BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang memiliki masyarakat majemuk sejak awal berdirinya. Kemajemukan tersebut dapat dilihat dengan adanya perbedaan-perbedaan yang jelas baik berupa bahasa, adat istiadat, bentuk fisik, agama, dan lain-lain. Setiap suku bangsa yang mempunyai cara hidup dan budaya yang berlaku dalam masyarakat suku bangsa masing-masing, sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainya. Perbedaan yang ada diantara kebudayaan suku bangsa di Indonesia pada hakekatnya adalah perbedaan yang disebabkan oleh sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing. 1 Perbedaan tersebut ada dan dapat kita saksikan sekaligus dalam kehidupan masyarakat kota.
Beragamnya kebudayaan yang bertumpuk di kota karena keadaan
masyarakat kota yang relatif heterogen dibanding dengan masyarakat pedesaan yang secara umum bersifat homogen. 2 Heterogenitas sebuah kota adalah hal yang lazim terjadi pada setiap kota-kota di dunia. Suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat perkotaan yang sejak puluhan tahun yang lalu adalah semakin membengkaknya laju migrasi ke kota. Hal ini erat hubunganya 1
Weinata Sairin (Ed.), Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa: Butir-Butir Pemikiran, Jakarta; BPK Gunung Mulia, 2006. Hal. 55. 2
Penduduk kota terdiri dari berbagai macam suku, ras dan agama, kota menjadi tempat pertemuan dari berbagai kultur masyarakat karena perannya yang sentral sebagai pusat ekonomi suatu wilayah. Semakin maju sebuah kota maka akan semakin beragam kultur dan ras di dalamnya. Beny Octofryana Marpaung, Dkk., Fenomena Terbentuknya Kampung Kota Oleh Masyarakat Pendatang Spontan, Medan: Suryaputra Panca Mandiri, 2009, hal. 12-15.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dengan persepsi yang muncul di tengah masyarakat yang menyatakan bahwa kota adalah tempat yang menjanjikan untuk kehidupan lebih baik dan kota adalah pusat dari segala kemajuan, sehingga kota menjadi tumpuan bagi orang-orang yang menginginkan kemajuan. Medan sebagai kota besar di Indonesia yang juga menjadi kota tujuan para perantau dari berbagai daerah. Peran Kota Medan sebagai kota tujuan migrasi menyebabkan komposisi penduduk Kota Medan terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda, para migrant masuk bersamaan dengan pola budaya yang dibawanya masing-masing dari daerah asalnya. Keanekaan pola budaya inilah yang menjadikan Medan sebagai kota yang dihuni oleh masyarakat yang majemuk. 3 Perkembangan industri perkebunan Sumatera Timur khususnya Medan sejak awal 1880-an menjadi daya tarik bagi para pendatang (Migrant) untuk mengubah kehidupan ekonomi yang lebih baik. 4 Migrasi para migrant dengan berbagai latar belakang selain menerima pengaruh dari daerah lain dan juga menerima bentuk modernisasi kehidupan Kota Medan. Para migrant tersebut berusaha mempertahankan adat-istiadatnya sebagai sesuatu yang vital dalam gelombang urbanisasi, 5 sehingga Kota Medan kalau dilihat dari fakta sosialnya tidak satu kelompok suku bangsapun yang merupakan kelompok mayoritas dalam jumlah, ataupun menduduki posisi dominan yang dapat berfungsi sebagai wadah pembauran atau malting poin. 6
3 4
Ibid Najif Chatib, Para Pendatang Di Kota-Kota Sumatera Timur, Medan: Fakultas Sastra USU, 1955,
hal. 4-8. 5
Harry Waluyo (Ed.), Perkawinan adat Batak di Kota Besar, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, hal. 23. 6 Edward M Bruner, Kerabat dan Bukan Kerabat dan Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Terj. T.O. Ihroni), Gramedia Jakarta, 1980, hal. 169.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Diantara migrant yang melakukan migrasi ke Medan, salah satunya adalah suku bangsa Batak Toba. Migrasi Batak Toba terbesar terjadi pada tahun 1930 dan diawal kemerdekaan Indonesia 1950. 7 Namun migrasi Batak Toba ke Sumatera Timur telah berlangsung jauh sebelum abad ke XIX. 8 Orang Batak Toba bermingrasi ke Sumatera Timur baik secara berkelompok maupun perorangan, mereka membawa turut serta kebudayaannya ke tempat yang dituju. Sebagian dari suku bangsa Batak Toba itu sendiri masih menganut agama suku yang disebut Ugamo Malim atau Parmalim. Parmalim sebenarnya adalah suatu identitas pribadi sementara kelembagaanya disebut dengan Ugamo Malim. Pada masyarakat kebanyakan, Parmalim sebagai identitas pribadi lebih populer dari “Ugamo Malim”sebagai identitas lembaganya. Ugamo Malim merupakan salah satu aliran kepercayaan yang dianut oleh suku bangsa Batak Toba. Penyebarannya berasal dari Kabupaten Toba Samosir tepatnya di Desa Huta Tinggi Kecamatan Laguboti, saat ini dipimpin
oleh Ihutan Raja Marnangkok
Naipospos. Dasar kepercayaan Ugamo Malim yaitu melakukan titah-titah yang dipercayai berasal dari Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai pencipta manusia, langit dan bumi, segala isi alam semesta serta roh nenek moyang orang Batak Toba. 9 Dalam Buku Sitor Situmorang, masuknya agama Kristen dan kolonialisasi Belanda di akhir abad ke-19 menjadi ancaman bagi keberlangsungan kerajaan yang dipimpin oleh
7
Migrasi awal ini adalah lebih dikarenakan arus perdagangan, pada priode ini orang Batak toba yang disebut Batak Pardembanan, yaitu orang Batak yang berasimilasi dengan kebudayaan Melayu Sumatera Timur, Orang Batak memelayukan dirinya dengan masuk agama Islam syarat menjalankan budaya Melayu. Lihat Johan Hasselgren, Batak Toba Di Medan: Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba Di Medan (1912-1965), Medan: Bina Media Perintis, 2008, hal. 143, 387-389. 8 Migrasi Batak dalam periode ini berlangsung secara estapet, migrasi periode ini lebih karena paksaan dengan perbudakan (Hatoban dan Taban-taban) dalam istilah Batak Toba). Lihat W.B. Sijabat, Ahu Sisingamangaraja. Jakarta: Sinar Harapan, 1982, hal. 87-92. 9 Ibrahim Gulton, Agama Malim di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hal. 124-166.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sisingamangaraja XII. 10 Tekanan Kolonial Belanda menciptakan Perang Batak sejak tahun1976-1907 antara Orang Batak menentang Kolonial Belanda, dibawah pimpinan Sisingamangaraja XII. 11 Kerasnya cengkraman kekuasaan kolonial Belanda di Tanah Batak mengakibatkan muncul gerakan mesianis Parmalim yang berpusat pada Sisingamangaraja XII. Gerakan Parmalim di pelopori oleh Guru Somalaing Pardede, inti gerakannya adalah menolak kolonialis Belanda dan kristenisasi di Tapanuli Utara. 12 Gerakan mesianis ini menyebabkan Parmalim dilarang di Tapanuli sejak tahun 1918. 13 Gerakan Parmalim yang berkembang pada masa 1907-1942 sebanyak empat mazhab namun yang bertahan dan tetap berkelanjutan adalah Parmalim dari sekte Nasiakbagi. Sekte Nasiakbagi kemudian di pimpin oleh Raja Mulia Naipospos dari Bius Laguboti. Ugamo Malim yang dipimpin oleh Raja Mulia Naipospos lebih memfokuskan aktivitasnya pada pengembangan Ugamo Malim, Parmalim tampil sebagai agama murni yang secara damai menyebarkan ajaran Ugamo Malim sehingga mendapat persetujuan dari Residen Tapanuli Controleur van Toba tahun 1921. 10
Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX, 2004. hal. 380 dan
411. 11
Op cit, Dalam tahap awal perkembangan pekabaran Injil oleh Zending di Tapanuli tidak mengalami gangguan yang berarti berkat diplomasi yang dilakukan oleh I.L. Nomensen, bahkan Nomensen menjalin komunikasi yang baik dengan Bakkara sejak Sisingamangaraja XI. Komunikasi ini berlanjut sampai pada Sisingamangaraja XII sebelum Belanda campur tangan dan memperluas kekuasaanya ke daerah Barus, Dairi dan Silindung yang merupakan daerah Bius Kerajaan Sisingamangaraja. Sisingamangaraja XII menentang penjajahan yang dilakukan Belanda, terlebih karena Ia telah mendengar pembantain terhadap orang-orang Aceh, gerakan Paderi di Padang dan Tapanuli Selatan. Penjajahan Belanda selalu disertai dengan kerja rodi-belasting (kerja rodi-pajak) yang sangat ditentang oleh Sisingamangaraja XII. Dengan menyatakan perang (Pulas) terhadap Belanda (Sibottar Mata) tahun 1876. Serangan terhadap Belanda pecah di Bahal Batu (sekarang daerah Sipoholon, Tarutung) tanggal 17 Februari 1878 dan berakhir 30 tahun kemudian di Pearaja tanggal 17 Juni 1907 dengan gugurnya Sisingamangaraja XII dan pasukannya beserta ketiga anaknya. W.B. Sijabat, 1982, hal. 158-150, 286-304. 12 Mohammad Said menggambarkan gerakan Parmalim dengan Imam Mahdi yaitu keyakinan akan kembalinya Sisingamangaraja memerintah tanah Batak, sedangkan Hirosue mengambarkan Parmalim dengan Analisis Mileniarisme Michael Adas, Lihat Mohammad Said (1974) dan Masashi Hirosue (2005). 13 Op Cit. Sitor Situmorang, 2004, hal. 439-446.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dalam konteks Indonesia Merdeka Parmalim tidak diakui sebagai sebuah agama, Parmalim di kelompokkan ke dalam aliran Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan Pepres No.1/PNPS/1965 junto Undang-undang No.5/1969. Pepres No.5/1969 hanya mengakui lima agama resmi yang banyak dianut bangsa Indonesia tetapi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di beri ruang untuk berkembang. Perubahan rezim tidak semerta-merta merubah cara pandang pemerintah terhadap Parmalim, bahkan pemerintah melalui Tap MPR Nomor IV/MPR/1978, nomor II/MPR/1983 dan Nomor II/MPR/1988 berusaha mengekang Parmalim sesuai dengan tujuan di bentuknya Tap MPR Nomor IV/MPR/1978 dimana ayat berbunyi sebagai berikut; “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama. Pembinaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru. Turunan kebijakan dari
Pepres No.1/PNPS/1965 dan Tap MPR Nomor
IV/MPR/1978, memiliki dampak yang merugikan warga Parmalim dalam kehidupan bernegara. Parmalim tidak dapat mencantumkan agamanya pada Kartu Tanda Penduduk (KTP), kolom agama di kosongkan atau di beritanda “ - “. Status agama dalam KTP tersebut sering di artikan oleh orang lain di luar Parmalim sebagai kelompok atheis atau komunis. Kebijakan ini sangat diskriminatif bagi penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa yakni Parmalim, terutama bagi Parmalim yang merantau keluar Tapanuli seperti ke Kota Medan. Parmalim banyak yang mengosongkan kolom agama atau memilih salah satu agama resmi. Akibatnya Parmalim mengalami hambatan dalam melanjutkan pendidikan dan mendapatkan pekerjaan terutama bagi mereka yang ingin merantau baik sebagai pegawai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
swasta maupun pegawai negeri sipil serta hilangnya hak-hak dasar mereka sebagai pekerja. 14 Selain diskriminasi dalam administrasi kependudukan Parmalim dalam kehidupan sehari-hari masih dianggap sebagai penganut “sipelebegu” oleh kelompok tertentu. Kurangnya keseriusan pemerintah untuk membina aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam sosialisasi aliran kepercayaan di tengah-tengah masyarakat menyebabkan hanya sebahagian kecil dari masyarakat yang mengetahui keberadaan Parmalim. Berdasarkan pemikiran di atas, penulis akan mengkaji mengenai perkembangan Parmalim pada masyarakat Batak di Kota Medan dengan judul “Parmalim di Kota Medan (1963-2006)”. Adapun alasan pemilihan judul tersebut dalam penelitian ini adalah ingin memaparkan migrasi dan perkembangan Parmalim serta bagaimana startegi Parmalim untuk menghadapi diskriminasi struktural dan stigma di tengah kalangan masyarakat Kota Medan.. Kota Medan merupakan kota yang heterogen dimana dihuni oleh penduduk dengan sukusuku dan kepercayaan mayoritas seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buhda dan Konghucu. Kondisi ini tentu berbeda dengan tempat asal mereka di Tapanuli yang mayoritas Batak dan beragama Kristen tetapi memiliki adat dan kebiasaan yang sama dengan Parmalim. 15 Penulis membuat batasan waktu pada tahun 1963-2000 dalam penelitian ini karena berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis dengan Bapak Rinsan Simajuntak, Punguan Parmalim Kota Medan di rintis sejak tahun 1963 dengan Ulu punguan pertama Bapak Marnaek Butar-butar. Selain itu juga terbentuknya Punguan Kota Medan menjadi wadah bagi migrant Parmalim yang tinggal di Kota Medan baik sebagai pekerja atau karena melanjutkan
14
Wawancara dengan Bapak Rinsan Simajuntak, 6 Juni 2012. Elvi T. Simarmata, Parmalim di Kecamatan Porsea (1956-1981), Skripsi Sarjana, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 2003, hal. 58-63. 15
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
pendidikan tinggi. Keberadaan Punguan Parmalim Kota Medan juga sangat penting perannya untuk mempertahankan keberlangsungan Ugamo Malim di kalangan Parmalim di Kota Medan. Perantau Parmalim yang datang ke Kota Medan sebelum adanya punguan ini banyak yang beralih kepada kepercayaan lain dan meninggalkan agama Ibu-nya baik karena pernikahan atau karena keinginan sendiri. Studi ini diakhiri pada tahun 2006 karena sepanjang tahun 1995-2006 telah dilakukan usaha-usaha pendirian Bale Parsattian (nama tempat ibadah Parmalim) sebagai tempat ibadah Parmalim, dimana sebelumnya ibadah hanya dilakukan dirumah salah satu jemaat. Pendirian Bale Parsattian (Rumah Ibadah) ini mengalami hambatan dari dalam Parmalim sehingga pembangunannya terhenti di tahun 2000. Ditahun 2005 usaha pendirian Bale Parsattian dimulai kembali namun mendapat penolakan dari pihak warga sekitar Bale Parsaktian dan permasalahan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemko Medan sehingga pembangunan terhenti kembali. Selain karena pembangunan bale parsattian munculnnya UU No 23 tahun 2006 tentang Undang-Undang Administrasi Kependudukan, telah diberikan kesempatan untuk dicatatkan sebagai warga negara Republik Indonesia melalui kantor catatan sipil, namun mereka tidak diberi pengakuan sebagai agama.
1.2 Rumusan Masalah Dalam tulisan ilmiah selayaknya diupayakan sebuah pemaparan yang lebih mendetail dan sistematis supaya hal-hal yang akan dibahas dapat dilihat dengan jelas. Jadi salah satunya, langkah untuk menguraikan permasalahan dengan mengidentifikasikan secara akurat, agar permasalahan lebih jelas terfokus.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perumusan masalah selain untuk mensistematiskan pembahasan juga akan bermanfaat bagi terarahnya sebuah penelitian yang lebih objektif. Untuk itu rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini nantinya adalah sebagai: 1. Bagaimana bentuk aliran kepercayaan Ugamo Malim? 2. Bagaimana latar belakang kedatangan Parmalim ke Kota Medan? 3. Bagaimana perkembangan Parmalim di Kota Medan sejak tahun 1963-2006?
1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah : 1. Menjelaskan ajaran aliran kepercayaan Ugamo Malim. 2. Untuk menjelaskan latar belakang migrasi Parmalim ke Kota Medan. 3. Menjelaskan perkembangan panganut Ugamo Malim (Parmalim) di Kota Medan. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Memberi informasi bagi peneliti dan para pembaca mengenai latar belakang perkembangan Ugamo Malim dan juga melengkapi penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang Parmalim. 2. Melalui tulisan ini diharapkan pembaca akan mengetahui keberadaan Parmalim di Kota Medan. 3. Tulisan ini akan memperkaya inventarisasi kebudayaan bangsa, serta turut membantu pemerintah dalam usaha membina aliran kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa khususnya Parmalim di Kota Medan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.4 Tinjauan Pustaka Penulisan karya ilmiah merupakan sebuah rangkaian yang saling berkaitan dengan mengunakan refrensi yang berhubungan. Agar pemaparan sebuah karya ilmiah lebih objektif, maka selayaknyalah mengunakan sumber-sumber yang berkaitan dengan topik yang dibahas baik berupa buku-buku yang mendukung paparan secara teoritis maupun paparan fakta-fakta. Maka penulis mengunakan beberapa buku paduan dasar dalam penelitian ini. Ibrahim Gultom, dalam
”Agama Malim Di Tanah Batak ” (2010). Mengatakan
bahwa Ugamo Malim adalah orang-orang yang menuruti ajaran Malim atau kehidupan malim (suci) yang diwujudkan dengan pengumpulan ramuan benda-benda Pelean (sesaji) berdasarkan pada ajaran Debata Mula Jadi Na Bolon. Sedangkan Parmalim adalah orang yang menuruti ajaran malim atau berkehidupan malim. Dalam bukunya Ibrahin Gultom memaparkan Ugamo Malim dari sudut antropologi agama dengan fokus utamanya mengenai kosmologi, sistem kepercayaan, ritual, ajaran dan sumber hukum Ugamo Malim. Parmalim yang dibahas pada buku ini hanya berpusat di Huta Tinggi Laguboti dan hanya sedikit menyinggung migrant Parmalim di luar daerah Tapanuli. Walaupun tidak banyak menyinggung tantang migrant Parmalim buku ini sangat penting bagi penulis sebagai buku acuan karena memaparkan kosmologi Batak dan Ugamo Malim di Tapanuli yang tidak berbeda dengan Kota Medan, sehingga buku ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam penulisan ini. Sitor Situmorang dalam ”Toba Na Sae; Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIIXX”
(2004). Mengatakan bahwa Parmalim adalah orang yang mengerjakan/menganut
kesucian. Buku ini mengambarkan adat dan lembaga sosial politik yang diikat dalam marga dan Bius. Bius dengan perangkat Parbaringin diduga menjadi aktor timbulnya konsep
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
kerajaan di Tanah Batak. Dengan kata lain lembaga bius menciptakan Kerajaan Sisingamangaraja sebagai wujud evolusi dari lembaga Parbaringin (Pendeta). Selain memaparkan tentang bius buku ini menjadi sangat penting, karena menjelaskan bagaimana transformasi pusat kepercayaan Batak dari Pusuk Buhit ke Bakkara yang merupakan kediaman Sisingamangaraja dan kemudian munculnya aliran Parmalim di Tapanuli yang berpusat pada Sisingamangaraja XII. Buku ketiga yang menjadi buku acuan penulis adalah buku Johan Hasselgren ”Batak Toba di Medan; Perkembangan Identitas Etno-Religius Batak Toba di Medan” (2008). Buku ini mengkaji bagaimana sejarah komunitas Batak Toba di Kota Medan dari 1912 sampai 1965. Pembahasan utamanya tentang bagaimana identitas etno-religius Batak Toba berkembang di Kota Medan, di tengah-tengah arus etnititas, religius, sosial dan politik Batak Toba di Kota Medan. Dalam buku ini juga dibahas migrasi Orang Batak ke Kota Medan, menurut Hasselgren bahwa migrasi Batak Toba dalam tahun sebelum 1950-an dilakukan oleh orang-orang Batak yang berpendidikan Barat, hal ini disebabkan oleh penyebaran pendidikan modren yang dibawa oleh RMG (Rheinische Missionsgesellschaft) terhadap orang Batak Toba. Migrasi setelah 1950-an sangat dominan dipengaruhi oleh bekas pegawai pemerintah kolonial Belanda yang tetap menjalankan pemerintahan setelah kemerdekaan Indonesia, mereka menjadi keluarga tempat menumpang sementara bagi migrant Batak Toba yang datang ke Kota Medan mengantikan posisi misionaris dan gereja. Dengan pokok bahasan tersebut tentu sangat membantu penulis
untuk mendapatkan gambaran migrasi dan
perkembangan populasi Orang Batak di Kota Medan. Kelemahan buku ini dalam penelitian ini adalah pembahasan religius Batak Toba di Kota Medan yang dipaparkan dalam buku ini
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hanya berpusat pada agama Kristen sehingga belum membantu penulis dalam memahami kehidupan dan perkembangan Parmalim di Kota Medan. Buku lain yang memiliki hampir fungsi yang hampir sama yaitu berupa biografi Sisingamangaraja tetapi didalam buku tersebut juga dibahas secara khusus Parmalim. Buku Prof. DR. W.B. Sijabat ”Ahu Sisingamangaraja” (1982) dan Buku Mohammad Said ”Dari Pengalaman2 Terlepas Dalam Tjatetan Seorang Tokoh Sisingamangaraja XII” (1961). Menurut W.R Sijabat Parmalim adalah aliran yang didirikan oleh Sisingamangaraja selaku kelanjutan dari kehidupan yang terdahulu banyak diatur oleh Parbaringin . Sedangkan menurut Mohammad Said Parmalim kurang lebih memiliki memiliki arti yang sama yaitu Parmalim merupakan gerakan yang melanjutkan perjuangan Sisingamanagaraja XII. Pandangan Muhammad Said dalam buku ini tampak bahwa Parmalim adalah gerakan anti kolonial tidak menyentuh sampai kepada Parmalim sebagai aliran kepercayaan. Disamping buku-buku yang di paparkan diatas tentu masih ada buku-buku lain seperti theologi, sosiologi, dan antropologi yang menunjang dan memberikan informasi tentang Parmalim. Dalam tinjauan pustaka memang tidak dimiliki suatu buku acuan yang berkaitan dengan tinjauan historis tentang perkembangan Parmalim di Kota Medan. Namun berdasarkan studi kepustakaan yang penulis lakukan terdapat sebuah buku yang mengkaji Parmalim Kota Medan dari sudut antropologi yaitu skripsi Benny Rafael Pardosi, Parmalim: Studi Deskriftif Mengenai Strategi Adaftasi Penganut Agama Malim di Kota Medan (2010), berdasarkan penelitiannya Benny Raffael memaparkan bahwa Parmalim di Kota Medan dapat bertahan karena pola adaptasi yang terbuka kepada masyarakat tempat mereka bermukim (autoplastis), sebagaimana yang dikatakan oleh Benny Raffael dalam skripsinya:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
“Penganut agama Malim sudah terbuka terhadap masyarakat tempat dia bermukim. Strategi adaptasi yang mereka lakukan melalui kegiatan keagamaan, hubungan sosial, kegiatan ekonomi, dan budaya (adat) dan lain-lain. Dari adaptasi keagamaan dapat dilihat masih tetap dipertahankan dan di jalanakannya upacara keagamaan, hubungan sosial yang baik, terpenuhinya kebutuhan ekonomi dan aktifitas adat yang masih tetap dilaksanakan di kota Medan. Hal demikian dilakukan penganut agama Malim sebagai strategi adaptasi untuk tetap mempertahankan eksistensi agama Malim di tengah masyarakat kota Medan yang majemuk.” 16
Skripsi ini tentunya sangat penting bagi peneliti untuk memahami perkembangan Ugamo Malim di Kota Medan. Namun skripsi ini fokus penelitianya hanya pada adaptasi penganut UgamoMalim di Kota Medan yang menurut penelitinya berperan dalam keberlangsungan Ugamo Malim ditengah-tengah agama dan suku lain di Kota Medan, khususnya di Kecamatan Medan Denai. Parmalim Kota Medan dalam penelitian yang akan peneliti lakukan adalah berupa studi historis tentang perkembangan agama Malim dalam rentang waktu tahun 1963-2006. Sehingga penelitian yang dilakukan peneliti berbeda dari penelitian yang lakukan Benny Raffael yang mengkaji adaptasi penganut UgamoMalim di Kota Medan, walaupun tidak menampik kemungkinan peneliti juga akan mengunakan skripsi tersebut sebagai refrensi maupun sebagai pembanding atas temuan studi lapangan yang ditemukan peneliti. Dengan demikian, penulisan ini walaupun mengunakan disiplin ilmuilmu sosial lain, tetapi tetap sebagai kajian sejarah.
16
Benny Rafael Pardosi, Parmalim: Studi Deskriftif Mengenai Strategi Adaftasi Penganut Agama Malim di Kota Medan, Skripsi Sarjana. Medan: Fakultas ISIP Universitas Sumatera Utara, 2010, hal: viii.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.5 Metode Penelitian Dalam penelitian yang ilmiah, pemakain metode sejarah sangatlah penting. Pada umumnya yang disebut dangan metode sejarah adalah cara, petunjuk pelaksana, proses, prosedur atau teknik sistematis dalam penelitian untuk mendapatkan objek penelitian. 17 Sejumlah sistematika yang terangkum di dalam metode sejarah sangat membantu penelitian di dalam merekonstruksi kejadian pada masa lalu. Dimana metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa masa lampau. Penulisan sejarah deskriftif haruslah melalui tahapan demi tahapan. Dalam metode sejarah ada empat tahap dalam penelitian sejarah menurut Louis Gootschalk yaitu : 1. Heuristic, yakni kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau; 2. Kritik, yakni menyelidiki apakah jejak itu sejati, baik bentuk maupun isinya; 3. Interpretasi, yakni menetapkan makna dan saling hubungan dari fakta-fakta yang diperoleh; 4. Historiografi, yakni menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk Tulisan sejarah. 18 Sesuai dengan metode tersebut, maka langkah proses dari penelitian ini adalah: 1. Heuristik Heuristik adalah pengumpulan data atau sumber-sumber yang ditemui mengenai ajaran Ugamo Malim dan Parmalim yang akan ditulis peneliti. Sumber-sumber ini nantinya dikumpulkan guna mendapatkan data-data yang relevan sesuai dengan topik yang diteliti
17
18
Suhartono W. Pranoto, Teori dan Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, hal. 11. Lihat Louis Gootschalk, Mengerti Sejarah (Terj. Nugroho Notosusanto). Jakarta : UI Press, 1986,
hal. 17
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yaitu perkembangan Parmalim di Kota Medan. Pengumpulan sumber-sumber sejarah dilakukan dengan metode wawancara dan studi kepustakaan. Penulis dalam penelitian ini mengunakan metode wawancara tidak terstruktur dan wawancara berstruktur yaitu dengan mempersiapan suatu pedoman wawancara (intervieu guide) dalam bentuk pertanyaan terbuka, dimana pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga informan tidak merasa terbatas dalam memberikan jawaban. Informan dalam wawancara dibagi dalam dua kategori pertama informan kunci yaitu orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman luas tentang keberadaan Parmalim yang telah diakui penganut Ugamo Malim di Medan. Dalam hal ini Informan kunci yaitu, Ihutan, Ulu Punguan, Sekretaris, Bendahara baik yang masih menjabat maupun tidak pada susunan pengurus Punguan Parmalim Medan saat ini. Informan yang kedua adalah informan biasa yaitu orangorang yang dapat memberikan informasi untuk melengkapi data yang sudah ada. Informan biasa yang dimaksud adalah orang-orang yang mengetahui dan terlibat dalam kegiatan Ugamo Malim dan warga disekitar tempat tinggal Parmalim. Wawancara dengan informan biasa dilakukan dengan wawancara terstruktur yaitu dengan membagikan satu set daftar wawancara yang disusun secara sistematis untuk memudahkan peneliti menarik kesimpulan dari hasil wawancara, sample tidak diambil secara keseluruhan karena kendala-kendala di lapangan. Untuk melengkapi sumber-sumber selanjutnya yaitu studi pustaka dilakukan dengan cara membaca buku-buku, majalah, dokumen atau refrensi yang ada hubungannya dengan Parmalim yang dikaji. Sumber pustaka didapat dari dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Parmalim Punguan Kota Medan dan Bale Pasogit Partonggoan (BPP) atau sumber pustaka lain dari instansi terkait. Sumber-sumber yang didapat dari perpustakaan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
digabungkan dan kemudian dijabarkan secara sistematis hingga didapat wujud dalam bentuk penulisan. Studi lapangan yang dilakukan adalah dengan melakukan observasi langsung yakni dengan mengikuti ibadah mingguan mararisabtu, mengikuti diskusi-diskusi Parmalim, dan aktivitas marguru di Bale Parpitaan Parmalim Kota Medan untuk melihat langsung halhal yang berkaitan dengan maksud dan tujuan penelitian. 2. Kritik Sumber Pada tahap kritik sumber, setelah sumber-sumber yang terkumpul pada kegiatan heuristic kemudian disaring dan diseleksi. Data yang terkumpul tersebut baik merupakan data hasil wawancara maupun data tulisan/pustaka akan disaring dan diseleksi guna mengetahui asli atau tidaknya sumber tersebut. Kritik sumber ini terbagi dua, yakni kritik ekstern yakni meliputi berbagai sumber yang penulis kumpulkan baik berupa dokumen atau sumber pustaka dimana aspek fisiknya tersebut diuji dengan memperhatikan aspek dominan yang mempengaruhi kondisi dokument itu sehingga mendapat sumber yang autentik. Selanjutnya kritik intern adalah berupa pengujian atas keaslian isi data yang kita peroleh, apakah data tersebut dapat dipercaya berdasarkan komposisi dan legalitas data yang dipercaya (credible). 19 3. Interpretasi Setelah diperoleh data yang valid dan akurat, maka tahap selanjutnya adalah menginterpretasikan atau menetapkan makna dan saling hubungan dari fakta-fakta yang diperoleh. Pada tahap ini sangat diperlukan kecermatan dan sikap menghindari subyektifitas terhadap fakta pada perkembangan Parmalim di Kota Medan.
19
Ibid Louis Gootschalk, 1986, Hal. 20.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4. Historigrafi Historigrafi atau penulisan sejarah adalah tahap akhir metode penelitian sejarah. Pada tahap ini, studi ini berusaha untuk memahami historic realite (sejarah sebagaimana yang dikisahkan), sehingga mampu dikisahkan dan disajikan masalah ”Parmalim di Kota Medan (1963-2006)” secara kronologis pada masyarakat Kota Medan.
BAB II
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA