BAB V FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERGESERAN BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA SERTA KOMODIFIKASI HOMBO BATU
5.1 Sejarah Hombo Batu Munculnya hombo batu pada mulanya bukan sebagai olah raga atau hiburan semata seperti yang kita saksikan dewasa ini. Hombo batu memiliki sejarah yang sarat oleh peperangan, patriotisme dan bersifat heroik. Menurut penuturan Bapak Emanuel Fau yang diamini oleh Bapak Amuri Z. Wau selaku kepala adat (Balö Zi’ulu) Hiliamaetaniha, hombo batu pada mulanya tercetus karena sering terjadi perang antar-daerah atau Öri. Kala itu, Öri Maenamölö yang dipimpin oleh Amada Samofo mau direbut oleh Öri Laraga yang dipimpin oleh Etebaekhu. Melihat jumlah prajuritnya yang tidak sebanding dengan jumlah prajurit Öri Laraga, Amada Samofo membuat strategi dengan cara menunjuk sebatang pohon beringin besar yang sudah roboh dengan ketinggian diameternya sekitar empat meter, untuk dilompati. Fau menjelaskan bahwa Amada Samofo memberi syarat, siapa di antara kedua pemimpin öri yang berhasil muhomboi (melompati/melampaui) pohon beringin tersebut maka öri-nyalah yang berhak menduduki Maenamölö. Sebaliknya, apabila Öri Laraga yang kalah, maka mereka harus meninggalkan Maenamölö. Kedua pimpinan daerah (öri) ini merupakan manusia yang tangguh. Amada Samofo sudah menduga bahwa beliau dan musuhnya, yakni Etebaekhu akan mampu melompati geu avöni (pohon beringin) tersebut. Oleh karena itu, beliau
63
64
minta giliran pertama untuk melompati batang pohon tersebut, dan dia berhasil melakukannya. Beliau tidak rela apabila Öri Maenamölö dikuasai oleh Laraga. Maka, ketika akan tiba giliran Etebaekhu yang melompati batang pohon itu, Amada Samofo memberikan isyarat kepada prajuritnya untuk menyambut Etebaekhu di seberang pohon tersebut dengan menebas paha dan lehernya ketika dia akan mendarat dari lompatan terhadap pohon beringin tersebut. Pada akhirnya, Laraga dipukul kalah dan pimpinannya yakni Etebaekhu mati dibunuh. Dengan demikian Öri Maenamölö tetap dipertahankan hingga saat ini. Ketika memukul kalah Laraga, Amada Samofo menancapkan tongkatnya di Hilimaera yang kini populer disebut sebagai Daro’o Ji’o (ujung tongkat) sebagai perbatasan daerah Maenamölö dengan Laraga yang sekarang dikenal sebagai daerah Aramö di Nias bagian tengah. Menyadari bahwa Laraga belum musnah dan pasti akan menuntut balas akan kekalahan dan kematian pimpinan mereka, maka Öri Maenamölö dihimbau untuk manöli, yakni memagari setiap desa di daerah Maenamölö dengan bambu runcing setinggi lebih dari 4 meter sehingga tidak dapat dilewati oleh musuh. Selain itu, para pemuda di tiap-tiap desa di Maenamölö dilatih untuk dapat melompati pagar-pagar tersebut. Barang siapa yang mampu melewati pagar tersebut maka akan dicalonkan jadi prajurit perang. Mengingat bambu runcing tidak begitu tebal sehingga mudah dilewati oleh musuh, maka para pemuda mulai memiliki inisiatif untuk meningkatkan kemampuan mereka di medan perang. Bapak Emanuel Fau sebagai turunan keenam dari Amada Samofo dan Bapak Amuri Zohahau Wau selaku pimpinan adat (balö ji’ulu) desa Hiliamaetaniha saat ini sekaligus sejarahwan Nias Selatan,
65
menceritakan bahwa pada mulanya rintangan ini dibuat dari tanah liat yang dibangun setinggi 3 meter dengan ketebalan atau lebar ke belakang bagian bawah sekitar 120cm dan lebar lagö-lagö (cup/penutup) sekitar 90cm. Ketika diuji coba, ternyata tidak ada pemuda yang mampu melompatinya sehingga ketinggian diturunkan menjadi 2 meter. Pada ketinggian 2 meter, para pemuda mampu melompati tanah liat tersebut. Agar terdapat lompatan maksimal, di atas penutup tanah liat tersebut ditambahkan janur sehingga ketinggian menjadi 2,5 m. Ternyata, para pemuda masih mampu melewati tantangan tersebut. Kelemahan tanah liat adalah mudah roboh dan rusak. Oleh karena itu, para si’ulu mbanua (golongan bangsawan) membuat batu bersusun setinggi 2,5 m, tebal bagian bawah satu meter dan bagian atas (lagö- lagö) sekitar 80 cm. Si’ulu menjajikan kepada para pemuda desa bahwa siapa pun yang mampu melompati batu bersusun tersebut secara berturut-turut sebanyak tiga kali, akan dipilih menjadi prajurit perang. Hal senada diungkapkan oleh Bapak Bajamaoso Fau selaku balo ji’ulu di Desa Bawömataluo bahwa hombo batu didirikan sebagai syarat untuk memilih prajurit di medan perang. Tantangan yang sangat menggiurkan pada saat itu bagi para pemuda bukan hanya kemampuan mereka dalam melompati batu tersebut. Sebab itu hanya syarat untuk menjadi prajurit di medan perang. Ketika telah menjadi prajurit, maka mereka berkesempatan untuk menjadi samu’i yakni prajurit perang yang berhasil mengalahkan musuh di medan perang dan mampu membawa penggalan kepala musuh yang akan dipersembahkan kepada si’ulu.
66
Dengan berhasilnya seorang prajurit di medan perang, dia akan diberikan fondrakö (penghargaan) berupa rai ana’a (mahkota yang terbuat dari emas) dan dijamu dengan pesta yang sangat meriah. Kedatangannya pun disambut oleh para wanita terhormat dan terpilih. Mereka menyambut pahlawan ini dengan anggun, gerakan mereka sangat lemah gemulai yang biasa disebut mogaele oleh warga Maenamölö. Beberapa pria pilihan juga mengiringi para wanita ini di sebelah kanan dan kiri sebagai pengawal sambil fatele yakni gerakan tarian yang melambangkan kemenangan. Mereka bergerak dari rumah raja menuju pintu gerbang desa (bawagöli) sambil menyongsong samu’i tersebut, seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Gambar 5.1 Gerakan Mogaele Sebagai Penghormatan Kepada Tamu Agung
Secara tradisional, hombo batu juga memiliki makna tersendiri dalam stratifikasi sosial kemasyarakatan di Nias Selatan. Stratifikasi sosial tersebut antara lain:1
Sumber: Orang Tua Penulis yang diceritakan secara tradisi lisan, Budayawan Nias: Hikayat Manaö, Kepala Adat Desa Hiliamaetaniha: Amuri Zaohahau Wau dan Bapak Emanuel Fau sebagai keturunan pemimpin Öri Maenamölö ketika hombo batu tercetus.
67
a. Si'ulu Si'ulu biasanya berasal dari keturunan raja. Seorang keturunan raja dapat disebut sebagai Si'ulu jika telah berkeluarga dan dianggap cukup mapan. Dalam memperoleh gelar ini, keturunan Si'ulu harus menyembelih sembilan ekor babi yang disebut sebagai upacara molau simbotö. Kesembilan ekor babi tersebut dibagi menjadi tiga kategori kelompok. Tiga ekor untuk menjamu warga desa, 3 ekor untuk gana atau nafulu (prajurit pengikutnya) dan 3 ekor lainnya untuk dibagikan kepada sanak keluarga atau famili. Oleh karena berasal dari keluarga kerajaan, golongan ini biasanya dianggap kaya sehingga sangat dihormati, terutama jika orang tersebut adalah Balő Ji'ulu (peringkat tertinggi Si'ulu adalah raja). Jika keturunan Si'ulu masih belum menikah dan belum memberikan daging babi dan beras untuk mendapatkan gelar Si'ulu, orang itu disebut Iraono Ji'ulu. Iraono dalam bahasa Nias berarti anak-anak. Dikatakan iraono karena dianggap belum mapan dan belum bisa mandiri. b. Si’ila Kategori kedua disebut Si'ila. Dikatakan Si’ila karena orang-orang dalam golongan ini adalah para cendekiawan, kaum terpelajar dan dianggap memiliki wawasan yang luas atau bisa juga sebagai panglima perang. Oleh karena golongan ini berasal dari beberapa latar belakang maka jumlah mereka lebih banyak dari Si'ulu. Seperti Si'ulu, seseorang yang akan diakui sebagai Si'ila, mereka harus menyembelih beberapa ekor babi (jumlah babi yang diberikan biasa tidak sebanyak dari Si’ulu) dan beberapa karung beras
68
untuk menjamu satu desa. Jika belum mampu, keturunan Si'ila akan disebut Iraono Ji'ila. Pangkat tertinggi Si'ila disebut Balő Ji'ila. c. Sato Dalam bahasa Nias, Sato dapat diartikan sebagai "rakyat atau banyak". Dikatakan Sato, karena kelas ini adalah orang-orang umum atau rakyat kebanyakan. Mereka tidak termasuk dari salah satu golongan dari Si'ulu atau Si’ila. d. Ono Mbanua Jika diambil secara harfiah, Ono berarti Anak dan Mbanua berasal dari kata Banua yang berarti desa. Kelompok ini adalah seorang warga muda. Dalam masa perang, kelas ini sering disiapkan sebagai tentara atau patriot yang berjuang untuk mempertahankan desa sehingga golongan ini yang sering berlatih melompat batu agar lolos menjadi seorang prajurit. 5.2 Pergerseran Bentuk, Fungsi dan Makna Hombo Batu 5.2.1 Pergeseran Bentuk Hombo Batu Seperti telah diuraikan pada sejarahnya bahwa pada mulanya hombo batu tidak seperti yang kita saksikan dewasa ini. Bermula dari bambu setinggi 4 meter yang ujungnya dibuat tajam sehingga dapat menakuti musuh untuk melewati desadesa di Maenamölö. Oleh karena mudah patah dan permukaannya tipis, bambu sebagai pagar pertahanan ditingkatkan menjadi tanah liat. Akan tetapi tanah liat tidak tahan terhadap cuaca, maka dibangunlah batu bersusun setinggi hingga 2,5m untuk dilompati.
69
Bentuk hombo batu yang dikenal dewasa ini seperti piramida. Lebar permukaan bagian bawah sekitar 120cm. Lebar puncak batu ini sekitar 80cm dengan permukaan datar. Dengan demikian, pelompat batu selain dapat melompat tinggi, juga harus mampu melompat jauh. Artinya, prajurit yang terpilih adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tangguh. Beberapa foto hombo batu di Desa Orahili (tampak samping), Desa Bawömataluo (tampak belakang) dan Desa Hiliamaetaniha (tampak depan) dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 5.2 Bentuk lompat batu dari berbagai sudut (sumber: data primer oleh peneliti di lapanangan, Juni 2012).
Dalam era pariwisata saat ini yang serba praktis, fisik hombo batu pun tidak luput dari pergeseran bentuk. Pasalnya, batu-batu asli Nias Selatan ini sulit diperoleh di daerah lain. Padahal, pertunjukan hombo batu dewasa ini sering kali memperoleh permintaan dari penggemar hombo batu untuk menyaksikan atraksi tersebut meskipun di luar Nias. Dengan demikian tercetus ide baru untuk membuat batu imitasi yang bisa diangkut atau dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Maka, terciptalah hombo batu imitasi secara fisik yang terbuat dari papan
70
atau tripleks, dibentuk sedemikian rupa sehingga bentuk dan fisiknya sama dengan batu asli yang terdapat di desa-desa adat di Nias Selatan. 5.2.2 Pergeseran Fungsi Hombo Batu Masuknya agama Kristen Protestan di Nias Selatan yang diperkenalkan oleh misionaris Jerman kepada masyarakat Nias Selatan sekitar tahun 1883 dan berhasil membaptis warga Nias Selatan di Desa Hili Satarö pada tahun 1916, semakin menggeser sikap, adat-istiadat, budi pekerti, bahkan bahasa Nias Selatan (Laiya, 2006: 3). Belum ada suatu bukti yang diketemukan adanya sastra atau tulisan di Nias sebelum kedatangan Belanda dan Jerman di kepulauan ini. Bahasa Nias baik versi utara maupun selatan tidak mengenal bunyi atau kata konsonan. Semuanya berupa kata-kata yang bersifat vokal. Orang-orang Nias hanya mengenal tulisan Latin dengan sedikit pembedaan antara huruf e yang dibaca sebagai huruf “e” dengan huruf è yang ditulis sebagai “ö” dan dibaca è. Kemunculan tanda ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh bahasa dan tulisan Jerman yang disebut sebagai umlaut, misalnya: ä (die wände = dinding) ; ö (wörterbuch = kamus) atau ű (fűllen = mengisi) (Surjadi H., et al, 1988). Bahkan, bahasa Nias Selatan berusaha ditiadakan oleh misionaris Jerman karena dianggap agak rumit dan terkesan keras penuturannya sehingga tidak perlu dipertahankan. Akibatnya, dalam penulisan Alkitab pun di dalam bahasa Nias, menggunakan bahasa Nias Utara yang pada akhirnya “memaksa” warga Nias bagian selatan untuk memahami bahasa Nias Utara. (Laiya, 2006: 5). Kehadiran misionaris Jerman, Renish dari Barmen pada tahun 1865 menandai awal perubahan besar pada masyarakat kepulauan Nias. Dalam beberapa
71
tahun berikutnya, seluruh penduduk di bagian utara pulau Nias sudah memeluk agama Kristen. Sementara bagian tengah dan selatan Nias, menyerah bukan karena pengabaran Injil, melainkan karena politik yang brutal oleh Belanda. Pada awal tahun 1909, benda-benda seni kepercayaan dihancurkan dan disita dalam jumlah besar di Nias bagian selatan. (Gea, 7 Feb. 2013). Pergaulan masyarakat Nias dengan misionaris Jerman yang memberi kesan perdamaian dan bukan perang seperti yang dilakukan oleh Belanda, mempengaruhi masyarakat Nias Selatan dalam berperilaku, termasuk dalam sistem kepercayaan mereka. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama Kristen yang tidak percaya tahayul dan tidak memancing genderang peperangan, lambat-laun mempengaruhi budaya Nias Selatan. Tulisan Gea (2013) dalam kolom “sosbud” di kompasiana.com yang berjudul Ikatan Kuat antara Jerman dan Nias, sedikit menjelaskan mengenai pengaruh budaya Jerman terhadap kebudayaan Nias. Dicontohkannya, Bendera Jerman yang berwarna hitam, merah dan kuning, memang sangat dominan terhadap pakaian adat di Kepulauan Nias, baik Nias bagian utara maupun selatan. Pengaruh agama Kristen semakin kuat pada semua lini kehidupan masyarakat Nias Selatan, baik Katolik maupun Protestan. Hal-hal yang berbau mistis, tahayul dan penyembahan terhadap roh nenek moyang mulai ditinggalkan. Menurut penuturan budayawan Nias, Hikayat Manaö, pada tahun 1960, masih terjadi perang antara desa-desa maupun öri di Nias, meskipun tidak sesering pada dekade-dekade atau berabad-abad sebelumnya. Seiring dengan kemajuan pendidikan nasional, masyarakat mulai menyadari arti perdamaian, semakin
72
mendalami agama yang dianut, maka perang antar desa mulai menghilang. Fungsi hombo batu pun semakin terlupakan. Situasi yang aman dan kondusif ini, memungkinkan Bapak Sultan Hamengkubuwono IX untuk melakukan kunjungan ke Nias pada tahun 1974. Melihat potensi pulau Nias dengan budaya yang unik, mendorong beliau untuk mempromosikan Nias sebagai tujuan wisata. Hikayat Manaö bercerita bahwa, pada 1980-an, sering kapal pesiar berhenti di pelabuhan Teluk Dalam dan Lagundri. Dalam dekade yang sama, diadakan acara tahunan yang bernama “Pesta Ya'ahowu”.
Dalam acara ini, perlombaan atraksi hombo batu menjadi pionir
pariwisata budaya di Nias Selatan. 5.2.3 Pergeseran Makna Hombo Batu Ditinjau dari sejarahnya, makna hombo batu adalah sebagai sarana latihan untuk menjadi prajurit di Medan perang. Namun, peperangan sudah tidak ada lagi. Dengan demikian, apakah hombo batu akhirnya kehilangan maknanya? Dari beberapa catatan yang dikumpulkan lewat wawancara langsung terhadap pelompat batu baik yang sudah dewasa maupun yang masih muda, dapat ditarik kesimpulan bahwa makna lompat batu bagi para pelompat batu adalah sarana untuk mencapai tujuan dalam meraih masa depan, selain kebanggaan sebagai seorang patriot. Kalau makna hombo batu pada mulanya yang dicetuskan oleh Amada Samofo adalah untuk mempertahankan daerah Maenamolo dari serbuan Laraga sehingga keturunan Mölö masih ada hingga saat ini, maka makna hombo batu dewasa ini bagi generasi muda Maenamölö adalah untuk mencapai cita-cita dalam meraih masa depan yang lebih sejahtera.
73
Seperti yang dikisahkan oleh Hikayat Manaö selaku salah satu pelompat batu andalan Desa Bawömataluo pada era 1980-an, bahwa sebagai pelompat batu, memiliki pengharapan akan merubah masa depannya ke arah yang lebih baik. Terbukti, aksinya dalam melakukan lompat batu mengundang rasa kagum Pangdam II Bukit Barisan, Soesilo Soedarman ketika berkunjung ke Desa Bawömataluo awal tahun 1980. Mereka bertiga, Hikayat Manaö, Hadirat Manaö dan Fanahatödö Manaö dididik menjadi tentara. Meskipun dengan alasan pribadi, Hikayat Manaö akhirnya mengurungkan niatnya untuk menjadi tentara dan memilih untuk memajukan seni budaya di desanya, Bawömataluo. Selain untuk meraih masa depan, makna hombo batu bagi pelompat batu adalah sebagai kebanggaan untuk melestarikan tradisi unik yang tiada duanya ini. Hal ini diungkapkan oleh langganan juara lompat batu masa kini, Darius Bu’ulölö. “Kami cukup bangga kalau bisa melintasi batu itu. Kami berlatih terus, agar budaya ini tetap dapat kami warisi.” Ujar Darius yang berprofesi bukan sebagai atlit lompat tinggi, tapi sebagai pegawai honorer di Satpol PP Teluk Dalam. 5.3 Dekonstruksi Fungsi dan Makna Hombo Batu Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Singkatnya, dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari “suatu subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu”. Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas. Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi
74
dalam pemikiran Heidegger. Kata dekonstruksi bukan secara langsung terkait dengan kata destruksi melainkan terkait kata analisis yang secara etimologis berarti "untuk menunda"-sinonim dengan kata men-dekonstruksi. Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida, yaitu: pertama, dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi terus-menerus, dan ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan; kedua, dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan teks; ketiga, dekonstruksi bukan suatu kata, alat, atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpretasi. Meskipun secara luas, fungsi dan makna hombo batu akhirnya banyak “tergeser”, banyak meleset dengan apa yang dikisahkan dan diyakini para tetua adat di Nias namun hombo batu tetap menjadi daya tarik bagi wisatawan dewasa ini. Ada beberapa kesimpulan yang keliru mengenai fungsi dan makna hombo batu di Nias yang terdekonstruksi. Pertama, bagi pemuda Nias yang merantau dan ditanyakan status pernikahannya, ketika dia menjawab “sudah menikah”, seringkali disusul “pertanyaan-kesimpulan” seperti beberapa kalimat berikut ini: “Wah, berarti sudah bisa loncat batu dong?” “Oh, berarti jago lompat batu ya?” Kedua, di media sering kali ditulis bahwa hombo batu merupakan “tanda kedewasaan bagi pemuda Nias dan siap untuk menikah”. Ketiga, yang lebih ekstrim adalah bahwa pemuda Nias “tidak boleh menikah kalau belum mampu melompat batu.”
75
Benarkah fungsi dan makna filosofis hombo batu seperti pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan tersebut di atas? Hikayat Manaö sebagai Panglima Zaluaya di desa Bawömataluo mengatakan bahwa pengertian dan makna-makna seperti itu keliru. Hombo batu pada mulanya merupakan tolok ukur bagi para pemuda desa di daerah Maenamölö untuk dijadikan prajurit perang dalam menghadapi musuh yang mau menguasai daerahnya. Seiring perubahan jaman, dimana tidak ada lagi perang dan justru kekuatan ekonomi lebih dominan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka hombo batu pun berubah menjadi sarana latihan ketangkasan para pemuda desa, sebagai sarana olah raga lompat tinggi, dan sebagai tantangan untuk ikut perlombaan lompat batu pada setiap event yang diselenggarakan baik di daerah Nias Selatan, maupun di luar Nias, sebagai identitas kebangggaan terhadap ragam budaya nusantara. Bapak Emanuel Fau selaku keturunan pencetus lompat batu di Maenamölö, juga mempertanyakan asal kesimpulan yang menurut beliau kurang relevan itu. “Bagaimana mungkin semua pemuda Nias harus melompati batu setinggi itu?” Ujar Fau dengan nada heran. Kesimpulan-kesimpulan keliru yang disesalkan oleh Fau adalah sangat wajar sebab masing-masing orang memiliki kecakapan yang berbeda-beda. Lagi pula, pada mulanya, golongan seperti si’ulu tidak mungkin melakukan lompat batu. Justru golongan ini yang memilih prajurit lewat tantangan hombo batu sehingga pemuda yang haus akan pengakuan para si’ulu akan berusaha untuk dijadikan prajurit perang, demi memperoleh fondrakö atau hadiah dan penghargaan.
76
Hal senada dikatakan oleh Bapak Bajamaoso Fau selaku kepala adat Desa Bawömataluo. Beliau berkata bahwa pemaknaan ini tidak perlu ditanggapi namun perlu diluruskan. “Tidak benar bahwa mampu melompat batu sebagai syarat bagi pemuda Nias untuk menikah atau sebagai tanda kedewasaan.” Ujarnya. Bapak Bajamaoso menjelaskan bahwa yang menjadi lambang kemapanan dan dianggap dewasa adalah ketika seseorang pada jaman dahulu mampu fa’ulu yakni secara materi telah dapat mandiri sehingga dapat menjamu banua (warga desa) dengan menyembelih minimal sembilan ekor babi. Selain itu, pemuda yang bersangkutan juga mampu memenuhi permintaan jujuran yang diajukan oleh keluarga gadis yang mau dipinangnya, dalam ukuran batu gana’a (nilai karat emas). Beliau menambahkan bahwa kecenderungan saat ini, justru kemampuan ekonomi dan gelar pendidikan lebih diakui dan dibanggakan ketimbang gelar si’ulu hada. Dalam kehidupan bermasyarakat saat ini, böwö atau jujuran itu tidak boleh dilupakan, apalagi ditinggalkan. Perlu dilestarikan namun harus disesuaikan dengan perkembangan jaman. 5.3 Komodifikasi Hombo Batu
Gambar 5.3 Atraksi Hombo batu yang menjadi pionir Pariwisata di Desa Bawömataluo. Foto: nias-bangkit.com
77
“Tahap sejarah berikut ditandai munculnya pranata politik kerajaan besar. Kegiatan seni budaya dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar. Di luar istana masih berlangsung kegiatan seni budaya subsistens. Dalam istana berlangsung produksi seni budaya, yang dalam bahasa mutakhir kita dibilang profesional, dinamis, dan adiluhung. Hasil seni budaya yang berpusat di istana itulah yang beberapa abad kemudian dijadikan simbol kebanggaan bangsa-bangsa mutakhir dan dijual sebagai komoditas utama pariwisata.” (Heryanto, 2004: 229). Tulisan Heryanto di atas merupakan fenomena yang juga sedang dialami oleh kebudayaan Maenamölö, khususnya di Desa Bawömataluo. Lewat keunikan pertunjukan hombo batu, beberapa rentetan kegiatan atau ritual kebudayaan pada masa kerajaan di Maenamölö dikemas sedemikian menarik menjadi suatu produk pariwisata. Kegiatan-kegiatan tersebut yang mendukung pertunjukan hombo batu, antara lain: a. Tari Perang Tari Perang merupakan lambang kesatria para pemuda di desa-desa di Nias Selatan, untuk melindungi desa dari ancaman musuh, yang diawali dengan Fana’a atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan ronda. Pada saat ronda itu jika ada aba-aba bahwa desa telah diserang oleh musuh maka seluruh prajurit berhimpun untuk menyerang musuh. Setelah musuh diserang, maka kepala musuh itu dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja. Persembahan ini disebut juga dengan Binu. Sambil menyerahkan kepala musuh yang telah dipenggal tadi kepada raja, para prajurit itu juga mengutuk musuh dengan berkata “Aekhokhoi” yang berarti tanda kemenangan setelah di desa dengan seruan “He, Mitae” untuk mengajak dan menyemangati diri dalam memberikan laporan kepada raja di halaman,
78
sambil membentuk tarian Fadőlihia lalu menyerahkan binu itu kepada raja. Setelah itu, raja menyambut para pasukan perang itu dengan penuh sukacita dengan mengadakan pesta besar-besaran. Lalu, raja menyerahkan Rai, yang dalam bahasa Indonesia seperti mahkota kepada prajurit itu. Rai dalam suku Nias adalah merupakan tanda jasa kepada panglima perang. Tidak hanya Rai yang diberikan, emas beku juga diberikan kepada prajurit-prajurit lain yang juga telah ikut ambil bagian dalam membunuh musuh tadi. Kemudian, raja memerintahkan “Mianetogő Gawu-gawu Ba Gahemi”, dengan fatele yang menunjukkan ketangkasan dengan melompatlompat lengkap dengan senjatanya yang diebut Famanu-manu yang ditunjukkan oleh dua orang prajurit yang saling berhadap-hadapan.
Gambar 5.4 Tari Perang (Fatele) Khas Nias Selatan Foto: nias-bangkit.com
b. Tari Mogaele Mogaele pada dasarnya bukanlah sebuah tarian tapi lebih pada pertunjukan ritual penyambutan tamu yang sangat dihormati. Kepala Adat Desa
79
Hiliamaetaniha sekaligus ahli tutur Nias Selatan, Bapak Amuri Zohahau Wau mengatakan bahwa “Mogaele merupakan bentuk penghormatan terhadap Tamu Agung yang disambut oleh beberapa gadis atau wanita yang cantik, anggun dan juga dijunjung tinggi oleh semua orang oleh karena perilaku mereka yang sopan tutur katanya, memiliki kharisma dan terhormat.” Cara para gadis ini berjalan sangat pelan dan lembut sekali. Dalam bahasa Nias, cara berjalan ini disebut Mogaele atau ifahese vofanő (melangkah dengan telapak kaki diseret secara sangat perlahan dengan gerakan tangan seperti orang baris-berbaris) sehingga terkesan seperti orang sedang menari. c. Famadaya Harimao Famadaya Harimao dulunya adalah merupakan salah satu upacara religi kuno yang sakral sebelum agama Kristen masuk ke daerah Nias. Famatő Harimao itu merupakan perarakan patung harimau. Setelah patung itu diarak, kemudian dipatahkan dan dibuang ke dalam sungai atau air terjun dengan keyakinan bahwa segala dosa, pelanggaran, kesalahan yang telah mereka perbuat akan hanyut bersama dengan patung itu. Famatő Harimao, tidak ada kaitannya dengan hewan harimau yang sesungguhnya tidak terdapat di Nias. Patung ini sendiri anatominya seperti bentuk anjing berkepala kucing. Urutan atraksi Famatő Harimao ini adalah Fehugő yang berarti seruan agar bersemangat. Lalu Foalő yang bertujuan untuk menghimpun kekuatan dan tenaga dalam. Di sini butuh kekompakan team pada tiap
80
gerakan kaki yang diiringi dengan mengarak patung harimao. Tahap ketiga adalah Faluaya Si’őligő dengan menggunakan alat yang berarti pesertanya membentuk lingkaran mengerumuni untuk melindungi patung harimao sebagai penebusan. Dilanjutkan dengan Faluaya Si’őligő yang tidak memakai alat, ditarikan dalam suasana pesta yang bersukaria untuk menghormati tamu-tamu. Kini, setelah masyarakat memiliki agama dan hukum yang baru, maka upacara Famatő Harimao tidak dilaksanakan lagi. Namun, usaha pelestarian dan revitalisasi budaya lokal tetap dilakukan pada momenmomen tertentu. Upacara ini tidak lagi disebut dengan Famatő Harimao, tetapi diubah menjadi Famadaya Harimao (perarakan patung harimau).
Gambar 5.5 Ritual Famadaya Harimao di Nias Selatan. Foto: tourtonias.blogspot.com/2011_09_01_archive.html
d. Tari Maena Maena merupakan sebuah tarian yang sangat mudah dan sederhana, tetapi mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang
81
tak kalah menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Dibandingkan dengan tari baluse/tari perang, maena tidak memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir semua orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa sesuai dengan event di mana maena itu dilakukan. Pantun maena (fanutunõ maena) biasanya dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena, sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena. Syair maena bersifat tetap dan terus diulangulang/disuarakan oleh peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantunpantun maena, sampai berakhirnya sebuah tarian maena. Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertutur bahasa Nias (amaedola/dumaduma). Seiring oleh perkembangan peradaban yang semakin canggih dan moderen, pantun-pantun maena yang khas li nono niha (disyairkan dalam bahasa Nias) sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya. Hal ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-acara maena di kota-kota besar. Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya.
82
Gambar 5.6 Tari Maena Sebagai Tarian Kolosal suku Nias. Foto: NBC.
Teluk Dalam merupakan pusat kebudayaan Nias, khususnya di Nias Selatan, seperti telah disinggung pada Bab IV. Dari daerah yang menjadi pusat kebudayaan Nias Selatan ini, mencuat ke permukaan sebuah desa yang sangat besar hingga kesohor ke seluruh dunia yakni desa Bawömataluo. Pada berbagai media yang membahas pariwisata Nias, hampir dipastikan bahwa Desa Bawömataluo menjadi salah satu bagian yang diulas. Beberapa faktor yang menjadikan Desa Bawömataluo sebagai icon pariwisata budaya di Nias Selatan antara lain: Pertama, desa ini banyak menghasilkan pelompat andal dari generasi ke generasi, sebut saja pada era 1980-an terdapat nama-nama populer seperti Hikayat Manaö yang masih eksis dalam berkarya di Desa Bawömataluo saat ini dengan menciptakan berbagai syair dan lagu populer berbahasa khas Nias Selatan. Hikayat Manaö juga telah didaulat menjadi Panglima Zaluaya (Panglima dalam Tari Perang) serta sebagai penemu alat musik feta batu yaitu sejenis alat musik yang terbuat dari batu. Pelompat batu di era Hikayat yang tidak kalah beken di kalangan masyarakat Nias Selatan adalah Hadirat Manaö, mantan ketua DPRD Nias Selatan periode 2005-2010. Nama-nama populer lainnya yang menjadi langganan pelompat
83
batu terbaik antara lain pada era 1990-an Haezisökhi Nehe, Tafo Nehe, Ritus Wau dan Karasi Wau. Regenerasi pelompat batu berikutnya pada era 2000-an tersebut nama-nama Fondara Zagötö, Toni Wau dan Elfis Wau. Ketiga nama ini santer jadi juara favorit bila ada event perlombaan hombo batu di Nias Selatan. Pelompat batu masa kini seperti Darius Bu’ulölö, Imran Manaö, dan Idealis Nehe merupakan andalan Desa Bawömataluo dalam melakukan atraksi hombo batu baik untuk keperluan atraksi atas kunjungan turis maupun dalam perlombaan atau untuk keperluan promosi pariwisata Nias Selatan. Kedua, Desa Bawömataluo memiliki Omo Ni Fobawa Lasara yang berusia lebih dari seratus tahun. Rumah ini terbuat dari kayu-kayu kuno raksasa. Rumah panggung ini memiliki arsitektur yang unik sebab sama sekali tidak terdapat paku dalam membentuk bangunan ini. Rumah-rumah adat di Nias Selatan terbuat dari kayu dan rata-rata tahan terhadap gempa. Kondisi ini teruji kembali ketika Kepulauan Nias dilanda gempa dahsyat pada 28 Maret tahun 2005 silam. Kekuatan gempa ini tercatat pada skala 8.7 SR dan termasuk top 10 gempa terdahsyat yang pernah terjadi di dunia. Wikipedia.org mencatat gempa ini sebagai gempa terdahsyat pada urutan keenam yang pernah melanda bumi. Uniknya, tidak ada laporan yang memberitakan bahwa rumah-rumah adat di Nias Selatan yang hancur oleh karena terpaan gempa tersebut. Justru banyak korban yang dilaporkan meninggal dunia adalah di daerah perkotaan seperti kota Gunung Sitoli dan kota Teluk Dalam. News.detik.com bahkan melaporkan sehari setelah gempa itu bahwa Gempa Nias, Gunung Sitoli dan Teluk Dalam Luluh Lantak. (Asydhad, detik.com:
84
29 mar 2005). Tidak kurang dari seribu nyawa melayang. Namun anehnya, 80 persen korban terjadi di Gunung Sitoli dan kota Teluk Dalam. Kejadian yang aneh itu mengundang penasaran setiap orang di seantero dunia. Mengapa di perkampungan tidak ada rumah yang rusak dan tidak terdapat korban jiwa seperti di perkotaan? Laporan terakhir dari situs niasonline.net menyebutkan bahwa tim ahli gempa dari Jepang sedang melakukan penelitian di Desa Bawömataluo, dengan fokus penelitian pada rumah-rumah adat Nias yang telah teruji tahan terhadap gempa. Dengan iming-iming akan membantu menggoalkan desa ini menjadi world heritage, tim ini terus melakukan penelitian sejak tahun 2012 hingga saat ini. Barangkali, Jepang ingin belajar arsitektur dari Nias Selatan, sebab seperti yang kita ketahui bahwa Jepang juga sangat rawan terhadap bencana gempa bumi. Ketiga, arsitektur perkampungan Bawömataluo yang sangat menarik. Berdiri di sebuah bukit dengan ketinggian sekitar 1.313 kaki di atas permukaan laut, memiliki areal pedesaan seluas ±5 Hektar. Sebelum memasuki desa ini, para pengunjung terlebih dahulu melewati pintu gerbang masuk desa dimana terdapat anak tangga yang tersusun dari batu pahat sebanyak 88 tingkat dari kaki bukit menuju puncak perkampungan. Sepanjang halaman desa ini ditutupi dengan batu pipih dengan berbagai jenis ukiran batu yang monumental. Lebih dari 140 unit rumah adat tradisional tersusun rapi dan saling berhadap-hadapan. Pada bagian tengah desa ini berdiri sebuah Omo Ni Folasara. Letaknya di atas bukit, membuat desa ini dapat menikmati daerah sekitar seperti Pantai Lagundri atau Sorake di bagian timur, Desa Orahili dan beberapa desa lainnya yang terletak agak di bawah
85
bukit. Tingginya Omo Ni Folasara, atapnya juga terlihat dari beberapa titik strategis di Nias Selatan, seperti dari desa Botohilitanö, Pantai Sorake atau di daerah kecamatan Maniamölö yang berhadapan dengan kampung ini. Keempat, batu-batu megalit masih terawat di desa ini. Pada setiap rumah adat si’ulu pasti terdapat batu megalit yang disebut sebagai batu va’ulu oleh masyarakat setempat. Batu-batu ini adalah lambang kebesaran tokoh tertentu di desa tersebut. Batu-batu megalit ini sering juga diistilahkan sebagai daro-daro jibihasa (tempat duduk orang tua, yang sudah meninggal) oleh masyarakat Nias Selatan. Uniknya, daro-daro ini dibentuk seperti bangku yang memanjang dengan ukiran khas Nias Selatan sehingga dapat digunakan sebagai sebagai tempat duduk secara beramai-ramai.
Gambar 5.7 Batu-Batu Megalit berupa daro-daro va’ulu. Foto: Wau, 2011.
Kelima, di desa ini terdapat berbagai kerajinan tangan khas Nias yang dikumpulkan dalam galeri seni Gaule Ana’a yang juga sekaligus sebagai tempat kediaman kepala Desa Bawömataluo, Ariston Manaö. Ratusan jenis kerajinan tangan yang merupakan alat tradisional kegiatan sehari-hari masyarakat Nias Selatan dapat ditemukan dan dipesan di galeri ini.
86
Semua daya tarik tersebut di atas menjadi pusat perhatian dunia yang berujung pada kegiatan pariwisata berbasis budaya dengan kalimat lain, bahwa keunikan dan daya tarik ini pada akhirnya “diusahakan” menjadi sebuah komoditi yang membawa keuntungan bagi pelaku dan masyarakat yang terlibat di dalamnya. Komodifikasi hombo batu di Desa Bawömataluo, dapat disaksikan melalui sanggar Seni Baluseda yang dipelopori oleh Hikayat Manaö yang akan selalu siap menyajikan acara seni musik dan tarian tradisional beserta atraksi hombo batu bila ada permintaan atau keinginan dari pengunjung untuk menyaksikan langsung atraksi tersebut.