BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kawasan tepian pantai memiliki nilai-nilai historis, lokasi, ekonomis, topografi, kultural, maupun faktor lainnya yang menyebabkan daerah ini lebih cepat berkembang dibandingkan kawasan lainnya. Perkembangan kawasan pantai dimulai dari pergeseran pantai pedesaan menuju pantai perkotaan, pantai yang awal mulanya merupakan kawasan aktif masyarakat di dalam memanfaatkan potensi sumber daya pesisir beralih menjadi pola kegiatan pasif dimana pantai dibutuhkan sebagai sarana rekreatif individu masyarakat (short refreshments). Seringkali perubahan yang cepat merubah pola peruntukan ruang, dimana pada awalnya permukiman atas air masih berdiri di kawasan pantai dikarenakan pertumbuhan yang cepat, kawasan tersebut kemudian “dilapisi” oleh penggunaan fungsi ruang lainnya, seperti fungsi perdagangan jasa, perkantoran, maupun industri. Tumpang tindih fungsi ruang menyebabkan tatanan bangunan yang berlapis-lapis, di satu sisi kawasan dengan desain etalase yang baik, di sisi lain (bagian belakang) masih berupa tatanan vernakular, sehingga muncul stigma kawasan tepian pantai cenderung kumuh. Berdasarkan data-data yang telah dihimpun (primer dan sekunder), penulisan pada bab ini terdiri dari pembahasan analisis sejarah pembangunan kawasan pantai perkotaan, kemudian analisis kondisi akses publik pada tepian pantai, serta analisis batasan akses publik. Dari ketiga analisis tersebut akan di sintesiskan kedalam suatu hasil temuan terhadap kasus akses publik menuju tepian pantai dan pengkayaan konsep/ teori terkait akses publik menuju pantai.
71
72
5.1. Sejarah Pembangunan Tepian Pantai Perkotaan Balikpapan Sub-unit analisis sejarah tepian pantai ini mendiskusikan secara deskriptif kronologis penggunaan lahan pantai dari masa awal pembangunan kota hingga revitalisasi tepian pantai untuk memenuhi kepentingan masyarakat kota. Balikpapan dalam seabad terkahir mengalami pergantian penguasaan, dimana pada mulanya merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Kutai Kertanegara, lalu dimanfaatkan oleh Belanda sebagai daerah industrialisasi minyak bumi, hingga menjadi kota administratif. Tepian pantai di perkotaan mengalami eksploitas ruang, sebagai kawasan penghubung, daerah ini menjadi dermaga bagi kegiatan distribusi barang dan manusia. Lingkungan binaan pun berkembang sebagai nilai tambah terhadap kawasan tepian yang kerap di jadikan lokasi mata pencaharian. Gelombang baru dimulai dari perekonomian kota yang mensandarkan kegiatannya pada industrialisasi, hal ini memicu penggunaan ruang tepian pantai yang sudah eksis menjadi semakin berkembang untuk memasok beragam kebutuhan keseharian masyarakat yang bekerja di daerah hulu industri. Hal ini lah yang memunculkan pusat-pusat perdagangan baru yang berdampingan dengan permukiman karyawan industri. Kawasan pelabuhan di Balikpapan awalnya berkembang karena evolusi teknologi kemaritiman yang di bawa Belanda, selain itu pemanfaatan pelabuhan adalah bagian dari karakter industri perminyakan yang membutuhkan prasarana representatif pendukung kegiatan. Kegiatan pelayaran pun semakin ramai di Teluk Balikpapan, dari awalnya kapal Phinisi penangkap ikan masyarakat bugis, kapal-
73
kapal penumpang, hingga kapal tanker minyak yang hilir mudik keluar masuk pelabuhan-pelabuhan. Perkembangan inilah yang menjadikan kawasan industri menjadi daerah tujuan pergerakan manusia dan barang, awal pembentukan pusat dan sub-pusat kota, dan menjadi cikal bakal kota lama di Balikpapan. Kawasan yang dulunya pedesaan berubah menjadi pusat perdagangan, kegiatan masyarakat berasimilasi dengan cepat untuk menangkap peluang dari perubahan tersebut. Untuk mendiskusikan lebih lanjut, sub-bab analisis ini akan terbagi menjadi 3 (tiga) pembahasan terkait perubahan yang terjadi pada tepian pantai perkotaan, pembahasan diawali dari pengamatan Dinamika pembangunan tepian pantai, tata kelola pembangunan pantai perkotaan, dan matriks akses publik terhadap tepian pantai perkotaan Balikpapan. 5.1.1. Dinamika pembangunan pada tepian pantai Balikpapan
Gambar 5.1. Instalasi Bataafsche Petroleum Maatschappij di Teluk Balikpapan Th. 1915 Sumber: Collection KITLV, Digital Image Library, diakses 2014
Balikpapan mengalami pembangunan modern di mulai pada awal abad 20, modernisasi ini merupakan bagian dari kolonialisme Belanda di Indonesia (Hindia Belanda). Kota ini menjadi bagian dari peperangan pasifik pada tahun 1942 dan ikut terlibat pada perang dunia II pada tahun 1945. Tanda-tanda pembangunan di
74
bawah
koloni
terlihat
dari
berdirinya
komplek
Bataafsche
Petroleum
Maatschappij (sekarang Pertamina) diikuti pembangunan rumah sakit, sekolah, gereja, societeit, dan juga kantor pemerintahan. Kolonialisme meninggalkan kesan bagi pembangunan Balikpapan, Kota ini kemudian berkembang sebagai kota bandar dan niaga, dikarenakan posisi dan fungsi ekonomis dari industri perminyakan. Sampai saat ini pun industri migas menjadi bagian penting dari pendapatan asli daerah (PAD), di samping sektor ekonomi lain, menjadi akselerator perekonomian kota, perusahaan ini (PT. Pertamina UP V) kemudian menyerap sebagian angkatan kerja masyarakat kota. Posisi komplek pertamina sebagai titik tengah pusat pertumbuhan mulai menciptakan daerah pinggiran dengan fungsi campuran, antara lain perdagangan jasa serta permukiman. Kondisi ini kemudian mempengaruhi tutupan lahan tepian pantai perkotaan dengan kepadatan aktivitas masyarakat, menurut penuturan Kepala Bappeda: “Dahulu ada perencanaan namanya Rencana Induk Kota tahun 70 dibuat, kerjasama UGM dan Balikpapan, dahulu Jl. Jend Sudirman tata ruangnya terbuka, berupa pantai, jadi belum ada pertokoan, kondisi pertokoan yang ada saat ini terencana yang diberikan izin, kemudian ada juga rumah masyarakat pesisir, tapi dahulu di dalam perencanaan RIK pantai itu terbuka tidak ada halangan gedung. Namun dalam perkembangannya, Walikota berikutnya menilai Balikpapan ini perlu pertumbuhan ekonomi, diizinkan lah pembangunan toko pertama, tapi pembangunannya masih di sisi kiri (bagian darat), di persimpangan hotel bahtera, tapi kemudian berkembang sampai di depannya (bagian tepi pantai), oleh karena itu tertutuplah kota ini.” (Suryanto, Kepala Bappeda Balikpapan) Pertumbuhan ekonomi kota bersinergi dengan bertambahnya penggunaan lahan, terutama tepian pantai perkotaan yang dinilai memiliki kondisi infrastruktur
75
memadai dan kebutuhan fasilitas pendukung yang cukup lengkap untuk mengakomodir beragam kegiatan. Selain itu menurut pandangan investor, sepanjang Jl. Jend. Sudirman, merupakan lokasi strategis di dalam menanamkan modalnya. Pusat bisnis dan jasa seperti Plaza Balikpapan, Balcony City, maupun Balikpapan Super Blok (BSB) mulai memberikan tolak ukur gaya hidup masyarakat ke tingkat konsumtif terhadap barang-barang tersier. Kondisi perubahan lahan tepian pantai terlihat dari area BSB yang dahulu hanya rawarawa berubah menjadi landmark Balikpapan dengan menghadirkan mall, perkantoran, hotel, small office home office, dan apartemen. Apa yang ada saat ini pun dirasa belum cukup bagi para developer tersebut, mereka terus melakukan pengembangan untuk mencari benefit selain memberikan publik ruang pantai untuk dinikmati, berdasarkan penuturan Plt. Pimpinan DTKP (Dinas Tata Kota dan Perumahan): “Dalam konsep pembangunan, pengembang sudah punya izin, apabila izin dimiliki bahkan kalau sudah site plan, berarti dia sudah menguasai lahan, kalau tidak bisa menguasai lahan, site plan tidak bisa dikeluarkan, dalam kepemilikan zona ini (area kepemilikan lahan pengembang) berarti sudah menjadi milik pengembang, jadi masyarakat sudah tidak memiliki hak di situ (di daerah milik pengembang). Jadi, site plan dikeluarkan otomatis lahan harus sudah dimiliki kalau belum dimiliki site plan tidak dikeluarkan, sehingga tidak mengganggu hak privat masyarakat.” (Siti Fatimah, Plt. Pimpinan DTKP Balikpapan) Untuk mendapat gambaran mengenai fenomena awal penggunaan tepian pantai perkotaan Balikpapan, dilakukan analisis dokumentasi terhadap data-data terkait pembangunan Kota secara umum dan penggunaan lahan pantai khususnya. Analisis dimulai dari masa-masa awal pembangunan yaitu sekitar tahun 1932, kemudian berlanjut pada masa peperangan sekitar tahun 1945, lalu kondisi
76
Balikpapan di tengah pertumbuhan ekonomi tahun 1990an, dan tahun-tahun dimana investasi ritel mulai tumbuh pesat yaitu tahun 2007, dilanjutkan pembahasan masa kini yaitu tahun 2014. A. Pembangunan di tepian pantai Balikpapan sekitar Th. 1932
Gambar 5.2 Pengeboran minyak milik BPM di Balikpapan sekitar Th. 1925 Sumber: Collection KITLV, Digital Image Library, diakses 2014
Revolusi industri menuntut perubahan pada penggunaan sumber daya alam, terutama minyak bumi sebagai sumber daya penting penggerak industri manufaktur pada awal abad 20. Hindia Belanda (sekarang Indonesia) sebagai daerah koloni Belanda merupakan sumber potensial penghasil minyak bumi, oleh karena itu Belanda memanfaatkan kekuasaannya untuk mengelola kawasan tersebut menjadi daerah pengeboran dan penyulingan minyak bumi. Balikpapan salah satu daerah dengan potensi itu, bermula dari kampung nelayan, dengan datangnya ribuan pekerja maka daerah penghasil ini berubah menjadi kota perniagaan dan dermaga keluar masuk manusia dan barang. Situs pengeboran pertama dikenal dengan nama sumur Mathilda di Balikpapan (lihat gambar 5.2), selain situs ini di kawasan lain Kalimantan Timur
77
terdapat juga situs Louise di daerah Sanga-Sanga. Hak konsensi pengelolaan minyak bumi diperoleh Belanda dari Sultan Kutai Kartanegara, Balikpapan pada waktu itu masih dalam wilayah swapraja Kutai. Menurut sumber data Matanasi, dkk (2012:13), “Tolok ukur betapa besarnya Balikpapan sebagai wilayah operasi BPM terlihat dari banyaknya peralatan yang ada di kota ini. Di Balikpapan terdapat 201 unit kendaraan biasa, 22 unit bus, 375 unit prahoto, 181 unit trailer, 85 unit traktor, 108 unit traktor ulat, dan 46 unit traktor pengangkut. Di sekitar perairan Balikpapan beberapa pengangkut minyak bisa bersandar, dengan rincian 82 unit kapal berbobot di bawah 100 ton, 24 kapal berbobot 100 ton, 10 kapal berbobot di atas 100 ton, juga sebuah kapal berbobot 700 ton. Selain kapal pengangkut, juga terdapat 46 kapal lain yang terdiri dari 6 penyusur pantai, 16 unit kapal sungai, 24 kapal penumpang.” Balikpapan menjadi lokasi industri penyulingan minyak BPM sejak tahun 1919, dimana minyak tersebut bersumber dari beberapa daerah sekitar seperti Sanga-Sanga, Muara Badak, dan Tarakan. Faktor ini membentuk kota sebagai kawasan industrialisasi dan kegiatan ekspor, dimana pada masa kolonial, Balikpapan menjadi penghasil minyak terbesar kedua setelah Plaju, Palembang. “Menurut data statistik 1938, di daerah Selat Makassar, terdapat tiga pelabuhan yang sering dikunjungi KPM (perusahaan pelayaran milik Belanda): Banjarmasin, Balikpapan, dan Tarakan. Banjarmasin dikunjungi 178 kapal (dengan besar 413.000 M/3), Tarakan dikunjungi 112 kapal (dengan besar 310.000 M/3), dan Balikpapan dikunjungi 353 kapal (dengan besar 847.000 M/3).” Matanasi, dkk (2012:15).
78
Gambar 5.3. Kegiatan ekspor dan industri BPM di Teluk Balikpapan sekitar Th. 1925 Sumber: Collection KITLV, Digital Image Library, diakses 2014
Industri perminyakan dan dermaga ekspor merubah tatanan ruang tepian pantai Kota Balikpapan. Dahulu di tepian pantai selatan (lokasi penelitian) hanya berupa permukiman kampung yang dihuni penduduk pribumi berasal dari melayu seperti suku bugis, jawa, banjar, madura, dan sebagian masyarakat tionghoa. Kebanyakan penduduk mendiami kawasan sepanjang Klandasan dan Klandasan Ketjil,
sementara kawasan Klandasandondang, sepinggang-ketjil, sepinggang-
besar, hingga batakan-ketjil masih jarang dihuni oleh masyarakat. (lihat gambar 5.6) Berdasarkan Matanasi, dkk (2012:18). “Awal perkembangan tata Kota Balikpapan sebenarnya ikut ditentukan oleb BPM. Kompleks kilang minyak pastinya disesuaikan dengan letak sumur Mathilda. Kilang minyak berada di Utara Sumur Mathilda. Kilang minyak Balikpapan dibangun memanjang ke utara (Di sepanjang Pelabuhan Semayang sampai Pandan Sari dan tepat di sebelah timur Teluk Balikpapan). Di sebelah timur kilang minyak terdapat sebuah jalan yang disebut sebagai Jalan Minyak (nama resmi jalan itu sekarang adalah Jalan Yos Sudarso). Di sebelah timur jalan minyak itu terdapat perkantoran dan
79
permukiman penduduk (perumahan bagi pegawai, dulu milik BPM sekarang Pertamina).” Balikpapan menjadi salah satu kota kolonial dengan memperhatikan grid tata bangunan yang ada, komplek BPM sebagai titik pembangunan baru dengan tarikan yang besar menimbulkan pengaruh di daerah pinggirnya. Berdasarkan Matanasi, dkk (2012:18), “Setelah pengeboran minyak berjalan tidak terlalu lama dan permukiman bagi pegawai BPM bertebaran di sekitar sumur dan kilang minyak, sedikit demi sedikit permukiman penduduk lain yang letakanya agak jauh dari kilang minyak juga muncul. Karena produksi minyak semakin meningkat, fasifitas pendukung perusahaan tentu saja bertambah (seperti pelabuhan dan rumah sakit). Pertambahan penduduk di Balikpapan (khususnya di sekitar kilang minyak BPM) membuat pemerintah kolonial menjadikan Balikpapan sebagai suatu afdeling (semacam daerah administratif) tersendiri di mana pada awalnya seorang Controleur ditempatkan.”
Gambar 5.4. Lingkungan BPM di Balikpapan sekitar Th. 1930 Sumber: Collection KITLV, Digital Image Library, diakses 2014
Masih berdasarkan Matanasi, dkk (2012:18) menyebutkan, “Jauh ke sebelah timur rumah sakit BPM itu semakin berkembang menjadi daerah perniagaan Klandasan. Daerah perniagaan Klandasan adalah tempat perbelanjaan
80
bagi keluarga pegawai BPM. Sebagai daerah perbelanjaan pastinya terdapat sebuah pasar. Di sekitar pasar itu juga terdapat komunitas Cina yang terlokalisasi dalam sebuah perkampungan semacam Pecinan. Komunitas Cina yang identik sebagai kaum pedagang itu menjadi salah satu pelaku perekonomian Balikpapan, khususnya daerah Klandasan.” Melengkapi data-data sebelumnya, Balikpapan merupakan kota pesisir dengan beragam etnis pribumi yang ada di dalamnya, tidak diketahui secara pasti sejak kapan masyarakat pribumi menempati kawasan tepian pantai Balikpapan, pada awalnya mereka membentuk komunitas dengan kegiatan utama yaitu nelayan, sehingga dapat dikatakan bahwa awal permukiman yang menempati tepian pantai sebagai Kampung Nelayan.
Gambar 5.5. Kampung nelayan dan perahu orang-orang bugis sekitar Th. 1930 Sumber: Collection KITLV, Digital Image Library, diakses 2014
Dapat diambil kesimpulan bahwa di masa awal pembangunan Kota Balikpapan tidak lepas dari keberadaan BPM dan kegiatan yang dilakukan. Tepian pantai kota berkembang sebagai daerah perniagaan, utamanya di Klandasan, di sini banyak pegawai BPM memenuhi kebutuhan kesehariannya, selain dihuni pribumi terdapat juga komunitas cina dengan pecinannya. Akses menuju pantai terbatas di daerah aset kepemilikan BPM, sementara di kawasan tepian lainnya masyarakat dapat melakukan kegiatan seperti melaut ataupun menambatkan perahu.
81
81
Instalasi BPM beserta fasilitas pendukungnya di desain oleh koloni dengan tata ruang grid. Di tepian pantai diperuntukan bagi gereja, rumah pastor, dan societeit.
Lapangan merdeka sejak dahulu menjadi alun-alun Balikpapan, Garnisun KNIL sering melakukan upaca militer di sini. Lapangan ini strategis dan relatif tenang, digunakan untuk rekreasi olahraga dan pendidikan.
Perumahan karyawan BPM, umumnya diperuntukan bagi bangsa Eropa. Cenderung eksklusif dan menolak pembauran dengan pribumi. Disini terdapat BPM Hospital dan Juliana Hospital.
Daerah perniagaan Klandasan,terdapat pasar dan komunitas Cina yang terlokalisasi dalam pecinan. Selain itu terdapat pula instalasi militer milik Belanda.
Daerah Klandasan-ketjil, daerah ini belum banyak dihuni masyarakat. Masih berupa rawa-rawa, semak belukar, dan vegetasi seperti kelapa dan pohon cemara yang dominan di tepian pantai.
Jalur akses menuju situs pengeboran Louise di SangaSanga, masih dikelilingi hutan dan lokasi tepian pantai di huni oleh beberapa rumah penduduk pribumi. Jalur ini memiliki lebar sekitar 3 meter. Tepian pantai sejak modernisasi oleh koloni telah diplotkan sebagai kawasan perumahan eksklusif dan fasilitas fasum/sos bagi karyawan BPM. Pertumbuhan akibat perkembangan kompleks BPM adalah adanya pusat perniagaan di Klandasan. Disini sebagian besar masyarakat memanfaatkan tepian pantai untuk kegiatan perekonomian dan permukiman. Lahan pantai yang masih terbuka (di luar kawasan koloni) masih dapat dimanfaatkan oleh pribumi untuk beraktivitas menangkap ikan (nelayan).
Gambar 5.6. Peta tahun 1932 dan aerial view tepian pantai Balikpapan Sumber : Collection KITLV, Digital Image Library dan hasil analisis, 2015
82
B. Pembangunan di tepian pantai Balikpapan sekitar Th. 1945 Balikpapan terlibat di dalam masa peperangan pasifik, hal ini dikarenakan keberadaan kilang minyak, serta salah satu strategi perang bahwa menguasai Balikpapan, berarti membuka jalur untuk merebut Pulau Jawa. Seperti di kutip di dalam Matanasi, dkk (2012:27), “Antara dekade 1930-1940an, sumber-sumber minyak bumi yang ada di Asia Tenggara adalah bahan mentah yang sangat dibutuhkan negara-negara industrialis-kapitalis. Minyak menjadi menjadi pasokan bahan bakar untuk menjalankan mesin-mesin industri di negara-negara industri pada masa damai. Pada masa perang, minyak begitu dibutuhkan untuk menjalankan mesin-mesin perang. Seperti yang terjadi dalam Perang Pasifik, di mana Balikpapan dan Tarakan adalah kota yang begitu diharapkan oleh pihakpihak yang berperang. Kilang-kilang minyak menjadi rebutan sekaligus lautan api oleh Perang Pasiflk.” Di masa pendudukan Balikpapan oleh Jepang, usaha perebutan pun dilakukan oleh sekutu (Amerika dan Australia), hal tersebut dikarenakan pentingnya cadangan minyak di kota ini. Namun, penyerangan terhadap Jepang mengalami kendala, kondisi struktur laut justru menguntungkan jepang mempertahankan Balikpapan, seperti pernyataan di dalam Matanasi, dkk (2012:27), “Bagi serdadu Jepang, Balikpapan adalah benteng alami paling ideal. Tidak perlu membangun jaring anti kapal selam maupun jaring anti kapal seperti yang dilakukan Jepang di Tarakan. Perairan Teluk Balikpapan tergolong dangkal. Sangat tidak mungkin bagi sebuah kapal selam untuk menyerang langsung pangkalan ditepi pantai Balikpapan. Alur teluk Balikpapan yang sempit sangat
83
efektif bagi pemasangan ranjau laut di mulut Teluk Balikpapan dimana kapalkapal sekutu akan rnasuk dari situ.”
Gambar 5.7. Kondisi tepian pantai Balikpapan yang hancur di bom sekutu Th. 1945 Sumber : Collection KITLV, Digital Image Library, diakses 2014
Penyerbuan oleh sekutu dilakukan di bawah kepemimpinan Jenderal Douglas MacArthur dan Panglima Tentara Australia Jenderal Thomas Albert Blarney dengan melakukan taktik pemboman terlebih dahulu terhadap Balikpapan selama 20 hari. Setelah takti bumi hangus ini, Balikpapan akhirnya dikuasi sekutu pada 1 juli 1945. Matanasi, dkk (2012:27) menuliskan, “Tentu saja Balikpapan harus menanggung kehancuran dari peluru-peluru sekutu. Tidak hanya berupa bangunan tetapi juga tumbuhan pantai yang membuat pantai-pantai Balikpapan botak. Kota Balikpapan, terutama diantara daerah Kilang Minyak dan Klandasan benar-benar habis tinggal puing.” Sebelum tindakan bumi hangus semasa perang pasifik dan perang dunia. Balikpapan dengan posisinya sebagai industri perminyakan penting bagi Belanda terus memperbaiki infrastruktur pendukung yaitu dengan dibangunnya jalur-jalur baru menuju jalan raya Klandasan (kawasan tepian pantai). Jalur baru membuka keterhubungan dengan jalan raya pesisir, dibangun dengan struktur keras dan lebar jalan kurang dari 3 meter. Pembangunan ini juga untuk membuka keterisolasian kampung-kampung yang ada di kawasan tengah Balikpapan.
84
Jaringan jalan di Kota Balikpapan pada tahun 1945 dibentuk oleh poros barat–timur dan poros utara–selatan. Kondisi ini dipengaruhi oleh instalasi minyak milik BPM di Teluk Balikpapan, keberadaan situs pengeboran Louis di Sanga-Sanga, dan keterhubungan dengan Samarinda. “Balikpapan pada masa kolonialisasi Hindia Belanda merupakan wilayah dari onderafdeling Samarinda. Dahulu Kalimantan Timur adalah bagian dari Oostafdeling van Residentie Zuid en Oost Borneo (keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur), yang berkedudukan di Banjarmasin. Di daerah Long Iram dan Samarinda, terdapat garnisun KNIL dalam jumlah besar karena berada di bawah pemerintahan langsung dan Hindia Belanda (rechtstreeks bestuur gouvernement gebeid).” Matanasi, dkk (2012:19) 1.
Poros barat-timur (jalan raya pesisir) terbentuk dari: Komplek BPM terus mengarah secara linier ke Klandasan – Stalkoedo – Sepinggang Ketjil – Sepinggang Besar – Batakan Ketjil – Batakan Besar – Manggar Ketjil – Soelili – Manggar – Lamaroe – Adjiraden – Taratip – hingga menuju utara ke Sambodja sampai ke Tiram.
2.
Poros utara-selatan (Erakan Straat) terbentuk dari: Jalan raya Klandasan (selatan) – Kapak – Soember Kanan – terus menuju utara ke Samarinda. Dua poros utama jaringan jalan ini terbentuk dari struktur jalan permukaan
keras. Pada tahun 1945, jaringan jalan di Balikpapan dibentuk oleh struktur permukaan keras, struktur permukaan ringan, jalan tanah, jalur jeep, jalur setapak (trail), dan jalur trem di kawasan operasional BPM. Sementara itu di sepanjang jalan raya pesisir terdapat instalasi jalur pipa minyak dari sumur pengeboran di Sanga-Sanga menuju platform BPM.
85
Gambar 5.8. Lingkup makro jalur akses pesisir Th. 1945 Sumber : Collection KITLV, Digital Image Library, diolah 2015
86
Gambar 5.9. Aerial view dari tepian pantai Balikpapan Tgl. 01-01-1947 Sumber : Collection KITLV, Digital Image Library, diakses 2014
Polarisasi pusat keramaian di Balikpapan sekitar tahun 1945 terdiri dari permukiman utara kilang minyak BPM, di sini terdapat beberapa perkampungan antara lain Pandansari, Baroe (Timur), Baroe (Barat), Baru Hoeloe, Kapak, Soember Kanan, Soember Kiri, Kariango, Tanah Merah, hingga terus menuju ke utara ke Wain dan Samarinda. Permukiman penduduk di utara kilang minyak ini semakin ramai terutama di daerah Pandansari dan Baroe (timur) karena memiliki daerah perniagaan dan barak militer Belanda. Pusat keramaian berikutnya yaitu daerah timur komplek BPM yang dilewati jalan raya pesisir, di sini terdapat perkampungan Klandasan sebagai pusat niaga dan permukiman (komunitas pribumi melayu dan Cina), daerah Stalkoedo yang dihuni beberapa komunitas masyarakat pesisir, hingga daerah Sepinggang Ketjil dan Sepinggang Besar yang merupakan kawasan air strip (bandara) militer dan sipil (bagi pegawai BPM), selain di Sepinggang, di daerah Manggar juga terdapat air strip bagi kebutuhan military airfield kolonial Belanda. Secara umum pada tahun 1945, sepanjang jalan raya pesisir telah banyak dihuni oleh masyarakat, sementara itu kondisi tepian pantai sendiri cenderung berlumpur dengan bebatuan, dangkal, berbatu karang, pantai berpasir, dan vegetasi pantai.
87
87
Kompleks BPM mengalami perkembangan, fasilitas mewah di tepian pantai di dirikan seperti kolam renang, klub, lapangan sepak bola, dll. Namun yang dapat mengakses kawasan ini hanya pegawai menengah dan tinggi.
Gereja bagi Misionaris menempati tepian pantai, selain itu terdapat juga sekolah dasar bagi pendidikan anak pegawai BPM, Europe Leger School. Akses di kawasan ini terbatas karena status sosial.
Perniagaan di Klandasan semakin tinggi, bila di kelompokan, orang Bugis cenderung melaut (nelayan), orang Banjar berjualan pakaian, orang Jawa berdagang sayur. Orang Cina biasa berdagang di pinggir jalan utama.
Pembentukan jalan raya pesisir di sepanjang selatan Balikpapan hingga menuju Sambodja membentuk model pembangunan pita, dimana kanan dan kiri di tempati beragam bangunan dengan berbagai kegiatan.
Gambar 5.10. Peta tahun 1945 dan aerial view tepian pantai Balikpapan Sumber : Collection KITLV, Digital Image Library dan hasil analisis, 2015
Daerah Stalkoedo hingga Sepinggang Ketjil masih belum di huni masyarakat, daerah di sekitar pantai belum banyak tergunakan, masih tertutup oleh vegetasi, seperti belukar dan pohon kelapa.
Tank obstacle dan footbridge ditempatkan di tepian pantai, utamanya pada instalasi militer seperti military airfield di Sepinggang Ketjil. Penempatan ini dimaksudkan menghalau serangan dari laut.
88
C. Pembangunan di tepian pantai Balikpapan sekitar Th. 1997 Balikpapan tumbuh menjadi kota industri, perdagangan dan jasa, hal ini tidak lepas dari peranan walikota Syarifuddin Yoes, seperti di kutip dalam Matanasi, dkk (2012:63) bahwa, “Visi sebagai kota jasa dan perdagangan mulai dicetuskan saat kepemimpinan Wali Kota Syarifuddin Yoes (1981-1991). Penataan kota menjadi salah satu yang didorong untuk mendukung tumbuhnya pusat bisnis dan perdagangan di Balikpapan. Sebelum 1990, jalan-jalan Kota Balikpapan belum dua jalur. Antara jalan dengan rumah atau pertokoan cukup mepet terutama di kawasan Jl. Jend. Sudirman dan Ahmad Yani. Pemerintah kota terpaksa memundurkan bangunan-bangunan tadi. Hal ini terus dilakukan sampai kepemimpinan Wali Kota Tjutjup Suparna, masyarakat banyak yang rela melakukannya meski tak ada kompensasi. Kawasan kumuh di wilayah perkotaan juga mulai ditertibkan. Investasi pasar modern pertama masuk dengan dibangunnya Balikpapan Center (BC) atau yang juga dikenal Plaza Balikpapan.” Berdasarkan penuturan tokoh masyarakat terkait pembangunan pada medio tahun 1990an yaitu: “Dulunya jalur jalan itu lurus menerus dari daerah manggar sampai ke melawai hingga terus sampai kampung baru sana, jalannya melewati bandara, naah habis ada pembangunan besar-besaran Bandara, jalurnya berubah melewati gunung bakaran (sekarang Jl. Marsma Iswahyudi). Sepanjang jalan ini (Jl. Sudirman), dari Klandasan sampai daerah BP banyak di lakukan pembangunan, terminal BP, toko-toko, kantor-kantor, yang paling besar itu dulu ada hotel Benakutai sama gedung BRI. Waktu jamannya walikota syarifuddin yoes sampai imdad hamid banyak dilakukan penambahan jalan, dari sudirman nembus ke kawasan ring-road (Jl. MT. Haryono), naah sekarang kawasan ring-road sana rame, banyak pembangunan, tapi tetap saja pusat kota itu daerah sini (seputaran Jl. Sudirman).” (Budiman, Tokoh masyarakat Klandasan Ulu)
89
89
Kawasan rawa-rawa dan semak belukar, dahulu di lokasi tersebut belum ada tindakan pembangunan, dan masih sebagai daerah hijau di Balikpapan (berlaku sebagai daerah muara sungai dan resapan). Di daerah muara Sungai Klandasan Besar ini (di lahan pantai) masih banyak bermukim nelayan tangkap dan biasanya mereka menambatkan perahu di sepanjang muara sungai. Aktivitas nelayan kurang dominan memanfatkan pesisir.
Instalasi kepolisian menempati beberapa titik di tepian pantai (khususnya area penelitian). Di Stalkuda, selain terdapat SPN Bumi Tarungga ada juga fasilitas pengadilan negeri kelas 1A dan Rutan Balikpapan. keberadaan SPN di tepi pantai biasa di gunakan bagi kegiatan internal seperti pelatihan taruna muda maupun kegiatan rutin brimob, masyarakat penghuni asrama polisi dan sekitaran dapat memanfaatkan lapangan maupun pantai untuk kegiatan rekreatif.
Ekonomi Balikpapan semakin meningkat, pemicu utamanya adalah keberadaan kilang minyak yang kemudian memunculkan beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas. Perkantoran bagi KKKS ini utamanya berada di timur Balikpapan, namun beberapa kantor memilih lokasi di stalkuda, karena kedekatannya dengan beragam fasilitas. Di tepian ini sebagian besar ditempati perusahaan supporting pertambangan minyak dan workshop area.
Gambar 5.11. Peta tahun 1997 dan gambaran sebagian kondisi tepian pantai Kota Balikpapan Sumber : Peta garis Balikpapan dan google earth, diolah 2015
Pada awalnya Bandara ini digunakan untuk operasional BPM, baru pada tahun 1987 diserahkan pengelolaannya ke PT. Angkasa Pura I. Hingga tahun 1991 s/d 1994 dilakukan pembenahan fisik besar-besaran. Kawasan operasional yang meluas semakin mengurangi pergerakan masyarakt menuju tepian pantai, karena di beberapa titik publik dilarang mengakses karena merupakan area keselamatan penerbangan.
90
D. Pembangunan di tepian pantai Balikpapan sekitar Th. 2007 Berdasarkan penuturan Ketua Komisi III terkait pembangunan kawasan ritel di tepian pantai perkotaan yaitu: “Pastinya persoalan ini (pembangunan tepian pantai) mempunyai dampak negatif, salah satunya yang mungkin masalah lingkungan. Yang kedua paling tidak adanya relokasi masyarakat yang ada di sekitar pembangunan (tepian pantai). Yang ketiga juga, ada sebagian masyarakat nelayan perlu dipikirkan relokasinya seperti apa. Terkait masalah lingkungan, sudah ada informasi mulai terjadinya abrasi di daerah tanjung kelor akibat dari reklamasi ini. Persoalan-persoalan ini yang harus dipikirkan pemerintah untuk tidak serta merta pembangunan ini akan mengorbankan situasi itu dan harus dicarikan jalan keluar. Tapi secara umum masyarakat Balikpapan, kalau mau bicara konsep kemajuan kota (pembanguann pada tepi pantai), apalagi kita ingin disejajarkan dengan kota-kota terbaik di kawasan ASEAN, pastinya akan mendukung. Ekses-ekses negatif yang harus dicarikan solusinya.” (Andi Arif Agung, Ketua Komisi III DPRD Balikpapan) Di tahun 2007 terlihat pembangunan di tepian pantai membentuk tren baru, investasi oleh peritel profesional di dalam membenahi fasilitas publik mulai banyak berperan. Seperti pembangunan kawasan BSB yang di develope oleh PT. Wulandari Bangun Laksana sebagai kawasan bisnis terpadu. Ruas utama Jl. Sudirman menjadi magnet arus investasi dan bisnis, pembangunan pun semakin menyebar di berbagai titik sepanjang jalan, selain pembangunan kawasan superblok di tepian pantai. Proyek tepian pantai lainnya juga dilakukan oleh PT. Hasta Kreasi Mandiri dengan men-develope kawasan pasar tradisional “Pasar Baru” menjadi kawasan integrasi bisnis. Peritel yang berinvestasi utamanya di pusat kota (tepian pantai) tentunya punya strategi bisnis agar tetap bertahan. Sebagian besar menjual view laut dan pemberian fasilitas bersantai di tepian pantai milik mereka, seperti cafe, restoran, dan ruang-ruang publik.
91
91
Perencanaan pembangunan apartemen, namun hingga saat ini masih belum ada kejelasan kelanjutan. Hal ini menyebabkan lahan tepian pantai menjadi terisolasi karena pekerjaan mangkrak, tidak dapat diakses karena kondisi masih tahap konstruksi areal reklamasi.
Ruko Bandar dan Pasar Klandasan memanfaatkan tepi pantai dengan perlakukan berbeda. Yang satu mengelola secara eksklusif (formal) dengan menyediakan restoran dan cafe, yang lainnya mengelola secara tradisional (informal), menempatkan warung-warung di tepi pantai.
Shopping gallery di tepian pantai, mensinergikan kebutuhan publik akan masing-masing kebutuhan baik itu pasar tradisional maupun modern, penambahan fasilitas di tepian pantai merupakan bentuk penyediaan ruang publik memadai di tepi pantai.
Pembangunan apartemen di tepian pantai pusat kota, mengesankan kehidupan bermukim ideal di perkotaan yang mengusung pergerakan origin-destination singkat. namun, apabila direncanakan ego sektoral akan membentuk eksklusifitas.
Pembenahan oleh swasta memberikan konsep tatanan baru di tepian pantai, mengusung konsep bermukim dan berprilaku ideal perkotaan, serta pembenahan pada tenancy, amenity, dan priority yang lebih memberi ruang gerak publik pada tepi pantai. Namun masyarakat tertentu saja yang menikmati tawaran tesebut, masyarakat awam lainnya hanya menganggap terbatasnya pergerakan di pantai dan tertutupnya laut oleh kepadatan bangunan.
Gambar 5.12. Investasi peritel di tepian pantai perkotaan Balikpapan Th. 2007 Sumber : Peta garis Balikpapan, google earth, dan skyscrapercity (sub-forum Kota Balikpapan), diolah 2015
Konsep one stop business living, pembangunan kawasan superblok di karenakan empat faktor, yakni faktor ekonomi, kondisi geografis, karakteristik penduduk, dan faktor kondusifitas kawasan.
92
E. Pembangunan di tepian pantai Balikpapan Th. 2014 Menurut penuturan Ketua Komisi III DPRD Balikpapan, pembangunan untuk kesejahteraah masyarakat: “Yang perlu dipahami bahwa konsepsi pembangunan pada akhirnya/ muaranya adalah untuk kesejahteraan masyarakat, tanpa kita menghilangkan kesan kota nyaman huni, karena dengan adanya konsepsi pembangunan seperti (pembangunan kawasan komersil) itu pastinya penyerapan tenaga kerja akan semakin banyak. Yang kedua sektor swasta pasti akan tergerak, jasa, pariwisata, ini pasti akan tergerak semua.” (Andi Arif Agung, Ketua Komisi III DPRD Balikpapan) Permukiman atas air semakin menyebar, pembangunan tanpa izin kerap dilakukan, dari hanya sekedar melakukan perbaikan hunian, penambahan lantai bangunan, hingga melakukan pembangunan baru. Permasalahan ini akan semakin menyebabkan tingginya kepadatan permukiman, khususnya di tepian pantai, selain itu apabila tatanan tidak memperhatian luasan KDB maka akan rawan terjadi kebakaran. Akses publik terhadap pantai perkotaan menjadi masalah esensial bagi pemerintah kota, selain karena ingin melakukan pembenahan terkait sempitnya lahan pusat kota untuk investasi baru, masyarakat juga mengeluhkan kurangnya ruang-ruang publik dengan akses penuh di tepian pantai untuk berkegiaatan rekreasi. Ekspansi ruang bagi perdagangan jasa pun semakin di perluas, tutupan lahan pantai oleh pembangunan tidak dapat dihindarkan, namun sinergi antara kepentingan swasta dan publik tetap terjaga dengan pemberian akses menuju pantai di ruang-ruang peruntukan publik, namun sebagian masyarakat tidak menyadari hal tersebut dan cenderung menganggap lahan pantai telah menjadi milik perseorangan (eksklusifitas).
93
93
Kawasan fasilitas olahraga dan wisata alam, kepadatan lingkungan rendah, selain itu merupakan aset milik instansi baik itu Pertamina dan Polda yang dioperasionalkan untuk kepentingan umum.
Lingkungan kepadatan tinggi (KDB 70-100%), perjas dan permukiman atas air. Akses terhadap tepian pantai terbatas, di Pasar Klandasan dan Ruko Bandar menyediakan tempat khusus di tepian pantai namun masih dalam peruntukan komersil.
Penyediaan ruang publik di tepi pantai terbilang baik, developer memberikan kebebasan pengunjung untuk menggunakan ruang pantai namun dengan batasan untuk alasan keamanan. Sebagian besar lahan pantai tertutupi hunian dan fasilitas sosial.
Kawasan BSB terus melakukan extension, penggunaan ruang pantai semi publik-semi privat, hanya penghuni apartemen yang dapat mengakses dengan bebas, sementara publik dapat menggunakan pantai dengan beberapa perlakukan (izin).
Perkantoran subkontraktor migas, memiliki aturan keamanan tersendiri. Memasuki kawasan ini hanya terbatas pada karyawan (internal), memiliki disiplin ketat mengenai HSQE sehingga tidak dapat diakses publik.
Gambar 5.13. Pembangunan di tepian pantai perkotaan Balikpapan Th. 2014 Sumber : Peta garis Balikpapan dan hasil analisis, 2015
Permukiman di sekitar Bandara memiliki kepadatan tinggi, masyarakat sekitar dapat mengakses lahan pantai, namun untuk kegiatan terbatas bukan untuk rekreasi (biasanya masyarakat pergi memancing), akses hanya berupa jalan lingkungan (jalan setapak).
Serial Vision
Tabel 5.1. Perkembangan pada tepian pantai perkotaan Balikpapan Simbol Periode (Tahun)
Kronologi (Tahapan)
Pusat Kota
Area Kota
Fungsi Kegiatan
Keterangan
Eksplorasi terhadap sumber daya alam memberi pengaruh terhadap perkembangan suatu daerah.
Akhir abad ke-19, Tahun 1897
(1)
Kelahiran Balikpapan di awali pengeboran minyak
Awal abad ke-20, Tahun 1932
(2)
Balikpapan sebagai kota kolonial
Modernisasi infrastruktur dan tata kota. Pembentukan poros struktur trasportasi dan sentral kegiatan utama kota, tumbuhnya pusat perniagaan di sepanjang tepian pantai
Pertengahan abad ke-20, Tahun 1945
(3)
Peningkatan kegiatan industri dan ekspor
Asimilasi masyarakat pesisir memberikan ruang perniagaan semakin meluas, perdagangan tidak hanya kebutuhan pokok tetapi juga barang sekunder dan tersier.
Th. 1960an hingga Th. 1980an
(4)
Akhir abad ke-20, Tahun 1997
Awal abad ke-21, Tahun 2007
Masa kini, Tahun 2014
Masa-masa awal arah penentuan pembangunan Balikpapan
(5)
Perkembangan tepian pantai menjadi lahan bisnis
(6)
Masuknya investasi oleh peritel profesional
(7)
Bussines plan developer di dalam pengembangan ritel
Visi pemimpin kota menyebabkan penataan kota di dorong untuk memenuhi kepentingan bisnis dan perdagangan jasa
Investasi masuk memperhatikan beberapa faktor yaitu ekonomi, kondisi geografis, karakteristik penduduk, dan kondusifitas kawasan Extension melihat kepada peluang bisnis dan penyediaan ruang publik memadai di tepian pantai untuk memperoleh dampak tingginya tingkat kunjungan.
94
Sumber: Hasil analisis, 2015
Pasca Bumi hangus, Balikpapan melakukan pembenahan infrastruktur dan pemindahan operasional aset kepemilikan koloni, seperti Bandara Sepinggan dan Kodam VI/Mulawarman.
95
5.1.2. Tata kelola pembangunan pantai perkotaan Balikpapan Hasil analisis sejarah pembangunan pada pantai perkotaan Balikpapan memperoleh kesimpulan yaitu bentukan perkotaan pada ruang pantai memiliki kaitan erat dengan faktor ekonomi, lingkungan, perkembangan teknologi, dan peran penguasa/ pemerintah (kebijakan). Selain itu wilayah pantai perkotaan mengalami perubahan karena bergesernya orientasi kegiatan masyarakat dalam menggunakan kawasan pantai, dari awalnya pantai sebagai tempat bermukim, menjadi wilayah kegiatan aktif (perikanan), kemudian berevolusi menjadikan pantai hanya sebagai sarana short refreshment. Perubahan inilah yang memberi warna arah perkembangan perkotaan Balikpapan menjadi kota perdagangan jasa. Di dalam menyajikan gambaran tepat terkait tata kelola pantai perkotaan Balikpapan, dilakukan pembobotan terhadap karakter lokasi sebagai wawasan konkrit tata kelola pantai perkotaan Balikpapan. Hal ini dilakukan sebagai tindakahan identifikasi secara spesifik karakteristik fisik lingkungan beserta kegiatan yang diwadahi dan dikembangkan pada tepian pantai tersebut dalam upaya memberikan penjelasan perkembangan pantai perkotaan yang berdampak pada kondisi akses publik. Dasar pertimbangan yang digunakan yaitu kondisi eksisting, penggunaan lahan, orientasi dan visualisasi, pemanfaatan ruang, dan aktivitas tepian pantai. Dari pembobotan tersebut akan didapatnya hasil mengenai proses pengembangan tepian pantai yang nantinya akan mengontrol analisis kondisi akses publik menuju tepian pantai yang terkait dengan fungsi kegiatan (kondisi fasilitas dan pelayanan kegiatan) maupun fisik eksisting (kepemilikan lahan, aksesbilitas kawasan, dll).
Tabel 5.2. Tata kelola pantai perkotaan periode Th. 1932 Pengamatan Pemerintahan Kolonia Periode Th. 1932 Kondisi eksisting
-
Relevansi dengan kondisi akses publik
Keterangan
Posisi vital Balikpapan sebagai industri perminyakan, pelabuhan, serta pos pertahanan. Sentral pusat kegiatan (wilayah BPM) berkembang menjadi pusat administrasi kolonial Peningkatan produksi minyak menuntut pertambahan fasilitas pendukung. Daerah pantai semakin ramai karena aktivitas ekspor industri BPM di Teluk Balikpapan. kondisi ini turut merubah tatanan ruang tepian pantai Kota Balikpapan. Pembangunan kilang minyak memanjang ke utara (arah pandansari) hingga ke timur (arah Klandasan).
Pada tepian pantai kondisi eksisting masih terbuka, namun adanya batas antara kepemilikan kolonis (eropa sentris) dan lahan pantai bagi aktivitas pribumi.
-
Perkembangan radial berdampak pada tumbuhnya fungsi kegiatan sepanjang jalan raya pesisir (ribbon development). Pemanfaatan daerah pantai sebagai kegiatan aktif masyarakat (memanfaatkan potensi sumber daya pesisir dalam bentuk kegiatan perikanan). Pembangunan pada daerah Upperland lebih dominan, pantai masih bebas diakses dan sebagai ruang terbuka. Pertumbuhan kota industri semasa perang menciptakan pertahanan sepanjang tepian pantai (barak militer)
Tepian pantai di gunakan sebagai kawasan operasional BPM serta kegiatan non-operasional kolonis. Pribumi memanfaatkan pantai sebagai lokasi bermukim.
Orientasi dan visualisasi kawasan
-
Kolonis memanfaatkan pantai sebagai ruang terbuka namun terbatas penggunaannya (eropa sentris). Pembangunan secara radial hanya memanfaatkan nilai ekonomis lahan tidak memperhatikan eksternalitas. Orientasi penggunaan pantai bagi masyarakat kolonis sebagai sarana rekreasi, sedangkan pribumi sebagai bermukim. Kebijakan pembangunan tepian pantai kurang memperhatikan kondisi sosial-ekonomi komunitas lokal. Pada masa darurat perang sepanjang jalan raya pesisir di gunakan sebagai pos pertahanan.
Orientasi pembangunan masih berada di sisi daratan (uperland), kondisi sisi pantai (shoreline) masih terbuka.
Pemanfaatan ruang tepian pantai
-
Pantai merupakan sarana rekreasi dan ruang publik, terlihat dari pembangunan societeit dan alun-alun. Kualitas fisik lingkungan tepian pantai masih terjaga, namun di beberapa lokasi hak penggunaannya terbatas (eropa sentris).
Pemanfaatan ruang mengikuti tata kelola perkotaan oleh kolonis
Aktivitas tepian pantai
-
Kebijakan pembangunan tepian pantai masih terbatas pada permukiman, perdagangan, sarana hiburan pantai, dan militer. Secara umum tatanan kota dibentuk sesuai kebutuhan kolonis. Pada masa kolonial lahan tepian pantai lebih diutamakan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan instalasi pipa minyak.
Aktivitas pesisir masih terkait dengan kondisi pesisir (pemanfaatan penuh potensi laut).
Penggunaan lahan
-
Kesimpulan: Berdasarkan gambaran umum tata kelola karakter pantai perkotaan masa kolonial disimpulkan bahwa tepian pantai kota terbagi menjadi zona rekreasi alam (digunakan oleh kolonis), zona permukiman (penggunaan oleh pribumi), zona perekonomian (kegiatan perjas), dan zona kegiatan khusus (pos pertahanan kolonis dan operasional BPM).
96
Sumber: Hasil analisis,2015
Tabel 5.3. Tata kelola pantai perkotaan periode Th. 1945 Pengamatan Pemerintahan Kota Balikpapan Periode Th.1945 Kondisi eksisting
-
Penggunaan lahan
-
Orientasi dan visualisasi kawasan
-
Pemanfaatan ruang tepian pantai
-
Aktivitas tepian pantai
Keterangan
Perkembangan komplek industri perminyakan BPM, ekspansi ruang pantai di Teluk Balikpapan. dominasi kegiatan sebagai kota koloni meminggirkan kegiatan kaum pribumi. Perebutan kilang minyak melalui peperangan menyebabkan kondisi ruang laut menjadi medan pertempuran sehingga meninggalkan sisa ranjau laut yang rawan untuk melakukan aktivitas aktif. Tepian pantai menjadi lokasi bumi hangus, sehingga kawasan pantai menjadi hancur dan tinggal puing akibat sisa peperangan.
Ekspansi kegiatan BPM semakin meluas, komplek BPM menciptakan daerah-daerah transisi sebagai kawasan perjas.
Infrastruktur pendukung BPM terlihat dari pembentukan jalur-jalur baru menuju jalan raya pesisir (jalan raya Klandasan) di kawasan tepian pantai. Pemanfaatan daerah pantai utamanya sebagai industri dan kemaritiman, selain itu untuk pendukung kegiatan BPM tumbuhnya pusat-pusat perdagangan di daerah Pandansari dan Klandasan. Pembangunan pada daerah Upperland masih lebih dominan, pantai masih bebas diakses dan sebagai ruang terbuka. Pertumbuhan kota industri semasa perang menciptakan pos pertahanan sepanjang tepian pantai (barak militer) dan military airfield (Sepinggang airstrip dan Manggar airstrip). Serta pembentukan tank obstacle dan footbridge.
Kegiatan pantai masih didominasi oleh keperluan kolonis, pembentukan sarana transportasi hanya sebagai pendukung operasional BPM.
Orientasi kegiatan masyarakat pribumi masih memanfaatkan pesisir sebagai ruang aktivitas, utamanya kegiatan perikanan (nelayan), mereka menambatkan perahu-perahu di pantai-pantai di sekitar permukimannya. (kawasan Klandasan). Tatanan pantai perkotaan memiliki kondisi visual yang menarik utamanya yang dikembangkan oleh koloni sebagai sarana rekreasi (eropa sentris), tepi pantai digunakan sebagai sarana wisata dan fasilitas pendukung BPM (rumah sakit, sekolah, gereja dan rumah-rumah misionaris).
Sisi laut (shoreline) mulai dipenuhi oleh pribumi seiring tumbuhnya pusat perdagangan baru, utamanya di Klandasan.
Pantai masih merupakan sarana rekreasi dan ruang publik, terlihat dari pembangunan societeit (banua patra) dan alun-alun (lapangan merdeka), namun kondisi ini masih tetap digunakan oleh kalangan kolonis (eropa sentris) Kualitas fisik lingkungan tepian pantai masih terjaga, namun di beberapa lokasi hak penggunaannya terbatas (eropa sentris).
Pemanfaatan ruang mengikuti tata kelola perkotaan oleh kolonis
Aktivitas pesisir masih terkait dengan kondisi pesisir (perikanan) namun mendapat tekanan baru sebagai kondisi perjas. Kesimpulan: Berdasarkan gambaran umum tata kelola karakter pantai perkotaan Th. 1945 disimpulkan bahwa tepian pantai kota terbagi menjadi zona rekreasi alam (eropa sentris), zona permukiman (penggunaan oleh pribumi), zona perekonomian (kegiatan perjas), dan zona kegiatan khusus (military airfield dan komplek BPM).
Kebijakan pembangunan tepian pantai masih terbatas pada permukiman, perdagangan, sarana hiburan pantai, dan militer. Secara umum tatanan kota dibentuk sesuai kebutuhan kolonis. Pada masa kolonial lahan tepian pantai lebih diutamakan pembangunan infrastruktur seperti jalan dan instalasi pipa minyak.
97
Sumber: Hasil analisis,2015
-
Relevansi dengan kondisi akses publik
Tabel 5.4. Tata kelola pantai perkotaan periode Th. 1997 Pengamatan Pemerintahan Kota Balikpapan Periode Th.1997
Relevansi dengan kondisi akses publik
Keterangan
Kondisi eksisting
-
Balikpapan memiliki nilai strategis dengan keunggulan komparatif dan kompetitif. Tepian pantai historis berkembang menjadi pusat pemerintahan, bisinis, dan hiburan. Tata ruang tepi pantai terbangun multifungsi kegiatan. Penambahan jalur akses baru sebagai bentuk pemecah konsentrasi aktivitas, kawasan pesisir mulai padat kegiatan, sehingga dilakukannya pembentukan pusat-pusat kegiatan baru.
Kondisi tepian pantai mulai mengalami kepadatan aktivitas dengan multifungsi kegiatan.
Penggunaan lahan
-
Pembangunan kawasan tepian pantai sebagai optimalisasi penggunaan lahan. Ekspansi ruang dengan melakukan reklamasi pertama dilakukan oleh PT. Angkasa Pura II sebagai bentuk tingginya arus penumpang yang datang dan pergi, hal ini berdampak pada rekayasa lalu-lintas (perubahan jalur Jl. Jend. Sudirman, sekarang menjadi Jl, Marsma Iswahyudi). Peningkatan penduduk ( urbanisasi, migrasi, dll) menyebabkan penggunaan ruang pantai semakin beragam. Pembangunan tepian pantai membentuk tren baru, peranan peritel profesional membenahi fasilitas publik. Penataan kota di dorong untuk mendukung tumbuhnya pusat bisnis dan perdagangan sesuai dengan arahan RIK.
Terciptanya kondisi lost space atau keadaan dimana pemanfaatan lahan (perkotaan) menjadi berlebihan.
Pembenahan fisik pada tepian pantai perkotaan tidak diikuti penyediaan akses menuju pantai yang memadai. Pembangunan pantai melihat pada faktor ekonomi, kondisi geografis, karakteristik penduduk, dan kondusifitas kawasan. Lahan tepian pantai tidak sepenuhnya digunakan bagi kepentingan umum, terdapat privatisasi properti pantai. Kebijakan zonasi RIK tidak terkendali menyebabkan intensitas pemanfaatan ruang tinggi dan akses pantai menjadi tertutup. Pada masa pembangunan menuntut tata ruang perkotaan yang mengakomodir kebutuhan bisnis perdagangan jasa.
Orientasi pembangunan tercipta karena karakter pembangunan radial sehingga tumbuhnya fasilitas pendukung perkotaan di sepanjang jalan utama.
Tepian pantai yang didominasi fungsi perdagangan jasa, orientasi masyarakat terhadap pantainya sebatas short refreshment. Tatanan tepian pantai diarahkan sebagai shopping belt, pantai sebagai ruang publik sedikit pemanfaatan dan aktivitas.
Pemanfaatan ruang mengikuti tata kelola Rencana Induk Kota.
Kebijakan pembangunan di tepian pantai tidak diarahkan sepenuhnya sebagai ruang publik, wisata alam dan rekreatif dominan merupakan aset non-operasional dari instansi pertamina dan polda. Penyediaan akses publik menuju tepian pantai bekerja sama dengan pihak swsata di dalam pembangunan mixed use dalam bentuk BOT. Pedestrian linkage memiliki tarikan lemah terhadap ruang pantai, tidak adanya akses formal menuju pantai dan kurangnya sistem tata informasi terkait penggunaan tepian pantai bagi kebutuhan publik.
Aktivitas pesisir perkotaan mulai mengalami kemunduran, kegiatan perikanan mulai di relokasi di ruang yang lebih representatif (kawasan Manggar).
Orientasi dan visualisasi kawasan
-
Pemanfaatan ruang tepian pantai
-
Aktivitas tepian pantai
-
Kesimpulan: Berdasarkan gambaran umum tata kelola karakter pantai perkotaan Th. 1997 disimpulkan bahwa tepian pantai kota terbagi menjadi zona rekreasi alam (merupakan aset nonoperional Pertamina), zona permukiman (permukiman atas air), zona perekonomian (kegiatan perjas), dan zona kegiatan khusus (Bandara, Pelabuhan, Kodam, dan Dermaga khusus Pertamina).
98
Sumber: Hasil analisis,2015
Tabel 5.5. Tata kelola pantai perkotaan periode Th. 2007 Pengamatan Pemerintahan Kota Balikpapan Periode Th. 2007 Kondisi eksisting
-
Relevansi dengan kondisi akses publik
Peningkatan ekonomi menjadi akselerator penggerak percepatan pembangunan kawasan pusat Kota Balikpapan. Animo masyarakat yang dipengaruhi oleh land tenure dan land security menyebabkan fungsi bermukim bertambah. Pergerakan publik merupakan based activity menyebabkan dominasi bermukim (kepadatan tinggi pada permukiman atas air) dan perdagangan jasa, utamanya di daerah Klandasan Ulu dan Klandasan Ilir, serta di kawasan Kel. Damai. Inefisiensi penggunaan lahan (tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki) banyak terjadi pada daerah pusat kota, seperti semakin tumbuhnya permukiman di tepian pantai. Privatisasi lahan menyebabkan putusnya akses warga kota menuju tepian pantai, kondisi ini menyebabkan rusaknya atmosfir dan budaya permukiman tepian pantai yang memiliki kekhasan tersendiri di Balikpapan. Komersialisasi lahan pesisir akibat nilai lahan pusat kota (Jl. Jend. Sudirman) semakin tinggi, penggunaan pantai sebagai ruang publik terbatas pada ritel-ritel komersil di sepanjang tepian pantai perkotaan.
Publik megalami kesulitan atau terputusnya akses menuju tepian pantai untuk menikmati secara bebas dan terbuka panorama lautan.
Terciptanya kondisi lost space atau keadaan dimana pemanfaatan lahan (perkotaan) menjadi berlebihan. Orientasi publik secara umum terhadap pantainya hanya sebatas kegiatan short refreshment.
Penggunaan lahan
-
Reklamasi dilaksanakan secara individu menyebabkan akses menuju pantai terbatas karena eksklusifitas penggunaan Penurunan kinerja lalu-lintas turut mengurangi aksesbilitas menuju tepian pantai. Kegiatan reklamasi dapat dibagi dua yaitu, untuk menambah luasan lahan dan untuk kebutuhan amenity pantai. Reklamasi merupakan bentuk proteksi dan penyediaan akses publik menuju tepian pantai bagi kepentingan umum.
Orientasi dan visualisasi kawasan
-
Penataan pantai oleh peritel merupakan tindakan penyediaan akses publik dan ruang publik memadai terhadap pantai. Unsur-unsur pembangunan seperti kualitas infrastruktur, pembangunan berlapis dapat memberikan hambatan akses pantai. Lahan pantai di dasari pada kepemilikan: publik, private, semi publik, semi privat, semi publik-semi privat. Efektivitas dari RDTRK kurang memenuhi ketersediaan akses maupun ruang publik di tepian pantai
Pemanfaatan ruang tepian pantai
-
Sistem jaringan jalan dan pergerakan terintegrasi dengan baik dan orientasi mobilitas penduduk sebagai pejalan kaki, namun lemah terhadap akses menuju pantai. Tepian pantai diarahkan pada sistem ruang terbuka privat yang dapat diakses publik (kepemilikan pribadi-aksesbilitas publik), dimana ruang yang karakter fisiknya terbuka, bebas dan mudah diakses publik meskipun milik pihak tertentu.
-
Aktivitas tepian pantai
Keterangan
Pemanfaatan ruang mengikuti tata kelola RDTR, namun lemah dalam pengawasan
Kebijakan pembangunan dengan arahan perjas pada perkotaan menciptakan batasan di dalam mengakses pantai, seperti Kurangnya perhatian terhadap kualitas ruang adanya hambatan fisik, institusional, interpretatif, keselamatan, dsb. Menyebabkan terikan publik terhadap pantai lemsah. publik, baik segi fisik - Penyediaan akses publik menuju tepian pantai bekerja sama dengan beberapa instansi maupun swasata dalam bentuk maupun pemberian pemeliharaan dan pengelolaan ruang pantai. edukasi (informasi). - Pedestrian linkage memiliki tarikan lemah terhadap ruang pantai, tidak adanya akses formal menuju pantai Kesimpulan: Berdasarkan gambaran umum tata kelola karakter pantai perkotaan mTh. 2007disimpulkan bahwa tepian pantai kota terbagi menjadi zona rekreasi alam (aset non-operional Pertamina dan Polda), zona permukiman (permukiman atas air), zona perekonomian (kegiatan perjas), dan zona kegiatan khusus (Bandara, Pelabuhan, Kodam, dan Dermaga khusus Pertamina).
99
Sumber: Hasil analisis,2015
-
Tabel 5.6. Tata kelola pantai perkotaan periode Th. 2014 Pengamatan Pemerintahan Kota Balikpapan Periode Th. 2014 Kondisi eksisting
-
Penggunaan lahan
-
Orientasi dan visualisasi kawasan
-
Pemanfaatan ruang tepian pantai
-
Aktivitas tepian pantai
Keterangan
Koridor Jl. Sudirman merupakan kawasan strategis di Balikpapan, kawasan padat dengan dominasi kegiatan di sektor perdagangan, mulai dari pasar, pertokoan, hingga shopping center. Terdapat dua motive pelaksanaan reklamasi di pantai perkotaan, yaitu hanya sebagai perluasan lahan dan perluasan lahan namun memperhatikan amenity pantai.
Pembangunan tepian pantai menunjukkan fungsi peningkatan perekonomian.
Selama ini kepemilikan lahan reklamasi menjadi milik Investor dan Pemerintah Kota hanya sebatas perijinan saja. Pola tersebut di atas hanya menguntungkan pihak investor, pemerintah kurang mendapat keuntungan dari perijinan tersebut. Belum adanya Pedoman/ Guideline dalam pengembangan Kawasan Pesisir Pantai Balikpapan dimana di dalamnya memberikan pedoman batas, teknik, penggunaan lahan/ landuse, estetika, RTBL, kepemilikan lahan, dan lain-lain. Berdasar sumber Rencana Teknik zona I Pesisir Balikpapan, rata-rata pertumbuhan bandara mencapai 25% tiap tahun, sehingga pengelola menyiapkan areal pengembangan di sebelah bara daya (selatan-timur) areal bandara sekarang, sebagian besar areal pengembangan berada di daerah pantai.
Belum adanya rencana induk di dalam pengembangan kawasan pantai untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan keserasian hubungan publik dan pantainya.
Kondisi reklamasi dengan teknik, jarak, luasan, maupun tampilan kawasan yang berbeda-beda menyebabkan citra kota atau kondisi visual menjadi tidak seragam. Kawasan shoreline perkotaan merupakan ruang paling diminati, karena berada di jalan utama kota, kawasan CBD, dan sisi selatannya berbatasan langsung dengan pantai beserta kelebihannya.
Peran swasta turut merubah orientasi pergerakan publik yang memanfaatkan potensi laut. Ruang pesisir masih umum pemanfaatanya berdasakan RDTRK. Kec. Balikpapan Kota. belum mengatur subkonsep pengembangan pantai.
Kawasan permukiman di atas air cenderung rapat (kepadatan bangunan tinggi dan jarak antar bangunan rapat) dan kumuh (tidak teratur, kotor, dll). Dominasi kawasan perumahan / permukiman nelayan, yang umumnya kumuh dan belum tertata. Sepanjang pantai perkotaan masih dijumpainya kondisi wisata pantai, lingkup kecil hutan bakau (tepi sungai Klandasan Besar), serta kondisi bangunan bersejarah (Tugu Australia dan Monpera). Wilayah pantai perkotaan minim perlakuan terhadap sumberdaya perikanan, sebagian besar nelayan melaut dan daerah operasinya berjarak lebih dari 5 mil dari pantai.
Aktivitas publik secara umum hanya terbatas rekreasi dan kebugaran, serta kepariwisataan. Belum memperhatiakn nilai ruang pesisir. Kesimpulan: Berdasarkan gambaran umum tata kelola karakter pantai perkotaan Th. 2014 disimpulkan bahwa tepian pantai kota terbagi menjadi zona rekreasi alam (aset non-operional Pertamina dan Polda), zona permukiman (permukiman atas air), zona perekonomian (kegiatan perjas), dan zona kegiatan khusus (Bandara, Pelabuhan, Kodam, dan Dermaga khusus Pertamina).
Masyarakat di Kel. Prapatan, Gunung Bahagia, dan Damai sebagian besar profesinya tidak berkaitan erat dengan laut (pegawai, buruh, pedagang, dll), mereka menempati lahan pantai karean dekat dengan lokasi pekerjaan (based activity). Pada permukiman atas air kondisi akses jalan memiliki kualitas infrastruktur buruk, sehingga tidak terintegrasi dengan kawasan sekitar kota dikarenakan adanya jalan pelantar yang menghubungkan antar lingkungan yang rusak/terputus. Tidak adanya ruang-ruang publik formal untuk berinteraksi sesama warga dan keperluan sosial lainnya.
100
Sumber: Hasil analisis,2015
-
Relevansi dengan kondisi akses publik
101
5.1.3. Matriks akses publik terhadap tepian pantai perkotaan Balikpapan Untuk mengetahui kondisi akses publik menuju pantai di tengah dinamika pembangunan pantai perkotaan Balikpapan dapat dilihat pada matrik akses publik di tepian pantai perkotaan Balikpapan berikut ini: DINAMIKA PEMBANGUNAN Th. 1932
Th. 1945
Th. 1997
Th. 2007
Th. 2014
Rekreasi alam ZONASI
Perekonomian Permukiman Kegiatan khusus Keterangan : = Kondisi akses publik terlarang = Kondisi akses publik bebas = Kondisi akses publik terbatas Gambar 5.14. Matriks akses publik menuju pantai perkotaan Balikpapan Sumber : Hasil analisis, 2015
Zonasi
pantai
perkotaan
Balikpapan
dikembangkan
berdasarkan
kebutuhan dan aktivitas yang ditampungnya. (Lebih lanjut lihat tabel 5.7) 1.
Zona rekreasi alam, zaman kolonis masih terbatas eropa sentris sementara pada masa pengelolaan Pemkot Balikpapan, akses publik menjadi bebas.
2.
Zona perekonomian, kawasan ini akses publik cenderung terbatas, hal ini dikarenakan sifat kepemilikan dan kondisi fisik eksisting yang membatasi.
3.
Zona permukiman, kawasan ini membatasi akses kunjungan publik karena kondisi fisik serta sifat kepemilikan ruang yang semi privat-semi publik.
4.
Zona kegiatan khusus, kawasan ini membatasi akses publik karena alasan keamanan serta penggunaan teknologi tinggi dalam kegiatan operasionalnya.
Tabel 5.7. Kasus akses publik menuju pantai perkotaan Balikpapan DINAMIKA PEMBANGUNAN Zonasi pantai perkotaan
Rekreasi alam
Perekonomian
Permukiman
Kegiatan khusus
Kondisi akses publik terhadap pantai perkotaan
Pemerintahan Kolonial Periode Th. 1932 - 1945
Pemerintah Kota Balikpapan Periode Th. 1945 - 1997
Pemerintah Kota Balikpapan Periode Th. 1997 - 2014
- Kolonis memanfaatkan pantai sebagai ruang terbuka namun terbatas penggunaannya (eropa sentris). Kondisi saat itu terbangunnya societeit dan alun-alun. - Minim pembenahan fisik, hanya berupa amenity pendukung di pantai.
- Peninggalan koloni dan menjadi aset nonoperasional dari Pertamina, dimanfaatkan sebagai ruang publik namun masih tetap di jaga keamanannya (waktu operasional serta pagar pembatas). - Secara formal penggunaannya terbatas namun umumnya masyarakat kota bebas mengakses kawasan pantai.
- Penataan pantai berkembang sebagai sarana wisata pasif, dengan di kelola sebagai short refreshment yang menjual panorama laut. - Ruang publik pantai semakin padat kegiatan publik, kemacetan dan kurangnya lahan parkir menjadi masalah.
Dengan kondisi eropa sentris (orang eropa hidup secara eksklusif), lokasi pantai dengan keunggulan ekosistem di khususkan hanya bagi koloni ditandai pembangunan fasilitas societeit. Sekarang aset tersebut menjadi bagian kepentingan publik di kelola Pemkot dengan kondisi akses bebas dan terbuka.
- Perkembangan radial berdampak pada tumbuhnya fungsi kegiatan sepanjang jalan raya pesisir (ribbon development). Perdagangan jasa dan tumbuhnya permukiman merupakan dominasi penggunaan lahan pantai. - Pembangunan pada daerah Upperland lebih dominan, pantai masih bebas diakses dan sebagai ruang terbuka..
- Kebijakan zonasi RIK tidak terkendali menyebabkan intensitas pemanfaatan ruang di tepian pantai perkotaan tinggi dan akses pantai menjadi tertutup. Maraknya privatisasi terhadap properti pantai. - Pembangunan kawasan tepian pantai sebagai optimalisasi penggunaan lahan. Penataan kota di dorong untuk mendukung tumbuhnya pusat bisnis orientasi masyarakat terhadap pantainya sebatas short refreshment.
- Tepian pantai diarahkan pada sistem ruang terbuka privat yang dapat diakses publik (kepemilikan pribadi-aksesbilitas publik). - Kebijakan pembangunan dengan arahan perjas menciptakan batasan dalam mengakses pantai, seperti hambatan fisik, instansi khusus, kurangnya informasi, dsb. Tarikan publik menuju pantai lemah.
Kawasan pantai dulunya merupakan pusat perdagangan ditandai adanya perkampungan cina dan orang-orang pribumi. Pembangunan daerah pantai masih minim, dan masih berupa ruang terbuka, akses bebas (diluar daerah koloni). Namun sekarang akses terbatas dikarenakan kepadatan pembangunan dan kondisi fisik eksisting yang menghambat publik menggunakan pantainya.
- Kawasan tepian pantai dahulu masih dimanfaatkan oleh sebagai tempat bermukim (dominan masih nelayan)
- Animo masyarakat dipengaruhi oleh land tenure dan land security menyebabkan fungsi bermukim di pantai bertambah.
-
Dahulunya merupakan permukiman pribumi (kampung nelayan & pecinan). Sekarang akibat intensitas bangunan tinggi menghalangi penggunaan pantai secara umum.
- Pertumbuhan kota industri semasa perang menciptakan pertahanan sepanjang tepian pantai dan pembentukan military airfield.
- Kawasan obvitnas memiliki struktur ruang kawasan dengan kategori public area, restricted public area (RPA), restricted area, dan prohibited area.
- Kondisi wilayah berkeamanan tinggi, utamanya mensyaratkan aturan khusus yang mempengaruhi pembangunan.
Kondisi kegiatan khusus penggunaannya masih konsisten dikarenakan operasionalnya yang masih berlangsung. Area ini terlarang bagi aktvitas publik.
102
Sumber: Hasil analisis, 2015
Inefisiensi penggunaan lahan menyebabkan tumbuhnya permukiman di tepian pantai.
103
5.2. Kondisi Akses Publik di Tepian Pantai Perkotaan Balikpapan Peningkatan
ekonomi
menjadi
motor
penggerak
percepatan
perkembangan di kawasan pusat Kota Balikpapan, laju perkembangan ekonomi yang semakin pesat membuat semakin kompetitifnya intensitas kegiatan maupun pemanfaatan lahan, selaras dengan kondisi itu arus urbanisasi menjadi pull factor yang menyebabkan meningkatnya permintaan tempat tinggal pada pusat kota. Pada pembahasan sub-analisis ini, dilakukan pengamatan terhadap kondisi fisik eksisting yang meninjau kondisi kepemilikan lahan, transportasi, serta kondisi fasilitas yang menempati wilayah sekitar tepian pantai. Selain itu mengamati pula fungsi kegiatan yang menempati zona I pesisir perkotaan Balikpapan, dan diakhiri pengamatan mengenai optimalisasi lahan melalui reklamasi. 5.2.1. Fisik eksisting pada tepian pantai perkotaan Semakin berubahnya wajah kota sebenarnya memberikan kontribusi positif bagi peningkatan pendapatan perkapita masyarakat, namun tidak semua masyarakat mengalami hal tersebut. Masih di dapatinya masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah yang memiliki keterkaitan tinggi dengan tempat mata pencahariannya,
menyebabkan
semakin
berkembangnya
permukiman-
permukiman yang dipaksakan berada di kantong-kantong kota. Pada tahun 1997 terjadi kebakaran yang melanda permukiman atas air di Kel. Klandasan Ilir, pasca bencana tindakan yang dilakukan pemerintah saat itu merelokasi masyarakat ke kawasan Ring Road dengan memberi pengganti hunian dengan type 21. Relokasi dilakukan karena permukiman atas air merupakan kawasan rawan bencana, dan sebagian besar bangunan berbentuk non-permanen sehingga rawan kebakaran.
104
Namun seiring berjalan waktu masyarakat mulai menempati kembali kawasan ini, tanpa pengawasan dan tindakan tegas dari Pemerintah Kota, seperti dikutip dari masyarakat: "Bagian belakang (di tepi pantai) ini milik pemerintah yang punya, orang di situ kan sudah dilarang membangun tetepi tetap membangun, kenapa bisa seperti itu, karena dari kelurahannya, kan pertama orang-orang bikin pondok-pondok lama kelamaan dibikin besar, dilapor sama kepala kampung, tapi tidak diperhatikan. Disini tidak ada sertifikat, apabila masyarakat dikasih uang pembongkaran, mau tak mau harus mau, soalnya kan bukan tanahnya, jadi tidak masalah apabila direlokasi.” (Budiman, Tokoh masyarakat Klandasan Ulu) Selain ditempati bagi permukiman masyarakat, lingkungan tepian pantai juga menjadi tempat investasi favorit bagi pebisnis ritel dan korporasi minning, oil, and gas di Balikpapan, tidak hanya skala lokal bahkan nasional dan internasional pun melirik kawasan ini sebagai lokasi usahanya. Secara historis perkembangan pusat perdagangan dimulai pada tahun 1992 dengan berdirinya Plaza Balikpapan yang pada awalnya bernama Balikpapan Center, beberapa tahun kemudian, perkembangan pusat perbelanjaan mengalami desentralisasi, tidak hanya di seputaran Jl. Jend. Sudirman namun mulai diarahkan ke kawasan Balikpapan Tengah dan Balikpapan Selatan. Pada tahun 2007 merupakan sejarah modernisasi perdagangan jasa Kota Balikpapan, dengan ditandai berdirinya proyek-proyek besar dengan nilai investasi tinggi, seperti ground breaking kawasan superblok BSB dan pembangunan kawasan mixed use Pasar Baru Square (balcony city), keduanya berada di ruas arteri sekunder (Jl. Jend. Sudirman) yang merupakan pusat Kota Balikpapan dan berlokasi tepat di tepian pantai. Selain pusat perdagangan, kawasan pergudangan
105
sub-kontraktor migas dan tambang juga berkembang di Jl. Jend. Sudirman ini, tepatnya di kawasan Stal Kuda, disini merupakan konsentrasi perusahaan distributor sparepart, workshop, training center, dan sebagainya. Menurut penuturan Plt. pimpinan DTKP (Dinas Tata Kota dan Perumahan): “Zonasi ruang kawasan sudirman skala kota sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan, sementara perusahaan di kawasan stal kuda secara bertahap akan dipindahkan dan mereka dibatasi waktunya, karena RTRW yang dulu masih diperkenankan, namun berdasarkan RTRW yang baru ini kawasan itu sudah dijadikan sebagai kawasan perdagangan jasa, jadi rata-rata kantor yang sudah eksis di sana itu secara bertahap mereka harus pindah ke Km. 13 sudah dikasih jangka waktu operasional. Selain itu dikarenakan kawasan ini tidak cocok untuk kegiatan industri dan faktor lainnya adalah perpanjangan landasan bandara sepinggan.” (Siti Fatimah, Plt. pimpinan DTKP Balikpapan) Lahan tepian pantai tidak mutlak hanya digunakan bagi kepentingan umum, tetapi harus tetap diadakan dan tersedia untuk dimanfaatkan bersama oleh publik. Penyusunan tata ruang selalu berlandaskan visi dan misi dari pimpinan terpilih dalam suatu kota (walikota), kebijakan yang di ambil menjadi dasar arah pembangunan. Kota Balikpapan memiliki panduan di dalam merencanakan tata kotanya selain itu diikuti kebijakan mengikat tata aturan di dalam pembangunan perkotaan umumnya dan khususnya di tepian pantai, menurut penuturan Ketua Komisi III DPRD Balikpapan: “Konsep pembangunan mengikuti visi misi walikota periode sekarang, bahwa secara slogan, „tagline-nya‟ menuju kota yang layak huni, memang secara umum bisa digambarkan paling tidak ukurannya adalah satu pembangunannya harus merata. Yang kedua pembangunannya paling tidak kan harus bisa modern bisa disejajarkan dengan kota-kota besar di kawasan regional. Yang ketiga ukurannya adalah kenyamanan masalah fasilitas umum, apakah listrik ataupun air. Yang keempat kebersihannya, ini menjadi ukuran bagi masyarakat untuk menjadi kota nyaman huni.” (Andi Arif Agung, Ketua Komisi III DPRD Balikpapan)
Pelabuhan, semi privat- semi publik Kantor pemerintahan, semi publik
Kodam Mulawarman merupakan private domain, dengan kepemilikan oleh instansi TNI, hanya diperuntukan bagi kegiatan internal
BSB, bersifat semi publik-semi privat
Struktur ruang semi publik-semi privat dengan fasilitas antara lain ritel komersil, perjas, perkantoran, pedagang kaki lima, kawasan ini mendominasi lahan pesisir
Kawasan khusus bandara, bersifat semi publik-semi privat
Lingkungan permukiman pesisir memiliki struktur ruang semi private domain, dimana ruang yang ada berkorelasi publik dan private dalam suatu space
Kawasan perkantoran struktur ruang adalah private domain, guna lahan yang kepemilikannya milik pribadi dan untuk kegiatan internal.
106
Kawasan pantai banuapatra, lapangan merdeka, dan pantai kemala merupakan ruang daratan dengan kepemilikan semi publiksemi private domain, sementara pantai melawai adalah publik domain ruang terbuka linier
Taman Bekapai, bersifat publik domain
Gambar 5.15. Struktur ruang pada beragam fasilitas di tepian pantai perkotaan Sumber : Google earth dan hasil analisis, 2015
107
Di dalam penyediaan akses publik menuju pantai, selain memperhatikan struktur ruang dan kepemilikan lahan/ land use kawasan, juga turut memperhatikan sistem transportasi yang ada. Peranan dari sistem transportasi memberi pengaruh pada perkembangan pergerakan masyarakat kota dengan aktivitas yang dilakukan, selain itu ketersediaan sarana dan prasarana juga memberi dampak pada optimalisasi arus lalu lintas. Kondisi pergerakan masyarakat perkotaan Balikpapan kota berpola based activity, yaitu pergerakan dari tempat tinggal menuju tempat kerja/ lingkungan kegiatan, pola pergerakan yang tinggi terjadi pada kawasan pusat kota dengan kegiatan utama perdagangan jasa dan pusat pemerintahan. Menurut penuturan tokoh masyarakat terkait kondisi lalu lintas dan transportasi perkotaan yaitu: “Secara umum sistem transportasi di Kota Balikpapan cukup memadai, moda angkutan umum yang beroperasi sesuai trayek (hanya melewati jalur arteri dan kolektor), selain itu kondisi jalan-jalan yang ada dengan gerak transportasinya cukup mampu menampung beban lalu-lintas, namun di beberapa titik seringkali ditemukan kemacetan pada jam-jam tertentu yang disebabkan kegiatan di pinggir jalan, kegiatan tersebut antara lain parkir di bahu jalan (on street), banyaknya orang yang menyeberang jalan (terutama kawasan perkantoran dan pasar), angkutan umum yang berhenti seenaknya (naik dan turun penumpang), aktivitas bongkar muat barang pada pertokoan di sepanjang jalan. Kondisi paling macet itu kalau sudah kapal sandar, angkot, manusia numpuk di jalanan melawai. Di depan ewalk juga sering macet, apalagi malam minggu, jalan-jalan penuh, macet, padat, oleh karena itu perlu adanya solusi kreatif untuk mencegah penumpukan kendaraan pada akses masuk menuju pusat perbelanjaan itu.” (H. Sappe, Tokoh masyarakat pesisir) Berdasarkan kajian Rencana Teknik Penataan dan Pengembangan Zona I Pesisir Kota Balikpapan mengenai volume lalu lintas dan derajat kejenuhan di
108
ruas jalan sepanjang pusat kota dan jalan-jalan besar yang mempunyai akses ke tepian pantai, kinerja lalu lintas dapat dilihat pada tabel 5.8. Tabel 5.8. Volume lalu lintas dan derajat kejenuhan Volume Volume Kapasitas 2002 2004 (smp/jam) (smp/jam) (smp/jam) Jl. Jendral Sudirman 2711 3280 4395 Jl. Yos Sudarso 1806 2185 2551 Jl. Wiluyo Puspoyudo 525 635 1904 Jl. Masjid Arroudoh 489 592 1656 Jl. Syafruddin Yos 522 632 1656 Jl. Mulawarman 844 1021 2380 Jl. ARS. Muhammad 356 431 1904 Jl. Komplek PU 321 388 1656 Jl. Tanjung Pura 458 554 1656 Jl. APT. Pranoto 525 635 1656 Jl. Tanjung Pura I 268 324 1066 Jl. Markoni 362 438 1656 Jl. Agus Salim I 215 260 952 Jl. Lingkar Blora 415 502 1656 Jl. A. Yani 2113 2557 4517 Jl. Gajah Mada 421 509 1656 Jl. Mayjen Sutoyo 652 789 2551 Jl. MT. Haryono 829 1003 2456 Jl. Marsma Iswahyudi 1178 1425 5025 Pertumbuhan Lalin 10 % Sumber : Rencana Teknik Zona I Pesisir Kota Balikpapan, diolah 2015 Nama Ruas Jalan
DS 2004 V/C
Keterangan
0.75 0.86 0.33 0.36 0.38 0.43 0.23 0.23 0.33 0.38 0.30 0.26 0.27 0.30 0.57 0.31 0.31 0.41 0.28
Macet Macet Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
Berdasarkan data kajian diatas, disimpulkan bahwa Jl. Sudirman dan Jl. Yos Sudarso mengalami penurunan kinerja lalu lintas. Kemacetan pada Jl.Sudirman terjadi di setiap simpul simpangan dan akses masuk pusat perbelanjaan. Sementara Jl. Yos Sudarso merupakan kawasan Pelabuhan Semayang, dimana setiap harinya terjadi aktivitas bongkar muat barang dan naik turun penumpang kapal. Secara garis besar, masyarakat dapat mengakses tepian pantai pusat kota, namun dengan beberapa kondisi dan perlakuan, karena tidak semua guna lahan dapat digunakan secara bebas. lebih jelas mengenai aksesbilitas pada kawasan pesisir selatan Balikpapan lihat gambar 5.17.
109
Berdasarkan Rencana Teknik Penataan dan Pengembangan Zona I Pesisir Kota Balikpapan, moda angkutan darat di Kota Balikpapan terdiri dari kendaraan bermotor yang dapat diklasifikasikan sebagai mobil penumpang, bus, mobil pengantar barang, dan sepeda motor. Lebih dari 50 % kendaraan bermotor yang ada berupa sepeda motor. Jumlah kendaraan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan yaitu lebih dari 10 % tiap tahun Berdasarkan tujuan pergerakannya, karakteristik pergerakan di Kota Balikpapan dikelompokkan dalam 4 tujuan, yaitu : (Sumber: Rencana Teknik Penataan dan Pengembangan Zona I Pesisir Kota Balikpapan) 1.
Tempat kerja
(82,1 %)
2.
Sekolah
(6,0 %)
3.
Tempat perbelanjaan
(8,6%)
4.
Rekreasi
(3,3%)
Dapat diambil kesimpulan bahwa volume lalu lintasnya pada jam berangkat dan pulang kerja akan meningkat dengan tajam. Pergerakan tersebut menggunakan sarana transportasi berupa kendaraan yang terlihat di tabel berikut. Tabel 5.9. Prosentase jenis kendaraan yang digunakan Jenis Kendaraan
Prosentase ( % )
Angkutan Umum (Kijang)
30,8
Sepeda Motor
27,4
Kendaraan Pribadi
26,4
Angkot bis, bis mini dll.
15,4
Sumber : Rencana Teknik Zona I Pesisir Perkotaan, diolah 2015
Akibat adanya pergerakan diatas, dilihat secara visual jaringan jalan yang menampung beban lalu lintas berat adalah Jl. Klandasan, Jl. Gunung Sari Ilir, Jl.
110
Letjen Panjaitan, Jl. Muara Rapak, Jl. Yos Sudarso, dan Jl. Sudirman. Sedangkan jalan-jalan yang mengalami kemacetan terutama pada jam-jam sibuk (peak hour) antara lain, Pasar Baru dan sekitarnya; Jl. S. Parman; Jl. Sutoyo dan Gunung Sari; Jl. Pandan Sari; Jl. Yos Sudarso; Jl. Jend. Sudirman; dan Jl. MT. Haryono. Pola sirkulasi kendaraan pribadi (eksisting)
Pola sirkulasi angkutan umum (eksisting)
Kawasan tidak dilayani angkutan umum
Jalur angkutan umum
Kebutuhan lahan parkir :
= KTL Jl. Jend. Sudirman (No on-street parking) = On-street parking
Pola simpang :
pengaturan 3 Fase
5
4 2 1
3 Fase
3
3 Fase
3 Fase = Simpang bersinyal
2 Fase
Gambar 5.16. Kondisi jalur akses tepian pantai pusat Kota Balikpapan Sumber : Hasil analisis,2015
Kawasan pelabuhan barang dan manusia, aktivitas yang ditimbulkan kerap menyebabkan kemacetan
Akses masuk menuju pusat perbelanjaan pasar baru, balcony, dan plaza Balikpapan, kerap macet
Kemacetan dikarenakan berada pada simpangan, namun di tambah oleh banyaknya hambatan samping
Imbas kemacetan panjang dari simpangan MT. Haryono, ditambah lagi terdapat traffic light
Jam-jam sibuk, terutama jam pulang kantor menyebabkan kawasan ini padat dan kerap macet
Sirkulasi menuju BSB pada saat peak hour dan weekend kerap menyebabkan kemacetan
Ketarangan : = Jalur arteri primer melintasi pesisir = Jalur kolektor menghubungan kawsan kota menuju pesisir = Jaringan jalan lokal perkotaan = Jalan lingkungan menuju tepian pantai (Akses formal maupun informal) = Titik kemacetan = Kantong parkir
Akses menuju pantai melalui gang sempit dengan jembatan kayunya.
Akses menuju pantai melalui SPN terbatas bagi masyarakat
Akses informal, biasa dilalui oleh masyarakat setempat
Akses menuju permukiman nelayan
Sumber : Peta garis Balikpapan dan hasil analisis, 2015
111
Gambar 5.17. Aksesbilitas kawasan di Zona I pesisir perkotaan Balikpapan
Ruang terbuka di ujung landasan bandara, akses langsung, bebas dan terbuka menuju pantai
Kondisi fisik fasilitas eksisting tepian pantai Bandara hingga SPN
Permukiman swadaya -
Aksesbilitas kawasan kurang (gang masuk sempit) Amenity/ view kurang bagus (kepadatan tinggi) Fasos & Fasum cukup lengkap Infrastruktur baik dan agak kumuh
Perdagangan dan jasa/ pertokoam
Perkantoran, workshop alat berat
Permukiman atas air/ nelayan
-
-
-
-
Aksesbilitas kawasan bagus (di Tepi Jl. Marsma Iswahyudi) Amenity/ view kurang bagus (kepadatan tinggi) Fasos & Fasum cukup lengkap Infrastruktur baik
-
Aksesbilitas kawasan cukup baik, pergerakan kendaraan minim Amenity/ view cukup baik Fasos & Fasum baik Infrastruktur baik
-
Aksesbilitas kawasan kurang. Permukiman tepian pantai yang berkembang secara linier dan cenderung menjorok ke laut. Jalur akses berupa jalan kayu dengan lebar 1,5 meter, pencapaian langsung dari gang masuk. Pola permukiman grid dengan batas langsung dengan laut Amenity/ view kurang bagus Fasos & Fasum minim Infrastruktur kurang dan agak kumuh
Gambar 5.18. Kondisi fisik eksisting area Bandara Sepinggan hingga SPN Bumi Tarungga
112
Sumber : Rencana Teknik Zona I Pesisir Kota Balikpapan, diolah 2015
Kondisi fisik fasilitas eksisting tepian pantai SPN hingga Ruko Bandar
Perumahan swadaya - Aksesbilitas kawasan bagus, di tepi Jl. Sudirman - Amenity/ view cukup - Fasos & Fasum cukup lengkap - Infarstruktur baik
Perdagangan dan jasa/ pertokoan - Aksesbilitas kawasan bagus. - Amenity/ view baik - Fasos & Fasum lengkap - Infarstruktur baik
Kawasan campuran (perumahan & perjas) -
Aksesbilitas kawasan bagus. Berada di tepi Jl. Sudirman. Amenity/ view kurang bagus Fasos & Fasum cukup Infarstruktur cukup dan kumuh
Mixed Use - Aksesbilitas kawasan bagus. - Amenity/ view cukup baik - Fasos & Fasum cukup lengkap - Infarstruktur baik
Permukiman atas air -
-
Aksesbilitas kawasan kurang. Permukiman tepian pantai yang berkembang secara linier dan cenderung menjorok ke laut. Jalur akses berupa jalan kayu dengan lebar 1,5 meter, pencapaian langsung dari gang masuk. Pola permukiman grid dengan batas langsung dengan laut Amenity/ view kurang bagus Fasos & Fasum minim Infrastruktur kurang dan agak kumuh
Gambar 5.19. Kondisi fisik eksisting area SPN Bumi Tarungga hingga Ruko Bandar Sumber : Rencana Teknik Zona I Pesisir Kota Balikpapan, diolah 2015
113
Kondisi fisik fasilitas eksisting tepian pantai Ruko Bandar hingga Pantai Melawai
Wisata Pantai Banuapatra dan Melawai -
-
Aksesbilitas kawasan sangat bagus (aset non-operasional Pertamina). Lalin padat saat sore hingga malam hari. Amenity/ view baik Fasos & Fasum lengkap Infarstruktur lengkap
Kodam VI/Mulawarman dan perkantoran Pemerintah Kota - Aksesbilitas sangat bagus (Kawasan militer), lalu lintas lancar (dilalui jalur primer kota). - Amenity/ view baik - Fasos & Fasum lengkap - Infarstruktur baik
Permukiman atas air dan TPI
Pasar Klandasan
Ruko Bandar
-
-
-
Aksesbilitas kawasan jelek, Amenity/ view cukup baik Fasos & Fasum kurang Distress infrastucture Kotor dan kumuh
-
Aksesbilitas kawasan jelek, di lalui jalur angkot dan tatanan pedangang kaki lima menyempitkan jalan Amenity/ view cukup baik Fasos & Fasum kurang Distress infrastucture Kotor dan padat
-
Aksesbilitas kawasan cukup bagus (pertokoan tertata secara grid) Amenity/ view baik Fasos & Fasum cukup lengkap Infarstruktur baik
Gambar 5.20. Kondisi fisik eksisting area Ruko Bandar hingga Pantai Melawai Sumber : Rencana Teknik Zona I Pesisir Kota Balikpapan, diolah 2015
114
Tabel 5.10. Kondisi fisik eksisting tepian pantai perkotaan Kondisi fisik eksisting tepian pantai perkotaan Fasilitas di tepian pantai
Permukiman atas air
Perdagangan dan jasa
Pelabuhan
Kemiliteran
Struktur ruang kawasan
Aksesbilitas kawasan
Kondisi fisik fasilitas
Lingkungan permukiman pesisir memiliki struktur ruang semi private domain, dimana ruang yang ada berkorelasi publik dan private dalam suatu space.
- lingkup makro, permukiman atas air berada di perkotaan yang padat arus lalu lintas dan kemacetan - lingkup mikro, akses pada dilalui publik melaui jalur akses sempit dan terbatas (jembatan kayu)
-
Struktur ruang semi publik-semi privat dengan fasilitas antara lain ritel komersil, perjas, perkantoran, pedagang kaki lima.
Akses publik menuju pantai
-
Permukiman tepian pantai berkembang linier (pola grid) Amenity/ view jelek Fasos & Fasum cukup Infrastruktur cukup dan kumuh
Dengan kondisi struktur ruang semi private domain, publik secara terbuka dan bebas mengakses kawasan, namun kondisi fisik kawasan cenderung kumuh dan kurang tertata.
- lingkup makro, kawasan perjas kerap menimbulkan macet pada akses keluar masuk. - lingkup mikro, perjas tunggal menyediaan akses menuju pantai.
-
Memiliki akses menuju pantai Amenity/ view bagus Fasos & Fasum lengkap Infrastruktur lengkap
Kawasan perjas tunggal (mixed use) struktur ruangnya semi publik-semi privat, sehingga memberikan ruang publik bebas akses pada pantai dengan kondisi fisik baik dan tertata.
Kepemilikan pelabuhan memiliki struktur ruang semi public-semi private dimana status kepemilikan pribadi namun dapat dinikmati publik. Namin demaga pada pelabuhan pertamina struktur ruangnya bersifat private domain.
- lingkup makro, kawasan pelabuhan menimbulkan kemacetan pada saat aktivitas naik turun penumpang. - lingkup mikro, pelabuhan merupakan obyek vital dengan aturan wilayah penggunaan.
-
Kawasan obyek vital nasional, pengawasan ketat (pagar batas) Amenity/ view cukup baik Fasos & Fasum cukup Kondisi agak kumuh
Pelabuhan merupakan obvit, memiliki wilayah pengamanan Ring III (enviromental community area), sehingga struktur ruangnya ada public area dan juga restricted area. Kawasan publik memiliki kondisi cukup kumuh namun kurang tertata.
Kodam Mulawarman merupakan private domain, dengan kepemilikan oleh instansi TNI, hanya diperuntukan bagi kegiatan internal
- lingkup makro, kondisi lalu lintas normal, aktivitas publik terbatas - lingkup mikro, lahan pantai merupakan aset non-operasional, sehingga akses bebas terbatas
-
Lingkungan terjaga kondisinya, pengawasan ketat oleh TNI. Amenity/ view baik Fasos & Fasum lengkap Infarstruktur baik
Kawasan militer merupakan privare domain, namun pada aset nonoperasional publik dapat mengaksesnya, sehingga kondisi pada kawasan militer adalah akses menuju pantai terbatas (orang dengan izin).
Kawasan pantai wisata perkotaan kepemilikannya yaitu semi publiksemi private domain, sementara pantai melawai adalah publik domain dengan sifat ruang terbuka linier
- lingkup makro, akses kawasan sangat baik (jalan primer kota) - lingkup mikro, sebagian memiliki akses formal namun sebagian lainnya terbatas akses informal
-
-
-
Kegiatan rekreasi pantai merupakan bagian dari kepentingan umum, akses publik bersifat terbuka dan bebas. Rekreasi Namun, aset non-operasional pertamina tidak memiliki akses formal hanya sebatas informal. Kesimpulan: Kawasan rekrasi, utamanya pantai publik memiliki akses bebas dan terbuka bagi kepentingan umum, selain itu kondisi perjas tunggal umumnya memiliki struktur ruang publik dimana bebas akses publik, kawasan pelabuhan dan militer memiliki akses terbatas pada ruang pantainya.
115
Sumber : Hasil analisis, 2015
Aset non-operasional, memiliki tatanan fisik bangunan menarik Amenity/ view baik Fasos & Fasum lengkap Infarstruktur lengkap
116
Akses publik terhadap pantai perkotaan memiliki nilai kekuatan apabila dikaji dari penggunaan lahan pantai yang ada, berdasarkan kajian kondisi fisik eksisting tepian pantai, terdapat 3 (tiga) hal yang mempengaruhi pergerakan publik menuju tepian pantainya, antara lain kondisi struktur kawasan, aksesbilitas kawasan, serta kondisi fisik fasilitas. Fasilitas di tepian pantai
Kondisi fisik eksisting
Tata kelola pembangunan pantai perkotaan (zonasi)
-
Kawasan pantai wisata perkotaan kepemilikannya yaitu semi publik-semi private domain, sementara pantai publik domain dengan sifat ruang terbuka linier.
-
Berada di perkotaan dilalui jalan primer kota, akses kawasan baik (akses formal).
-
Memiliki tatanan fisik bangunan menarik, infrastruktur lengkap.
-
Permukiman pesisir, ruang semi private domain Berada di perkotaan yang padat dan macet Amenity/ view kurang dan cenderung kumuh
Kondisi akses publik menuju pantai
Akses publik
Wisata pesisir (pantai perkotaan)
Rekreasi alam
Permukiman atas air
Permukiman
Bebas
Akses publik terbatas
-
Struktur ruang semi publik-semi privat Menimbulkan macet pada akses keluar masuk. Amenity/ view baik dan infrasturktur lengkap.
-
Struktur ruang semi public-semi private
-
Menimbulkan kemacetan pada saat tertentu Amenity/ view baik dan infrastruktur baik
-
Struktur ruang semi public-semi private
-
Kondisi lalu lintas lancar, akses terbatas Amenity/ view baik dan infrastruktur baik
Perekonomian
Perdagangan jasa
Pelabuhan
Pertamina Akses publik Kegiatan khusus
-
Struktur ruang private domain
-
Struktur ruang merupakan private domain
Kondisi lalu lintas lancar, akses terbatas Amenity/ view baik dan infrastruktur baik
Kondisi lalu-lintas normal, akses terbatas Amenity/ view baik dan infrastruktur baik
Bandara
Kodam
Gambar 5.21. Kondisi akses publik menuju pantai berdasarkan fisik eksisting Sumber : Hasil analisis, 2015
terlarang
117
Dapat disimpulkan dari hasil penelitian akses publik menuju pantai berdasarkan fisik eksisting didapatkan: 1.
Kondisi fisik eksisting pada kawasan kegiatan khusus cenderung baik, dikarenakan aksesbilitas yang baik dan intensitas bangunan proporsional.
2.
Kondisi fisik eksisting pada kawasan rekreasi alam cenderung cukup baik, dikarenakan aksesbilitas padat dan macet dan tidak memiliki parkir komunal.
3.
Kondisi fisik eksisting pada kawasan perekonomian cenderung kurang, karena umumnya kawasan perjas memiliki intensitas bangunan padat.
4.
Kondisi fisik eksisting pada kawasan permukiman cenderung kurang, karena umumnya permukiman atas air memiliki intensitas bangunan padat. serta view dan amenity pada kawasan pantai kurang.
Fasilitas di tepian pantai
-
Dermaga khusus Pertamina Dermaga Pelabuhan Semayang Kodam VI/ Mulawarman Pangkalan TNI AU Kepolisian
-
Kegiatan wisata alam dan buatan.
-
-
-
Permukiman kepadatan sangat tinggi (atas air) Perdagangan jasa tunggal (mixed use dan superblock), kopel, deret (ruko), dan tradisional.
-
Tata kelola pembangunan pantai
Kepemilikan bersifat private domain dan semi publik-semi private Berada di jalur primer (kondisi lalin lancar) Amenity/ View baik dan infrastruktur baik Kepemilikan bersifat publik domain Berada di jalur primer (kondisi lalin lancar) Tatanan fisik menarik Kepemilikan bersifat semi private domain Berada di jalur primer (kondisi macet dan padat) Amenity/ View kurang dan infrastruktur cukup
perkotaan (zonasi)
Kondisi akses publik menuju pantai
Baik Obvitnas
Akses publik terlarang
Lingkungan
Akses publik bebas
Cukup
Kondisi fisik eksisting
-
Kondisi fisik eksisting
Permukiman Akses publik terbatas Kurang Ekonomi
-
Gambar 5.22. Skema akses publik menuju pantai berdasarkan kondisi fisik eksisting Sumber : Hasil analisis, 2015
118
5.2.2. Fungsi kegiatan pada tepian pantai perkotaan Berdasarkan urban system Kota Balikpapan kawasan tepian pantai merupakan tempat bermukim dan sebagai sumber mata pencaharian. Pada kawasan pusat kota (Zona I Pesisir Kota Balikpapan), aktivitas pemanfaatan ruang tepian pantai dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan bermukim, perekonomian, kemaritiman, rekreasi, dan kemiliteran. Berikut akan dijelaskan mengenai penggunaan tepian pantai oleh masyarakat berdasarkan kegiatan yang dilakukan. A. Kegiatan bermukim Permukiman atas air di kawasan pusat kota memiliki cakupan area yang cukup luas pada tepian pantai. Dilatarbelakangi oleh masyarakat pendatang, mereka mulai membangun tempat tinggal yang dekat dengan pekerjaan mereka yaitu nelayan. Komunikasi dan interaksi dari masyarakat nelayan menciptakan suatu budaya tersendiri bagi masyarakat pesisir, bangunan dibuat secara berdekatan (rapat) menandakan hubungan kedekatan antara penghuni kawasan, walaupun bangunan yang tercipta berasal dari struktur dan material seadanya. Menurut pandangan tokoh masyarakat permukiman atas air, di dapat informasi: "Rumah-rumah ini awalnya dibangun swadaya sama gotong-royong orang-orang sini, dulunya orang-orang sini orang bugis, makin lama daerah ini semakin berkembang, kondisinya udah nggak tertata lagi, makin menjamur kemana-mana lah, makin jauh dibangun ke laut sana. Kebakaran sama ombak itu bahayanya. Disini masih ada yang melaut (nelayan). ” (Budiman, Tokoh masyarakat Klandasan Ulu) Fungsi hunian eksisting yang ada di permukiman atas air pada kawasan pusat kota terbagi menjadi hunian tipe kecil/ sedang untuk bermukim dan hunian
119
tipe besar untuk tempat tinggal/ tempat usaha. Untuk hunian tipe kecil dan sedang biasanya ditempati oleh penduduk golongan ekonomi lemah (fisik bangunan kurang dari segi struktur dan material), sedangkan hunian tipe besar merupakan penggabungan fisik sebagai tempat tinggal dan tempat usaha. Bentuk permukiman atas air ini cenderung berjajar (grid) dengan pola sirkulasi linier dengan bangunan yang tertata rapat satu dan lainnya, hal ini merupakan ciri dari kehidupan sosial masyarakat pesisir yang selalu mengutamakan kekeluargaan, kebersamaan, gotong-royong, dan saling tolong-menolong antara satu dan lainnya Pusat kota menjadi daya tarik masyarakat untuk berkehidupan dikarenakan kelengkapan infrastruktur dan fasilitas pendukung, kegiatan masyarakat yang pada awalnya bekerja memanfaatkan tepian pantai secara aktif baik itu perikanan tangkap maupun perikanan darat (sektor primer), mulai berganti dengan kegiatan yang memberikan peluang usaha lebih baik (sektor tersier). Permukiman pada mulanya hanya berkembang di kawasan tepian pantai saja (dikarenakan kontur yang landai) seiring waktu dengan adanya pembenahan perkotaan menyebabkan banyaknya
masyarakat
yang
menggunakan
kawasan
bukit-bukit
untuk
membangun hunian (sebagian besar kontur pusat kota berbukit-bukit). Kawasan bermukim di tepian pantai perkotaan Balikpapan dapat dibagi menjadi tiga tingkat kepadatan, yaitu permukiman kepadatan sendang, kepadatan tinggi, dan kepadatan sangat tinggi, selain itu terdapat juga permukiman kepadatan rendah yaitu Villabeta Housing Compound, lebih jelas mengenai klasifikasi permukiman di Zona I Pesisir Kota Balikpapan lihat gambar 5.23.
120
Gambar 5.23. Kegiatan bermukim masyarakat di Zona I Pesisir Kota Balikpapan Sumber: Hasil analisis, 2015
Permukiman kepadatan sangat tinggi, merupakan permukiman eksisting yang telah ada dan mengalami perkembangan (utamanya permukiman atas air) awalnya masyarakat dominan nelayan kemudian berasimilasi menjadi masyarakat swadaya. Permukiman kepadatan tinggi timbul karena tarikan pusat kota, sementara permukiman industri merupakan bagian dari komplek PT. Pertamina UP V. Permukiman kepadatan rendah sebagian besar peruntukan housing complex karyawan expatriat perusahaan migas, antaranya villabeta dan sepinggan complex. Di tepian pantai selain permukiman atas air, terdapat juga sejumlah rumah dinas perwira Polda Kaltim, berada di kawasan militer Kodam VI/ Mulawarman. Rumah perwira ini memiliki akses langsung ke tepian pantai dan dikelilingi oleh pantai-pantai wisata alam yang ada pusat Kota Balikpapan (Pantai Monpera, Polda, Kilang Mandiri, Strans, dan Pantai Melawai). Masyarakat umum tidak dapat mengakses kawasan pantai privat rumah dinas tersebut, karena merupakan aset kepemilikan internal Polda Kaltim, selain itu terdapat beberapa hunian atas air di sekitar pantai melawai dekat Pelabuhan Semayang dan kampung pelayaran.
Rumah-rumah di pesisir ini menampung keluarga sederhana dengan penghasilan rendah. Karakter rumah panggung yang terlihat ini memperhatikan skala, komposisi, dan proporsi yang menghasilkan beberapa aturan. Arah horizontal, dengan komposisi : ruang teras, ruang utama, dan dapur. Arah vertikal dengan proporsi : tiang sebagai penyangga bangunan dengan tinggi 2 meter berfungsi menghindari pasang-surut, memberikan jalan bagi pergerakan udara untuk mengurangi kelembaban , atap dengan ketinggian hingga 5 meter berfungsi untuk mengurangi panas dalam ruang.
Karakter bangunan yang ada dikawasan permukiman ini menunjukan kesederhanaan pemilik dan juga kebutuhan ruang yang disesuaikan dengan aktivitas pengguna di dalamnya. Rumah tinggal ini terdiri dari tiga bagian utama yaitu, teras, ruang induk (R. tamu & R. tidur), dan dapur.
Permukiman atas air pesisir teridentifikasi sebagai bangunan kumuh dengan penghuni yang berpenghasilan rendah. Mayoritas bangunan terbangun dengan fasade bangunan berorientasi ke koridor jalan sehingga dilewati oleh aktivitas warga baik pejalan kaki maupun kendaraan. Jarak antar bangunan cukup rapat dikarenakan bangunan-bangunan ini terbangun dengan luasan lahan 20% dari luas bangunan atau KDB > 80 %. Bangunan-bangunan yang ada berorientasi utara-selatan dan barat-timur. Estetika bangunan yang terlihat, menampakan keseragaman bentuk dan tampilan, denah umumnya berbentuk pipih memanjang ataupun melebar, bentuk rumah panggung (kaki, badan, dan kepala).
Rumah panggung dengan tinggi tiang ± 2 meter, berdiri diatas perairan laut sehingga tiang-tiang tersebut senantiasa terendam. Penggunaan kayu ulin yang diikat dengan sloof dari balok kayu dikarenakan kualitasnya yang baik serta awet bila terndam air.
Rumah-rumah yang didesain kopel dikarenakna pemenuhan kebutuhan lahan yang sempit dan juga antar penghuni masih terdapat ikatan saudara. Proporsi bangunan terlihat seimbang, mengesankan bangunan vernakular dengan mengambil tipologi bangunan dayak, proporsi kaki harus sama seimbang dengan proporsi kepala dan badan.
Sumber : Yakub (2012)
121
Gambar 5.24. Kondisi permukiman atas air di tepian pantai pusat kota
Fasade bangunan menganut gaya arsitektur vernakular dengan karakteristik masih menggunakan elemen tradisional, atap miring, bentukan bangunan masih kotak dan masif, serta komposisi warna yang masih mengekspose warna asli permukaan kayu.
Hunian tingkat dua ini memiliki langgam arsitektur vernakular terlihat pada bentukan massa bangunan dan juga penggunaan material kayu, karakter bangunan yang masih massif dan kaku, dan penggunaan atap pelana atau miring.
Hunian atas air berkarakter bangunan panggung dan bahan konstruksi utama adalah kayu serta kebutuhan ruang disesuaikan dengan aktivitas penghuninya. Koridor jalan terbuat dari jembatan kayu, ini sebagai sarana penghubung antar rumah dan daratan. Estetika bangunan tidak terlalu tampak, skala bangunan yang cenderung sama dengan rata-rata ketinggian 5 meter, komposisi ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan, serta proposi fasade bangunan yang tidak harmonis maupun keseimbangan antara kaki, badan, dan kepala bangunan yang cenderung tidak teratur. Orientasi fasade bangunan menghadap ke jalan, ada pula yang menghadap ke laut. Jarak dan kepadatan antar bangunan rapat dengan KDB rata-rata 75-95%, sehingga kesan ruang yang tercipta adalah sempit, terjepit dan tidak leluasa.
Konteks kekinian terlihat pada bentuk dan denah masjid ini yang mengarah pada bentukan umum karaketer masjid modern, geometris persegi yang terdiri dari ruang sholat utama, dan tempat wudhu serta ruang takmir. Masjid merupakan pemenuhan sarana ibadah pada permukiman atas air.
Sumber : Yakub (2012)
122
Gambar 5.25. Bangunan hunian dan fasum pada permukiman atas air
123
B. Kegiatan perekonomian Kegiatan perekonomian yang berbasis perdagangan, jasa, maupun perkantoran membuat pemanfaatan tepian pantai minim perlakukan terhadap pemanfaatan sumber daya alamnya. Di Zona I Pesisir Kota Balikpapan, perdagangan jasa tunggal mendominasi penggunaan lahan tepian pantai baik itu dalam bentuk perbankan, shopping mall, dan perhotelan. Sebagian besar masyarakat perkotaan hanya melakukan pergerakan dari tempat tinggal menuju tempat kerja (based activity), hal ini membuat pengelolaan wilayah pesisir secara operasional hanya fokus pada nilai ekonomi lahan tidak memperdulikan efek eksternalitasnya, kawasan pantai hanya dianggap muara dari saluran pembuangan.
Gambar 5.26. Kegiatan perekonomian di Zona I Pesisir Kota Balikpapan Sumber: Hasil analisis, 2015
Berdasarkan penuturan Ketua komisi III DPRD Kota Balikpapan terkait pembangunan pada kawasan tepi pantai: “Di satu sisi kita ingin membangun icon kota yang jauh lebih cantik dan jauh lebih menarik. Yang kedua juga sebenarnya untuk mengisi/ menambah daerah-daerah yang bisa dikembangkan sebagai daerah komersil (melalui reklamasi), karena kita tahu Balikpapan ini adalah kota jasa yang hampir sekarang secara umum tidak hanya APBD Kota yang
124
menggerakan perekonomian kota, tapi sekarang sektor-sektor swasta pun juga sudah sangat mendominasi pergerakan sektor ekonomi yang ada di Balikpapan.” (Andi Arif Agung, Ketua Komisi III DPRD Balikpapan) C. Kegiatan kemaritiman Balikpapan memiliki peranan penting sebagai pintu masuk bagi sentra distribusi di Kalimantan Timur pada umumnya, Kota Balikpapan didukung oleh prasarana transportasi laut untuk melayani kegiatan tersebut. Pelabuhan Semayang sebagai pelabuhan laut utama di Kota Balikpapan berfungsi untuk melayani kegiatan logistik barang dan penumpang, selain itu juga penyeberangan kendaraan antar pulau (kegiatan penyeberangan menuju PPU dialihkan ke Pelabuhan Ferry Kariangau). Akses publik menuju pantai umunya terbatas di Pelabuhan Semayang dan Pelabuhan Khusus Pertamina hal ini dikarenakan kedua kawasan ini merupakan obvitnas dengan pelarangan melintas (restricted). Namun, terdapat kawasan terbuka di depan gunung kemendur yang dimanfaatkan publik sebagai sarana short refreshment saat sore hari menjelang sunset hingga malam hari.
Gambar 5.27. Kegiatan kemaritiman di Zona I Pesisir Kota Balikpapan Sumber: Hasil analisis,2015
125
Menurut penuturan tokoh masyarakat pesisir di dapat informasi yaitu: "Nelayan di sini (pusat kota), sebagian besar orang bugis, biasanya orangorang itu nangkap ikan jauh sampai tengah laut, biasanya saat angin utara. Kalau angin selatan, sekitar bulan mei sampai juli terlalu bahaya bagi mereka (nelayan) melaut, dan juga saat itu bulan purnama, nangkap ikan jadi tidak efektif (kondisi menjadi terang), mereka biasanya pakai lampu untuk mengundang ikan. Mereka sudah pakai GPS, jadinya melaut jauh ke tengah, biasanya hasilnya trakulu, tongkol, tengiri, kakap, comocomo. Kapal nelayan disini ada yang satu mesin, dua mesin, ukuran 155 pk, 230 pk. Orang bugis itu nangkap ikan ke tengah laut, orang madura biasanya nangkap di tepian pantai.” (H. Sappe, Tokoh masyarakat pesisir) Hubungan masyarakat dengan tepian pantainya saling mengikat pada kegiatan kemaritiman ini, walaupun secara umum masyarakat Balikpapan memanfaatkannya untuk kebutuhan transportasi penyeberangan, namun aktivitas primer perikanan tidak serta-merta ditinggalkan dan dilupakan, karena hal tersebut merupakan mata pencaharian sebagian kecil masyarakat pesisir pusat kota. Selain itu kawasan industri besar seperti Pertamina, memanfaatkan demagadermaga yang dimiliki untuk distribusi BBM hasil penyulingan ke kawasan timur indonesia. D. Kegiatan rekreasi Masyarakat Balikpapan umumnya memanfaatkan ruang publik sebagai sarana rekreasi, bentuk-bentuk rekreasi publik pada kawasan tepian pantai dapat dilihat selengkapnya pada inventarisasi gambar 4.5. Pemerintah Kota Balikpapan mengelola ruang publik di tepian pantai pada kawasan melawai, disini biasanya masyarakat secara pasif (short refreshment) memanfaatkan ruang pantainya, yaitu duduk-duduk pada street cafe sambil menunggu sunset dan memandang pulau babi (kumpulan gugusan karang), selain itu kawasan ini merupakan favorit kaum
126
muda Balikpapan di dalam berkumpul dan berkreativitas, tidak jarang distrik ini dianggap barometer kehidupan muda Balikpapan dengan budaya urban lifestyle. Selain pantai melawai, pantai monpera juga berstatus publik domain (dikelola pemerintah), di sini masyarakat selain memanfaatkan pantai secara pasif (short refreshment), juga dapat berwisata sejarah dan melakukan piknik di area taman. Rekreasi wisata alam kerap kali di padati masyarakat, namun hanya pada saat-saat tertentu saja (libur panjang atau weekend) karena minimnya kemasan kegiatan yang diberikan, berbanding terbalik dengan pusat perbelanjaan yang menjual view pemandangan laut, disini masyarakat dapat memanfaatkan beragam tenant yang ada, selain itu event berbeda selalu ditampilkan tiap minggunya, kondisi inilah yang selalu menarik minat masyarakat untuk berkunjung, baik kaum muda maupun yang berkeluarga.
Gambar 5.28. Kegiatan rekreasi di Zona I Pesisir Kota Balikpapan Sumber: Hasil analisis, 2015
Pusat perbelanjaan padat akan kunjungan karena sebagai pusat pemenuhan kebutuhan sehari-hari skala lokal hingga regional. Sementara wisata alam pantai yang ada di pusat kota minim akan informasi, pemanfaatannya hanya terbatas
127
pada masyarakat perkotaan saja, sebagian besar masyarakat pinggiran Balikpapan belum pernah berkunjung ke pantai-pantai tersebut ataupun mengunjunginya dengan intensitas yang rendah. Menurut penuturan tokoh masyarakat mengenai penggunaan pantai oleh pribadi: "Pantai-pantai di sekitar BP, dekat hotel dusit (sekarang Le Grandeur) biasanya gak bisa langsung masuk saja. Orang-orang situ sih bisa saja masuk-masuk, tapi biasanya gak bebas. Di pantai asrama polisi (wisma segara), itu orang-orang setempat bisa makai, naah kalau pantai di sekolah polisi itu orang-orang gak bebas karena itu wilayah brimob, tapi biasanya orang-orang bisa olah raga disitu, pantai di Klandasan di pake kapal-kapal, tapi pantainya kotor.” (Budiman, Tokoh masyarakat Klandasan Ulu) E. Kegiatan kemiliteran Pertahanan dan keamanan (TNI-Polri) yang ada di kawasan tepian pantai pusat kota adalah keberadaan markas Kodam VI/ Mulawarman yang ada di Kel. Telagasari, secara keseluruhan luas kawasan militer/ pertahanan keamanan ini adalah 38,01 Ha (termasuk asrama sudirman, perumahan perajurit/ perwira, fasum/sos, RS. Dr. Hardjanto, dll). Selain Kodam, di kawasan tepian pantai juga bertempat pangkalan angkatan laut (lanal) Balikpapan dengan luasan area 22.551 m2, kemudian di sekitar kawasan Bandara Sepinggan terdapat juga pangkalan angkatan udara (lanud) Sepinggan dengan luas area 9,720 Ha (termasuk di dalamnya asrama prajurit, lapangan bima sakti, RS. Tingkat IV Lanud Balikpapan, dll). Selain pusat kemiliteran, terdapat juga Sekolah Polisi Negara (SPN) yang merupakan tempat pelatihan bagi anggota brimob polda Kaltim dengan luasan area 7,295 Ha, komplek polisi ini terdiri dari asrama intel, kantor SPN, barak
128
prajurit, dan lapangan latihan. Di tepi Jl. Sudirman berlokasi juga Polres Purwa (Balikpapan Kota), yang dilengkapi dengan asrama purwa total areanya 33.970 m2 dan juga asrama polisi segara dengan luasan 21.959 m2.
Pangkalan TNI AL
RS. Bhayangkara dan Rumdin Perwira Polisi
Kodam VI/ Mulawarman
Polres Purwa
Asrama Polisi Segara
SPN Bumi Tarungga
Lanud Sepinggan
Gambar 5.29. Kegiatan kemiliteran di Zona I Pesisir Kota Balikpapan Sumber: Hasil analisis, 2015
RS. Bhayangkara, rumah perwira polisi, wisma segara, SPN, dan pangkalan TNI AU memiliki masing-masing lahan pantai pada area operasionalnya. Pada kawasan-kawasan ini masyarakat harus memiliki izin untuk dapat mengakses, atau masyarakat umum tidak diperkenankan secara bebas menuju pantai-pantai di kawasan ini karena bersifat semi publik-semi privat. Hubungan kegiatan militer dengan kawasan pesisir/ tepian pantai berkaitan dengan daerah operasional pengamanan laut atau mengamankan laut dari tindak kejahatan, Kawasan tepian pantai (khususnya kawasan Kodam VI/ Mulawarman dan SPN) juga kerap digunakan oleh para prajurit untuk berlatih tempur, baik berlatih fisik di area pantai maupun menggunakan kendaraan operasional aspek laut di area perairan laut.
Pangkalan TNI AU
Tabel. 5.11. Dominasi fungsi kegiatan pada zona I pesisir pantai Balikpapan Fungsi kegiatan
Luasan zonasi kegiatan Zonasi kegiatan Permukiman kepadatan sedang Komperta, asrama polisi segara, asrama inter, permukiman swadaya kepadatan sedang Permukiman kepadatan tinggi Kampung pelayaran Permukiman swadaya perkotaan Permukiman kepadatan tinggi Permukiman atas air Permukiman atas air/swadaya - Kawasan perjas (tunggal,kopel, deret, tradisional) - Kawasan perjas (tradisional, tunggal, dan kopel) - Kawasan perjas (tunggal, deret, dan tradisional) - Kawasan perjas (tunggal, dan kopel) - Kawasan perjas (tunggal, kopel)
Lokasi - Kel. Prapatan, Klandasan Ulu, Klandasan Ilir, Damah Bahagia
Kemaritiman (Pelabuhan dan perikanan)
- Dermaga khusus PT. Pertamina - Dermaga Pelabuhan Semayang - Tambatan Perahu Nelayan
- Kel. Prapatan - Kel. Prapatan - Kel. Klandasan Ulu, Klandasan Ilir, Damai Bahagia, Sungai Nangka
32,19 10,13 11,87
Rekreasi (Wisata alam dan buatan)
- Kegiatan wisata alam/ rekreasi pantai - Penggunaan lahan oleh masyarakat lokal - Kegiatan wisata buatan/ short refreshment
- Kel. Prapatan - Kel. Klandasan Ulu, Klandasan Ilir, Damai Bahagia, Sungai Nangka - Kel. Klandasan ilir, Klandasan Ulu, Damai
16,35 24,18
- Pangkalan TNI AL - Kodam VI/ Mulawarman - Kepolisian
- Kel. Prapatan - Kel. Klandasan Ilir - Kel. Prapatan, Klandasan ilir, Klandasan Ulu, Damai Bahagia - Kel. Sungai Nangka, Sepinggan Raya
2,25 37,72 21,32
Permukiman
Perekonomian (Perjas)
Kemiliteran (Pertahanan dan keamanan)
Luas (Ha) 173,25
- Kel. Prapatan, Telaga Sari, Klandasan Ulu, Klandasan Ilir, Damai, Damah Bahagia, Sungai Nangka, Sepinggan Raya
278,7
- Kel. Prapatan, Telaga Sari, Klandasan Ulu, Klandasan Ilir, Damai, Damah Bahagia, Sungai Nangka, Sepinggan Raya
172,44
-
101,36 109,66 66,04 68,59 16,94
Kel. Damai Kel. Klandasan Ilir Kel. Klandasan Ulu Kel. Prapatan Kel. Telaga Sari
15,64
Keterangan Permukiman atas air merupakan kawasan kepadatan tinggi, pada lahan pantai (shoreline) kawasan ini memiliki luasan 16,22 Ha tersebar dari Klandasan Ilir hingga Sungai Nangka. Permukiman ini terdiri dari masyarakat nelayan dan swadaya. Perdagangan jasa tunggal menempati lahan pantai (shoreline) seluas 65,37 Ha, deret seluas 18,13 Ha, dan tradisional seluas 4,09 Ha. Total luasan fungsi perjas pada lahan pantai (shoreline) seluas 87,59 Ha Pada area penelitian (Zona I), dermaga Pertamina mendominasi kegiatan kemaritiman, selain itu, pantai digunakan sebagai tambatan perahu nelayan. Pantai yang berada di lingkungan permukiman pesisir mendominasi keberadaannya, penggunaan yang umum dilakukan terkait perikanan dan kegiatan rekreatif lokal
Kawasan kemiliteran, utamaya keamanan (kepolisian) yang menempati lahan pantai (shoreline) memiliki luasan 17,93 Ha. - Pangkalan TNI AU 11,96 Kawasan militer utamanya berada di upperland. Kesimpulan: luasan akses publik menuju pantai terbagi menjadi: Zona perekonomian (perjas) menempati wilayah pantai (shoreline) perkotaan sebesar 109, 7 Ha (46%), zona kegiatan khusus (Dermaga Pertamina, Pelabuhan, Bandara, Kodam) menempati wilayah seluas 90,5 Ha (38%), zona rekreasi alam (pantai melawai, kilang mandiri, banua patra, monpera, kemala) menempati wilayah seluas 17,5 Ha (8%), dan zona permukiman pesisir (permukiman swadaya dan atas air) menempati wilayah seluas 18,9 Ha (8%).
129
Sumber: Hasil analisis, 2015
130
Berdasarkan hasil analisis terkait keberadaan fungsi kegiatan yang menempati kawasan tepian pantai disimpulkan bahwa luasan akses publik dapat terbagi menjad 1.
Zona rekreasi alam, hanya seluas 8% dari luas penggunaan tepian pantai perkotaan, namun publik bebas dan terbuka mengakses kawasan ini.
2.
Zona kegiatan khusus, memiliki luasan 38% terhitung cukup banyak kawasan pantai yang terlarang penggunaannya bagi akses publik.
3.
Zona perekonomian, mendominasi penggunaan seluas 46%, diwilayah ini akses publik terbatas karena memiliki hambatan-hambatan menuju pantai.
4.
Zona permukiman, kondisi permukiman atas air seluas 7% penggunaan ruang pantai, terdapat batasan bagi publik menuju pantai di kawasan ini, dikarenakan kondisi fisik yang kurang serta terkesan sebagai privatisasi area. Fasilitas di tepian pantai
Fungsi Kegiatan
perkotaan (zonasi)
Rekreasi
-
Kegiatan wisata alam dan buatan.
-
Kemaritiman
-
Dermaga khusus Pertamina Dermaga Pelabuhan Semayang
-
Kodam VI/ Mulawarman Pangkalan TNI AU Kepolisian
-
Permukiman kepadatan samgat tinggi (atas air)
-
Perdagangan jasa tunggal (mixed use dan superblock), kopel, deret (ruko), dan tradisional.
Kemiliteran
-
Permukiman
-
Perekonomian
Kondisi akses publik menuju pantai
Rekreasi alam
Akses publik bebas
Kegiatan khusus
Akses publik terlarang
Sedikit
Cukup
Dominasi penggunaan
-
-
Tata kelola pembangunan pantai
Ekonomi Akses publik terbatas Banyak Ekonomi
Gambar 5.30. Skema akses publik menuju pantai berdasar luasan fungsi kegiatan Sumber : Hasil analisis, 2015
131
5.2.3. Reklamasi individu sebagai optimalisasi lahan tepian pantai Manusia modern memiliki pola pikir yang terbuka, logis, dan rasional. Masyarakat menyadari kebutuhannya untuk menikmati panorama laut tanpa adanya batasan. Public domain di Kota Balikpapan sebagai ruang interaksi bersama memiliki kuantitas yang kurang dibanding populasi kota. Padatnya pemanfaatan lahan tepian pantai oleh kegiatan perekonomian semakin menutup akses gerak masyarakat menuju pantainya, lahan tepian pantai menjadi strategis dan bernilai komersial tinggi, koridor Jl. Jend. Sudirman mulai dari ruko bandar hingga wisma segara (termasuk di dalamnya Taman Bekapai, Plaza Balikpapan, Bank BCA, dan sekitarnya) memiliki nilai jual lahan tertinggi (lihat tabel 4.7). Lokasi lahan tepian pantai yang berbatasan langsung dengan laut menjual potensi kelebihan dibanding kawasan daratan (hinterland) lainnya. Dikarenakan kebutuhan yang semakin tinggi akan ruang-ruang publik, sebagian developer mulai menangkap keluhan masyarakat tersebut dengan melakukan upaya penyediaan kawasan publik di area operasional mereka. Karena kurangnya lahan untuk pengembangan, para developer melakukan extension di kawasan pantai dengan cara reklamasi. Dengan demikian lahan kepemilikan developer semakin menjorok ke laut, namun masih tetap terintegrasi dengan lahan eksisting mereka di daratan. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, beberapa developer yang melakukan reklamasi antara lain Pasar Baru Square (balcony city) dan Plaza Balikpapan. Kegiatan reklamasi lebih mudah dilakukan dibandingkan pembebasan lahan rumah warga yang berada di sekitar wilayah
132
pengembangan karena izin pertanahan yang lebih mudah di dapat serta realisasi di lapangan dengan cepat dapat dilakukan. Menurut laporan dari Rencana Teknik Penataan dan Pengembangan Zona I Pesisir Kota Balikpapan, terkait dengan kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh developer di lahan tepian pantai, kegiatan tersebut digolongkan menjadi dua yaitu menurut maksud dan tujuan reklamasi : 1.
Kegiatan reklamasi dilakukan semata-mata hanya untuk menambah luasan lahan dan tidak ada hubungannya dengan amenity pantai contoh : Pasar Baru Square dan sea view
2.
Disamping panambahan luasan lahan juga faktor lain yang sangat spesifik kaitannya dengan kebutuhan akan amenity pantai, contoh Plaza Balikpapan, Hotel Le Grandeur, dan Ruko Bandar Balikpapan Sehingga dapat disimpulkan bahwa, “Kegiatan reklamasi di Kota
Balikpapan masih dilaksanakan secara sendiri-sendiri menurut kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Sehingga apabila di lihat garis pantai Balikpapan terlihat tidak teratur dan tertata. Pantai / tepian laut sebagai ruang publik yang seharusnya publik dapat dengan leluasa untuk berinteraksi didalamnya menjadi kurang nyaman lagi. Hal tersebut dapat terjadi karena belum ada acuan (guidelines) yang dapat digunakan secara bersama-sama bagi para pelaku di lapangan.” (Rencana Teknik Penataan dan Pengembangan Zona I Pesisir Kota Balikpapan) Peran swasta di dalam memberikan perbaikan serta penambahan amenities di area operasioanal mereka tidak hanya untuk memperoleh benefit, melainkan
133
juga sebagai upaya penyediaan akses publik bagi kepentingan umum, walaupun masyarakat terbatas akan waktu operasional kawasan-kawasan tersebut di dalam pemanfaatanya. Di bawah ini akan diberikan gambaran mengenai reklamasi yang sedang dan akan berlangsung di Kota Balikpapan, data bersumber dari Rencana Teknik Penataan dan Pengembangan Zona I Pesisir Kota Balikpapan.
Keterangan :
10
9
8 7 6
= Koridor Jl. Marsma Iswahyudi = Koridor Jl. Jend. Sudirman = Koridor Jl. Yos Sudarso = Akses sekunder menuju jalan raya pesisir
5 4 3 1. 2. 3. 4. 5.
2
1
PT. Angkasa Pura II PT. Eka Dharma Hotel Le Grandeur PT. Sugico PT. Helindo Bangunraya Sejahtera
6. PT. Hasta Karya Mandiri 7. PT. Pandega Citra Niaga 8. PT. Daksa Kalimantan Putra 9. PT. Sesi Properti Indonesia 10. PT. Unocal
Gambar 5.31. Kegiatan reklamasi secara individu di tepian pantai perkotaan Balikpapan Sumber: Peta garis Kota Balikpapan dan hasil analisis, 2015
Menurut penuturan tokoh masyarakat mengenai perkembangan kawasan tepian pantai perkotaan melalui reklamasi yaitu: “Sekitar tahun 1990an kawasan bandara itu dilakukan pelebaran, hal itu untuk menambah panjang runway bandara, dahulu jalan sudirman menerus (di pesisir pantai) kalau ada pesawat kendaraan berhenti, sekarang jalannya memutar bandara. Bandara itu dulunya dibangun juga dengan reklamasi, Balikpapan ini kondisi pantainya sudah mulai dikuasai sama orang-perorang, kawasan aston itu di tepi pantai, kawasan PBS (Balcony mall) itu dulu pasar baru kemudian di perluas melalui reklamasi, begitu juga BC (Plaza Balikpapan), sea view apartemen juga reklamasi tapi disana belum dilakukan pembangunan. Kawasan ewalk dulu itu rawarawa masih ada bakau disitu dulu, sekarang jadi pembangunan, karena tarikannya seperti itu, dekat dengan pusat kota.” (H. Sappe, Tokoh masyarakat pesisir)
134
Hak publik di dalam memanfaatkan tepian pantai terlindungi di dalam UU No. 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun selama ini, di beberapa kota tepian pantai masih belum memberikan ruang yang memadai bagi publik berinteraksi dan beraktivitas bebas di kawasan tepian. Pengembangan secara individu oleh masing-masing pemilik lahan pantai diperuntukan bagi penambahan fasilitas internal maupun untuk memberikan ruang tambahan bagi masyarakat agar orientasi pergerakan lebih mengarah menuju laut. Wujud kepentingan umum di tepian pantai perkotaan Balikpapan masih terbebani dengan privatisasi lahan, peruntukan bersama juga masih berada di dalam aset non-operasional pihak swasta/ investor, sehingga perlunya izin penggunaan aset. 5.3. Akses Publik Menuju Pantai Di era keterbukaan sekarang ini, publik semakin menyadari hak yang dimiliki untuk menggunakan ruang di tepian pantai. Wilayah pantai khususnya di pusat kota, minim pengembangan terhadap ruang publik bagi kepentingan umum, akses semakin terbatas karena adanya faktor penghambat. Di dalam sub-bab ini, akan dibagi analisisnya menjadi dua lingkup pembahasan yaitu komponen akses publik dan tipologi hambatan psikologis terhadap tepian pantai perkotaan. Dampak arah pembangunan Kota Balikpapan yang mengedepankan perdagangan jasa semakin menciptakan kepadatan pembangunan di tepian pantai pusat kota, berdasarkan penuturan dari Ketua Bappeda Balikpapan: “Pembangunan di pusat kota memang pesat, akhirnya menutup akses masyarakat ke pantai di wilayah perkotaan. Nah untuk batas Balikpapan ini kalau di hitung dari teluk sekitar 45 Km, jadi kemudian tahun 2000an sudah ada ide dari Pak Walikota Tjutjup Suparna untuk memberikan akses
135
masyarakat ke pantai, yaitu melakukan reklamasi, supaya masyarakat bisa menikmati pantai secara leluasa. Karena perkotaan semakin padat apabila dibikin akses masyarakat ke arah laut, maka masyarakat akan mendapatkan pelayanan berlebih, nah jadi dikembangkanlah konsep pengembangan coastal road. Konsep ini sebenarnya jalan pantai yang setelah jalan tidak ada lagi bangunan (pandangan pantai terbuka). Harusnya dulu kalau Rencana Induk Kota (RIK) itu diterapkan, sebenarnya tidak ada lagi bangunan, jalan pantai semestinya telah terealisasi sejak dahulu.” (Suryanto, Kepala Bappeda Balikpapan) Akses publik menuju pantai telah menjadi perhatian serius akibat pesatnya pembangunan perkotaan Balikpapan, permasalahan ini terakumulasi di masa sekarang dan menjadi sorotan publik. Penggunaan tepian pantai untuk kepentingan umum di pengaruhi oleh beberapa aspek antara lain fisik, visual, interpretatif, sosio-spasial, kemanan laut, dan aspek psikologis. Aspek psikologis merupakan preferensi subjektif masyarakat, di mana setiap individu dapat merasa nyaman ataupun tidak di tepian pantai perkotaan. Pandangan ini pula yang membuat hambatan-hambatan menuju pantai, antara lain hambatan fisik, institusional, privatisasi, homogenitas, kualitas ruang publik, sosio-ekonomi, dan waktu. Penetapan komponen maupun hambatan berdasarkan hasil proposisi teori (lihat Bab II). 5.3.1. Komponen akses publik menuju tepian pantai perkotaan Seperti telah dijabarkan sebelumnya komponen akses publik menuju pantai memuat unsur-unsur pembangunan utamanya kondisi fisik tepian pantai perkotaan yang terkait dengan kualitas infrastruktur dan penyediaan fasilitas pendukung, selain itu pembangunan berlapis di suatu zona (fungsi kegiatan permukiman atas air bercampur dengan perjas) terkadang menghalangi visual
136
masyarakat, serta pembangunan vertikal dengan desain massif (kerapatan tinggi) cenderung mengganggu kenyamanan perspektif mata manusia dalam menikmati estetika perkotaan dengan tepian pantainya Kurangnya informasi terkait wisata alam di tepian pantai perkotaan menyebabkan masyarakat Balikpapan secara keseluruhan kurang mengetahui keberadaan lokasi wisata ini dikarenakan kepemilikan aset bukan dikelola pemerintah sehingga terkesan eksklusif. Aspek sosio-spasial melihat kebiasaan masyarakat terkait penggunaan pantainya yang menjadikan ruang pantai sebagai basis kegiatan dan juga sarana sosial & budaya dalam mengelola kawasan pesisir. Keamanan laut memberikan batasan bagi masyarakat menggunakan tepian pantai baik untuk kegiatan rekreatif maupun perikanan. Aspek psikologis mempengaruhi hubungan individu dengan kawasan pantainya, setiap orang dapat merasakan perbedaan di dalam menghadapi situasi dan kondisi di lingkungan tepian pantai. A. Aspek fisik Tepian pantai pusat Kota Balikpapan dibelah oleh jaringan transportasi arteri sekunder dengan nama ruas Jl. Jend. Sudirman (jalan raya pesisir), titik pangkal bermula dari Jl. Yos Sudarso hingga titik ujung pada Jl. Marsma Iswahyudi, panjang ruas mencapai 5.435 m dan kawasan ini merupakan off street parking dimana kendaraan dilarang parkir di bahu jalan utamanya di kawasan Balikpapan Permai hingga Plaza Balikpapan dilanjutkan kembali hingga di depan kantor imigrasi (lihat gambar 5.16). Kelengkapan pedestrian way dalam keadaan baik (di depan Balikpapan permai dan di sepanjang Plaza Balikpapan hingga depan kantor imigrasi) dengan peruntukan sebagai kawasan pejalan kaki dan juga
137
drainase perkotaan, namun di beberapa titik di pakai berjualan oleh PKL, sehingga perlunya peningkatan dan pembenahan di seluruh ruas jalan utama ini. Kondisi ruang pejalan kaki (pedestrian way) memiliki tarikan lemah terhadap tepian pantai, dikarenakan letaknya yang hanya terintegrasi dengan ruas jalan utama sehingga memiliki sedikit fungsi untuk menghubungkan masyarakat menuju tepian pantai. Hal ini dikarenakan fungsi perjas dan permukiman mendominasi sepanjang jalan utama kota hingga memasuki kawasan militer kodam barulah memungkinkan untuk memiliki ruas pedestrian yang mengikat kuat di tepian pantai, karena lokasi tersebut (melawai khususnya) berfungsi sebagai ruang publik di tepian pantai. Sehingga didapatinya pengalaman tepi pantai yang menyenangkan. Secara umum dapat digambarkan bahwa akses fisik tepian pantai pusat kota dengan sistem jaringan jalan dan pergerakan (hirarki/ kelas jalan) yang menghubungkan antara jalan sekunder perkotaan menuju jalan primer di Sudirman telah terintegrasi dengan baik, selain itu mobilitas penduduk telah berorientasi pada pejalan kaki, namun terdapat kelemahan di dalam aksesbilitas kawasan menuju pantai. Secara fungsional belum adanya jaringan jalur penghubung terpadu (pedestrian linkage) yang menghubungkan antar kegiatan (permukiman, perjas, dll) di tepian pantai, kondisi saat ini masing-masing peruntukan kegiatan memiliki aksesnya sendiri terhadap pantai, sehingga sepanjang tepian pantai tidak memiliki sirkulasi penghubung bagi pejalan kaki.
138
B. Aspek visual Kondisi pembangunan di tepian pantai pusat Kota Balikpapan terdiri dari beragam fungsi kegiatan, salah satunya adalah keberadaan Bandara Sepinggan dan Pertamina UP V. Masing-masing kawasan vital tersebut memiliki luasan yaitu ± 300 Ha dan ±250 Ha, secara umum masyarakat tidak bebas mengakses kegiatan di lingkungan sekitar obyek vital karena alasan keamanan. Permasalahan inilah yang menyebabkan kota terbatas terhadap pemandangan tepian pantai karena pengaruh pola, dimensi, dan standar khusus kawasan vital. Skala dan proporsi ruang menjadi terbatas secara visual dari prespektif manusiawi masyarakat pengguna jalan.
Gambar 5.32. Aspek visual terhadap tepian pantai perkotaan Sumber: Hasil analisis, 2015
Kualitas fisik lingkungan belum optimal dikembangkan utamanya di pusat kota, estetika, karakter, maupun citra kawasan belum sepenuhnya memiliki jati diri dan nilai-nilai khas kawasan pesisir. Kepadatan kelompok bangunan di tepian pantai turut menyumbang tata lingkungan yang tidak kompak dan terpadu. Interaksi antara aktivitas pengguna jalan di koridor ruang perkotaan dengan tepian pantainya memiliki kelemahan, para pengguna jalan tidak dapat memandang
139
lautan saat menyusuri jalan pusat kota (Jl. Sudirman) karena terhalang fasad bangunan dengan kerapatan tinggi sehingga pengalaman sebagai kota pesisir kurang dapat terasa akibat akses visual yang terbatas. Pembangunan saat ini kurang memperhatikan elevasi, sehingga skala bangunan tunggal maupun kelompok makro (mixed use) tidak terkomposisi dengan baik, ada kalanya kondisi terbuka terhadap pantai, dan ada titik dimana pantai tidak terlihat. C. Aspek interpretatif Pandangan interpretatif merupakan pemberian akses informasi bagaimana seharusnya publik berhak dalam menikmati pantai. Kota Balikpapan belum terlalu optimal memanfaatkan tepian pantai bagi kegiatan publik, ruang publik utama di pusat kota berada di Lapangan Merdeka yang masih aset non-operasional milik Pertamina UP V, event yang sering dilakukan adalah musik, pameran, kegiatan kemasyarakatan, dsb. Belum adanya event atau kegiatan yang berorientasi pada pemanfaatan pantai atau lautan sebagai daya tarik masyarakat memahami, menghargai, dan menikmati apa yang terjadi di tepian pantai. Selama ini kegiatan wisata pesisir masyarakat perkotaan Balikpapan hanya sebatas short refreshment, dimana pemanfaatan tepian pantai sebagai kawasan wisata kuliner dengan pembeda pada ambience-nya, dua lokasi di tepian pantai yang sering dimanfaatkan masyarakat adalah Bandar Balikpapan dan Melawai. Penataan pembangunan di pusat kota belum optimal di dalam memperkenalkan identitas lingkungan tepian pantai untuk lebih berkontribusi mengangkat nilai kekayaan maritim yang dimiliki, hal ini terlihat dari konsep orientasi lingkungan yang belum informatif sehingga seringkali meragukan bagi publik untuk
140
berorientasi dan bersirkulasi. Sistem tata informasi (directory signage system) mungkin memberikan informasi/ petunjuk kepada publik mengenai tempat tersebut,
namun
terkadang
masih
membingungkan
pengunjung
terkait
peruntukannya (apakah cafe, restoran, atau aktivitas wisata pantai). Sistem tata rambu pengarah (directional signage system) belum optimal penggunaannya, karena seringkali pengunjung tidak terarahkan sirkulasi dan orientasinya menuju bangunan/ area tujuan (pencapaian memutar/ tidak langsung). Bentuk edukasi publik menuju pantai tidak hanya melalui festival maupun wisata kemaritiman, informasi yang jelas mengenai tepian pantai dan peruntukannya dapat meningkatkan minat kunjungan masyarakat menuju pantai, sehingga menyadarkan masyarakat bahwa lingkungan tepian pantai merupakan bentuk kepentingan umum. D. Aspek sosio-spasial Visi misi walikota Balikpapan yang ingin mewujudkan kota nyaman huni terlihat dari masuknya investasi dalam bidang perumahan, utamanya hunian vertikal. Di kawasan tepian pantai mulai dipadati pembangunan apartemen yang memiliki fasum dan fasos lengkap serta didukung oleh infrastruktur lingkungan dan keindahan lingkungan tepian pantai, hal ini memang mencirikan suatu lokasi tempat tinggal yang nyaman di tempati. Menurut penuturan masyarakat pesisir terkait pembangunan tepian pantai oleh apartemen: "Sekarang pembangunan makin kencang, dulunya di belakang BC (Plaza Balikpapan) itu laut kemudian ditimbun, dulu lapangan disitu, sekarang jadi bangunan, pantai-pantai kebanyakan dibangun permukiman, orangorang bugis, banjar, kutai, semuanya bekerja, tidak banyak konflik, orang bugis melaut, orang banjar jualan. Bangunan-bangunan hotel tidak
141
sebanyak sekarang, gedung-gedung besar (apartemen) dibatasi temboktembok, tidak ada hubungan (komunikasi) dengan orang-orang disitu (penghuni apartemen).” (Budiman, Tokoh masyarakat Klandasan Ulu) Pembanguan tersebut tentunya memberikan resiko, khususnya di tepian pantai perkotaan antara lain terciptanya keragaman di lingkungan pantai perkotaan (diversity) dan ketidakseimbangan yang mendorong pada terpisahnya aktivitas ruang sosial (socio-spatial disintegration) antar masyarakat pesisir (penghuni permukiman atas air dan apartemen). Kawasan tepian pantai menjadi kepemilikan bersertifikat dan investor yang masuk di tepian pantai perkotaan terkadang memiliki business plan tersendiri hingga melakukan reklamasi pantai. Selain itu, minat berinvestasi di tepian pantai menimbulkan tingginya permintaan perizinan. Pembangunan baru terkadang menyebabkan karakter lingkungan yang tidak integral dengan karakter eksisting sekitar dan tidak optimal keserasiannya antar bangunan sehingga tercipta ruang-ruang antarbangunan yang mati (ruang yang tidak tergunakan, biasanya tidak terpelihara, dan menimbulkan kekumuhan).
Gambar 5.33. Pembangunan tepian pantai oleh investor Sumber: Hasil analisis, 2015
142
E. Aspek keselamatan laut Terbatasnya penggunaan pantai bagi kepentingan publik khususnya pada kegiatan berenang adalah untuk alasan keamanan. Di pantai perkotaan seperti pantai monpera, kemala, kilang mandiri, hingga melawai beberapa kali terjadi kasus pengunjung tenggelam, hal ini selain karena minimnya pengawasan juga karena struktur laut teluk Balikpapan yang memiliki kondisi geografis tertentu menyebabkan arus air di permukaan sesuai dengan arah angin namun terkadang berlawanan dengan arus bawah yang mengikuti topografi dasar laut, anomali alam ini terjadi karena posisi teluk dan perbedaan densitas air dari efek kedalaman laut. Dikarenakan seringnya timbul korban, maka di sepanjang Pantai Klandasan yang menjadi penyokong pariwisata alam pantai perkotaan seperti monpera, kemala, kilang mandiri, dan pantai melawai di pasang plang peringatan. kawasan pantai yang memasang plang ini ialah Kafe Kilang Mandiri (dipasang di area kafe dan di belakang Banua Patra). Plang tersebut berbunyi. “Perhatian! Jangan Biarkan Putra-Putri Anda Berenang di Pantai Ini, Di sini Rawan Kecelakaan.” Plang lainnya bertuliskan”Perhatian. Di Pantai Ini Sering Terjadi Orang Tenggelam. Apakah Anda Ingin Menjadi Korban Berikutnya!”. Sementara di sekitar pantai Melawai terdapat tanda larangan bertuliskan, “Berbahaya. Dilarang Mandi, Berenang, dan Memancing di Sepanjang Pantai Banua Patra.” Apabila dilihat dari sejarahnya, kawasan pantai perkotaan (klandasan) merupakan titik kontak senjata pada perang pasifik dan perang dunia yang melibatkan Belanda, Jepang, dan Sekutu (Australia dan Amerika), tidak heran kawasan perairan ini di tetapkan sebagai area rawan ranjau, Berdasarkan
143
penuturan masyarakat setempat mengenai kondisi laut pantai-pantai di Klandasan, yaitu: "Disini jangan berenang kalau gelombang tinggi, biasanya sekitar agustus, bulan-bulan awal seperti januari, bulan muharram. Dulu disana (kawasan monpera) ada Tongkang (kapal perang sekutu saat perang), sejak pembangunan monumen sudah tidak ada lagi. Kalau nelayan melaut ada tradisinya yaitu buang-buangan (seseajen) untuk keselamatan mereka saat di tengah laut sana.” (Budiman, Tokoh masyarakat Klandasan Ulu)
Kondisi Pasang
Kondisi Surut
Gambar 5.34. Animasi hidrodinamika kondisi laut Balikpapan Sumber: Rencana Teknik Zona I Pesisir Kota Balikpapan, diolah 2015
144
F. Aspek psikologis Berdasarkan pengkajian studi kasus di pesisir Massachusetts (lihat Bab II
Tinjauan Pustaka), akses psikologis merupakan preferensi individu terhadap kondisi lingkungan. Apabila melihat konteks penelitian, aspek psikologis merupakan pangkal dari apa yang dirasakan peneliti terhadap aksesbilitas menuju tepian pantai. Aspek psikologis mencakup semua kategori yang telah di bahas sebelumnya, seperti tersedianya akses menuju pantai dengan malalui jalur masuk permukiman atas air, namun seseorang akan merasa tidak dapat melintasi kawasan tersebut dikarenakan lingkungan yang kumuh dan kondisi sekitar yang kotor dan bau, hal ini menciptakan psikologi penggunaan aspek fisik lemah (akses ada tapi tidak tergunakan). Wujud dari akses visual yang lemah ialah kondisi tepian pantai (laut) yang ditutupi oleh pertokoan (utamanya Jl. Sudirman) dan permukiman atas air, menyebabkan masyarakat tidak perduli dengan kondisi tepian pantai di belakangnya, selain itu pemandangan kondisi laut yang kotor dan menjadi muara pembuangan drainase kota menjadi kan pertimbangan untuk melewatkan kawasan tepi pantai. Aspek interpretatif lemah menunjukkan akses psikologis yang lemah juga, selama ini penggunaan Pantai Klandasan (Monpera, Kemala, Kilang Mandiri, Banua Patra, dan Melawai) di kelola oleh instansi tertentu, hal ini pula yang menyebabkan pemikiran bahwa apabila dikelola selain pemerintah maka tidak bisa digunakan untuk kebutuhan wisata pantai (seperti berenang, jet ski, banana boat, dll). Selain itu, permasalahan kemananan di wisata pantai alam menjadi pertimbangan masyarakat untuk beraktivitas di tepian pantai, oleh karena
145
itu informasi yang jelas dibutuhkan untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa pantai merupakan wujud kepentingan bersama. Ketimpangan sosial terbentuk karena tidak adanya keterpaduan karakter pembangunan baru dengan eksisting, kehidupan ruang kota tidak berjalan optimal, tepian pantai semestinya menjadi ruang publik penghubung semua fungsi kegiatan namun tidak terwadahi dengan baik, malah sebaliknya menjadi sistem ruang terbuka pribadi. 5.3.2. Hambatan psikologis akses publik menuju tepian pantai perkotaan Pembahasan berikut merupakan turunan dari aspek psikologis yaitu hambatan-hambatan terhadap akses publik menuju pantai. Analisis di dasarkan pada hasil observasi lapangan peneliti dan kajian studi kasus perintis (lihat Bab II Tinjauan Pustaka). A. Hambatan fisik Rancangan kawasan tepian pantai Balikpapan tumbuh dari tuntutan keragaman kegiatan yang ada (permukiman, perjas, pemerintahan, dll). Pusat perkotaan yang ada di tepian pantai tidak tercipta selaras dengan morfologi perkembangan area tersebut, kurang adanya keterpaduan dari tata atur konfigurasi massa bangunan, sehingga tidak adanya keseimbangan antar lingkungan bangunan, masing-masing memiliki karakternya sendiri-sendiri (permukiman atas air dengan vernakularnya, perjas dengan kontemporernya, dll). Selain kurang baik secara estetika, pengalaman menyusuri koridor jalan utama pun tidak mendapatkan atmosfir yang mendekatkan masyarakat ke lautan, kurang
146
mencirikan kota tepian pantai (waterfront city) dikarenakan penghalang visual di sepanjang tepi Jl. Jend. Sudirman. Berdasarkan penjelasan singkat diatas, didapat kesimpulan hambatan fisik utama di tepian pantai perkotaan Balikpapan adalah tatanan bangunan gedung beserta lingkungannya. Bentang alam pantai memiliki karakter fisik sebagai area bagi kepentingan publik, namun melihat analisis sebelumnya penataan ruangruang pantai terbagi menjadi tiga kategori: 1.
Sistem ruang terbuka umum (kepemilikan publik-aksesbilitas publik), dimana ruang pantai berkarakter terbuka, bebas, dan mudah diakses publik karena bukan milik pihak tertentu, seperti halnya pantai Melawai dengan pengelolaan oleh Pemkot Balikpapan.
2.
Sistem ruang terbuka pribadi (kepemilikan pribadi-aksesbilitas pribadi, dimana ruang pantai terbatas dan hanya dapat diakses oleh pemilik, pengguna, atau pihak tertentu, seperti halnya pantai SPN Bumi Tarungga, apartemen BSB, pantai Hotel Le Grandeur, wisma segara, dan kawasan site apartemen Sea View,
3.
Sistem ruang terbuka privat yang dapat diakses umum (kepemilikan pribadiaksesbilitas publik), dimana ruang yang karakter fisiknya terbuka, bebas dan mudah diakses publik meskipun milik pihak tertentu, karena telah didedikasikan untuk kepentingan publik. Kondisi ini terlihat dari kawasan Plaza Balikpapan yang memberikan kawasan pantainya untuk kepentingan publik serta kawasan Balcony City dengan ruang publik di tepi pantainya, terdapat juga Ruko Bandar dengan pandangan lingkungan pantai dan lautnya.
147
Pemerintah Kota telah berupaya merubah pergerakan masyarakat agar lebih dapat memanfaatkan kawasan pantai (walau masih terbatas) dengan memperbaiki kualitas pedestrian way, dari kawasan Balikpapan Permai hingga Kantor Imigrasi. Sistem jaringan jalur penghubung terpadu (pedestrian linkage) telah dibangun namun belum menjangkau keseluruhan aksesbilitas kawasan tepian pantai. Jaringan penghubung ini terlihat dari jembatan penyeberangan di simpangan Plaza Balikpapan, pejalan kaki dapat melintasi jembatan ini untuk menuju pantai di belakang Plaza Balikpapan, ataupun menyusuri pedestrian way hingga masuk ke kawasan ruang pantai di Balcony City. Berdasarkan penuturan masyarakat kota di kutip sebagai berikut: "Kalau mau menikmati sunset yaa perginya ke Melawai atau juga nongkrong di seputaran BC, atau ruko bandar. Informasi mengenai tempat santai di pantai sih biasanya di beritahu teman, seperti di Klandasan tempatnya kan terselip dan tidak banyak yang tahu disitu tempat makan enak dengan suasana pantai, tapi kawasan situ kondisinya kotor dan bau karena disitukan pasar yaa, jadinya kurang nyaman juga. Pantai Kemala papan reklamenya besar jadi tahu disitu pantai dengan resto, Pantai Kilang papan informasinya kecil jadi teman-teman kurang tahu kalau di situ ada cafe yang asyik nikmati angin pantai.” (Jatmiko, masyarakat kota) Berdasarkan analisis gambaran umum sistem transportasi, terkait jaringan jalan perkotaan Balikpapan, kondisi akses menuju tepian pantai sebenarnya telah terakomodir dengan baik, dimana jalur sekunder dan lokal mengarah ke jalur primer kota (Jl. Jend. Sudirman), namum pergerakan masyarakat yang based activity seringkali menyebabkan kemacetan di beberapa titik simpangan, dan juga kurangnya fasilitas parkir kendaraan menyebabkan beberapa kendaraan terlihat parkir di pinggir jalan, berbanding terbalik dengan fungsi ruas Sudirman yang merupakan kawasan tertib lalu-lintas. Permasalahan ini utamanya terdapat di
148
pantai kota seperti di kawasan Melawai, tanpa adanya parkir memadai serta ruang-ruang publik tidak terfasilitas dengan baik menyebabkan masyarakat secara umum kurang menyukai menghabiskan waktu di tepian pantai. Selain itu pusatpusat perbelanjaan sering mengalami parkir penuh, berdampak pada berkurangnya minat masyarakat menghabiskan waktu di saat peak hours atau weekend (lihat gambar 5.17). B. Hambatan institusional Keberadaan obyek vital nasional memberikan pengaruh pada tatanan kawasan, baik itu pengaturan blok lingkungan, persil bangunan, hingga ketinggian dan elevasi lantai bangunan. Masyarakat memiliki pandangan untuk tidak beraktivitas di sekitar kawasan obvitnas, karena selain terbatasi jelas melalui keberadaan pagar-pagar bertuliskan “Dilarang Masuk Kawasan Ini” , hal lainnya yaitu penjagaan dan pengamanan yang dilakukan oleh satuan khusus dit pam obvit dibawah polda dan unsur TNI AL (khususnya pengamanan kilang pertamina), membuat masyarakat semakin merasa terawasi dan tidak bebas pergerakannya di wilayah sekitar ataupun di tepian pantai yang merupakan aset non-operasional dari obyek vital ini (PT. Angkasa Pura II dan PT. Pertamina UP V). Dampak keberadaan obvitnas memiliki pengaruh bagi aksesbilitas publik dan memberikan kesan terbatas, namun sebenarnya masyarakat lokal (utamanya sekitar kawasan dan paham kondisi) memiliki akses untuk masuk dan berkegiatan di sekitar aset obvitnas tersebut, walaupun masih berada di luar kawasan terlarang (prohibited area), dan mendapat toleransi dari pihak terkait. Seperti area ujung runway 25 Bandara Sepinggan, terdapat lapangan serta pantai-pantai tempat
149
masyarakat nelayan menambatkan perahunya, disini masih ditemukan karangkarang dan beragam biota laut. Berdasarkan pengakuan pengunjung kawasan pantai, diutarakan yaitu: "Pantai ini (Banua Patra) biasanya hari minggu itu dibuka, jadi jalan ke helipad bisa langsung, pagarnya dibuka. Kalau hari-hari biasa untuk masuk ke pantai (Banua Patra) lewat cafe kilang mandiri dulu, terus lewati celah pagar tembus ke helipad dan pantai Banua Patra dan karang-karang di ujung situ, daerah ini dilarang berenang.” (Indra, masyarakat kota) Kondisi serupa juga terdapat di kawasan milik instansi militer/ kepolisian, seperti kawasan SPN Bumi Tarungga, Wisma Segara, dan daerah Kodam VI/Mulawarman, walaupun digunakan kegiatan internal, kawasan-kawasan pantai di area operasionalnya tidak menutup akses publik menuju pantai, hanya saja yang memahami kondisi ini sebatas masyarakat sekitar kawasan, secara umum masyarakat perkotaan Balikpapan tidak mengetahui situasi sirkulasi internal tersebut. C. Kesan privasi Salah satu hambatan psikologis penggunaan tepian pantai bagi publik adalah adanya kesan privasi terhadap penggunaan ruang. Seperti diungkapkan sebelumnya, privasi dapat berwujud tanda pelarangan, pagar pembatas, maupun aktivitas internal pengguna ruang pantai (perusahaan, obvitnas, dll). obvitnas memiliki aturan keamanan tersendiri dan telah diatur di dalam keppres, sementara selain keberadaan obyek vital, di sepanjang tepian pantai terdapat beragam fungsi kegiatan dan diantaranya adalah perusahaan jasa sub-kontraktor tambang dan migas. Internal perusahaan dengan kebijakan HSQE-nya membuat aturan kedisiplinan ketat dan mengikat bagi karyawan, sehingga memberi kesan bagi
150
masyarakat secara umum bahwa lingkungan perusahaan sub-kontraktor tambang dan migas memiliki aturan keamanan di sekitar kawasan operasionalnya (ditandai dengan pemagaran keliling dan pos penjagaan). Menurut pengakuan tokoh masyarakat, kondisi permukiman atas air bebas di akses, walaupun di area tersebut merupakan kawasan hunian: "Disini tidak menutup siapapun untuk masuk, bebas aja orang-orang keluar masuk, orang-orang punya motor lalu lalang masuk walau jalan sempit dan ribut (akses jembatan kayu), tidak masalah bagi orang-orang sini. Tapi yaa kondisinya seperti ini (padat dan rapat) kadang-kadang ada yang jemur ikan (membuat ikan asin), kondisi kotor, sampah-sampah di kolong rumah. Rumah-rumah yang ada himpit-himpitan, udah dari dulu seperti itu, gang masuk sempit kanan-kiri rumah semua. Yaa, tidak ada masalah bagi orang sini dengan rumah-rumah yang ada. Orang-orang sini bertetangga saling kenal.” (Budiman, Tokoh masyarakat Klandasan Ulu) Kesan melanggar properti pribadi
juga ditemukan pada kawasan
perumahan mewah, perhotelan, dan apartemen di tepian pantai perkotaan. Karena kurangnya pola hubungan/ konektivitas antar lingkungan kegiatan (permukiman eksisting dengan bangunan baru) menyebabkan terbentuknya disorientasi akibat lemahnya interaksi sosial antar pemakai lahan tepian pantai. Ruang pantai seharusnya menjadi bagian kepentingan umum dengan sifat kontinuitasnya (pantai untuk kepentingan publik) berubah peruntukannya menjadi privat karena merupakan kepemilikan pribadi (developer, owner, dll). masyarakat tepi pantai seringkali secara tidak sengaja melintas ruang-ruang milik pribadi tersebut, walaupun tidak terkait permasalahan hukum, namun kesan privasi menimbulkan gangguan penggunaan tepian pantai. Untuk mengurangi kesan privasi harus adanya kejelasan orientasi dan kontinuitas, dimana lingkungan kegiatan dapat berorientasi pada pusat lingkungan
151
komunitasnya (fungsi hunian dapat digunakan berdagang/jasa), serta dapat menciptakan kontinuitas ruang publik di atas ruang privat. Pemerintah Kota Balikpapan mewujudkan cara ini dengan membentuk koridor Sudirman (sepanjang tepian pantai) sebagai ruang perdagangan jasa, dengan memperhatikan skala dan proporsi ruang yang berorientasi pejalan kaki, pada ruas Balikpapan Permai hingga Pasar Klandasan pedestrian way didesain ramah pejalan kaki serta mampu mewujudkan interaksi aktivitas publik dan privat. Namun untuk mewujudkan tepian pantai sebagai ruang publik, pemerintah perlu upaya mengintegrasikan blok kawasan dengan penciptaan jalur penghubung yang menembus bangunan privat antar kavling lahan, utamanya pada lingkungan dengan intensitas kegiatan tinggi dan beragam, seperti pada kawasan Damai, Pasar Baru, dan Klandasan. hal ini dilakukan juga untuk menghilangkan kesan privasi saat melewati properti milik orang lain. D. Homogenitas (keseragaman) Secara historis tepian pantai Balikpapan telah memiliki fungsi perniagaan, industri perminyakan, dan kawasan bandar udara. Tatanan perkotaan pun diarahkan untuk pembangunan perdagangan dan jasa, seperti terlihat di ruas Sudirman khususnya Klandasan Ilir dan Klandasan Ulu, dimana dua kawasan ini merupakan Central Business Distric (CBD) Kota Balikpapan. Dikarenakan tingginya nilai lahan, investasi yang di dorong masuk berupa peruntukan mixed use, walaupun secara prinsip-prinsip penataan terlah terakomodir dengan baik, namun peruntukan mixed use, superblock, perkantoran regional memberi kesan monoton.
152
Hal ini serupa seperti yang ditemukan pada perkotaan besar dengan pusat perekonomiannya, lingkungan di buat tanggap terhadap tuntutan ekonomi dan sosial. Pengulangan kondisi ini akan memunculkan anggapan homogenitas ataupun keseragaman di benak masyarakat, pusat Kota Balikpapan belum sepenuhnya memberikan estetika, karakter, maupun orientasi visual dari keunggulan lokasi lingkungan pantai/ laut yang dimiliki. Wajah kota dengan elemen perancangan fisiknya belum menunjukkan karakter kota tepian pantai dan tidak terintegrasi dengan karakter struktur lingkungan pantai. Selain tatanan pusat kota yang seragam, daya tarik wisata dengan promosi event terkadang tidak mengikat masyarakat pada lautnya. Di pusat Kota Balikpapan, ruang publik berada di Lapangan Merdeka, ruang interaksi ini memiliki kedekatan dengan laut, namun daya tarik wisata masih sebatas pagelaran musik, pameran, seni pertunjukan budaya, car free day, dsb. Masyarakat kota mengungkapkan: "Kegiatan musik aja disini seringnya (Lapangan Merdeka), pameran juga suka diadakan, selain itu dulu pernah ada kegiatan berenang melintas Teluk Balikpapan, startnya disitu (Pantai Kilang Mandiri) sampai di sana (titik pantai Nipah-Nipah PPU), jadi yaa lewat teluk kalau tidak salah 6 Km. Melawai sini biasanya acara musik aja, anak-anak biasa balapan disini, rame malam minggu sama rabu gaul (malam rabu). Kalau sore tu sudah mulai rame orang-orang duduk-duduk liat sunset. Jarang ada kegiatan wisata kelautan gitu, yang seperti festival kapal-kapal nelayan, padahal disini banyak yaa.” (Abd. Churry, masyarakat kota) E. Kualitas ruang publik Seperti yang termuat di dalam gambar 4.4 tentang inventarisasi daya tarik wisata di perkotaan Balikpapan, ruang pantai yang ada peruntukannya dibedakan menjadi alam dan buatan. Pantai-pantai di pesisir Klandasan utamanya hanya
153
memanfaatkan pesona pemandangan laut (wisata buatan) sebagai daya tarik masyarakat, penggunaan tepian pantai sebagai sarana short refreshment diisi oleh cafe dan restoran seperti terdapat di Balikpapan superblok (ewalk), Grand Sudirman, Balcony City, Plaza Balikpapan, Ruko Bandar, Pasar Klandasan, Pantai Kilang Mandiri, dan Pantai Melawai. Sementara penggunaan tepian pantai untuk swimming and beach activities (wisata alam) peruntukannya terdapat di Pantai Monpera dan Pantai Kemala. Kualitas ruang publik tepian pantai sangat mempengaruhi minat masyarakat untuk berkunjung, menurut pengakuan pengunjung yaitu: "Asyik kalau duduk-duduk disini ngobrol-ngobrol liat laut, sore-sore gini sambil nungguin sunset, anginnya juga semilir yaa, sejuk suasananya. Cafe-cafe di sini bagus yaa (Ruko Bandar), bangunannya asyik, tematik, menghadap laut, terbuka, makanannya enak. Dan juga disini ada live music-nya. Recomended kalau mengajak tamu kesini, kalau mau suasana privat juga ada, ketemu sama klien juga pas kondisinya. Selain itu aksesnya dekat yaa kemana-mana, nginep di hotel dekat, kalau mau belanja tinggal ke BC (Plaza Balikpapan), kalau mau suasana beda tinggal jalan ke warung-warung di Klandasan, ke pantai tinggal jalan lurus aja nyampe di Melawai. Kawasan ini (perempatan Plaza) dekat sama kondisi cafe-cafe pantainya bagus-bagus.” (Jatmiko, masyarakat kota) Sementara itu, ruang publik di Pantai Melawai terkadang penuh sesak oleh aktivitas publik (utamanya kaum muda), hal ini dikarenakan kawasan publik ini tergolong bebas akses serta termasuk kegiatan rekreatif yang terjangkau (ekonomis). Penggunaan pedestrian way sebagai ruang interaksi sosial antar masyarakat (pengguna) memberikan kesan yaitu lebih bebasnya beraktivitas, tidak ada batasan-batasan sosial antar pengunjung, alokasi penggunaan yang lebih panjang, pandangan langsung dan terbuka terhadap pantai, dsb. Akan tetapi kualitas fisik ruang publik ini menghadapi kendala seperti kenyamanan pemakai,
154
sirkulasi kendaraan yang menyebabkan kemacetan, tingkat kebisingan tinggi, dan terpengaruh pada perubahan kondisi cuaca/ klimatologi. Pantai Melawai sendiri minim fasilitas pendukung, ruang publik kurang terancang dengan baik, hal inilah yang menyebabkan kurangnya minat sebagian masyarakat (utamanya yang berkeluarga) untuk menikmati wisata pantai ini. F. Hambatan sosio-ekonomi Berdasarkan hasil analisis sub-bab 5.2 menyebutkan bahwa penggunaan lahan tepian pantai merupakan integrasi kepentingan beberapa pihak diantaranya ialah kepentingan komunitas pesisir dan kepentingan developer. Bentang alam pantai yang seharusnya dipergunakan bersama sebagai ruang terbuka publik, mendapat kesan berbeda dari pandangan beberapa individu masyarakat pesisir. Masyarakat menganggap kualitas kawasan mixed use yang baru terbangun tidak berintegrasi dengan baik terhadap lingkungan sekitar (permukiman atas air) dalam tatanan makro kawasan, hal ini memunculkan pandangan eksklusivitas dari pengembangan kawasan baru, walaupun sebagian masyarakat cenderung mengabaikan permasalahan ini. Menurut penuturan tokoh masyarakat terkait hubungan sosio-ekonomi pada kawasan tepian pantai: "Permukiman pesisir berbatasan langsung dengan Hotel (Le Grandeur) sama di dekat mall (ewalk), tapi kondisi itu sudah berlangsung lama, pantai-pantai milik mereka di kelola pribadi, masyarakat terpisah tapi tidak ada pelanggaran melintas atau apapun itu, masyarakat tetap bisa menambatkan perahunya. Tapi yaa memang kawasan disitu kotor, banyak sampah, yaah bau-bau kampung nelayan lah. Masyarakat setempat sih masih bisa jalan-jalan di pantai situ, tidak mengganggu, namun terlihat batasan jelas mana untuk hotel mana untuk masyarakat.” (H. Sappe, Tokoh masyarakat pesisir)
155
Pemerintah Kota sendiri kurang optimal di dalam penciptaan ruang tepian pantai yang bermakna dengan mengusung kearifan lokal, sehingga masih bersifat figuratif, masyarakat baru (baik yang tinggal di apartemen maupun di hotel) tidak berkorelasi langsung dengan kultur budaya/ prilaku yang mengusung nilai historis kehidupan pesisir. Oleh karena itu diperlukannya zonasi inklusi dalam bentuk sistem sirkulasi tepian pantai yang mudah diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dengan menyediakan lingkungan tepian pantai yang aman, nyaman, menarik, berwawasan ekologis, serta tanggap terhadap tuntutan ekonomi dan sosial. Ukuran seperti ini bisa mengintegrasikan kelompok sosial ekonomi yang berbeda dan membawa kelompok yang lebih beragam sebagai masyarakat pesisir. G. Hambatan waktu Kawasan wisata alam maupun buatan di dalam pengelolaannya memiliki operasional waktu kegiatan. Untuk kawasan tepian pantai pusat kota, khususnya di pusat-pusat perbelanjaan, biasanya mengikuti aturan buka-tutup operasional kegiatan (akses ruang publik terbatas), sementara itu ruang-ruang publik yang dikelola oleh pemkot tidak memiliki aturan waktu, karena sifatnya bebas dan terbuka, yang membedakannya adalah peruntukan berkegiatannya. Masyarakat
kota
di
sepanjang
hari
kerja
(senin-jum‟at)
hanya
memanfaatkan tepian pantai sebagai short refreshment, seperti di lokasi Balcony City, Plaza Balikpapan, Ruko Bandar, Pantai Monpera, dan Pantai Kemala, yang membuka waktu operasional mereka semenjak siang hari, aktivitas yang dilakukan masyarakat (utamanya karyawan) antara lain, makan siang, meeting, ataupun bersantai sejenak di lounge yang tersedia. Sebagian besar pantai-pantai di
156
Klandasan buka mengikuti waktu opersional restoran atau cafe yang menjadi fasilitas di pantai tersebut, biasanya semenjak sore hingga malam hari. Ruang pantai di Melawai pun di kembalikan fungsi publiknya sebagai pedestrian way di siang hari, namun semenjak sore hari lokasi tersebut di padati oleh PKL yang memang diberikan kewenangan mengelola kawasan tersebut dengan tetap pada aturan (kebersihan, keamanan, dll). Berdasarkan penuturan warga masyarakat mengenai kondisi batasan waktu penggunaan pantai yaitu: "Kalau mau sampai malam jalannya ke Pantai Melawai, disitu dudukduduk nikmati angin malam, liat pulau babi, tukung, sore liat sunset, ngopi-ngopi. Kalau jalannya ke mall yaa terbatas, paling jam 10 sudah tutup, tapi kalau ke ruko bandar sana buka dari siang sampai tengah malam dia (cafe-cafe), ada musik, suasanaya enak, makananya enak. Di pantai Kilang Mandiri juga bisa tapi dia dari sore aja sampai malam, duduk-duduk nikmati laut, di pantai kemala enak juga dari siang buka ampe malam, suasana bali, restoran pinggi pantai, cocok bersantai sama teman atau bawa keluarga.” (Jatmiko Awali, masyarakat kota) H. Hambatan keamanan Berdasarkan UU. No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, pada Bab VII mengenai hak,kewajiban, dan larangan, disebutkan di dalam pasal 23 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan informasi kepariwisataan, perlindungan hukum, serta keamanan dan keselamatan kepada wisatawan. Berikutnya, Pada pasal 26 menyebutkan, pengusaha pariwisata berkewajiban untuk memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan. Seringnya terjadi insiden seperti cedera, tenggelam, hingga berdampak pada kematian yang terjadi di kawasan pantai perkotaan menyebabkan publik secara tidak langsung kurang nyaman dalam melakukan kegiatan berenang
157
maupun aktivitas lainnya di tepian pantai. Walaupun pengelola telah memberikan perlindungan keamanan kepada pengunjung, namun hal tersebut masih belum menjamin. Pemerintah maupun pengelola tempat wisata harus memperhatikan sarana keselamatan aktivitas air dengan melihat kesigapan penjaga pantai baik itu perlengkapan personil, pos pengawasan, pos pelayanan, dan peralatan minumun yang dimiliki dan juga perlunya keberadaan sarana informasi dan larangan, maupun peralatan penyelamatan (evakuasi korban). Hal tersebut diperlukan agar di dapatnya kepercayaan publik untuk melakukan aktivitas di tepian pantai. Menurut penuturan warga masyarakat dalam menggunakan pantai: "Pantai-pantai disini memang bahaya, udah sering tuh jatuh korban, terseret ombak, tenggelam. Disini udah dipasang plang larangan, ada juga sih penjaganya yang ngawasin, kalau berenang juga biasanya orangorang gak berani ke tengah, dipinggir aja. Ke pantai cuma nge-cafe gak main air paling jalan-jalan di pasir.” (Jatmiko Awali, masyarakat kota) Dapat disimpulkan dari analisis akses publik menuju pantai yaitu penyediaan akses publik yang memadai masih belum optimal dilakukan Pemkot Balikpapan, berdasarkan hasil analisis batasan aksesbilitas publik menuju tepian pantai di dapat tipologi dan hambatan yang menjadi kendala dalam mengintegrasikan sirkulasi eksternal (di jalan utama/ pedestrian way) menuju kawasan tepian pantai dengan menembus antar blok eksisting. Akses fisik, visual, interpretatif, sosio-spasial, keselamatan laut, dan psikologis merupakan batasanbatasan di dalam penyediaan ruang interaksi sosial di tepian pantai. Akses psikologis merupakan kesesuaian atau kenyamanan di dalam kondisi lingkungan tertentu yang di manifestasikan dalam hambatan fisik, visual, kesan privasi, homogenitas, kualitas ruang publik, sosio-ekonomi, dan keselamatan.
158
5.4. Hasil Temuan Akses Publik Menuju Pantai Realitas tepian pantai perkotaan Balikpapan yang dinamis memerlukan suatu pengelolaan yang spesifik untuk dapat mengakomodasi semua kepentingan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan perkotaan. Pengelolaan wilayah tepian pantai kurang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan stakeholder sekaligus memperhatikan potensi dan kemampuan lingkungan wilayah tepian pantai sebagai ekosistem yang harus berkelanjutan tanpa mengurangi hak manusia dan komunitas lainnya untuk hidup di dalamnya dan melakukan interaksi sosial. Kesimpulan dari hasil temuan akses publik menuju pantai yaitu memberikan hal-hal penting yang berkaitan dengan pembangunan pada kawasan tepian pantai. Tabel 5.12. Penelitian akses publik menuju pantai
Proposisi I
Proposisi II
Konsep Kawasan tepian pantai perlu ditempatkan sebagai bagian terintegrasi menyeluruh (komprehensif) dalam tata kelola perkotaan, di setiap zonasi pembangunan perlu memperhatikan akses publik serta struktur lingkungannya (pola jalan, intensitas bangunan, dsb). Selain itu zonasi pembangunan turut menciptakan ciri kota yang bersangkutan, apakah kawasan pantainya merupakan kawasan pelestarian lingkungan, perekonomian, rekreasi alam/ buatan, permukiman, maupun kawasan kegiatan perikanan.
Hasil Temuan Faktor-faktor yang membatasi pergerakan publik di dalam mengakses pantainya, yaitu kondisi struktur ruang kawasan, kondisi aksesbilitas kawasan baik lingkup makro (sistem transportasi) maupun mikro (akses kawasan), serta kondisi fisik fasilitas (infrastruktur, amenity, view, fasum/sos). Zonasi pembangunan turut menciptakan pengaruh terhadap penggunaan ruang pantai seperti zona rekreasi alam cenderung bebas, zona ekonomi dan permukiman cenderung terbatas, dan zona khusus ce nderung terlarang.
Kawasan tepian pantai memiliki potensi dalam meningkatkan aksesbilitas masyarakat terhadap ruang publik serta meningkatkan citra kawasan sebagai waterfront city. Pembangunan tepian pantai turut memperhatikan kondisi fisik, visual, serta pemberian edukasi dan informasi terkait ruang pantai, selain itu mengurangi hambatan psikologis.
Penyediaan akses publik yang memadai masih belum optimal dilakukan Pemkot Balikpapan, berdasarkan hasil analisis batasan aksesbilitas publik menuju tepian pantai di dapat tipologi dan hambatan yang menjadi kendala dalam mengintegrasikan sirkulasi eksternal (di jalan utama/ pedestrian way) menuju kawasan tepian pantai dengan menembus antar blok eksisting.
Sumber : Hasil analisis, 201
A.
Hambatan akses publik menuju pantai dari Bandara Sepinggan hingga SPN
Daerah perusahaan sub-kontraktor tambang dan migas, memiliki disiplin keamanan, dengan pos-pos penjagaan di gerbang masuk, kavling bangunan dikelilingi oleh pagar, letak dan orientasi menghadap jalan dan massa bangunan dengan kepadatan sedang. Masyarakat seakan tidak dapat menjangkau pantai yang ada di belakang perusahaan-perusahaan tersebut, namun terdapat akses informal untuk sampai ke pantai.
Keterangan : = Kawasan RESA Bandara
= Permukiman atas air = Jalur akses informal menuju pantai
Runway End Safety Area (RESA) di kawasan bandara sepinggan berbatasan langsung dengan permukiman penduduk, namun di batasi oleh pagar dan merupakan prohibited area. Masyarakat sekitar memanfaatkan seawall bandara sebagai area memancing, dan juga di ujung runway 25 terdapat lapangan yang merupakan ruang publik masyarakat sekitar, serta nelayan menambatkan perahunya disini
Gambar 5.35. Hambatan akses publik dari Bandara Sepinggan hingga SPN Sumber : Hasil analisis, 2015
Serial Vision
159
= Kawasan pantai perkotaan = Penggunaan lahan pantai
Ujung runway 25 digunakan oleh fungsi industri menengah, workshop, dan permukiman atas air. Topografi Balikpapan dengan kontur perbukitan memungkinkan visual terhadap laut dari arah akses Jl. Marsma Iswahyudi. Konfigurasi blok yang padat serta bersifat peruntukan pribadi membatasi akses publik menuju pantai, namun terdapat akses informal (jalan lingkungan) dengan menembus permukian untuk menuju pantai.
B.
Hambatan akses publik menuju pantai dari SPN hingga Ruko Bandar
Daerah mixed use dengan pengelolaan pantai masing-masing, ruang pantai diperuntukan bagi publik, akses publik memiliki hambatan pada waktu operasional dan adanya kesan privasi. Pemerintah kota telah membentuk suatu jaringan jalur penghubung terpadu (pedestrian linkage), namun penghubung ini belum bisa mengintegrasikan sirkulasi internal (di tepian pantai) masih terbatas eksternal (di muka bangunan/ tepi jalan).
Keterangan : = Kawasan pantai perkotaan = Permukiman atas air = Jalur akses informal menuju pantai
Optimalisasi dan efisiensi pemakaian ruang pantai dalam bentuk superblock, area ini memiliki batasan jelas antara ruang publik dan ruang privat serta penyediaan lingkungan yang mewadahi interaksi sosial. Lain halnya dengan area SPN yang penggunaan terbatas kegiatan internal. Hambatan aksesbilitas antara lain visual (kepadatan tinggi), kesan privasi, waktu, sosio-ekonomi, dsb. Publik secara terbatas dapat menikmati pantai pesisir.
Gambar 5.36. Hambatan akses publik dari Balikpapan Superblok hingga Ruko Bandar
Serial Vision
Sumber : Hasil analisis, 2015
160
= Penggunaan lahan pantai
Kawasan perjas dan permukiman memadati tepian pantai, visual terhadap pantai menjadi minim. Kontinuitas ruang publik terdapat pada keberadaan pedestrian way, namun kualitas fisiknya yang kurang baik serta belum terintegrasi penuh menuju tepian pantai. Hanya ada akses informal ke tepian pantai melalui jalur permukiman atas air. Kesan eksklusivitas terdapat di sekitar Grand Sudirman dan hotel Le Grandeur.
C. Hambatan akses publik menuju pantai dari Ruko Bandar hingga Pantai Melawai
Melawai adalah ruang terbuka publik yang dikelola pemerintah, hambatan fisik hal utama yang mempengaruhi penggunaan kawasan oleh publik. Area ini belum menetapkan rancangan yang memenuhi kenyamanan pemakai dan kurang memperhatikan iklim/ cuaca. Pantai di sepanjang Klandasan sangat rawan akan kecelakaan, menyebabkan hambatan keselamatan menjadi faktor untuk menjauhi kegiatan di pantai
Keterangan :
= Permukiman atas air = Jalur akses informal menuju pantai
Hambatan fisik merupakan kendala bagi publik, kondisi bangunan yang kurang baik dan juga keramaian Pasar Klandasan mengurangi kenyamanan menikmati situasi pantai. Kesan privasi turut menjadi hambatan, permukiman atas air terbangun kurang memperhatikan tata kualitas lingkungan dan bangunan sehingga tidak adanya fleksibilitas untuk integrasi antar blok kawasan (terkesan berdiri dan berfungsi sendiri).
Gambar 5.37. Hambatan akses publik dari Pasar Klandasan hingga Pantai Melawai Sumber : Hasil analisis, 2015
Serial Vision
161
= Kawasan pantai perkotaan = Penggunaan lahan pantai
Hambatan instansional mempengaruhi penggunaan ruang pantai bagi kegiatan publik, sebagai besar di kawasan ini merupakan aset milik kodam maupun pertamina. Ruang publik di tepian pantai masih belum terintegrasi dengan sistem penghubung antar blok kawasan. Selain hambatan fisik terlihat pada kualitas lahan parkir yang kadang penuh di saat peak hours ataupun weekend. Pantai-pantai masih mengutamakan short refreshment.
Tabel 5.13. Hambatan psikologis menuju tepian pantai perkotaan Simbol Kondisi fisik eksisting Tepian pantai
Fungsi kegiatan
Akses publik
Tepian pantai
Bangunan
Hambatan psikologis menuju tepian pantai
Permukiman pesisir
-
Struktur ruang semi private domain. Berada di perkotaan yang padat dan macet. Amenity/ view kurang dan cenderung kumuh
- Hambatan fisik, intensitas kepadatan permukiman atas air menciptakan kontak visual yang kurang dan membuat ketidakpedulian publik terhadap panorama laut. - Kesan privasi, permukiman atas air memiliki struktur kawasan semi privat-semi publik, hal ini menciptakan perasaan mengganggu terhadap ruang-ruang privat (hunian masyarakat) akibat melintas.
Perekonomian (Perjas)
-
Struktur ruang semi publik-semi privat Menimbulkan macet pada akses keluar masuk. Amenity/ view baik dan infrasturktur lengkap.
- Homogenitas, ruang ritel pada tepian pantai memberikan kesan membosankan, “isinya juga paling sama saja”. - Hambatan sosio-ekonomi, kawasan mixed used tidak berintegrasi dengan baik memunculkan pandangan eksklusivitas. - Hambatan waktu, akses penuh hanya pada waktu tertentu saja.
Kemaritiman (Dermaga khusus dan Pelabuhan)
-
Struktur ruang semi public-semi private dan juga bersifat private domain. Menimbulkan kemacetan pada saat tertentu Amenity/ view baik dan infrastruktur baik
- Hambatan fisik, instalasi khusus memiliki hubungan yang lemah terkait pergerakan publik, hal ini terkait kondisi keamanan, kondisi ini memunculkan stigma, “jika tidak bisa dilihat, tidak usah diperdulikan”. - Kesan privasi, deklarasi fisik berupa pagar mengisyaratkan hanya yang berkepentingan yang dapat mengakses kawasan tersebut.
Rekreasi (Wisata alam dan buatan)
-
pantai wisata perkotaan kepemilikannya semi publik-semi private domain, sementara pantai publik berbentuk ruang terbuka linier. Dilalui jalan primer kota, akses kawasan baik Memiliki tatanan fisik bangunan menarik,
- Kualitas ruang publik, fasilitas yang tidak kondusif mendukung aktifitas publik menikmati panorama pantai, menimbulkan ketidaknyamanan penggunaan ruang luar. - Hambatan keamanan, minimnya sarana kegawatdaruratan menimbulkan kekhawatiran dalam aktivitas aktif di pantai.
Kemiliteran (Pertahanan dan keamanan)
-
Struktur ruang merupakan private domain Kondisi lalu-lintas normal, akses terbatas Amenity/ view baik dan infrastruktur baik
- Hambatan institusional, instalasi militer mengesankan penggunaan eksklusif, dikarenakan penggunaan khusus dan dalam zona ruang yang terbatas. - Kesan privasi, signage (larangan), gerbang, pagar, dan pos penjagaan merupakan hambatan nyata dalam mengakses kawasan.
Bandar Udara (Kawasan khusus)
-
Struktur ruang private domain Kondisi lalu lintas lancar, akses terbatas Amenity/ view baik dan infrastruktur baik
- Hambatan institusional, publik memiliki pandangan untuk tidak beraktivitas aktif di sekitar kawasan obvitnas, karena terbatasi pagar dan signage “Dilarang melintas kawasan ini”. Selain itu kawasan khusus memiliki tingkat area keamanan, public area, restricted publik area (RPA), restricred area, dan prohibited area.
-
162
Sumber: Hasil analisis,2015
163
Faktor-faktor yang membatasi pergerakan publik di dalam mengakses pantainya, yaitu kondisi struktur ruang kawasan, kondisi aksesbilitas kawasan baik lingkup makro (sistem transportasi) maupun mikro (akses kawasan), serta kondisi fisik fasilitas (infrastruktur, amenity, view, fasum/sos). Dapat disimpulkan bahwa zona rekreasi alam, utamanya pantai publik memiliki akses bebas terbuka terhadap pantai. Zonasi perekonomian yang didalamnya merupakan penggunaan ritel komersil cenderung menyediakan akses terhadap pantai dan ruang publik memadai di tepian pantai, dengan kondisi bebas terbatas (waktu penggunaan dan zonasi ruang). Zonasi permukiman cenderung membatasi akses publik dikarenakan kondisi yang cenderung kumuh dan tatanan bangunan kurang menarik. Zonasi kegiatan khusus yang merupakan obyek vital nasional memiliki batasan terhadap publik (larangan terhadap akses publik) dengan wilayah pengamanan (enviromental community area).
Akses publik bebas
TATANAN PANTAI PERKOTAAN SEBAGAI ZONA PEREKONOMIAN (LUASAN 46%)
Kondisi fisik eksisting cenderung kurang, intensitas bangunan rapat serta kondisi view kurang
Akses publik terbatas
TATANAN PANTAI PERKOTAAN SEBAGAI ZONA PERMUKIMAN (LUASAN 8%)
Kondisi fisik eksisting cenderung kumuh. Amenity dan view pada tepi pantai kurang
Akses publik terbatas
TATANAN PANTAI PERKOTAAN SEBAGAI ZONA KEGIATAN KHUSUS (LUASAN 38%)
Kondisi fisik eksisting baik, lalu lintas lancar karena peruntukan sebagai kawasan khusus, pergerakan masyarakat kota terbatas.
Cukup
Akses publik terlarang
Gambar 5.38. Kondisi akses publik terhadap penggunaan lahan pantai perkotaan Sumber : Hasil analisis
Kuat
Lemah
Akses publik terhadap pantai
Kondisi fisik eksisting cukup baik, kekurangan terdapat pada kondisi parkir on street
TATANAN PANTAI PERKOTAAN SEBAGAI ZONA REKREASI ALAM (LUASAN 8%)
Gambar 5.39. Peta Kondisi akses publik terhadap pantai perkotaan Balikpapan Sumber: Peta garis Kota Balikpapan dan hasil analisis, 2015
164
165
5.5. Pengkayaan Teori/ Konsep Akses Publik Menuju Pantai Penyediaan akses publik terhadap tepian pantai perkotaan diungkapkan sebagai definisi untuk menggambarkan secara abstrak fenomena fisik lingkungan tepian pantai dan juga pergerakan manusia yang diamati sebagai gejala-gejala yang perlu diubah, dikembangkan, maupun ditata. Landasan penelitian dalam thesis ini adalah “akses publik terhadap pantai perkotaan” dan digunakan sebagai dasar pemikiran untuk memahami kembali kondisi pengguna dan proses pembangunan yang telah berlangsung. Terdapat 2 (dua) buah pemikiran konseptual dalam penelitian ini yakni, konidisi akses publik terhadap tepian pantai perkotaan dan batasan akses publik. A. Kondisi akses publik terhadap pantai perkotaan Dahulu kawasan tepian pantai tidak dimanfaatkan secara optimal bagi kepentingan publik, lahan-lahan di sekitar pantai digunakan sebagai area perdagangan, industrialisasi, maupun permukiman. Pada saat suasana tepi laut dengan cepat berkembang, penting sekiranya untuk memperhatikan akses publik menuju tepian pantai sebagai bagian dari pola pemanfaatan ruang tepian pantai/laut secara keseluruhan dan memberikan masyarakat kota hak mereka di dalam pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya maupun potensi yang ada di ruang tepian pantai/laut tersebut. Konsep mengenai akses publik yang semakin terbatas terhadap tepian pantainya di peroleh berdasarkan hasil kajian studi kasus di Negara Bagian Massachusetts dan analisis peneliti terhadap pengamatan subjek serupa di tepian pantai perkotaan Balikpapan.
166
Diskusi teoritis dibangun guna mendapatkan pandangan umum terkait pergerakan masyarakat terhadap pantai-pantai di kawasan perkotaan berdasarkan dimensi tatanan ruang kota-kota tepian pantai (waterfront city). Hasil penelitian menjelaskan bahwa tepian pantai merupakan ruang bagi kepentingan umum karena di dalam temuan berdasarkan (Brautigam and Robin, 1986) tepian pantai yang berarti di tentukan oleh aksesbilitas yang memadai: 1.
Kawasan tepian pantai sebagai “ruang pejalan kaki”, ruang-ruang di kawasan pesisir termasuk domain publik dan dianggap sama fungsinya sebagai trotoar koridor umum, dan masyarakat memiliki hak yang sama untuk berada di ruang jalan ini sama seperti hak pejalan kaki pada trotoar umum di ruang jalan perkotaan.
2.
Kawasan tepian pantai sebagai ruang rekreasi, ruang pantai memberikan kesempatan untuk pemenuhan sarana rekreasi bagi seluruh individu masyarakat kota. Kebutuhan yang berorientasi pada rekreasi pantai dapat dipenuhi dengan meningkatkan akses dan membuat peningkatan pada lingkungan pantai tersebut serta memperbaiki jalur transportasi laut yang ada (waterways).
3.
Doktrin kepercayaan publik (public trust doctrine), Konsepnya adalah properti umum (tepian pantai) atau kebutuhan publik akan disediakan oleh pemerintah untuk kemudian bebas digunakan dan tanpa adanya hambatan dari pihak-pihak tertentu. Jalur akses publik menuju pantai tidak dapat dihilangkan, agar masyarakat dapat menikmati tepian pantainya, serta
167
pemerintah wajib menghubungkan tempat-tempat rekreasi pantai yang ada dengan membentuk pedestrian linkage sehingga menciptakan keterhubungan. Sedangkan di dalam temuan penelitan terkait akses publik menuju tepian pantai ini, peneliti menemukan bahwa: 1.
Kawasan tepian pantai sebagai “integrasi kepentingan”, Beban penyediaan akses publik bagi kepentingan umum semakin besar karena penggunaan lahan yang ada merupakan integrasi kepentingan beberapa pihak, yaitu kepentingan pemerintah (publik dan masyarakat luas), kepentingan komunitas mayarakat pesisir, dan kepentingan pihak swasta/ developer.
2.
Tepian pantai cepat mengalami “perubahan fungsi kegiatan”, Pemicu pertumbuhan (trigger) pada suatu kota kerap mempengaruhi fisik tatanan dan kegiatan kota. Pengembangan wilayah terbangun berada secara sentris, namun sektor lainnya berkembang secara membujur ke arah luar, hal ini dikarenakan mengikuti pola jaringan jalan (pola radial). Tatatan kota seperti ini kerap menyebabkan pembangunan pada kanan-kiri jalan (ribbon development) sehingga pada kota pantai sering ditemui lahan tepian pantai di tutup oleh pembangunan, akses publik menjadi terbatas.
3.
Konsep tatanan tepian pantai menentukan kebebasan akses publik, kondisi ini terkait dengan peruntukan pantai sebagai kawasan lingkungan, perekonomian, maupun kawasan khusus (obyek vital). Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut antara lain struktur ruang kawasan, kondisi aksesbilitas (makro dan mikro), serta kondisi fisik eksisting (infrastruktur, amenity, view, fasum/sos)
168
B. Akses publik menuju pantai Konsep yang dikenal dari akses publik hanya melihat dari akses fisik dan visual, dan untuk kawasan pesisir meliputi kegiatan seperti berjalan di sepanjang tepian pantai tanpa terhalang bangunan, menikmati pemandangan laut (melihat sunset). Tapi ada jenis lain dari akses publik, dan secara singkat dapat didefinisikan 4 (empat) jenis akses publik yaitu: fisik, visual, interpretatif, dan psikologis, hasil penelitian berdasarkan kajian studi kasus Negara Bagian Massachusetts (Kloster, 1987): 1.
Aspek fisik, Manifestasi aspek fisik adalah jalur/ ruang bagi pejalan kaki di sepanjang tepian pantai atau pesisir, dan adanya ruang-ruang publik seperti taman-taman dan plaza disertai sarana pendukungnya. Konsep ini sebaiknya dapat terintegrasi dengan rencana tata ruang kota agar penggunaannya tidak dinikmati satu golongan saja.
2.
Aspek visual, Merencanakan hubungan visual (jarak pandang) atau koridor antara tepian pantai dan daerah sekitarnya. Mengatur jenis bangunan di sepanjang garis pantai untuk mencegah pembangunan gedung menghalangi pandangan
3.
Aspek interpretatif, “Kemampuan untuk memahami” menginformasikan orang-orang tentang bagaimana seharusnya publik berhak menikmati tepian pantai tersebut dengan memberikan edukasi dan memperkenalkan apa saja yang ada di tepi pantai.
4.
Aspek psikologis, Membuat seseorang agar dapat berhubungan dengan kawasan pantainya sehingga merasa nyaman dalam suatu daerah baik secara
169
psikis maupun fisik. Dan juga dapat menganggap bahwa publik akan berkesan dengan situasi di pantainya. Sementara berdasarkan hasil penelitian akses publik terhadap tepian pantai Balikpapan, peneliti mendapatkan komponen yang membatasi akses publik antara lain: 1.
Aspek sosio-spasial, Pembangunan baru terkadang menyebabkan karakter lingkungan yang tidak integral dengan karakter eksisting sekitar dan tidak optimal keserasiannya antar bangunan sehingga tercipta ruang-ruang antarbangunan yang mati dan terpisahnya aktivitas ruang sosial (socio-spatial disintegration)
2.
Aspek keselamatan laut, Kondisi struktur laut membuat terbatasnya penggunaan pantai bagi kepentingan publik khususnya pada kegiatan berenang dan pantai lainnya. Sementara itu pembahasan mengenai hambatan akses publik erat
kaitannya dengan akses psikologi. Konsep psikologis dilihat sebagai sesuatu yang agak abstrak, pemahamannya berdasarkan preferensi individu (masyarakat kota) terhadap kondisi lingkungan pesisir. Untuk lebih mempersempit penilaian terhadap akses psikologis maka dibuat tipologi hambatan. Berikut akan dijelaskan hambatan-hambatan tersebut berdasarkan (Kloster, 1987): 1.
Hambatan fisik Hubungan yang lemah akibat hambatan fisik antara pusat kota dengan kawasan pesisir membuat masyarakat menjadi tidak perduli dan tidak sadar akan makna dan pentingnya kawasan tepian pantai, sehingga pantai menjadi
170
terabaikan. Hambatan fisik ini dapat berupa jalan raya, rel kereta api, bangunan di sepanjang pesisir, dll. 2.
Hambatan institusional Penggunaan lahan tepi pantai dikarenakan zonasi ruang yang diperuntukan untuk fasilitas publik karena nilai strategis serta adanya dorongan dari segi politik, ekonomi, dan hukum. Hambatan ini yaitu adanya instalasi militer; kawasan bandara; kilang minyak; dan fasilitas pemerintah seperti sistem drainase, IPAL, dll.
3.
Kesan privasi Manifestasi dari kesan privasi terhadap suatu kawasan dapat dilihat dari adanya deklarasi fisik dan jenis penggunaan yang berlangsung di dalam bangunan/ atau daerah sekitarnya. Hambatan nyata terlihat dari penggunaan pagar, pintu gerbang, pos penjagaan, yang memberikan beban bagi pengguna perasaan mengganggu karena melintas/ melanggar properti milik orang lain.
4.
Homogenitas Penyediaan zonasi yang serupa baik itu untuk pembangunan maupun konsep acara yang diadakan pada kawasan pesisir akan menjadi penghalang psikologis, dan publik melihat kondisi ini sebagai suatu kesamaan dan cenderung membosankan.
5.
Kualitas ruang publik Kualitas rancangan yang buruk dapat berperan sebagai penghalang psikologis bagi akses publik menuju ke pantai, dan masyarakat tidak akan terdorong
171
untuk kembali. Perlunya solusi desain yang inovatif dapat memperpanjang masa penggunaan ruang luar secara signifikan. Menurut hasil penelitian akses publik menuju pantai perkotaan Balikpapan melalui hasil obeservasi di beberapa titik lokasi fungsi kegiatan di dapat tipologi hambatan (berdasar preferensi masyarakat): 1. Hambatan sosio- ekonomi Hambatan sosio-ekonomi ini terlihat dari lemahnya hubungan fungsional antar berbagai jenis peruntukan di tepian pantai perkotaan yang membentuk konfigurasi dan pengelompokan tertentu. 2.
Hambatan waktu Pantai-pantai yang aktif hanya pada jam/hari tertentu ini memberikan hambatan bagi masyarakat umum di dalam menikmati panorama lautan secara leluasa tanpa memandang waktu.
3.
Hambatan keselamatan Seringnya terjadi insiden seperti cedera, tenggelam, hingga berdampak pada kematian yang terjadi di kawasan pantai perkotaan menyebabkan publik secara tidak langsung kurang nyaman dalam melakukan kegiatan berenang maupun aktivitas lainnya di tepian pantai, Pemerintah maupun pengelola tempat wisata harus memperhatikan sarana keselamatan aktivitas air. Tata ruang pantai Balikpapan terbentuk karena faktor perkembangan
ekonomi, pelestarian lingkungan pesisir, serta perkembangan teknologi. Kondisi akses publik terhadap pantai perkotaan memiliki kebebasan apabila tepian pantai di kelola sebagai ruang pelestarian lingkungan, akses publik menuju pantai akan
172
terbatas apabila tepian pantai di kelola sebagai pusat pertumbuhan kota (pusat perekonomian), serta akses publik akan dilarang apabila penataan tepian pantai perkotaan di kelola sebagai kawasan keamanan dan teknologi tinggi.
Fungsi kegiatan pada tepian pantai Breen dan Rigby (1984) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kegiatan kebudayaan Kegiatan lingkungan Kegiatan sejarah Kegiatan rekreasi Kegiatan bermukim Kegiatan bekerja Kegiatan mixed use
Fungsi kegiatan pada tepian pantai Hasil penelitian (2015) 1. 2. 3. 4. 5.
Kondisi akses publik terhadap tepian pantai Brautigam dan Robin (1986) 1. 2. 3.
Kepemilikan lahan pantai Kondisi fisik fasilitas pantai Doktrin kepercayaan publik
Kegiatan perekonomian Kegiatan kemaritiman Kegiatan bermukim Kegiatan rekreasi Kegiatan khusus (Industri perminyakan, kemiliteran, dll)
Kondisi akses publik terhadap tepian pantai Hasil penelitian (2015) 1. 2. 3.
Komponen akses publik Kloster (1987) 1. 2. 3. 4.
Aspek fisik Aspek visual Aspek interpretatif Aspek psikologis
Komponen akses publik Hasil penelitian (2015) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hambatan psikologis Kloster (1987) 1. 2. 3. 4. 5.
Hambatan fisik Hambatan institusional Kesan privasi Homogenitas (keseragaman) Kualitas ruang publik
Struktur ruang kawasan (kepemilikan) Kondisi fisik fasilitas pantai Tata kelola perkotaan
Aspek fisik Aspek visual Aspek interpretatif Aspek sosio-spasial Aspek keselamatan laut Aspek psikologis
Hambatan psikologis Hasil penelitian (2015) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Hambatan fisik Hambatan institusional Kesan privasi Homogenitas (keseragaman) Kualitas ruang publik Hambatan sosio-ekonomi Hambatan waktu Hambatan keselamatan
Gambar 5.40. Kedudukan temuan penelitan kondisi akses publik terhadap tepian pantai Sumber : Hasil analisis, 2015