul dalam politik, terkait erat dengan hubungan yang bersifat kontras antar berbagai pandangan..., adalah bahwa negara dan bangsa tengah saling mengancam, dan tanda pemisah yang ada di antaranya tidak lagi menunjukkan konjungsi tetapi lebih sesuai dianggap sebagai tanda disjungsi’ (Appadurai 1996:39).
Dalam konteks-konteks tertentu, suku dan agama mengambil alih peran bangsa dalam pembentukan identitas dan agensi. ’Multikulturalisme’ sering dianggap sebagai jalan untuk mengatasi masalah-masalah di abad ke-21. Sejumlah penelitian berusaha mencari tahu multikulturalisme macam apa yang harus kita adaptasi. Penelitian-penelitian tersebut menganalisis contoh-contoh multikulturalisme di negara-negara Barat (Gordon, Avery dan Newfield 1996). Dalam melakukan analisis ini, para peneliti berasumsi bahwa kebudayaan/ suku/agama merupakan kelompok-kelompok eksklusif. Seperti telah dijabarkan, asumsi ini mendasarkan diri pada perspektif yang sama seperti sistem negara-bangsa. Saya ingin menyatakan bahwa mengaplikasikan model multikulturalisme dari Barat pada Indonesia dapat menyesatkan. Ada dua alasan mengapa hal itu dapat terjadi. Pertama, sistem negarabangsa Barat terbukti merupakan sistem yang bermasalah. Model multikulturalisme Barat yang didasarkan pada prinsip yang sama seperti sistem dunia modern tidak akan mengatasi masalah tetapi justru memperparahnya. Kedua, analisis-analisis multikulturalisme ini tidak mempertimbangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan posisi mereka sendiri dalam sistem dunia modern. Jelas bahwa krisis yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan sistem dunia saat ini. Walaupun demikian, analisis kritis yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
memadai tentang bantuan internasional belum dijalankan. Kolaborasi global dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang tengah dialami Indonesia. Saat ini semacam dekonstruksi sistem dunia dibutuhkan. Berdasarkan telaah kritis tentang sumbangan modernitas pada dunia dan umat manusia, akademisi-akademisi di bidang ekonomi dan pembangunan sosial mulai
mencari teknologi alternatif dan institusi sosial tradisional untuk mempertahankan umat manusia (Sebagai contoh lihat Inoue dan Miyauchi 2001; Bromley 1991). Pertimbangan antropologis tentang masyarakat di Indonesia, hemat saya, dapat membantu dalam pencarian prinsip-prinsip sosial dan sistem dunia alternatif.
Referensi Acciaioli, G. 1985 ‘Culture as Art: From Practice to Spectacle in Indonesia’, Canberra Anthropology 8:148–172. 2001 ‘Grounds of Conflict, Idioms of Harmony: Custom, Religion, and Nationalism in violence Avoidance at the Lindu Plain, Central Sulawesi’, Indonesia 72:81–114. Anderson, B. 1983 Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. Aoki, E. 2002
‘The “Conversion” and Practice among the Catholic in Flores’, dalam Terada Takefumi (peny.) Christianity in Southeast Asia. Tokyo: Mekon.
Appadurai, A. 1996 Modernity at Large: Cultural Dimension of Globalization. Minneapolis and London: University of Minnesota Press. Aragon, L.V. 2001 ‘Communal Violence in Poso, Central Sulawasi: Where People Eat Fish and Fish Eat People’, Indonesia 72:45–79. Bellwood, P. dkk (peny.) 1995 The Austronesians. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific Studies, the Australian National University. Billig, M. 1995 Banal Nationalism. London: Sage. Bromley, D.W. (peny.) 1992 Making the Commons Work: Theory, Practice and Policy. ICS Press. Burayidi, M.A. (peny.) 1997 Multiculturalism in a Cross-National Perspective. Lanham: University Press of America.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
91
Dietrich, S. 1983 ‘Flores in the Nineteen Century: Aspects of Dutch Colonialism on a Non-Profitable Island’, Indonesia Circle 31:39–58. Dwyer, L.K. 2000 ‘Spectacular Sexuality: Nationalism, Development and the Politics of Family Planning in Indonesia’, dalam T. Mayer (peny.) Gender Ironies of Nationalism: Sexing the Nation. London: Routledge. Hlm.25–62. Errington, S. 1979 ‘Some Comments on Style in the Meanings of the Past’, dalam A. Reid dan D. Marr (peny.) Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: Asian Studies Association of Australia. Hlm.26–42. Escobar, A. 1995 Encountering Development: Making and Unmaking of the Third World. Princeton: Princeton University Press. Fox, J.J. 1993
‘Comparative Perspectives on Austronesian Houses: An Introductory Essay’, dalam J.J. Fox (peny.) Inside Austronesian House. Canberra: The Australian National University. Hlm.1–29.
Gordon, A.F. dan C. Newfield (peny.). 1996 Mapping Multiculturalism. Minneapolis: University of Minesota Press. Hull, T.H. dan Jones, Gavin W. 1994 ‘Demographic Perspectives’, dalam H. Hill (peny.) Indonesia’s New Order. St. Leonards: Allen Unwin. Hlm. 123–178. Inoue Makoto dan Miyauchi Daisuke (peny.) 2001 The Sociology of the Commons. Tokyo: Shinyousha. Johns, A.H. 1979 ‘The Turning Image: Myth and Reality in Malay Perceptions of the Past’, dalam A. Reid dan D. Marr (peny.) Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: Asian Studies Association of Australia. Hlm. 43–67. Kato Tuyoshi 1993 ‘Way to “Unity in Diversity”’, dalam Miyazaki Kouji dkk (peny.) Indonesia. Tokyo: Kawadeshinsha. Hlm. 25–34. Kutsuwada Ryuzo 2001 ‘Between Banal Nationalism and the Third World Nationalism’, Revue de la Pensee d’Aujourd’hui 29(16). LeBar, F.M. 1972 Ethnic Groups of Insular Southeast Asia. New Haven: Human Relations Area Files Press.
92
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
Manning, C. dan P. van Diermen (peny.) 2000 Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis. Singapore: ISEAS. Mote, O. dan D. Rutherford. 2001 ‘From Irian Jaya to Papua: The Limits of Primordialism in Indonesia’s Troubled East’, Indonesia 72:115–140. Rogers, S. 1995 ‘Two Sumatran Childhood Memoirs’, dalam Pospos dan M. Radhab Telling Lives, Telling History: Autobiography and Historical Imagination in Modern Indonesia. Berkeley: University of California Press. Hlm.3–78. Siegel, J. 1979 Shadow and Sound: the Historical Thought of a Sumatran People. Chicago: University of Chicago. Smith, J.W., dkk. (peny.) 1998 Global Meltdown: Immigration, Multiculturalism, and National Breakdown in the New World Disorder. Westport: Praeger Publishers. Sutherland, H. 1980 ‘The Transformation of the Trengganu Legal Order’, Journal of Southeast Asian Studies 9(1):1–29. Sweeney, A. 1987 A Full Hearing: Orality and Literacy in the Malay World. Berkely: University of California Press. Van Klinken, G. 2001 ‘The Maluku Wars: Bringing Society Back in’, Indonesia 71:1–26. Vel, J.A.C. 2001 ‘Tribal Battle in a Remote Island: Crisis and Violence in Sumba (Eastern Indonesia)’, Indonesia 72:141–158.
ANTROPOLOGI INDONESIA 74, 2004
93