BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tahap Evaluasi Model 5.1.1. Tahap Evaluasi Pemilihan Model Estimasi model, untuk mengetahui pengaruh belanja pemerintah daerah per fungsi terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal dengan analisis data panel, dilakukan melalui 3 pendekatan model estimasi, yaitu Pooled Least Square Model, Fixed Effect Model, dan Random Effect Model. Melalui ketiga model tersebut, dapat diketahui besarnya pengaruh belanja pemerintah daerah per fungsi dan variabel lain di dalam model terhadap pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal. Pada pengujian dengan menggunakan Chow dan Uji Hausman pada Lampiran 2, diperoleh bahwa Random Effect Model merupakan pendekatan analisis regresi data panel yang terbaik. Kemudian dilakukan pengujian asumsi klasik terhadap model estimasi data panel Random Effect Model pada Lampiran 3 agar dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria BLUE.
5.1.2. Pengujian Asumsi Klasik 5.1.2.1.Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai perhitungan koefisien korelasi antar variabel independennya. Apabila nilai koefisien korelasinya lebih rendah dari 0,80 maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas.
61
Hasil penghitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan EViews 6.0 menghasilkan output sebagai berikut: Tabel 5.1. Nilai Korelasi Antarvariabel Bebas dalam Pengujian Multikolonieritas Korelasi
a
b
c
d
e
f
a
1
0.4975
0.6934
0.5606
0.2515
0.7832
b
0.4975
1
0.6355
0.5899
0.2203
0.5638
c
0.6934
0.6355
1
0.4513
0.3614
0.7396
d
0.5606
0.5899
0.4513
1
-0.1983
0.5055
e
0.2515
0.2203
0.3614
-0.1983
1
0.1766
f
0.7832
0.5638
0.7396
0.5055
0.1766
1
Keterangan: a. Ln variabel jumlah angkatan kerja b. Ln variabel belanja fungsi ekonomi c. Ln variabel belanja fungsi kesehatan d. Ln variabel belanja fungsi lainnya e. Ln variabel belanja fungsi pelayanan umum f. Ln variabel belanja fungsi pendidikan Nilai koefisien korelasi antarvariabel bebas semuanya kurang dari 0,80. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinearitas, sehingga kriteria bebas multikolinearitas terpenuhi dalam model estimasi ini.
5.1.2.2. Uji Autokolerasi Uji autokorelasi dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Nilai Tabel DurbinWatson diperoleh dengan dL = 1,053 dan dU = 1,664, sehingga diperoleh selang pengambilan keputusan pada Gambar 5.1: Dengan hipotesis H0 : Tidak terdapat autokorelasi H1 : Terdapat autokorelasi Karena diperoleh nilai Statistik Durbin-Watson sebesar 1,825976 berada dalam selang dU < d < 4 – dU yaitu daerah non-autokorelasi, maka Ho tidak ditolak
62
sehingga dapat disimpulkan bahwa kriteria bebas autokorelasi terpenuhi dalam model estimasi ini. ada autokorelasi negatif
tidak ada keputusan
tidak ada keputusan
ada autokorelasi positif
tidak ada korelasi
0
dL
dU
2
4-dU
4-dL
4
Sumber: Gujarati (2003) Gambar 5.1. Kriteria Pengujian Autokorelasi: Durbin Watson
5.1.2.3. Uji Heteroskedatisitas Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan melakukan cross section weighting. Hasil cross section weighting menggunakan EViews 6.0 menghasilkan output sebagai berikut: Tabel 5.2. Hasil Pengolahan dengan Weighting Random Effect Model untuk Menguji Heteroskedastisitas Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.313487 0.243672 1.141834 4.490259 0.000826
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
3.823423 1.312949 76.92332 1.825976
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.312583 102.6067
Mean dependent var Durbin-Watson stat
5.658788 1.368918
63
Dengan melihat bahwa, nilai Sum squared residual Weighted Statistics yang lebih kecil dibandingkan nilai Sum squared residual Unweighted Statistisc dan nilai R-squared Weighted Statistic yang lebih besar dibandingkan nilai Rsquared Unweighted Statistic, maka dapat disimpulkan bahwa model estimasi mengandung masalah heteroskedastisitas dimana varians tiap unsur error tidak konstan. Menurut
Winarno
(2007),
heteroskedastisitas
dapat
menyebabkan
estimator tidak lagi BLUE karena tidak lagi mempunyai varians yang minimum, perhitungan standar error tidak lagi dapat dipercaya kebenarannya karena estimasi regresi yang dihasilkan tidak efisien serta uji hipotesis yang didasarkan pada uji F dan t tidak dapat dipercaya. Jika model mengalami masalah ini, dengan menggunakan metode cross-section weighting tersebut masalah sudah teratasi.
5.2. Tahap Pemilihan Model Terbaik Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dan memenuhi syarat, maka dapat ditentukan bahwa model estimasi analisis data panel yang terbaik adalah Random Effect Model dengan cross-section weighting SUR dengan hasil output Eviews 6.0 pada Tabel 5.3. Nilai R squared 0,313487 berarti variabel belanja pemerintah daerah per fungsi (ekonomi, kesehatan, pendidikan, pelayanan umum, dan lainnya) serta angkatan kerja mampu menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi sebesar 31,35 persen. Variasi sisanya sebesar 68,65 persen dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
64
Tabel 5.3. Hasil Penetapan Model Menggunakan Random Effect Model dengan Cross-section Weighting SUR Variable C LN_AK LN_LAYANAN LN_EKONOMI LN_KESEHATAN LN_PENDIDIKAN LN_LAINNYA
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
2.670176 -0.089737 -1.372154 0.137156 2.032626 0.858407 -1.312499
6.169529 0.330677 0.394085 0.616474 0.908060 0.320087 0.496796
0.432801 -0.271373 -3.481873 0.222484 2.238428 2.681795 -2.641930
0.6667 0.7871 0.0009 0.8247 0.0290 0.0095 0.0105
Effects Specification S.D. Cross-section random Idiosyncratic random
0.707650 1.123350
Rho 0.2841 0.7159
Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic)
0.313487 0.243672 1.141834 4.490259 0.000826
Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat
3.823423 1.312949 76.92332 1.825976
Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid
0.312583 102.6067
Mean dependent var Durbin-Watson stat
5.658788 1.368918
Penggunaan Random Effect Model tersebut menyatakan bahwa minimal terdapat satu di antara variabel belanja pemerintah daerah per fungsi maupun angkatan kerja yang signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut didasarkan dari nilai Prob(F-statistik) yang kurang dari α (5 persen). Analisis secara parsial, bahwa masing-masing variabel belanja pemerintah daerah fungsi pelayanan umum, fungsi kesehatan, fungsi pendidikan dan fungsi lainnya berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Variabel bebas yang lain yaitu angkatan kerja dan belanja fungsi ekonomi tidak berpengaruh signifikan pertumbuhan ekonomi 22 kabupaten tertinggal.
65
5.2.1. Pengaruh Ekonomi
Belanja Fungsi
Pendidikan
terhadap Pertumbuhan
Variabel belanja fungsi pendidikan memiliki koefisien sebesar 0,858407 dari hasil analisis regresi. Kenaikan satu persen belanja fungsi pendidikan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,86 persen. Belanja fungsi pendidikan,
yang
merupakan
bentuk
pendekatan
pengeluaran
investasi
pemerintah, digunakan dalam peningkatan kualitas pendidikan. Selain digunakan untuk peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, juga digunakan dalam penelitian pengembangan dan peningkatan kualitas pengajar dari keilmuan maupun softskills. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dari segi pendidikan sangat diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan ke depan bagi kabupaten tertinggal. Dengan tenaga yang lebih terampil dan kreatif, diharapkan potensi sumberdaya alam yang ada dapat dikembangkan untuk memajukan daerahnya. Produktivitas individu maupun masyarakat secara umum memberikan perluasan kesempatan kerja dan upaya perbaikan kesejahteraan. Dikarenakan mampu memberikan pengaruh jangka panjang terhadap pengembangan kualitas sumber daya manusia, maka sebaiknya alokasi fungsi ini ditingkatkan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Rahayu (2004) bahwa investasi pemerintah yang dikembangkan dari belanja fungsi pendidikan dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
66
5.2.2. Pengaruh Ekonomi
Belanja
Fungsi
Kesehatan
terhadap
Pertumbuhan
Dari hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel belanja fungsi kesehatan adalah sebesar 2,032626. Ini berarti bahwa kenaikan satu persen dalam belanja fungsi kesehatan dapat langsung memengaruhi pertumbuhan ekonomi 22 daerah tertinggal sebesar 2,03 persen. Pelaksanaan pembangunan fasilitas kesehatan dan pengobatan yang merata akan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Masyarakat yang sehat merupakan modal yang dibutuhkan dalam rangka peningkatan produktivitas kerja. Upaya pemberantasan penyakit menular dan endemi, yang merupakan masalah daerah tertinggal, dapat berhasil menurunkan angka kejadian. Program pengobatan gratis juga sangat membantu masyarakat memperoleh akses obat yang benar sekaligus berkualitas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nurudeen dan Usman (2010). 5.2.3. Pengaruh Belanja Fungsi Pelayanan Umum terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dari hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel belanja fungsi pelayanan umum sebesar -1,372154. Hal ini diartikan bahwa kenaikan satu persen alokasi belanja fungsi pelayanan umum justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi 22 daerah tertinggal sebesar 1,37 persen Belanja fungsi pelayanan umum pada dasarnya sebagian besar adalah belanja gaji pegawai negeri dan operasional. Hal ini merupakan indikasi bahwa belanja fungsi pelayanan umum merupakan pengeluaran yang tidak produktif. Belanja fungsi ini tidak dapat memberikan dampak dalam peningkatan output.
67
5.2.4. Pengaruh Belanja Fungsi Lainnya terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dari hasil analisis regresi diperoleh hasil koefisien untuk variabel belanja fungsi lainnya sebesar -1,3125 dan signifikan. Ini berarti bahwa belanja fungsi lainnya berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi 22 daerah tertinggal. Peningkatan belanja fungsi lainnya sebesar satu persen hanya akan mengurangi pertumbuhan ekonomi 22 daerah tertinggal sebesar 1,31 persen. Pengaruh negatif dari belanja fungsi lainnya ini merupakan indikasi bahwa belanja ini memang lebih banyak digunakan untuk pengeluaran perlindungan sosial. Pengeluaran ini terutama terkait pemberian bantuan sosial seperti operasional distribusi raskin dan bantuan sosial lain. Bantuan tersebut merupakan usaha pemerintah daerah dalam mempertahankan kemampuan daya beli masyarakat miskin. Pengembangan belanja fungsi pelayanan umum dan belanja fungsi
lainnya,
sebagai pendekatan
belanja/konsumsi
pemerintah,
yang
berpengaruh negatif sesuai dengan hasil penelitian Folster dan Henrekson (1999) dan Barro (1990) dalam Sodik (2007).
5.2.5. Pengaruh Belanja Fungsi Ekonomi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan hasil analisis regresi, disimpulkan bahwa variabel belanja fungsi ekonomi tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hubungan antara belanja fungsi ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi masih positif. Hal tersebut bisa diartikan jika signifikan, maka kenaikan belanja fungsi tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Belanja fungsi ekonomi yang sebenarnya lebih banyak diarahkan untuk pembangunan ekonomi, dalam rangka penggerakan perekonomian termasuk
68
pembangunan fasilitas umum, seyogyanya memberikan pengaruh yang besar. Setelah diteliti ternyata alokasi belanja fungsi ekonomi oleh pemerintah daerah mempunyai porsi alokasi yang relatif kecil (rata-rata hanya sebesar 9 persen) dan belum banyak diarahkan pembangunan modal investasi. Efek multiplier dari belanja fungsi ekonomi (sebagai proksi investasi pemerintah) belum dirasakan secara langsung. Proses pengalihan/transformasi sektor belum dirasakan, apalagi stimulus dari pemerintah daerah masih belum optimal.
5.2.6. Pengaruh Jumlah Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dari hasil analisis regresi diperoleh bahwa angkatan kerja tidak berpengaruh
signifikan
(dengan
koefisien
sebesar
-0,089737)
terhadap
pertumbuhan ekonomi. Walaupun tidak signifikan, arah pengaruhnya negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sehingga kenaikan jumlah angkatan kerja justru akan menurunkan pertumbuhan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian terdahulu yaitu Sodik (2007) yang mengemukakan bahwa tidak semua angkatan kerja yang ada dapat terserap ke sektor usaha. Hal ini terjadi dikarenakan walaupun angkatan kerja merupakan faktor produksi selain modal, akan tetapi, ketersediaan lapangan usaha tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang ada. Masih banyak angkatan kerja yang menganggur, yang justru menambah beban dalam proses pembangunan. Daerah tertinggal masih bergantung pada sektor pertanian dan belum berekspansi pada sektor modern. Hal inilah yang merupakan alasan terbatasnya jumlah ketersediaan lapangan kerja baru.