BAB V HASIL PENELITIAN
5.1.
Proses Analisis Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh Chloroquine
terhadap kadar Interleukin-1β (IL-1B), Aktivasi Caspase-1 dan Survival Rate (SR) pada tikus model sepsis. Sebelum sampai pada pengujian hipotesis penelitian itu, terlebih dahulu dilakukan penjelasan deskripsi variabel penelitian yaitu IL-1B, aktivasi Caspase-1 dan SR pada sampel yang dibagi dalam dua kelompok besar yaitu kelompok “A” untuk pemeriksaan IL-1B dan Kelompok “B” untuk pemeriksaan aktiva Caspase-1. Masing-masing kelompok dibagi menjadi tiga sub kelompok, yaitu kelompok kontrol (Kontrol A/B), kelompok model sepsis dengan Cecal Ligation and Puncture (CLP) yang diberi NaCl 0,9% (Perlakuan-A/B) dan kelompok model sepsis dengan CLP yang diberi Chloroquine (Terapi-A/B). Penjelasan deskriptif obyek penelitian dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap berkenaan dengan karakteristik obyek yang diteliti. Penelitian ini dilakukan terhadap 26 ekor tikus (Rattus norvegicus) untuk masingmasing kelompok yang dikelompokkan menjadi tiga sub-kelompok masingmasing berjumlah 6 ekor tikus dalam “Kontrol-A/B”, 10 ekor tikus pada “Perlakuan-A/B”, dan 10 ekor tikus pada “Terapi-A/B”. Variasi dan perbedaan variabel yang dianalisis dalam ke kelompok sampel itu meliputi IL-1B dan SR untuk kelompok “A”, Aktivasi Caspase-1 dan SR untuk kelompok “B”, masingmasing apakah terpengaruh dengan pemberian NaCl 0,9% dan juga terpengaruh dengan pemberian Chloroquine. 48
49
Pada perjalanan penelitian, didapatkan mortalitas pada kedua kelompok dan jumlah kematian menjadi salah satu variabel yang diteliti. Berdasarkan metode penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, hanya tikus yang bertahan hidup pada hari ke-6 yang akan dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan IL1B dan Caspase-1. Pada kelompok A tersisa 14 ekor tikus (6 ekor Kontrol-A, 4 ekor Perlakuan-A dan 4 ekor Terapi-A), sedangkan pada kelompok B tersisa 12 ekor tikus (6 ekor Kontrol-B, 3 ekor Perlakuan-B dan 3 ekor Terapi-B). Sampel darah akhir yang layak diperiksa adalah 4 sampel untuk masing-masing subkelompok “A” dan 3 sampel untuk masing-masing sub kelompok “B”. 52 ekor tikus secara random Perlakuan dan terapi
IL-1β. N=26 ekor
Aktivasi Caspse-1. N=26 N=
CLP/Kontrol
CLP/Kontrol
Chloroquine 60mg/KgBB personde pada jam ke 24, 48, 72, dan 96 atau NaCl 0,9% 2ml
Chloroquine 60mg/KgBB personde pada jam ke 24, 48, 72, dan 96 atau NaCl 0,9% 2ml
Mortalitas = 12 Serum IL-1β
Mortalitas = 14 Aktivas Caspase-1 pada Isolat PBMC dan Whole Blood
Analisa Statistik Gambar 7. Perjalanan penelitian
50
Variabel-variabel penelitian dalam masing-masing kelompok sampel, setelah dijelaskan secara deskriptif yaitu nilai parameter rata-rata dan standar deviasinya, selanjutnya dilakukan pengujian normalitas atas data-data variable penelitian tersebut untuk memastikan apakah distribusi data variabel benar-benar berdistribusi normal atau tidak berdistribusi normal. Pengujian normalitas data variabel ini penting untuk menentukan analisis statistik selanjutnya yang akan digunakan untuk menganalisis variabel penelitian IL1B, Aktivasi Caspase-1 dan SR. Uji Normalitas data masing-masing variable dapat dilakukan dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk Analisis penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi terjadinya variasi atau perbedaan tiga mean IL-1B, Aktivasi Caspase-1 maupun SR. Variasi atau perbedaan tiga mean IL-1B yang dimaksud adalah mean IL-1B pada kelompok Kontrol-A, kelompok Perlakuan-A, dan kelompok Terapi-A. Variasi atau perbedaan tiga mean Aktivasi Caspase-1 yang dimaksud adalah mean Aktivasi Caspase-1 pada kelompok Kontrol-B, kelompok Perlakuan-B, dan kelompok Terapi-B. Dengan demikian penelitian ini menggunakan analisis statistik beda k mean (dalam hal ini 3 mean) untuk sampel yang independen atau analisis variance. Variasi atau perbedaan tiga mean SR yang dimaksud adalah mean SR pada kelompok Kontrol-A/B, kelompok Perlakuan-A/B, dan kelompok Terapi-A/B. Apabila hasil uji normalitas data variabel-variabel yang diteliti yaitu IL1B, Aktivasi Caspase-1 dan SR untuk masing-masing kelompok sampel adalah berdistribusi normal, maka uji variasi atau perbedaan beberapa mean dapat
51
menggunakan alat uji statistik perametrik yaitu Analysis of Variance (ANOVA) atau disebut juga Uji F. Dan apabila variasi atau beda ketiga mean atau rata-rata masing-masing
variabel
berdasarkan
kelompok
sampel
itu
signifikan
(meyakinkan), analisis akan diteruskan dengan mencari perbedaan 2 mean antar kelompok sampel untuk masing-masing variabel dengan menggunakan uji lanjutan ANOVA yaitu Post Hoc Test dengan LSD. Namun apabila hasil uji normalitas data masing-masing variabel menunjukkan bahwa distribusi data untuk masing-masing kelompok sampel adalah berdistribusi tidak normal maka uji variasi atau beda beberapa mean dapat menggunakan uji statistik non parametrik Kruskal Wallis. Penelusuran lebih lanjut untuk menguji beda mean antar masingmasing kelompok sampel dapat menggunakan analisis statistik non parametrik Mann-Whitney.
5.2.
Deskripsi Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang diduga dipengaruhi oleh Chloroquine terdiri dari tiga variabel yaitu variable IL1B, Aktivasi Caspase-1 dan SR yang masing-masing bersifat kuantitatif dengan skala data rasio. Deskripsi variable IL1B, Aktivasi Caspase-1 dan SR yang bersifat kuantitatif dibatasi pada pengungkapan nilai statistik rata-rata (mean) dan standar deviasi. Pemeriksaan kadar IL1B dilakukan dua kali dan diambil rata-ratanya. Pengujian normalitas data atas variabel penelitian IL1B dibedakan IL1B-a, IL1Bb dan IL1B-AVG dengan hasil pengujian normalitas sebagai berikut:
52
Tabel 4 Deskripsi dan Uji Normalitas Variabel IL1B Kelompok A
IL1B-a
IL1B-b
IL1b-AVG
Mean ± SD
Uji Normalitas Stat-SW
Sig
Kontrol
0,081 ± 0,005
0,811
0,123
Perlakuan A
0,091 ± 0,014
0,901
0,436
Terapi A
0,095 ± 0,005
0,993
0,971
Kontrol
0,075 ± 0,005
0,818
0,138
Perlakuan A
0,095 ± 0,013
0,978
0,892
Terapi A
0,084 ± 0,005
0,942
0,666
Kontrol
0,080 ± 0,005
0,860
0,262
Perlakuan A
0,093 ± 0,012
0,698
0,011*
Terapi A
0,090 ± 0,005
0,973
0,860
Sumber: Data Primer 2016, diolah. Keterangan : * Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen. Berdasarkan deskripsi variabel IL1B di atas, nampak bahwa tikus sepsis yang diberikan NaCl 0,9% memiliki rata-rata IL1B-a, IL1B-b, dan IL1B-AVG lebih tinggi dibandingkan pada kelompok kontrol. Rata-rata IL1B-b dan IL1BAVG pada kelompok tikus sepsis yang mendapatkan perlakuan Chloroquine (CLP+CHQ) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tikus sepsis yang diberi NaCl (Perlakuan-A), walaupun masing-masing masih menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pada kelompok kontrol. Rata-rata IL1B-a pada kelompok tikus sepsis yang mendapatkan perlakuan Chloroquine (Terapi-A) lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tikus sepsis yang diberi NaCl (Perlakuan-A). Perbedaan rata-rata IL1B antar kelompok sampel itu dapat digambarkan sebagai berikut:
53
0.085
0.091
0.095
0.095 0.084 0.075
IL1B-A
IL1B-B
0.093 0.090 0.080
IL1B-AVG
Gambar 8. Perbandingan Nilai Rata-rata IL1B antar Kelompok Sampel
Hasil pengujian normalitas data variabel IL1B di atas juga menunjukkan bahwa variabel IL1B-a dan IL1B-b pada semua kelompok sampel berdistribusi normal. Variabel IL1B-AVG pada kelompok sampel Kontrol-A dan Terapi-A juga berdistribusi normal, satu-satunya data variabel yang berdistribusi tidak normal adalah IL1B-AVG pada kelompok sampel Perlakuan-A. Selanjutnya deskripsi obyek penelitian berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi serta hasil pengujian normalitas data atas variabel Aktivasi Caspase-1 yang terdiri dari Aktivasi Caspase-1 pada Peripheral Blood Mononuclear Cells (PBMC) disebut fc_pbmc dan Aktivasi Caspase-1 pada Whole Blood (WB) disebut fcwb adalah :
54
Tabel 5. Deskripsi dan Uji Normalitas Variabel Aktivasi Caspase-1 Uji Normalitas Kelompok
Stat-SW
Sig
5,06 ± 2,49
0,995
0,862
15,04 ± 11,19
0,889
0,353
Terapi-B
9,46 ± 5,55
0,914
0,432
Kontrol-B
5,23 ± 5,46
0,995
0,863
Perlakuan-B
10,99 ± 9,28
0,940
0,526
Terapi-B
2,99 ± 2,97
1,000
0,985
Kontrol-B Caspase-1_fcpbmc
Caspase-1_wb
Mean ± SD
Perlakuan-B
Sumber: Data Primer 2016, diolah. Berdasarkan deskripsi variabel Caspase-1 di atas, nampak bahwa tikus sepsis yang diberikan NaCl (Perlakuan-B) memiliki rata-rata Caspase-1_fcpbmc dan Caspase-1_fcwb lebih tinggi dibandingkan pada kelompok Kontrol-B. Ratarata Caspase-1_fcpbmc dan Caspase-1_fcwb pada kelompok sepsis dengan perlakuan Chloroquine (Terapi-B) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tikus sepsis yang diberi NaCl (Perlakuan-B). Rata-rata Caspase-1_fcpbmc pada kelompok sepsis dengan perlakuan Chloroquine (Terapi-B) masih lebih tinggi dibandingkan pada kelompok control, sedangkan rata-rata Caspase-1_fcwb pada kelompok sepsis dengan perlakuan chloroquine (Terapi-B) nampak lebih rendah dibandingkan pada kelompok kontrol. Perbedaan rata-rata Aktivasi Caspase-1 antar kelompok sampel itu dapat digambarkan sebagai berikut:
55
15.04
10.99 9.46
5.06
5.23 2.99
Caspase1_fcpbmc
Caspase1_fcwb
Gambar 9. Perbandingan Nilai Rata-rata Aktivasi Caspase-1 antar Kelompok Sampel Hasil pengujian normalitas data atas variabel Caspase-1_fcpbmc dan Caspase-1_fcwb menunjukkan bahwa distribusi data kedua variable tersebut pada masing-masing kelompok sampel bersifat normal. Survival Rate (SR) diperiksa pada kedua kelompok dan untuk analisa dilakukan untuk masing-masing kelompok dengan persentase SR hari-perhari sedangkan gabungan dari dua kelompok dianalisa secara statistik mengingat persamaan metode yang digunakan. Deskripsi obyek penelitian berdasarkan nilai rata-rata dan standar deviasi serta hasil pengujian normalitas data atas variabel Survival Rate (SR) menunjukkan bahwa pada kelompok sepsis yang diberi NaCl (CLP+NaCl) memiliki data dengan distribusi normal, namun pada kelompok sepsis dengan perlakuan Chloroquine (CLP+CHQ) memiliki data dengan distribusi tidak normal. Deskripsi dan hasil uji normalitas data variabel SR menurut kelompok sampel adalah :
56
Tabel 6. Deskripsi dan Uji Normalitas Variabel Survival Rate (SR) Uji Normalitas Kelompok
Survival Rate (SR)
Mean ± SD Stat-SW
Sig
Kontrol-A/B
100,00 ± 0,00
-
-
Perlakuan-A/B
62,00 ± 22,75
0,939
0,656
Terapi-A/B
52,00 ± 31,94
0,774
0,048*
Sumber: Data Primer 2016, diolah. Keterangan : * Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen. Berdasarkan deskripsi variabel SR di atas, nampak bahwa tikus sepsis yang diberikan NaCl (Perlakuan–A/B) memiliki rata-rata SR lebih rendah dibandingkan pada sub-kelompok kontrol. Rata-rata SR pada kelompok sepsis dengan perlakuan Chloroquine (Terapi-A/B) lebih rendah lagi dibandingkan dengan sub-kelompok Perlakuan-A/B.
100.00
62.00 52.00
Kontrol
CLP+NaCl
CLP+CHQ
Gambar 10. Perbandingan Nilai Rata-rata Survival Rate antar sub-kelompok.
57
Dengan demikian distribusi data variabel IL1B, Aktivasi Caspase-1 dan SR sudah dideskripsikan secara ringkas dan sudah dilakukan pengujian normalitas data terhadap variabel tersebut dan hasilnya semua distribusi data kedua variabel penelitian itu berdistribusi normal.
5.3.
Analisis Pengaruh Chloroquine terhadap IL1B, Aktivasi Caspase-1 dan Survival Rate (SR) pada Tikus Sepsis yang diberi NaCl (Perlakuan-A)
Langkah pertama menguji variasi atau beda k mean berdasarkan kelompok sampel untuk variabel IL1B dengan menggunakan uji F atau ANOVA dengan hasil : Tabel 7. Hasil Pengujian Variasi atau Beda Tiga Mean Variabel IL1B menurut Kelompok Sampel. Uji F (ANOVA) Kelompok
IL1B-a
IL1B-b
IL1B-AVG
Mean ± SD
Kontrol-A
0,081 ± 0,005
Perlakuan-A
0,091 ± 0,014
Terapi-A
0,095 ± 0,005
Kontrol
0,075 ± 0,005
Perlakuan-A
0,095 ± 0,013
Terapi-A
0,084 ± 0,005
Kontrol-A
0,080 ± 0,005
Perlakuan-A
0,093 ± 0,012
Terapi-A
0,090 ± 0,005
Sumber: Data Primer 2016, diolah. Keterangan : * Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen.
Stat-F
Sig
1,345
0,308
5,459
0,028*
2,991
0,101
58
Hasil analisis variasi atau beda 3 mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan 3 mean variabel IL1B-a menghasilkan nilai F hitung = 1,345 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,308 yang berarti beda 3 mean itu tidak signifikan atau tidak meyakinkan dengan derajat signifikansi 0,005 (p > 0,05). Hal itu berarti beda mean variabel IL1B-A pada kelompok Kontrol-A, Perlakuan-A dan TerapiA benar-benar tidak berbeda secara meyakinkan. Demikian pula hasil analisis variasi atau beda 3 mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan 3 mean variabel IL1B-AVG menghasilkan nilai F hitung = 2,991 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,101 yang berarti beda 3 mean itu tidak signifikan atau tidak meyakinkan dengan derajat signifikansi 0,005 (p > 0,05). Hal itu berarti beda mean variabel IL1B-AVG pada kelompok Kontrol-A, Perlakuan-A dan Terapi-A benar-benar tidak berbeda secara meyakinkan. Sementara itu hasil analisis variasi atau beda 3 mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan 3 mean variabel IL1B-B menghasilkan nilai F hitung = 5,459 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,028 yang berarti beda 3 mean itu signifikan atau meyakinkan dengan derajat signifikansi 0,005 (p < 0,05). Hal itu berarti beda mean variabel IL1B-B pada kelompok Kontrol-A, Perlakuan-A dan Terapi-A benar-benar berbeda secara meyakinkan Hasil penelusuran beda dua mean variabel IL1B-B antar kelompok sampel dapat dijelaskan dengan tabel sebagai berikut:
59
Tabel 8. Penelusuran Beda Dua Mean Variabel IL1B-B antar Kelompok Sampel Penelusuran Beda 2 Mean
Beda Mean
Signifikansi
(Kontrol-A) – (Perlakuan-A)
-0,020
0,009**
(Perlakuan-A) – (Terapi-A)
0,011
0,110
(Terapi-A) - (Kontrol-A)
0,009
0,161
Sumber: Data Primer 2016, diolah. Keterangan : *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen. **) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen. Hasil analisis beda 2 mean sampel independen menggunakan penelusuran Post Hoc Test LSD diatas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel IL1B-B antara sub-kelompok Kontrol-A dan Perlakuan-A signifikan pada derajat signifikansi sebesar 1 persen (p < 0,01). Hal itu dapat dikatakan bahwa pada mencit sub-kelompok Perlakuan-A rata-rata IL1B-b lebih tinggi (meningkat) secara statistik dibandingkan sub-kelompok Kontrol-a. Setelah CLP diberikan Chloroquine maka rata-rata variabel IL1B lebih rendah (mengalami penurunan) dibandingkan pada kelompok Perlakuan-A namun tidak signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p > 0,05). Dengan demikian hipotesis pertama yang menyatakan bahwa: “Ada pengaruh pada kadar IL1B pada kelompok Chloroquine dibanding dengan kelompok control dan plasebo” belum dapat dibuktikan secara statistik. Kembali lebih rendahnya (penurunan) rata-rata IL1B-B akibat pemberian Chloroquine ternyata juga tidak bermakna secara statistik.
60
Langkah kedua menguji variasi atau beda k mean berdasarkan kelompok sampel untuk variabel Aktivasi Caspase-1 menggunakan uji F atau ANOVA dengan hasil: Tabel 9. Variasi atau Perbedaan Tiga Mean Variabel Aktivasi Caspase-1 menurut Kelompok Sampel. Uji F (ANOVA) Kelompok
Kontrol-B Caspase-1_fcpbmc
Caspase-1_wb
Perlakuan-B
Mean ± SD Sig
1,386
0,320
1,228
0,357
5,06 ± 2,49 15,04 ± 11,19
Terapi-B
9,46 ± 5,55
Kontrol-B
5,23 ± 5,46
Perlakuan-B
10,99 ± 9,28
Terapi-B
2,99 ± 2,97
Sumber: Data Primer 2016, diolah
Stat-F
61
Number 400
200
200
400
Number 600
600
800
1000
800
Gating dan PBMC unstained
R1: 5.39%
0
0
R1: 0.14%
100
101
102
103
104 FL4-H
105
106
107
100
101
102
103
104 FL4-H
105
PBMC + PBS
PBMC + LPS
CLP + NaCl 0,9%
CLP + CHQ
106
107
Gambar 11 . Scatter plot dan histogram flowcytometry dari aktivasi Caspase-1 di PBMC. Cut off diambil dari kontrol negatif.
62
100
200
200
Number 400
Number 300 400
500
600
600
700
Gating dan WB unstained
R1: 5.76%
0
0
R1: 0.06%
100
101
102
103
104 FL4-H
105
106
107
100
101
102
103
104 FL4-H
105
WB + PBS
WB + LPS
CLP + NaCl 0,9%
CLP + CHQ
106
107
Gambar 12. Scatter plot dan histogram flowcytometry dari aktivasi Caspase-1 di Whole Blood. Cut off diambil dari kontrol negatif.
63
Hasil analisis variasi atau beda 3 mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan 3 mean variabel Aktivasi Caspase-1_fcpmbc menghasilkan nilai F = 1,386 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,320 yang berarti beda 3 mean itu tidak signifikan atau tidak meyakinkan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05). Hal itu berarti beda mean variabel Caspase-1_fcpmbc pada sub-kelompok Kontrol-B, Perlakuan-B, dan Terapi-B tidak berbeda secara statistik. Demikian hasil analisis variasi atau beda 3 mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan 3 mean variabel Aktivasi Caspase-1_fcwb menghasilkan nilai F = 1,228 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,357 yang berarti beda 3 mean itu tidak signifikan atau tidak bermakana secara statistik pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05). Hal itu berarti beda mean variabel Caspase-1_fcwb pada sub-kelompok KontrolB, Perlakuan-B, dan Terapi-B tidak berbeda secara statistik. Dengan demikian hipotesis kedua yang menyatakan bahwa: “Ada pengaruh pada tingkat Aktivasi Caspase-1 pada kelompok Chloroquine dibanding kelompok control dan plasebo” belum dapat dibuktikan secara statistik. A
SURVIVAL KELOMPOK A Kontrol
Perlakuan
Terapi
150 100 50 0 0 JAM
24 JAM
48 JAM
72 JAM
96 JAM 120 JAM
64
B
SURVIVAL KELOMPOK B Kontrol
Perlakuan
Terapi
150 100 50 0 0 JAM
C
24 JAM
48 JAM
72 JAM
96 JAM 120 JAM
SURVIVAL A/B Kontrol
Perlakuan
Terapi
150 100 50 0 0 JAM
24 JAM
48 JAM
72 JAM
96 JAM 120 JAM
Gambar 13. Survival rate dari A) Kelompok IL-1β, B) Kelompok Caspase-1, C) Kelompok IL-1β dan Caspase-1. Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara sub-kelompok perlakuan dan terapi di kedua kelompok.
Langkah ketiga menguji variasi atau beda k mean berdasarkan kelompok sampel untuk variabel SR menggunakan uji F atau ANOVA. Hasil pengujian ANOVA terhadap variabel SR itu ternyata menunjukkan bahwa perbedaan 3 (tiga) mean variabel SR pada kelompok sub-kelompok Kontrol-B, Perlakuan-B, dan Terapi-B tidak signifikan pada derajat signifikansi sebesar 5 persen (p > 005).
65
Tabel 10. Variasi atau Perbedaan Tiga Mean Variabel Survival Rate menurut Kelompok Sampel. Uji F (ANOVA) Kelompok
Survival Rate (SR)
Mean ± SD
Kontrol-A/B
100,00 ± 0,00
Perlakuan-A/B
62,00 ± 22,75
Terapi-A/B
52,00 ± 31,94
Stat-F
Sig
5,374
0,022*
Sumber: Data Primer 2016, diolah. Keterangan : * Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen. Hasil analisis variasi atau beda 3 mean di atas menunjukkan bahwa perbedaan 3 mean variabel SR menghasilkan nilai F = 5,374 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,022 yang berarti beda 3 mean itu signifikan atau meyakinkan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05). Hal itu berarti beda mean variabel SR pada kelompok Kontrol-A/B, Perlakuan-A/B, dan Terapi-A/B berbeda secara meyakinkan. Hasil penelusuran beda dua mean variabel SR antar kelompok sampel dapat dijelaskan dengan tabel sebagai berikut: Tabel 11. Penelusuran Beda Dua Mean Variabel SR antar Kelompok Sampel Penelusuran Beda 2 Mean
Beda Mean
Signifikansi
Kontrol-A/B – Perlakuan-A/B
48,00
0,009**
Perlakuan-A/B – Terapi-A/B
-10,00
0,530
Terapi-A/B - Kontrol-A/B
-38,00
0,030*
Sumber: Data Primer 2016, diolah. Keterangan : *) Signifikan pada derajat signifikansi 5 persen. **) Signifikan pada derajat signifikansi 1 persen.
66
Hasil analisis beda 2 mean sampel independen menggunakan penelusuran Post Hoc Test LSD diatas menunjukkan bahwa uji terhadap variabel SR antara kelompok Kontrol-A/B dan Perlakuan-A/B signifikan pada derajat signifikansi sebesar 1 persen (p < 0,01). Hal itu dapat dikatakatan bahwa pada tikus kelompok Perlakuan-A/B rata-rata SR lebih rendah (menurun) secara meyakinkan dibandingkan kelompok kontrol. Setelah CLP diberikan Chloroquine maka ratarata variabel SR lebih rendah lagi (mengalami penurunan) dibandingkan pada kelompok Perlakuan-A/B namun tidak signifikan pada derajat signifikansi 5 persen (p > 0,05), walaupun rata-rata SR kelompok CLP-CHQ itu dengan kelompok Kontrol-A/B berbeda secara meyakinkan pada derajat signifikansi 5 persen (p < 0,05). Dengan demikian hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa: “Ada pengaruh pada survival rate pada kelompok Chloroquine dibanding dengan kelompok kontrol dan plasebo” belum dapat dibuktikan secara statistik. Semakin rendahnya (penurunan) rata-rata SR akibat pemberian Chloroquine itu ternyata tidak meyakinkan.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1.
Berdasarkan Prinsip Ontologi Pada penelitian ini, efek pemberian Chloroquine tidak berpengaruh dalam
Survival Rate (SR) pada tikus model sepsis, berpengaruh secara-rata-rata menurunkan kadar IL-1β dan aktivasi Caspase-1 namun tidak bermakna secara statistik. Bahkan pada kelompok “A” dan “B”, SR pada sub-kelompok terapi, tampak sedikit lebih rendah dari pada kelompok Kontrol. Pada kelompok “A”, diobservasi adanya peningkatan angka mortalitas yang cukup drastis pada 24 jam pertama pemberian Chloroquine dengan dosis 60 mg/KgBB, namun setelah itu tidak terdapat mortalitas tambahan sampai akhir penelitian. Pada kelompok “B” pemberian CHQ diamati adanya mortalitas tambahan pada jam ke 72 pasca CLP. CHQ
adalah
senyawa
4-aminoquinoline
yang
mempunyai
sifat
Lisosomotropik, yaitu dapat berpengaruh pada proses dalam lisosom sel. Obat ini adalah obat anti-malaria yang efektif sebelum tejadi resistensi obat yang meluas. Namun karena CHQ mempunyai sifat anti-inflamasi dengan terbukti dapat menurunkan kadar IL-1β dan TNF-α obat ini sekarang lebih banyak digunakan sebagai obat DMARD pada penyakit-panyakit autoimmune rematologi. Dalam perkembangannya, beberapa manfaat obat ini juga mulai terungkap seperti potensinya sebagai agen anti-kanker (Sasaki K et.al. 2010; Kimura T et.al, 2012) dan banyak lagi mekanisme obat ini yang belum diketahui.
67
68
Efek pemberian CHQ pada hewan coba model sepsis pada penelitianpenelitian terdahulu menunjukkan adanya perbaikan survival rate yang bermakna dibandingkan kelompok kontrol (Yang et.al., 2008; Yasuda et.al. 2013). Pada penelitian oleh Yang et al sepsis disimulasikan dengan CLP pada mencit Balb/C yang 1 jam sebelumnya diberikan injeksi intraperitoneal dosis tunggal CHQ 50mg/KgBB. Mencit lalu diinjeksi dengan LPS untuk menginduksi sepsis berat. Pada penelitan tersebut didapat tingkat survival yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok mencit yang diberikan NaCl 0,9% dan kelompok yang diberikan dosis CHQ 5mg/KgBB (Yang et.al, 2008). Hasil eksperimen tersebut memperlihatkan bahwa pemberian CHQ pada mencit model sepsis dapat mencegah terjadinya sepsis berat. Pada penelitian yang sama, Yang et al. juga melihat apakah pemberian CHQ dapat mencegah kematian setelah tejadinya sepsis berat dengan memberikan injeksi Chloroquine dengan dosis yang sama setelah injeksi LPS. CHQ diberikan sebanyak 4 kali pada jam ke 4, 12, 24 dan 36 setelah induksi LPS pada tikus yang telah dilakukan CLP. Pada eksperimen tersebut juga didapatkan hasil survival yang lebih baik. Hasil yang sama juga didapatkan pada eksperimen lain pada rangkaian penelitian yang sama di mana pemberian CHQ pada jam ke 24, 36, 48, 60 setelah terjadinya sepsis dapat melindungi mencit dari kematian pada percobaan dengan induksi sepsis dengan CLP tanpa tambahan injeksi LPS.
Akan tetapi penelitian tersebut tidak
menyertakan keterangan mengenai berapa lama sepsis terjadi setelah tindakan CLP dan jumlah kematian tikus setelah dilakukan CLP sebelum dilakukan injeksi LPS atau pemberian terapi. CLP merupakan model sepsis polimikrobial yang
69
dianggap paling mendekati dengan sepsis pada manusia (Menezes et al 2008, Toscano et al, 2011). Akan tetapi, kedua penelitian di atas juga menyatakan bahwa dari beberapa percobaaan pada CLP tingkat kematian cukup tinggi tergantung dari teknik yang dilakukan (Menezes et al 2008, Toscano et al, 2011). Tingkat kematian dapat mencapi 50-100% dalam 48 jam pertama, yang mana sesuai dengan yang kami dapatkan pada penelitian ini. Akan tetapi, memang tidak kami dapatkan adanya perbedaan survival rate yang bermakna antara kelompok tikus yang diinduksi sepsis, pada kelompok perlakuan dan terapi. Hasil penelitian oleh Yasuda et al, yang menggunakan CHQ Phosphate 50mg/Kg BB oral yang diberikan 6 jam pasca tindakan CLP mendapatkan survival yang lebih baik pada kelompok yang diberikan CHQ secara oral. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa pada mencit penelitian Yasuda et al, tingkat survival dalam 72 jam berada di angka 50%, yang mana kurang lebih sama dengan hasil penelitian ini. Yasuda juga memberikan antibiotic secara injeksi intarperitoneal pada subyek penelitian yang mengisyaratkan adanya efek proteksi tambahan. Hasil penelitian Yang dan Yasuda berbeda dengan hasil penelitian oleh Takahashi et al, yang menggunakan CHQ 60 mg/KgBB pada mencit transgenik C57BL/6N dan GFP-LC3. Takahashi meneliti bagaimana peran autofagi pada sepsis dan menggunakan CHQ sebagai inhibitor dari autofagi (Rubinsztein et.al, 2007). Pada penelitian ini, hewan coba yang diberikan CHQ sebagai inhibitor autofagi menunjukkan survival rate yang lebih buruk dibandingkan dengan tikus yang diberi normal saline (Takahashi et.al, 2013).
70
Waktu pemberian dari CHQ dari masing-masing penelitian juga berbeda. Penelitian Yang, CHQ diberikan sebelum dan/atau 4 jam setelah sepsis berat dan 24 jam pasca CLP, Yasuda memberikannya pada 6 jam setelah CLP, sedangkan Takahashi memberikannya 1 jam setelah CLP sedangkan pada penelitian ini CHQ diberikan 24 jam pasca CLP sesuai pada penelitian Yang. Perbedaan waktu pemberian terapi tampaknya tidak dapat menerangkan sebab dari hasil penelitian yang bertolak belakang. Beberapa hasil penelitian lain, menemukan bahwa pada sepsis kadar IL-1β tidak berkorelasi bermakna dengan tingkat mortalitas (Damas P et.a.,l 1989, Lamkanfi et.al, 2010). Hal ini diduga membuat hospes tidak dapat mengatasi infeksi yang kemudian menyebabkan bakteremia dan kematian (Dinarello et.a.l 2011). Beberapa pendapat lain melihat bahwa pada sepsis terjadi aktivasi dari dua kutub sistem imun, yaitu peningkatan aktivitas pro-inflamasi dan aktivitas anti-inflamasi. Bahkan, hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien-pasien dengan sepsis akan menderita penurunan sistem kekebalan tubuh yang berkepanjangan. Sebuah review menyatakan imunosupresi tersebut dapat bertahan hingga 21 hari (McCall et.al. 2010), yang mana faktor epigenetik kemungkinan terlibat. Referensi-referensi tersebut mengisyaratkan bahwa CHQ mungkin mempunyai efek imunomodulasi. et al yang meneliti efek CHQ pada kultur sel netrofil manusia, mendapatkan bahwa CHQ dapat mencegah apoptosis dari netrofil sehingga netrofil dapat bertahan lebih lama (Pliyev & Menshikov 2012) yang mana akan membantu dalam mengatasi infeksi. Akan tetapi pada penelitian lain, Chloroquine diobservasi dapat menganggu aktivitas dari netrofil.
71
Hasil-hasil penelitian tersebut, ditambah dengan hasil penelitian kami, mengasumsikan bahwa pemberian Chloroquine pada 24 jam atau lebih mungkin dapat menurunkan respon innate immunity sehingga hospes menjadi kurang mampu mengatasi infeksi yang terjadi dan meningkatkan angka mortalitas. Akan tetapi dugaan tersebut tidak dapat menjelaskan perbedaan mortalitas pada pemberian CHQ pada model sespsis yang kurang lebih sama dengan dua penelitian lainnya (Takahashi et.al, 2013). Perbedaan dari ketiga penelitan tersebut adalah dosis dari Chloroquine. Yang memberikan 50mg/KgBB secara injeksi intraperitoneal, Yasuda memberikan 50 mg/KgBB secara oral personde, sedangkan Takahashi memberikan 60 mg/KgBB secara injeksi intraperitoneal. SR penelitian kami mirip dengan hasil yang diperoleh Takahashi dengan dosis yang sama walaupun dengan cara pemberian yang berbeda. Walaupun obat ini relatif aman digunakan, namun kelebihan dosis obat ini diketahui dapat menimbulkan kematian akibat henti jantung mendadak (Texeira et.al, 2012, Phipps et.al., 2012). Pada manusia, dosis letal CHQ adalah 50 mg/KgBB basa atau setara dengan 85 mg/KgBB. Obat ini juga mempunyai masa paruh yang panjang sehingga konsentrasi yang cukup besar masih beredar di sirkulasi darah dalam waktu yang lama (Cooper et.al, 2008). Pada Rattus norvegicus pemberian CHQ secara jangka panjang dengan dosis 20Mg/KgBB menunjukkan dapat menyebabkan kerusakan pada myosit (Izunya et.al, 2012). Dosis standar CHQ pada model sepsis Rattus norvegicus tidak dapat kami temukan sehingga hasil dan metode penelitian dari Yang et al dan Yasuda et al kami gunakan sebagai dasar dari penelitian kami. Akan tetapi, dari hasil penelitian-penelitian tersebut ditambah dengan hasil
72
penelitian ini, maka kemungkinan overdosis pada penelitian kami tidak sepenuhnya dapat disingkirkan. Hal ini menunjukkan bahwa peran CHQ pada sepsis masih memerlukan studi lebih mendalam, terutama yang perlu dipelajari terlebih dahulu adalah efek CHQ dari masing-masing spesies hewan coba dengan dosis optimum yang digunakan. Pada penelitian ini, kami dapatkan terdapat penurunan kadar sitokin IL-1β pada kelompok sepsis yang diberi CHQ dibandingkan dengan kelompok yang diberi placebo. Perbedaan antar kelompok kecil tetapi sesuai dengan yang diharapkan. Kelompok kontrol tampak mempunyai rata-rata paling rendah dibandingkan dengan kelompok lain, di mana kelompok sepsis dengan placebo tampak mempunyai kadar paling tinggi. CHQ, seperti yang telah banyak diteliti, mempunyai efek anti-inflamasi yang salah satunya dengan menurunkan kadar IL-1β. Berbagai penelitian, baik berbasis hewan maupun manusia telah mengungkap mekanisme CHQ dapat menurunkan kadar IL-1β. Pada prinsipnya, ada paling tidak 3 mekanisme dasar. Yang pertama adalah efek CHQ pada jalur NFkB, yaitu Mekanisme anti-inflamasi yang kedua adalah berada pada tingkat setelah transkripsi NFkβ. Hal tersebut dijelaskan oleh Jang et al, yang menunjukkan bahwa pemberian CHQ tidak menurunkan tingkat transkripsi dari IL-1β, namun menurunkan kadar dari mRNA IL-1β, yang mana mengisyaratkan adanya gangguan pada stabilitas dalam sel (diduga sebuah proses gangguan PH intrasel) sehingga menghambat ekspresi dan sekresi bentuk aktif dari Il-1β. Mekanisme ke-
73 tiga dari CHQ dalam menghambat produksi IL-1β adalah melalui penghambatan proses autofagi. Proses autofagi adalah proses kematian sel akibat degradasi dari komponen seluler yang terjadi pada vakuola autofagi (Fink et.al, 2005). Walaupun proses autofagi sendiri dianggap buka sebagai sebuah proses pro-inflamatori, namun beberapa penelitian lain telah menyatakan hubungan antara proses autofagi dengan produksi dari IL-1β (Yasuda et.al, 2013). Pada penelitian Yang et al, pemberian CHQ beprngaruh pada penurunan kadar High Mobility Group Box-1 (HMGB-1) yang mana merupakan mediator fase akhir dari sepsis. HMGB-1 adalah salah satu sitokin pro-inflamasi yang pengeluarannya dari dalam sel diduga terjadi saat sel imun apoptosis atau nekrosis (Scaffidi et.al, 2002). Penelitan lain menunjukkan bahwa pengeluaran HMGB-1 bergantung pada pembentukan inflammasome dari NLRP3 (Lamkanfi et.al, 2010). Berdasarkan referensi yang kami punya, salah satu fungsi dari inflammasome hasil bentukan dari NLRP3 akan mengaktivasi pro-Caspase-1 menjadi Caspase-1 aktif (Wen et.al, 2013) yang mana bertugas terutama untuk mengaktifkan sitokin pro-IL-1β menjadi sitokin inflamasi yang aktif. Berdasarkan asumsi tersebut, maka kami berpendapat bahwa Chloroquine, selain ketiga jalur yang disebutkan di atas, mempunyai satu jalur lagi dalam menurunkan kadar IL-1β, yaitu melalui jalur inflammasome. Walaupun pada penelitian kami didapatkan kadar IL-1β yang lebih rendah pada kelompok terapi dibandingkan dengan kelompok perlakuan, akan tetapi perbedaannya kecil dan hasil analisa statistiknya tidak signifikan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kecilnya sampel akhir yang dapat dianalisa atau adanya jalur lain
74 yang dapat merubah pro-IL-1β menjadi bentuk IL-1β aktif. Beberapa penelitian, memperlihatkan adanya kemungkinan aktivasi IL-β dapat melalui jalur noninflammasome (Fantuzzi et.al., 1997; Joosten et.al, 2009). Hal tersebut mungkin saja membuat kadar sitokin pro-inflamasi tidak terlalu jauh berbeda antar kelompok terapi dan perlakuan. Akan tetapi, walaupun secara statistic tidak bermakna, tetap diobservasi adanya penurunan rata-rata kadar IL-1β aktif pada kelompok yang diberi CHQ. Hal ini mengisyaratkan efek CHQ dalam mengahambat ekskresi dari bentuk aktif IL-1β yang mana kemungkinan adanya peran CHQ pada inflammasome dan aktivasi Caspase-1. Pada penelitian kami, hasil pengukuran aktivasi dari Caspase-1 menunjukkan hasil yang bervariasi antar sampel yang diperiksa. Kelompok Perlakuan-B baik pada sampel isolat PBMC maupun WB menunjukkan peningkatan aktivasi dari Caspase-1 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok Terapi-B (diberikan CHQ). Hal ini seperti yang diharapkan dan sesuai dengan hipotesa kami walaupun tidak bermakna secara statistik. Caspase-1 adalah yang mempunyai tugas utama mengaktifkan precursor dari IL-1β dan IL-18 yang dihasilkan dari transkripsi di nucleus menjadi bentuk aktif yang kemudian akan dikeluarkan dari dalam sel. Caspase-1 sendiri awalnya di sitosol sel terdapat dalam bentuk tidak aktif, yang disebut sebagai pro-Caspase1. Bentuk tidak aktif ini akan diaktifkan oleh inflammasome yang mana merupakan kompleks multiprotein yang terdiri dari Nod-like eceptor dan ASC (Wen et.al, 2013). Inflammasome akan terbentuk bila ada rangsangan pada NLR berupa bakteri/produk bakteri yang masuk ke dalam sitosol sel, virus, jamur dan
75
beberapa DAMP seperti asam urat dan ATP (Bauernfiend dan Hornung, 2013). Jadi, hal ini membuat Inflammasome berperan sebagai regulator dari ekskresi sitokin pro-inlamasi IL-1 dan IL-18. Hal tersebut juga menjadikannya sebuah target penelitian dan target terapi yang potensial pada penyakit-penyakit sistem imun atau sepsis. Selain bertugas sebagai aktivator IL-1 dan IL-18, Caspase-1 juga berperan pada kematian sel yang disebut sebagai Pyroptosis. Kematian sel ini berbeda dengan apoptosis dikarenakan pyroptosis merupakan kematian sel yang bersifat pro-inflamatori. Awalnya setelah caspase-1 teraktivasi, IL-1 dan Il-18 akan diaktifkan dan diekskresikan keluar unuk merangsang reaksi inflamasi ke sel-sel lain. HMGB-1 sebagai mediator inflamasi fase akhir juga pernah diteliti tergantung pada aktivasi inflammasome dalam pengeluarannya dari dalam sel (Lamkanfi et.al, 2010). Dikarenakan faktor-faktor inflamasi diaktifkan, lamakelamaan lingkungan dalam sel akan berada dalam suatu kondisi inflamasi yang kemudian akan memicu kematian sel yang secara bersamaan akan mengeluarkan lebih banyak lagi faktor-faktor inflamasi berupa DAMP dan PAMP. Hal ini sesuai dengan perjalan sepsis yang dimulai dari kondisi hiperinflamasi yang kemudian diikuti oleh imunosupresi (McCall et.al, 2010) Pyroptosis telah dikaitkan pada penyebab terjadinya imunosupresi pada AIDS. Pada infeksi HIV, sel-T yang terinfeksi virus hanya 5-10% (Doitsh et.al, 2014), akan tetapi jumlah sel-T yang mati jauh lebih besar dari itu. Diduga pada infeksi HIV, sel-T yang terinfeksi akan mengalami pyroptosis dan kemudian merangsang sel-sel T yang lain yang tidak terinfeksi, untuk juga masuk ke dalam pyroptosis sehingga lama-kelamaan, sel-T yang tersisa hanya sedikit.
76
Efek CHQ pada aktivasi Caspase-1 masih belum banyak diteliti. Hanya beberapa referensi yang didapatkkan. Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan tidak secara spesifik melihat efek chloroquine pada aktivasi caspase-1 namun melihat efek CHQ pada inflammasome dan yang lebih banyak meneliti produk akhir dari aktivasi caspase-1, yaitu IL-1β (Shin et.al, 2012; Shin et.al, 2013).
6.2.
Berdasarkan Prinsip Epistemiologi Penelitian kami yang menyelidiki efek dari pemberian Chloroquine pada
kadar IL-1β, aktivasi Caspase-1 dan survival rate. Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut, kami memutuskan untuk melakukan eksperimen berbasis binatang coba. Metode ini dipilih dikarenakan pemakaian Chloroquine pada manusia dalam kondisi sepsis belum pernah dilakukans sebelumnya. Referensireferensi yang ada juga masih dalam tahap ujicoba binatang. Hasil akhir dari penelitian-penelitian terdahulu juga menujukkan hasil yang berbeda-beda, dari hasil yang bersifat positif hingga negative (Yang et.al, 2008; Yasuda et.al, 2013; Takahashi et.al, 2013). Yang et al meneliti pengaruh Chloroquine pada produksi HMGB-1 pada model sepsis. Pada penelitian ini digunakan mencit dari galur Balb/C yang disepsiskan dengan prosedur CLP. Tikus kemudian dinduksi menjadi sepsis berat dengan LPS. Terdapat beberapa kelompok penelitian yang dilaorkan oleh Yang et al, yaitu, kelopok yang diberi CHQ 50 mg/KgBB yang diinjeksi secara intraperitoneal.sebelum induksi LPS, kelompok yang diberi CHQ 4 jam setelah induksi LPS, dan kelompok mencit yang diberi CHQ 24 jam setelah tindakan
77
CLP. Pada penelitian ini, Yang et al mendapatkan pemberian CHQ sebelum induksi
LPS dapat memperbaiki survival rate dari mencit model sepsis.
Pemberian 4 jam pasca induksi LPS dan 24 jam pasca CLP juga menghasilkan survival rate yang lebih baik. Pada penelitian ini juga diketahui bahwa pemberian CHQ dapat menurunkan kadar HMGB-1. Yasuda et.al, melakukan penelitian yang mirip dengan penelitian oleh Yang et al dengan menggunakan model sepsis mencit dengan CLP. Namun Yasuda menggunaka CHQ dengan dosis 50 mg/KgBB secaraoral personde. Kelompok penelitian ada dua, yaitu pemberian CHQ dilakukan pada 3 jam pasca CLP dan 6 jam pasca CLP. Yasuda melihat eksperesi TLR-9 di lien tikus dan fungsi ginjal untuk menyelidiki efek CHQ pada gagal ginjal akut akibat sepsis. Survival rate pada kedua kelompok penelitian tampak lebih baik pada kelompok yang diberikan CHQ. Fungsi ginjal dilihat dari BUN dan kreatinin juga menunjukkan hasil yang lebih rendah pada kelompok CHQ. Perbedaan penlitian Yasuda dari Yang, adalah penggunaan antibiotik pada penelitian Yasuda sehingga sang peneliti menyimpulkan bahwa CHQ dapat berguna sebagai terapi pendamping pada sepsis. Berbeda dengan kedua penelitian di atas, hasil yang didapatkan oleh Takahashi et al berbeda. Tkahashi menyelidiki pengaruh inhibisi proses autofagi pada model sepsis. Binatang coba yang digunakan sama dengan penelitian Yang dan Yasuda, namun Takahashi menggunakan CHQ dengan dosis 60 mg/KgBB yang diinjeksi intraperitoneal 1 jam setelah prosedur CLP. Pada penelitian ini didapatkan CHQ dapat menghambat proses autofagi di sel makrofag jaringan
78
limpa mencit, namun tingkat survival rate pada tikus yang diberi CHQ tampak lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi NaCl 0,9%. Pada studi hewan coba ini kami memilih menggunakan Rattus norvegicus dikarenakan ukurannya yang lebih besar sehingga lebih mudah dilakukan prosedur CLP. Prosedur yang berusaha untuk mensimulasikan sepsis ini melibatkan pembedahan sehingga akan lebih sulit dilakukan pada mencit. Jenis tikus ini juga telah sering digunakan di fasilitas tempat penelitian kami dilakukan. Dikarenakan ukurannya yang lebih besar juga membuat jumlah sampel darah yang dapat diambil lebih banyak. Akan tetapi kami tidak dapat menemukan referensi yang melibatkan penggunaan Chloroquine pada tikus sepsis sehingga untuk dosis, kami menggunakan dasar penelitian-penelitian terdahlu dengan memperhitungkan berat dari tikus dan perkiraan tingkat penyerapan secara oral (Cooper et.al, 2008) Pemberian CHQ pada tingkat aktivasi Caspase-1 masih belum banyak diteliti. Hanya beberapa referensi yang didapatkkan. Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan tidak secara spesifik melihat efek chloroquine pada aktivasi Caspase-1 namun melihat efek CHQ pada inflammasome dan yang lebih banyak meneliti peran CHQ pada proses autofagi atau produk akhir dari aktivasi Caspase-1, yaitu IL-1β, IL-18, atau HMGB-1 (Yang et.al, 2008; Yasuda et al, 2013; Takahashi et.al, 2013; Lamkanfi et.al, 2010). Penelitian oleh Lamkanfi meneliti jalur mekanisme dari pelepasan HMGB-1 pada sepsis. HMGB-1 diketahui sebagai mediator fase akhir dari sepsis, namun bagaimana HMGB-1 dilepaskan, belum diketahui dengan jeals mekanismenya. Diduga HMGB-1 dilepaskan bersamaan dengan proses kematian
79
sel. Pada penelitian ini mencit model sepsis diinduksi dengan LPS 20 mg/Kg. Digunakan mencit rekayasa genetika yang telah di Knock Out (KO) Caspase-1, knock out IL-1β dan IL-18, dan tipe liar sebagai kontrol. Survival rate diukur pada masi-masing kelompok tikus setelah diinduksi LPS. Jaringan limpa kemudian diambil, kadar TNF-α dan HMGB-1 diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kematian pada tikus yang di KO Il-1β dan IL-18 menunjukkan survival rate pada tikus liar, yang mana berati tidak ada perbaikan dari survival rate walupun rendahnya kadar Il-1β. Tingkat apopotosis pdasel-sel limpa juga menunjukkan tingkat apoptosis sel limpa yang sama anatar kelompok. Akan tetapi, pada kelompok mencit KO Caspase-1, dilaporkan tingkat Survival yang jauh lebih baik, begitu juga tingkat apopotosis pada kelompok ini menunjukkan tingkat apoptosis sel yang lebih kecil. Pelepasan HMGB-1 juga lebih rendah pada kelompok KO Caspase-1. Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan HMGB-1 teragntung pada aktivasi Caspase-1. Dikarenakan Caspase-1 adalah proses inti dari Pyroptosis dan dengan adanya dukungan dari referensi-referensi sebelumnya (Fink et.al, 2005), maka kami memutuskan untuk melihat apakah CHQ dapat mempengaruhi aktivasi dari Caspase-1. Pemeriksaan aktivasi Caspase-1 kami lakukan pada darah tikus yang kam lihat pada isolat PBMC yang mengandung sel-sel leukosit mono-nuklear termasuk Limfosit (Sel-T, Sel-B dan Sel NK), monocytes, dan sel dendrit, yang mana telah banyak diteliti perannya pada sepsis (de Pablo et.al, 2014; Chiche et.al, 2011; Fan et.al, 2015). Kami juga memeriksa Whole blood dikarenakan pada PBMC tidak terdapat sel–sel polimorfonuklear seperti netrofil dan eosinofil.
80
Netrofil adalah sel darah putih yang pertama datang pada lokasi infeksi dan secara prosentase merupakan sel darah putih terbanyak. Aktivasi Caspsae-1 juga telah didokumentasikan pada sel ini (Karmakar M et.al, 2015). Karmakar et.al, menyelidiki mekanisme peran Neutrofil dan IL-1β pada kornea tikus galur C57BL/6 yang dengan sengaja diinfeksi dengan Streptococcus pneumoniae. Terdapat 2 kelompok tikus yaitu kelompok KO Il-1β dan kelompok KO NLRP3. Tingkat kerusakan akibat infeksi dilihat dari infiltrasi neutrofil pada kornea setelah diinfeksi S. Pneumoniae dan kepadatan bakteri yang dilihat dengan Colony Forming Unit. Didaptkan pada kelompok tikus KO IL-1β dan KO NLRP3 terdapat CFU yang lebih tinggi dan secara berbanding terbalik, tingkat infiltrasi Neutrofil yang lebih rendah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran netrofil dan NLRP3 sebagai aktivator Caspase-1 penting dalam efek proteksi dari infeksi bakteri. Kami mengukur aktivasi Caspase-1 dengan cara Flowcytometry dikarenakan hasilnya yang lebih obyektif dan relatif lebih cepat dalam pengerjaannya. Kami menggunakan pewarnaan FLICA 660 Caspase-1 activation assay (Immunochemistry, USA) yang akan berikatan dengan Tyr-Val-Ala-Asp (YVAD), spesifik pada caspase-1 yang telah aktif (Chapman K T et.al, 1992). Pada penelitian ini sayangnya hanya terlihat penurunan IL-1 dan aktivasi Caspase-1 secara rata-rata namun tidak secara signifikan dalam analisa statistik. Sedangkan untuk survival rate tidak terbukti pemberian CHQ akan memberikan perlidungan dari kematian akibat sepsis, bahkan terlihat sedikit lebih rendah pad akelompok yang diberikan CHQ. Ini tidak sesuai dengan penelitian Yang dan
81
Yasuda yang kami jadikan sebagai model dari penelitian kami, namun hasil penelitian kami sesuai dengan hasil penelitian Takahashi et.al.
6.3.
Berdasarkan Prinsip Axiologi Berdasarkan prinsip axiologi, secara keseluruhan manfaat dari penelitian
ini adalah mengungkap, walaupun belum secara meyakinkan, CHQ berpengaruh dalam menurunkan rata-rata aktivasi Caspase-1 pada sel-sel PBMC dan Whole Blood tikus percobaan, namun tidak bermakna secara statitik. Hal ini sedikit banyak mengisyartakan bahwa efek penurunan IL-1B dari CHQ salah satunya melewati jalur inflammasome selain juga melalui jalur NFKB, Autofagi atau intabilitas mRNA. Adapun efek CHQ pada inflammasome merupakan sebuah efek langsung atau tidak langsung masih membutuhkan penelitian lebih lanjut dengan metode yang lebih spesifik. Pada penelitian ini juga tidak didapatkan adanya perbaikan survival rate pada tkus model sepsis yang diberi CHQ. Dikarenakan variabel ini menuinjukan hasil yang berbeda-beda di penleitian –penelitian sebelumnya, maka penelitian ini dapat menjadi sebuah referensi tambahan untuk mengetahui mekanisme yang sesungguhnya dari CHQ pada tikus model sepsis, baik dari spesies yang sma maupun berbeda. Demikian juga, dikarenakan kecilnya sampel akhir yang dapat diperiksa, maka penelitian ini, baik dan buruknya, dapat dijadikan sebuah studi pilot untuk penelitian-penleitian selanjutnya dalam topik yang sama.
82
6.4.
Nilai Kebaruan Penelitian Nilai-nilai kebaruan suatu penelitian meliputi berbagai aspek, yang secara
lengkap disajikan pada gambar 6.1.
Strategi Baru
Perspektif Baru
Wilayah Baru
Masalah
Kondisi baru
Solusi Baru
Alat Baru
Gambar 14. Aspek-aspek Nilai-nilai Kebaruan (Judajana, 2005) Nilai-nilai kebaruan dari penelitian ini adalah: a. Solusi baru. Dikarenakan hasil penelitian yang menunjukkan adanya manfaat yang berarti bagi potensi pengobatan baru, maka saat ini, berdasarakan penelitian ini, Chloroquin belum bisa dianggap sebagai suatu solusi baru untuk kondisi sepsis. b. Strategi baru. Dari hasil penelitian ini akan memberikan suatu informasi, bahwa dalam penggunaan Chloroquine dapat menurunkan aktivasi dari Caspase-1 yang berperan penting pada proses inflamasi dan Pyroptosis. c. Perspektif baru. Hasil penelitian ini dapat digunakan, dikembangkan lebih lanjut dalam usaha lebih jauh menyelidiki dan mengungkap mekanisme sistem
83
imunitas pada sepsis dan dapat menjadi data tambahan pada mekanisme Chloroquine pada inflamasi. d. Kondisi baru. Diharapkan dengan metode yang lebih baik, terapi Choloroquine pada sepsis dapat berlanjut ke penelitian dengan skala yang lebih besar dngan marker-marker baru untuk membantu dalam pengungkapan misteri dari sepsis.
6.5.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu : a. Sampel akhir yang kecil sehingga sulit untuk mendapatkan tingkat kemaknaan yang berarti. b. Tidak dilakukan operasi sham pada tikus kontrol sehingga tingkat kematian belum dapat dipastikan apakah dikarenakan prosedur ataupun dikarenakan sepsis. c. Pengambilan sampel darah dilakukan hanya pada satu waktu pada sisa hewan coba yang bertahan hidup. Hal ini dapat menjadi bias tersendiri dikarenakan tikus yang bertahan hidup mungkin telah dapat atau lebih mampu bertahan dari sepsis yang mana juga membuat kemungkinan adanya perbedaan profil sistem imun dibandingkan dengan tikus yang tidak bertahan hidup. d. Penelitian untuk melihat kadar IL-1β dan aktivasi caspase-1 dilakukan dalam dua kelompok yang berbeda. Hal ini membuat tidak bisa dikorelasikannya data satu dengan yang lain.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan Pada penelitian ini pemebrian CHQ menyebabkan penurunan kadar IL-1β dan
aktivasi caspase-1 secara rata-rata namun tidak secara signifikan dalam
analisa statistik. Sedangkan untuk survival rate tidak terbukti pemberian CHQ akan memberikan perlidungan dari kematian akibat sepsis. Hal tersebut meninjukkan bahwa mortalitas pada tikus model sepsis tidak semata-mata berhubungan dengan tingkat inflamasi. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pemberian Chloroquine tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar IL-1β. 2. Pemberian Chloroquine tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar aktivasi Caspase-1. 3.
7.2.
Pemberian Chloroquine tidak berpengaruh terhadap Survival Rate. Saran Hasil penelitian ini, walaupun tidak didapatkan hasil yang signifikan di
variabel Survival rate, namun terdapat referensi yang mendukungnya. Walaupun juga tidak didapatkan adanya perbedaaan yang bermakna secara statistik antara kelompok perlakuan dan terapi, namun tetap didaptkan adanya perbedaan yang searah sesuai hipotesa, maka penelitian-penelitian lanjutan dengan metode yang lebih baik perlu di lakukan dikarenakan potensi dari obat tersebut sendiri. 84
85
Penelitian-penelitian dalam ranah inflamasi atau imunomodulasi juga dapat dilakukan. Karena Chloroquine rutin diberikan pada ranah rematologi, maka penelitian ini dapat dijadikan referensi akan mekanisme Chloroquine pada sistem inflamasi atau model penelitian untuk melihat efek dari Chloroquine (dengan perbaikan metode dan sampel yang lebih besar) pada kondisi-kondisi rematologi, sistem imunitas dan mekanisme inflamasi.
86