perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERUBAHAN BENTUK, FUNGSI, DAN MAKNA TARI SRIMPI LUDIRAMADU Tesis Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Derajad Magister Program Studi Kajian Budaya Minat Utama : Perubahan Sosial Budaya
Oleh : SAWITRI S701008007
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2012
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Berdirilah di jalan-Nya, niscaya Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu. (QS. AL. Mujadillah:11)
Cita-cita dapat terwujud berawal dari mimpi, dan dibarengi dengan doa dan usaha yang tidak mengenal putus asa. (Penulis)
“Makin besar dan mulia suatu tujuan yang akan dicapai, makin jauhlah jalannya dan makin banyak rintangannya menuju kepada cita-citanya itu” (Imam Ghazali)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini kupersembahkan untuk : 1. Drs. Narman, MM, Kepala Sekolah SMA N 1 Mojolaban 2. Drs. Djiwandono, M.Pd, dan Nurnaningsih, S.S, M.Hum selaku Kaprodi, dan Sekprodi Bahasa dan Sastra Daerah Universitas Bangun Nusantara Sukoharjo 3. Sukinem Yoko Suparto, Ibunda yang sangat saya cintai dan hormati serta Ayah yang telah tiada 4. Agus Mariyadi, Varageta Leileta Ramadhani dan Nadeo Gibran Pandu Ramadhan
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “Perubahan Bentuk, Fungsi dan Makna Tari Srimpi Ludiramadu”, untuk memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan studi pada Universitas Sebelas Maret Surakarta Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Program Studi Kajian Budaya di Surakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, niscaya penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.Pd, selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Drs. Riyadi Santoso, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta 3. Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum, selaku Pembimbing I, yang dengan tekun dan sabar telah memberikan pengarahan serta petunjuk yang sangat berharga 4. Dr. Warta, M.Hum, selaku Pembimbing II, yang penuh perhatian dalam memberikan bimbingan sejak awal hingga selesainya penulisan Tesis ini 5. Seluruh
Bapak/Ibu
Dosen
Pengampu
Program
Kajian
Budaya
Pascasarjana Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Wahyu Santoso Prabowo, S.Kar, M.S, memberikan informasi sejarah asalusul dan keberadaan Tari Srimpi Ludiramadu di era sekarang. 7. I Nyoman Chaya, S.Kar, M.S, dengan sabar memberikan data yang dibutuhkan dalam penulisan Tesis ini commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. I Nyoman Putera Adyana, S.Kar, M.Hum, dengan ikhlas memberikan data yang membantu terselesainya tesis dan memberikan dorongan yang berarti bagi penulis 9. Seluruh teman seperjuangan angkatan 2010 Program Studi Kajian Budaya Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. 10. Civitas Akademika Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta 11. Sukinem Yoko Suparto, Ibundaku tercinta yang telah memberikan dorongan 12. Agus
Maryadi, Suamiku
tercinta yang banyak berkorban demi
terselesainya studi penulis di Perguruan Tinggi 13. Anak-anakku tercinta Varagetha Leiletha Ramadhani, Nadeo Gibran Pandu Ramadan Dan segenap rekan yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, yang telah turut memberikan dorongan bagi terwujudnya tesis ini. Semoga amal dan kebaikan beliau-beliau dapat berkenan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Penulis juga menyadari bahwa tesis ini jauh dari kata sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis mahasiswa Program Studi Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret dan umumnya bagi pemerhati Seni Tradisi.
Surakarta, Februari 2012
Sawitri S701008007
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Tari Srimpi Ludiramadu (Sawitri, 2012, 246 halaman). Tesis, S.2, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Kajian Budaya, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Surakarta merupakan salah satu varian kebudayaan Jawa yang kaya akan bentuk seni tradisi klasik. Surakarta yang berdampak pada keberadaan seni tradisi keraton. Oleh sebab itu penelitian ini untuk mengetahui sejarah dan asal-usul Tari Srimpi Ludiramadu dan perubahan dalam masyarakat pendukungnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan makna sebelum berubah dan setelah mengalami perubahan termasuk faktor-faktor yang membuat dampak dalam perubahan. Selain itu juga untuk mengetahui proses perubahan dan mengetahui bentuk, fungsi, dan makna. Tari Srimpi Ludiramadu dalam rangka untuk pengembangan wawasan ilmu pengetahuan dibidang seni, dan khususnya untuk melihat keanekaragaman budaya di Indonesia. Manfaat yang lain sebagai identifikasi diri dan sebagai komunikasi lewat kebudayaan. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif yang dilandasi oleh tiga teori, yaitu estetika, teori perubahan sosial, dan teori struktural fungsional. Teori estetika digunakan untuk melihat masyarakat Jawa khususnya Surakarta melihat kebudayaan khususnya pada seni tradisional klasik lewat seni pertunjukan tari. Teori strauktural untuk melihat dan menjelaskan perubahan fungsi seni tradisi klasik pada masyarakat pendukungnya dan teori perubahan sosial budaya untuk mengungkap keberadaan seni tradisi keraton yang mengalami perubahan pada makna sehingga mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap seni tersebut dan untuk memberikan warna penelitian kajian budaya (culture studies). Untuk memperoleh data dilakukan tiga cara : observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Lokasi penelitian secara kewilayahan berada di wilayah Propinsi Jawa Tengah khususnya Karesidenan Surakarta yang meliputi Kabupaten Sukoharjo, Sragen, Boyolali, Karanganyar. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Seni Tradisi Klasik Keraton dapat mengalami pada perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna. Perubahan pada bentuk disebabkan pada kebutuhan fungsi pertunjukan tari untuk pementasan sebagai pariwisata budaya, festifal seni, misi kesenian, materi perkuliahan, materi anak SMK, pekan seni pertunjukan, dan apresiasi seni. Bentuk berubah juga pada pengurangan vokabuler-vokabuler gerak dengan cara dirubah dengan proses pemadatan tari, pengurangan pada sekaran-sekaran, intensitas gerak. Pada iringan mengalami perubahan pada pengurangan gendhing-gendhing yang dirasa terlalu diulang-ulang dengan proses pemadatan fungsi ritus / ritual akhirnya berubah. Perubahan juga terjadi pada rias dan busana karena menyesuaikan fungsi untuk acara yang akan dipentaskan misal untuk acara dikeraton dan di luar keraton mengalami perbedaan yang sangat mencolok di luar lebih untuk kebutuhan praktis, ekonomis dan provan sehingga kebutuhan mistis / religius tidak ada. Perubahan juga terjadi pada durasi waktu pementasan yang awalnya 2-3 jam sampai hanya 15-18 menit. commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Adapun faktor yang mempengaruhi dan berdampak pada perubahan pada faktor internal, penonton dan seniman serta faktor eksternal, politik, ekonomi, sosial, konotasi, dan teknologi sehingga keberlanjutan Tari Srimpi Ludiramadu tidak lepas dari kalangan pemerhati / pecinta budaya untuk berupaya melestarikan sehingga unsur pelaku seni, penonton, penyelenggaraan, dan tokoh masyarakat serta masyarakat Jawa sangat penting. Seni Tradisional Klasik yang berwujud Tari Srimpi Ludiramadu kehadirannya selain untuk hiburanyang estetik (indah), namun juga untuk pengungkapan makna yang religius, sakral, magis tergantung masyarakat yang memaknai dan kembali pada individu masyarakat. Perkembangan kehidupan Tari Srimpi Ludiramadu yang mengangkut pelestarian seni diawali pada tahun 1970. Adapun perkembangan yang berdampak perubahan menyangkut bentuk, fungsi, dan makna. Pada bentuk berdampak adanya perubahan bentuk penyajian, pengurangan sekaran-sekaran, gerak. Bentuk sajian yang hadir untuk berbagai kepentingan dan fungsi yaitu pariwisata, materi kuliah, lomba, apresiasi seni, dan festifal. Pada fungsi sebagai hiburan untuk berbagai keperluan pada lingkup yang lebih luas. Pada makna, berdampak makna yang semakin menipis bahkan tidak bermakna, dengan hadirnya nuansa berbagai kepentingan pribadi dan golongan serta kalangan akademika. Kata kunci : Seni Tradisional Klasik Keraton, Perubahan, Bentuk, Fungsi dan Makna
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT The Change of Form, Function, and Meaning of Srimpi Ludiramadu Dance (Sawitri, 2012, 246 pages). Thesis, S.2, Faculty of Letters and Fine Arts, Cultural Study, Surakarta Sebelas Maret University. Surakarta is one variant of Javanese cultures rich of classical traditional art form. Surakarta affects the existence of court traditional art. For that reason, this research aims to find out the history and origin of Srimpi Ludiramadu Dance and the change of its supporting community. This research aims to find out the form, function, and meaning before and after changing including the factors contributing to the change. In addition, it also aims to find out the process of change and to find out the form, function and meaning of Ludira Srimpi Dance in the attempt of developing insight into art field and particularly of seeing the cultural variability in Indonesia. Another advantage of this research is as self identity and as the communication means through culture. This research employed a descriptive qualitative method based on three theories: esthetic, social change, and structural functional. The esthetic theory was used to see the Javanese society particularly Surakarta to see the cultural particularly the classical traditional art through dance performance art. The structural theory to see and to explain the change of classical traditional art function in its supporting community and the social cultural change theory to reveal the existence of court traditional art undertaking change of meaning thereby affecting the community’s perspective on the art and coloring the culture studies. To collect the data, three methods were used: observation, interview, and library study. The research was taken place in Central Java Province, particularly Surakarta Residency including Sukoharjo, Sragen, Boyolali and Karanganyar Regencies. Based on the result of research, it could be concluded that the Court Classical Traditional Art can change in form, function, and meaning. The change of form was due to the need for dance performance function as the cultural tour, art festival, art mission, lecture material, vocational middle school material, performing art fair, and art appreciation. The form also changed in the reduction of movement vocabularies, by means of compressing the dance, reducing sekaran, and movement intensity. In the term of accompanying music, it changed by reducing the gendhing considered as too much repeated with the process of ritual function compression. The change also occurred in makeup and fashion to adjust with the function of event that would be performed, for example, for the event commit user inside or outside the court that had largetodifference because that for outside the
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
court was more for practical, economic and profane needs so that there was no mystical and religious need. The change also occurred in duration of performance from 2-3 hours to only 15-18 minutes. The factors affecting and contributing to the change included internal factor: spectator and artist, and external factors: political, economical, social, connotation, and technology so that the sustainability of Srimpi Ludiramadu Dance was not separated from the cultural lovers to attempt to preserve it so that art performer, spectator, organization, and public figure as well as Javanese society were very important. The existence of Classical Traditional Art in the form of Srimpi Ludiramadu Dance, in addition to be an esthetical (beautiful) entertainment, served to reveal the religious, sacred, and magic meanings depending on the community defining it and returned back to the individual society. The development of Srimpi Ludiramadu Dance life pertaining to the art preservation was began in 1970. The development affecting the change of meaning, function, and meaning. In the term of form, it affected the change of presentation form, sekaran-sekaran reduction, and movement. The presentation form present for a variety of interest and functions such as tourism, lecture material, competition, art appreciation, and festival. In the term of function, it served as an entertainment for a wide range of needs. In the term of meaning, the meaning of it increasingly attenuated, in the presence of nuance of various personal and class as well as academician interests. Keywords: Court Classical Traditional Art, Change, Form, Function and Meaning
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................
iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................
iv
MOTTO ..................................................................................................................
v
PERSEMBAHAN .................................................................................................
vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii ABSTRAK .............................................................................................................
ix
DAFTAR ISI .......................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ................................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xvii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xix BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah ...............................................................
1
1.2. Masalah Penelitian ........................................................................
9
1.2.1. Identifikasi Masalah .........................................................
9
1.2.2. Pembatasan Masalah .......................................................
9
1.2.3. Perumusan Masalah ......................................................... 10 1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................... 10 1.3.1. Tujuan Umum .................................................................. 10 1.3.2. Tujuan Khusus .................................................................. 11 1.4. Sistimatika Penulisan ................................................................... 11 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 14 2.1. Kajian Pustaka................................................................................ 14 2.2. Penelitian Terdahulu ................................................................... 33 2.3. Kerangaka Pemikiran..................................................................... 38
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 39 3.1. Bentuk dan Strategi ...................................................................... 39 3.2. Sumber Data .................................................................................. 40 3.3. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 42 3.4. Validitas Data ............................................................................... 46 3.5. Teknik Analisis Data dan Penyajian Data .................................. 48 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 50 4.1. Asal-Usul dan Proses Penciptaan Tari Srimpi ludiramadu ........ 50 4.2. Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna yang Lama ke makna yang Baru ..................................... 52 4.3. Proses Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Lama ke Makna Yang Baru Tari Srimpi Ludiramadu ............................................ 81 4.4. Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Pada Tari Srimpi Ludiramadu .................................. 139 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 145 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 145 5.2 Saran .............................................................................................. 149 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 150 GLOSARIUM ........................................................................................................ 156 LAMPIRAN NARA SUMBER BIODATA PENULIS
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Paket pariwisata budaya .......................................................................
commit to user
xv
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran ......................................................................
38
Gambar 2. Trianggulasi .....................................................................................
47
Gambar 3. Bagan proses analisis data ..............................................................
49
Gambar 4. Gawang Srimpi Ludiramadu .........................................................
91
Gambar 5. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Maju Beksan .............................. 165 Gambar 6. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Sekaran Jengkeng ...................... 165 Gambar 7. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Tolehan Menthang Asto .............. 166 Gambar 8. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Gerak Engkyek Ludira ................. 166 Gambar 9. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Gawang Gingsul ........................... 167 Gambar 10. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Kebyok Sampur .......................... 167 Gambar 11. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Maju Beksan ............................... 168 Gambar 12. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Duduk Trapsila ........................... 168 Gambar 13. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Nekuk Sampur ............................ 169 Gambar 14. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Ukel Seblak Sampur .................. 169 Gambar 15. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Menthang Asta ............................ 170 Gambar 16. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Ridhong Sampur ......................... 170 Gambar 17. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Kipat Srisik ................................. 171 Gambar 18. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Beksan Laras ............................... 171 Gambar 19. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Ukel Adu Manis .......................... 172 Gambar 20. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Trap Netra Kenseran ................. 172 Gambar 21. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Umpang Asto .............................. 173 commit to user
xvi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 22. Posisi Tari Srimpi Ludiramadu Mundur Beksan .......................... 173 Gambar 23. Srimpi Lagudhempel sajian untuk wisatawan mancanegara di Bangsal Smarakata Keraton Kasunanan Surakarta ...................... 174 Gambar 24. Srimpi Sangapati yang dikenal sebagai “srimpi gelas” gaya Kasunanan Suakarta ....................................................................... 174 Gambar 25. Wireng Bandayuda sajian tari untuk wisatawan mancanegara di Bangsal Smarakata Keraton Kasunanan Surakarta ...................... 175 Gambar 26. Wireng Lawung sajian tari kemasan di Bangsal Smarakata Keraton Kasunanan Surakarta ....................................................... 175 Gambar 27. Srimpi Ludiramadu sekarang untuk paket wisata di Bangsal Smarakata Keraton Kasunanan Surakarta ..................................... 176 Gambar 28. Srimpi Ludiramadu sekarang untuk penyambutan tamu untuk upacara pernikahan di Pendopo ISI Surakarta .............................. 176 Gambar 29. Srimpi Ludiramadu sekarang untuk penyambutan tamu untuk upacara pernikahan di Pendopo ISI Surakarta .............................. 177 Gambar 30. Srimpi Ludiramadu sekarang untuk Pager Ayu Pada saat pasrah manten untuk upacara pernikahan di Pendopo ISI Surakarta ...... 177 Gambar 31. Penari
Srimpi
jengkeng
Ludiramadu
sedang
melakukan
gerakan
di depan para tamu undangan di Pendopo ISI
Surakarta ......................................................................................... 178 Gambar 32. Penari Srimpi Ludiramadu sedang berfoto bersama kedua mempelai di Pendopo ISI Surakarta .............................................. 178 commit to user
xvii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Daftar Pertanyaan Peneliti ..................................................... 162
Lampiran 2.
Gambar Srimpi Ludiramadu di Keraton ............................... 165
Lampiran 3.
Srimpi Ludiramadu Di Luar Keraton (Pembawaan dan Tugas Akhir Mahasiswa ISI Surakarta dan Siswa SMKN 8 surakarta) ................................................................................ 168
Lampiran 4.
Repertoar Untuk Paket Pariwisata di Keraton Kasunanan Surakarta ................................................................................. 174
Lampiran 5.
Diskripsi Karawitan Tari Srimpi Ludiramadu
Utuh
Sebelum Mengalami Perubahan............................................. 179 Lampiran 6.
Diskripsi Tari Srmpi Ludiramadu setelah
mengalami
Perubahan (Pemadatan) .......................................................... 188 Lampiran 7.
Diskripsi Karawitan Tari Srimpi Ludiramadu Padat ........... 195
Lampiran 8.
Rekapitulasi Makna dan Fungsi setelah Mengalami Perubahan ............................................................................... 203
Lampiran 9.
Rias dan Busana ...................................................................... 218
Lampiran 10.
Perubahan Fungsi ................................................................... 220
Lampiran 11.
Matrik Hasil Penelitian Tari Srimpi Ludiramadu ................ 221
commit to user
xviii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya di bidang kebudayaan yang berwujud Tari, upacara tradisional peninggalan sejarah, peninggalan yang berwujud Tari Tradisional Klasik banyak ragam : misal Bedhaya dan Srimpi yang di dalamnya dengan berbagai ragam bentuk, fungsi, dan makna yang mencerminkan budaya Indonesia yang kental dan mengakar pada keraton. Kebudayaan merupakan suatu sistem dari tatanan kehidupan manusia, karena kebudayaan suatu masyarakat dengan anggota masyarakatnya sendiri tidaklah terpisahkan sebagai salah satu hasil dari kebudayaan suatu masyarakat adalah kesenian, karena hasil dari masyarakat adalah kesenian itu sendiri tentunya tidaklah terlepas dari berbagai segi tata kehidupan manusia dan masyarakat. Dalam hal ini Umar Kayam menjelaskan sebagai berikut : “Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri masyarakat yang menyangga kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang menyangga kebudayaan dan demikian juga kesenian-mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru”. (Umar Kayam, 1981:38) Kesenian dapat dipahami dalam konteks makna sosial yang terkandung didalamnya yang mencerminkan keserasian antara kesenian dengan nilai-nilai yang mendasar atau pandangan hidup masyarakat sebagai mana keberadaan tari tradisi Jawa tidak terlepas dari tatanan kehidupan masyarakatnya, baik yang commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bersifat sakral atau hubungan manusia dengan sesuatu yang dikeramatkan atau disakralkan / suci maupun profan atau hubungan manusia dengan manusia lain. Keanekaragaman khasanah kesenian yang berwujud seni tradisi keraton yang mengandung sifat-sifat sakral pada dasarnya terkait dengan adanya ungkapan-ungkapan yang tercipta pada peristiwa-peristiwa upacara yang masih dipengaruhi budaya keraton dan adanya kepercayaan lama. Tari Tradisional yang kita kenal sekarang terdiri dari Tari Tradisional Surakarta dan Yogyakarta. Menurut karya sastra yang menyertai asal-usul penciptaannya selalu dikembalikan kepada raja-raja yang berkuasa pada saat itu, seperti panembahan
senopati, Sultan
Agung, Hamengku
Buwana dan
Mangkunegaran Pakubuwana. Hal in sangat erat kaitannya dengan ciptaan tari yang diciptakan oleh raja memiliki kedudukan yang lebih tinggi, karena dipercaya kedudukan raja bersifat sama seperti dewa, yang berkuasa pada negara makrokosmos dan mikrokosmos (Deliar Noer Penter, 1982:16). Semua hasil karya seni penciptaannya dikembalikan kepada raja karena raja adalah pusat kekuasaan, raja di atas segalanya. Raja sebagai tokoh besar dinasti Mataram Baru, dianggap sebagai pencipta Tari Tradisional Jawa yang kita kenal sekarang salah satunya Tari Srimpi Ludiramadu (Wahyu Santoso Prabowo, 1990:2). Tari Srimpi Ludiramadu merupakan salah satu karya seni yang lahir pada masa pemerintahan Paku Buwana IV (1618-1748) Jawa atau 1790-1820 Masehi). Tari ini diciptakan oleh Hamengkunagara III (Putra Paku Buwana IV) setelah naik tahta bergelar Paku Buwana V, memerintah pada tahuun 1820-1823 Masehi). commit to user
2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Secara implisit diungkapkan oleh pradja pangrawit bahwa tari Srimpi Ludiramadu diciptakan oleh Hamengkunagara III penciptaannya diawali dengan penciptaan Gendhing Ludiramadu dan dianggap sebagai tari Srimpi yang pertama di Keraton Kasunanan Surakarta (PrajaPangrawit 1990:110-111). Karya Seni Tari, Karawitan, Sastra, Kriya diciptakan Hamengkunagara III dan karya tari memiliki ciri dan karakter hampir sama. Hal tersebut tidak jauh menyimpang dari pemaparan Herbert Read bahwa karya seni terpengaruh tiga hal, yaitu periode, generasi dan individu seniman (Read 1973:40). Tari Srimpi Ludiramadu
secara
konvensional
diyakini
sebagai
salah
satu
karya
Hamengkunagara III. Kemungkinan memiliki ciri dan sifat yang secara umum melekat pada karya seni yang lahir pada masa Paku Buwana IV. Diungkapkan oleh Pradjapangrawit bahwa hampir sebagian besar karya Hamengkunagara III yang lahir pada masa Pakubuwana IV memiliki rasa halus, gecul dan prenes (lincah, kenes) disini seperti watak kijang yang lincah. Hal ini cenderung dipengaruhi oleh individu seniman (Hamengkunagara III) (Pradjapangrawit 1990:110). Hasil kebudayaan apalagi yang berhubungan dengan karya selalu berkembang menyesuaikan ruang dan waktu. Tari Srimpi melewati perjalanan sejarah melewati waktu ke waktu hingga zaman kemerdekaan bahkan kini telah memasuki era modern dimana perkembangan dinamika, kehidupan berbudaya mengalami
perubahan
yang
begitu
drastis
memberi
dampak
terhadap
perkembangan segi-segi kehidupan budaya yang senantiasa harus tunduk pada perubahan nilai-nilai kehidupan zaman. commit to user
3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tanpa adanya gangguan yang disebabkan oleh masuknya unsur budaya asing sekalipun suatu kebudayaan dalam masyarakat tertentu, pasti akan berubah dengan berlalunya waktu. Dalam setiap kebudayaan selalu ada kebebasan tertentu pada para individu memperkenalkan varisai dalam caracara berlaku dan variasi itu yang pada akhirnya dapat menjadi milik bersama dengan demikian di kemudian hari menjadi bagian dari kebudayaan (Ihromi, 1981:32). Seni tradisi sebagai bentuk karya seni warisan budaya telah mengalami proses perjalanan yang panjang sudah barang tentu dalam perjalanannya banyak mengalami perubahan an perkembangan sesuai dengan zaman. Seperti disebutkan Humardani dalam buku “kumpulan kertas tentang tari”:…. Kesenian kita, juga tari tradisi sekarang, yaitu kegiatan kita dalam kehidupan kesenian sekarang, demikian adalah dan tidak dapat lain dari kegiatan budaya kita sekarang, yaitu kami dan kontemporer sifatnya. Kesenian sebagai wujud garap medium merupakan sarana bagi seniman dalam menyampaikan pesan atau pengalaman jiwa kepada orang lain. Dengan demikian wujud/bentuk dan kehidupannya tidak akan dapat dipisahkan dengan manusia sebagai pelaku budaya pada zamannya. Seperti halnya pada tari tradisi sebagai salah satu cabang seni tradisi, keberadaan dan kehidupannya akan selalu menyesuaikan dengan kehidupan manusia pada zamannya. Bertolak dari pemikiran tersebut diatas tari tradisi yang hidup sekarang merupakan kesinambungan atau kelanjutan dari tradisi masa lampau dalam hal ini adalah tari tradisi kraton untuk itu pengkajian atau pembahasan masalah tari tradisi baik dari segi konsep maupun wujud garapnya tidak akan dapat dilepaskan dari akarnya, yaitu tradisi masa lampau. Kehidupan Tari tradisi kita mengenal bentuk, jenis garap, fungsi yang ada pada Tari Srimpi (Srimpen). Bentuk garap tari mulanya lahir dan berkembang commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilingkungan kraton. Tari Srimpi yang ditarikan empat orang penari putri dengan rias dan busana sama yang merupakan kerabat keraton, disebutkan Nanuk Rahayu dalam buku laporan penelitian tentang “Tari Tradisi Keraton”. Pada perjalanan waktu Tari Srimpi kini menyebar dan hidup subur diluar tembok keraton, bahkan kini banyak srimpen yang disusun oleh seniman-seniman muda diluar tembok keraton tembok keraton diantaranya Srimpi Singasari disusun Dwi Maryani, Srimpi Rarasati disusun Dewi Kristianti, Srimpi Jayaningsih, disusun oleh Sunarno dan lain-lain. Seni yang awalnya hidup didalam tembok keraton menyesuaikan zaman karena seni cenderung fleksibel sehingga bentuk, fungsi dan maknapun mengalami berbagai perubahan begitu juga perkembangan yang terjadi pada Srimpi Ludiramadu yang banyak mengalami perubahan. Kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa setiap karya seni tidak dapat diepaskan dengan lingkungan sosial budaya. Dengan kata lain bahwa antara senman, kaya seni dan masyarakat ada pengaruh timbal balk dan tak dapat dipisah-pisahkan. Hal ini juga berlaku dalam dunia pewayangan. Dapat dikatakan bahwaseni selalu menyertai perjalanan hidup manusia sepanjang sejarah tidak mungkin ditemuan kehidupan masyarakat tanpa seni, demkan ula seni tanpa makna sosial, sampai dengan saat ini (Read dalam Sutopo, 1991:2.) Perkembangan Seni Tari Keraton dewasa ini menunukkan kecenderungan lebih subur ke arah hiburan dibanding dengan aspek siritual (kejiwaan yang kreatif). Perkembangan penyajian Tari Srimi Ludiramadu yang demkian elah commit to user
5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimulai sejak + setelah 1945 dan sekitar tahun 1970 pemerintahan tidak lagi ditangan raja melainkan pemerintah /walikota. Modernisasi merupakan proses yang mengadaptasi institusi-institusi yang berkembang dalam sejarah kepada fungsi-fungsi yang berubah dengan cepat yang mencerminkan pertumbuhan pengetahuan manusia, suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya (Notosusanto, 1985:51) berbagai masalah timbul akibat proses modernisasi. Dalam warisan budaya tradisioal tejadi perongrongan, sehingga menimbulkan ketidakpastian fundamental dibidang norma dan nilai. Oleh sebab itu masyarakat yang mengalami perubahan sosial yang cepat menyebabkan warganya kehilangan identitasnya, atau menurut Sartono Kartodirjo masyarakat kita sedang kebingungan. Pergaulan kebudayaan makin hari semakin komplek dan cenderung mengarah globalissi sehingga muncul kekhawatiran bahwa bentuk-bentuk kesenian tradisional kemungkinannya akan tenggelam dilanda arus informasi, komunikasi, dan globalisasi yang pada gilirannya bangsa itu akan kehilangan jati dirinya. Produk karya seni berbeda dengan produk jasa atau barang-barang komoditi. Kalau produk jasa/industri harus selalu berotientasi atau menurti selera pasar global, apakah karya seni termasuk seni Tari Tradisi harus demikian. Seni Tari Tradisi merupakan pengungkapan ekspresi jiwa manusia yang mendalam yang diwujudkan dalam gerak. Perubahan itu disebabkan faktor-faktor modernitas dan globalisasi selain itu faktor seniman sendiri yang menghendaki perubahan karena kebutuhan misal Srimpi Ludiramadu sebagai tari yang digunakan untuk materi kuliah, misi commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kesenian, apresasi seni, upacara penyambutan tamu (upacara perkawinan), pariwisata budaya. Pemadatan yang dilakukan oleh ASKI dan PKJT atas prakarsa Humardani. Perubahan yang terjadi dapat diamati pada bentuk, fungsi, makna Tari Srimpi Ludiramadu yang berubah pada susunan tari, susunan karawitan, dan waktu penyajian, seperti diungkap oleh Nanuk, bahwa perubahan menyebabkan operubahan bentuk yaitu penggunaan vokabuler gerak, susunan tari, dan beberapa unsur garab lainnya perubahan yang melekat pada penggunaan vokabuler gerak meliputi vokabuler gerak pada susunan tari, penggarapan volume, tempo, irama dan tekanan gerak tari. Hal ini akan berkaitan dengan penggarapan karawitan tari dan waktu penyajiannya, walaupun penyajian tidak semua gerak berubah (1982:22). Kemajuan teknologi komunikasi membuat jarak dunia semakin kecil dan kebudayaan-kebudayaan yang semula tumbuh dan berkembang di lingkungannya sendiri tetapi sekarang terjadi percampuran dan silang budaya. Hal itu terjadi oleh karena pengaruh kebudayaan industri yang progresif berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknlogi. Kehidupan kesenian juga tidak luput dari pengaruh kebudayaan modern, dan tidak jarang bentuk-bentuk kesenian diciptakan untuk keperluan pasar, artinya kesenian itu disajikan mementingkan unsur hiburan dangkal. Demikian pula dalam pertunjukan Tari Tradisional itu juga terjadi. Pertunjukan Tari Tradisi sekarang ini ada kecenderungan mengikuti selera pasar dan cenderung pada halhal yang glamor (mewah/wah) dan mengabaikan nilai estetis (keindahan). Kita maklumi bahwa seniman tari dan penari memiliki hak untuk mempertahankan commit to user
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
hidupnya, namun demikian mereka perlu mengembangkan wawasan seni yang positif, yaitu bahwa seni merupakan ekspresi jiwa yang estetis. Dengan adanya perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu sehingga banyak pertanyaan yang perlu diungkap pada Tari Srimpi Ludiramadu mengalami berbagai hal dengan faktor-faktor yang mendrong terjadi perubahan
pada
bentuk,
fungsi,
dan
makna
sebagaimana
disebutkan
pradjapangrawit. Dalam Tari Srimpi Ludiramadu memiliki sifat dan watak alus, gecul, prenes, Wedha pradanggo. (Pradjapangrawit 1990:110) Sehubungan dengan hal di atas, perlu adanya studi yang membahas Tari Srimpi Ludiramadu mengalami perubahan disebabkan aspek-aspek apa saja dan bentuk, fungsi, dan makna setelah mengalami perubahan apakah mempengaruhi kelangsungan dan perkembangan pada Tari Srimpi Ludiramadu. Fenomena yang terjadi dalam jagad seni tari tradisi sekarang ini mengisyaratkan adanya pergeseran cara pandang masyarakat baik para seniman dan penari serta pelaku budaya. Bertolak dari latar belakang penulisan di atas, penulis ingin mengetahui lebih mendalam mengenai perubahan bentuk, fungsi dan makna Tari Srimpi Ludiramadu yang dipengaruhi berbagai aspek perubahan. Perubahan yang dialami Tari Srimpi Ludiramadu membuat keeksisan dan keberadaan Tari Srimpi Ludiramadu diharapkan menjadi lebih baik atau sama sekali tidak memiliki pengaruh baik didalam atau diluar tembok keraton.
commit to user
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1.2 Masalah Penelitian 1.2.1. Identifikasi Masalah Penelitian Tari Srimpi Ludiramadu sebenarnya sudah banyak yang menulis yang dihasilkan oleh para ilmuan. Perhatian para ilmuan pada umumnya masih ditujukan pada perubahan bentuk tarinya. Akan tetapi untuk mengungkap pengetahuan pada Tari Srimpi Ludiramadu serta perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna yang tersimpan dalam kebudayaan Jawa yang ditulis pada gendhing srimpi ludiramadura dan dinamai srimpi ludiramadu masih sedikit. Analisis mengenai bentuk, fungsi, dan makna salah satu usaha untuk menutupi kekurangan dari berbagai penelitian Tari Srimpi Ludiramadu yang mengalami perubahan bentuk, fungsi, dan makna untuk melihat seberapa pengaruh dalam perubahan yang terjadi pada makna yang terkandung dalam mitos Tari Srimpi yang sakral di keraton dengan melakukan pendekatan pada bentuk, fungsi, dan makna. Bahwa disini perubahan sosial budaya dapat diungkap dengan perubahan makna yang terjadi pada bentuk gerak, rias, costum, perubahan fungsi pertunjukan, dan juga tanggapan masyarakat mengenai makna itu di era yang sekarang.
1.2.2. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah, permasalahan yang berkaitan dengan Tari Srimpi Ludiramadu yang sesungguhnya ada perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna dan disitu secara tidak sadar masyarakat Jawa merubah semua makna yang ada pada bentuk, fungsi, dan makna sehingga perlu diketahui dengan commit to user
9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menggunakan analisis makna yang berhubungan dengan mitos dari Roland Barthes dan perubahan pada segi sosial budaya oleh William, sehingga penelitian ini lebih ditekankan pada analisis yang berhubungan pada bentuk, fungsi, dan makna yang menggunakan teori perubahan sosial budaya, estetika, mitos, struktural fungsional, dan perubahan oleh Micheal Foucault.
1.2.3. Perumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
masalah,
maka
dapat
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah asal-usul dan proses penciptaan Tari Srimpi Ludiramadu? 2. Bagaimanakah faktor-faktor yang mendorong perubahan pada bentuk, fungsi dan makna dari lama yang ke baru? 3. Bagaimanakah proses perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu? 4. Bagaimanakah tanggapan masyarakat terhadap perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan budaya pada masyarakat tradisi yang keberadaan di keraton yang mengalami perubahan bentuk, fungsi, dan makna sering perkembangan waktu sekarang dalam pengembangan seni tradisi dapat digunakan untuk pariwisata budaya, festifal, commit to user
10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
resepsi pernikahan, pertunjukan tari. Pada dasarnya seni tradisi untuk dapat menemukan dan memperjelas perubahan dalam rangka memperkaya budaya nasional sebagai bagian dari kerja keilmuan dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang kebudayaan.
1.3.2. Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian dengan arah kajian budaya (culture studies) ini bertujuan untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah yang ada dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut: 1.3.2.1. Untuk mengetahui asal-usul dan proses penciptaan Tari Srimpi Ludiramadu 1.3.2.2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang mendorong perubahan bentuk, fungsi dan makna yang baru 1.3.2.3. Untuk mengetahui proses perubahan bentuk, fungsi, dan makna yang baru 1.3.2.4. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat terhadap perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu.
1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan digunakan adalah sebagai berikut: Pertama, menjelaskan dasar pemikiran yang menjadi tonggak yang diperlukan dalam penelitian dan merupakan landasan untuk pembahasan bab-bab berikutnya. Pembahasan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Dalam latar commit to user
11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
belakang masalah dijelaskan alasan-alasan mengapa perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiromadu dapat dipaparkan latar belakang masalah dengan menjelaskan perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiromadu perlu diteliti. Dari latar belakang yang ada kemudian dirumusan masalah selanjutnya menentukan tujuan penelitian yang ingin dicapai sesuai rumusan masalah yang ada. Manfaat penelitian berisi harapan semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan khususnya kajian budaya. Dalam sistimatika tulisan berisi tentang rincian isi yang akan disajikan dalam penulisan. Kedua, pada bab dua, tinjauan pustaka terdiri dari kajian pustaka, penelitian terdahulu, dan kerangka pemikiran. Kajian pustaka merupakan konsepkonsep teori sesuai dengan perubahan bentuk, fungsi, dan makna dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu berisi perbandingan penelitian dengan tema yang sama mengenai Tari Tradisional Srimpi Ludiramadu namun berbeda fokus masalahnya berbeda kerangka pemikiran menjelaskan arah dan kerangka pemikiran dalam penelitian ini. Ketiga, pada bab tiga, metode penelitian dari bentuk dan strategi, sumber data, teknik pengumpulan data, validitas data, teknik analisis dan penyajian data. Bentuk yang diambil adalah diskriptif dengan strategi stulegi studi kasus tunggal. Dalam sumber data akan dijelaskan data diperoleh dari sumber mana saja dan bagaimana teknik pengumpulan data dilakukan dalam penelitian ini. Setelah data diperoleh kemudian dilakukan validitas data sebelum data disajikan. commit to user
12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keempat, pada bab empat, hasil penelitian dan pembahasan berisi tentang hasil penelitian yakni gambaran umum Tari Srimpi Ludiramadu, pencipta tari, sejarah penciptaan tari, faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan masyarakat. Data-data tersebut kemudian dianalisis menggunakan konsep teori sesuai dalam bab dua tinjauan pustaka. Kelima, pada bab lima, penutup berisi kesimpulan dari pembahasan bab sebelumnya. Saran disampaikan dengan harapan dapat bermanfaat bagi pengembangan seni dan budaya Jawa. Halaman berikutnya daftar pustaka dan lampiran dimana dalam halaman tersebut dituliskan sumber-sumber rujukan yang diambil dalam penelitian ini, lampiran pendukung penelitian yang berupa dokumentasi/foto yang berkaitan dengan penelitian ini dan daftar informan.
commit to user
13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka Kajian tentang Tari Srimpi Ludiramadu yang dilakukan dalam disiplin ilmu kajian budaya merupakan kajian mengenai perubahan bentuk, fungsi, dan makna sebagai sebuah simbol budaya masyarakat di luar keraton. Dalam kajian ini tidak mengandalkan pengertian srimpi, bentuk srimpi secara umum atau perwujudan srimpi dalam bentuk penyajian saja, tetapi dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman konsep-konsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan. 2.1.1. Makna Simbolik Tari Srimpi Bagi Masyarakat Tradisi Geertz dalam studinya tentang konsep kebudayaan menunjukkan dengan cukup konsisten bahwa konsep kebudayaan selalu terdiri dari dua bagian utama yaitu kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, sistem makna dan sistem nilai. Bagian pertama dinamakan aspek kognitif kebudayaan, sedangkan bagian lainnya dinamakan aspek evaluatif kebudayaan. Aspek kognitif ini sebagai sebuah bentuk sentasi dinamakan model of, sedangkan aspek representasi dinamakan model for. Model yang pertama model of mempresentasikan kenyataan yang ada, seperti halnya dalam hal ini adalah Tari Srimpi Ludiramadu di keraton Surakarta yang memiliki struktur gerak, pola lantai, costum, rias adalah rias pada Tari Tradisi Jawa yang memerankan gerak adalah manusia. Sebaliknya sistem nilai atau evaluatif berupa model for tidak merepresentasikan suatu kenyataan yang sudah ada melainkan suatu kenyataan commit to user
14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang masih harus dibentuk atau diwujudkan dalam arti sebuah Tari Srimpi Ludiramadu dalam kelompok seniman, koreografer atau kesenian sebagai pariwisata budaya, apresiasi seni, yang harus dibanun atau diwujudkan. Disini suatu struktur non simbolis atau struktur fisik (Tari Srimpi Ludiramadu) harus disesuaikan dengan struktur simbolis berupa pariwisata budaya, festifal seni, apresiasi seni bukan pada kapasitas penghayatan seni melainkan disesuaikan seniman dan koreografer yang menata dan yang menggunakannya. Sistem simbol memungkinkan interpretasi. Adapun titik pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang dimungkinkan oleh simbol dinamakan makna (system of meaning). Melalui makna sebagai suatu instansi perantara maka sebuah simbol dapat menerjemahkan seperangkat nilai menjadi suatu sistem pengetahuan (Geertz, pengantar Kleden, 2008: XIV-XV). Kata simbol berasal dari kata Yunani symbolis yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada orang lain (Herusatoto, 2000:17). Lebih lanjut Herusatoto mengartikan sim dapat diartikan penyatuan dua hal yang lebih menjadi satu. Dalam simbolisme subyek menyatukan dua hal yang menjadi satu. Simbul dan simbolisasi dapat diartikan dua macam pemikiran yang menjadi satu yang imanen (Van Peursen, 1976). Dirasa pada diri manusia serba terkurung, masih terpengaruh unsur lain. Di pihak lain ada pemikiran yang mengatakan bahwa simbol itu transenden dan dalam dialog dengan yang lain akan ditemukan jawaban. Menurut pandangan pihak ini simbol tidak hanya berdimensi horisontal imanen melainkan juga berdimensi transjenden, dapat dikatakan wilayah simbol berdimensi metafisika (Sumiyati, 1989:3). commit to user
15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Berapa pakar antropologi termasuk Hans J. Daeng (2000) menyetujui pendapat Ernst (assier bahwa manusia-manusia disebut animal symbolicum. Hal ini karena manusia sesuai struktur anatominya mempunyai reseptor dan sistem efektor. Sistem reseptor berfungsi menerima rangsangan dari luar. Sedangkan sistem efektor berfungsi sebagai pareaksi terhadap rangsangan dari luar. Kedua sistem itu dalam satu ikatan yang sama disebut lingkaran fungsional binatang. Lingkaran fungsional itu dapat berubah secara kuantitatif maupun kualitatif. Faktor itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Oleh karena itu manusia dalam kehidupannya banyak menggunakan simbol-simbol (Sumiyati, 1989:2). Micheal Faucault menekankan pada bahwa manusia berkomunikasi dengan sesama menggunakan tanda-tanda dan kode-kode yang tersusun secara realitas yang diciptakan oleh penari, pencipta tari, penonton, dan penghayat. Memahami suatu karya tidak akan terlepas dari bentuk karya itu sehingga digunakan untuk komunikasi dengan sesama dan sebagai penunjuk yang berisikan tentang pengetahuan, (dalam Budiman, 2004:55-57) Perubahan juga dipopulerkan oleh Micheal Foucault dalam pandangannya perubahan yang diterima oleh masyarakat merupakan sebuah kebenaran (Foucault, 2002:143) secara umum manusia berada dibawah kekuatan kekuasaan yang lebih tinggi dan bagai terpenjara adanya aturan-aturan sebagai pengontrol dari masyarakat. Kata perubahan memiliki prospektif yang sangat beragam terkait dengan disiplin tertentu karena adanya pandangan yang berbentuk kekuasaan sehingga mampu untuk mentransformasi keyakinan dari masyarakat bahwa perubahan itu benar. Meurut Chrish Braker (2008:83) bahwa Micheal Foucault commit to user
16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
telah menyatukan perubahan yang ada dimasyarakat yang juga yang terjadi pada kalangan penguasa sehingga dapat merubah pandangan masyarakat sehingga makna obyek nanti akan berpengaruh pada perubahan sosial masyarakat hal ini sebagai struktur yang bergerak dalam praktek sosial budaya sehingga adanya kekuasaan yang mengontrol pergerakan sosial budaya masyarakat. Hal ini disebabkan adanya kebenaran yang diyakini yang membentuk individu-individu yang saling mempengaruhi dan akhirnya perubahan itu benar-benar fakta dan patut untuk ditiru dan dijalankan di masyarakat. Perubahan sesuai dengan perkembangan manusia atau masyarakat disesuaikan dalam alam pikiran anggota kelompok, perubahan pada perilaku pada awalnya dilarang tetapi pada suatu saat kemudian diperbolehkan. Proses perubahan berawal adanya daya pikir dan motivasi anggota kelompok sosial dalam usaha menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan menjelaskan tentang fungsi kebudayan bagi masyarakat sebagai hasil karya dari perilaku, nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada dibalik perilaku manusia yang tercermin dalam perilaku kebudayaan William A Haviland, (1988:331). Dalam pandangan Soedarsono 1989-1990 bahwa perubahan yang dialami pada seni pertunjukan Jawa merupakan masa transisi beranjak pada segi masa lampau yang dikemas terkait dengan usaha pengembangan budaya untuk keberadaan kebudayaan agar tetap lestari walaupun mempengaruhi perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna pada tari tradisi Jawa cenderung sebagai satu gejala komersialisasi seni budaya. commit to user
17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karya Tari Srimpi Ludiramadu menggambarkan putri yang memiliki watak seorang prajurit. Ditarikan empat orang gadis yang menggunakan busana yang sama dan melakukan gerak yang sama pula, Tari Srimpi Ludiramadu berwatak prajurit : “beksan enggal wau kaparingan nama beksan srimpi, punika aggambaraken putri awatak prajurit.” (Praja Pangrawit, 1965:24). Terjemahan dari serat : tari diberi nama srimpi, menggambarkan empat penari putri yang berkarakter prajurit. Tari Srimpi Ludiramadu berkarakter agung, berwibawa dan halus menurut pendapat Tasman juga memiliki rasa sigrak, gagah dan prenes. Penyusunan Tari Srimpi Ludiramadu, Hamengkunagara III dibantu oleh abdi dalem Langen Mataya Kadipaten. Hamengkunagara III secara langsung memberikan contoh dan tuntunan pada proses latihan Tari Srimpi Ludiramadu dalam Soemantri Soemosapoetra, (1956:25). Bentuk merupakan isi dari tari misal bentuk gerak, bentuk rias, kostum dan juga pada bentuk pola lantai penari serta tempat yang digunakan untuk menari pada Tari Srimpi Ludiramadu. Pada Tari Srimpi Ludiramadu bahwa tari ini hidup dan berkembang pada lingkungan keraton sejajan dengan tari-tari srimpi yang lainnya misal : 1. Srimpi Ludiramadu 2. Srimpi Dhempel 3. Srimpi Gandhakusuma 4. Srimpi Anglir Mendung 5. Srimpi Lobong
commit to user
18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Srimpi Bondan 7. Srimpi Tameng Gita 8. Srimpi Gambir Sawit 9. Srimpi Glondongpring 10. Srimpi Sangupati Pada Tari Srimpi Ludiramadu terdapat pada buku serat pasinden bedhaya srimpi oleh sastra kartika (1985:419) dapat diungkap srimpi-srimpi yang sering dipentaskan untuk pelestarian dan pengembangan karya seni tari tradisi. Nama Srimpi diambil dari nama gendhing (iringan yang mengiringnya), ada juga pinciptaanya misal srimpi ludiramadu dengan gendhing ludiramadura, srimpi dhempel gendhing dhempel, srimpi lobong dengan gendhing lobong dan Srimpi Glondong Pring dengan gending juga glondong pring dan lain sebagainya. Penari Srimpi ada empat penari yang memiliki nama masing-masing yaitu Batak, Gulu, Dhadha dan Buncit. Nama tersebut menurut pandangan orang Jawa ada kaitan dengan bagian tubuh manusia. Batak digambarkan sebagai kepala yang mewujudkan pikir dan jiwa, Gulu menunjukkan bagian leher; Dhadha menunjukkan bagian dada dan buncit menunjukkan bagian organ bawah yaitu dubur atau anus (organ pengeluaran). Manusia hidup pada kenyataannya dipengaruhi empat nafsu yang saling berebut. Adakalanya nafsu supiah mempengaruhi nafsu aluamah, nafsu aluamah mempengaruhi nafsu mutmainah, nafsu-nafsu tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Di dalam makalah Koes Murtiah 23 Juli (1991:3) menyebutkan bahwa Tari Srimpi juga mengandung sifat “edukatif” ialah manusia sedapat commit to user
19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mungkin harus dapat mengendalikan nafsu yang kurang baik agar tidak mempengaruhi hidup manusia. Perilaku yang kurang baik pada Tari Srimpi Ludiramadu pada saat gerakan perang, panahan, menggambarkan bahwa manusia terpengaruh nafsu yang kurang baik, manusia harus berusaha menambah keyakinan serta kepercayaan, bahwa sesungguhnya manusia harus dapat berperilaku seimbang sehingga tidak dikuasai hawa nafsu jahat. Di samping itu jumlah empat pada penari srimpi juga bisa dihubungkan dengan kelahiran manusia, menurut kepercayaan orang Jawa/falsafah Jawa bahwa pajupat diartikan dengan yang mengelilingi hidup manusia, pancer atau yang ada di tengah / pusat diartikan manusia. (Nanik Sri Hartini, 1988:10-11). Sebetulnya manusia sejak lahir dan menghirup udara yang pertama kali ia tidak sendiri tetapi sudah memiliki saudara; yaitu : 1. Kakang kawah, sebagai saudara tua atau kakak karena lahir terlebih dahulu. 2. Adi ari-ari, adalah adik, karena ari-ari lahir setelah bayi 3. Getih putih (darah putih) 4. Getih abang (darah merah) Jumlah empat pada srimpi ludiramadu bahwa empat melambangkan napsu yang terdapat dalam diri manusia, yaitu : 1. nafsu amarah : manusia memiliki sifat mudah marah sulit mengendalikan emosi sehingga grusa grusu (tergesa-gesa) memutuskan berbagai hal atau masalah, cepat mengambil tindakan tanpa berfikir yang matang. commit to user
20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. nafsu aluamah : manusia biasa sulit menyeimbangkan kehidupan didunia dan akhirat. Kebutuhan di dunia kadang lebih dipentingkan dibanding kehidupan di alam kelanggengan (kekal). Nafsu serakah pada diri manusia sulit dikendalikan apalagi minimnya iman pada diri manusia 3. nafsu supiah : manusia memiliki sifat pelupa (lupa dengan yang menciptakan / Tuhan akhirnya bersikap sombong, congkak selalu merasa dirinya pintar, cantik, yang paling kaya, dan lain-lain). nafsu mutmainah : manusia harus memiliki sifat mutmainah sebagai penyeimbang sikap-sikap yang diatas sehingga kehidupan akan seimbang dan manusia akan sabar dengan segala cobaan, rintangan dan berbagai permasalahan yang dihadapi sehingga hidup didunia dipersiapkan dengan baik apalagi kehidupan yang akan datang (akhirat). 2.1.2. Tari Srimpi Ludiramadu Bagian Konsep Tradisi Besar Konsep tradisi besar menurut Umar Kayam dalam Anis Sujana, 2007 menggambarkan sebagai kebudayaan yang berada didalam keraton yang menciptakan karya-karya dan kebudayaan adalah Raja dan kerabat keraton atau putra-putri raja (Sujana, 2007:263). Tari Srimpi Ludiramadu masuk pada budaya keraton yang tradisi besar karena kebudayaan yang berasal dari raja dan hidup dan proses penciptaan tari ada di keraton. Tari srimpi dikatakan budaya keraton karena yang menciptakan Tari Srimpi Ludiramadu adalah hasil karya Hamengkunagara III lahir pada pemerintahan Paku Buwana IV. Pada masa itu beliau belum naik tahta sehingga bergelar Hamengkunagara III. Ini dapat disimak pada Wedhapradangga yang commit to user
21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara eksplisit menyebutkan sebelum menjadi raja, Hamengkunagara III banyak menciptakan karya seni : “Ingkang Sinuhun wau wiwit kala dereng jumeneng nata sampun kathah iyasan-iyasan utawi anggitan dalem”. Terjemahan : sinuwun memiliki bakat dalam penciptaan seni tari, rupa, sastra sebelum naik tahta menjadi raja dan kemampuan sudah kelihatan dari karya-karya yang diciptakannya. (Pradjapangrawit, 1990:11). Ungkapan
ini secara lisan
dikuatkan
oleh
K.R.T.Hardjonagoro yang menyatakan bahwa hampir sebagian besar karya Paku Buwana V. Karya-karya Hamengkunagara III lahir pada masa pemerintahan Paku Buwana IV : artinya, karya-karya tersebut diciptakan oleh Paku Buwono V semasa menduduki jabatan Pangeran Adipati Anom / Putra Mahkota (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara 5 Desember 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut pada pemaparan selanjutnya penulis cenderung menggunakan sebutan Hamengkunagara III setelah menjadi raja dengan gelar Paku Buwana V. Kegiatan
berkesenian
Hamengkunagara
III
dapat
terungkap
di
Wedhapradangga sebagai berikut : Kacariyos kala raksih jumeneng kanjeng gusti pangeran adipati anom, saben pasewakan ing dinten senen miwah kemis, saderengipun miyos dalem, kanjeng gusti kapareng lenggah ing bangsal pradangga nunggil abdi dalem niyaga, lajeng angasta rebab utawi sanesipun ingkang dados kepareng dalem. Cakipun alus ang rawit sarwa miraos. Ananging manawi ingkang rama (sampeyan balem ingkang dinuhun Paku Buwana IV) sampun katinga/lenggah ing kajogan prabasuyaso, kanjeng gusti wau anggenipun angasta (nabuh) lajeng kadamel-damel radi kaduk sembrana. Yen nuju ngasta bonang lajeng dipun imbalkacengkukaken ngantos gobyog sangat, adamel cingakipun ingkang sami sowan ing plataran, sami noleh tumuju ing bangsal pradangga. Sareng mangertos yen ingkang ngasta bonang kanjeng gusti, lajeng sami tumungkul ajrih (Pradjapangrawit, 1990:1170. Terjemahan : pada saat masih bergelar putra mahkota/pangeran muda setiap commit to user setiap hari senin dan kamis. ada latihan karawitan yang dilaksanakan
22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pangeran muda selalu duduk ditempat pangrawit (nayogo) dan memegang rebab dan alat musik yang lainnya. Kemampuan memainkan alat-alat karawitan Jawa dibuat sedikit salah dan ceroboh disaat ayahanda Pakubuwana IV sudah duduk dikursi singgasana/kursi kebesaran. Pangeran megang bonang dipukul keras sampai orang lain kaget bahkan jantungan, ternyata setelah dilihat pangeran muda yang memainkan, abdi dalem tidak berani menasehati. Pada sumber yang sama karya Hamengkunagara III memiliki corak ini dipandang sebagai corak baru pada masa pemerintahan Paku Buwana IV. Kemudian dianut pada periode berikutnya. Misalnya, bentuk garap imbal (pergantian) pada instrumen bonang yang kemudian dijadikan panutan pada bentuk kesenian periode berikutnya, oleh Pradja Pangrawit diungkapkan sebagai berikut : Ingkang punika mula bukanipun wonten lagu bonangan imbal (imbalimbalan) saha gendhing geculan sarta bonang imbal-imbalan wau kaangge nabuhi nayuban (lelangen tayuban) (1990:118) Terjemahan : beberapa kali dibunyikan iringan yang lucu disertai bonang yang berulang-ulang dipukul menyerupai iringan tayuban (tari tayub/ngibing). Diungkapkan oleh Wahyu Santoso Probowo bahwa Hamengkunagara III memberikan sentuhan kebaharuan pada hampir setiap karya seni pada masa pemerintahan Paku Buwana IV. Hal ini tampak pada karya Hamengkunagara III, karawitan, tari, sastra ataupun kriya (1965:98). Pemaparan tersebut ditegaskan oleh Dipokusumo bahwa pada masa pemerintahan Paku Buwana IV hampir seluruh kriya seni yang ada adalah karya Hamengkunagar III. Bahkan karya Paku Buwana IV mendapat pengaruh dari karya Hamengkunagara III dan juga karya Hamengkunagara III dipersembahkan sebagian besar untuk Paku Buwana IV (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara, 5 Desember 2011) commit to user
23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penciptaan karya seni Hamengkunagara III dalam bentuk gendhing (iringan gamelan Jawa), misal : Sendhon, Bancak, Santiswara (gendhing trebang), gendhing gambir sawit (Pradja Pangrawit, 1990:113). Hamengkunagara III selain menciptakan karya yang erupa tari keraton juga menciptakan karya-karya yang lain berupa sastra, keris, gendhing-gendhing tari sampai tari-tari yang bersifat lucu dan gejul. Karya-karya Hamengkunagara yang sampai sekarang diyakini memiliki kreativitas yang sangat tinggi karena diciptakan oleh putra raja, karya-karyanya sebagai berikut: 1. Sastra : Serat Centhini / Suluk Tembang Raras (Ajaran Agama Islam dan berbagai budaya tradisi Jawa yang meliputi ngelmu (ilmu), gendhing (iringan), beksan (tari), masakan, petung Jawa (perhitungan hari), legenda (cerita). 2. Kriya (Undhagi dan Tosan Aji : Keris/Tosan Aji, topeng, perahu dengan hiasan canthik berwujud patung muka Rajamala setelah selesai, diberi nama Kyai Rajamala dan perahunya disebut Perahu Rajamala. 3. Karawitan (gendhing-gendhing)/iringan : Gendhing gambirsawit Pancerana pelog nem, Ayun-ayun pelog nem, sumyar pelog barang, Ladrang Manis pelog lima, Gegot pelog nem, Bribil slendro manyura, loro-loro slendro manyura. Gendhing Trebang : kembang gayam pelog lima, kaum dhawuk pelog barang, kidung-kidung pelog barang, dan kayon pelog barang. Gendhing trebang disebut santi swara 4. Tari : Karya Tari Penthul (lucu/gecul), Tari Srimpi Ludiramadu commit to user
24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.1.3. Tari Srimpi sebagai Tari Sakral Tari memiliki makna yang sakral karena hidup dan berkembang pada wilayah keraton dan digunakan untuk upacara pada acara-acara penting di keraton, dibilang sakral karena pementasannya selalu menggunakan ritual sesaji yang lengkap misalnya pisang, sambal goreng, nasi wuduk, tumpeng, cenggereng, jadah wajik, ingkung, dan lain-lain. Di tempat pertunjukan diberi tempat tungku berbentuk kembang setaman dan juga dupa. Sebelum pertunjukan dimulai ada pawang yang berasal dari keraton menyalakan dupa itu supaya upacara yang ada dikeraton yang menggunakan Tari Srimpi Ludiramadu dapat berjalan dengan baik dan lancar. Kesakralannya dikarenakan bahwa tari ini hasil karya putra raja sehingga makna yang ada dalam tari memiliki makna yang sangat dalam. Kesakralan juga dikarenakan pada waktu pementasan raja jumeneng di singgasananya sehingga pada saat pementasan keadaannya hening (sunyi senyap) hal ini membuat kesan suasananya terkesan magis. 2.1.4. Fungsi Tari Srimpi Ludiramadu bagi Keraton Dalam Keraton Surakarta tari srimpi digunakan untuk wetonan raja ingkang sinuwun sehingga menggunakan prosesi secara lengkap dan sesaji lengkap. Wetonan bagi pihak keraton suatu prosesi yang mutlak di laksanakan karena untuk memperingati hari kelahiran raja ke dunia fana. Sehingga harus selalu di peringati untuk tidak lupa akan kelahiran dan umur yang sudah diberikan kepada-Nya dan sebagai ucapan rasa syukur diberikan nikmat kesehatan yang tidak ternilai sehingga tidak dapat dinilai denang uang dan apapun. commit to user
25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bentuk sesaji dalam wetonan: sesuai gudangan / urap yang terdiri sayuran kangkung, kenikir, kacang panjang, thokolan (kecambah), wortel, buncis, mbayung dan lain-lain, ayam Jawa (ingkong) harus ayam jantan, telur, jenang abang (merah) dan putih (warna putih), tumpeng menyesuaikan jenis kelamin laki-laki berbentuk kerucut dan perempuan berbentuk ceper (leter), memakai alas dan pisang diletakkan di nampan atau (tampah) selain itu menggunakan sesaji nasi uduk, golong asahan, sambel goreng, peyek, serundeng, kerupuk, lentho, apem jawa dan lain-lain. Berfungsi juga untuk penyambutan tamu kerajaan Tari Srimpi Ludiramadu merupakan Tari Klasik keraton yang juga berfungsi untuk penyambutan tamu kerajaan misalkan ada tamu dari kerajaan Malaysia, Belanda bahkan dari kerajaan Yogyakarta ataupun tamu-tamu penting misalnya: Presiden, Menteri pejabat pemerintah, Walikota. 2.1.5. Perubahan Makna dan Fungsi Tari Srimpi Ludiramadu Kebudayaan tidak dapat terlepas dari ruang dan waktu kebudayaan itu diciptakan, dilestarikan, atau bahkan dirubah (Abdullah, 2006:4). Yang bertujuan untuk orientasi nilai baru dalam bentuk lain yang berhubungan dengan tata ruang yang telah menunjukkan pergeseran kekuasaan dan kepentingan. Kalau kebudayaan sebenarnya memiliki kedudukan yang mapan dan bagus sehingga memiliki kekuatan dominan sehingga dapat sebagai penentu karakter dari suatu bentuk ruang sosial, negara pada akhirnya dapat beralih fungsi dan juga sebagai pengambil peran dengan redivinsi ruang untuk mendukung suatu hubungan kekuasaan, Giddens (dalam Abdullah, 2006:4) menyebut ini sebagai reproduction commit to user
26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
of locality, yaitu suatu proses pendefisian ulang ruang atau bahkan pembangunan ruang dengan tujuan-tujuan untuk menjamin pelestarian dari kekuasaan kelompok yang memerintah. Dalam perubahan kekuasaan membuat mementingkan kepentingan perseorangan / individual dan kelompok, sehingga berakibat hasil karya kebudayaan dimanfaatkan untuk kepentingan legitimasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Simbol-simbol kebudayaan-kebudayaan kemudian, tidak lagi mendapatkan suatu pengaruh generiknya sebagai pedoman atau acuan bagi tingkah laku. Simbol dan maknanya menjadi suatu obyek yang kehadirannya dihasilkan suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah konsultasi dengan kepentingan masing-masing. Menurut Friedman dan Miller, (dalam Abdullah, 2006:5) Kebudayaan yang dibentuk kemudian dilihat sebagai budaya diferensial yang tumbuh akibat dari adanya intraksi yang terus menerus mengalami perubahan. Manusia dalam hal ini dapat dikatakan sebagai aktor yang menentukan pilihan-pilihan dan mebuat keputusan-keputusan untuk dirinya sendiri pendapat ingold (dalam Abdullah, 2006:5). Di sisi lain harus diperhatikan secara seksama bahwa di satu sisi pilihan-pilihan yang tersedia selalu sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan, dan disisi lain keputusan harus tunduk dikarenakan tekanan. Dalam hal ini kelas, usia, status, gender, adalah suatu pokok sebagai pusat untuk yang perlu diperhatikan, sehingga makna kebudayaan menjadi suatu yang batas-batasnya tidak tegas tergantung pada posisi struktur masing-masing orang atau kelompok (Abdullah, 2006:6) commit to user
27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebudayaan tidak dapat lari dari kenyataan bahwa zaman akan terus berkembang kearah yang modern tidak berhenti pada satu titik saja, terjadi perubahan pada bentuk, fungsi dan makna yang awalnya berbentuk dengan durasi waktu + 2 jam, costum pakem, rias alat dan bentuk tradisi ditentukan, sekarang terjadi perubahan menjadi menyesuaikan fungsinya dan maknapun disesuaikan pada siapa dan kebutuhan apa makna digunakan. Tari Srimpi berfungsi sebagai wetonan dan penyambutan tamu beralih menjadi pariwisata budaya, apresiasi, pertunjukan, festifal bahkan untuk upacara mantenan (mantu) bahkan Tari Srimpi dengan garab iringan, costum, rias membuat seni tradisi yang menghibur. Pada dasarnya bentuk gerak pada tari tradisi memiliki gerak yang diciptakan sesuai dengan kebutuhan sehingga dipengaruhi oleh materi, energi, dan waktu. Menurut Tasman (1996:70) ciri gerak antara lain: 2.1.4.1. Perpindahan materi yang mengandung energi dalam suatu ruang dalam ukuran waktu. 2.1.4.2. Dorongan energi pada suatu materi dalam ruang dan waktu 2.1.4.3. Penggunaan ruang oleh suatu materi yang berenergi dalam ukuran waktu 2.1.4.4. Cara menggunakan waktu dan ruang oleh suatu materi yang bertenaga Perwujudan kebudayaan, kesenian tradisional juga memiliki peranan atau fungsi yang penting dalam masyarakat pendukungnya. Dengan mengetahui fungsi akan diketahui pula peranannya. Kesenian tradisional memiliki fungsi yang berbeda-beda. Perbedaan itu berhubungan erat dengan sejarah kesenian itu diciptakan. Peran yang dimainkan bersifat sakral, magis dan religius digunakan commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk kepentingan upacara keagamaan, upacara tradisi, seni pertunjukan atau untuk hiburan. Seni memiliki fungsi yang beraneka ragam untuk kehidupan manusia bahkan bangsa dan negara dan untuk kesejahteraan masyarakat. Seni berfungsi menurut Meriem dalam Jazuki (1994:95) membagi fungsi seni menjadi beberapa bagian, yaitu : (1) Sebagai sarana upacara; (2) Sebagai respon fisik; (3) sebagai hiburan; (4) sebagai sarana komunikasi; (5) untuk persembahan; (6) enjaga keseimbangan membuat harmonisasi dari segi norma dalam masyarakat; (7) pondasi kehidupan institusi sosial; (8) kestabilan budaya; (9) integrasi kemasyarakatan. Tari tradisi sebagai apresiasi seni, seni pertunjukan, festifal, dan pariwisata dengan mempertimbangkan nilai estetis. Unity atau keutuhan adalah menunjukkan adanya sesuatu yang utuh, yaitu adanya hubungan yang berarti, bermakna antara semua unsur-unsurnya, yang satu memerlukan kehadiran yang lain, dan saling mengisi. Intensity atau penonjolan pada bentuk karya seni mempunyai maksud mengarahkan perhatian orang yang menikmatinya kesuatu hal yang dipandang lebih penting dari yang lain. Penonjolan dapat dicapai dengan cara misalnya mengeraskan suara pada musik dan melakukan perubahan kecepatan gerak pada sebuah tari. Dengan terarah, yang akan menimbulkan suatu daya tarik atau kekuatan pada karya. Kekuatan atau penonjolan ini yang akhirnya akan memberikan rasa indah dan juga memberikan ciri pada suatu karya seni. commit to user
29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Complexity atau kerumitan yang ada pada suatu karya seni menurutnya juga merupakan salah satu yang menyebabkan karya seni menjadi lebih bermutu. Kerumitan dapat dihadirkan dengan cara diantaranya membuat adanya hal-hal yang menjadikan sesuatu menjadi kontras, seperti kuat dan tidak kuat, seimbang dan tidak seimbang. Keseimbangan dalam bentuk karya seni terjadi oleh adanya dua bagian yang sama seperti misalnya tubuh manusia, pinang dibelah dua, sayap kupu-kupu dan sebagainya. Keseimbangan semacam ini dapat memberikan rasa tenang juga memberi kesan stabil. Sebalinya kerumitan juga dapat dihadirkan oleh adanya ketidak seimbangan, yang menimbulkan kesan tidak stabil dan ada rasa dinamis, seolah-olah akan berubah, berkesan akan bergerak. Dengan faktor inilah ketidakseimbangan juga mempunyai daya tarik bagi orang yang menyaksikannya. De Witt H. Parker (1945) menyebutkan, keseimbangan sebagai sebuah prinsip bentuk estetik adalah persamaan dari elemen-elemen yang bertentangan atau berlawanan. Dalam keseimbangan yang dimaksud, walaupun elemen-elemen tersebut bertentangan, namun yang satu memerlukan kehadiran yang lain dan secara bersama-sama menciptakan kesatuan. Seperti halnya dalam tari berpasangan yang masing-masing bergerak ke arah yang berlawanan, dan bertentangan, perbedaan ini untuk mencapai keseimbangan dalam ruang. Unsur penonjolan atau intensity yang dapat memberikan kekuatan pada karya seni yang dikemukakan monroe ini digunakan untuk mengkaji nilai estetik yang ada pada seni Tari Srimpi Ludiramadu. Unsur keutuhan (unity) dan unsur kerumitan (complexity) digunakan untuk melihat bentuk dan makna Tari Srimpi commit to user
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Ludiramadu dari yang sebelum berubah sampai yang sudah mengalami perubahan pada
vokabuler-vokabuler
gerak,
perubahan
sekaran-sekaran
gendhing,
pengurangan pada waktu pertunjukan, rias dan busana yang sudah menyesuaikan pada kebutuhan pertunjukan untuk pariwisata budaya, untuk misi kesenian, untuk festifal, untuk resepsi dalam pernikahan dan lain-lain. Perubahan yang terjadi pada tari juga dapat diungkap menggunakan teori tentang mitos menurut Barthes, pengertian mitos yang ada dalam Tari Srimpi Ludiramadu yang diungkapkan dalam simbol-simbol memang memiliki tugas untuk memberikan justifikasi alamiah kepada maksud-maksud historis, tetapi masyarakat sebagai pengguna, pelaku, pencipta diberikan hak untuk memberikan makna dan menggunakan makna, sehingga masyakakat pengguna dan penikmat Tari Srimpi Ludiramadu diberikan wewenang untuk memaknai makna yang ada dalam Tari Srimpi Ludiramadu. (Barthes, 1972:155). Hal itulah yang menjadi dasar tanda merupakan yang bergerak dan dipahami dari benda yang dikonsepkan untuk memahaminya. Pemaknaan tanda dari Saussure dengan mengacu pada “oposisi” (baik x buruk) dari setiap benda akan menentukan eksistensinya cara ini dapat dimungkinkan terjadi interpretasi yang hanya dugaan semata. Semiotika menjadi ilmu yang sangat luas karena tanda-tanda dapat bergerak kemana saja. Disekeliling kehidupan, akan ditemukan banyak sekali tanda bergerak, sejauh manusia itu mencermatinya. Apapun bisa menjadi tanda ketika adanya hubungan fenomena dengan fenomena lain membentuk makna. commit to user
31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Masyarakat merupakan yang menciptakan tanda sehingga akan terbentuk tanda baru Ferdinand de Saussure (1993:146) memahami bahwa bahasa yang ada pada Tari Srimpi Ludiramadu yang akan tercipta makna merupakan warisan yang akan selalu turun temurun sebagai bahasa primer dan juga bahasa sekunder. Seiring dengan perkembangan jaman akan selalu berubah-ubah menyesuaikan adanya panata sosial, kesepakatan pada masyarakat akhirnya akan merubah pemikiran masyarakat dan terjadinya perubahan pada sosial budaya masyarakat. Karya tari merupakan realitas yang telah direkonstruksi oleh pencipta kekuatan tanda-tanda yang diungkapkan oleh makna sehingga dapat ditelaah secara mendalam sehingga dapat mengacu pada teori sosial dalam masyarakat. Sebuah karya tari juga akan memunculkan makna yang baru sebagai upaya persebaran pengetahuan sebagai kebebasan penonton, penghayat, dan masyarakat pada umumnya yang sama sekali tidak tahu tentang kebudayaan keraton khususnya tari keraton. Hal ini dapat diungkap dengan teori semiotika tanda. Teori struktural fungsional Talcot Persons, digunakan untuk melihat keberadaan bentuk dan fungsi seni Tari Tradisional Klasik pada masyarakat pendukungnya. Teori sistem sosial ini menganggap, masyarakat merupakan sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan, Herbert Spenser menyebut masyarakat adalah laksana organisme hidup, untuk itu Spenser membahas masyarakat sebagai suatu organisme hidup sebagai berikut : 1. Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Semakin besar suatu struktur sosial semakin banyak pula bagian-bagiannya seperti halnya dengan sistem biologis 3. Tiap bagian didalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu 4. Dalam sistem organisme maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan 5. Bagian-bagian walaupun saling berkaitan merupakan suatu struktur mikro yang dapat dipelajari secara terpisah (Margaret M. Polomo, 1994: 23-25) Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain-lain. Apabila salah satu bagian tidak bekerja, maka sistem tersebut akan terganggu karena tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Seni Tari Tradisi sebagai suatu wujud yang dibentuk oleh kesatuan unsurunsur tertentu, dan tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Demikian pula Tari Tradisi sebagai bagian dari kebutuhan hidup manusia. Fungsi dan makna sebagai penolong kehidupan masyarakat yang merupakan unsur yang terlibat kedalam sistem kehidupan seni dalam masyarakat.
2.2. Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Pujiani (1987) yang berjudul Tari Srimpi Ludiramadu sebagai analisis gerak dan karakter garap padat. Tari yang berdurasi lama dapat dipadatkan menjadi singkat dengan mengurangi gerak dan vokabuler yang ada commit to user
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan mengurangi sekaran-sekaran pada gendhing. Dalam tata garap iringan dan gerak tari, karena dapat digarap berdasarkan proses pemadatan dengan pengurangan di bagian maju beksan, beksan dan mundur beksan menggunakan pendekatan struktur garap medium gerak dan musik iringan. Penelitian tersebut membahas vokabuler gerak tari srimpi yang berdurasi lama dibuat lebih singkat dengan perubahan struktur dan medium gerak sedangkan penelitian ini, yang mengkaji. Tari Srimpi Ludiramadu sebagai perubahan sosial budaya dikarenakan adanya perubahan rias, busana, fungsi, dan makna. Pada penelitian ini akan mengkaji secara keseluruhan perubahan pada bentuk, fungsi dan makna dikarenakan berbagai faktor kebutuhan dan fungsi dan mengikuti selera masyarakat dan penonton baik untuk kepentingan apresiasi, festifal, seni pertunjukan sampai kepentingan pariwisata. Hasil penelitian Soedarsono (1989/1990) berjudul Seni Pertunjukan Jawa Tradisional dan Pariwisata di daerah Istimewa Yogyakarta, membahas tentang pariwisata budaya di daerah Yogyakarta seni pertunjukan sebagai sarana pariwisata budaya. Pada penelitian ini seni tradisi keraton difungsikan atau beralih fungsi sebagai produck pariwisata. Dipaparkan berbagai jenis tari tradisi yang berbentuk bedhaya, srimpi, wireng. Pada penelitian ini seniman/koreografer sebagai pencipta industri dalam produck pariwisata budaya sehingga keraton serta seniman mendapatkan kesejahteraan dengan peningkatan pendapatan tidak hanya sebagai seniman yang eksis dibidang seni melainkan dapat memperhatikan dan melestarikan budaya. commit to user
34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penelitian tersebut menggunakan pendekatan pada bentuk, fungsi seni tradisional yang dipaket sebagai pariwisata budaya menggunakan teori estetika dari Thong Maguet dan Teori Komodifikasi. Kebudayaan dalam antropologi dikatakan sebagai sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan ningrat (1993:5) berpendapat bahwa dalam kebudayaan ada tiga wujud yaitu : (1) sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dan masyarakat, (3)sebagai benda-benda dan hasil karya manusia. Dari ketiga wujud kebudayaan itu jelas bahwa, wujud pertama adalah buddah dari akal dan budi manusia, wujud kedua adalah tindakan manusia, dan yang ketiga merupakan buah atau hasil dari karya manusia. Kebudayaan terdiri dari tujuh usnur : (1) sistem religi dan upacara keagamaan ; (2) sistem dan organisasi masyarakat; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencarian; (7) sistem teknologi dan peraturan (Koentjoroningrat, 1993:2) Koentjaraningrat (1980:31) dalam suatu teori evolusi sosial universal mengatakan bahwa manusia selalu bergerak ke arah kemajuan, sehingga di dunia ini telah berkembang dari tingkat sederhana ke tingkat yang makin tinggi serta kompleks. Hal ini tentunya kita kaitkan dengan perkembangan dalam dunia seni pertunjukan, yaitu terkait dengan keinginan manusia untuk menyesuaikan dengan perkembangan budaya yang makin mengglobal, termasuk didalamnya upaya commit to user
35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menciptakan sebuah paket-paket khusus yang dikemas untuk komsumsi wisatawan yang berakar dari Seni Tradisional Jawa. Pradjapangrawit dalam Wedhapradangga mengungkapkan tradisi besar yang berlaku atas raja-raja Jawa di Surkarta dalam berkesenian. Sumber in banyak menyampaikan informasi sejarah yang disusun berdasarkan penuturan lisan / gotek diciptakan gendhing, gamelan, tari, ataupun wayang, mengbahis karakteristik karya dengan periode, generasi, dan individu senimannya. Sumber ini membantu penulis memahami kehidupan kesenian Hamengkunagara III pada Masa Paku Buwana IV. Nasib seni tradisi menjelang era tinggal landas sebuah laporan penelitian yang ditulis oleh R.M. Soedarsono dalam jurnal ilmu-ilmu humaniora yang diterbitkan oleh Gajah Mada University Press tahun 1991. Dalam laporan penelitian diuraikan secara panjang lebar keberadaan seni pertunjukan Indonesia, termasuk seni tari tradisi. Membahas tentang seni tradisi dari suatu masyarakat itu sendiri dan produk seni yang dibuat oleh suatu kelompok masyarakat untuk masyarakat lain oleh J. Maquet, yaitu : art by destination dan art of occulturation. Soemantri Soemasaportra dalam buku Sunan Sugih mengungkap riwayat kehidupan Hamengkunegara III lengkap dengan biografi, aktivitas dalam ketatanegaraan, dan aktivitas dalam berkesenian. Diperoleh data mengenai gambaran umum kehidupan kesenian pada zaman Paku Buwana IV serta bentuk dan corak karya seni Hamengkunagara III yang lahir pada masa Pak Buwana IV, didalam kebudayaan tidak ada sifat yang selalu tepat karena menyesuaikan laju keadaan jaman dimana kebudayaan itu ada dan diciptakan. commit to user
36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Karya tari keraton identik dengan bentuk, fungsi dan makna baik kekinian maupun makna yang telah ada sejak jaman dulu, dalam mengungkap hal tersebut perubahan yang berupa gejala sosial budaya, struktur gerak/vocabuler bentuk gerak tari keraton Surakarta. Struktur ekonomi tradisional masyarakat Jawa pada masa lalu menurut Levi-Straus dalam (Ahim Saputra, 2006:445). Disitu seni tradisional yang berasal dari keraton identik adanya hal diatas berupa bentuk, fungsi dan makna pada tari. Soedarsono, RM Depdikbud, (1989/1990) dalam tulisannya memaparkan kehidupan Seni Pertunjukan Jawa Tradisional berkenaan dengan perkembangan pariwisata. Menunjukkan keberadaan Seni Pertunjukan Jawa dalam masa transisi yang dianggab mengalami perubahan pada fungsi dan nilai yang terkandung didalamnya. Dari segi bentuknya sudah mulai beranjak pada segi masa lampau yang dikemas terkait dengan usaha pengembangan pariwisata sehingga dapat mempengaruhi perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna pada Tari Tradisi Jawa karena industri pariwisata sebagai satu gejala komersialisasi seni budaya.
commit to user
37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2.3. Kerangka Pemikiran Tari Srimpi Ludiramadu di Keraton Surakarta
Bentuk, fungsi dan makna
Faktor pendorong perubahan bentuk, fungsi, dan makna dari lama ke baru
Proses perubahan bentuk, fungsi, dan makna lama ke baru
Festifal pariwisata lomba-lomba resepsi perubahan
Tanggapan masyarakat
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
commit to user
38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Bentuk dan Strategi 3.1.1. Bentuk Penelitian Bentuk yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Kualitatif menurut Taylor dalam Molkong (2000:3) adalah penelitian yang menggunakan prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau kesan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam penelitian ini akan menyajikan data secara deskriptif kualitatif yang dihasilkan dari wawancara, observasi dilapangan yang didukung studi pustaka dengan mendiskripsikannya di dalam tulisan yang mudah dipahami dan dimengerti. Secara narasi deskriptif akan dipaparkan sajian data temuan di lapangan, kemudian di analisis agar terjawab rumusan masalah yang ada. 3.1.2. Strategi Penelitian Strategi dalam penelitian ini menggunakan studi kasus. Studi kasus pada intinya adalah meneliti kehidupan satu atau beberapa komunitas, organisasi atau perorangan yang dijadikan unit analisis, dengan menggunakan pendekatan kualitatif (Pawito, 2007:141). Study kasus dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal karena akan dibatasi pada kasus tunggal yang difokuskan pada perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu.
commit to user
39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3.2. Sumber Data 3.2.1. Informan Penelitian ini dalam menentukan informan dengan menggunakan kriteria, yakni informan yang akan diwawancarai adalah orang yang harus memenuhi persyaratan wawancara yang diperlukan dalam penelitian. Oleh karena itu, kriteria yang digunakan dalam teknik penentuan informan. Informan yang dipilih adalah informan yang bisa diajak berkomunikasi, mengetahui tentang Tari Srimpi Ludiramadu yang ada di keraton Surakarta, dan informan yang memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang gendhing Tari Srimpi Ludiramadu. Gendhing yang melalui proses pemadatan dan yang tidak dipadatkan. Informan-informan yang diwawancarai dalam kerja penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga yaitu informan dari keluarga keraton abdi dalem informan dari kalangan akademika ISI Surakarta, SMK 8, TBS (Taman Budaya Surakarta Jawa Tengah), informan dari pihak pemerintah yang menjalin kerja sama keraton dan dinas pariwisata sehingga dapat memberikan informasi mengenai pariwisata budaya. 3.2.2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di keraton Surakarta yang berada dalam wilayah administrasi yang dipimpin oleh Walikota masuk wilayah Provinsi Jawa Tengah. Yang menjadi fokus lokasi penelitian tentang Tari Srimpi Ludiramadu ini di keraton Surakarta dan di luar keraton untuk melihat pada perubahan yang terjadi pada srimpi ludiramadu sehingga lokasi di luar keraton meliputi masyarakat sekitar, kalangan seniman, penari, akademika dan lain-lain. commit to user
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keluarga keraton menggunakan Tari untuk upacara wetonan dan penyambutan tamu kerajaan, seiring perkembangan zaman bahwa kreativitas seniman atau seorang koreografer tidak pernah berhenti sehingga Tari Srimpi Ludiramadu dimanfaatkan sebagai produck budaya yang digunakan untuk pariwisata, festifal, resepsi pernikahan, apresiasi seni. Faktor keunikan pada gerak, costum iringan gendhing srimpi yang menggunakan seperangkat gamelan Jawa. Penelitian yang mengambil lokasi di Keraton Surakarta dengan berbagai aspek didalamnya. Penelitian ada yang difokuskan pada bangunan keraton manuskrip Jawa, sejarah berdirinya Keraton, Tari Wireng, Tari Bedhaya, Srimpi Tamenggita, Srimpi Sangupati, Srimpi Gondo Kusumo, Anglir Mendung dan juga kehidupan yang ada di keraton yang terkesan sakral. Pada penelitian ini berbeda akan mengambil fokus pada Tari Srimpi Ludiramadu yang ada di keraton akhirnya ke luar sehingga terjadi perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna. 3.2.3. Arsip atau Dokumen Sumber data yang berupa dokumen diperoleh di dalam serat wedha pradangga dalam prajapangrawit disitu ada paparan buku-buku yang ada pada iringan Tari Srimpi Ludiramadu yang belum ada pemadatan tari, dalam Pujiani hasil sekripsi yang ada arsip bahwa Tari Srimpi pernah mengalami perubahan dengan proses pemadatan pada gerak dan gendhing. Dalam serat wedha taya dapat diungkap tentang keluwesan gerak penari, tari, dan hal-hal yang berhubungan dengan karya tari (wileg, laya, laras, wiraga, wirama, wirasa, hening, gandhes, kewes, prenes, batak, gulu, buncit, dada) dan lain-lain. commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dokumen juga di dapat brosur keraton Surakarta dan paket pariwisata budaya yang ada di keraton yang disertai jenis tari, serta sumber dari internet melalui beberapa website.
3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data tentang Tari Srimpi Ludiramadu lebih mengutamakan penggunaan alat-alat berikut. Pertama, pedoman wawancara. Instrumen ini digunakan sebagai paduan dalam melakukan wawancara dengan informan agar diperoleh data yang diperlukan dalam upaya menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian. Kedua, alat perekam gambar (kamera, handycome) dan alat perekam suara. Alat perekam gambar digunakan untuk memperoleh data visual dari obyekobyek amatan, alat perekam suara digunakan dalam upaya merekam informasi yang didapat dari wawancara dengan informan. Ketiga, alat-alat tulis, alat ini banyak digunakan untuk proses pencatatan sebagai bagian proses pengumpulan data, yaitu dalam wawancara, observasi, dan studi dokumen. Ataupun detail kerja teknik masing-masing dapat dipaparkan sebagai berikut: 3.3.1. Observasi Langsung Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari data berupa pariwisata, perilaku, aktivitas, tempat dan lokasi penelitian, dan serta rekaman gambar (Sutopo, 2006:75). Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
observasi langsung dengan berperan aktif di lokasi penelitian. Observasi berperan aktif dilakukan dengan mendatangi lokasi penelitian kemudian berperan aktif mengamati kehidupan kesenian di keraton, melihat bentuk Tari Srimpi ludiramadu yang ada di keraton dan yang ada di luar keraton, mengamati proses latihan, costum, gerak dan iringan gendhing yang digunakan, berinteraksi dengan informan/nara sumber tentang hal-hal yang mengarah pada jawaban di rumusan masalah yakni bentuk, fungsi, dan makna. Tari Srimpi Ludiramadu yang mengalami perubahan. Dalam penelitian ini, hasil observasi diposisikan sebagai data primer. Kendala dari teknik observasi disini adalah penelitian dituntut untuk melakukan pendekatan secara personal terhadap keluarga keraton, penari, pengrawit, dan pihak kalangan akademika, dinas pariwisata kebudayaan. Observasi langsung untuk mengetahui seluk beluk Tari Srimpi Ludiramadu dan keberadaannya di keraton dan dalam kehidupan tari di luar keraton, dan juga dalam hal seni budaya untuk mendapatkan dokumentasi durasiw aktu, bentuk gerak, costum, iringan, jumlah penari dan pola lantai pada Tri Srimpi Ludiramadu. 3.3.2. Wawancara Mendalam Wawancara, yaitu suatu percakapan yang memiliki makna yang dapat dilakukan minimal dua orang atau lebih yang diarahkan oleh salah seorang dengan tujuan untuk mengetahui pengetahuan, pengalaman, perasaan, pendapat, persepsi, pandangan dan penginderaan seseorang (Mulyana, 2002:180). Wawancara mendalam dilaksanakan dalam tahapan yaitu, menentukan atau menyeleksi informan yang diwawancarai, kemudian melakukan pendekatan informan terpilih untuk diwawancarai. Sebelum wawancara dipersiapkan instrumen pendukung commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yaitu alat perekam suara, alat tulis, dan pedoman atau materi wawancara. Dalam proses wawancara berusaha memelihara hubungan baik agar tetap kondusif dan produktif sehingga tidak terkesan kaku dan memperoleh data yang hasilnya kemudian dirangkum. Penelitian kualitatif ini informan ditentukan dengan cuplikan yang diambil lebih bersifat selektif. Cuplikan yang diambil didasarkan pada keterkaitan masalah dengan teori yang digunakan, sehingga didapat data yang diperlukan dengan tehnik non acak menggunakan metode purposive sampling yaitu informan dipilih berdasarkan pada karakteristik yang dianggab mengetahui perihal penelitian yang sudah diketahui sebelumnya (Umar, 2005:92). Diawali dengan menggunakan purposive sampling dengan memilih informan yang dianggab mempunyai sangkut paut tentang penelitian ini yakni staf pengelola dinas pariwisata dan kebudayaan, keluarga keraton yang mengerti dan bertanggung jawab keberadaan Tari Srimpi Ludiramadu di keraton, dan dari kalangan akademika merupakan salah satu wadah yang diberi tanggung jawab supaya seni tradisi agar tetap lestari dan dari perwakilan masyarakat di luar keraton bahkan masyarakat umum. Wawancara yang dilakukan bersifat mendalam (in-depth-interview). Wawancara dilakukan dengan menggunakan pertanyaan yang bersifat “open ended” dan mengarah pada kedalaman informasi. Wawancara dapat dihentikan ketika peneliti sudah mendapatkan data yang lengkap, peneliti menggunakan wawancara dengan berhadapan secara langsung dengan nara sumber atau informan.
commit to user
44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Wawancara digunakan untuk mengetahui data dari informan tentang perubahan bentuk, fungsi, dan makna pada Tari Srimpi Ludiramadu yang merupakan seni tradisi klasik keraton yang notabene keberadaannya di dalam keraton, sehingga dapat diketahui perubahan bentuk, fungsi makna lama menjadi makna yang baru / sekarang di era modern serta proses perubahan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu serta tanggapan masyarakat setelah terjadi perubahan. Hasil yang diperoleh sebagai data primer yang diperoleh dalam penelitian. 3.3.3 Studi Dokumen Dengan obyek utama adalah Tari Srimpi Ludiramadu menjadi sangat penting untuk dilakukan karena dalam Tari Srimpi Ludiramadu ada gerak ada rias ada bentuk iringan yang didalamnya ada makna ada fungsi yang dapat mempengaruhi pada kehidupan sosial masyarakat. Pada hakikatnya bahwa obyek yang berupa sebuah teks tari, gerak, gendhing selalu mengalami perkembangan yang akhirnya ada hubungannya pada realitas sosial masyarakat Jawa yang melingkupinya. Analisis dokumen tidak hanya dilakukan untuk memaknai pada bentuk, fungsi melainkan juga memaknai semua gerak yang bermakna akhirnya akan memiliki makna yang ganda denotasi dan konotasi itulah yang dibilang menungkap yang berhubungan dengan produksi makna sesuai dengan interpretasi masing-masing individu yang memaknai. Dalam pengumpulan data tentang dokumen dapat berupa tulisan, naskah, gambar, rekaman suara, dan rekaman gambar yang terkait dalam penelitian ini, studi kepustakaan merupakan tindakan awal untuk mengetahui apakah permasalahan dalam penelitian ini sudah pernah commit to user
45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dilakukan oleh peneliti lain. Maka dari itu peneliti telah mencari dan memperoleh data-data pustaka dari berbagai tempat, antara lain perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, Perpustakaan Sekolah Tinggi Seni Indonesia sekarang ISI (Institut Seni Indonesia Surakarta), Perpustakaan S2 dan S3 Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Studi dokumen dapat diperoleh dari brosur paket pariwisata budaya di keraton, dinas pariwisata, kalangan akademika yang menggunakan Tari Srimpi Ludiramadu untuk materi perkuliahan di ISI, SMK 8 materi mata pelajaran seni tari tradisi Jawa juga didapat dari internet. Data lain yang merupakan dokumentasi akan diperoleh dari foto keraton, kalangan akademika bahkan foto yang berasal dari masyarakat umum yang memiliki dokumen Tari Srimpi Ludiramadu bahkan foto yang diperoleh peneliti sebagai hasil dokumen pribadi yang diperoleh pada saat menghadiri resesi pernikahan dengan penyambutan tamu Srimpi Ludiramadu.
3.4. Validitas Data Validitas data digunakan untuk memantapkan dan menyimpulkan tafsir makna dari sebuah hasil penelitian (Sutopo, 2006:92). Cara yang akan digunakan untuk pengembangan validitas (kesuhihan) data dalam penelitian yaitu dengan teknik trianggulasi dengan dua teknik: trianggulasi data sumber dan trianggulasi metode. Tekik trianggulasi sumber dengan menggunakan satu jenis sumber yakni dari informan. Informan atau nara sumber yang ditentukan dengan kelompok atau tingkatan yang berbeda. Nara sumber akan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu nara sumber dari keluarga keraton. Pengelola pariwisata budaya dan dinas commit to user
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pariwisata dan kebudayaan. Dari ketiga data kelompok tersebut akan dibandingkan data sejenis yang diperoleh dari para nara sumber yang mungkin memiliki pengalaman dan persepsi yang berbeda-beda. Selain itu digunakan teknik trianggulasi dengan menggali informasi dari sumber-sumber data yang berbeda jenisnya yaitu dari hasil wawancara mendalam, hasil observasi langsung di lapangan, serta sumber tertulis. Skema atau gambar trianggulasi data yang digunakan dalam penelitian ini. Pada gambar : Informan 1 Data Wawancara
Informan 2 Informan 3
Data
Wawancara
Informan
Sumber tertulis
Dokumen dan internet
Observasi
Aktifitas/perilaku/gambar
Gambar 2. Trianggulasi Sumber (Sutopo, 2006:94) Trianggulasi data atau sumber dari hasil wawancara yang diperoleh dari tiga kelompok informan dibandingkan dan dicek berulang-ulang apakah jawaban yang
diberikan
sama
atau
berbeda
sehingga
mendapatkan
kesahihan
informasi/data wawancara dari dua informan memberikan jawaban/pendapat yang sama. Trianggulasi dapat untuk ngecek data mengenai perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna dan faktor-faktor pendorong bentuk, fungsi, dan makna commit to user
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berubah dengan proses perubahan dan tanggapan masyarakat terhadap perubahan tersebut. Metode trianggulasi digunakan untuk mengecek validitas dari hasil jawaban dengan menggunakan 3 metode yaitu wawancara, sumber tertulis, dan observasi. Dari ketiga metode tersebut apakah mendapatkan jawaban akan rumusan masalah yang sama atau berbeda, data yang diperoleh saling terkait satu sama lain.
3.5. Teknik Analisis Data dan Penyajian Data Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif yang berupa deskripsi secara mendalam terhadap Tari Srimpi Ludiramadu dengan bentuk, fungsi, dan makna dulu sebelum berubah bagi Keraton Surakarta dan warga masyarakat terhadap Tari Srimpi Ludiramadu dan Tari Srimpi Ludiramadu dengan bentuk, fungsi, dan makna baru yang sekarang, proses perubahan dan tanggapan masyarakat terhadap fenomena baru tersebut. Dilakukan dengan teknik trianggulasi atau chek and re chek data yang diperoleh melalui pencocokan data yang diperoleh, dari sumber tertulis dan tidak tertulis dari pengamatan langsung, wawancara secara mendalam dengan informan, dan dokumen terkait dengan penelitian, disusun ke dalam pola serta terfokus pada permasalahan
pokok
penelitian.
Semua
catatan
yang diperoleh
dalam
pengumpulan data, direduksi dan dimasukkan ke dalam pola yang terfokus yang mengacu pada rumusan masalah dari penelitian. commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Hasil data direduksi selanjutnya di display secara tertentu untuk pola atau tema masing-masing yang hendak dipahami dan dimengerti dalam konteks kegunaannya dalam penelitian ini. Prosedur yang ditempuh dengan analisis adalah interaktif, yaitu lebih seperti siklus rantai makanan yang tidak dapat dipisahpisahkan sendiri-sendiri. Diawali dengan pengumpulan data yang direduksi (data reduction) dengan memilih dan memilah kedalam satuan konsep-konsep, dan tema penelitian. Hasil reduksi data diorganisasikan ke dalam bentuk skets, sinopsis, dan matriks (display data) untuk lebih memudahkan pemaparan dan simpulan (conclution drawing and verification). Alur dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3. Bagan proses analisis data (Sutopo, 1996:23) Teknik penyajian hasil dari analisis adalah dengan menggunakan dua cara yaitu formal dan informal, bar, bagan, atau foto-foto yang didapat untuk melengkapi serta pendukung hasil analisis, informal merupakan penyajian hasils ecara naratif.
commit to user
49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Asal-Usul dan Proses Penciptaan Tari Srimpi ludiramadu Karya Hamengkunagara III lahir pada pemerintahan Paku Buwana IV. Pada masa itu beliau belum naik tahta sehingga bergelar Hamengkunagara III. Ini dapat disimak pada Wedhapradangga yang secara eksplisit menyebutkan sebelum menjadi raja, Hamengkunagara III banyak menciptakan karya seni : “Ingkang Sinuhun wau wiwit kala dereng jumeneng nata sampun kathah iyasan-iyasan utawi anggitan dalem”. Terjemahan : sinuwun memiliki bakat dalam penciptaan seni tari, rupa, sastra sebelum naik tahta menjadi raja dan kemampuan sudah kelihatan dari karya-karya yang diciptakannya. (Pradjapangrawit, 1990:11). Ungkapan ini secara lisan dikuatkan oleh K.R.T.Hardjonagoro yang menyatakan bahwa
hampir
sebagian
besar
karya
Paku
Buwana
V.
Karya-karya
Hamengkunagara III lahir pada masa pemerintahan Paku Buwana IV : artinya, karya-karya tersebut diciptakan oleh Paku Buwono V semasa menduduki jabatan Pangeran Adipati Anom / Putra Mahkota (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara 5 Desember 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut pada pemaparan selanjutnya penulis cenderung menggunakan sebutan Hamengkunagara III setelah menjadi raja dengan gelar Paku Buwana V. Kegiatan
berkesenian
Hamengkunagara
III
dapat
terungkap
di
Wedhapradangga sebagai berikut : Kacariyos kala raksih jumeneng kanjeng gusti pangeran adipati anom, commit to user saben pasewakan ing dinten senen miwah kemis, saderengipun miyos
50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalem, kanjeng gusti kapareng lenggah ing bangsal pradangga nunggil abdi dalem niyaga, lajeng angasta rebab utawi sanesipun ingkang dados kepareng dalem. Cakipun alus ang rawit sarwa miraos. Ananging manawi ingkang rama (sampeyan balem ingkang dinuhun Paku Buwana IV) sampun katinga/lenggah ing kajogan prabasuyaso, kanjeng gusti wau anggenipun angasta (nabuh) lajeng kadamel-damel radi kaduk sembrana. Yen nuju ngasta bonang lajeng dipun imbalkacengkukaken ngantos gobyog sangat, adamel cingakipun ingkang sami sowan ing plataran, sami noleh tumuju ing bangsal pradangga. Sareng mangertos yen ingkang ngasta bonang kanjeng gusti, lajeng sami tumungkul ajrih (Pradjapangrawit, 1990:1170. Terjemahan : pada saat masih bergelar putra mahkota/pangeran muda setiap ada latihan karawitan yang dilaksanakan setiap hari senin dan kamis. Pangeran muda selalu duduk ditempat pangrawit (nayogo) dan memegang rebab dan alat musik yang lainnya. Kemampuan memainkan alat-alat karawitan Jawa dibuat sedikit salah dan ceroboh disaat ayahanda Pakubuwana IV sudah duduk dikursi singgasana/kursi kebesaran. Pangeran megang bonang dipukul keras sampai orang lain kaget bahkan jantungan, ternyata setelah dilihat pangeran muda yang memainkan, abdi dalem tidak berani menasehati. Pada sumber yang sama karya Hamengkunagara III memiliki corak ini dipandang sebagai corak baru pada masa pemerintahan Paku Buwana IV. Kemudian dianut pada periode berikutnya. Misalnya, bentuk garap imbal (pergantian) pada instrumen bonang yang kemudian dijadikan panutan pada bentuk kesenian periode berikutnya, oleh Pradja Pangrawit diungkapkan sebagai berikut : Ingkang punika mula bukanipun wonten lagu bonangan imbal (imbalimbalan) saha gendhing geculan sarta bonang imbal-imbalan wau kaangge nabuhi nayuban (lelangen tayuban) (1990:118) Terjemahan : beberapa kali dibunyikan iringan yang lucu disertai bonang yang berulang-ulang dipukul menyerupai iringan tayuban (tari tayub/ngibing). Diungkapkan oleh Wahyu Santoso Probowo bahwa Hamengkunagara III memberikan sentuhan kebaharuan pada hampir setiap karya seni pada masa commit to user
51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemerintahan Paku Buwana IV. Hal ini tampak pada karya Hamengkunagara III, karawitan, tari, sastra ataupun kriya (1965:98). Pemaparan tersebut ditegaskan oleh Dipokusumo bahwa pada masa pemerintahan Paku Buwana IV hampir seluruh kriya seni yang ada adalah karya Hamengkunagar III. Bahkan
karya
Paku
Buwana
IV
mendapat
pengaruh
dari
karya
Hamengkunagara III dan juga karya Hamengkunagara III dipersembahkan sebagian besar untuk Paku Buwana IV (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara, 5 Desember 2011) Penciptaan karya seni Hamengkunagara III dalam bentuk gendhing (iringan gamelan Jawa), misal : Sendhon, Bancak, Santiswara (gendhing trebang), gendhing gambir sawit (Pradja Pangrawit, 1990:113).
4.2 Faktor-faktor yang Mendorong Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna yang Lama ke makna yang Baru 4.2.1 Faktor Ekonomi Faktor yang mendorong perubahan yang dikehendaki oleh keluarga keraton (Raja), abdi dalem dikarenakan banyak hal. Apalagi masa pemerintahan tidak lagi di tangan Raja, setelah tahun 1945 kekuasaan Raja dialihkan ke Republik (walikota) sebagai pemerintah baru. Pada saat itu keadaan di keraton terjadi konflik internal yang membuat kekuasaan Raja berpindah ke Republik Indonesia. Di keraton ada 2 kubu yang masing-masing mempunyai alasan untuk bergabung ke Republik Indonesia atau Raja tetap memiliki kekuasaan pemerintahan yang disebut DIS (Daerah Istimewa commit to user Surakarta) seperti di Yogyakarta, ada juga yang ingin begabung dengan Republik
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Indonesia, pada akhirnya presiden Soekarno memutuskan untuk menonaktifkan Raja untuk memerintah, hanya keraton sebagai pusat kebudayaan. Keadaan keraton semakin tidak dapat dikendalikan menyebabkan ekonomi keraton moratmarit. Pemerintah hanya memberikan subsidi untuk menyelenggarakan acaraacara keraton tidak lagi memiliki kekuasaan untuk mengelola keuangan atau pemerintahan. Pemasukan dari pabrik tebu, pajak (upeti) yang berupa bahan pangan (padi, jagung, sayuran dan uang kepeng / rupiah) dari rakyat (Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, Boyolali, Karanganyar) otomatis terhenti. Pengelolaan pabrik tebu dan hasil sebagian diserahkan ke pemerintah Republik Indonesia. (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara, 5 Desember 2011). Dengan keadaan keraton yang tidak kondusif mempengaruhi regenerasi penari keraton. Putri keraton sdikit yang berlatih menari disebabkan keadaan keuangan di keraton gonjang-ganjing, banyak yang putri keraton yang bekerja tidak hanya menjadi putri keraton saja. Masuknya penari di luar tembok keraton untuk memenuhi jumlah penari keraton yang sangat sedikit jumlahnya pada akhirnya regenegarasi penari keraton sedikit mengalami kesulitan. Pada saat keraton menerima tamu dari luar (Belanda, Inggris, Amerika, Jepang). Untuk penyambutan tamu pihak keraton menyajikan Tari Srimpi Ludiramadu dan mengambil penari dari luar (rakyat biasa) yang diambil dari mahasiswa STSI yang sekarang bernama ISI Surakarta. Keadaan ekonomi keraton berpengaruh pada perubahan bentuk, fungsi, dan makna. Keraton sekarang tidak cukup uang untuk memberikan kesejahteraan commit to user
53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bagi abdi dalem (pesuruh atau pembantu) dan juga kerabat keraton sebagai penari keraton. Putra dan putri raja tidak semua menekuni tari sebagai mata pencaharian karena tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga kekurangan penari mengambil penari dari luar keraton yang sama sekali tidak ada hubungan persaudaraan ataupun aliran darah dengan keraton. 4.2.2 Faktor sosial berpengaruh juga pada perubahan bentuk, fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu. Pihak keraton merasa sangat membutuhkan pihak luar dalam membantu melestarikan budaya Jawa karena keraton tidak mampu untuk melakukan sendiri. Rasa prihatin yang ada di benak Raja bahwa penari keraton sedikit dikhawatirkan masyarakat umum tidak mengetahui kesenian tradisi keraton, khususnya tari keraton yang berbentuk Srimpi. Keinginan raja setelah tidak memerintah ingin membaur dan dekat dengan rakyat dan mengenal masyarakat di luar tembok keraton. (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara, 5 Desember 2011). Keterbukaan Raja dan keluarga membuka diri, dalam menggali kesenian tradisi, yang diawali pada tahun 1970 dengan memanggil pengelola ASKI Surakarta Gendhon Humardani untuk ikut dalam melestarikan kesenian tradisi dan memberikan tempat untu latihan tari yang berbentuk (wireng, srimpi), kecuali bedhaya ketawang srimpi digali pada tahun 1971 di Sasana Mulyo, PKJT (Pusat Kesenian Jawa Tengah), pada masa pemerintahan Paku Buwana XXII, dan sitinggil diserahkan untuk kampus ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) yang sekarang menjadi ISI Surakarta (Institut Seni Indonesia Surakarta). commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.2.3 Faktor seniman keraton Perubahan pada Tari Srimpi Ludiramadu juga dipicu oleh kreativitas yang berkembang dari seorang seniman untuk berkreasi dan menciptakan kebudayaan atau karya yang baru karena sudah dipengaruhi oleh tempat individu hidup dan bekerja (Selo Soemardjan, 1983:91) demikian halnya Tari Srimpi Ludiramadu juga mengalami perkembangan yang sangat pesat. Faktor pihak keraton, seniman keraton yang terbuka dalam pembaharuan dengan kekuasaan tidak lagi ditangan raja, seniman keraton lebih bebas berkreasi, berimajinasi dengan pengungkapan jiwa yang disesuaikan dengan kepribadian, selera, tujuan dan sistem nilai yang dianut dengan pengungkapan pada karya disini gerak Tari Srimpi Ludiramadu menyesuaikan seniman yang menggali. (Nanuk Rahayu, wawancara, 6 Desember 2011). 4.2.4 Faktor politik Perkembangan kebudayaan yang terjadi tidak lepas adanya beberapa sejarah masyarakat, warisan dan dasar politik didalam negara, man-power dengan mentalitasnya (Phil Astrid, 1977:223) Peralihan Pemerintaan dari tangan Raja ke tangan negara republik Indonesia mempengaruhi keberadaan kesenian tradisi disini Tari Srimpi Ludiramadu tidak dipergunakan untuk upacara wetonan Raja hanya digunakan misal ada tamu kerajaan, misi kesenian ke Inggris, Belgia, Perancis, Arab, Singapura, Jepang, Amerika (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara, 6 Desember 2011). Keluarga keraton disibukkan dengan kegiatan di luar keraton misal : Kepartaian sebagai anggota DPRD, DPR, Pegawai Negeri Sipil bahkan commit to user
55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
usaha/bisnis dibidang lain selain keraton. Usaha untuk tetap mempertahankan kesenian tradisi tetap berada didalam keraton dan bersifat adi luhung menjadi pudar. Keadaan politik mempengaruhi kekuasaan Raja yang tidak memiliki kuasa penuh menjalankan roda pemerintahan dan hanya sebagai cagar budaya yang perlu dilestarikan keberadaannya (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara, 6 Desember 2011). 4.2.5 Faktor pariwisata budaya Pariwisata budaya pada tahun 1970-an yaitu dunia kepariwisataan menjadi salah satu industri terbesar di dunia dan industri yang paling cepat berkembang terkait dengan masalah itu pemerintah Indonesia telah menentukan sikap pada tahun 1978 untuk mengembangkan kepaiwisataan. Hal tersebut dikuatkan dalam TAP MPR No. II/MPR/1993, tentang Garis Besar Haluan Negara, khususnya dalam melaksanakan pembangunan lima tahun keenam. Disini disebutkan bahwa : Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada peningkatan pariwisata menjadi sektor andalan yang mampu menggalakkan kegiatan ekonomi termasuk kegiatan sektor lain yang terkait, sehingga lapangan kerja, pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, dan pendapatan negara, serta penerimaan devisa meningkat melalui upaya pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan nasional. Dalam pembangunan kepariwisataan harus dijaga dan tetap terpeliharanya kepribadian bangsa serta kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Kepariwisataan perlu ditata secara menyeluruh dan terpadu dengan melibatkan sektor lain yang terkait dalam suatu keutuhan usaha kepariwisataan yang saling menunjang dan saling menguntungkan, baik yang berskala kecil, menengah, maupun besar. Pengembangan pariwisata nusantara dilaksanakan sejalan dengan upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa, serta menanamkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka lebih memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional, terutama dalam bentuk penggalakan pariwisata remaja dan pemuda dengan lebih meningkatkan kemudahan dalam memperoleh pelayanan kepariwisataan. Daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan wisata mancanegara perlu ditingkatkan melalui to user bersejarah yang menggambaran upaya pemeliharaan bendacommit dan khazanah
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ketinggian budaya dan kebesara bangsa, serta didukung dengan promosi yang mengikat. (Soedarsono, 1989 / 1990:14). Pada tahun 1990 terkena dampak globalisasi yang terkena dampak tidak hanya bidang pemerintahan, ekonomi, sosial masyarakat, bahkan kebudayaan tidak luput terkena dampak globalisasi. Hal ini dikenal dengan kebudayaan mengalami modernitas budaya. Kesenian tradisi keraton ikut mengalami misal wireng, bedhaya bahkan Tari Srimpi Ludiramadu. Keraton memiliki cara untuk tetap melestarikan kesenian tradisi walaupun wujud tari tidak sama persis seperti yang berada di dalam keraton/masa lampau. Keraton membuat paket budaya dengan memadukan tari dan kuliner khas Jawa misal Serabi Notosuman, ledre, tiwul sampai alat transportasi Jawa (Andong). Pemerintah juga mengadakan transportasi untuk mengelilingi cagar budaya di Surakarta. Alat transportasi selain sepeda ontel, bis kota Trans yang bernuansa batik sampai sepur lokomotif khas tempo dulu. Tari Srimpi Ludiramadu sekarang digunakan sebagai paket pariwisata budaya berpengaruh pada perubahan bentuk, fungsi, dan makna pada Tari Srimpi Ludiramadu. Pengembangan warisan budaya keraton menjadi kemasan atraksi dan objek wisata budaya salah satu alternatif yang memungkinkan diperolehnya sumber dana untuk kegiatan pelestarian dan pengembangan warisan budaya secara berkelanjutan. Wisata budaya berbentuk pertunjukan pada tari dilaksanakan pada malam hari yang dinikmati oleh wisatawan mancanegara yang dikelola yayasan pawiyatan keraton Kasunanan Surakarta yayasan ini dipimpin oleh G.R.Ay. commit to userXII. Wisata budaya yang diadakan Koesmurtiyah Wirabhumi, Putri Paku Buwana
57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada malam hari sangat diminati para wisatawan dari Perancis, Inggris, Spanyol, Italia, Belanda, Amerika dan lain-lain. (dalam Wahyu Santoso Prabowo 1983:80) Keraton melakukan pelestarian dengan paket pariwisata dipadukan dengan makanan keraton yang disukai Raja-Raja pada jaman dulu. Sebelum menikmati Tari mereka disambut oleh pemandu wisata dan tuan rumah (keluarga keraton/kerabat keraton) menuju Sasana Handrawina untuk makan malam dengan makanan khas keraton misal : Garang asem, ayam bakar, Mangut, dan makanan berbentuk serabi, ledre, tiwul dan lain-lain setelah itu baru ke Bangsal Smarakata melihat pementasan Tari Srimpi, Wireng. Kunjungan wisata malam hari di keraton diselenggarakan satu kali dalam seminggu yaitu pada hari Rabu malam dengan rata-rata kunjungan lumayan banyak, menghasilkan pemasukan bagi keraton dan kelangsungan pelestarian hasil kebudayaan tetapi dibalik itu semua Tari Srimpi Ludiamadu perubahan dalam bentuk, fungsi, dan makna karena menyesuaikan paket wisata budaya yang dibilang sekedar untuk hiburan / refresing sehingga tidak membutuhkan waktu lama tetapi para wisatawan hanya mengetahui gleger (bentuk global) Tari Srimpi mereka tidak mengerti bahwa Tari Srimpi Ludiramadu memiliki fungsi yang sakral, magis, religius pada zaman dulu. Penyingkatan waktu atau durasi yang dilakukan untuk pariwisata budaya berpengaruh pada perubahan bentuk, fungsi, dan makna karena untuk pariwisata Tari Srimpi Ludiramadu dipentaskan hanya + 15 menit saja. Supaya penonton / wisatawan mancanegara tidak jenuh untuk melihatnya tetapi merasa terhibur dan berkesan sehingga lain waktu bersedia untuk datang lagi ke Solo / Surakarta. commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kesadaran wisatawan Mancanegara dengan kebutuhan Budaya dan Rekreasi perkembangan peradaban manusia menjadikan manusia sadar akan kekurangan-kekurangannya dan mengagumi berbagai kegiatan kebudayaan baik kegiatan, kebudayaan di daerahnya maupun di luar daerah.
Sehingga manusia
berusaha melakukan mobilitas untuk minat nengunjungi kebudayaan orang lain serta melakukanaya dengan berrekreasi. Lalu suburlah, kini manusia melakukan kunjungan-kunjungan kebudayaan lain dan rekreasi yang kedikenal
dengan
Istilah. tourisme atau. pariwisata (dalam arti luas). Hal inilah yang melatar belakangi lahirnya kegiatan berpariwisata. Baik berpariwisata yang bersifat rekreasi ngenggar-enggar penggaalih, wisata olahraga, wisata pendidikan, study tour, wisata ritual seperti Waisak di Mendut, do'a Rosari di Goa Maria Sendangsono , Yakowiyu di jatinom Klaten, sekaten di Keraton, dan lain-lain. Juga wisata yang bersifat politis seperti kegiatan-kegiatan pergelaran dan workshop kesenian yang dimaksudkan terjadi diplomasi budaya, sehingga masyarakat suatu negara dapat mengenali perilaku dan karakter peradaban bangsa lain. Dengan demikian. luas pulalah kepariwisataan dewasa ini. Pengertian mengenai istilah pariwisata, tetapi menurat peneliti, yang paling penting dan umum mengenai pariwisata adalah suatu kegiatan manusia yang berhubungan dengan mobilitas / perjalanan / berpergian dengan harapan dan tujuan
(baik tujuan utama maupun tujuan sampingan) untuk mendapatkan
kepuasan dan kebabagiaan. Jadi yang jelas pasti berhubungan dengan perjalanan dan usaha mencari kenikmatan dari perjalanan itu. Dengan demikian berbagai motivasi tujuan mobilitas manusia dapat pula menjadi dorongan tujuan commit to user
59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepariwisataan, baik sebagai tujuan utama maupun sampingan seperti telah disebutkan diatas. Pengertian wisatawan di negeri kita ini mengalami berbagai perubahan dan perkembangan. Hal ini dapat terjadi karena sifat dari suatu perjalanan kepariwisataan itu sendiri mengalami perkembangan. Pemerintah Republik Indonesia menanggapi masalah-masalah kepariwisataan sebagai hal yang serius, sebab pemerintah sadar bahwasanya kepariwisataan pada suatu ketika dapat dijadikan sebagi suatu industri yakni "Industri Pariwisata". Kita dapat menafsirkan pengertian industri disini yakni suatu badan usaha yang berorientasi pada suatu produksi tertentu dan merupakan penawaran jasa yang harus ditanggapi dengan hal keuntungan. Jadi suatu kesadaran untuk menggarap pariwisata untuk kepentingan ekonomi negara. Oleh karena itu pemerintah menurunkan keputusan-keputusan resmi mengenai pengertian wisatawan tersebut. Pada tahun 1969 pemerintah menurunkan Intruksi Presiden Republik Indonesia No. IX menyebutkan bahwa, "Wisatawan (tourist) adalah setiap orang yang berpergian dari tempat tinggalnya untuk berkunjung ke tempat lain dengan menikmati perjalanan dan kunjungan” (Prayoga 197 6; 9). Adapun batas pengertian mengenai wisatawan secara internasional telah dibicarakan di Perserikatan Bangsa-Baagsa (PBB) yang diadakan di Roma (Italia) tahun 1965. Pembicaraan itu atas usulan I.U.O.T.O (The International Union of Official Travel Organization) guna menemukan keseragaman pengertian mengenai
perjalanan
/
kunjungan dan kepariwisataan commit to user
60
internasional.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perkembangan berikutnya pada tahun 1968 batasan mengenai (tourist) sedikit mengalami perubahan yakni istilah. pengunjung (visitor). Pengertian tersebut sudah mencakup setiap orang yang berkunjang ke negara lain (bukan negara tempat mereka tinggal) dengan maksud bekerja untuk mendapatkan upah (Prayoga 1976: 10). Pengertian pengunjung dibedakan dalam dua kategori wisatawan (tourist) dan pelancong (excurtourst), Yang dimaksud dengan wisatawan ialah, pengunjung sementara yang tinggal lebih dari 24 jam guna menikmati perjalanan. Kategori wisatawan ini ialah yang bersifat pesiar yakni untuk keperluan rekreasi hiburan, kesehatan, pendidikan, keagamaan dan olah raga. Ada pula yang bersifat hubungan yaitu hubungan dagang, sanak keluarga, handai tolan, konperensi, misi atau bentuk-bentuk diplomasi budaya lewat pertunjukan-pertunjukan bersama dan latihan bersama. Sedangkan yang dimaksud dengan pelancong adalah pengunjung sementara yang tinggal kurang dari 24 jam dan pengunjung tersebut berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain termasuk pengunjung dalam pesiar walaupun pengunjung tersebut lebih dari 24 jam. Karaton Kasunanan dan Pura Mangkunagaran masing-masing mempunyai dua jenis kunjungan wisata yaitu, kunjungan wisata siang hari dan kunjungan wisata malam hari. Kunjungan wisata siang hari adalah wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara. Kunjungan wisata malam hari diselenggarakan khusus untuk wisatawan mancanegara. Oleh karena pusat perhatian pada penelitian ini adalah tari kemasan wisata untuk wisatawan mancanegara, maka sebagai bahan utama pembicaraan pada bab ini adalah jenis kunjungan wisata yang kedua, yakni commit to user
61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kunjungan wisata malam hari. Sebagai tempat kunjungan wisata, masing-masing istana mempunyai kesamaan pengelolaan di samping terdapat juga perbedaanperbedaannya. Hal tersebut akan diuraikan seperti di bawah ini. Dengan tidak menutup kemungkinan bantuan dari berbagai pihak, pelestarian semua warisan budaya keraton merupakan tanggung jawab langsung keluarga dan kerabat keraton. Hal ini menyangkut berbagai upucara adat tatacara,
fisik
bangunan,
dan
kelangsungan
kehidupan
keseniannya.
Pengembangan warisan budaya keraton menjadi kemasan atraksi dan objek wisata budaya, merupakan salah satu alternatif yang memungkinkan diperolehnya sumber dana untuk kegiatan pelestarian dan pengembangan warisan budaya tersebut secara berkelanjutan. Wisata kunjungan malam hari untuk wisatawan mancanegara adalah salah satu kegiatan yang dikelola oleh Yayasan Pawiyatan Karaton Kasunanan Surakarta. Yayasan ini dipimpin oleh G.R.Ay. Koesmurtiyah Wirabhumi, putra Paku Buwana XII. Membicarakan kesenian, utamanya tari-tari keraton, tidak akan lengkap tanpa menbicarakan peran sertanya. Koesmurtiyah dikenal sebagai penari bedhaya dan srimpi yang andal. Penguasaannya terhadap sejumlah tari bedhaya dan srimpi menjadikan dia sebagai nara sumber primer untuk berbagai bentuk penelitian, khususnya tentang tari tradisional keraton. Kepakarannya di bidang tari keraton khususnya tarian putri, dapat dilihat pada hari latihan yang diadakan pada setiap hari Rabu, Sabtu, dan Minggu, dari pukul 14.00 sampai 16.00 di Bangsal Surakarta. Dalam waktu latihan garingan (latihan tanpa karawitan), dia melatih secara langsung penari yunior dengan bantuan para penari commit to user
62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan mantan penari senior (perlu diketahui bahwa dilingkungan tradisi keraton, bila mana seseorang penari
yang kemudian menikah, maka status kepenariannya
secara otomatis ditanggalkan). Apabila tari bertemu dengan karawitan, peran dia berfungsi ganda yaitu tebagai pengeprak. Pengeprak adalah orang yang bertugas memukul alat yang terdiri atas kotak, ukuran kecil terbuat dari kayu yang salah satu sisinya terbuka, dan pada salah satu sisi papannya tergantung dua atau tiga lempengan logam yang ditumpuk. Alat ini disebut keprak. Fungsi keprak pada sajian tari-tarian istana kalau tidak dapat disebut vital adalah sangat penting. Pada keprak bergantung aba-aba atau tanda tentang dimulai dan akhir dari suatu gerak tari, berfungsi sebagai ilustrasi setiap gerak tari, memberi tanda kepada pengrawit (pemain gamelan) untuk memulai atau mengakhiri suatu gendhing, dan juga memegang peranan untuk memperlambat dan mempercepat laya (irama) gendhing. Untuk pentas formal, peran dia sebagai pengeprak didelegasikan kepada salah seorang mantan penari senior yang juga berkedudukan sebagai salah satu pembantu pelatih tari di keraton. Kesadaran yang tinggi dari pihak keraton tentang industri pariwisata, khususnya kunjungan malam hari, telah dipersiapkan dengan maksimal guna menarik minat wisatawan pada kunjungannya yang pertama dan demi kunjungankunjungan yang akan datang. Persiapan tersebut meliputi kendaraan jemputan, menu makan malam berikut makanan kecil beserta minuman dingin atau panas, dan penempatan tempat duduk wisatawan. Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke keraton datang dari negara Perancis, Inggris, Spanyol, Amerika, Malaysia, Jepang, Australia, Singapura, dan commit to user
63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Italia. Jumlah mereka antara 20 orang hingga 30 orang. Mereka kebanyakan terbang dengan pesawat maskapai Air Silk menuju Indonesia turun di Bandara Polonia Medan. Perjalanan mereka sampai di Surakarta ditangani oleh biro perjalanan Nataya Tours and Travel. Di Surakarta mereka bermalam di Hotel Sahid Raya yang mempunyai kualifikasi bintang empat. Keberangkatan wisatawan dari hotel Sahid Raya menuju keraton berkendaraan andhong (kereta rodo empat yang ditarik kuda) yang akan tiba pada pukul 18.00 WIB. Sesampainya di keraton, mereka disambut oleh pemandu wisata dan tuan rumah menuju Sasana Handrawina untuk makan malam. Waktu pementasan dimulai pukul 19.30 WIB. di Bangsal Smarakata. Apabila terjadi keterlambatan relatif lama, kedatangan wisatawan tidak langsung makan malam, melainkan setelah menyaksikan pementasan tari pertama yang biasanya disajikan tari srimpi. Pada saat penyajian tari srimpi ini wisatawan tidak mendapatkan jamuan yang berujud apapun. Hal ini juga berlaku bagi wisatawan yang datang tepat waktunya. Tata cara ini dimaksudkan agar wisatawan ikut menghormati sajian tari srimpi sebagai salah satu atribut kehormatan keraton. Sebelum dimulainya sajian tari yang kedua, wisatawan dijamu makanan kecil berikut minuman panas atau dingin. Sesaat sebelum tari pertama maupun tari kedua disajikan, terlebih dahulu dibacakan latar belakang tari bersangkutan oleh salah seorang yang telah ditunjuk pihak penyelenggara. Untuk satu paket sajian seperti telah terurai di atas, setiap orang wisatawan mengeluarkan beaya sebesar $ 28 U.S - $ 35 U.S. Adapun honorarium untuk seorang penari sebesar Rp. 50.000,-, demikian juga para swarawati (pesindhen) commit to user
64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan pemain kendhang (pengendhang). Honorarium bagi pengrawit khusus untuk tindhih (pemimpin karawitan) sebesar Rp. 30.000,- dan pangrawit yang lain mendapat rata-rata Rp. 20.000,-. Pada era sekarang mengikuti perkembangan rupiah dan kurs dollar untuk honor penari dan pengrawit Rp. 200.000,- sampai Rp. 500.000,Dari hasil pengamatan, tari kemasan wisata di keraton didukung oleh para penari rata-rata berkualitas baik, demikian pula para pengrawitnya. Sejumlah delapan puluh persen asal penari dari luar lingkungan tembok keraton. Khususnya para penari putra adalah para mahasiswa dan alumni Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta. Para pengrawit. pada umumnya telah mempunyai status sebagai abdi-dalem keraton dengan masa kerja yang beragam. Dalam mencapai hasil yang maksimal, dua atau tiga hari sebelum pentas diadakan latihan guna memenuhi target waktu 15 menit untuk satu sajian tari. Latihan ini hanya berlaku untuk tari srimpi yang penggarapannya lebih kompleks daripada tari-tari putra pada umumnya. Satu tarian srimpi paling tidak terdiri atas tiga gendhing pokok yang memerlukan banyak waktu dalam memainkanya ditambah dua bentuk pathetan. Adalah suatu kesulitan tersendiri ketika durasi tari srimpi yang sebenarnya rata-rata tiga-puluh hingga empat puluh menit beralih menjadi singkat dengan durasi waktu lima belas menit. Selain itu juga harus dipertimbangkan aspek rasa tari yang tetap kuat dengan ciri kelembutan gerak tarinya dan jauh dari rasa tergesa-gesa. Untuk itu, meskipun tari-tari srimpi tersebut telah dibakukan untuk sajian wisatawan, latihan sebelum pementasan tetap disyaratkan. Garap gendhitig tarian putra pada umumnya tidak serumit garap commit to user
65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gendhing pada tari srimpi. Rata-rata tarian putra terdiri atas dua gendhing pokok yang relatif tidak memerlukan waktu yang lama untuk memainkannya, ditambah bentuk ada-ada atau pathetan. Promosi budaya keraton telah sering dilakukan di dalam maupun di luar negeri. Promosi yang dilakukan untuk masyarakat luar negeri antara lain ke negara Jepang, Hongkong, dan Amerika. Materi untuk lawatan ke luar negeri selain mementaskan tari-tarian keraton juga menggelarkan upacara adat pengantin keraton. Para bangsawan keraton cukup terbuka melihat perkembangan tari di luar tembok keraton. Sikap keterbukaan ini merupakan salah satu dukungan penyelenggaraan festival-festival kesenian. Kolaborasinya dengan pihak luar yang pernah dilakukan adalah berjudul Passage Through the Gong (1993) dengan Sardono Dance Company. Karya tari ini untuk memenuhi undangan Next Wave Festival di Amerika Serikat. Kota-kota yang disinggahi pementasannya meliputi Brooklyn, New York, San Fransico, dan Los Angeles. Karya yang sama dipentaskan juga di Hongkong dalam forum Hongkong Arts Festival 1996. Kunjungan wisata malam hari di keraton diselenggarakan satu kali dalam seminggu yaitu pada tiap hari Rabu malam. Adapun jumlah kunjungan tahun 1993 sebanyak 18.367 orang; tahun 1994 sebanyak 11.813 orang; dan tahun 1995 sebanyak 8.852 orang. Sebagaimana sifat budayanya (tradisi), tarian istana Surakarta yang dilestarikan hingga sekarang merupakan hasil dari proses 'belajar-mengajar' secara turun-temurun
dari generasi sebelutnnya ke generasi berikutnya. Cara
penyampaiannya (transmisinya) yang dikenal paling tidak ada tiga macam yaitu commit to user
66
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pertama, 'metode' tradisional; kedua, 'metode' campuran antara metode tradisional dengan 'metode' hitungan; dan ketiga membaca catatan. Pertama, metode tradisional merupakan cara yang lazim digunakan oleh para empu tari. Pada metode ini guru menari di depan dan murid menirukan di belakangnya, baik bersamaan dengan karawitan langsung maupun tidak langsung. Kedua, metode campuran adalah cara yang banyak digunakan pada sekolah-sekolah seni dan sanggar-sanggar tari. Pada metode ini selain guru memberi contoh di depan untuk ditirukan oleh murid, juga meminjam bentuk dan struktur karawitannya untuk diganti dengan hitungan guna memudahkan penerimaan bagi murid. Ketigar membaca catatan tari. Metode Ini hanya digunakan oleh penari-penari tingkat lanjut lewat bimbingan atau tidak oleh guru. Hal demikian disebabkan oleh sifat catatan tari yang banyak menggunakan peristilahan (terminologi) tari. Kegiatan ini khususnya untuk naskah-naskah tari kuna yang biasa disebut sebagai penggalian tari. Dari ketiga cara yang telah disebut dihasilkan tiga bentuk tarian, yaitu bentuk tarian lengkap, bentuk tarian padat, dan bentuk tarian ringkas atau singkat. Pengertian bentuk tarian lengkap adalah menyajikan kembali suatu tari berikut konsep koreografi tradisi yang menyertainya, antara lain konsep keseimbangan dalam bentuk pengurangan sekaran (satuan gerak tari), konsep ruang dalam bentuk penjelajahan ke empat arah mata angin, dan sebagainya. Pengertian bentuk tarian padat adalah suatu tari yang secara fisik masih mengacu kepada bentuk tari yang lama dalam garap padat. Konsep atau garap padat adalah keterpadunn antara wujud lahir atau wadah (tempat) dengan isinya. commit to user
67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Sesuai dengan kata padat dalam arti harfiahnya yaitu singsat (Jawa: singset), bernas, mattes, maka Larian bentuk padat ini lebih kecil dibandingkan dengan bentuk aslinya. Untuk mencapai bentuk padat terdapat beberapa konsekuensi antara lain, perubahan pada laya gendhing tari, penghilangan pengulangan sekaran tari, dan perubahan pola lantai. Pengertian tarian bentuk ringkas atau singkat adalah tarian yang secara stuktur atau urut-urutan sekaran tari dan laya gendhing masih mengacu kepada tari aslinya, tetapi terdapat pemangkasan atau pemotongan pada sekaran tari, bentuk perangan (apabila tari tersebut sebagai tari perang), dan pengurangan pola lantai. Khusus tarian yang disebut terakhir, meskipun dalam bentuk ringkas atau singkat, masih bernuansa eksotik yang merupakan daya tarik tersendiri untuk wisatawan. Selain itu relatif tidak terlalu memerlukan waktu yang lama untuk penyajiannya. Pada kenyataannya hanya bentuk tarian ringkas atau singkat ini sebagai sajian wisata, maka wajarlah bila disebut sebagai tari kemasan wisata, di samping keperluan pelestarian sebagai ide pokoknya. Tari kemasan untuk wisatawan mancanegara di Karaton Kasunanan dan Pura Mangkunagaran Surakarta telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Hal tersebut tercermin dalam setiap pementasannya yang senantiasa menjaga kualitas pertunjukannya. Baik di keraton maupun di pura, masing-masing menyajikan dua repertoan tari pada setiap malam kunjungan wisatawan. Hal yang sama, penyajian tari diselenggarakan setelah jamuan makan malam yang merupakan bagian dari keseluruhan paket kunjungan. Sesaat sebelum pertunjukan berlangsung, para commit to user
68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
wisatawan dijamu makanan kecil dan minuman panas, yang barangkali suatu hal yang tidak biasa dilakukan oleh mereka. Khususnya di Karaton Kasunanan Surakarta, paket wisata untuk wisatawan mancanegara ini diselenggarakan satu kali seminggu pada setiap hari Rabu malam. Para wisatawan datang dari negara Perancis, Spanyol, dan Inggris dengan pesawat Silk Air. Untuk kunjungan ke keraton, mereka dikenakan beaya setiap orang $ 28 U.S - $ 35 U.S. Jumlah rata-rata setiap kali kunjungan sebanyak 28 – 35 wisatawan. Karaton Kasunanan Surakarta menyiapkan empat repertoar tari untuk kunjungan wisatawan mancancgara. Koempat lari tersebut terdiri alas dua repertoar tari jenis putri yaitu tari Srimpi Lagudhempel dan tari Srimpi Lobong dan dua repertoar tari jenis putra yaitu Wireng Bandayuda dan Wireng Lawung. Pada setiap pementasan disajikan dua repertoar tari yang diambil dari empat repertoar tari yang telah dipersiapkan di atas, yakni tari srimpi (sebagai sajian tari pertama) dan wireng (sebagai sajian tari kedua). Keempat repertoar tari tersebut merupakan materi pokok dalarn arti sering dipentaskan untuk sajian wisatawan. Repertoar tari lain sebagai cadangan adalah Wireng Bugis Keinbar dan Pethilan Perang Kembang. Pada pementasannya tidak terdapat pembakuan apakah satu repertoar tari srimpi tertentu habis bersamaan atau berdampingan dengan repertoar tari wireng atau tari pethilan tertentu. Gambaran repertoar tari untuk sajian wisatawan mancanegara dimaksud sebagai berikut: commit to user
69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Srimpi Gendhing Lagudhempel. Menurut Catatan gendhing ini karya Paku Buwana VIII di Surakarta. Secara umum yang ada pada tari srimpi adalah tarian tersebut dilakukan oleh empat orang penari putri dengan kualitas gerak halus dan cenderung lembut. Masing-rnasing penari mempunyai nama-nama tertentu yaitu batak, guhi, dhadha, dan buncit. Selain itu nama tari srimpi selalu mengambil dari nama gendhing (musik tari) yang mengiringinya. Keempat penari Srimpi Lagudhempel mengenakan tata rias dan tata busana yang sama. Tata rias yang digunakan adalah rias korektif putri (mempertegas garis wajah dengan pensil rias, bayangan mata, dan pemerah pipi) yang dilengkapi dengan segokan dan godhek. Gendhing Srimpi Lagudhempel diawali pathetan slendro sanga untuk masuk penari menuju gawang (tempat menari/pentas) yang dilanjutkan posisi duduk paju-pat (keempat arah penjuru angin). Kemudian dilanjutkan Gendhing Lagudhempel buka (intro) rebab, sementara itu para penari mulai menari dengan gerak tari mangenjali (melakukan gerak sembah) dengan sikap gerak duduk. Gendhing srimpi ini terdiri atas tiga bagian yaitu bagian merong, bagian minggah ladrangan, dan bagian Ketawang Mijil Lagudhempel. Ceritera yang ada pada cakepan (syair sindenan) di bagian merong dan minggah ladrangan melukiskan Idiarisma Prabu Sri Dasarata raja Ngayodya. la sebagai seorang raja yang benaiak iviku yang selalu berbuat baik dan jauh dari prasangka buruk pada scsamanya. Oleh karena itu, raja-raja dari negara lain semuanya tunduk tanpa peperangan segan oleh kebesaran atau keagungan commit to user
70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
budinya. Pada bagian Ketawang Lagu Dhempel berisi petuah tentang kehidupan. Petuah atau nasihat itu antara lain, bahwa jagad yang digelar ini semuanya adalah ilmu. Demikian pula semua peristiwa merupakan pengalaman yang harus direnungkan untuk mencari benar dan salah mau pun baik dan buruk. 2. Srimpi Gendhing Lobong Seperti halnya gendhing terdahulu, gendhing ini yasan Paku Buwana VIII di Surakarta. Dengan diawali pathetan laras slendro manyura. sementara para penari berjalan menuju gawang tari untuk duduk pada arah keempat penjuru angin. Keempat penari mengenakan rias korektif putri dan mengenakan tata busana yang sama. Tata busana yang menghias kepala meliputi jamang, sumping, cundhuk-wulu, dan kanthong-gelung. Leher mengenakan kalung pananggalan dan lengan atas mengenakan kelat-bahu serta pergelangan tangan mengenakan gelang. Kemudian berturut-turut baju tak berlengan, sampur, slepe, dan kain parang. Gendhing Srimpi Lobong sebagai berikut. Dengan diawali oleh lagu atau pathetan slendro manyura kemudian buka rebab sebagai awal dari bagian merong. Sesudah itu minggah Pareanom dan dilanjutkan Ladrang Kandhamanyura. Gendhing Srimpi Lobong ini semula menggunakan laras pelog pathet nem, dan pada tahun 1774 oleh Pakubuwana VIII diganti laras slendro pathet manyura. Ceritera yang ada pada cakepan menggambarkan perang Bharatayuda antara Pandawa melawan Ngastina telah selesai. Situasi yang berangsur-angsur damai tiba-tiba dikotori oleh Aswatama yang ingin membunuh Parikesit dengan pusaka Cundhamanik milik Bhatari Wilutama. Dengan pusaka tersebut Aswatama commit to user
71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat masuk ke pembaringan bayi Parikesit lewat lorong di bawah tanah (ngesong: Jawa) yang dibuatnya. Parikesit tidur tanpa ditunggui oleh ibunya maupun inangnya, melainkan sebuah panah pusaka Pawpati milik kakeknya, Janaka. Tuhan melindungi bayi Parikesit. Ketika Aswatama akan menancapkan pusaka ke tubuh Parikesit, tiba-tiba tanpa disengaja panah Pasopati yang disandingnya melesat oleh jejakan kaki Parikesit sehingga mengenai dada Aswatama hingga tewas bersama lepasnya pusaka Cimdamanik dari tangannya. 3. Wireng Bandayuda. Tari perang ini yasan Susuhunan Paku Buwana IV (1787-1820) di Surakarta. Tari ini diilhami oleh tari Wireng Lawung yang diciptakan oleh Sultan Agung di Mataram (1613-1645), yang intinya mengungkapkan latihan perang dengan senjata tombak. Para penari Wireng Bandayuda berias korektif laki-laki dengan mempertegas garis wajah dengan menggunakan pensil rias untuk alis dan garis mata serta godhek; warna merah (rouge) pada pipi dan lipstick pada bibir, dan mengenakan kumis pasangan. Penari mengenakan kain modang atau alas-alasan kombinasi warna merah dengan putih, celana panjen merahhati, sabuk cindhen, sampur hiring, epek hitam, timang kuning, dan kalung kaceh warna merah. Kepala mengenakan kodhok-bineset dan leher mengenakan kalung ulur. Peralatan yang digunakan adalah tongkat berukuran pendek dan tameng yang terbuat dari rotan. Mereka mengenakan asesori keris. Gendhig Wireng Bandayuda diawali dengan lagu ada-ada pelog barang untuk mengawali seluruh gendhing tari ini. Maju beksan menggunakan Lancaran commit to user
72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Singanebah laras pelog pathet barang dan dilanjutkan Ladrang Bimakurda pelog barang. Pada bagian perang-perangan kembali pada lancaran semula, demikian pula pada beksan bagian kedua kembali pada ladrang. Pada bagian akhir yaitu mundur beksan kembali ke Lancaran Singanebah. Salah satu ciri wireng di Surakarta adalah tidak adanya penokohan. Namun demikian, apabila di lihat dari cakepan (syair teks) ada-ada (lagu dengan iringan dhodhogan) pada tari ini, terdapat nama-nama tokoh yaitu Jayengsari dan Macanwulung yang terdapat pada ceritera Panji. Pada dasarnya tarian ini mengungkapkan latihan perang dengan senjata yang sama yaitu tongkat berukuran pendek dan tameng. 4. Wireng Lawung. Berkaitan dengan asal mula Wireng Lawung ini, diketemukan dua sumber tertulis yang berbeda. Sumber tertulis pertama menginformasikan bahwa tari tersebut adalah yasan Paku Buwana XI di Surakarta. Sumber tertulis kedua menginformasikan bahwa Wireng Lawung ini adalah salah satu warisan karya Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di Karaton Mataram (1613-1645). Keempat penari mengenakan tata rias dan tata busana sama. Tata rias wajah karakter gagah, dengan menebalkan alis, garis mata, dan godhek dengan pensil hitam, pemerah pipi, dan kumis pasangan. Tata busana kepala mengenakan ikat kepala kodhok-bineset dan summing. Kedua lengan mengenakan klat-bau dan gelang tangan. Busana badan terdiri atas kalug-kaceh, sabuk-cinde, epek-timang, kain-jarit, sampur, dan uncal. Mereka juga mengenakan celana panjen cinde dan commit to user
73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
binggel (gelang kaki). Punggung bagian bawah mengenakan asesori keris yang diselipkan di antara lipatan sabuk, dan membawa properti tombak. Gendhing Wireng Lawung sebagai berikut; Tayungan maju beksan menggunakan Gangsaran laras 6 slendro manyura sebagai gendhing pertama. Beksan bagian pertama yang dimulai dari sembahan jengkeng menggunakan gendhing Ladrang Lawunggedhe kenahang kalih (kendhang dua) sebagai gendhing kedua. Sesaat sebelum perangan garap gendhing sirep dan ketika perangan kembali kepada gendhing pertama. Beksan kedua kembali kepada gendhing yang kedua. Untuk mundur beksan kembali lagi kepada gendhing pertama yaitu Gangsaran laras 6 slendro manyura. Di lihat dari garap tari dan garap perangan Wireng Lawung termasuk tari prajuritan. Tari ini rnencoba mengungkapkan kegagahan prajurit dengan bersenjatakan tombak. Di dalamnya tidak ada penokohan. Sejak tahun 1966 Indonesia mulai berbenah diri dan prioritas utama yang diprogramkan adalah mengatasi masalah ekonomi dengan mengaktifkan lagi pertanian yang sudah mulai tidak tergarap dan mengembangkan industri. Sejak Pelita V sekitar mulai tahun 1988 industri Pariwisata mulai diperhatikan potensinya di dalam program pembangunan Indonesia, jadi sangat tepat saatnya dimana Keraton Kasunanan turun eksistensinya dan Indonesia menggalakkan industri wisata budaya, sehingga untuk mempertahanksn eksistensi. Keraton Kasunanan yang telah menjadi keraton yang tinggal musium (gleger) akhirnya melangkah dengan jalur wisata, sejalan dengan langkah pemerintah Indonesia. Untuk kepentingan
itu, kerabat Keraton Kasunanan membentuk Team commit to user
74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Management Pariwisata Keraton Kasunanan. Team Itu dibentuk karena Keraton Kasunanan kosong pimpinan dan team tersebut membiayai Istana Keraton Kasunanan termasuk Juga Langen Praja yang mengelola bidang seni budaya. Sejak tahun 1988 itu pula Team Management Pariwisata Keraton Kasunanan memasarkan seni budaya Keraton Kasunanan melalui jalur wisata dan bergerak di luar Biro Pariwisata yang ada di Keraton. Dua badan pariwisata keraton bergerak sendiri-sendiri. Sedangkan Biro Pariwisata bertanggung jawab pada Keraton pada waktu itu masih kosong kepemimpinan dan selanjutnya dipegang oleh Gray Koes Moertiah sampai sekarang. Team ini membiayai istana tetapi memprioritaskan kegiatan Langenprajan yang mengelola kegiatan kesenian yang meliputi latihan dan penggalian tarif karawitan klenengan, gamelan pakurmatan, pedalangan dan di luar Langenprajan adalah perpustakaan, dan sekarang juga mengelola untuk paket pariwisata budaya. Pada tahun 1988 Team Management Pariwisata mengadakan hubungan dengan biro perjalanan Vista di Jakarta untuk menyalurkan para pelanggan touristnya agar diantarkan singgah ke Keraton Kasunanan, maka pada tahun tersebut itu ada 72 pemberangkatan dari De Buur En Wendel yang akan singgah di Keraton Kasunanan Surakarta. Adapun tourist De Buur En Wendel itu obyek wisata yang dinikmati ialah, masuk keraton, ramah tamah dan makan malam serta diakhiri dengan melihat tari Keraton di pendapa Smarakata. Suasana yang akrab ini menjadi gaya kepariwisataan yang dikelola oleh Team Management Pariwisata, sehingga pelayanan ini menjadi sangat menyenangkan para tamu yang lebih merasa akrab seperti kunjungan keluarga bila dibandingkan pelayanan di commit to user
75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dunia internasional pada umumnya termasuk di Indonesia (Saskia, wawancara 19 Desember 2011). Kepariwisataan di Indonesia terus berkembang dengan menggunakan paket-paket yang saling menguntungkan antara wisatawan dan obyek wisata (tempat wisata yang dikunjungi / wisata budaya). Di bawah ini beberapa ciri pariwisata budaya yang berhubungan dengan karya seni tari akan tetap laku dan diminati wisatawan. Tabel 1. Paket pariwisata budaya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: No 1 2 3 4
Ciri Seni Pertunjukan Tiruan dari aslinya Singkat atau padat dalam penyajian Penuh variasi Tanpa nilai sakral / magis / religius
5
Murah
Bentuk Sajian Bentuk tiruan Durasi waktu + 15 menit Garap bervariasi Sesaji dan dupa dipergunakan hanya untuk wisata Sesuai dengan kemampuan wisatawan baik lokal maupun mancanegara
Sumber : Mulyatno, 1992 dan pengembangan penulis
Tari di Keraton yang mengalami perubahan yang digunakan untuk pariwisata budaya di bawah ini. Daftar nama tari yang digunakan untuk pariwisata budaya di Keraton. Bentuk Putra Alus / Putra Gagah : 1. Palguna – Palgunadi 2. Janaka – Supala 3. Sancaya – Kusuma Wicitra 4. Klana – Jayengsari
commit to user
5. Wira Pratama
76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Gatutkaca Gandrung 7. Bandawala 8. Bandabaya 9. Bandayuda 10. Tohjaya – Bugis 11. Panji – Bugis 12. Handaya – Bugis 13. Lawung Alus 14. Harjuna – Newatakawaca 15. Harjuna Sastrabahu – Sumantri 16. Bambangan Cakil 17. Golek Clontong 18. Langendriyan Menakjingga lena 19. Langendriyan Damarwulan 20. Langendriyan Damarwulan Ngenger 21. Golek Lambangsari (Tari Gaya Yogya) 22. Mandrarini 23. Gambyong Campursari 24. Gambyong Pangkur Langen Kusuma 25. Gambyong Parenom 26. Srikandi Larasati 27. Srimpi Moncar 28. Langen Mandra Asmara
commit to user
77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29. Adanenggar 30. Adenenggar Kalaswara 31. Gambyong Simyar 32. Topeng Kelana 33. Bedhaya Bedah Madiun 34. Topeng Gunung Sari 35. Perang Kembang 36. Topeng Sekartaji 37. Srikandi Cakil 38. Srikandi Mustakaweni 39. Bambang Cakil 40. Yuda Asmara 41. Taman Soka 42. Drama Tari Narpada Krama 43. Drama Tari Topeng Narpada 44. Drama Tari Harjuna Wibawa 45. Werkudara Boyadenata 46. Gatutkaca Dadung Kuwuk 47. Sugriwa Subali 48. Srimpi Dempel 49. Srimpi Gondokusumo 50. Tameng Gita commit to user
78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.2.6 Teknologi dan komunikasi Temuan dari hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa kesenian Tari Tradisi dewasa ini ada kecenderungan makin berkembang menjadi bentukbentuk hiburan dan sebagai komoditi dagangan (komersial) yaitu menekankan pada kemampuan komunikasi dari pada penghargaan kritis dari khalayak (penonton). Sang seniman dan penari cenderung menekankan pada estetika resepsi (estetika menurut penoton) daripada estetika kreasi (berisi nilai moral universal). Keindahan cenderung untuk memenuhi selera dan memenuhi permintaan masyarakat dengan kebutuhan nyata (publik). Perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat membawa implikasi yang sangat besar terhadap kehidupan kesenian termasuk Tari Tradisi. Dengan hadirnya teknologi komunikasi dapat menghantarkan pertunjukkan tari dirumah penduduk lewat media audio visual (televisi), internet di telpon genggam, laptop, netbook, komputer dapat mengakses seni tradisi baik Tari, Musik Karawitan, Pedalangan, dan lain-lain secara mudah. Perkembangan teknologi komunikasi ternyata menawarkan berbagai macam pertunjukan tanpa keluar rumah, keluar uang banyak tetapi dengan teknologi membuat daya apresiasi seni masyarakat terhadap pertunjukkan Tari Tradisi semakin menurun. Sejak zaman Orde Baru, berbagai teknologi komunikasi modern merambah seluruh pelosok Indonesia. Tidak hanya itu saja peradaban modern juga mulai diterapkan masyarakat Indonesia seperti sistem perekonomian modern, sistem birokrasi dan administrasi modern, membangun negara yang demokratis (Umar Kayam, 2000:385), dan lain sebagainya / semenjak Indonesia commit to user
79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memproklamirkan kemerdekaannya, sistem sosial semakin longgar dan tampak jelas. 4.2.7 Faktor Masyarakat Sebagai Penikmat Seni Hadirnya peradaban Barat dibumi Indonesia seperti administrasi modern, sistem komunikasi modern, birokrasi modern, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan terjadinya perubahan yang mendasar yaitu perubahan sistem nilai. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merubah pemikiran masyarakat dari dunia mistik-magis kedunia empirik rasional. Hal yang demikian itu membawa kecenderungan masyarakat pada yang realistis, dan sesuatu yang dapat dibuktikan. Kecenderungan masyarakat akan hal yang realistis itu nampaknya memberikan pengaruh pula terhadap perubahan Tari Tradisi keraton pada masa sekarang. Mempengaruhi kepercayaan masyarakat bahwa Tari yang berada di dalam keraton yang bermakna sakral, magis tidak dapat dibuktikan dengan pikiran/rasio yang realistis. Masyarakat dewasa ini adalah satu masyarakat yang bergerak amat cepat, seiring perubahan nilai dan perubahan sistem sosial yang terjadi. Dalam kondisi seperti itu sebenarnya masyarakat kita sedang mengalami perbauran yang luar biasa antar subkultur, antar kultur dan antar nilai-nilai. Pembauran itu terjadi antara lain hadirnya pendidikan, pengetahuan, perkawinan antar suku, antar negara. Maka kebudayaan yang awalnya masyarakat Jawa yang menikmati sekarang masyarakat luar (Jawa), bahkan orang luar (bule) dengan perkawinan mereka akhirnya berbaur dengan masyarakat Jawa. Pandangan masyarakat yang commit to user
80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
modern berbeda dalam memandang kesenian tradisi. Perbincangan antar mereka melahirkan konsep-konsep baru dalam memandang Seni Tradisi. Masyarakat sebagai penikmat seni dahulu ditambahi dengan rasa penghayat seni menjadi pudar dan bahkan berpandangan berbeda pengalaman dan pengetahuan akan kehidupan yang berwawasan kedepan membuat kesadaran mereka menjadi bertambah pula sehingga kepercayaan pada kesenian tradisi keraton hanya kesenian tradisi yang bersifat menghibur.
4.3 Proses Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Lama ke Makna Yang Baru Tari Srimpi Ludiramadu Perkembangan kehidupan Tari Srimpi diawali pada tahun 1952 Tari Srimpi pertama kali dipentaskan atau dipergelarkan di luar keraton. Pergelaran tersebut diselenggarakan oleh Himpunan Budaya Surakarta agar Tari Srimpi dapat dilihat oleh kalangan masyarakat umum di luar keraton sehingga masyarakat mengetahui keberadaan Tari Srimpi Ludiramadu. Seniman berkeinganan untuk membuang atau meninggalkan warisan tradisi itu untuk mencari bentuk baru. Dengan unsur-unsur tradisi itu berhasil berkreasi membuat pemadatan tari sebagai bentuk baru pertunjukan tari. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh (George Simmel, 1986:287) sebagai berikut : Individu-individu kreatif yang merasa terkungkung tidak leluasa oleh bentuk-bentuk budaya yang sudah mapan tidak pernah dapat membuang begitu saja warisan budaya yang masih hidup dan mulai lagi dari permulaan salah satu alasan, terlepas dari bahwa itu tidak mugkin, adalah bahwa pertumbuhan dan perkembangan kehidupan subyektif individu dan kemampuan kreatifnya menurut individu itu untuk mendarah-dagingkan paling tidak beberapa elemen kebudayaan yang masih hidup. Seseorang commitmengatasi to user atau malah menolak bentukyang kreatif mungkin akhirnya
81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bentuk kebudayaan yang masih hidup itu masih relevan sebagai titik tolak untuk menciptakan bentuk-bentuk yang baru. Dalam proses mendarah dagingkan dasar budaya yang masih hidup ini, seseorang mengambil resiko bahwa kreativitas subyektif dapat ditekan dan dipaksa untuk sesuai dengan bentuk-bentuk yang sudah ada. Pemadatan tari juga merupakan salah satu wujud ungkapan ketidakpuasan terhadap Tari yang sudah ada yang berbentuk Tari ritual keraton dengan waktu + 90 menit bahkan + 120 menit pada warisan budaya leluhurnya. Tampaknya ia tidak begitu saja menerima warisan itu sebagaimana adanya, tetapi ia berusaha mengubah warisan itu agar dapat tetap hidup pada zamannya. Hal ini menunjukkan bahwa ia ingin memberikan sumbangan warisan budaya kepada zamannya dan generasi berikutnya. Seperti yang dikemukakan oleh (Duverger, 1981:356). “Tidak ada generasi yang puas dengan warisan pusaka (dalam hal ini kesenian) yang diterimanya dari masa lalu, dia membuat sumbangannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Brakel yang menyatakan bahwa : Dewasa ini tari-tarian keraton oleh penari puteri itu pasti ditarikan pula diluar, oleh karena tari-tarian itu sekarang diajarkan di Akademi karawitan, Tari dan instansi pemerintah. Tetapi pengetahuan yang benar tentang tari-tarian keraton itu biasanya tetap berada ditangan para ahli, yang dididik erat hubungannya dengan keraton. Disamping itu komposisi posisi yang diubah untuk sesuatu konteks khusus dalam kehidupan keraton biasanya mengalami perubahan di sana sini yang sedikit banyak drastis, apabila komposisi tersebut hendak ditarikan dilingkungan yang lain (Clara Brakel, 1991:431). Berbagai macam cara manusia untuk melestarikan karya seni diantaranya adalah menempatkan sebuah karyaseni itu di dalam murium dikemas rapi tidak ada orang yang boleh menyentuh karena akan berakibat fatal terhadap karya seni tersebut. Ini dilakukan kepada karya seni yang bersifat statis, seperti karya-karya seni rupa. Namun, berbeda dengan pelestarian terhadap karya seni tari, karawitan commit to user
82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan pedalangan. Pelestariannya justru dengan melibatkan diri, menyerahkan kreativitas kita untuk meneruskan perjalanan karya seni tersebut, dalam hal ini seni tradisi termasuk pemadatan tari juga bisa dikatakan sebagai usaha pelestarian terhadap karya seni tradisi seperti yang dikemukakan oleh Humardani yang ditulis oleh Ristopo sebagai berikut: “…. Pemadatan Seni Tradisi adalah suatu tingkat komposisi tari. Pemadatan Seni Tari sewajarnya adalah pemadatan pernyataan. Waktu yang singkat adalah hasil, bukan tujuan. Yang dipertahankan dalam pemadatan Tari Tradisi bukan bentuk-bentuk lahirnya, melainkan kualitas yang muncul dari bentuk yang padat. Pemadatan pernyataan ini sifatnya sesuai dengan nafas sekarang. Dengan itu pemadatan Tari Tradisi adalah merupakan salah satu bentuk nyata dalam usaha pelestarian Tari Tradisi…..” (dalam Rustopo, 2001:182-183) Berawal dengan program penggalian dan pemadatan yang dilakukan oleh PKJT dan ASKI Surakarta tahu 1970-an atas prakarsa Humardani. Secara jelas di singgung oleh Sunarno bahwa dari program penggalian dan pemadatan tersebut berhasil dipadatkan beberapa jenis tari srimpi, diantaranya Sangupati, Anglir mendung, Gandakusuma, Dhempel dan tari berbentuk wireng. (1982:36). Pemadatan Tari Srimpi Ludiramadu dilakukan oleh A. Tasman dengan dibantu oleh beberapa orang penari diantaranya Tantin Sri Marwanti, Rusini, Endang Sulistyawati, dan Maryatin, sedangkan pelatih Tari Srimpi dan Bedhaya Keraton yaitu Yudhadiningrat, Sulomo, Darso Saputro, (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara, 6 Desember 2011) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:634) disebutkan bahwa isilah “padat” dapat berarti (1) sangat penuh hingga tidak berongga, padu, mampat, pejal, (2) penuh sesak, penuh tempat (3) rapat sekali. Memadatkan commit tomengurangi, user menjadikan padat, menjejal (mengisi, memasukkan) jadi, ada
83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
persoalan yang menyangkut dua hal yaitu temat atau wadah dan isinya. Dalam konteks pembicaraan yang berkenaan dengan konsep pemadatan tari, kiranya terdapat kesesuaian dengan pengertian diatas sebab dalam hal ini permasalahan menyangkut “isi” dari sebuah karya seni tari secara konseptual, dalam tari ada perbedaan atau pemisahan antara “wadah” dan “isi”. Wadah yang dimaksud merupakan sarana ungkap atau bentuk fisik dari sebuah karya seni tari. Sedangkan “isi” adalah apa yang hadir dari wujud visual yang telah dituangkan melalui bentuk fisiknya. Dengan kata lain, “wadah” adalah sesuatu yang ditangkap indera sebatas proses pengamatan, dan “isi” adalah hasil hayatan yang ditangap melalui proses penghayatan dengan penjelajahan seluruh kemampuan jiwa. Wadah dan isi dalam karya seni selalu melekat hadir secara bersamaan dan saling bergantungan satu sama lain sebagai satu kesatuan yang utuh. Sebagaimana diungkapkan bahwa “….. suatu ciri keberhasilannya karya seni ada suatu kesatuan bentuk (wadah) dan “isi” (Humardani, 1978 / 1979:32). Persoalan “wadah” dan “isi” menjadi penting dan mendasar ketika memperbincangkan masalah pemadatan dalam tari. Pemadatan diterapkan pada karya-karya yang telah ada, dalam hal ini kesenian tradisi / tari tradisi Jawa berbentuk Tari Srimpi Ludiramadu. Seni tradisi mengalami perjalanan sejarah panjang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Di tinjau dari segi penggarapannya, biasanya seni tradisi memiliki pola-pola atau semacam aturan tertentu yang sering disebut sebagai vokabuler. Secara teknik, bentuk,bentuk pemadatan yang telah dilakukan senantiasa masih berpijak dari pola-pola yang telah ada dengan pengembanganpengembangan pada unsur-usnur garap tertentu misalnya : dengan mengurangi commit to user
84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengulangan-pengulangan, pengembangan bentuk sesuai dengan kemantapan rasa garapan, atau sengaja menghilangkan unsur-unsur garap yang sama sekali dianggap tidak menunjang. Menurut Tasman, pemadatan Tari Srimpi Ludiramadu didasarkan pada konsep pelestarian dan pengembangan tari tradisi gaya Surakarta, terutama tari bedhaya dan srimpi. Konsep pemadatan itu sendiri bertolak dari waktu penyajian Tari Srimpi Ludiramadu untuk yang dirasa terlalu panjang (waktu + 55 menit – 90 menit), sehingga perlu beberapa perubahan agar dapat dinikmati dalam waktu yang lebih singkat oleh masyarakat sekarang. (wawancara, 6 Desember 2011) Proses pemadatan Tari Srimpi Ludiramadu ini menimbulkan perubahan struktur garap madiumnya. Secara umum perubahan yang terjadi pada proses pemadatan tari srimpi meliputi aspek garap karawitan tari dan garap medium pokok gerak. Penggarapan pada gerak meliputi aspek volume, tempo, irama dan tekanan dinamik (Sunarno 1982:52) Perubahan Tari Srimpi Ludiramadu berupa pengurangan tehadap pengulangan ragam gerak yang dirasakan menimbulkan rasa bosan pada penyajian tarinya. (I Nyoman Chaya, wawancara, 7 Desember 2011). Dijelaskan oleh Tasman bahwa dalam proses pemadatan tari srimpi ludiramadu ada beberapa perubahan, yaitu : waktu penyajian, pengurangan bentuk, pengurangan vokabuler dan bentuk karawitan tari, tempo (kecepatan gerak). (wawancara, 7 Desember 2011) Selanjutnya Tari Srimpi Ludiramadu dijadikan salah satu materi perkuliahan untuk praktek tari putri gaya Surakarta di ASKI / STSI Surakarta dan commit to user
85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SMK 8 atau SMKI Surakarta. Tari Srimpi Ludiramadu sekarang juga berfungsi untuk apresiasi seni / pertunjukan tari, lomba-lomba seni tradisi, acara penyambutan tamu pada acara resepsi pernikahan/punya gawe (mantu), misi kesenian, pariwisata budaya. Pada tahun 1978 Keraton (raja + abdi dalem) bekerja sama dan berkolaborasi menggarab kesenian tradisi keraton (wireng, bedhaya, srimpi) dengan tujuan mementaskan seni tradisi / tari untuk dikirim sebagai wakil Indonesia dalam bidang kebudayaan keberbagai negara. Pihak keraton mewakilkan beberapa penari dan putri keraton ditambah penari diluar tembok keraton (lembaga / PKJT). Mahasiswa dan dosen jurusan tari dan karawitan dulu dikenal dengan nama ASKI Surakarta. Materi tari mengambil Srimpi Ludiramadu waktu dipadatkan lagi karena untuk pertunjukan + 15 menit – 18 menit. Pemadatan dilakukan untuk misi kesenian berawal pada tahun 1979 mengirim perwakilan kebudayaan ke Inggris berlanjut tahun 1980 ke negara Singapura, tahun 1982 ke negara Belgia, tahun 1983 ke negara Perancis, tahun 1984 ke negara Inggris, 1985 ke negara Thailand, 1986 ke negara Belanda, tahun 1987 ke negara Cina, tahun 1988 ke negara Malaysia, tahun 1989 ke negara Jepang, tahun 1990 ke negara Vietnam sampai tahun 1997, Arab dan 1998 kembali ke Jepang. Tari
Srimpi
Ludiramadu
selalu
berkembang
mengikuti
zaman
menyesuaikan ruang dan waktu pada masa kebudayaan itu ada hal ini sesuai pernyataan Edi Sedyawati (1982:25) dan menurut Wahyu Santoso Prabowo, kesenian tradisi/tari tradisi tidak pernah mandek, berjalan terus dari hari ke hari, commit to user
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tahun dan dekade serta era kebudayan yang mengikuti, zaman dulu sekarang atau zaman yang akan datang. (wawancara, 7 Desember 2011) Kesenian yang keluar keraton pada akhirnya berubah pada bentuk, fungsi dan makna. Terbukti Srimpi Ludiramadu sekarang digunakan untuk apersiasi seni, lomba tari tradisi, lomba (pekan seni / porseni SD, SMP, SMA), hiburan / pertunjukan, resepsi pernikahan, pariwisata budaya. Perubahan bentuk, fungsi, dan makna dapat dilihat melalui proses dalam tembok
keraton
dan
keluar
tembok
keraton.
Pemadatan
untuk
mata
kuliah/pelajaran SMKI / STSI / ISI / berlanjut sebagai misi kesenian. Apresiasi, festival seni, lomba-lomba, pertunjukan/hiburan, resepsi pernikahan di masa sekarang. (I Nyoman Chaya, wawancara, 7 Desember 2011) Proses panjang Tari Srimpi Ludiramadu menggeser makna pada tari karena tergesernya zaman. Kepercayaan masyarakat pada kesenian keraton, makna kesakralan tari hanya dianggab sebuah kreatifitas seniman mengekpresikan karya dalam sebuah tari, tingkatan rasa penari, bentuk gerakan, iringan sebagai apresiasi seni yang menarik dan layak dilihat dan ditonton. Pemaknaan batak, gulu, dhadah, buncit dianggab sebagai jumlah penari empat karena ada gerakan yang mengharuskan berhadapan, kelompok tari. Kehidupan di keraton dapat sebagai simbol sifat / watak manusia supiah, almanah, mutmainah dianggab hanya manusia sekarang tidak zaman dulu berkarakter sama baik dan buruk / jahat, putih / hitam, putih / merah, langit / bumi, air / udara, surga / neraka, cantik / jelek, kaya / miskin, dan lain-lain. Makna ada dua konotasi dan denotatif, menurut Batles. Makna disini bisa dianggab sebagai makna yang sebenarnya dan makna yang commit to user
87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tidak sebenarnya atau kiasan / penyerupaan (I Nyoman Chaya, wawancara, 7 Desember 2011). Penulis mendiskripsikan bentuk Tari Srimpi Ludiramadu setelah mengalami perubahan waktu / durasi, tempo, iringan karawitan, vokabuler gerak, tata busana, tata rias sebagai berikut : 4.3.1 Perubahan Pola Susunan Gerak Pada Tari Srimpi Ludiramadu 4.3.1.1 Pola susunan gerak tari Perubahan pada dewasa ini ada kecenderungan dikondisikan oleh minat dan keinginan masyarakat pendukungnya. Apabila dicermati secara lebih mendalam minat tersebut memiliki kecenderungan bersifat gayeng (guyup/ramai), sangat menghibur yang mampu memberikan kepuasan pada penonton. Proses perubahan merupakan usaha yang dilakukan untuk penyesuaian bentuk kesenian. Tari tradisi yang lebih kekinian. Penyesuaian dilakukan supaya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat akan hiburan. Perubahan yang timbul secara alamiah dan organik dari tubuh tradisi, tetapi ada juga perubahan yang merupakan akibat dari proses dominasi atau subversi budaya ada perubahan yang memperluas wawasan atau memperdalam kemampuan suatu kesenian, tetapi ada juga perubahan yang mendangkalkan, memiskinkan dan menyempitkannya. Menurut Philip Yampolsky (2006:236). Ini dilihat dari perubahan fungsi yang ditujukan untuk kepentingan upacara-upacara di keraton berubah untuk kepentingan hiburan / apresiasi seni, lomba-lomba, pariwisata budaya dan lain-lain. commit to user
88
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gerak pada Tari Srimpi Ludiramadu dilihat oleh apa saja yang ada dalam lingkungan kehidupan manusia. Hal ini tampak jelas pada istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut vokabuler gerak tari seperti sekar suwun, mucang kanginan, lincak gagak, merak kesimpir, wedi kengser, jala-jala, gajah-gajah, ombak banyu, secara jelas menunjuk adanya pendekatan visual. Wujud vokabulervokabuler tari yang mengacu pada lingkungan alam seperti diatas, imitatif (abstrak). Beberapa gerak menirukan gerak alam. Gerak-gerik alam disekitar manusia ditinggalkan dan digayakan dengan imajinasi seniman hingga tarian sama sekali tidak realitas melainkan sangat abstrak (Clifford Greeats 1983:381) Susunan Tari Srimpi Ludiramadu sekarang memiliki pola susunan tari : maju beksan ; beksan : dan mundur beksan. Maju beksan adalah bagian awal suatu susunan tari, yakni penari mulai masuk menuju pelataran pentas (gawang beksan). Pada bagian ini penari berjalan kapang-kapang dalam posisi urut kacang nari batak berjalan paling depan, disusul penari gulu penari dada, dan penari buncit setelah sampai gawang beksan duduk trapsila dengan gawang rakit. Tari srimpi ludiramadu sekarang penari tidak diharuskan masuk ke tempat menari yang berbentuk pendopo, gedng pertunjuan tidak dari posisi harus dari kanan karena Raja yang berkuasa, diagunggung tidak lagi duduk di dampar kedhaton / singgasana raja pada saat ini menggunakan gawang penari maju beksan. Sajian Srimpi di keraton menurut fungsinya berkaitan dengan upacara dengan upacara keraton. Kehadiran raja menjadi satu pertimbangan estetis dalam garap madium gerak, sehingga Tari Srimpi selalu diawali dengan posisi duduk sila commit to user
89
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan melakukan gerakan menyembah dua kali sebelum menari dan satu kali sesudah menari. Demikian juga dengan garap ruang ada kaitannya dengan tempat menari. Kiblat papat lima pancer digunakan sebagai patokan, sehingga pola lantai pada Srimpi bentuknya sistemis dan seimbang, sedang bentuk pada yang ada pada Srimpi adalah rakit / susunan paju pat belah ketupat, ada pola berderet kebelakang yang disebut urut kacang (Prabowo, 1990:34,5) Sebelum masuk pada gambar pola lantai, pengertian pola lantai adalah garis-garis lintasan yang dilalui para penari didalam ruang pentas. Dijelaskan juga oleh K.R.T. Harjonagoro untuk pola lantai Tari Srimpi banyak menggunakan garis lengkung dan lingkaran. Garis-garis tersebut diartikan dengan penggambaran liku-liku hidup manusia di dunia (sedih, senang, kaya, miskin, dan lain-lain) Berbicara pola ruang menurut pengamatan penulis berbentuk pola ruang simetris atau bangun setangkup dan sesuai dengan pernyataan Sal Murgianto (1986:24). Bunga setangkup apabila diamati dari depan atau samping merupakan bentuk bayangan cermin, pola ruang bunga setangkup akan punya kesan yang kokoh dan kuat.
commit to user
90
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar sebagai berikut ini : Bt Gl
Bt
Bc
Dd
Gl Dd Bc a. Gawang urut kacang
b. Gawang rakit
Bt Gl
Dd Bc
c. Gawang urut kacang Gl
d. Dua-dua sehadap
Bt
Gl Bc Bt
Bc
Dd Dd
e. Posisi Gendongan
f. Posisi Gending
Gambar 3. Gawang Srimpi Ludiramadu Sumber : Pujiani, 1992:46
Keterangan : >
: Arah hadap
Bt
: Batak
Gl
: Gulu
Dd
: Dhadha
Bc
: Buncit
commit to user
91
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Beksan adalah bagian inti susunan tari. Bagian ini selalu diawali dan diakhiri dengan gerak sembaha. Pada tengah bagian beksan biasanya terdapat bagian yang mengungkapkan perang. Perang pada bagian ini, biasanya diwujudkan dengan menggunakan garap ruang yang berbeda dan menarikan suatu vokabuler yang biasa digunakan untuk mengungkapkan perang, seperti gerak pistulan dan panahan. Pada tari srimpi ludiramadu ada dua rangkaian vokabuler gerak. Artinya, bagian inti susunan tarinya terbagi menjadi dua bagian: beksan bagian pertama tersusun atas rangkaian vokabuler gerak tanpa menampilkan perang beksan; sedangkan beksan bagian kedua tersusun atas rangkaian vokabuler gerak yang di dalamnya terdapat perang beksan. Bagian kedua ini dapat disebut bagian perang beksan atau perang gendhing. Setiap rangkaian beksan atau perang gendhing. Setiap rangkaian beksan selalu diawali dan diakhiri sembahan, serta di antara beksan bagian pertama dengan beksan bagian kedua diselingi dengan singgetan. Tari Srimpi yang memiliki dua struktur rangkaian vokabuler gerak adalah Tari Srimpi dhempel, Gandakusuma, Anglirmendung, dan Srimpi Ludiramadu. Mundur Beksan adalah bagian akhir seluruh susunan tari. Pada bagian ini penari berjalan meninggalkan lantai pentas (gawang beksa) dengan posisi urut kacang. Selanjutnya diungkapkan pola susunan Tari Srimpi Ludiramadu, sebagai berikut :
commit to user
92
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.1.2 Maju Beksan Pada bagian ini penari berjalan menuju lantai pentas dengan posisi gawang urut kacang. Penari batak paling depan disusul penari gulu, penari dhadha, dan penari buncit. Pada bagian ini menggunakan bentuk pathetan. 4.3.1.3 Beksan Pada bagian ini penari mulai menarikan ragam gerak yang telah ditentukan dalam susunan tari. Adapun urutan ragam gerak yang ditarikan oleh penari, dapat dipaparkan menjadi dua bagian, yaitu : beksan bagian pertama dan beksan bagian kedua. 4.3.1.4 Mundur beksan Pada bagian ini penari mulai berjalan debeg gejug mundur pada posisi gawang rakit, kemudian berjalan kapang-kapang menjadi gawang urut kacang untuk meniggalkan pentas. Penari masuk, keluar pentas tidak harus lewat sisi kiri Raja, menyesuaikan Tari Srimpi dipentaskan dalam acara apa dan berfungsi untuk apa. 4.3.1.5 Karawitan Tari Srimpi Ludiramadu Maju Beksan
: Pathetan barang ngelik pelog pathet barang, suwuk
Beksa I
: Buka – merong – inggah – ludrang – suwuk
Interval
: Pathetan Barang jugag, pelog pathet barang
Beksan II
: Buka celok-ladrang kendang I – suwuk
Mundur Beksan
: Pathetan barang ngelik pelog pathet barang suwuk
Adapun pola karawitan tari Srimpi Ludiramadu pada pokoknya menggunakan bentuk gendhing kethuk papat kerep, yang terdiri atas: commit to user
93
(1)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
gendhing maju beksan; (2) gendhing beksan, meliputi gendhing beksan bagian pertama dan gendhing beksan Dagian kedua; dan (3) gendhing mundur beksan. 4.3.1.6 Gendhing Maju Beksan Gendhing maju beksan pada Tari Srimpi Ludiramadu menggunakan bentuk pathetan. Bentuk ini dimainkan sejak penari berjalan kapang-kapang menuju gawang beksan hingga penari duduk trapsila.
Ricikan (instrumen)
gamelan yang dimainkan dalam pathetan adalah rebab, gender, gambang, dan suling. Sesuai dengan laras dan pathet gendhingnya, pathetan pada bagian ini menggunakan pathet barang ngelik laras pelog pathet barang disertai vokal putra bersama atau suluk (Wahyu Santoso Prabowo, wawancara 11 Desember 2011) 4.3.1.7 Gendhing Beksan Sebagaimana pola susunan Tari Srimpi Ludiramadu, bentuk karawitan tari Srimpi Ludiramadu terdiri dua bagian, yaitu gendhing beksan bagian pertama dan gendhing beksan bagian kedua. Pada gendhing beksan bagian pertama digunakan Gendhing Ludiramadura kethuk papat kerep minggah Kinanthi kethuk papat kerep laras pelog pathet barang. Pada bagian beksan kedua digunakan gendhing Ladrang Mijil Ludiramadura laras pelog pathet barang. Secara utuh beksan Tari Srimpi Ludiramadu menggunakan Gendhing Ludiramadura kethuk papat kerep minggah Kinanthi kethuk papat kerep pelog barang, kemudian suwuk (berhenti), Setelah suwuk digunakan bentuk pathetan pelog pathet barang juga, dilanjutkan gendhing beksan, bagian kedua yang dimulai dengan buka celuk dhawah Ladrang Mijil Ludira laras pelog pathet barang, suwuk. commit to user
94
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.1.8 Gendhing Beksan Bagian Pertama Gendhing beksan bagian pertama Tari Srimpi Ludiramadu dimulai dari buka, merong, kemudian menjadi Kinanthi kethuk papat kerep, lalu suwuk atau berhenti. Gendhing beksan pada bagian pertama ini memiliki bentuk berbeda dengan bentuk karawitan Tari Srimpi yang lainnya. 4.3.1.9 Gendhing Beksan Bagian Kedua Gendhing
beksan
bagian
kedua
dimulai
dari
buka
celuk,
“Wastrangangrang tebenging patani …” dilanjutkan (dhawah) Ladrang Mijil Ludira pelog barang, kemudian suwuk. 4.3.1.10 Gendhing Mundur Beksan Gendhing mundur beksan pada dasarnya memiliki bentuk yang sama dengan gendhing maju beksan, yakni menggunakan gendhing pathetan. Pada bagian ini, pathetan berfungsi mengiringi penari untuk mundur beksan atau meninggalkan pentas. Seperti pada umumnya tari srimpi, pada bagian mundur beksan Tari Srimpi Ludiramadu juga menggunakan bentuk pathetan Parang Ngelik laras pelog pathet barang. Pada perkembangan selanjutnya (garap padat STSI/ISI Surakarta) digunakan bentuk gendhing Ladrang Singa-singa laras pelog pathet barang. Menurut Mlaya-widodo, penggunaan bentuk gendhing tersebut memberikan rasa dan suasana sigrak. 4.3.1.11 Rias dan Busana Tari Srimpi Ludiramadu Penataan rias meliputi penataan rambut dan penggunaan kosmetik untuk merias wajah. Penataan rambut berupa menata bentuk sanggul atau gelung dan menghias rambut. Sanggul ini dapat berbentuk sanggul kadhal menek, gelung commit to user
95
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ageng ataupun gelung tekuk (lungsen). Selain menggunakan sanggul, biasanya tari srimpi juga menggunakan jamang atau irah-irahan kethu). Rias wajah pada Tari Srimpi digolongkan sebagai rias wajah putri luruh, dengan bentu alis melengkung (nangal sapisan), mata di-celak, bibir di-pulas dengan warna merah, dan seluruh tubuh penari diolesi denga bedak (lulur) warna kuning. Pada era sekarang menyesuaikan kebutuhan dimana tari itu di pentaskan dan dalam acara apa. Pementasan ada penambahan pada mata ditambah idep (palsu) mata pada penari ditambahi contack line, dimata pakai air leaner (hitam, hijau, biru) menyesuaikan kostum. Rias dapat diperinci lagi sebagai berikut : 1) Alis dengan bentuk bulan sabit, caranya dengan menggunakan pensil alis. Dahulu untuk membuat alis menggunakan tinta Cina. 2) Godek berbentuk ngudup turi (runcing, lancip) digunakan untuk jenis busana jamang (irah-irahan) diusahan tidak tertutup oleh sumping (hiasan telinga). Cara membuat dengan pencil alis dibagian sela-sela garis dihitamkan. 3) Bibir dengan warna merah dahulu dikeraton merah ini dibuat oleh para penari dengan makan sirih (nginang) menggunakan kapur, gambir, suruh, jambe. Sekarang lebih mudah caranya dengan menggunakan lipstik warna merah bisa dibilan pewarna buatan pabrik. 4) Menambah bersinar wajah, menari menggunakan lulur yang dibuat dari ramuan daun-daunan, kunyit dan beras sehingga akan kelihatan kuning, bersih bercahaya. Seperti disinggung pada buku Pesinden Bedhaya dan Srimpi, commit to user
96
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
cakepan yang berbunyi : “awiwida sumunar sumunu, babo, atasikkaton suluhing wadana, babo (Departemen P dan K 1983:759)” Terjemahan cakepan diatas : para penari menggunakan bedak yaitu lulur dan menimbulkan warna kuning pada kulit supaya bersinar cemerlang. Bedak digunakan pada wajah supaya menambah gemilang dan bersih pada wajah penari. (terjemahan penulis) 4.3.2 Busana Pada buku Serat Pesinden Bedhaya menyinggung tentang busana Tari Srimpi seperti cakepan sinden yang berbunyi sebagai berikut : …. Kang busana, ambramarkata tumeja, babo, angarenyep kumitir-kitir ngujiwala, babo, sengkangira anelahi ing kalangyan, babo, akalpika tetajungan herbaskara, dhe, babo, uncal sutra mandhala tunparada, babo, arja sinjang wastra adi ing jro pura, dhe, babo ….. (Departemen P dan K 1983:759) Cakepan tersebut maksudnya adalah : busana yang digunakan pada Tari Srimpi kalau dilihat bersinar gemerlapan bagaikan sinarnya pelangi, sinar busana yang gemerlapan itu diantaranya muncul dari selendang bahan dari sutera dengan bagian tepi yang menggunakan wana keemasan yang disebut pada cakepan : uncal sutra mandara linet parada. Selain sinar yang ditimbulkan dari busana juga pada sinjang (jarit). Penataan busana meliputi penggunaan perlengkapan busana pada bagian kepala, lengan, tubuh, dan tungkai. 4.3.2.1 Perlengkapan Busana pada Bagian Kepala Berdasarkan bentuk penataan riasnya, perlengkapan busana bagian kepala pada tari srimpi ludiramadu sebagai berikut : commit to user
97
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
1. Sanggul gedhe atau gelung ageng, terdiri atas: sanggul, cundhuk jungkat, cundhuk mentul, centhung, bunga bokor mengkurep, penetep, paes, dan kalung. 2. Kadhal menek terdiri atas: Jungkat kadhal (melengkung), centhung logam permata, jambul, cundhuk mentul, kokar bros, borokan tiga (kembang tanjung dari logam), giwang, dan kalung. 3. Jamangan terdiri atas: jamang, cundhuk jungkat, jambul, cundhuk mentul, garudha mungkur, sumping, dan kalung. 4. Irah-irahan atau kethu terdiri atas: irah-irahan, sumping, dan kalung. 4.3.2.2 Perlengkapan Busana pada Bagian Lengan Perlengkapan busana pada bagian lengan terdiri atas:
kelat bahu dan
gelang. Penggunaan kelat bahu tergantung pada penggunaan perlengkapan busana pada bagian kepala.
Apabila bagian kepala menggunakan bentuk sanggul,
biasanya tidak menggunakan kelat bahu, dan apabila menggunakan bentuk jamangan dan irah-irahan, biasanya menggunakan kelat bahu. 4.3.2.3 Perlengkapan Busana pada Bagian Tubuh Perlengkapan busana pada bagian tubuh meliputi: mekakan, dodotan, dan rompi. Mekakan terdiri atas: mekak, slepe, ilat-ilatan, dan sampur. Dodotan terdiri atas: dodot, slepe, sampur, dan buntal. Rompi terdiri atas: rompi, slepe, dan sampur. 4.3.2.4 Perlengkapan Busana pada Bagian Tungkai (Bawah) Perlengkapan busana bagian tungkai (bawah) menggunakan beberapa jenis kain batik, dikenakan dengan bentuk samparan. commit to user
98
Adapun jenis kain yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
digunakan pada tari srimpi memiliki motif batik yang khusus digunakan di keraton. Berdasarkan keberangan yang ada, tari Srimpi Ludiramadu diparkirakan menggunakan dua bentuk tata rias dan busana, yaitu bentuk jamangan atau bentuk sanggul kadhal menek. Menurut Hardjonagoro, pada dasarnya tari Srimpi Ludiramadu menggunakan bentuk rias dan busana sanggul kadhal menek, gelug gedhe. Tradisi lain yang berlaku di keraton, bahwa jamang selalu disimpan di dalam istana raja dimungkinkan bahwa busana jamangan hanya boleh dipergunakan dalam pertunjukan di istana raja.
Setelah Hamengkunagara III
dinobatkan menjadi raja (Paku Buwana V), diperkirakan tari Srimpi Ludiramadu mulai menggunakan tata rias dan busana jamangan (Wahyu Santoso Prabowo, Wawancara, 8 Desember 2011) 4.3.3 Bentuk Sanggul Kadhal Menek Yang dimaksud dengan sanggul kadhal menek adalah sejenis tata sanggul rambut berbentuk lilitan yang melingkar dari bagian belakang bawah kepala sampai bagian atas kepala (ubun-ubun). Jenis tata sanggul ini dilengkapi dengan: jungkat kadhal (melengkung), centhung logam permata, jambul, cundhuk mentul, kokar bros, borokan tiga (kembang tanjung dari logam), dan giwang. Busana yang dikenakan adalah pamekak (mekak) yang dilengkapi dengan ilat-ilatan, slepe, sampur, kalung, dan gelang, dhodhotan. Kain yang digunakan adalah kain samparan bermotif lereng, dapat juga batik yang terpenting batik.
commit to user
99
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.4 Bentuk Jamangan Jenis busana jamangan ditandai dengan pemakaian jamang pada kepala penari yang dilengkapi dengan: cundhuk mentul, cundhuk jungkat, jambul, garudha mungkur, dan sumping. Kelengkapan busana lainnya menggunakan pamekak (mekak) yang dilengkapi dengan ilat-ilatan, slepe, sampur, kelat bahu, gelang, dan kalang. penari,
Pamekak memiliki fungsi untuk menutup bagian tubuh
Kemudian pada bagian bawah, penari mengenakan kain batik (jarit)
bermotif lereng, yang pada bagian tungkai berbentuk samparan. 4.3.5 Perubahan Pada Vokabuler Gerak Tari Srimpi Ludiramadu Pada umumnya ada kesamaan pola susunan Tari Srimpi gaya Surakarta, yaitu maju beksan, beksan, dan mundur beksan. Meskipun demikian, hampir setiap pola susunan Tari Srimpi memiliki struktur rangkaian vokabuler gerak yang berbeda. Hal ini tampak pada urutan vokabuler gerak yang digunakan. Demikian juga Tari Srimpi Ludiramadu, pola susunan tarinya memiliki bentuk khusus yang berbeda dengan Tari Srimpi yang lain. Pada pokoknya, bentuk khusus itu terlihat pada penggunaan jenis vokabuler tertentu dalam bentuk rangkaian geraknya.
Bentuk khusus yang melekat pada penggunaan jenis
vokabuler gerak Tari Srimpi Ludiramadu padat maupun utuh terdapat pada beksan bagian pertama dan beksan bagian kedua. Yang terdapat pada beksan bagian pertama adalah vokabuler gerak beksan laras dan beksan lincak gagak, sedangkan yang terdapat pada beksan bagian kedua adalah vokabuler gerak engkyek ludira dan sangga nampa ukel adumanis. commit to user
100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.5.1 Beksan Laras Berpijak dari keterangan S. Ngaliman bahwa Tari Srimpi memiliki beksan laras yang berbeda-beda tergantung pada jenis tari Srimpi itu sendiri. Misalnya, Tari Srimpi Anglir mendung, larasnya laras Anglir mendung, Tari Srimpi Sangupati menggunakan laras Sangupati. Dengan demikian, beksan laras pada Tari Srimpi Ludiramadu menjadi bentuk khusus yang tidak ada pada Tari Srimpi yang lain. Hal tersebut tampak pada pelaksanaan geraknya. 4.3.5.2 Lincak Gagak Seperti yang dituliskan pada Wedhapradangga sebagai berikut: Beksan ngadeg dumugi ngajengaken gong, lajeng dipun senggaki saha keplok alok. Beksan pecat miring lajeng genjot pinjalan utawi prenjakan, dipun senggaki keplok imbal angadasih (Pradjapangrawit 1990:111). Terjemahan : penari berdiri didepan gamelan disoraksi atau ditepuk tangan, penari jinjit seleh jinjit seleh dengan dikeploki atau tepuk tangan dan akhirnya sampai ada perpindahan gerak. (terjemahan penulis) Secara Jelas ungkapan di atas menunjukkan bentuk khusus yang melekat pada vokabuler ini. Pelaksanaan gerak licak gagak sendiri yang didukung oleh garap gendhing karawitan tari berupa keplok alok. 4.3.5.3 Engkyek Ludira Pada dasarnya vokabuler engkyek juga sering digunakan pada Tari Srimpi yang lain, namun pada Tari Srimpi Ludiramadu memiliki bentuk pelaksanaan gerak yang berbeda. Perbedaan itu tampak pada unsur pendukung pelaksanaan gerak yang berupa bidang tubuh yang bergerak, properti (sampur) atau unsur rangkaian geraknya.
commit to user
101
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.5.4 Sangga Nampa Ukel Adumanis Sangga nampa ukel adumanis hanya ada pada susunan tari Srimpi Ludiramadu sekarang jumlahnya dikurangi, hitungan dipersingkat, pemadatan supaya durasi waktu sesuai, praktis, dan menghibur penonton, penikmat seni / tari tradisi.
4.3.6 Perubahan makna Tari Srimpi Ludiramadu Kehidupan sehari-hari kita dihadapkan berbagai permasalaan dalam kehidupan dibidang ekonomi sosial, politik, kebudayaan. Dalam kebudayaan ada berbagai hal yang melingkupi disekitar kita. Kesenian (Kuda Lumping, Reogan, Upacara Tradisi, Kethoprak, Wayang Kulit, Wayang Orang, Tari Tradisi Keraton, Tari Kerakyatan). Tari tradisi keraton tidak terlepas dari perkembangan dan faktor-faktor pendorong pada perubahan bagitu juga pada makna tari tradisi disini tidak luput dari perubahan makna tari itu sendiri. Tari Srimpi Ludiramadu salah satu tari yang mengalami perubahan makna ada 2 makna, denotasi (sebenarnya), konotasi (tidak sebenarnya atau makna kira-kira pada pemikiran manusia. Tari Srimpi Ludiramadu memiliki makna dijabarkan oleh penulis sebagai berikut misalnya : Dak sengguh : dak kira, artinya saya kira. Dalam Baoesastra Djawa disebutkan, sengguh
memiliki arti kira-kira, dugaan, perkiraan
(Prawiraatmadja, 1987:360). Sedangkan mungguh dalam pengertian sehari-hari berarti sesuai, selaras pada tempatnya. Mungguh juga memiliki arti pantas, patut, mapan. commit to user
102
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam pembicaraan tari Jawa, sengguh-mungguh dinyatakan dalam beberapa penafsiran. Soeryobrongto mengungkapkan bahwa sengguh berkaitan erat dengan rasa karakter. Apabila seorang penari telah mampu menampilkan karakter tari yang dibawakannya dengan baik, ia dapat digolongkan penari yang memiliki sengguh yang baik (1970:13). Secara mendasar pengertian tersebut mengandung penafsiran bahwa sengguh merupakan kemampuan penari untuk menafsirkan dan rnenampilkan karakter tari dengan baik. Pengungkapan di atas selaras dengan pernyataan S. Ngaliman, bahwa sengguh merupakan kemampuan rasa penari untuk menampilkan rasa karakter tari yang dibawakannya. Sengguh lebih bersifat kedalaman rasa sesuai juga dengan pernyataan (Wahyu Santoso Prabowo Wawancara, 8 Desember 2011) Mungguh dalam pembicaraan tari Jawa memiliki arti keselarasan penerapan sikap dan pola gerak dalam karakter tertentu (empan papan dalam menerapkan satu pola sikap gerak dalam membawakan suatu tarian). Pada dasarnya kesesuaian tersebut terkait dengan beberapa hal, yaitu rasa karakter tari, pola gerak yang digunakan, dan gandar (postur tubuh ) penarinya. Mungguh dikehidupan seharihari penari harus cantik, seksi, kulit kuning langsat tinggi semampai. Dengan demikian, pengertian sengguh-mungguh dalam kehidupan tari tradisi Jawa berkaitan erat dengan karakter; pola gerak yang digunakan penafsiran penari yang berupa penghayatan dan penuangannya dalam bentuk pelaksanaan gerak dan gandar penarinya. Nyoman Chaya menyatakan bahwa sengguh memiliki arti semu yang terdapat dalam tari. Artinya, sengguh / semu merupakan jenis kekuatan ekspresi commit to user
103
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari satu garap medium yang disampaikan secara halus, karakteristik, dan bersifat kejiwaan. Misal, dalam tari alus gaya Surakarta ada greget. Greget akan tampak apabila bentuk dan gerak yang halus dan gemulai itu mampu menyentuh kejiwaan secara enak dan pasti. Selanjutnya, perlu digarisbawahi bahwa sengguh merupakan kekuatan ekspresi garap medium (Wawancara, 8 Desember 2011) . Mungguh oleh Nyoman Chaya dipaparkan sebagai bentuk ketepatan konsep medium dengan karakter yang diinterpretasikan, diinginkan dalam ekspresi penari. Artinya, konsep gerak setara dengan cara membawakannya. Contohnya, Duryudana yang diperankan orang yang berbadan kecil adalah kurang tepat, walaupun secara konsep ia berhasil dalam membawakan karakter Duryudana dilihat dari ekspresinya (Wawancara, 9 Desember 2011) Pengungkapan Chaya tersebut, penulis menyimpulkan bahwa mungguh merupakan bentuk kesesuaian antara konsep karakter tari dengan wujud gandar penari. Hal tersebut juga diungkap oleh Humardani bahwa mungguh berkaitan erat dengan wujud tari, dalam arti karakter tari berkaitan erat dengan gandar penari. Dalam penulisan ini penulis mencoba menggunakan sengguh-mungguh sebagai dasar pengamatan dan penafsiran terhadap karakter gerak.
Dengan
demikian, penulia lebih menekankan aspek penggrapan gerak yang dapat diamati secara objektif pada pelaksanaan gerak ataupun sikap gerak. Namun demikian, untuk penafsiran karakter (kesan atau rasa) gerak penari tetap didasarkan pada pola penggunaan ragam gerak ataupun sikap gerak yang selalu terkait dengan karakter tertentu. commit to user
104
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.6.1 Penerapan Sengguh-Mungguh dalam Tari Srimpi Ludiramadu Berdasarkan pengertian di atas, sengguh-mungguh pada penulisan ini digunakan sebagai satu pendekatan dalam pengamatan dan penafsiran makna. Dengan pendekatan sengguh-mungguh sebagai dasar interpretasi dalam makna gerak, diharapkan dapat ditemukan kesesuaian antara interpretasi makna gerak. Untuk itu penulis mencoba menafsirkan sengguh-mungguh secara leluasa dalam langkah memaknai suatu makna Tari Srimpi Ludiramadu. Penerapan sengguh-mungguh dalam makna gerak dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Sengguh Jeneng Sengguh jeneng dimaksudkan sebagai penafsiran nama vokabuler gerak. Dengan demikian akan dipaparkan beberapa penafsiran, yaitu: (a) nama diuraikan berdasarkan arti leksikonnya, (b) pengungkapan makna simbolis/tidak sebenarnya dari nama vokabuler gerak. Pemaparan di atas didasarkan pada kenyataan bahwa nama vokabuler pada tari Jawa memiliki makna simbolis/tidak sebenarnya. Pengambilan nama vokabuler gerak dan istilah pelaksanaan gerak, biasanya didasarkan pada rasa makna gerak, juga diambil dari gerak-gerak alamiah. Nama vokabuler gerak, misalnya: lincak gagak, mbantheng gambul, ngalap sari. Jenis istilah pelaksanaan gerak misalnya ngganggeng kanyut, prenjak tinaji. mbanyu mili, mucang kanginan. Ada juga beberapa vokabuler gerak yang memiliki makna simbolis, misalnya: sembahan laras, dan angkring. commit to user
105
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Penyampaian deskripsi pelaksanaan gerak. c. Analisis gerak untuk mengungkap kesan rasa gerak yang didasarkan pada pelaksanaan gerak beserta komponen-komponen garap yang mendukung pelaksanaan gerak. Selanjutnya, mengenai makna gerak lebih diarahkari pada beberapa vokabuler gerak Tari Srimpi Ludiramadu, yang memiliki pada spesifikasi gerak. 4.3.6.2 Penapsiran Makna denotasi dan Konotasi Beksan Laras Beksan laras dilakukan setelah sembahan. Gerak ini dilakukan dalarn posisi berdiri.
Laras memiliki arti indah, menawan.
Laras juga memiliki
pengertian disesuaikan, ditimbang-timbang (Prawiraatmadja 1980:92). Dalam tari tradisi, nama beksan laras memiliki makna simbolis/tidak sebenarnya. Inti beksan adalah selalu ingat, manembah kepada Yang Maha esa. Laras artinya ditimbang-timbang. Secara keseluruhan beksan laras memiliki makna bahwa manusia harus selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sebelum bertindak selalu dipertimbangkan baik dan buruknya perbuatan itu. Dalam Wedhataya diungkapkan, bahwa laras dalam tari memiliki dua pengertian. Pertama, laras dalam arti menyesuaikan gerak tubuh sesuai dengan karakter tari yang dibawakan. Laras ini biasa disebut laras wadhag (panglarasipun badan pribadi)
Yang kedua, larasan batin, berupa kreativitas
yang terbentuk oleh kemampuan jiwa, sehingga mampu mewujudkan karakter (rasa) tari yang dikehendaki. Pengugkapan di atas menundukkan bahwa laras mengandung makna keserasian antara wujud lahir (wiraga) dengan sisi kejiwaan (rasa ataupun commit to user
106
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karakter). Dengan demikian, laras merupakan bentuk ungkap keserasian, yang secara mendasar melekat pada konsep budaya Jawa, seperti yang diungkapkan oleh Clara Brakel, "laras merupakan ungkapan keserasian dalam konsep budaya Jawa" ( 1991:20).
Selanjutnya laras dan serasi dalam konsep budaya Jawa
hampir selalu berhubungan dengan bentuk-bentuk karawitan, kehalusan, baik dalam etika maupun estetika (bentuk kesenian selalu mengekspresikan bentukbentuk yang halus dan indah). Hal ini juga disinggung oleh Franz Magnis-Suseno yang secara implisit meriyatakan bahwa dalam budaya Jawa pengekspresian keindahan cenderung dalam bentuk yang halus, karena orang Jawa cenderung menganggap bahwa sesuatu yang halus itu indah (1984:213). Beksan laras biasanya memiliki karakter luruh, halus, dan lembut, Hal ini tanpak pada setiap pelaksanaan gerak yang halus, tenang, dan terkendali. Seperti yang diungkapkan oleh Clara Brakel bahwa hampir seluruh gerak tari putri lebih mengekspresikan keindahan, kelembutan yang disertai pengekangan dan pengendalian gravitasi tubuh (1991:20). Menurut S. Ngaliman, istilah laras diambil dari khasanah karawitan. Selanjutnya dijelaskan, beksan laras yang sering disebut dengan joged laras disebut juga joged merong, karena terletak pada bagian gendhing merong (antara buka dan inggah).
Karena itu, setlap tari srimpi memiliki nama beksan
laras/joged laras yang berbeda.
Nama beksan larasnya sesuai dengan nama
gendhing yang dipergunakan.
commit to user
107
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Beksan laras dalam susunan tari Srimpi Ludiramadu memiliki dua bentuk: (1) bentuk beksan laras yang memiiiki struktur pelaksanaan gerak yang sama dengan bentuk beksan laras sawit. Beksan laras di atas merupakan ciri khas beksan laras ludira.
Pada
pokoknya, gerak beksan laras ludira tersebut tersusun atas gerakan nekuk ngenceng lengan kiri yang disertai gerakan kepala berupa tolehan dan gerakan leyek. Sikap dan gerak kepala tolehan berupa sikap dan arah pandangan mata, menunjukkan penerapan gerak kepala dan pandangan mata yang digunakan pada tari putri berkarakter alus luruh. Ini tampak pada pelaksanaan sikap arah pandangan luruh yang meliputi antara ruang gerak tangan (biasanya sipat bahu ataupun sipat jari tangan). Pola dan sikap gerak lengan yang selalu bergerak pada ruang gerak antara di bawah dada (susu) sampai di atas pinggang, dengan pola sikap tangan ngrayung, merupakan penerapan pola sikap dan gerak tari putri berkualitas alus. Hal
ini juga tampak pada pola sikap dan gerak tubuh
leyek yang berupa pemindahan
gaya gravitasi tubuh secara perlahan dan
mengalir. Gerak leyek ini merupakan penerapan bentuk laras mucang kanginan karena mucang kanginan yang layak digunakan oleh tari putri yang berkualitas alus. Pola gerak dan sikap kaki yang berupa sikap tanjak kanan dan sikap adeg dua tumit berimpitan dengan ruang gerak selebar kain yang digunakan, serta penggunaan pola sikap adeg tambak baya dan sikap tanjak tambak sampur, merupakan penerapan aturan dan pola gerak tari putri berkualitas alus. Sikap dan gerak lengan kiri berupa nekuk dan ngenceng yang dilakukan dengan tempo mengalir secara lambat dengan sikap tangan ngrayung, lebih commit to user
108
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
memungkinkan rasa halus, lembut. Kesan ini juga didukung arah tolehan dan pandangan mata yang dilakukan searah dan selalu menyertai gerakan lengan. Seperti yang diungkapkan S. Ngaliman bahwa arah dan pandangan mata yang dilakukan tersebut merupakan aspek penting untuk membentuk rasa tenang, halus, dan luruh. Hal itu berkaitan erat dengan ketajaman pandangan mata dan srah pandangan mata yang selalu menyertai gerakan lengan dalam upaya pengendalian gerak dan pembagian irama gerak (Wawancara, 9 Desember 2011) Sikap dan gerak leyek yang dilakukan dengan tenang, lambat dengan posisi tungkai dhengket (tumit berhimpitan), merupakan ekspresi rasa keputrian yang anggun dan lemah gemulai, menjadikan gerak leyek cenderung mengungkapkan kesan ras halus dan lembut. Hal ini juga diungkapkan oleh Clara Brakel: Dalam gaya putri semua gerak-gerik tubuh cenderung bersifat mengayun, baik gerak-gerik rnenyamping, atau ke atas dan ke bawah, dengan cara bergantian melentur dan merenggang lutut, atau mengayun berat tubuh ke suatu sisi. Kesan umum yang dikehendaki oleh gaya gerak-gerik demikian ialah memperagakan pengekangan, ketenangan, dan kelembutan (1991:86). Dari pelaksanaan gerak, berupa pengulangan gerak lengan yang diikuti gerakan kepala serta gerak leyek, lebih memantapkan kesan rasa halus, lembut. Bahkan pelaksanaan gerak laras tersebut di atas lebih cenderung menambah rasa regu, ini didukung dengan pelaksanaan gerak secara bersamaan dan rampak, dengan wiled yang sama. Menurut Wahyu Santoso Prabowo, gerak laras Ludiramadu memiliki rasa ungkap halus, dan lebih mantap (Wawancara, 9 Desember 2011). Oleh Nyoman Chaya, laras Ludiramadu lebih dirasakan memiliki rasa anggun, dan lembut (Wawancara, 9 Desember 2011). Berdasarkan pemaparan di atas, dapat commit to user
109
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
disimpulkan bahwa laras Ludiramadu mengungkapkan rasa halus, anggun, dan lembut. Secara utuh kesan rasa halus, dan lembut tersebut secara auditif didukung bentuk gendhing karawitan tari yang rasa gendhingnya halus.
Sebagaimana
diungkapkan dalam Wedhapradangga. Gendhing Ludiramadu termasuk gendhing alus dan prenes 4.3.6.3 Beksan Lincak Gagak Secara harfiah lincak gagak berarti meloncat-loncat tetapi dengan langkah yang kecil-kecil (langkah kaki tidak terlalu jauh atau sangat dekat). Kata "lincak" berarti meloncat. "Lincak-lincak" = meloncat-loncat. Dalam Baoesastra Djawa disebutkan, "lincak" berarti meloncat, "lincak-lincak" artinya meloncat-loncat (mumbul). "Nglincak" artinya meloncat berpindah tempat tetapi tidak jauh dan tidak tinggi. "Lincak gagak / gagak lincak" artinya (1) meloncat dari tangan menuju ke tempat hinggap (seperti burung galatik yang sedang belajar terbang); (2) berpindah-pindah tempat tetapi dengan langkah loncatan kecil. Pada Wedhapradangga gerak lincak gagak disebut dengan genjot pinjalan atau prenjakan (Pradjapangrawit 1990:111). Istilah gerak ini didukung pernyataan Clara Brake1 bahwa pada darsarnya pelaksanaan gerak lincak gagak sama dengan pelaksanaan gerak gencot pinjalan atau prenjakan (1991:136—160). Persamaan tersebut tampak pada sikap kedua tangan, langkah kaki, dan gerakan kepala. Lincak gagak mungkin merupakan gerak yang diambi1 dari gerak yang berasal dari gerak burung gagak yang meloncat-loncat. Gerak ini lebih commit to user
110
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengekspresikan rasa lincah yang diwarnai dengan gerakan lincak-lincak pada kaki. Pada pokoknya gerak lincak gagak terdiri atas: (a) gerak kepala
(dagu
ke kiri, ke kanan), (b) gerak mlurut dan ukel mlumah, (c) gerak napak jinjit (lincak-lincak). Gerak yang mendominasi
pada vokabuler lincak gagak
berupa gerak kaki dan gerak kepala (dagu). Sikap gerak kepala berupa gerak dagu ke samping kiri dan kanan dengan posisi arah pandang serong ke kiri, merupakan penerapan pola gerak tari putri yang berwatak kenes (misalnya pada tari tledhek, gambyong). Sikap dan gerak kepala tersebut layak disebut andenaya; artinya, sikap dan pandangan harus manis, pasemon sumeh, bibir bersikap manis (ulat dan pasemon dalam menari harus manis). Dituliskan dalam Kridhwayangga, "Andenaya punika teges andamel ulat dados salebetipun beksa kedah manis, sumeh, dumunung ing lathi, netra" (Sastrakartika 1925:125). Sikap kedua tangan pada lincak gagak dapat disebut sikap silih asih, pada sikap ini tarigan kiri ngrayung, dan tangan kanan nyempurit. Bentuk sikap kedua tangan tersebut biasanya digunakan pada tari putri berkarakter alus dan madya. Hal ini juga tampak pada ruang gerak kedua tangan tersebut, seperti umumnya tari putri berkualitas alus ataupun madya. Ruang gerak kedua tangan pada sikap silih asih ini berada di bawah dada (susu), dapat dilihat pada kenyataannya kedua tangan tersebut terletak di depan pusat.
Sikap dan gerak langkah kaki (lincak-
lincak) dilakukan dengan pola dan aturan tari putri. Ruang dan kualitas geraknya sebatas selebar kain yang dikenakan. commit to user
111
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pelaksanaan gerak lincak gagak secara utuh dapat ditangkap rasa kenes, kemayu, berag. Kesan ini didukung oleh gerakan lincak-lincak kedua kaki yang dilakukan dengan cara napak jinjit secara bergantian. Gerakan tersebut rngan, sehingga menimbulkan kesan lincah. Kesan lincah dan sigrak pada gerak kaki cenderung mendukung timbulnya kesan kenes, manis. Demikian pula gerakan kepala (dagu) ke kiri dan ke kanan yang dlakukan dalam posisi miring memiliki kesan kenes. Koordinasi gerak kepala dan gerak kaki dengan beberapa kali pengulangan secara utuh menambah kesan kenes, kemayu.
Pengulangan gerak tersebut,
terutama dari gerak kaki napak jinjit secara bergantian, menimbulkan gerakan ayunan yang halus, lembut pada tubuh. Ayunan tubuh yang halus dan atau lembut tersebut, lebih menyakinkan timbulnya kesan manja, sekaligus Juga mendukung timbulnya kesan rasa kenes atau kemayu. Kesan rasa Ini terutama timbul dari gerakan kepala dan kaki. Sikap silih asih yang terdiri dari sikap ngrayung tangan kiri dan nyempurit tangan kanan merupakan perpaduan sikap tangan yang memiliki watak manis, terutama sekali ada sikap tangan kanan (nyempurit). Pada sikap lengkung jari-jari tangan tersebut menimbulkan kesan manis. Demikian pula gerakan ukel dan mlurut sampur mendukung kesan manis. Kesan ini timbul dari gerakan ukel dan lintasan gerak sampur. Selanjutnya, kesan yang timbl secara utuh pada gerak lincah gagak secara auditur didukung bentuk karawitan tarinya, baik dari strktur gendhng ataupun garap gendhingnya. Seperti telah diungkapkan pada bab sebelumnya, bahwa commit to user
112
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
beksan lincak gagak terdapat pada bagian gendhing inggah. Dijelaskan oleh Mloyowidodo, gendhing inggah biasanya memiliki watak seseg, sigrak, bingar. Bagian ini ditandai dengan perubahan rama, dimulainya sindhenan, koplok, dan alok. Bentuk gendhingnya, gerak lincak gerak didukung oleh keplok alok, serta senggakan yang dilakukan dengan cara imbal, seperti yang diungkap pada Wedhapradangga, "Beksan pecat miring, Lajeng gnenjot pinjalan, utawi prenjakan dipun senggaki keplok imbal angadasih" (Pradjapangrawit 1990:111). Keplok alok dan senggakan yang dilakukan dengan cara berimbal tersebut, merupakan paduan variasi ritmis yang memberikan suasana dinamis. Keplok alok dan senggakan dalam kesenian cenderung menampilkan koriotasi dan persepsi prenes, gecul, dan ngglece. Dengan demikian, keplok alok lebih dekat dengan rasa berag, prenes, dan mungkin juga kemayu pada bentuk tarinya. Menurut I Nyoman Chaya, gerak lincak gagak memiliki ungkap rasa berag, kenes (Wawancara, 9 Desember 2011). Wahyu Santosa Prabowo menyatakan bahwa gerak lincak gagak lebih mengungkapkan rasa kenes yang mantap, bahkan lebih mendekati rasa kenes wadhag. Karena, gerakan lincak gagak pada tari Srimpi Ludiramadu, secara ritmis manampilkan rasa wadhag (antara ritmis gerak dan ritmis keplok alok imbal nampak tebal dan mungkus) (Wawancara, 9 Desember 2011). Selanjutnya Wahyu Santoso Prabowo berpendapat bahwa lincak gagak pada tari Srimpi Ludiramadu menampilkan rasa kenes (Wawancara, 9 Desember 2011). Dengan demikian, gerak lincak gagak pada tari Srimpi Ludiramadu memiliki ungkap rasa kenes, kemayu, berag. commit to user
113
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.6.4 Beksan Engkyek Ludiramadu Menurut Soedarsono, vokabuler gerak engkyek pada tari putri gaya Surakarta (1986:41). Tari Srimpi Ludiramadu juga menggunakan vokabuler engkyek, namun engkyek pada tari ini memiliki bentuk rangkaian gerak serta pelaksanaan gerak yang berbeda dengan bentuk engkyek pada umumnya. Oleh karena itu, engkyek yang digunakan pada susunan tari Srimpi Ludiramadu disebut engkyek ludira. Pelaksanaan gerak di atas, struktur gerak engkyek ludira pada pokoknya terdiri dari: (a) gerak kepala yang terdiri atas gerak tolehan dan gedheg; (b) gerak lengan kanan nekuk ngenceng: (c) gerak tungkai mendhak dan njujut (mancat kaki kiri); (d) pengolahan properti berupa penggunaan sampur, yaitu miwir sampur, cul sampur, kipat sampur, serta seblak sampur. Gerak engkyek Ludiramadu secara utuh memiliki kecenderungan yang kuat menimbulkan kesan rasa manis, kenes, berag, kemayu, galak. Mengenai rasa karakter gerak tersebut juga dinyatakan oleh Wahyu Santoso Prabowo bahwa engkyek lebih mengungkapkan rasa kemayu, galak (Wawancara, 9 Desember 2011) Secara visual kesan yang dipaparkan di atas didukung oleh pelaksanaan gerak engkyek Ludiramadu. Gerak nekuk ngenceng lengan kanan yang dilakukan dengan miwir sampur menimbulkan kesan luwes, kewes. Kesan rasa ini lebih mantap dengan dukungan sikap mendhak pada waktu melakukan gerak nekuk lengan kanan dan sikap mancat kaki kiri njujut, pada waktu ngenceng miwir sampur dengan disertai tolehan ke kanan searah dengan gerakan lengan. Kibasan commit to user
114
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan kipat sampur yang dilakukan pada awal gerakan menimbulkan kesan sigrak, kenes. Gerakan leher ( pacak gulu) yang dilakukan dalam posisi sikap ngenceng memberi, sentuhan rasa kenes, kemayu pada gerak engkyek Ludiramadu. Gerak pacak gulu yang dilakukan tersebut disebut pacak gulu ganil, biasa digunakan pada tari putri yang memiliki watak lanyap, mbrayak, kenes.
Karena itu,
rangkaian gerak ini lebih cenderung memiliki rasa dan watak kenes. Selanjutnya gerak cul sampur (melepas sampur) yang dilakukan bersama gerak mendhak memberikan aksen (tekanan) rasa seleh tersendiri bagi gerak engkyek ludira. Tekanan rasa seleh tersebut lebih memantapkan sentuhan rasa yang timbul dari rangkaian nekuk ngenceng lengan kanan yang disertai gerakan kepala pacak gulu ganil. Seblak nampur yang mengakhiri gerakan engkyek ludira memberikan sentuhan rasa keres, sigrak. Hal ini timbul dari kibasan sampur. Aspek kerampakan dan kebersamaan yang timbul dari pelaksanaan gerak secara kelompok lebih mendukung rasa sigrak dan berag dalam gerak engkyek ludiramadu. Secara visual, kerampakan gerak kelompok tersebut selain didukung oleh pelaksanaan gerak secara serentak dan bersama-sama juga didukung oleh penggunaan garap ruang (posisi gawang) jejer wayang. Posisi gawang jejer wayang lebih memungkinkan kerampakan gerak kelompok dapat diamati secara lebih gamblang, sehingga sentuhan rasa sigrak dan berag akan lebih menyentuh secara mantap. Pada posisi gawang jejer wayang dapat diamati secara jelas sikap dan gerak yang dilakukan oleh penari, sejak dari sikap dan gerak kepala, lengan, commit to user
115
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tangan, tungkai, kaki, maupun pengolahan dan penggunaan properti. Terutama sekali pada pengolahan dan penggunaan sampur, posisi sikap dan gerak menunjukkan kekurangkompakan penari dalam melakukan gerak cul sampur / lepas sampur) Sisi auditif berupa karawitan tari menjadi komponen / pendukung yang kuat untuk lebih memungkinkan timbulnya sentuhan rasa sigrak, berag. Ini terwujud oleh bunyi kemanak dan keplok yang secara auditif membentuk tempo gerak melalui ritme yang diwujudkan. Keplok yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersamaan pada seleh kethuk yang selalu bertepatan dengan gerak mendhak maupun cul sampur memberikan rasa seleh yang mantap pada seleh geraknya. Menurut penuturan lisan, gerak engkyek selalu disertai dengan bentuk garap ricikan kendhang yang disebut kendhang engkyek. Hal ini berlaku pada setiap gerak engkyek yang digunakan secara umum pada tari srimpi maupun bedhaya (Mlayawidodo, wawancara 20 Desember 2011) Penafsiran gerak engkyek Ludiramadu ini memiliki sengguh rasa kemayu, galak, atau lebih dekat lagi rasa berag (Wawancara 10 Desember 2011). Rasa tersebut menonjol pada gerak gulu / pacak gulu ganil serta pengolahan sampur yang tersusun dalam rangkaian gerak engkyek ludira. Menurut Nora Kustantina Dewi , engkyek Ludiramadu lebih mengungkapkan rasa anggun (Wawancara 10 Desember 2011). Menyimak pemaparan di atas, dapat dinyatakan bahwa engkyek Ludiramadu memiliki rasa galak, kenes, berag, dan anggun.
commit to user
116
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4.3.6.5 Beksan Sangga Nampa Ukel Adumanis Dalam memaparkan pengertian vokabuler ini, penulis membagi menjadi dua kelompok suku kata . Hal ini dilakukan dengan adanya perbedaan bentuk sikap dan gerak yang melekat pada masing-masing suku kata. Sangga nampa ukel adumanis terdiri dari dua bentuk pelaksanaan sikap dan gerak, yaitu: (1) sikap dan gerak sangga nampa, dan (2) sikap dan gerak ukel adumanis. Secara harfiah pengertian sangga nampa dipaparkan sebagai berikut: kata sangga berarti sanggup, saguh, dari kata nampa berarti menerima (Prawiraatmadja 1987: 352). Adumanis berarti bersikap manis, menyenangkan (Ibid. : 334). Secara utuh sangga nampa ukel adumanis dapat ditafsirkan memiliki makna simbolis yang mengungkapkan sikap sanggup menerima dengan senang hati segala yang terjadi. Penafsiran ini didasarkan pada kebiasaan pada tari tradisi Jawa, kanan dan kiri selalu diasosiasikan sebagai kebaikan dan kejelekan misalnya, sikap gerak buwang-balang ditafsirkan sebagai ungkapan bahwa manusia harus membuang dan menghindar dari perilaku yang buruk (Yogyataya 1923:4). Dalam pembahasan ini sangga nampa ukel adumanis merupakan satu rangkaian gerak. Adapun pelaksanaan sikap dan geraknya adalah sebagai berikut. Pada pokoknya rangkaian gerakan sangga nampa ukel adumanis terdiri atas: gerakan tubuh leyek kanar dan kiri, gerakan ukel mlumah kanan kiri secara bergantian, serta ukel adumanis. Pelaksanaan gerak di atas masih mengacu pada dasar-dasar sikap dan gerak tari putri berkualitas alus. Hal ini tampak pada
penataan sikap geraknya. Sikap pandangan mata
tajam dengan arah
pandang luruh sipat pundhak dan jari tangan sejajar sau pandangan dan kedua commit to user
117
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lengan atas merapat pada kedua sisi tubuh dengan ruang gerak ukel tangan berada di antara pinggang dan dada (di bawah susu);
sikap kedua tungkai
mendhak, lutut, terbuka selebar kain yang dikenakan,
tumit
berhimpitan.
Demikian pelaksanaan gerak ayunan tubuh / leyek yang dilakukan dengan tempo perlahan dan mengalir menunjukkan penerapan sikap gerak tari
putri
dengan kualitas alus luruh. Dalam Kridhwayangga sikap dan pelaksanaan gerak tersebut termasuk pada tradisi tari alus, gerakan tubuh rersebut disebut penerapan gerak mucang kesisan (Sastrakartika 1925:114). Secara utuh gerak sangga nampa ukel adumanis cenderung menimbulkan kesan rasa alus, manis, dan prenes. Kesan tersebut didukung oleh gerakan ukel mlumah, serta gerakan ukel adumanis yang dilakukan dengan sifat gerakan halus. Sifat halus yang melekat pada gerakan ukel itu didukung oleh gerakan leyek gerakan ayunan tubuh berupa pemindahan gravitasi tubuh dalam tempo mengalir lambat, sehingga rasa halus yang timbul lebih mantap. Rasa halus tersebut juga timbul dari bentuk sikap dan arah pandangan mata yang luruh mengikuti gerakan tangan serta gerakan tubuh. Dari sikap dan arah pandangan mata serta tolehan tersebut, dapat diamati bentuk pengendalian gerak tangan yang melintasi ruang gerak pada perut bagian depan (antara pinggang dengan dada). Hal ini merupakan satu bentuk pengendalian gerak untuk tetap berada pada ruang gerak ataupun kualitas karakter (rasa). Sentuhan rasa manis dan prenes cenderung timbul dari pengulangan gerak ukel mlumah tangan kiri dan kanan secara bergantian dan disertai dengan gerakan commit to user
118
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepala ataupun tubuh. Kesan ini juga timbul dari gerakan ukel adumanis. Gerakan ukel adumaris tersebut dilakukan dengan memutar tangan dengan sikap ngithing, kedua tangan diputar dan kedua pergelangan tangan bertemu sebagai poros putarnya. Dari bentuk sikap tangan ngithing berputar dalam tempo lamban tersebut; timbul kesan rasa manis. Pelaksanaan gerak secara kelompok yang dilaksanakan dengan rampak memberikan sentuhan rasa prenesnya lebih mantap. Sisi auditif yang berupa karawitan tari pada bagian ini memiliki rasa prenes (dalam Rahayu Supanggah 23 Maret 1992:76), dengan demikian lebih mendukung timbulnya rasa, prenes, manis yang mungkin timbul dari gerak sangga nampa ukel adumanis yang disertai oleh rasa penari itu sendiri. Kesan prenes, kenes dalam tari lambat lauk berubah karena penyesuaian-penyesuaian yang tergantung pada seniman berkreasi dan berkreativitas seperti apa. Hal ini juga berubah sesuai dengan seniman pembuat karya, dibalik ini perubahan juga terjadi pada rias dan budana penari. Karena sifat seniman / bahwa manusia selalu mengembangkan akal dan pikiran sehingga selalu ingin menemukan kebudayaan baru / karya baru. 4.3.7 Rekapitulasi Makna Lama Menjadi Makna Yang Baru Makna yang berada dalam Tari Srimpi Ludiramadu menurut Rolland Barthes : Barthes is writing were not the death of the writer (….) or of the subjct, or yet of the agent, but of the author the juthor. The author, who is not only taken to be auhority of the meaning of the text, but also, when possesed by authority, possessed by the fact of moral legal supremacy the power to influence the conduct or action of other, and when authorizing giving legal force to making legally valid. Thus even on the most listeral level of the dictionary the birth of the reader must be at the cost of the death of the commit to user
119
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
author takes on difference resonance (Gayatri C, Spivak, dalam Sunardi 2004 : 329). Kutipan diatas menjelaskan bahwa yang dimaksud kematian outhor bukanlah kematian pengarang, namun merupakan pemegang otoritas makna final, makna otentik. Jadi dapat dikatakan bahwa pemegang otoritas makna final atau makna otentik itu adalah pengarang itu sendiri. Pemberian dan keberhasilan dalam memberikan makna untuk mengetahui konteks apa teks itu dibuat. Ketika teks dibuat oleh pencipta secara langsung pemegang otoritas makna final, makna otentik adalah pencipta teks, memang benar bahwa tidak langsung teks berinteraksi dengan pembaca. Ketika interaksi berlangsung pencipta kehilangan otoritasnya sebagai pemegang makna final. Pernyataan di atas memang benar, namun perlu diingat bahwa dalam konteks apa dan bagaimana teks itu dibuat asih menarik untuk dikaji. Apabila seorang pembaca memilki keinginan untuk mengetahui dalam konteks apa suatu teks atau karya sastra diciptakan, pembaca harus menanyakan langsung kepada pencipta teks. Hal inilah seorang pencipta teks masih memiliki otoritasnya yaitu dalam menyampaikan pemaknaan dalam konteks produksinya. Makna teks dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu 1) Latar belakang sosio budaya seorang pencipta, 2) Dalam rangka apa atau konteks apa seorang pencipta teks memproduksi teks itu. Dalam teks ini yang dihasilkan adalah teks Tari Srimpi Ludiramadu. Dapat diungkap bahwa berkaitan dengan pencipta Tari Srimpi Ludiramadu yang dibahas pada pencipta teks yang pertama, latar belakang pencipta teks Tari Srimpi Ludiramadu dibahas pada latar belakang budaya yang commit user dimiliki pencipta teks. Kedua, teks yangtodihasilkan merupakan teks dalam Tari
120
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Srimpi Ludiramadu sebagai latar belakang penciptaan Tari Srimpi Ludiramadu dan siapa penciptaanya. Berbicara latar belakang pencipta teks Tari Srimpi Ludiramadu adalah penting untuk mengetahui tentang teks yang dihasilkan pencipta berkaitan dengan latar belakang budaya dari teks yang dihasilkan pencipta, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui konteks produksi teks kidung pujian. Mengenai bentuk tari, diketahui bahwa tari srimpi menggunakan iringan gendhing Jawa sebagai kerangka lagu. Hal ini berkaitan dengan latar belakang budaya pencipta teks yang dituang dalam Tari Srimpi Ludiramadu. Hamengkunagara III atau setelah jadi raja menjadi Paku Buwana IV adalah nama yang menciptakan teks gendhing Srimpi Ludiramadu. Beberapa karya beliau dalam tari, sastra, seni rupa ada beberapa yang digunakan untuk upacara yang diselenggarakan di Keraton. Pengetahuan dan pengalaman Hamengkunagara III dilahirkan di keluarga keraton karena beliau putra Raja salah satu andil besar dalam penciptaan karyakarya beliau dalam mengekspresikan perasaan misal : pujian, rasa cinta, marah, sedih, haru dan lain-lain. Mengacu pada pengertian simbol dan dibalik simbol ada makna yang dapat diungkap baik tersirat maupun tersurat. The Liang Gie menyebutkan bahwa simbol adalah tanda buatan bukan berwujud kata-kata untuk mewakili atau menyingkap suatu artian apapun, serta sesuatu hal atau keadaan yang merupakan perantara pemahaman terhadap ssuatu obyek. (Budiono Heru Satoto, 1985:11). Oleh sebab itu dapat kita katakan bahwa simbol merupakan lambang bukan commit to user
121
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berwujud kata-kata, tetapi berupa ciri atau tanda atau ungkapan yang abstrak, untuk menyatakan sesuatu hal kepada orang lain, serta merupakan perantara pemahaman terhadap sesuatu obyek, mengenai mana simbolik secara umum dan diungkap lagi menjadi makna kekinian dapat dipaparkan pada beberapa hal : busana, waktu, sesaji / sesajen, karawitan, dan penyajiannya. 4.3.8 Pengaruh Perubahan Sosial Budaya pada Tari Srimpi Ludiramadu Perkembangan kebudayaan menyesuaikan ruang dan waktu dimana budaya itu berada. Perubahan karya yang berupa tari keraton tidak luput dari perubahan. Perubahan-perubahan tersebut adalah : 4.3.8.1
Perubahan dalam ritus atau ritual Pertunjukan pementasan Tari Srimpi Ludiramadu yang awalnya dilakukan
berbagai macam ritual sekarang sudah mengalami perubahan dan bersifat praktis yaitu hanya bancakan dan sesaji (sajen) untuk penari dan abdi dalem serta pada waktu pagelaran menyalakan dupa (kemenyan). Sementara tujuan bancaan dan penyalaan dupa hanyalah seperti suatu rangkaian tradisi. Dengan adanya perubahan ini mengakibatkan sifat ritual pada Tari Srimpi Ludiramadu yang sakral hilang dan religius lebih hanya sebagai pementasan sebuah karya tari. Seorang penari Srimpi Ludiramadu tidak lagi seorang yang perawan dan menjalani tirakat (laku prihatin) seperti pada saat srimpi diciptakan, bahkan ada yang sudah bersuami, punya anak lebih dari satu. Usia penari tidak ada ketentuan bahkan tidak memandang dari kalangan bangsawan, abdi dalem, rakyat biasa atau kalangan akademika yang terpenting penari memiliki bakat dan kemampuan untuk menarikan tari tradisi Jawa.
commit to user
122
perpustakaan.uns.ac.id
Penari tidak
digilib.uns.ac.id
lagi melakukan berbagai ritual seperti pada masa
Hamengkunagara III yang terikat oleh aturan-aturan seperti harus puasa, tuturan, tidak haid dan lain-lain. Pada upacara-upacara wetonan dan untuk penyambutan tamu penari lebih cenderung lebih bebas dalam aturan dibandingkan pada jaman dulu yaitu tidak ada keharusan harus puteri keraton, abdi dalem, kerabat keraton, yang terpenting memiliki kemampuan dalam menari dapat bergerak yang luwes, gandhes, kewes, prenes. Melakukan gerakan sesuai dengan estetika dalam menari dan dapat menerapkan wiraga, wirama, wirasa selain itu juga mampu bergerak sesuai hasta sawanda. 4.3.8.2
Perubahan fungsi Tari Srimpi Ludiramadu sekarang ini sudah berubah fungsi yang awalnya
digunbakan untuk wetonan, penyambutan tamu raja sekarang hanya menjadi pertunjukan sebagai atraksi pariwisata budaya, pentas seni, misi kesenian, lomba seni dan budaya, festifal seni, sebagai materi perkuliahan, materi mata pelajaran seni tradisi di SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) sampai keresepsi pernikahan sekarang pementasan tidak terbatas di lingkungan keraton melainkan di luar keraton semua orang dapat melihat dan menikmati pertunjukan Tari Srimpi Ludiramadu. Tari Srimpi Ludiramadu yang awalnya memiliki nilai dalam budaya yang tinggi karena ada di dalam keraton sekarang memiliki budaya yang rendah karena masyarakat umumpun dapat melihat secara bebas. Perubahan dapat dilihat juga pada penonton pada saat pertunjukan Tari Srimpi Ludiramadu ada, proses pemadatan gerak menimbulkan penonton mengambil pertunjukan tari hanya sebagai hiburan semata tidak lagi ada unsur commit to user
123
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
rasa baik rasa penari, rasa gerak, rasa gendhing, dan juga suasana karena tidak lagi di pendopo keraton Surakarta. Kostum tata panggung, tata rias mempengaruhi minat penonton sehingga hanya bersifat menghibur semata. Perubahan yang terjadi pada nama masing-masing penari batak, gulu, dhadha, buncit. Nama tersebut menurut pandangan orang Jawa merupakan tubuh orang Jawa. Batak digambarkan sebagai kepala yang mewujudkan pikir dan jiwa, gulu menunjukkan bagian leher, dhadha menunjukkan bagian dada, dan buncit menunjukkan bagian organ bawah yaitu dubur atau anus (organ pengeluaran) di era sekarang berubah batak, gulu, buncit, dhadha hanya istilah dalam bahasa untuk menunjukkan jumlah penari tidak ada hubungannya dengan anggota tubuh manusia. Seorang penari memiliki sifat nafsu amarah, nafsu aluamah, nafsu supiah, nafsu mutmainah dapat dipaparkan bahwa nafsu amarah manusia memiliki sifat yang mudah marah sulit mengendalikan emosi, mengambil emosi tampa berpikir yang matang. Nafsu aluamah : manusia sulit menyeimbangkan kehidupan didunia dan akhirat akhirnya bersifat serakah. Nafsu supiah : memiliki sifat pelupa, lupa akan yang menciptakan sehingga bersifat sombong, merasa dirinya pintar, cantik, kaya dan lain-lain. Nafsu mutmainah : nafsu ini sebagai penyeimbang sikap-sikap kehidupan sehingga manusia bersifat sabar menrima keadaan walaupun sangat sulit dan mempersiapkan untuk kehidupan diakhirat. Berbanding terbalik dalam kehidupan sekarang sifat-sifat diatas sudah dimiliki manusia baik dulu maupun sekarang. Dalam Tari Srimpi Ludiramadu empat penari dimaksudkan sebagai kakang kawah, adi ari-ari, getih putih, getih abang. Hal ini ada hubungannya menurut commit to user
124
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kepercayaan orang Jawa bahwa yang mengelilingi manusia adalah kakang kawah, adi ari-ari juga istilahnya pajupat lima pancer yang ditengah atau pusat adalah Allah, Nanik Srihartini, (1988:10-11). Di dalam kehidupan masyarakat Jawa sekarang ini hal itu hanya sebagai sebuah cerita yang berhubungan dengan mitos sulit untuk dibuktikan dalam kehidupan nyata sekarang ini. Penari yang hasta sawanda, wiraga, wirama, wirasa yang memiliki arti yang sangat dalam kehidupan penari yang harus dimiliki waktu didalam keraton sekarang ini sudah berubah menyesuaikan kebutuhan, tuntutan jaman dan dimana tari itu akan dipentaskan dan dalam acara apa. Hal ini makna keseluruhan diungkap oleh penulis secara mendalam yang diberikan pada lampiran hal. ….. a) Sebagai legitimasi raja / untuk eksistensi keraton Tari Srimpi Ludiramadu pertama kali keluar dari tembok keraton pada tahun 1970-an, pada waktu itu ada proyek penggalian dan pengembangan seni dan budaya keraton bekerja sama antara keraton, kalangan akademika, dan pemerintah PKJT (Pengembangan Kesenian Jawa Tengah), pada waktu itu Tari Srimpi Ludiramadu tidak hanya perubahan pada bentuk saja tetapi pada fungsi dan makna banyak perubahan. Tari Srimpi Ludiramadu semula dipentaskan didepan raja tidak sembarang dipergelarkan disembarang tempat dan waktu. Hal ini menegaskan bahwa Tari Srimpi Ludiramadu merupakan tari ritual magis yang tak terpisahkan oleh keberadaan raja sebagai penguasa pemerintahan pada waktu itu. Sesuai perkembangan bahwa keraton sekarang hanya sisa-sisa pemerintahan tradisional sudah tidak dapat lagi memenuhi semua hal yang berhubungan dengan hak dan commit to user
125
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kewajiban raja dibidang kekuasaan politik. Kekuasaan yang dulunya dimiliki raja sudah lepas karena pemerintahan dipindah alihkan ke pemerintah republik Indonesia setelah kemerdekaan pada tahun 1945, sekarang pemerintahan ditangan walikota. Kekuasaan yang ditangan raja tidak dimiliki lagi karena pemindahan kekuasaan.
Usaha-usaha
yang
dilakukan
pihak
keraton
untuk
tetap
mempertahankan sisa-sisa kekuasaan dan untuk legitimasi raja walaupun keraton hanya sekedar identitas budaya belaka, misalnya: 1) Pembuatan silsilah terlihat bahwa Hamengkunagara, Pakubuwana sampai sekarang masih digunakan sebagai bukti bahwa mereka keturunan dari kalangan keluarga keraton yang memiliki hak untuk tetap bertahta dan berkuasa. Pada era sekarang hal ini hanya sebagai simbolisasi untuk memperkuat kedudukan beliau dalam masyarakat Jawa. 2) Pengembangan budaya keraton dengan mengusahakan dan melestarikan dengan cara menggali tari-tari srimpi keraton, tari bedhaya keraton dan yang terpenting menggali Tari Srimpi Ludiramadu untuk menjelaskan pada masyarakat sebagai usaha bahwa keraton sangat peduli dengan tari tradisional yang merupakan warisan leluhur yang patut selalu ada sampai kapanpun, dulu sekarang dan sampai nanti. Dikehidupan sekarang ini pembinaan selalu dilakukan walupun kekuasaan raja tidak lagi dimiliki oleh keraton. Pembinaan dan penggalian paling tidak untuk mencapai tujuan agar mereka tetap dihormati oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Perubahan yang terjadi secara fisik pada Tari Srimpi Ludiramadu dapat dipaparkan untuk kepentingan secara umum yang sudah tidak mempedulikan commit to user
126
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
secara ritual. Tari Srimpi Ludiramadu yang ditarikan di luar tembok keraton sudah terlepas dari pakem hasta sawanda, wiraga, wirama, wirasa. Bahkan makna sudah hilang akhirnya tidak memiliki makna sama sekali, kehilangan rasa para tari yang dulunya bersifat prenes, kewes, kenes, dan gandes. Keraton tidak hanya menggali dan memelihara pada bentuk tari srimpi maupun bedhaya tetapi memelihara juga pada pusaka-pusaka keraton yang setiap tahun diadakan ritual jamasan pusaka walaupun sudah berubah fungsi juga sebagai pariwisata budaya. Tari Srimpi Ludiramadu juga merupakan pusaka yang patut dijaga dan dilestarikan seperti menjaga pula pusaka keraton hal ini merupakan lambang bahwa raja walaupun sudah tidak berkuasa masih memberikan perhatian, perlindungan terhadap rakyatnya. Tari Srimpi Ludiramadu untuk upacara resepsi pernikahan, lomba seni, pentas seni dan budaya, festifal, misi kesenian, wisata budaya akan dikurangi dan dirubah sesuai dengan kebutuhan. Dibawah ini hal-hal yang berubah juga pada Srimpi Ludiramadu sebagai berikut: 1) Durasi waktu hanya 15-18 menit 2) Kostum, rias disesuaikan dengan kebutuhan seniman karena sekarang hanya untuk profan, praktis dan menghibur tidak sampai hayatan seni. Tari Srimpi Ludiramadu merupakan tarian kelompok yang dilakukan oleh empat orang penari wanita dengan komposisi berpasangan, srimpi berasal dari kata sri dan impi, sri berarti raja, impi berarti angan-angan, harapan, gagasan, dan cita-cita sedangkan ludiramadu, ludira yang berarti darah, madu dari kata Madura memiliki asal atau tempat merupakan letak yang berasal dari Sumenep Madura commit to user
127
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jadi Srimpi Ludiramadu dapat diartikan tari yang diciptakan oleh raja yang berupa impian dan pengharapan karena yang menciptakan tari memiliki aliran darah Madura. Karya Tari Srimpi Ludiramadu diciptakan Hamengkunagara III yang memiliki aliran darah Madura dari Ibunda dan Ayah seorang Raja Surakarta yang bernama Paku Buwana IV. Perselisihan dan perpisahan kedua orang tua yang melatar belakangi terciptanya Tari Srimpi Ludiramadu, diawali dari pinciptaan gendhing ludiramadu
pada tahun
1718 –
1748
(1790-1820 Masehi).
(Pradjapangrawit 1990: 110-111). Dalam Tari Srimpi Ludiramadu adalah impian seorang anak yang berharap Ibu dan Bapak dapat kembali bersatu, rukun tidak terpisahkan oleh masalah apapun dan keadaan apapun. Kedua orang tua Hamengkunagara III adalah Kanjeng
Ratu
Anom
Putri
Cakraningrat,
Bupati
Pamekasan
Madura
(Pradjapangrawit 1990:196). Proses penciptaan Tari Srimpi Ludiramadu tidak terlepas dari tempat / wilayah dimana pencipta itu berada. Tari Srimpi Ludiramadu diciptakan Hamengkunagara III beliau Putra Paku Buwana IV, waktu menciptakan belum duduk sebagai Raja. Kemampuan berkarya diperoleh tidak serta merla melainkan melalui proses latihan, gemblengan dan pengaruh lingkungan sebagai penentu. Karya yang diciptakan Hamengkunagara berwujud sastra, tari, seni rupa, karawitan. Pada tari karya yang diciptakan tari penthul (gecul) dan Tari Srimpi Ludiramadu. commit to user
128
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebudayaan yang diciptakan di Keraton selalu memiliki makna dan simbol disini makna sakral, magis, religius tidak terlepas dari kebudayaan keraton memiliki perbedaan dengan karya budaya yang berada pada luar keraton dan di dalam Tari Srimpi Ludiramadu mempunyai simbol-simbol yang sangat kaya tentang falsafah manusia Jawa yang berada disekitar kosmologis Jawa. Masyarakat Jawa memiliki kepercayaan bahwa keraton dijaga oleh kekuatan roh halus dari empat arah dan di dalam srimpi jumlah empat itu untuk menghormati roh-roh atau biasa disebut pepundhen (roh nenek moyang zaman dulu) diempat penjuru mata angin, semua pepundhen bertugas melindungi dan menjaga keselamatan keraton Surakarta dan sekitarnya selain itu Tari Tradisi Jawa juga memiliki konsep Hasta Sawanda (delapan unsur yang menjadi satu kesatuan dan lebih penting dalam tari tradisi keraton tidak terlepas juga pada konsep wiraga, wirama, wirasa (Prabowo, 1991:12-13) Hal diatas yang membuat Tari Tradisi keraton disini Tari Srimpi Ludiramadu memiliki makna dan berkonsep adi luhung yang sesuai dengan nilainilai kehidupan manusia Jawa. Masyarakat Jawa memiliki aktivitas religi yang berhubungan dengan penguasa alam yang tujuannya untuk mengucap rasa syukur dan terima kasih kepada penciptaNya bahwa manusia ada karena ada yang menciptakan disini dengan melakukan berbagai upacara yang berhubungan dengan kelahiran, kehidupan dan kematian. (Soepardi dan Atmadibrata 1977:70). Manusia menciptakan kebudayaan karena manusia memiliki akal, pikiran, daya, cipta dan karsa yang dapat diwujudkan dalam bentuk tari, karawitan, commit to user
129
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
upacara, sastra dan lain-lain. Selain itu sifat manusia secara lahiriah ingin bersosialisasi hidup berkelompok, bekerja sama, dan mencipta. (Soekanto, 1982:22). Karya kebudayaan sendiri memiliki perkembanganyang bersifat dinamis sehingga tiap individu-individu dan generasi melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan penyesuaian desain zaman. Tradisi dan kebudayaan masa lampau banyak ditinggalkan, terkadang diperlukan beberapa penyelarasan, karena tidak sesuai dengan tuntutan zaman baru. Generasi baru tidak hanya mewarisi suatu edisi kebudayaan baru, tetapi juga suatu versi kebudayaan yang direvisi, hal ini juga dialami pada Tari Srimpi Ludiramadu yang sebenarnya lahir, diciptakan dari kebudayaan keraton menjadi kebudayaan yang berkembang ke luar keraton sehingga terjadi perubahan. Perubahan dalam berbagai hal yaitu bentuk, fungsi bahkan tidak luput dari perubahan makna. (Soemardjan, 1962:30). Perubahan yang dialami kebudayaan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu lingkungan alam, misalnya iklim kekurangan bahan makanan atau bahan bakar dan berkurangnya jumlah penduduk. Hal tersebut memaksa manusia untuk beradaptasi. Mereka tidak dapat mempertahankan cara hidup lama, tetapi harus menyesuaikan dengan situasi baru. Perubahan disebabkan juga adanya kontak dengan kelompok masyarakat yang memiliki norma-norma, nilai-nilai, dan teknologi berbeda. Kontak budaya dapat terjadi secara damai atau bermasalah, sukarela atau terpaksa, dan timbal balik (hubungan perdagangan atau progam pertukaran pelajar dan mahasiswa) atau sepihak (invasi militer). commit to user
130
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kebudayaan berubah disebabkan juga discovery (penemuan) dan invention (penciptaan bentuk baru). Discovery adalah suatu bentuk penemuan baru yang berupa persepsi mengenai hakikat suatu gejala atau hakikat hubungan antara dua gejala atau lebih. Discovery biasanya membuka pengetahuan baru tentang sesuatu yang pada dasarnya suda ada, misalnya penemuan untuk membangun pemahaman manusia bahwa kebudayaan lama yang saral berubah menjadi tidak sakral, memiliki makna bahkan tidak bermakna. Masyarakat atau bangsa mengadopsi beberapa elemen kebudayaan material yang telah dikembangkan oleh bangsa di tempat lain. Pengadopsian elemenelemen kebudayaan bersangkutan dari satu ke masyarakat lainnya, misalnya teknologi komputer yang dikembangkan oleh bangsa Barat di adopsi berbagai bangsa di dunia. Gejala tersebut menunjukkan adanya keterkaitan atau jaringan antara kebudayaan yang satu dengan lainnya. Bangsa Indonesia memodifikasi cara hidup dengan suatu pengetahuan atau kepercayaan baru, atau disebabkan perubahan dalam pandangan hidup dan konsepsinya tentang realitas. Perubahan tersebut berkaitan dengan munculnya pemikiran atau konsep baru dalam pandangan hidup serta konsepsinya tentang realitas, bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan agama serta kepercayaan. (Raga, 2000:23-24) Hasil karya kebudayaan lebih khusus ke seni Tari Tradisi tidak bisa lari dari perkembangan sehingga mengalami bentuk, fungsi, dan makna pada tari karena pada saat itu keadaan ekonomi di keraton terjadi konflik internal yang membuat kekuasaan raja berubah dan berpindah ke pemerintah Republik. Keraton sebagai commit to user
131
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pusat kebudayaan sulit mengendalikan dan menstabilkan laju ekonomi sehingga pada saat itu sekitar tahun 1949-1945 ekonomi keraton morat-marit. Pemerintah hanya memberikan subsidi untuk menyelenggarakan acara-acara keraton dan keraton sendiri tidak memiliki hak untuk mengelola keuangan apalagi pemerintahan. Keraton tidak lagi memiliki pemasukan dari pabrik tebu, pajak, semua ditangani pemerintah daerah dengan keadaan keraton yang tidak konsudif lagi ternyata mempengaruhi regenerasi penari keraton. Putri keraton dan kerabat hanya sedikit yang (kersa) meluangkan waktu untuk berlatih menari, pada akhirnya untuk acara penyambutan tamu dan acara-acara di keraton terpaksa mengambil pihak luar atau penari di luar keraton untuk menutupi jumlah kekurangan pada penari. Sehingga berpengaruh pada perubahan makna, misal : penari harus keturunan dan kerabat keraton, suci (gadis), belum pernah menikah, umur + - 20 tahun, sebelum menari berpuasa, bahkan harus bisa Ngadisarira Ngadi Busana. Hal ini tidak dapat diwujudkan dengan keterbatasan jumlah penari, disini mereka sama sekali tidak ada hubungan darah atau persaudaraan dengan keraton bahkan mereka hanya rakyat biasa (rakyat jelata). Keadaan ekonomi pada saat itu yang tidak mendukung akhirnya putri keraton tidak duduk manis, tinggal diam berpangku tangan mereka akhirnya menjadi putri keraton yang berkarier tidak hanya di dalam keraton, misalnya kegiatan membatik, berhias, menari, memasak, akhirnya bekerja di berbagai commit to user
132
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bidang negeri atau swasta, ada yang menjadi staff pengajar / dosen, politisi, anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan lain-lain. (Veeger, 1992:55). Keraton merasa sangat membutuhkan pihak luar dalam membantu melestarikan budaya Jawa karena keraton tidak mampu untuk melakukan sendiri sehingga pada tahun 1970 pihak keraton memanggil pengelola ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta) pada saat itu Gendhon Humardani untuk ikut serta dalam melestarikan budaya Jawa sehingga beban yang ada pada pundak Raja sedikit ringan dengan bantuan lembaga kesenian, di sini terbukti bahwa Raja yang awalnya memiliki kekuasaan penuh untuk memerintah, mengelola dan punya kekuatan seelah tidak duduk pada singgasana akhirnya memerlukan bantuan orang lain dan bahkan menjalin hubungan dengan pihak luar keraton pada dasarnya Raja dan kerabat serta abdi dalem keraton memiliki jiwa sosial dan tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain sesuai dengan pernyataan (Malinowski, 1960:37). Manusia sebagai pelaku budaya yang disalurkan dengan karya budaya yang diciptakan karena manusia sendiri mempunyai rasa cipta untuk dapat mencukupi berbagai kebutuhan baik batiniah atau lahiriah. Keutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah diusahakan seimbang sehingga kehidupan sebagai makluk individu dan sekaligus makluk sosial akan berjalan seimbang, manusia merupakan pencipta budaya dengan melahirkan budaya baik meniru budaya lama, memperbarui atau malah merusak kebudayaan yang sudah ada dengan kebudayaan yang diciptakan dianggab benar walaupun kadang diterapkan dalam kehidupan tidak sesuai dengan norma, nilai dan tata keakuan masyarakat Jawa. Soerjono Soekanto (dalam Williams, 1982:177).
commit to user
133
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pencipta karya dibidang tari, karawitan, pedalangan yang mengabdikan hidupnya untuk seni biasa disebut seniman: faktor seniman berpengaruh dalam perubahan bentuk, fungsi, dan makna bedhaya selain faktor ekonomi, sosial yang ada. Setelah kekuasaan tidak lagi ditangan Raja, para seniman bagaikan burung lepas dari sangkar, era keterbukaan dan kebebasan berseniman mulai ada. Sekitar tahun 1970-1971 seniman tari yang berada di keraton dan di luar keraton berlomba menciptakankarya-karya baik memperbarui karya lama dengan karya baru atau bahkan menciptakan karya yang sama sekali lepas dari pakem baku “Hasta Sawanda atau wiraga, wirama, wirasa. Seniman berlomba-lomba mengungkapkan imajinasi, pengngkapan jiwa, selera pribadi bahkan menciptakan kaya sebagai identitas diri si pekarya seni (seniman). (Soemardjan, 1964:120-123) Perkembangan kebudayaan selalu mengikuti dimana zaman dan manusia yang menciptakan kebudayaan itu berada, karena kebudayaan selalu mengalami perubahan-perubahan secara kontinu, dengan kata lain, tidak ada satu kebudayaan pun yang tidak mengalami perkembangan kecuali kebudayaan itu telah mati. Pada hakekatnya kebudayaan mengisi serta menentukan jalan kehidupan manusia, walaupun hal ini jarang disadari oleh manusia sendiri. Wulansari (dalam William, 2009:83). Kebudayaan yang ada yang dicptakan lewat Tari Srimpi Ludiramadu juga mengalami perkembangan yang secara tidak sadar mempengaruhi perkembangan pemikiran manusia itu sendiri tentang Tari Srimpi Ludiramadu yang awalnya didalam keraton akhirnya sampai keluar keraton. Politik yang terjadi di Indonesiab sebagai penyumbang bahkan membuat dampak pada tata kehidupan commit to user
134
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kebudayaan di keraton mengalami masa-masa kritis. Peralihan pemerintah membuat kehidupan di bidang budaya menjadi kocar-kacir. Kegiatan yang biasanya dapat dilaksanakan tanpa mengalami kendala sama sekali menjadi permasalahan yang harus ada jawaban dan harus ada penyelesaian serta solus. Tari Tradisi berupa Srimpi Ludiramadu pada awalnya hanya untuk wetonan dan penyambutan tamu Raja akhirnya dengan keadaan politik yang tidak kondusif makanya tari tidak hanya di dalam keraton waktu pentas akhirnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk lomba, misi kesenian, festival seni, apresiasi seni bahkan hiburan. Keraton sebagai tempat wadah kebudayaan terkena dampak politik, keluarga keraton sendiri sibuk berpolitik dengan masuk partai sebagai solusi untuk mencukupi kehidupan memperhitungkan tingkat kehidupan yang cukup mentereng daripada mereka tetap sebagai putri keraton hanya menari, nyinden, belajar gamel. Keadaan politik perpengaruh dalam hal kekuasaan Raja tidak dapat menjalankan roda pemerintahan dan hanya cagar budaya ang hanya perlu dilestarikan keberadaannya, sehingga keraton sendiri memutar otak untuk mencukupi kebutuhan dan kelangsungan keraton akhirnya seni tradisi sebagai obyek penghasil / alat untuk mendapatkan uang dengan cara pariwisata budaya. Mengkomersilkan kebudayaan bersifat tradisi bahkan sakral, magis menjadi sebuah paket pariwisata budaya yang memberikan hiburan tersendiri bagi para wisatawan. Untuk kebutuhan pariwisata tidak mungkin srimpi tetap pada wujud semula, bentuk penyajiannya akhirnya disesauikan dengan kebutuhan pasar dimana penonton tidak jenuh tetapi terhibur dan tetap dapat melestarikan tari commit to user
135
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
walaupun ada pertentangan istilahnya pro dan kntra mempertahankan makna atau menghlangkan makna karena dalam pariwisata budaya makna itu hilang sama sekali yang ada hanya apresiasi seni, bisnis saling menguntungkan. Di sini penyelenggarakan dapat untung penari dapat honor, wisatawan dapat hiburan dan wawasan tentang kebudayaan dan Tari Tradisi Keraton. Hal ini sesuai dengan (Dirdjosisworo, 197:73). Kesenian tradis yang berada pada wilayah pariwisata ada beberapa hal yang mutlak harus ada bahwa kesenian di sini Srimpi Ludiramadu harus memiliki sajian yang hanya berupa tiruan pada bentuk aslinya, durasi singkat, penuh variasi pada vokabuler gerak tidak memiliki nilai sakral, magis, religius karena bersifat profan (pertunjukan sebagai hiburan), walaupun ada sesaji di saat pertunjukan hanya untuk kegiatan antara manusia dengan kekuatan alam sekitar dan Allah sebagai pencipta manusia. (Rochana, 1993:82). Perubahan pada fungsi Tari Srimpi Ludiramadu merupakan keinginan untuk berfikir secara luas dan pandangan ke depan dengan meninggalkan pemikiran dahulu walaupun tidak semua fungsi ditinggalkan, dengan proses penyesuaian
pada
kondisi
masyarakat
pengguna
kebudayaan
tersebut.
(Selosoemardjan, 1962:379). Tari Srimpi Ludiramadu juga mengalami perubahan tidak hanya pada bentuk melainkan pada fungsi, dan makna Tari Srimpi Ludiramadu, makna yang dalam dari simbol-simbol dalam tari berubah menjadi makna baru bahkan menjadi tidak bermakna karena masyarakat berfikiran realistis dengan gampangnya mengakses teknologi komunikasi dan pemikiran ke depan dengan berfikir luas, commit to user
136
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
maju. Kebebasan berimajinasi dan menggunakan nalar yang berfikir positif membuat pemikiran baru tentang makna pada Tari Srimpi Ludiramadu berubah. Masyarakat Jawa sadar kebudayaan itu yang menciptakan, mengadakan adalah manusia sehingga yang memaknaipun manusia itu sendiri sebagai pencipta dan pelaku budaya. Perubahan makna juga dapat disebabkan adanya kontak individu satu dengan individu lain sehingga saling mempengaruhi. Hubungan yang dilakukan secara fisik antara kedua masyarakat, memiliki kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal balik, artinya masing-masing masyarakat memengaruhi masyarakat yang lainnya dan menerima pengaruh dari masyarakat yang lain. Apabila pengaruh itu diterima tidak karena paksaan dari pihak yang memengaruhi, maka hasilnya dalam ilmu ekonomi dinamakan demonstration effect. Perubahan dapat terjadi mungkin dengan sadar, mungkin juga tidak sadar oleh masyarakat dianggab tidak sesuai lagi dalam kehidupan sekarang dan perlu diganti dengan makna baru bahkan tidak usah ada makna dalam seni tradisi keraton. (Soemardjan, 1964:489-490). Pada umumnya Tari Jawa merupakan “kitab adi” yang berisi muatan pengertian-pengertian yang berupa lambang-lambang gerak. Nama-nama gerak memiliki pengertian-pengertian yang dapat ditafsirkan sebagai suatu ajaran tata kehidupan yang baik. Perlu disadari bahwa bangsa-bangsa Jawa sangat akrab dengan bahasa simbol dan pralambang. Selian itu pada waktu dulu belum banyak catatan atau buku yang dapat dibaca juga belum banyak orang yang bisa membaca, maka sistem pendidikan informal dalam bentuk simbol-simbol gerak dan tembang lebih effisien dan praktis. Menurut peneliti, dalam kehidupan commit to user
137
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
sekarang hal ini tidak relevan lagi karena alat pendidikan kisi sudah banyak dan serba canggih serta lebih praktis dan efisien. Dengan demikian tidak diperlukan dunia simbol pada Tari Srimpi Ludiramadu karena tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat sekarang yang serba modern, hidup dengan peralatan yang sudah mudah digunakan, diakses, dan tidak perlu waktu yang lama. Masyarakat Jawa ikut berperan dan mempengarui terhadap perubahan sosial budaya. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya fenomena dalam masyarakat Jawa yang berkeinginan ingin bebas dan tidak terbelenggu oleh kehidupan Tari Tradisi Keraton yang bermakna sakral, magis, religius menjadi fungsi pariwisata, hiburan. Keberanian masyarakat Jawa menghilangkan ritus yang berhubungan dengan semedi, rasa, manunggaling kawula gusti dengan lebih cenderung pada profan dan menitik beratkan pada estetik keindahan untuk menarik minat wisatawan baik dalam maupun luar negeri. Partisipasi kalangan akademika untuk menfasilitasi seniman serta penari untuk mengembangkan bakat dan kemampuan serta memberikan wadah serta memfasilitasi demi kemajuan kesenian. Pengetahan seniman keraton, dan masyarakat membaca peluang bisnis yang menjanjikan di bidang pariwisata yang bersumber pada kesenian Tradisi Keraton. Secara tidak langsung mereka telah menerapkan aspek-aspek yang harus dipertimbangkan dalam membuat pertunjukkan tari, kemasan tari (rias, busana, gendhing, vokabuelr gerak, waktu) yang disesuaikan dengan pertimbangan yang matang dengan menyesuaikan selera pasar. Hal tersebut menjadi indikator commit to user
138
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pengembangan Tari Srimpi Ludiramadu yang dilakukan Keraton serta masyarakat Jawa.
4.4 Tanggapan Masyarakat Terhadap Perubahan Bentuk, Fungsi, dan Makna Pada Tari Srimpi Ludiramadu Perubahan sosial masyarakat terhadap Tari Srimpi Ludiramadu mengalami perubahan : 4.4.1. Tanggapan masyarakat Masyarakat sangat menyukai apalagi wisatawan mancanegara merasa terhibur dengan waktu yang singkat dapat mengetahui keberadaan tari keraton dan dengan biaya yang sangat terjangkau mendapatkan pengetahuan, ilmu dan pengalaman Tari Srimpi Ludiramadu akhirnya hanya sebagai identitas budaya keraton di era jaman yang modern. Pandangan masyarakat yang mengetahui sejarah Tari Srimpi Ludiramadu yang sakral merasa sangat menyayangkan karena ritual magis hilang sama sekal ditelan jaman karena harus menyesuaikan tuntutan budaya modern 4.4.1.1 Kalangan masyarakat yang tidak mengerti keberadaan Tari Srimpi Ludiramadu bersikap santai, netral dan tidak peduli tari keraton dapat keluar tembok keraton bahkan ada yang acuh tak acuh karena merasa tidak berpengaruh untuk kehidupan masyarakat 4.4.1.2 Perubahan masyarakat memaknai dari simbol-simbol pada Tari Srimpi Ludiramadu sebagai dua makna yaitu bisa denotasi dan konotasi dengan mengaitkan penanda dengan aspek-aspek kultural yang lebih commit to user
139
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
luas disertai keyakinan, sikap, kerangka kerja dan ideologi suatu formasi sosial. Makna hanya sebagai asosiasi tanda dengan kode makna kultural lain, menurut sub kode atau leksikon yang digunakan sehingga makna pada Tari Srimpi Ludiramadu memiliki makna yang berlipat-lipat bahkan berlapis-lapis. Konotasi membawa nilai-nilai ekspresif yang muncul dari akumulasi rangkaian kekuatan (secara sintagmatis) atau, lebih umum, melalui perbandingan dengan alternatif yang tidak hegemonik, artinya diterima sebagai sesuatu yang “normal” dan “alami”, maka ia bertindak sebagai makna konseptual yang dengannya seseorang memahami dunianya, sehingga dapat dibuktikan bahwa makna yang berada didalam Tari Srimpi Ludiramadu hanya sebagai mitos hanya bermain pada wilayah tanda. Di mana ada tanda, maka disitu ada ideologi. Barthes, mitos adalah sistem semiologis usutan kedua atau neta bahasa. Mitos adalah bahasa kedua yang berbicara tentang bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem pertama (penanda dan petanda) yang membentuk makna denotatif menjadi penanda pada urutan kedua makna mitologis konotatif. 4.4.2 Perubahan pada nilai filosofis dalam Tari Srimpi Ludiramadu Tari srimpi merupakan bentuk tari sakral yang memiliki makna yang didalamnya berisi simbol-simbol yang melambangkan tentang kehidupan manusia yang digunakan sebagai tuntunan hidup dan pandangan hidup pada masyarakat Jawa pada masa lampau. Hal ini dapat kita ketahui dalam Tari Srimpi Ludiramadu memiliki vokabuler gerak yang halus, anggun, prenes, commit to user
140
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kenes yang didalamnya juga ada simbol-simbol yang mengandung makna pada berbagai makna formasi gerak dan pola lantai yang mengisyaratkan pengolahan batin dengan laku prihatin masyarakat Jawa untuk mencapai tujuan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Tari Srimpi Ludiramadu mengalami perkembangan dengan perjalanan panjang dari tahun ke tahun dari masa ke masa sampai di era yang sekarang ini semua makna yang ada pada tari berubah menyesuaikan pada perkembangan jaman dan dimana kondisi jaman itu menyertainya. Pada masa pemerintahan Pakubuwana IV kesenian tari mengalami puncak kejayaan, karena pada masa itu banyak karya-karya tari yang muncul yang disertai dengan gerak, bentuk, dan iringan yang menyesuaikan pada kondisi jaman pada saat itu tetapi di era yang sekarang Tari Srimpi Ludiramadu harus menyesuaikan keadaan sehingga perlu disempurnakan baik bentuk, fungsi, dan makna pada tari itu sehingga menyesuaikan keberadaannya dan fungsinya pada era sekarang ini. Sifat sakral, religius, magis berangsur-angsur hilang dari makna tari itu walaupun awalnya keberadaannya di keraton tetapi di luar keraton keberadaan hilang dari makna, simbol sehingga menjadi tidak ada makna sama sekali walaupun awalnya tari ini merupakan seni pertunjukan keraton yang selalu disebut sebagai kagungan dalem yang secara harfiah yang berarti bahwa Tari Srimpi Ludiramadu merupakan milik raja. Kehidupan tari keraton merupakan hasil ekspresi dan pengungkapan jiwa yang barang tentu kehadirannya ditentukan pemikiran para penguasa dari suatu kelompok masyarakat pendukungnya dalam kelompok masyarakat commit to user
141
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
istana yang mengikuti sistem patrimonial, raja merupakan penguasa tunggal yang menentukan segala sesuatu mengenai kehidupan yang berada di dalam istana. Seni yang berada di keraton dipengaruhi juga oleh gaya kepemimpinan seorang raja yang memerintah. Pada saat itu raja sudah memiliki pengetahuan, pengalaman yang maju untuk menciptakan kebudayaan yang bernilai tinggi bisa dilihat dalam karya tari karawitan, sastra, dan juga sejarah, dengan hal ini keraton digunakan sebagai pusat kebudayaan Jawa pada saat itu dan pada saat sekarang keraton digunakan untuk menandai identitas kebudayaan yang dulu pernah ada dan menjadi tanda kejayaan pada masa lampau walaupun hanya tinggal sedikit sisa kejayaan itu masih dapat kita lihat walaupun banyak sekali terjadi perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna. 4.4.3 Perubahan makna yang dulu memiliki nilai filsafat pada Tari Srimpi Ludiramadu Dapat dilihat pada proses penciptaan Tari Srimpi Ludiramadu yang pada awalnya berfungsi untuk legitimasi kekuasaan raja yang digunakan untuk upacara wetonan raja, penyambutan tamu raja. Tari ini salah satu tari yang digunakan untuk memunculkan status raja yang berkuasa dan keraton yang mereka kuasai hasil kebudayaan digunakan untuk meningkatkan pamor bahwa raja memiliki kuasa penuh dalam pemerintahan dan juga dalam membuat hasil karya kebudayaan. Dalam Tari Srimpi Ludiramadu yang awal penciptaannya diawali dari impian atau mimpi seorang Hamengkunagara III yang diungkap dalam gerak, iringan, dan dalam rias dan busana juga pola lantai pada awalnya memiliki tujuan yang sangat agung karena didalam Tari Srimpi Ludiramadu commit to user
142
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
juga mengandung cerita dengan awal penciptaan gendhing ludiramadura disini dapat diungkap bahwa Hamengkunagara memiliki darah dari seorang ibu yang berasal dari kerajaan Sumenep Madura sehingga proses penciptaan tari bahwa mencapai tujuan hidup dengan apa yang dia inginkan harus berusaha dengan keras. Di dalam Tari Srimpi Ludiramadu merupakan salah satu tari kelompok yang terdiri dari empat orang penari dengan perannya sendiri-sendiri sudah dipaparkan penulis pada bab IV. Penari-penari itu membawakan peran sebagai batak, gulu, dhadha, dan buncit peran-peran didalamnya bahwa batak merupakan simbol kepala yang berarti manusia harus memiliki akal pikiran dan berpikir yang jernih dalam melakukan sesuatu hal, gulu merupakan perwujudan leher seorang manusia Jawa, dhadha sebagai perwujudan organ tubuh manusia bahwa dhadah adalah tempat untuk mengendalikan hawa nafsu dan sebagai pengendali diri, buncit adalah organ tubuh atau perwujudan pengeluaran manusia atau anus sehingga dapat diungkap bahwa simbol empat orang penari bisa dimaksudkan patjupat lima pancer dan yang berada ditengah adalah yang mengendalikan manusia adalah Allah. Tari Srimpi Ludiramadu adalah tari yang dapat menyeimbangkan bahwa kehidupan manusia ada kekuatan makro cosmos dan mikro cosmos yang keduanya harus dalam keadaan seimbang dan sesuai supaya ada keseimbangan kehidupan dialam semesta sehingga manusia akan terhindar oleh hawa nafsu supiah, aluamah, amarah. commit to user
143
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Perwujudan Tari Srimpi ludiramadu di masa sekarang sudah tidak ada pementasan yang digunakan yang memiliki hubungan dengan unsur kekuasaan atau pemerintahan seperti masa lampau. Hal ini karena keraton hanya sebagai tempat melestarikan nilai-nilai dan butir-butir budaya Jawa saja. Tari Srimpi Ludiramadu setelah mengalami pemadatan pada tahun 1970 sekarang sudah digunakan untuk tujuan pariwisata budaya selain itu lebih bertujuan ke hiburan dengan sering diadakannya festifal seni, lomba seni, misi kesenian baik yang diadakan secara nasional maupun secara internasional. Pertunjukan
Tari
Srimpi
Ludiramadu
yang
sekarang
dengan
menghilangkan vokabuler-vokabuler gerak yang dirasa tidak perlu karena adanya pengulangan-pengulangan gerak tetapi tetap menggunakan gerak maju beksan, beksan, dan mundur beksan walupun didalamnya sudah berubah untuk menyesuaikan kebutuhan dimana tari itu berfungsi. Kreativitas seniman pada masa sekarang yang memegang peran penting dalam melestarikan budaya, dan makna yang sekarang ada adalah siapa orang yang memaknai sehingga makna hanya pada tingkatan seseorang yang menandai makna itu dan siapa yang menciptakan makna sehingga dapat kita ketahui siapa yang menciptakan karya akan menciptakan makna itu pula. Di era yang sekarang Tari Srimpi Ludiramadu melambangkan keberadaan manusia yang modern yang cenderung pada kehidupan yang praktis, instan dan ekonomis serta mementingkan pada segi hiburan.
commit to user
144
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Keberadaan seni tradisional klasik yang pada awalnya hidup dan berkembang di dalam keraton pada dasarnya merupakan kehidupan kultural yang sudah berakar secara turun-temurun yang menjadi salah satu perwujudan budaya. Rentangan sejarah keberadaan keraton sampai sekarang melatarbelakangi kehidupan masyarakat Jawa yang berada disekitar keraton untuk ikut berperan dalam kegiatan berkesenian sampai hasil karya seni yang notabene berada di dalam keraton dapat keluar dari dalam keraton sehingga menjadikan seni yang klasik yang bersifat magis, sakral, religius berubah mengikuti arus zaman. Dari perubahan bentuk, fungsi, dan makna tari kajian tentang Tari Tradisional Klasik yang berupa Srimpi Ludiramadu, penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut. Kedua, yang berkaitan dengan perubahan bentuk, yang terdiri dari vokabuler gerak dengan bagian maju beksan, beksan dan mundur beksan dengan pengulangan pada sekaran-sekaran beksan laras, lincak gagak, engkyek ludira, sangganampa ukel adu manis yang dilakukan berulang-ulang dipadatkan sehingga tidak terjadi pengulangan pada vokabuler gerak seperti sebelum berubah. Perubahan bentuk gerak tradisi juga pada kecepatan / tempo mengalami peningkatan pada tempo setiap gerakan, waktu berubah dikarenakan pemadatan gerak dan kecepatan pada tempo sekarang + 15-18 menit. Iringan yang berupa commit to user
145
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karawitan dengan garap gendhing yang mengulang-ulang dipadatkan : percepatan tempo dalam gendhing membuat kesan Tari Srimpi Ludiramadu lebih kenes, tregel karena penari menyesuaikan gerak dengan iringan. Bentuk rias Tari Srimpi Ludiramadu sekarang menggunakan kosmetik buatan pabrik berbeda pada zaman dulu waktu tari masih dalam keraton. Keberadaan langes (angus) tinta cina, jambe (nginang), lulur dari beras dan kunir serta pandan berubah ke product buatan pabrik. Pupur (bedak) lipstik (benges), pensil alis (celak), eye shadow (pemerah pipi dan lulur dengan berbagai merk. Busana untuk menari Tari Srimpi banyak mengalami perubahan dari gelung gedhe, dhodhotan (pakaian tari / kemben / jarit). Aksesoris rambut, kepala, gelang, kalung, semua dibuat lebih menarik dengan penyesuaian kebutuhan profan, penambahan batu-batu warna-warni, kacakaca gemerlap, bulu-bulu untuk kiasan kepala, jarit sinjang (kain bawahan untuk menari) tidak lagi harus warna coklat, hitam dengan motif menyesuaikan sendiri dan kemauan penari dan seniman, lereng menyesuaikan penari gemuk atau langsing. Perubahan fungsi, Tari Srimpi Ludiramadu berfungsi untuk pariwisata, misi kesenian, festifal, seni pertunjukan, pekan seni, apresiasi seni, dan untuk penyambutan tamu waktu resepsi pernikahan. Tari Srimpi Ludiramadu mengalami perubahan pada makna pada awalnya sakral, magis, religius berubah menjadi tidak sakral bahkan tidak bermakna. Pertama : Perubahan bentuk, fungsi, dan makna dapat terjadi karena ada hal yang mempengaruhi sehingga perubahan pada Tari Srimpi Ludiramadu yang awal penciptaannya di dalam keraton dapat ke luar keraton selain itu faktor yang mempengaruhi tidak hanya sekedar mempengaruhi tetapi menimbulkan dampak commit to user
146
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pada perubahan bentuk, fungsi, dan makna. Adapun faktor internal, yaitu adanya tuntutan dari masyarakat yang sifatnya alami, karena dirasakan monoton dan menjemukan selain itu pihak seniman berkeinginan menayangkan kreativitas dan faktor eksternalnya adalah enonomi, politik, komunikasi, teknologi, pariwisata. Sebagai temuan bentuk, fungsi, dan makna pada Tari Srimpi Ludiramadu diperuntukkan pada tahapan pariwisata, hiburan, hanya sekedar sebagai apresiasi seni. Ketiga : Keberlanjutan Seni Tari yang berwujud Srimpi Ludiramadu merupakan bagian perjalanan budaya yang sangat ditentukan oleh seniman dan masyarakat pendukungnya. Dalam mencermati hal tersebut, ada tiga hal yang merupakan penyangga kehidupannya. Unsur penyangga pertama adalah masyarakat sebagai faktor internal, terdiri atas para pelaku seni atau disebut seniman, penonton, penyelenggara (pemilik dana), dan pendukung yaitu kalangan budayawan dan pemerhati seni serta lembaga resmi, kalangan akademika SMKI, ISI Surakarta, Taman Budaya Surakarta Jawa Tengah, Keraton. Keteraturan jalannya sistem yang didukung oleh unsur diatas merupakan salah satu aspek yang menyebabkan supaya Tari Srimpi Ludiramadu akan selalu ada dan berkembang di tengah-tengah keadaan arus zaman yang semakin tidak dapat dikendalikan sehingga mempengaruhi keberadaan kesenian yang bersifat tradisi. Perkembangan yang terjadi pada Tari Srimpi Ludiramadu yang menyebabkan perubahan pada bentuk, fungsi, dan makna. Dengan adanya perubahan bentuk, fungsi, dan makna, terjadi pula pada akhirnya perubahan pada tujuan yang ingin disampaikan yang berdampak pada perubahan bentuk, fungsi, commit to user
147
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dan makna. Lewat perubahan yang disajikan mempengaruhi pada pandangan masyarakat dilihat makna didalamnya yang ingin disampaikan. Mencermati perkembangan seni tradisi keraton yang dapat keluar dari keraton secara teoritis kajian budaya (cultural studies), telah terjadi perubahan sosial pada masyarakat terbukti adanya perubahan pandangan masyarakat mengenai seni tradisi keraton. Namun demikian adanya perubahan yang disebabkan berbagai faktor pendorong perubahan bukan berdampak negatif saja karena dapat memberikan makna positif bagi perkembangan seni tradisi keaton dapat
dinikmati
masyarakat
umum
dan
masyarakat
dapat
ikut
serta
melestarikannya. Perubahan sosial masyarakat terhadap Tari Srimpi Ludiramadu mengalami perubahan. ·
Tanggapan masyarakat Masyarakat sangat menyukai apalagi wisatawan mancanegara merasa terhibur dengan waktu yang singkat dapat mengetahui keberadaan tari keraton dan dengan biaya yang sangat terjangkau mendapatkan pengetahuan, ilmu dan pengalaman Tari Srimpi Ludiramadu akhirnya hanya sebagai identitas budaya keraton di era jaman yang modern. Pandangan masyarakat yang mengetahui sejarah Tari Srimpi Ludiramadu yang sakral merasa sangat menyayangkan karena ritual magis hilang sama sekal ditelan jaman karena harus menyesuaikan tuntutan budaya modern.
·
Kalangan masyarakat yang tidak mengerti keberadaan
Tari Srimpi
Ludiramadu bersikap santai, netral dan tidak peduli tari keraton dapat keluar commit to user
148
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tembok keraton bahkan ada yang acuh tak acuh karena merasa tidak berpengaruh untuk kehidupan masyarakat
5.2 Saran Untuk menambah keunikan tari dapat ditambahkan gerakan-gerakan yang unik dengan penjiwaan tari yang maksimal. Menumbuhkan minat generasi muda untuk tetap melestarikan tari tradisi, dibuka kerja sama antara pihak keraton dengan masyarakat luas dengan mengadakan seminar-seminar budaya bagi guru seni tingkat TK, SD, SMP, SMA, SMK, Perguruan tinggi sehingga terjalin komunikasi antara semua pihak, sehingga keberadaan tari tradisi keraton akan selalu ada di tengah perkembangan era globalisasi yang tidak terkendali. Agar pementasan Tari Srimpi Ludiramadu lebih aktraktif lagi semakin banyak pertunjukan yang diadakan lewat acara festifal tari tradisi, pentas seni budaya, pertunjukan tari supaya masyarakat luas terdorong dan punya krenteg (kemauan) untuk mempelajari tari ini secara sungguh-sungguh sehingga regenerasi penari tradisi akan selalu ada dan Tari Srimpi Ludiramadu akan tetap ada walaupun jaman terus berkembang.
commit to user
149