BAB V
KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah penulis uraikan dari bab pertama hingga keempat, dengan sangat jelas dapat dilihat bahwa terdapat banyak sekali perbedaan antara dinamika liberalisasi pendidikan tinggi yang terjadi di Cina dan Indonesia. Meskipun Cina masuk ke WTO lebih belakangan dibanding Indonesia, namun Cina telah lebih dulu melakukan liberaliasi pendidikan tinggi. Sejak era Deng Xiaoping, Cina telah berani melaksanakan reformasi besarbesaran dalam hal perncanaan pembangunan negara. Reformasi ini dilakukan atas respon terhadap perkembangan ekonomi pasar yang berbasis informasi pada waktu itu. Cina yang di era sebelumnya (Mao Tze Dong) mengisolasi diri dari pengaruh barat melalui revolusi kebudayaan, akhirnya berani membuka diri walaupun dengan perlahan dan jalan yang pragmatis. Pragmatis dalam artian: di satu sisi, Cina tetap menjalankan sistem politik terkomando (komunisme) di dalam negerinya, namun di sisi lain, Cina membuka diri atas pengaruh asing. Dalam melaksanakan reformasi ini, yang pertama kali dilakukan Cina adalah berinvestasi secara besar-besaran terhadap sektor pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Reformasi ini telah dilakukan sejak 1979, dan semakin progresif semenjak
111
diterbitkannya Undang Undang tentang Reformasi Sistem Pendidikan tahun 1985. Pada Undang-Undang itu dinyatakan bahwa "Tujuan mendasar reformasii pendidikan adalah untuk meningkatkan kualitas bangsa dan menghasilkan sebanyak mungkin orang yang terampil”. Undang-Undang ini menekankan peran sentral pendidikan tinggi dalam mewujudkan modernisasi dan pentingnya peningkatan otonomi kelembagaan. Universitas diberi kebebasan untuk menentukan isi pengajaran dan teknik, serta otonomi untuk merekrut mahasiswa dan bekerjasama dengan perusahaan, yang didanai sendiri di luar rencana negara. Selain itu, perguruan tinggi juga dibebaskan untuk program-program baru dengan menekankan pengggabungkan pengajaran dengan penelitian. Reformasi pendidikan tinggi ini terus berlanjut, dan semakin massif dengan bergabungnya Cina ke WTO di tahun 2001. Setelah menandatangani GATS, Cina bahkan mengizinkan Perguruan Tinggi asing berdiri secara independen, meskipun masih dengan format joint venture (dengan diizinkannya kepemilikan asing lebih dari 50%). Sementara itu, liberalisasi pendidikan tinggi justru mengalami banyak hambatan di Indonesia. Masyarakat menolak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang terbit pada tahun 2008, yang kemudian memang diputuskan batal berlaku oleh
112
Mahkamah Konstitusi. Lalu, UU Perguruan Tinggi yang lahir pada tahun 2012 juga mengalami judicial review -meskipun ditolak-. Ada tiga faktor yang melandasi terjadinya hal ini: pertama, sistem politik Indonesia yang demokratis, yang menyulitkan pemerintah mengambil kebijakankebijakan yang tidak populer. Kedua, pasca krisis ekonomi 1998, sentimen mengenai liberalisme dan intervensi asing begitu menguat di Indonesia. Penyebab hal ini adalah intervensi lembaga-lembaga donor asing (IMF, World Bank) yang begitu kuat dalam proses pemulihan krisis, yang kemudian terbukti kinerjanya tidak cukup efektif. Lalu ketiga, pemerintah terkesan terlalu tergesa-gesa dalam melaksanakan liberalisasi ini. Sebelum 1998, Indonesia bahkan tidak punya Undang-Undang mengenai reformasi sektor pendidikan. Kini, UU Perguruan Tinggi 2012 menjadi satu-satunya UU yang berlaku terkait dengan pendidikan tinggi di Indonesia. Walaupun Undang-Undang ini didasari atas tuntutan liberalisasi pendidikan dalam kerangka WTO, namun ia belum dapat dikatakan sebagai bagian dari liberalisasi pendidikan. Alasannya antara lain adalah pengkategorian perguruan tinggi sebagai unit usaha nirlaba, sementara aturan GATS sendiri menginginkan pendidikan sebagai unit usaha komersial. Selain itu, dikatakan juga bahwa unit usaha pendidikan asing yang hadir di Indonesia harus berbentuk kerjasama joint venture, di mana tidak diizinkan kepemilikan asing di atas 50%.
113
Dari uraian ini, dapat disimpulkan bahwa faktor yang memperlancar liberalisasi pendidikan tinggi di Cina dalam kerangka GATS WTO adalah sistem politik dalam negeri yang terkomando (komunis), serta reformasi pendidikan tinggi yang telah dimulai jauh sebelum Cina bergabung dengan WTO. Selain itu, pemerintah Cina juga menjalankan kebijakan yang pragmatis, yaitu dengan tetap mempertahankan hal-hal substansial seperti: penetapan standar biaya pendidikan, serta penentuan bidangbidang pendidikan apa saja yang boleh diliberalisasi. Sementara hal yang sebaliknya justru terjadi di Indonesia. Liberalisasi pendidikan tinggi dalam kerangka GATS WTO terhambat akibat sistem politik dalam negeri yang demokratis, yang menyulitkan pemerintah mengambil kebijakan yang tidak populer. Selain itu ada pula sentimen mengenai liberalisme dan intervensi asing, serta pembuatan kebijakan reformasi pendidikan tinggi yang tanpa persiapan/perhitungan matang, terkesan tergesa-gesa dan tidak hati-hati. Namun harus diakui, bahwa kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi di Cina telah membawa manfaat yang cukup baik. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dari meluasnya akses terhadap pendidikan tinggi, peningkatan keahlian tenaga kerja, meluasnya jaringan yang tersebar di seluruh dunia, serta proses brain gain, di mana banyak warga negara Cina yang bekerja di luar negeri dengan tetap berkomitmen untuk membangun negaranya.
114
Dan hal ini pun kemudian menjadi tantangan bagi Indonesia yang saat ini tengah mendapatkan bonus demografi (puncaknya tahun 2030). Saat ini, angka partisipasi sekolah formal usia 19-24 tahun (Perguruan Tinggi) hanya ada pada angka 16%. Untuk itulah, liberalisasi pendidikan tinggi mungkin bisa dipikirkan sebagai sebuah alternatif solusi dalam menjawab persoalan minimnya akses pendidikan tinggi. Liberalisasi pendidikan tinggi dijalankan bukan karena ia dinilai menguntungkan secara bisnis –seperti pembahasan pada umumnya-, melainkan demi memanfaatkan bonus demografi ini. Kita mungkin perlu belajar dari Cina, yang telah sejak lama melaksanakannya, dan sejauh ini masuk kategori berhasil
115