MASIHKAH BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERSATU BANGSA?1 DR. M. RAFIEK, S. PD., M. PD.2 Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
PENDAHULUAN Saya termenung ketika membaca tulisan Taufiq Ismail, yaitu Tapi kini bahasa tidak lagi menunjukkan bangsa, sastra tidak pula menambah kearifan dalam kehidupan kita. Dari dalam, bahasa kita didesak oleh kolokialisme (dialek Betawi yang makin berpengaruh terutama dalam bahasa bertutur), dan dari luar, diserang oleh dominasi bahasa Inggris. (Taufiq Ismail, dalam Ismail dan Jabbar, 1997: 402). Betulkah demikian kondisinya? Gunarwan (dalam Purwo, 2000) dalam makalahnya yang berjudul Peran Bahasa sebagai Pemersatu Bangsa mengemukakan bahwa pada masa sekarang ini dan masa yang akan datang, bahasa Indonesia akan mendapat tantangan yang berarti dari bahasa Inggris. Hal ini terlihat dari hasil perbandingan kepadaan geolinguistik antara bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia yang telah dilakukan oleh Gunarwan. Hasil perbandingannya menunjukkan bahasa Inggris lebih dominan daripada bahasa Indonesia dari segi kekuasaan bahasa, daya tarik bahasa, dan tekanan bahasa. Dalam kekuasaan bahasa, bahasa Inggris dominan dilihat dari indikator demografi, dispersi3, mobilitas4, ekonomi, dan kebudayaan. Dalam daya tarik 1
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Bulan Bahasa di Palangka Raya, Kalimantan Tengah pada tanggal 10 Oktober 2011. 2 Dosen S1, S2, dan S3 Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Universitas Lambung Mangkurat. Alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang bulan Januari 2010. Sekarang sebagai ketua Program Studi S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Unlam 2011-2015 dan Kabid Akademik S2 PBSID PPs Unlam 2010-2014. Dosen Unlam kelahiran Sampit, 6 Agustus 1978 ini juga adalah juara 1 Dosen Berprestasi FKIP Unlam 2011 dan juara 1 Dosen Berprestasi Unlam 2011. 3 Dispersi adalah pergerakan untuk perpindahan individual, terutama untuk mendiami lingkungan baru (Depdiknas, 2008: 335). 4 Mobilitas adalah gerak perubahan yang terjadi di antara warga masyarakat, baik secara fisik maupun secara sosial (Depdiknas, 2008: 923).
1
bahasa, bahasa Inggris dominan dilihat dari indikator daya tarik status dan daya tarik teritorial penggunaannya. Dalam tekanan bahasa, bahasa Inggris dominan dilihat dari segi ciri-ciri perilaku dan akulturasi konsep. Sekalipun bahasa Indonesia mendapat tantangan yang cukup berarti dari bahasa Inggris, akan tetapi bahasa Indonesia masih mempunyai peran yang strategis, yaitu sebagai perekat persatuan. Hal ini dengan jelas dinyatakan oleh Gunarwan bahwa yang dapat berperan sebagai perekat persatuan bangsa adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah pemersatu bangsa kita. Menurut Gunarwan, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional harus terus dipelihara dan dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam hal penggunaannya baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Pergeseran peran bahasa Indonesia dalam masyarakat lebih dikarenakan bahasa Indonesia kalah bersaing dalam hal prestise bila dibandingkan dengan bahasa Inggris. Bahasa Inggris dianggap mampu menjawab tantangan global termasuk dunia kerja dan ciri khas orang modern. Bahasa Inggris dinilai mampu menjembatani
komunikasi
orang
Indonesia
dengan
orang
luar
negeri.
Gambaran-gambaran semacam itulah yang menyebabkan bahasa Inggris semakin kuat dan cepat berkembang di dalam masyarakat Indonesia, khususnya pelajar dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa sebagai ujung tombak generasi penyambung estafet pembangunan bangsa Indonesia menjadi sangat rentan akan kehilangan ciri khas Indonesianya jika bahasa Indonesia tidak dibina di kalangan generasi muda sejak sekarang. Bahasa Indonesia kalau tidak diselamatkan dari sekarang, ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak kita, suatu saat akan mengalami kepunahan seperti bahasa daerah yang telah banyak punah. Basri (2008) dalam penelitiannya tentang penggunaan bahasa daerah oleh anak sekolah di kota Palu, Sulawesi Tengah menemukan bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berperan besar dalam menggiring bahasa-bahasa daerah di Indonesia termasuk di Palu ke ambang kepunahan. Fakta menunjukkan bahwa pada anak usia sekolah di kota Palu sudah tidak tertarik untuk mempelajari bahasa daerah Mereka lebih tertarik mempelajari bahasa 2
Indonesia dan bahasa Inggris. Jika dibandingkan lagi antara ketertarikan mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, anak usia sekolah dari pelajar hingga mahasiswa menunjukkan bahwa bahasa Inggris lebih diinginkan untuk dipelajari daripada bahasa Indonesia. Pertanyaan penelitian tentang perbandingan itu tidak hanya ditanyakan pada pelajar dan mahasiswa saja tetapi juga kepada orang tuanya. Steinhauer (dalam Purwo, 2000) dalam tulisannya yang berjudul Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah di Indonesia malah dengan sangat tragis menyatakan melalui subtopiknya dialek-dialek kecil haruslah hilang. Hal yang dinyatakan oleh Steinhauer itu mungkin saja terjadi jika bahasa daerah kalah bersaing dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing yang merambah Indonesia. MASALAH SIKAP DAN RASA CINTA KEPADA BAHASA INDONESIA Masalah rendahnya mutu penggunaan bahasa Indonesia pernah juga dikemukakan oleh Gunarwan, baik yang berkenaan dengan kekurangtahuan penutur maupun yang berkenaan dengan rendahnya disiplin berbahasa penutur. Gunarwan menyarankan agar dilakukan penyuluhan bahasa Indonesia dan pengkampanyean disiplin berbahasa di kalangan guru dan dosen. Menurut Gunarwan, penyuluhan bahasa baik juga ditujukan bagi para wartawan dan penulis serta penyunting artikel berita media cetak dan elektronik tidak ketinggalan pula penulis buku ajar. Gunarwan berpendapat bahwa pembinaan sikap bahasa dan rasa cinta kepada bahasa Indonesia perlu dilakukan sejak dini. Pembinaan sikap bahasa dan cinta terhadap bahasa Indonesia bisa ditumbuhkembangkan dengan memperbanyak bahan bacaan sastra bergambar bagi anak dan tulisan bahasa Indonesia besar-besar5. Dengan membaca buku bacaan sastra yang berbahasa Indonesia diharapkan lambat laun, anak akan mencintai bahasa Indonesia. 5
Wuri Soedjatmiko (dalam Purwo, 2000) menjelaskan berdasarkan hasil penelitian para psikolog dan neurolog ditemukan bahwa anak-anak Indonesia usia 0-3 tahun juga membutuhkan buku cerita yang sesuai dengan tahap perkembangan indera dan bahasa mereka. Sebagai contoh, First Baby Books diterbitkan dengan banyak gambar bayi, gambar benda-benda dengan warna kontras seperti Goodnight Moon dan buku-buku yang tergolong basic concepts. Dr. Murti Bunanta, ketua Kelompok Pencinta Bacaan Anak
3
Purwo (dalam Purwo, 2000: 825) menceritakan bahwa berdasarkan hasil komunikasi pribadinya dengan Natalie Hedberg, guru besar ahli patologi wicara dari Universitas Colorado tahun 1990 didapat informasi bahwa anak-anak di Amerika Serikat pada waktu masuk ke Sekolah Dasar, rata-rata sudah mengenal sekitar 6000 buah cerita. Fakta itu menunjukkan berapa banyak bacaan yang mereka peroleh sebelum masa sekolah. Hal ini tentu jauh berbeda dengan kondisi anak-anak kita di Indonesia. Menurut Junaedi (dalam Djajasudarma dan Nadeak, 1996: 280-291) ada lima jalur guna menumbuhkan dan membina sikap positif terhadap bahasa Indonesia, yaitu (1) jalur sekolah, (2) jalur agama, (3) jalur organisasi sosial, (4) jalur media massa, dan (5) jalur keteladanan. Bersikap positif terhadap bahasa Indonesia tidak berarti bahwa kita menutup diri terhadap pengaruh bahasa asing dan bahasa daerah. Menurut Djajasudarma (dalam Djajasudarma dan Nadeak, 1996: 25), sikap positif hanya dapat dicapai antara lain, bila orang belajar dari kesalahan, memperhatikan saran, petunjuk, atau pendapat orang yang ahli, serta mengupayakan perbaikan pemakaian bahasanya. Sikap positif dapat diamati melalui bagaimana masyarakat bahasa Indonesia menyikapi kosakata asing dalam berbahasa Indonesia. Djajasudarma masih memberi toleransi kepada penggunaan kosakata asing sebatas untuk keperluan tertentu. STRATEGI MEMBINA DAN MENGEMBANGKAN BAHASA INDONESIA Strategi pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia ke depan adalah dengan membiasakan anak sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
Sekolah
Menengah
Atas
(SMA)
atau
yang
sederajat
berlatih
mengatakan bahwa sebagian besar anak SD yang ditemuinya mengatakan tidak pernah didongengi oleh orangtuanya. Hal itu menurutnya karena tidak semua orang tua mempunyai hafalan tentang dongeng dan mampu untuk menceritakannya kepada anak. Rafiek (2010) mencermati bahwa rendah atau menurunnya minat baca pada masyarakat Indonesia lebih dikarenakan menurunnya daya beli masyarakat terhadap buku pelajaran dan bacaan. Penurunan daya beli masyarakat terhadap buku disebabkan mahalnya harga buku yang beredar di pasaran. Oleh karena itu, disarankan kepada pemerintah agar memprogramkan pengadaan buku murah dan berkualitas bagi masyarakat di seluruh penjuru tanah air bukan saja program bazar murah menyambut hari raya saja yang digelar oleh pemerintah maupun swasta. Di Indonesia, sepengetahuan penulis hanya grup penerbit Mizan dan Andi Offset saja yang sudah mengadakan program buku murah ini.
4
mempraktikkan empat keterampilan berbahasa di kelas dan di luar kelas meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Guru dan dosen harus sering membimbing siswa dan mahasiswa dalam menekuni bidang tulis-menulis baik penulisan esei, karya ilmiah, puisi, novel, cerpen, dan drama. Guru dan dosen juga harus mewajibkan anak didiknya agar banyak membaca buku-buku di perpustakaan atau di rumah. Keterampilan membaca dan menulis merupakan dasar bagi keterampilan berbicara di samping keterampilan menyimak. Hal yang utama adalah guru dan dosen harus menjadi contoh utama dan pertama bagi para siswa dan mahasiswanya dalam keterampilan membaca dan menulis. Membaca dan menulis karya sastra perlu dilakukan sejak dini agar temuan Taufiq Ismail bahwa bangsa Indonesia rabun sastra dan lumpuh menulis6 dapat dipatahkan. Kecintaan kepada bahasa Indonesia sebagai salah satu identitas jati diri bangsa perlu dipupuk sejak dini agar generasi mendatang tetap dan setia menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari. Dengan rajin membaca buku sastra berbahasa Indonesia diharapkan generasi muda penerus bangsa akan cinta kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan negaranya. SUDAHKAH BAHASA INDONESIA MENJADI PEMERSATU BANGSA? Bawa (2005: 25-36) dalam artikelnya yang berjudul Bahasa Indonesia Perekat Bangsa? juga mempertanyakan peran bahasa Indonesia itu. Bawa (2005: 27) mencatat bahwa bahasa yang dijunjung sebagai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia dalam ikrar sumpah pemuda butir ketiga itu adalah bahasa Melayu. Namun menurut hasil Kongres Bahasa Indonesia II di Medan
6
Taufiq Ismail menyayangkan pembelajaran bahasa dan sastra di sekolah khususnya SMU yang tidak mewajibkan siswanya untuk membaca dan mendiskusikan karya sastra sampai selesai siswanya sekolah di situ. Hal ini menyebabkan siswa SMU di Indonesia sampai lulus tidak satupun yang membaca dan membahas satu karya sastra pun. Beliau membandingkannya dengan kondisi di Negara-negara lain yang siswa SMUnya setelah tamat berhasil menyelesaikan bacaan dan membahas paling sedikit 5 karya sastra dan paling banyak 32 karya sastra. Siswa SMU Thailand Selatan (5 karya sastra), SMU Singapura dan SMU Malaysia (6 karya sastra), SMU Brunei Darussalam (7 karya sastra), SMU Rusia (12 karya sastra), SMU Kanada (13 karya sastra), SMU Jepang dan SMU Internasional, Swiss (15 karya sastra), SMU Jerman (22 karya sastra), AMS Hindia Belanda (25 karya sastra), SMU Perancis (20-30 karya sastra), SMU Belanda (30 karya sastra), dan SMU Amerika Serikat (32 karya sastra).
5
tahun 1954, bahasa Indonesia berdasarkan bahasa Melayu yang dilengkapi pada bagian yang perlu dengan unsur-unsur bahasa daerah dan bahasa asing. Dewantara (1967: 156) menjelaskan bahwa diangkatnya bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan disebabkan luas persebarannya di nusantara dan sudah menjadi bahasa lingua franca sejak lama. Lebih lanjut, Dewantara menyatakan bahwa sekalipun jumlah penutur bahasa Melayu pada saat itu hanya sekitar 5 juta, sedangkan penutur bahasa Jawa sudah mencapai 20 juta jiwa. Akan tetapi karena kemampuan adaptasinya yang baik dengan penduduk setempat, bahasa Melayu dapat diterima sebagai bahasa perdagangan dan komunikasi antarsuku bangsa ketika itu. Hal ini dikuatkan oleh pendapat Usman (1960: 77) yang menyatakan bahwa bahasa Melayu mempunyai kekuatan penyebaran secara vertikal dan horizontal serta sudah lama menjadi bahasa resmi kedua di Indonesia. Memang hasil penelitian Rafiek (2007) menemukan bahwa bahasa Indonesia berperan penting dalam mengakibatkan pergeseran bahasa pada penutur muda bahasa Banjar dan bahasa Ngaju di Kalimantan Tengah. Akan tetapi dalam hal merekatkan persatuan bangsa Indonesia, bahasa Indonesia masih diakui sebagai bahasa pemersatu antardaerah dan antarsuku bangsa. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Bahasa Indonesia masih berperan sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Hal itu ditandai dengan masih digunakannya bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari antarpenduduk yang berbeda suku bangsa. Bahasa Indonesia pun masih digunakan dalam kehidupan keluarga yang membiasakan anak-anaknya untuk berbahasa Indonesia. Secara umum, dalam interaksi antarsuku bangsa, bahasa Indonesia memegang peranan penting dalam menjembatani komunikasi penduduk berbeda suku sepulau dan antarpulau. Intinya ke depan, bahasa Indonesia harus mampu memperkaya diri dengan bahasa daerah di Indonesia agar mampu mengimbangi perkembangan bahasa Inggris.
6
SARAN Pemasyarakatan bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa harus dilakukan sejak dini dan secara berkelanjutan agar masyarakat Indonesia setia dan mencintai bahasanya. Pemerintah dan seluruh komponen bangsa harus bekerja sama dalam memasyarakatkan gerakan cinta bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia tetap lestari. Pemerintah harus mendukung setiap upaya pemasyarakatan bahasa Indonesia. Pemerintah juga harus memberikan perhatian yang serius kepada pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Daftar Pustaka Basri, Hasan. 2008. Menuju Generasi Monolingual di Kota Palu: Penggunaan Bahasa Daerah oleh Anak Sekolah di Kota Palu. Linguistik Indonesia, 26 (2): 169-183. Bawa, I Wayan. 2005. Bahasa Indonesia Perekat Bangsa? Linguistik Indonesia, 23 (1): 25-36. Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Dewantara, Ki Hajar. 1967. Karya Ki Hajar Dewantara, bagian IIA, Kebudayaan. Yogyakarta: Majelis Lihur Persatuan Taman Siswa. Gunarwan, Asim. 2000. Peran Bahasa sebagai Pemersatu Bangsa. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed.), Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa (hal. 51-77). Jakarta: Unika Atma Jaya dan BPK Gunung Mulia. Ismail, Taufiq. 1997. Pengajaran Sastra: Pengalaman Indonesia (atau: Cara Menjadi Bangsa yang Rabun Sastra dan yang Lumpuh Menulis). Dalam Taufiq Ismail dan Hamid Jabbar (Eds.), Panorama Sastra Nusantara (hal. 401-418). Jakarta: Balai Pustaka. Junaedi, Moha. 1996. Lima Jalur Menumbuhkan dan Membina Sikap Positif terhadap Bahasa Indonesia, Sebuah Alternatif Perencanaan Bahasa. Dalam T. Fatimah Djajasudarma dan Wilson Nadeak (Eds.), Bahasa dan Sastra Indonesia (hal. 280-291). Bandung: HPBI dan Yayasan Pustaka Wina. Purwo, Bambang Kaswanti. 2000. Menumbuhkan Minat Sastra pada Anak. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed.), Kajian Serba Linguistik untuk 7
Anton Moeliono Pereksa Bahasa (hal. 824-848). Jakarta: Unika Atma Jaya dan BPK Gunung Mulia. Soedjatmiko, Wuri. 2000. Penulisan Sastra Anak Usia 0-3 Tahun. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed.), Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa (hal. 808-823). Jakarta: Unika Atma Jaya dan BPK Gunung Mulia. Steinhauer, Hein. 2000. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah di Indonesia. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed.), Kajian Serba Linguistik untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa (hal. 175-195). Jakarta: Unika Atma Jaya dan BPK Gunung Mulia. Usman, Zuber. 1960. Kedudukan Bangsa dan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gunung Agung.
Biografi Singkat Pemakalah M. Rafiek kelahiran Sampit, 6 Agustus 1978, meraih gelar doktor pendidikan bahasa Indonesia di Universitas Negeri Malang (UM) pada Januari 2010 dengan disertasi berjudul Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Beliau berprofesi sebagai dosen di S1 PS PBSI FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin dan S2 PSM PBSID PPs Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Spesialisasinya adalah sastra Melayu klasik. Di S1 PS PBSI FKIP Unlam, beliau mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA), Psikolinguistik, Sosiolinguistik, Sastra Bandingan, dan Teori Sastra. Di S2 PSM PBSID PPs Unlam, beliau mengajar mata kuliah Pemerolehan Bahasa, Desain Silabus Perencanaan Pengajaran Bahasa Indonesia, dan Studi Bahasa Banjar. Buku-buku beliau yang sudah terbit ber ISBN adalah Sosiologi Bahasa, Pengantar Dasar Sosiolinguistik (LKiS, Yogyakarta), Sosiolinguistik: Kajian Multidisipliner (UM Press Malang), Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (UM Press, Malang), Psikolinguistik: Kajian Bahasa Anak dan Gangguan Berbahasa (UM Press Malang), Dasar-Dasar Sosiolinguistik (Pustaka Prisma, Yogyakarta), Teori Sastra (Refika Aditama, Bandung), Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Pustaka Prisma, Yogyakarta, dan Transformasi Kisah Nabi dan Rasul dalam Hikayat Raja Banjar (Aswaja Pressindo, Yogyakarta). Pengalaman menjadi pembicara antara lain pada Kongres Kebudayaan Banjar II di Hotel Banjarmasin Internasional 2010, Seminar Pendidikan Se-Kalimantan Selatan di STAI Darussalam Martapura 2010, Seminar Pemasyarakatan Bahasa di Dinas Pendidikan Nasional Kalimantan Selatan 2010, Seminar Nasional Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia 2011, dan Seminar Aruh 8
Sastra Kalimantan Selatan VIII di Barabai 2011. Artikel ilmiahnya dimuat dalam jurnal Metafor JPBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Vidya Karya, FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Wiramartas JIPS FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Tahuri Universitas Pattimura, Ansos Universitas Pattimura, dan Kalimantan Scientiae Universitas Lambung Mangkurat, Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Pattimura. Saat ini, aktif menjadi anggota Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) dan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI). Beliau juga adalah ketua penyunting jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya milik PSM PBSID PPs Unlam. Prestasi yang pernah diraihnya adalah juara 1 mahasiswa berprestasi utama FKIP Unlam tahun 2001, juara 1 dosen berprestasi FKIP Unlam 2011, dan juara 1 dosen berprestasi Unlam 2011. Beliau juga pernah memperoleh insentif buku ajar DP2M Dikti 2008.
9