BAB V EPILOG: INSPIRASI PEMIKIRAN E.F. SCHUMACHER DAN UNDANGAN MENUJU ILMU-ILMU SOSIAL EMANSIPATORIS
Knowledge that does not help people to overcome their problems and to lead to a better and happier life is no use.
(A.T. Ariyaratne)
Knowledge always comes not from the top but from below. Maybe it becomes mainstream, it may be used by multinationals in order to be exploited. That’s another problem of knowledge.
(Senior staff member Communication and Information Section, UNESCO)
To talk about the future is useful only if it leads to action now.
(Schumacher, Small is Beautiful)
We need to engage in cultural, social, and economic activities in order to leave the world in better shape than we found it.
(Satish Kumar )
A. Pengantar Sampailah kita pada epilog yang bertugas memaparkan dua hal berikut: pertama, merangkum sekaligus memberikan catatan kritis atas berbagai pemikiran Schumacher yang terpapar dalam seluruh karya tulis ini. Kedua, mengambil inspirasi-inspirasi pemikiran Schumacher dan memanfaatkannya untuk menjawab kebutuhan akademis terutama yang terkait dengan pengembangan ilmu-ilmu sosial (khususnya sosiologi) emansipatoris dan secara tidak langsung—sejauh memungkinkan—merespon persoalanpersoalan praktis sosial-politik kontemporer. Tugas semacam ini bisa diilustrasikan, meminjam terminologi Ignas Kleden yang terpublikasikan hampir tiga dasawarsa silam, sebagai indigenisasi ilmu-ilmu sosial di Indonesia.1
Secara definitif, indigenisasi bisa dijabarkan sebagai himbauan nasional kepada para ilmuwan sosial untuk membuat negerinya menjadi cukup mampu merumuskan dirinya sendiri dan menjadi cukup percaya diri untuk menjadi subyek yang dapat menahan setiap manipulasi ideologis. Menurut Kleden, dari tiga dimensi ilmu sosial, ideologi ilmu sosial dan teori ilmu sosial sampai batas tertentu harus diindigenisasikan. Sedangkan metodologi ilmu sosial merupakan satu-satunya aspek ilmu sosial yang tidak dapat (dan tidak boleh) diindegenisasikan, karena metodologi merupakan kriterium satu-satunya yang dapat menjamin 1
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 169
Upaya menuntaskan dua tugas tersebut dalam epilog ini boleh jadi terkesan ambisius dan bahkan sulit dipertanggungjawabkan, terlebih dalam ruang seterbatas ini. Tidak ada pretensi maupun keberanian lebih dalam epilog ini untuk menjawab langsung apalagi tuntas terhadap kebutuhan akademis dan kepentingan praktis sosial-politik kontemporer yang tentu saja sangat kompleks dan, meminjam terminologi Schumacher, divergen. Untuk menyiasatinya, terutama yang terkait dengan tugas kedua, epilog ini membatasi diri untuk mengambil porsi paling minimal, yaitu dengan cara mengajukan sejumlah
proposisi
dan
eksemplar
sederhana
yang
berkecenderungan
menyasar/mendekati jawaban-jawaban atas itu.2 Pada prinsipnya, epilog ini berpendirian bahwa seluruh pemikiran Schumacher yang telah terpapar dalam seluruh tulisan ini bukanlah upaya untuk mengglorifikasikan sosok Schumacher dengan segenap kemenawanan (winsomeness) dirinya yang artifisial dan periferal. Tidak ada pula pretensi dalam tesis ini untuk mensuperiorkan teori-teori Schumacher sebagai obat panacea yang bisa ―cespleng‖ dan mujarab untuk segala penyakit, apalagi komplikasi penyakit kronis dan endemis. Oleh karena itu, jauh dari hasrat untuk mengkultuskan sosok dan teori Schumacher, tesis ini bermaksud mengungkap dan menemukan kembali (reinventing) substansi pemikiran Schumacher berikut inspirasi-inspirasi gagasannya untuk menganalisis sejumlah persoalan sosialpolitik modern-kontemporer. Oleh karena itu, tugas utama seluruh tulisan ini adalah menggali kembali inspirasi-inspirasi pemikiran, bukan mengkultuskan sosok Schumacher maupun teorinya. Tindak pengkultusan atas tokoh dan teori sama artinya mematikan tokoh berikut teori itu sendiri. Laiknya monumen, mereka seperti seonggok artefak yang tak lagi bermakna lantaran telah terpreteli dari kekuatan inspiratif yang terkandung di dalamnya. Dan itulah perangkap yang kerap melahirkan ilmuwan-ilmuwan sosial yang gagal. Berpijak pada basis kesadaran tentang peluang keterperangkapan itu, maka dengan sangat sadar penulis memposisikan seluruh paparan dalam karya tulis ini sebagai sebuah diskursus pembuka
validitas pengetahuan kita. Baca Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1997, hlm.20,22-23. 2 Dalam hal ini, penulis mengambil pilihan pendekatan filsafat proses Whitehead yang sering diistilahkan sebagai pendekatan asimptotis (an asymptotic approach to the truth). Pendekatan ini memproposisikan bahwa ―kebenaran‖ hanya bisa didekati saja dan tidak akan pernah bisa terengkuh sebagai ―kebenaran final.‖ Baca Alfred North Whitehead, The Function of Reason, Boston: Beacon Press, 1971, hlm.53; Alfred North Whitehead, Process and Reality: An Essay in Cosmology, New York: Free Press, 1978, hlm.4. BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 170
tentang gagasan Schumacher yang tentu saja masih jauh dari takaran dan bobot yang memadai. Harapannya diskursus pemula ini bisa memantik pergulatan gagasan yang lebih substanstif dan kontekstual sehingga akan terlahir tesis-tesis baru yang jauh lebih bermakna. Penulis meyakini kebermaknaan tidak pertama-tama ada di dalam teks, melainkan hadir di dalam kebergayutan dengan konteks kehidupan sosial masyarakat yang menyejarah. Sebuah proposisi dalam tradisi pemikiran kritis yang menegaskan bahwa kepentingan menentukan pengetahuan menemukan relevansinya di sini. Dalam kalimat sederhana, kita bisa memformulasikan sebuah pertanyaan reflektif berikut: ―Sejauh mana pemikiran Schumacher ini menjadi inspirasi bagi ilmuwan-ilmuwan sosial kita untuk berkarya bagi lingkungan, komunitas, masyarakat, dan bangsa di negeri ini?‖ Persis dalam pertanyan reflektif itulah epilog ini mencoba menghadirkan paparan terbatas untuk memberikan jawaban perihal sumbangan gagasan kritis Schumacher bagi pengembangan akademis—ilmu-ilmu sosial, khususnya disiplin sosiologi, yang emansipatoris—sehingga secara tidak langsung membuka peluang bagi munculnya elaborasi gagasan tentang model pembangunan alternatif di Indonesia. Dengan demikian kita bisa semakin memperjelas arah dan proses formasi ilmu sosial profetik dan emansipatoris yang senantiasa peka terhadap kalkulus penderitaan (calculus of pain) maupaun kalkulus makna (calculus of meaning)3 masyarakat yang menjadi tumbal dari relasi kuasa yang timpang di setiap rezim perubahan sosial masyarakat— pembangunan dan globalisasi—yang tidak akan pernah steril dari praktik-praktik manipulasi kaum elit . Tentu saja, seluruh upaya itu harus ditopang oleh konsistensi laku pikir dan tindakan—yang kritis, taktis, dan strategis—dalam setiap keterlibatan sosial-politik (sociopolitical engagement) di masyarakat. Sehingga semuanya akan mengarah pada tercapainya penguatan pondasi dan elemen-lemen sosial dari kehidupan bersama yang lebih bermakna di negeri ini, yaitu sebuah tata keadaban publik yang semakin demokratis yang berkeadilan secara sosial maupun ekologis.4 Peter L. Berger, Piramida Kurban Manusia, Jakarta:LP3ES, 1982, hlm.133. Terkait hal ini, penulis berhutang budi kepada Prof.Dr.Susetiawan, Dr.Aris Arif Mundayat, dan Ari Sujito, S.Sos, M.Si. yang dalam serangkaian diskusi akademik maupun kerja-kerja praksis memberikan eksemplar riil tentang bagaimana spirit pemikiran kritis, sikap profetik, dan praktik emansipatoris mesti dihidupkan, diimplementasikan, direfleksikan, dan dideseminasikan dalam suatu komunitas epistemik (an epistemic community) yang kian meluas. Dari mereka pula penulis mendapatkan sebuah anotasi penting 3 4
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 171
Kembali pada proses penggalian inspirasi pemikiran Schumacher, penulis merasa perlu untuk terlebih dulu menegaskan perihal tiga matra yang menjadi pilar bangunan teori/pemikiran seorang tokoh: yaitu konteks, konten, dan prospek. Ketiganya bisa dijelaskan secara sederhana berikut ini.5 Pertama (tentang konteks), adalah sebuah keniscayaan bahwa suatu teori terlahir tidak dari ruang hampa, melainkan dari konteks latar sejarah peradaban masyarakat tertentu beserta kekhususan problem sosial yang melingkupinya. Setiap teori sosial muncul dari konteks jaman (aspek spasial waktu) dimana arena kehidupan sosial masyarakat (aspek spasial ruang/lokus) tengah diperhadapkan pada isu/problem aktual kemanusiaan seperti berbagai krisis moral, ketidakadilan, ketimpangan, kemiskinan, kelaparan, ketertindasan, pengangguran, peperangan, konflik, diskriminasi, kekerasan, kejahatan, kriminalitas, penghacuran lingkungan, dan lain sebagainya. Kedua (tentang konten), melalui proses reflektif, seorang teoritisi berupaya memahami fakta dengan cara melogikakan, mengintepretasikan, memproblematisasi, mengabstrasikan, dan mengartikulasikan gagasan tentang isu-isu yang menjadi fokus kepedulian ke sejumlah konsep, proposisi, sintesis (yang mungkin menjadi antitesis teori tertentu) yang membentuk satu kesatuan sistem teori. Dalam tinjauan sosiologi pengetahuan, persis di jantung kepentingan teoritisi itu formasi bangunan ideologi (paradigma) dan teori (pengetahuan) diproduksi. Itulah sebab tidak ada satu pun ilmu sosial yang bebas nilai (value-free), bebas kepentingan (interest-free), dan bebas-kekuasaan (power-free).6 Dari rangkaian proses itu, kita menjadi mafhum bahwa sejarah teori bermula bahwa spirit emansipatoris itu bukannya sepi dari batu uji. Spirit itu tidak jarang mengalami defisit, terlebih ketika kita terkepung keresahan dan skeptisme atas persoalan-persoalan kehidupan sosial-politik ke-Indonesia-an terasa tak pernah berkurang malainkan justru kian membelasah. Berhenti pada keluhkesah, keresahan, dan skeptisisme sebagai keniscayaan manusiawi tak akan merubah keadaan. Berbeda perkaranya bila keresahan itu produktif. Artinya, para ilmuwan sosial justru harus resah sekaligus menyadari bahwa di dalam keresahan itu terkandung daya kreatif yang mesti diaktualisasikan. Salah satu kanalnya adalah arena akademik itu sendiri yaitu dengan cara menciptakan pemikiran-pemikiran baru untuk melengkapi kacamata/cara pandang baru atas beragam persoalan masyarakat di negeri ini. Itulah makna spirit emansipatoris sesungguhnya. Sekalipun kaum intelektual tahu bahwa mereka akan kalah, namun keteguhan pada keyakinan, sikap, dan tindakan untuk senantiasa berjuang di jalan pembebasan itulah letak kemenangan kaum intelektual: akar moralitas kenabian. Pendek kata, kemenangan kaum intelektual ada di dalam spirit perjuangan untuk pembebasan masyarakat dari segenap perangkap dan godaan kesadaran palsu yang selalu direproduksi oleh para pemuja feodalisme, demagog, oligarki, klientisme, primordialisme, sektarianisme, dan berbagai paham turunan dari karakter masyarakat hirarkhis yang jauh dari watak egaliter sebagai sebuah prasyarat penting bagi demokrasi. 5Paparan tentang konteks, konten, dan prospek teori-teori sosial ini dikembangkan dari hasil diskusi penulis dengan Ari Sujito, S.Sos, M.Si. pada 1 Mei 2013. 6 Baca paparan tentang pengaruh status budaya atas terbentuknya asumsi dasar sebuah teori dalam Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan… hlm.21. BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 172
dari konteks misi perjuangan moral. Bertolak dari krisis/kemarau moral tertentu, teori memuat pesan moral di dalam dirinya. Dan ketiga (tentang prospek), merujuk pada makna tentang sejauh mana teori itu memiliki kemungkinan, peluang, dan potensi untuk bisa digunakan dan dikembangkan sebagai gagasan/cara pandang yang masih relevan untuk membingkai dan memaknai problem-problem sosial di masa mendatang. Dengan demikian, prospek pada prinsipnya berkaitan dengan daya jangkau relevansinya pada konteks persoalan masyarakat yang berbeda (semakin kompleks) maupun pada konteks jaman yang berubah pula. Berpijak pada bingkai konteks, konten, dan prospek tersebut, epilog ini selanjutnya akan mensistematisasi dan memilah paparan ke dalam tiga bagian berikut. Bagian Pertama yang bertitel ―Ikhtisar Tesis Pemikiran Ekonomi Politik Lingkungan E.F. Schumacher‖ akan merangkum kembali paparan keempat bab terdahulu. Paparan akan memadatkan lagi sejumlah pokok pikiran yang telah dirangkum di setiap simpulan penutup (Wasana Kata) pada masing-masing bab. Praktis, banyak pokok simpulan dalam Wasana Kata akan mengalami perulangan dalam ikthisar ini. Pada bagian pertama ini, paparan akan terpilah lagi ke dalam dua sub bagian. Pada sub bagian pertama berjudul ―Konteks dan Rekontekstualisasi Gagasan Kritis Schumacher‖ akan menyaji kembali ringkasan-padat tentang konteks kembalinya pemikiran Schumacher dalam kancah diskursus globalisasi ekonomi neoliberalisme maupun konteks latar sejarah formasi seluruh gagasan kritis Scumacher di sepanjang lini masa karir intelektualnya. Bila sistematisasi penulisan tesis ini ditilik kembali, maka kedua konteks itu terartikulasikan dalam dua bab pertama: yaitu pada Bab I (Pendahuluan: Kembalinya Pemikiran Schumacher) dan Bab II (Minoritas Kreatif: Biografi Intelektual E.F. Schumacher). Keduanya menjadi pengantar bagi penggalian yang lebih rinci atas keseluruhan konten/substansi pemikiran kritis Schumacher. Sedangkan pada sub-bagian kedua berjudul ―Dari Ilmu Ekonomi Alter-Native” Menuju Ekososialisme‖, paparan akan terfokus pada substansi gagasan Schumacher tentang ilmu ekonomi baru yang berkontribusi pada ekososialisme. Subtansi pemikiran Schumacher ini tercakup seluruhnya di dalam Bab III (Ilmu Ekonomi “Altern-Native” E.F Schumacher: Ilmu Berskala Manusia dan Lingkungan) dan Bab IV (Ekososialisme: Pemikiran Ekonomi-Politik Lingkungan E.F. Schumacher).
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 173
Singkatnya, paparan Bab III menyajikan jawaban dari dua pertanyaan sekaligus tentang kritik-radikal dekonstruktif Schumacher terhadap ortodoksi ilmu ekonomi modern yang menjadi ruh dalam kapitalisme; dan pertanyaan tentang konstruksi ilmu ekonomi alter-native yang ditawarkan Schumacher untuk merespon berbagai dampak yang muncul dari implementasi paradigma ortodoks ilmu ekonomi modern tersebut. Sedangkan paparan Bab IV menyajikan jawaban dari pertanyaan tentang kontribusi teori ilmu ekonomi alter-native Schumacher pada ekososialisme—gerakan ideologi ekonomi politik lingkungan,secara lebih spesifik lagi ekolokalisme. Rangkuman seluruh alur logika tesis bisa dilihat pada bagan berikut ini.
Setelah rangkuman keempat bab tersaji, Bagian Kedua selanjutnya akan memerikan beberapa catatan kritis tentang pemikiran Schumacher. Tentu saja, sejumlah catatan kritis di sini tidak sepenuhnya merupakan formulasi dari penulis, melainkan hasil elaborasi dan pengembangan catatan sejumlah tokoh yang pernah mengemuka di paparan bab sebelumnya.
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 174
Untuk memungkasi epilog ini, Bagian Ketiga akan menyajikan sumbangan pemikiran Schumacher pada dua arena berbeda berikut ini: pertama, kontribusinya pada dunia akademis khususnya disiplin sosiologi (yang boleh jadi secara substansial berkaitan dengan subyek pembahasan sosiologi pengetahuan, sosiologi lingkungan, sosiologi ekonomi, sosiologi kebudayaan, dan sosiologi pembangunan); dan kedua, kontribusinya pada dunia praksis khususnya yang terkait dengan beragam praktik pembangunan berkelanjutan termutakhir di Indonesia. Di sini, penulis merasa perlu untuk menyinggung isu-isu seputar konstruksi kesejahteraan di bawah kontrol dominan (baca: dibajak) institusi negara dan institusi sektor privat/pasar. B. Ikhtisar Tesis Pemikiran Ekonomi Politik Lingkungan E.F. Schumacher 1. Konteks dan Rekontekstualisasi Gagasan Kritis E.F. Schumacher Iklim perekonomian dunia, khususnya Eropa, belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang berarti sejak terjadinya gebalau finansial yang melanda salah satu dedengkot globalisasi neoliberalisme—Amerika Serikat—enam tahun silam (Juli 2007). Simptom malaise perekonomian dunia bukan saja menjadi penanda atas akumulasi dan eskalasi krisis perekonomian global tetapi juga penanda dari senjakala kapitalisme yang butuh dikaji kembali. Tepat di jantung kapitalisme dunia (Eropa dan Amerika), berbagai praktik kebijakan ekonomi pro pasar ala laissez-faire dan bubble economic menjumpai antiklimak dan delegitimasinya. Bermesin penggerak mentalitas loba, sistem perekonomian-globaltunggal pro korporasi semakin memutilasi kehidupan dengan cara menyingkirkan rakyat miskin dari pernaungan ekologinya. Selain telah memicu pengangguran besar-besaran, disparitas sosial yang semakin menganga lebar, rezim fundamentalisme pasar yang eksploitatif juga berkontribusi besar pada krisis ekologi global: climate change. Fenomena krisis ekonomi dan krisis ekologi itu memicu kembalinya pemikiran tokoh yang selama beberapa dekade tersingkir dari kancah diskursus arus utama. Selain Karl Marx dan John Maynard Keynes, tokoh yang pemikirannya kembali mengemuka adalah seorang filsuf dan ekonom Inggris kelahiran kontinental Jerman: Ernst Friedrich Schumacher. Daya tarik Schumacher terletak pada pemikirannya yang holistik tentang masyarakat, ekonomi, dan ekologi.
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 175
Berangkat dari sudut pandang filsafat, Schumacher mengobrak-abrik sesat pikir masyarakat Barat tentang ―agama ilmu ekonomi modern‖ (economism) yang bias pada paham materialisme, hingga mengabaikan basis spiritual dan moralitas sosialnya. Sesat pikir itu telah melahirkan generasi manusia satu dimensi: homo economicus. Schumacher menawarkan ilmu ekonomi alternatif yang lebih memprioritaskan rakyat kecil dan ekologi. Gagasan alternatif itu ternyata melahirkan dua gerakan sekaligus: pertama gerakan pemikiran baru (New Economics); dan kedua, gerakan pro rakyat miskin dan ekologi (ecosocialism). Kedua gerakan itu berkembang sejak tahun 1970-an hingga saat ini. Latar belakang pemikiran itulah mendorong penulis untuk melakukan pelacakan gagasan Schumacher melalui studi pustaka ini. Karenanya, seperti telah disebutkan di awal, studi berupaya mengungkap empat substansi berikut: pertama, kritik Schumacher atas ilmu ekonomi modern; kedua, konstruksi ilmu ekonomi alternatif yang ditawarkannya; ketiga, kontribusi gagasan ilmu ekonomi alternatif terhadap gerakan pro rakyat miskin dan ekologi (ekososialisme); dan keempat, kontribusi gagasan kritis Schumacher untuk disiplin sosiologi dan model alternatif pembangunan di Indonesia. Kepopuleran E.F. Schumacher di seluruh dunia bermula sejak terbitnya magnum opus bertitel Small is Beautiful: Economics as if People Mattered (1973), dan kemudian disusul karyanya A Guide for the Perplexed (1977). Schumacher tumbuh dan berkembang dalam gemblengan pendidikan yang keras dari sang ayah, seorang profesor ekonomi yang cukup ternama di Jerman. Senasib dengan warga Jerman lainnya, masa kecil dan remaja Schumacher jauh dari hidup berkecukupan meskipun ia terlahir di lingkungan kelas menengah. Hidupnya berlangsung dalam himpitan krisis ekonomi-politik nasional, regional, dan internasional. Krisis demi krisis bertubi dialaminya: mulai dari multi-krisis karena pecah Perang Dunia I, krisis pangan, kelaparan, kemiskinan, hiper-inflasi, depresi ekonomi dunia, hingga krisis akibat Perang Dunia II. Perca peradaban Eropa turut membentuk karakter Schumacher sebagai ―sosok intelektualitas pengembara yang cemas‖, ―merindui perdamaian‖ (pacifism), dan antikekerasan (non-violance) terhadap humanitas dan ekologi. Dalam konteks itulah basis nilai, moral, dan idealisme intelektual Schumacher tumbuh dan berakar. Sebagai intelektual organik, berbekal kecerdasan dan kepekaan sosial, Schumacher mengabsorpsi persilangan arus pemikiran besar dunia dan merumuskannya ke dalam cara pandang alternatif atas beragam persoalan sosial, ekonomi, dan politik baik di tingkat nasional, BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 176
regional, dan internasional. Pemikir besar seperti Thomas Aquinas, Mahadma Gandhi, John Maynard Keynes adalah tiga dari sekian tokoh yang membentuk pemikirannya. Sebagai sosok intelektual yang besar di luar kampus, Schumacher tidak memiliki karakter seorang teoretisi yang memiliki tradisi dan tertib “school of thought” yang keras dan eksklusif. Kekhasan intelektualnya terbangun dari persilangan gagasan dari lingkup komunitas epistemik yang heterogen: intelektual kampus, aparatus negara, jurnalis, dan tanpa kecuali warga kelompok kaum miskin di sejumlah negara. Pemikirannya tumbuh dalam tradisi dialektis yang sirkular antara teori-praktik–teori. Peran multi-tasking baik sebagai aparatus negara (Dewan Batubara Nasional), direktur pada Scott Bader Commonwealth (perusahaan milik bersama yang dikelola secara demokratis oleh para buruh), kepala pada Intermediate Technology Group Development (ITGD) dan The Soil Assosiation, memberikan laboratorium sosial yang memadai bagi uji dialektika teori dan praktik. Sehingga gagasannya bisa merespon kebutuhan akademis (pengetahuan ilmiah) dan kebutuhan praktis di masyarakat. Selain sebagai praktisi handal, Schumacher juga produktif dalam menuangkan praksis kekaryaannya itu melalui artikel-artikel di sejumlah jurnal dan majalah. Munculnya karya Small is Beautiful: Economics as if People Mattered paska purna-tugasnya sebagai pejabat publik bisa dibaca sebagai sintesis yang terkonstruksi dari pengalaman panjang seorang intelektual cum praktisi yang berspektif holistik. Dalam magnum opus itulah, Schumacher memformulasikan ilmu ekonomi kelestarian, yaitu ilmu ekonomi yang memprioritaskan rakyat kecil dan kelestarian ekologi. Sering saja, ilmu berskala manusia dan lingkungan. Secara tekstual maupun kontekstual, diksi ―kecil‖ (small) secara sadar dipilih dan diposisikan oleh Schumacher sebagai kritik-radikal atas kebudayaan masyarakat modern yang gandrung terhadap aktivitas ekonomi yang serba ―raksasa‖ (the idolatory of economism). Opsi keberpihakannya tertuju pada beragam aktivitas ekonomi yang berskala kecil keseharian (survival economics) yang jauh dari hasrat menggilai kuantifikasi ekonomi pertumbuhan (growth), sehingga ramah bagi rakyat kecil dan ekologi sebagai pertaruhan terakhir hidup mereka. Dari biografi intelektualnya, kita bisa menarik pemahaman bahwa Schumacher adalah sosok minoritas kreatif yang senantiasa mengambil posisi kritis terhadap multifaset ideologi (sains dan teknologi) arus utama yang dominatif. Ilmu ekonomi baru BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 177
yang ditawarkannya memberikan cara pandang alternatif atas paradigma dan praktik ―agama ilmu ekonomi‖ modern sebagai, meminjam terminologi postmodern, sebuah narasi besar peradaban masyarakat. Di dalam narasi-narasi kecil, alternatif itu ada. Gagasan Schumacher berpengaruh luas mulai dari kaum intelektual, aktivis, dan praktisi seperti: McRobie, Kumar, Narayan, Hoda, Chamber, Stewart, Sen, ul Haq, Korten, Hobson, May, dan tentu saja para proponen Schumacher Circle. Berkat mereka ―ilmu ekonomi alternatif‖ berevolusi menjadi gagasan baru yang semakin beragam. 2. Dari Ilmu Ekonomi “Alter-Native” Menuju Ekososialisme Memposisikan diri sebagai seorang filsuf, Schumacher melontarkan pokok gugatan pertama-tama dan terutama untuk membongkar sesat pikir dan glorifikasi atas paradigma dan doktrin-doktrin pencerahan warisan abad ke-19 (sejak Revolusi Cartesian). Fenomena itu diilustrasikan Schumacher sebagai authoritarian megalomania yaitu sebuah kuasa ilmu pengetahuan dominan yang memberlakukan hukum yang bersifat universal dan bisa berlaku sama dimana pun tanpa perlu mempertimbangkan konteks sosio-kultural masyarakat. Kritik Schumacher bisa dipilah dalam tiga catatan mendasar berikut.
Pertama, kritik radikal dekonstruktif Schumacher tertuju pada peradaban Barat (occidental) beserta paradigma dan praktik politik kebudayaan yang memposisikan sains dan teknologi Barat sebagai ideologi dominan-mondial.
Kedua, paradigma modern dalam peradaban Barat (occidental) itu mengandung sesat pikir yang fatal berkaitan dengan relasi antara manusia dan alam. Etos peradaban masyarakat Kristen Barat yang terejawantahkan dalam dominannya sains dan teknologi itu jelas memposisikan manusia sebagai pusat semesta (anthropocentric) yang lebih superior dari alam. Ekosentrisme (ecocentrism)—paham yang meyakini alam sebagai pusat semesta—dianggap irasional bagi ilmu modern Barat dan bidaah bagi Kristianitas.
Ketiga, kepesatan dan keluasan perkembangan ilmu-ilmu alam dengan model pendekatan positivistik turut memperluas paham antroposentris itu ke seluruh penjuru dunia. Dominannya pemahaman tentang manusia sebagai pusat semesta dianggap sebagai bagian dari proses alami sesuai paradigma positivistik.
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 178
Lebih jauh, Schumacher mendekonstruksi perspektif ilmu-ilmu sosial humaniora Barat yang juga tidak steril dari pengaruh paradigma positivistik. Kritik Schumacher menyasar pada enam sesat pikir warisan Revolusi Cartesian berikut ini:
Pertama, gagasan tentang evolusi (teori Darwin); Kedua, gagasan tentang kompetisi dan seleksi alam (the survival of the fittest) sebagai penjelas dari proses evolusi dan perkembangan alamiah yang otomatis (teori Hobbes);
Ketiga, gagasan tentang materialisme-historis yang bias determinisme ekonomi dan teori perjuangan kelas (teori Marx);
Keempat, gagasan yang menganggap semua bentuk-betuk adalah getaran gelap dari bawah sadar, sebagai akibat dari keinginan yang tak terpenuhi di masa kanak-kanak dan awal masa remaja (teori Freud);
Kelima, gagasan umum tentang relativisme (teori Einstein); Keenam, gagasan positivisme (sering disebut filsafat non-metafisik yang menegasikan filsafat spekulatif atau filsafat tradisional) yang mendasarkan teori pada fakta-fakta yang bisa diamati saja. Tak terelakkan, gelombang Revolusi Cartesian juga menjalar dan menularkan epidemi saintisme-materialistik berparadigma positivistik itu pada ilmu ekonomi modern Barat hingga bermutasi menjadi ―agama ilmu ekonomi‖ (economics religion/economism). Schumacher menengarai ―agama ilmu ekonomi‖ memuat setidaknya enam dalil pokok berikut ini: bertindak ―ekonomis‖; bersikap individualis/egois; pemuliaan atas mekanisme pasar (laissez-faire); penundukan dan kepatuhan pada kekuatan teknologi modern; kepercayaan mutlak pada kemahakuasaan uang, dan penaklukan atas lingkungan alam. Keenam dalil yang terperagakan secara sempurna dalam peradaban modern itulah yang dikonsepsikan Schumacher sebagai the frenzy of economism, the thraldom of economism, atau the idolatory of economism yang secara eksistensial tak mampu menjawab soal kebertujuan dan kebermaknaan manusia, kecuali sebagai Homo Economicus semata. Secara lebih spesifik, kritik Schumacher atas ilmu ekonomi modern bisa diperinci dalam beberapa poin kunci berikut ini:
Pertama, secara inheren, metodologi ilmu ekonomi modern telah mengabaikan ketergantungan manusia pada alam; BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 179
Kedua, metode ―analisis biaya-keuntungan‖ dalam ilmu ekonomi modern berikut kecenderungannya untuk menempelkan harga pada segala sesuatu yang sejatinya tak ternilai, pada dasarnya telah merusak kualitas kehidupan modern itu sendiri;
Ketiga, ilmu ekonomi modern yang pro-pertumbuhan (pro growth) pada dasarnya memuja individualisme dengan cara pandang materialistik yang semakin bertambah subur dalam sistem pasar;
Keempat, sistem ekonomi pasar modern telah bekerja efektif dalam mendorong dominasi nilai kuantitatif atas nilai kualitatif segala sesuatu;
Kelima, teknologi canggih produk peradaban modern yang telah mendeprivasi kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan, sehingga memicu munculnya kebutuhan terhadap teknologi madya, teknologi tepat guna, atau teknologi berwajah manusia. Upaya mendekonstruksi ilmu ekonomi modern Barat itu diawali Schumacher dengan melakukan penataan ulang atas sistem filsafat. Hal itu diorientasikan untuk memformulasikan ilmu ekonomi dengan subyek kajian yang lebih eksistensial: kesejahteraan manusia dan kelestarian lingkungan. Untuk kepentingan itu, Schumacher mengajukan agenda ―rekonstruksi metafisis‖ (metaphysical reconstruction) baik dalam sistem pengetahuan maupun dalam praktik kehidupan sosial. Rekonstruksi yang dimaksudkan Schumacher itu merujuk pada upaya memulihkan atau menghidupkan kembali metafisika yang telah terpinggirkan dalam sistem pengetahuan ilmiah modern (paska Revolusi Cartesian). Metafisika sebagai jantung filsafat merupakan suatu kajian menyeluruh, koheren, dan konsisten dengan realitas (keberadaan, alam semesta/kosmos). Menurut Schumacher, kehadiran metafisika sangat dibutuhkan untuk mengembalikan keutuhan cara pandang manusia modern yang selama satu setengah abad terlalu ekstrim mengagungkan rasionalitas (antroposentris): instrumen paling sempurna untuk mengeksploitasi alam. Untuk tidak terperangkap pada kontroversi romantisisme, Schumacher mengantisipasi dengan menggeser kebutuhan atas metafisika itu dengan konsep metaekonomi yang secara konseptual merujuk pada nilai-nilai dasar dari seluruh tindakan ekonomi dalam bingkai kehidupan sosial manusia. Schumacher menyodorkan metode ―Jalan Tengah‖ sebagai praksis kearifan yang senantiasa berupaya mengakomodir ―divergenitas‖ kehidupan sosial masyarakat yang kompleks dan multidimensional. BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 180
Konsep meta-ekonomi mengindikasikan kuatnya hasrat Schumacher untuk ―menanam kembali ekonomi‖ (reembedded) atau mengembalikan makna ekonomi ke khitahnya, seperti digagas Aristoteles, yaitu sebagai cabang dari moralitas sosial. Secara etimologis, Oikonomia berarti ―manajemen rumah tangga‖ (the management of the household). Oikonomia berperan untuk meningkatkan nilai gunanya demi pemenuhan kebutuhan seluruh anggota keluarga untuk jangka panjang. Dari diskursus itulah, Schumacher mengajukan sintesis ―ilmu ekonomi baru‖ (yang berperan sebagai anti-tesis atas ilmu ekonomi modern Barat). Terkait diskursus itu, dengan menggunakan perspektif post-modernis, penulis secara khusus menyodorkan pilihan semantik ―ilmu ekonomi alter-native” untuk memberikan tekanan pemaknaan bahwa ilmu ekonomi baru yang ditawarkan oleh Schumacher sangat terbuka terhadap keberagaman liyan (other atau alter) yang ada, hidup, dan berkembang di dalam lingkup ―kelokalan‖ tertentu (native). Ia begitu terbuka pada pluralitas sistem ekonomi. Dalam hal ini, komunitas-komunitas yang hidup dalam sistem-sistem ekonomi lokal yang beragam (berpiritkan nilai-nilai agama Buddha dan Islam) seperti yang diteorisasikan Schumacher bisa dibaca sebagai “role model” perlawanan subaltern group terhadap dominasi tunggal sistem ekonomi Barat yang hegemonik. Artikel monumental bertitel Buddhist Economics mengartikulasikan dengan sangat gamblang counter-discourse maupun counter-culture atas paradigma dan praktik ilmu ekonomi Barat. Secara politis, Buddhist Economics pada intinya mengadvokasi spirit ―Penghidupan yang Benar‖ (Right Livelihood) dari sub-altern group yang memperagakan praksis pencaharian penghidupan (ekonomi) yang humanis dan ekologis. Tawaran Schumacher tentang ―ilmu ekonomi alter-native” menunjukkan cara pandang yang ―lintas-batas‖, integral, dan holisitik. Perpaduan antara economic well-being dan ecological and spiritual well-being di dalam ―ilmu ekonomi alter-native‖ itu berhasil memicu lahirnya gerakan Ilmu Ekonomi Baru. Dielaborasikan dengan mazhab ilmu ekonomi
anti
pertumbuhan
(no-growth
economics),
gagasan
kritis
Schumacher
dikembangkan ke dalam berbagai varian ilmu ekonomi baru dengan pola pendekatannya masing-masing. Dalam beragam label, gerakan Ilmu Ekonomi Baru itu meliputi: Ekonomi Humanistik (Humanistic Economics), Ekonomi Sosial (Social Economics), Ekonomi Kehidupan (Real-Life Economics/Living Economics), Ekonomi Ekologis (Ecological Economics), Ekonomi Hijau (Green Economics), Ekonomi Pluralis (Pluralist Economics) atau BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 181
sering disebut Ekonomi Heterodoks (Heterodox Economics), dan Ekonomi Integral (Integral Economics). Pada dasarnya, gerakan Ilmu Ekonomi Baru (New Econonomics) berupaya memperkuat posisi tawar mereka terhadap ilmu ekonomi arus utama. Sejalan dengan gagasan Schumacher, mereka mengkaji sistem-sistem kompleks masyarakat sebagai basis pijakan bagi terbangunnya ekonomi kelestarian yang memprioritaskan rakyat kecil dan lingkungan. Dari seluruh paparan di atas, bisa dipertegas lagi di sini bahwa gagasan ―ilmu ekonomi alter-native‖ Schumacher selain telah melahirkan gerakan keilmuan juga menstimulasi berbagai praksis gerakan sosial dan/atau gerakan lingkungan di komunitaskomunitas lokal yang tersebar di berbagai belahan dunia, terutama ―Dunia Ketiga.‖ Bertolak dari latar sejarah munculnya gerakan ―ilmu ekonomi alter-native‖ itulah proyek pelacakan kembali pemikiran ekonomi-politik lingkungan Schumacher ini menemukan titik simpulnya. Kontribusi signifikan Schumacher pada ekososialisme bisa dilacak dari awal sejarah formasi konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) bertepatan dengan merebaknya gerakan lingkungan yang diprakarsai oleh kaum sosialis di tahun 1970an. Dalam pengertian sederhana, ekososialisme merupakan ―ideologi perpaduan‖ yang mengelaborasikan berbagai paham ideologi seperti Marxisme, sosialisme, ekologisme, green politics dan alternatif globalisasi. Berakar dalam tradisi pemikiran tokohtokoh abad ke-19 seperti Karl Marx, Peter Kropotkin, dan William Morris, ekososialisme memiliki visi besar terwujudnya masyarakat sosialis yang memiliki komitmen pada prinsip-prinsip dan praktik kelestarian ekologis (ecological sustainability). Visi ekososialisme itu diturunkan dari kritik mendasar atas sistem kapitalisme yang secara inheren tidak memiliki visi kelestarian. Untuk mendapatkan pemahaman yang memadai tentang ekososialisme ini, kita bisa mendapatkan dari beberapa definisi berikut. Ditinjau dari peta besar ideologi politik lingkungan, ekososialisme bisa didefinisikan sebagai suatu aliansi dua paham antara ideologi kelestarian ekologis dan ideologi sosialis (the “red–green alliance”). Ekososialisme merupakan kombinasi antara ―ideologi hijau‖ (ekologisme) dan ―ideologi merah‖ (sosialisme) (Whitehead; 2007) Ekososialisme bisa juga dimaknai sebagai sebuah ideologi politik kaum sosialis yang menganut paham antroposentris (meskipun bukan dalam pengertian paham BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 182
kapitalis-teknokratis) dan humanis yang menolak mistifikasi alam dan bioetika dan segala anti-humanisme turunannya (Pepper, 1993). Secara kategorial, ekososialisme ini tergolong dalam ecocentrism–communalism, yaitu paham yang mempercayai kemampuan masyarakat untuk saling bekerjasama dalam membangun kemandirian komunitas yang berbasis pada pemanfaatan sumber-sumber terbarukan dan teknologi-teknologi tepat guna (O’Riordan, 1989). Sangat identik dengan penjelasan di atas, ekososialisme terkategorikan dalam paham communalist ecocentrism, yaitu suatu paham yang mengambil posisi sebagai preservasionis yang menekankan prioritas kebutuhan pada keterbatasan-keterbatasan lingkungan makro ketimbang pertumbuhan ekonomi dan memilih mewujudkan suatu sistem sosio-ekonomi yang terdesentralisasi (Turner, 1988). Secara garis besar, praksis-praksis ekososialisme selalu terkait dengan upaya mendesakkan beragam proses regenerasi komunitas-komunitas kecil yang dikelola dengan prinsip kemandirian yang dibangun dari setidaknya enam prinsip berikut:
Pertama, revolusi tanpa kekerasan atas kapitalisme maupun negara; Kedua, kebijakan ekonomi untuk pemenuhan berbagai kebutuhan sosial dan lingkungan yang malampaui kriteria non-moneter;
Ketiga, adanya kepemilikan alat produksi dan infrastrukturnya oleh kaum buruh dan kepemilikan ―barang-barang milik bersama‖ (the common);
Keempat, terwujudnya emansipasi perempuan yang cenderung menjadi korban dari dominasi dan degradasi kapitalisme;
Kelima, terwujudnya transformasi masyarakat yang malampaui batas-batas kelas dan status;
Keenam, melakukan perubahan-perubahan radikal dalam berbagai sistem ekonomi, energi, transfportasi dan pola konsumsi, dll. Kontribusi Schumacher pada ekososialisme bisa ditelusuri dari artikel-artikel yang terkompilasi di dalam magnum opus-nya: Small is Beautiful. Beberapa artikel seperti: restrukturisasi skala, penggunaan tanah, teknologi tepat guna, organisasi berskala besar, sosialisme, kepemilikan; dan kerja bermartabat merepresentasikan konsolodasi gagasan Schumacher yang turut memformulasikan bangunan ideologi politik lingkungan dalam ekososialisme. BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 183
Dari perspektif mikro, karya-karya Schumacher itu relevan dengan gagasan desentralisasi politik di unit komunitas lokal di tingkat akar rumput atau sering dikonsepsikan sebagai ekolokalisme (eco-localism). Secara definitif, ekolokalisme merupakan sebuah ideologi politik yang mengkritisi berbagai persoalan korporasi dan hilangnya kedaulatan lokal, dan menggalang kepedulian pada proyek pengembangan ekonomi lokal berbasis pada unit-unit berskala kecil (Hess, 2009). Sebagai ideologi politik, ekolokalisme (eco-localism) ini biasanya mengacu pada paham politik desentralisasi (baca: lokalisasi) yang dilengkapi dengan prinsip-prinsip subsidiaritas sebagai prasyarat dasar bagi implementasi kebijakan ekonomi politik yang mengartikulasikan nilai-nilai dwi-tunggal: kesejahteran rakyat dan kelestarian lingkungan di komunitas akar rumput tersebut. Makna terpenting dari ekolokalisme ini adalah bahwa lokalitas tetap merupakan arena politik yang sangat vital dalam menentukan keberakaran demokrasi. Komunitas menjadi entitas sekaligus momentum yang penting bagi tumbuhnya keterlibatan sosialpolitik (socio-political engagement) yang mengarah pada perbaikan kehidupan sosio-ekonomi masyarakat di tingkat akar rumput. Agenda politik itu terarah pada terwujudnya komunitas yang dikelola dengan prinsip-prinsip kemandirian (self-sufficiency) sebagai eksemplar riil dari demokratisasi ekonomi. Persis di dalam konsepsi demokrasi ekonomi inilah karya-karya Schumacher mengaksentuasikan suatu praktik politik yang memposisikan rakyat dengan segenap daya-upayanya mewujudkan kesejahteraan sebagai prioritas pelayanan publik terpenting yang harus selalu diperagakan oleh the servil state. Komunitas lokal sebagai suatu arena politik musti diintensifikasi menjadi lahan subur bagi tumbuhnya praktik-praktik ekonomi kelestarian (economics of permanence)—dwi-tunggal ekonomi kerakyatan dan lingkungan. Dalam entitas komunitas lokal inilah demokrasi yang substantif mendapati arena pertarungan dan pertaruhannya sekaligus. C. Beberapa Catatan Kritis atas Pemikiran E.F. Schumacher Dari seluruh rangkuman di atas, kita akan terkesan dengan sistem gagasan Schumacher yang luas, integral, holistik, dan multidisipliner. Gagasannya mencerminkan kosmopolitanisme. Dari basis filsafat, ia menjungkirbalikkan logika ilmu ekonomi modern Barat yang dianggapnya sebagai musuh yang buas dan bengis bagi kehidupan. BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 184
Secara menakjubkan, kompleksitas problem sosial ekonomi masyarakat ia jinakkan dalam narasi filosofis. Hal itu nampak ketika gagasannya terlalu dominan diposisikan di dalam basis moral dan etika yang begitu kokoh. Sebagai sebuah gagasan perlu disadari bahwa gagasan Schumacher tentang ilmu ekonomi baru, ekososialisme, dan ekolokalisme memang bukanlah panacea yang mampu mengobati komplikasi patologi pembangunan di bawah kekuatan sentral, rezim globalisasi neoliberalisme. Secara garis besar, kelemahan paham ini terletak pada kecenderungan yang isolasionis (bias batasan geografis), tak bisa dipungkiri, menegasikan cara kerja kapitalisme yang sudah lintas batas waktu dan ruang, proteksionis, romantisme, apatisme politik, lemahnya sumbangan pada proses demokratisasi, ilusi dematerialisasi (bias nilai-nilai moral), dimensi perubahan sosial yang sangat terbatas, terbatasnya perubahan organisasional, ketidakefektifan perumusan regulasi berbasis-kewilayahan, terbatasnya perubahan organisasional dan teknis, kegagalan koordinasi antar alternatif ekonomi berbasis komunitas dan bioregional, pembagian kerja secara spasial memiliki banyak kelemahan, dan kurangnya visi strategis. Dari catatan kekurangan tersebut, penulis akan memaparkan sebagian di antaranya ke dalam beberapa catatan kritis berikut ini. Pertama, terkait dengan gagasan ilmu ekonomi baru tersebut, Schumacher jelas menunjukkan dirinya sebagai seorang filsuf ketimbang ekonom. Gagasannya mengindikasikan suatu tendensi
ilusi
dematerialisasi, yaitu cenderung bias nilai-nilai moral. Tanpa bermaksud mengecilkan arti moralitas dan etika, gagasan yang sarat dengan muatan moral dan etika semacam itu pada tataran tertentu—terlebih jika kita kurang terampil menggunakannya— berkencenderungan membuat kita mudah terjebak dalam kategori-kategori normatif ketimbang mengaplikasikan perangkat analisis kritis untuk membaca realitas sosial secara lebih kontekstual, menganalisisnya, dan mensolusikan berbagai persoalan riil di masyarakat. Kedua, ketika meletakkan basis moral dan etika pada ranah agama, gagasan Schumacher ini sebenarnya memasuk dalam tradisi Weberian. Asumsi dasarnya bahwa akar moralitas dan etika agama akan mempengaruhi dan membentuk perilaku ekonomi. Bila Weber berfokus pada narasi besar Etika Protestan, Schumacher lebih berfokus pada narasi-narasi kecil lainnya seperti Etika Buddhis, Etika Islam, dan Etika Khatolik. Meskipun sedikit banyak mengartikulasikan subyek yang sama dengan Weber, namun BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 185
Schumacher belum menunjukkan suatu realitas empiris perihal bagaimana etika yang muncul dari ajaran agama itu bisa menjadi bagian dari upaya memecahkan persoalan sosial secara terinstitusionalisasi. Jika toh ada institusionalisasinya biasanya relatif kecil atau terbatas.7 Ketiga, terkait pola tindakan ekonomi yang didasarkan pada etika agama, Schumacher tidak secara khusus memberikan eksemplar riil dalam masyarakat yang plural dan heterogen, yang banyak dijumpai di banyak negara ―Dunia Ketiga‖. Lebih jauh, Schumacher juga tidak memberikan catatan tentang kerentanan konflik yang berpotensi terjadi di masyarakat yang plural. Terbatasnya sumber-sumber ekonomi produktif dalam konteks masyarakat plural tentu saja akan berkonsekuensi pada munculnya berbagai macam konflik multidimensional (konflik ekonomi, sektarianisme, etnis, dll). Dalam latar masyarakat yang plural dan heterogen, konstruksi community welfarism tentu saja akan menemukan persoalan yang kekomplekannya mungkin belum pernah dikaji secara khusus oleh Schumacher. Community welfarism ini merujuk pada pengertian tentang kesejahteraan yang didasarkan pada kepentingan komunitas dengan cara meningkatkan kemampuan dan kesepakatan akses terhadap sumberdaya produktif secara setara.8 Keempat, terkait dengan ekososialisme dan ekolokalisme, catatan kritis yang perlu dipaparkan di sini adalah bahwa ekososialisme sebagai suatu alternatif ideologi politik lingkungan belum menunjukkkan suatu bentuk perkembangan organisasi yang konkrit dan terinstitusionalisasi secara memadai. Jika proses pelembagaan dan bentuk organisasi itu belum terbentuk maka tidak akan ada lembaga yang mampu menggerakkan kekuatan ekonomi politik. Dengan kata lain, ekososialisme sebagai sebuah konstruksi gagasan tentu saja bisa diterima. Namun dalam realitas praktis, ekososialisme bisa dikatakan belum terinstitusionalisasi. Hanya ada sejumlah kecil komunitas yang mempraktikkan hal itu. Itu pun belum bisa menjamin terjadinya sebuah gerakan yang lebih besar sebagai
Dalam perbedaan latar belakang dan keyakinan, beberapa komunitas seperti Andorra (negara kecil d antara Perancis dan Spanyol), Sardinia (Italia), Okinawa (Jepang), dan Loma Linda (California AS), berhasil mengonstruksikan well being yang sama sekali berbeda dengan konstruksi modernitas (lebih menekankan kebutuhan materiil). Baca lebih lanjut Susetiawan, Pembangunan dan Kesejahteraan yang Terpasung: Ketidakberdayaan Para Pihak Melawan Konstruksi Neoliberalisme (Working Paper), PSPK UGM, 27 Mei 2009, hlm. 30-31. 8 Terminologi ini penulis peroleh dari Dr. Aris Arif Mundayat dalam diskusi akademik pada 7 Juni 2013. 7
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 186
pengejawantahan dari sosialisme atau kerjasama antar warga di dalam komunitas. Tidak jarang lingkup di dalam komunitas itu sendiri sangat eksklusif dan cenderung bias elit.9 Kelima, catatan terakhir yang menurut penulis cukup penting untuk terpapar di sini adalah hal yang terkait dengan gerakan yang dilakukan oleh Schumacherian Society dan New Economics Foundation. Bagaimanapun juga gerakan yang mereka lakukan adalah gerakan kaum intelektual yang mature secara ideologis, setidaknya well-educated dan well-informed. Itu berarti gerakan masih bertumpu pada kendali kaum elite (kelas menengah intelektual). Kondisi semacam itu tentu tak cukup memberikan basis argumen tentang kekuatan sesungguhnya dari ekososialisme ataupun ekolokalisme sebagaimana tercermin dalam prinsip-prinsip dasar keduanya. Dalam lingkup terbatas itu, muncul beberapa gugatan mendasar berikut ini: seberapa besar peluang untuk melahirkan gerakan alternatif (ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan) yang cukup mampu menandingi kapitalisme? Untuk konteks yang agak berbeda, sejauh mana komunitas-komunitas kecil yang fragmented di tingkat akar rumput itu memiliki daya tahan (reseliance) terhadap gerusan kekuatan ekonomi arus utama yang selalu memutakhirkan gerak penetrasi kapital melalui modus yang boleh jadi nampak sangat humanis? Itulah beberapa kritik empiris atas pemikiran-pemikiran Schumacher. Gagasan radikalnya memang sangat rasional dan brilian, namun kurang didukung oleh sebuah perjalanan empiris yang cukup kuat. D. Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Relevansi Akademik Terdapat sejumlah inspirasi yang bisa kita petik dari pemikiran Schumacher ini. Untuk mengerangkai paparan ini, penulis teringat pada gagasan Peter L Berger (1984) tentang pentingnya penguatan perspektif humanistik untuk sosiologi. Secara khusus, Berger mengungkapkan, ―Keterbukaan terhadap cakupan humanistik dalam sosiologi memiliki implikasi pada kebutuhan atas komunikasi yang berkelanjutan dengan disiplin ilmu lain yang sangat peduli dalam mengeksplorasi kondisi manusia. Dua disiplin ilmu yang paling penting adalah sejarah dan filsafat.‖ 10 Ungkapan Berger itu seakan mewakili maksud penulis untuk mengomunikasikan gagasan Schumacher dalam diskursus sosiologi. Inspirasi pemikiran Schumacher bagi
9
Paparan ini adalah rangkuman hasil diskusi antara penulis dengan Prof.Dr.Susetiawan pada 7 Juni 2013. Peter L.Berger, Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective, New York:Penguin Books, 1984, hlm. 191.
10
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 187
disiplin sosiologi sangat terkait erat dengan beberapa subyek kajian seperti sosiologi pengetahuan, sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi lingkungan, dan sosiologi pembangunan. Tanpa perlu dibahas satu per satu, paparan atas keterkaitan itu akan terpresentasikan dalam beberapa catatan berikut. Pertama, dimensi pengetahuan yang terkandung dalam suatu manuskrip ―usang‖ rupanya tidak selalu berarti usang pula kandungan inspirasinya. Sejarah berulang mencatat bahwa suatu manuskrip ―usang‖ yang periferal dan terpencil dari orbit pengetahuan arus utama (mainstream) seringkali justru terselip ―perca puzzle‖ yang lenyap dari tubuh pengetahuan maupun peradaban masyarakat dalam suatu periodesasi jaman. Bagaimanapun juga regimentasi pengetahuan tak juga steril dari praktik kuasa peminggiran atas pengetahuan yang periferal itu berikut dimensi ―kebenaran‖nya. Bila ada adagium yang mengatakan ―power tend to corrupt”, maka itu berlaku pula dalam institusionalisasi dan regimentasi pengetahuan. Oleh karenanya penting bagi kita untuk senantiasa berefleksi secara kritis perihal pertanyaan elementer ini: dari, oleh, dan untuk siapa pengetahuan diproduksi/direproduksi. Dari studi pustaka ini, penulis merasa mendapati pelajaran berharga bahwa pengenalan atas problem-problem elementer sosiologi pengetahuan semacam ini bisa menjadi jangkar penentu kemana sikap emansipatoris mesti tertuju. Terkait dunia pengetahuan, penulis terhantarkan pada sebuah pemahaman bahwa bunyi adagium corruptio optimi pessima yang dicuplik Schumacher kian menandaskan peran penting kesadaran kritis dalam menangkal setiap produksi pengetahuan yang semakin menjauhkan kita dari sikap emansipatoris. Tanpa perlu tergegas melompat ke perumusan solusi di tataran praktis, jawaban atas problem-problem sosial kemasyarakatan itu boleh jadi justru terletak pada bangunan pengetahuan yang raib oleh korupsi dan reduksi. Semisal terkorupsinya dunia pengetahuan oleh rasionalitas teknokratis yang mengarus-utama menjadi rejim ilmiah modern terbukti menyisakan problem kemanusiaan maupun problem ekologi yang semakin akumulatif. Kedua, kesadaran kritis bukan saja dibutuhkan untuk mengenali beragam ―kesadaran palsu‖ ataupun ―moralitas palsu‖, melainkan berperan penting pula untuk merestorasi (restore), merakit ulang (reset), merevisi cara pandang kita atas fakta-fakta BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 188
sosial yang gerak lajunya membuat kita selalu ketinggalan cara pandang (epistemic lag). Dalam hal ini, gagasan kritis Schumacher setidaknya mengembalikan ―perca puzzle‖ yang raib dari peta pengetahuan ilmiah modern yang bias rasionalitas teknokratis, hingga menyingkirkan cara pandang yang integral dan holistik sebagai penciri kunci kosmopolitanisme. Gagasan kritisnya merevisi cara pandang kita yang sering abai terhadap dimensidimensi spiritualitas, etika, moralitas sosial, dan nilai-nilai penyangga bangunan kehidupan bersama. Tatakala kita mulai gampang meringkus dan menyederhanakan segala sesuatunya sebagai suatu gejala teknis dan pragmatis, maka hampir bisa dipastikan moralitas tak akan dianggap sebagai diskursus yang penting. Bahkan tidak jarang itu dianggap sebagai kebanalan absurditas. Dari gagasan Schumacher kita mendapati penegasiannya. Ketiga, terkait dengan pemikiran ekonomi kelestarian Schumacher, penulis mendapati sebuah pemaknaan bahwa sosiologi dan ilmu ekonomi dalam konteks globalisasi sangatlah penting. Dalam hal ini, sosiologi perlu memperkaya kajian pada yang terkait dengan ilmu ekonomi ini. Secara argumentatif, Frederic Lebaron (2010) menegaskan bahwa dalam beberapa tahun terakhir perkembangan ilmu terjadi peningkatan kesalingterkaitan diantara kedua disiplin tersebut. Relasi di antara keduanya yang semula asimetris secara gradual menemukan ruang kontestasi yang setara.11 Di tataran praksis, para sosiolog akan selalu diperhadapkan dengan tantangan realitas sosial keseharian tentang bagaimana para homo economicus secara telanjang memperagakan beragam praktik penggelapan, pembocoran, penyerobotan, pembalakan, pembajakan itu membuat berbagai sumberdaya itu dikuras dan dikorupsi. Dalam konteks persoalan itu, sosiologi menemukan ruang kontestasi gagasan dengan para ekonom. Keempat, masih terkait dengan inspirasi gagasan Schumacher ilmu ekonomi baru, ekososialisme, dan ekolokalisme menyajikan prefigurasi yang masih relevan dengan konteks persoalan jaman di dekade kedua abad ke-21 ini. Terselip sebuah penegasan bahwa gagasan emansipatoris yang ia sodorkan tidak lekang oleh waktu, kendati tetap perlu upaya pemutakhiran tertentu (rekontekstualisasi). Gagasan emansipatoris
Frederic Lebaron, Economics and Sociology in the Contect of Globalisation dalam UNESCO & ISSC (International Social Science Council), World Social Science Report: Knowledge Divides, 2010, hlm.198-199. 11
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 189
senantiasa dibutuhkan terlebih ketika jaman tengah dikepung oleh beragam patologi dan epidemia modernitas yang terperagakan dalam setiap reproduksi relasi kuasa yang asimetris, rumpang, buas, hegemonik, dan despotis baik pada sesama manusia maupun lingkungan. Dalam kepenuhan inspirasi humanistik itulah gagasan kritis Schumacher selalu menemukan ruang revitalisasinya bagi humanitas lintas jaman. Kelima, bertolak dari seluruh inspirasi pemikian Schumacher di atas, kita semakin cermat di dalam memonitoring praktik-praktik kebijakan yang dijalankan oleh instrumen negara (elit-elit kekuasaan di tingkat pusat maupun daerah) dan instrumen pasar (korporasi-korporasi). Bukan rahasia lagi, keduanya terbiasa untuk melakukan praktik peminggiran bukan saja peran fundamental rakyat sebagai aktor utama pembangunan yang sesungguhnya melainkan juga peran vital ekologi sebagai penopang kehidupan mereka maupun komunitasnya. Terpusatnya konstruksi kesejahteraan pada segelintir pemangku kepentingan, terlebih lagi yang mengabaikan kapasitas dan kedaulatan komunitas, jelas tidak akan membawa harapan baik bagi perbaikan kesejahteraan rakyat. Situasi semakin runyam ketika pengelolaan sumber-sumber ekonomi produktif diserobot oleh korporasi melalui proses legislasi transaksional. Dalam relasi kuasa yang asimetris menutup peluang keberdayaan komunitas mengkonstruksikan kesejahteraan maupaun kelestarian ekologi mereka secara otonom dan demokratis. Terlepas dari segenap kelemahan gagasan Schumacher, kiranya bijak jika kita memposisikan ekolokalisme ini sebagai salah satu gagasan alternatif yang tetap pantas dikelola dan diekperimentasikan secara terus menerus, tanpa menutup peluang pemutakhiran dan pengkajian kembali secara dialektis. Kekuatan dan bobot ekolokalisme ada di dalam praksis-praksis konteksual dalam komunitas akar rumput itu sendiri. Dengan demikian, terbukalah peluang bagi kita untuk sekurang-kurangnya meminimalisir proses pemusnahan suatu bangsa (genocide), pemusnahan ras manusia (homocide) ataupun pemusnahan ekologi (ecocide) oleh para algojo dan eksekutor dalam panjangnya jenjang dan lapisan hirarki dari rezim fundamentalisme pasar (neoliberalism) saat ini.[abw]
BAB V | Epilog: Inspirasi Pemikiran E.F. Schumacher dan Undangan Menuju Ilmu-Ilmu Sosial Emansipatoris 190
DAFTAR PUSTAKA 1. Referensi Utama a. Karya Schumacher Schumacher. E.F. 1974. Small is Beautiful. A Study of Economics as if People Mattered. London: Abacus. _____. 1974. Es geht auch anders Jenseits des Wachtums. Technik und wirtschaft nach Menschenmaβ. Muenchen: Verlag Kurt Desch. _____. 1975. The Age of Plenty. MANAS. Volume XXVIII. No. 5 January 29. _____. 1978. A Guide for The Perplexed. London: Abacus. _____. 1980. Good Work. London: Abacus. _____. 1980.The Schumacher Lectures. London: Abacus. _____. 1988 (1981). Keluar dari Kemelut. Sebuah Peta Pemikiran Baru. Jakarta: LP3ES. _____. 1995. The Age of Plenty: A Christian View. Rajaram Krishnan. Jonathan M. Harris. and Neva R. Goodwin. ed. “A Survey of Ecological Economics”. Washington: Island Press. _____. 2008. Kerja Bermartabat. Yogyakarta: Kreasi Wacana. _____. 2011. This I Believe and Others Essays. Devon: Green Books. b. Scumacher Briefings Cook, David. 2004. The Natural Step Toward A Sustainable Society (Schumacher Briefings 11). London: Green Books. Dawson, Jonathan. 2006. Ecovollages. New Frontier for Sustainability (Schumacher Briefings 12). London: Green Books. Desai, Pooran & Sue Riddlestone. 2002. Bioregional Solutions For Living in One Planet (Schumacher Briefings 8). London: Green Books. Douthwaite, Richard. 2000. The Ecology of Money (Schumacher Briefings 4). London: Green Books. Elliot, David.2003. A Solar World. Climate Change and the Green Energy Revolution (Schumacher Briefings 10). London: Green Books. Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
191
Fraser, Romy & Sandra Hill. 2001. The Roots of Health. Realizing the Potential of Complementary Medicine (Schumacher Briefings 7). London: Green Books. Girardet, Herbert.1999. Creating Sustainable Cities (Schumacher Briefings 2). London: Green Books. Madron, Roy & John Jopling.2003. Gaian Democracies. Redefining Globalization & People-Power (Schumacher Briefings 9). London: Green Books. Mayer, Aubrey. 2000. Contraction & Convergence. The Global Solution to Climate Change (Schumacher Briefings 5). London: Green Books. Pontin, John & Ian Roderick. 2007. Converging World. Connecting Communities in Global Change (Schumacher Briefings 13). London: Green Books. Robertson, James. 1998.Transforming Economic Life. A Millennial Challenge (Schumacher Briefings 1). London: Green Books. Sterling, Stephen. 2001. Sustainable Education. Re-visioning Learning and Change (Schumacher Briefings 6). London: Green Books. Stott, Robin. 2000. The Ecology of Health (Schumacher Briefings 3). London: Green Books. Wooldcombe, David. 2007. Youth-Led Development. Harnessing the Energy of Youth to Make Poverty History (Schumacher Briefings 14). London: Green Books. c. Buku Tentang Schumacher Wood, Barbara.1989. E.F.Schumacher. His Life and Thought. New York: Harper & Row Publisher. Wood, Barbara. 2011.“Alias Papa: A Life of Fritz Schumacher” Devon: Green Books. 2. Referensi Sekunder a. Buku Aberley, Doug. 1999. Interpreting Bioregionalism: Story from Many Voices dalam Michael Vincent McGinnis, Bioregionalism, London:Routledge. Ağartan, Ayşe Buğra and Kaan. 2007. Reading Karl Polanyi for the Twenty-First Century: Market Economy as Political Project. New York: Palgrave Macmillan. Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
192
Akerlof, George A. & Robert J. Shiller. 2009. Animal Spirit: How Human Psychology Drives the Economy. and Why it Matters for Global Capitalism. New Jersey: Princeton University Press. Albo, Gregory. 2007. The Limits of Eco-localism: Scale, Strategy, Socialism, dalam L. Panitch dan C. Leys (edt) Socialist Register 2007: Coming to Term with Nature, London: The Merlin Press. _____
. 2008. Neoliberalism and the Discontented, dalam L. Panotch & C. Leys Socialist Register 2008: Global Flashpoints, London: Merlin Press, 2008.
_____.;
Sam Gindin & Leo Panitch. 2010. In and Out of Crisis: The Global Financial Meltdown and Left Alternatives, Oakland: PM Press.
Albury, David & Joseph Schwartz.1982. Partial Progress: the Politics of Science and Technology, London: Pluto Press, 1982. Alier, Juan Martinez & K. Schlüpmann. 1987. Ecological Economics: Energy. Environment and Society. Oxford: Blackwell. Arestis, Philip and Malcolm Sawyer. 2000. A Biographical Dictionary of Dissenting Economists. Chetelham: Edward Elgar. Baer, Hans A. & Merrill Singer, Ida Susser. 2003. Medical Anthropology and the World System, Westport, CT: Praeger Publishers. Baer, Hans A. 2012. Global Capitalism and Climate Change: The Need for an Alternative World System, Maryland:AltaMira Press. Bagir, Zainal Abidin, 2005.Science And Religion In A Post-colonial World: Interfaith Perspectives, Adelaide: ATF Press. Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. Barker, Chris. 2004. The SAGE Dictionary of Cultural Studies. London: Sage. Barker, Michael J.C. 1984. Directory for The Environment: Organisation in Britain and Ireland 19845, London: Routledge & Kegan Paul. Barnes, Jonathan, ed. 1995. The Cambridge Companion to Aristoteles. New York Cambridge University. Bello, Walden. 2002. Deglobalization: Ideas for A New World Economy, london: Zed Book. Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
193
Berger, Peter L. 1982. Piramida Kurban Manusia, Jakarta: LP3ES. _____. 1984. Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective, New York:Penguin Books _____. 1990. Revolusi Kapitalis. Jakarta: LP3ES.
Berry, Wendell. 1997. People, Land, Community (1981) dalam Hannum, Hildegarde.1997. People, Land, Community: Collected E.F. Schumacher Society Lectures, New Haven: Yale University Press. Binn, Tony. 2006. David Simon, ed. “Fifty Key Thinkers on Development”. London: Routledge. Biven, W. Carl. 2002. Jimmy Carter’s Economy: Policy in An Age of Limits. Chapel Hill: The University of North Carolina Press. Bleicher, Josef. Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika sebagai Metode: Yogyakarta: Fajar Pustaka. Blewitt, John. 2006. The Ecology of Learning: Sustainability, Lifelong Learning and Everyday Life, London: Earthscan. _____. 2008. Understanding Sustainable Development, London: Earthscan.
Bove, Laurence F, Laura Duhan Kaplan. 1997. Philosophical Perspectives on Power and Domination: Theories and Practices, Amsterdam/Atlanta: VIBS 49. Boyle, David and Andrew Simms. 2009. The New Economics: A Bigger Picture. London: Earthscan. Buckman, Greg. 2004. Globalization: Tame It Or Scrap It?: Mapping the Alternatives of the Anti Globalization Movement, New York: Zed Books. Button, John, ed. 1990. The Green Fuse. London: Quartet Books. Carter, Neil. 2001. The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy, Cambridge: Cambridge University Press. Cato, Molly Scott. 2009. Green economics: An Introduction to Theory, Policy and Practice. London: Earthscan. Cavanagh, John and Jerry Mander (edt). 2004. Alternatives to Economic Globalization: A Better World is Possible, San Francisco: Berrett-Kohler Publisher.
Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
194
Chojnowski, Peter. 2008. Father Vincent McNabb‟s “Call to Contemplatives” dalam Sale, Kirkpatrick & Tobias J. Lanz (edt).2008. Beyond Capitalism and Socialism: a New Statement of An Old Odeal, A Twenty-First Century Apologia for Social and Economic Sanity, New York: IHS Press Clark, Cynthia L.; Cynthia L. Clark Northrup, 2011. The American Economy: A Historical Encyclopedia, Volume 1, California: ABC-CLIO. Clarke, John James.1997.Oriental Enlightenment: The Encounter Between Asian and Western Thought, London: Routledge. Cohn, Steven Mark. 2007. Reintroducing macroeconomics: a Critical Approach, New York: M.E. Sharpe. Coy, Jason Philip. 2010. A Brief History of Germany. New York: Facts on File. Curtis, Fred. 2003. Eco-localism and Sustainability, dalam Ecological Economics 46 (2003) 83/102. Daly, Herman. 1973. Toward A Steady-State Economy _____. 1999. Ecological Economics and the Ecology of Economics. Cheltenham: Edward Elgar. Dillard, Jesse; Veronica Dujon, Mary C. King. 2009. Understanding the Social Dimension of Sustainability, New York: Routledge Dobson, Andrew. 2000. Green Political Thought, Oxon: Routledge. Doherty, Brian & Marius de Geus (edt).1996. Democracy and Green Political Thought: Sustainability, Rights and Citizenship, London: Routledge. Doyle, Timothy dan Doug McEachern. 2008. Environment and Politics (3rd), Oxon: Routledge. Duiker, William J.; Jackson J. Spielvogel. 2011. The Essential World History, Volume 2: Since 1500, Massachusetts: Wadsworth. Dunkley, Graham. 2004. Free Trade: Myths, Realities and Alternatives, New York: Zed Books. Eaton, Heather and Lois Ann Lorentzen. 2003. Ecofeminism and Globalization: Exploring Culture, Context, and Religion, Oxford: Rowman & Littlefield Publishers. Ekins, Paul. 1986. The Living Economics: A New Economics in The Making. London: Routledge and Keagan Paul.
Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
195
_____ & Manfred Max-Neef (ed). 1991. Real-Life Economics: Understanding Wealth Creation. New York: Routledge. Eschle, Catherine dan Bice Maiguashca, ed. Critical Theories. International Relations and the AntiGlobalisation Movement: The Politics of Global Resistance. Oxon: Roudlege. Ezrahi, Yaron; Everett Mendelsohn, Howard P. Segal. 1994. Technology, Pessimism, and Postmodernism, Boston: Kluwer Academic Publisher. Fakih, Mansour. 2009. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.Yogyakarta: Insist Press & Pustaka Pelajar. Ferré, Frederick. 2001. Living and Value: Toward a Constructive Postmodern Ethics, New York: State University of NewYork Fisher, William F, Thomas Ponniah. 2003. Another World is Possible: Popular Alternatives to Globalization at the World Social Forum. London: Zed Books. Foster, John Bellamy. 2001. Marx’s Ecology: Materialism and Nature. Kharagpur: Cornerstone Publication Fotopoulos, Takis. 1998. Towards an Inclusive Democracy: The Crisis of the Growth Economy and the Need for a New Liberatory Project. New York: Cassell. _____ 2010. The De-growth Utopia, dalam Huan, Qingzhi (edt).2010. Eco-socialism as Politics: Rebuilding the Basis of Our Modern Civilisation, New York: Springer. Fromm, Erich. 2008. To Have or To Be? New York: Continuum Fullbrook, Edward. 2008. Pluralist Economics. London: Zed Book. Gasper, Des. 2004. The Ethics of Development, Eidenburgh: Edinburgh University Press. George, Vic. 2010. Major Thinkers in Welfare: Contemporary Issues in Historical Perspective, Bristol: The Policy Press. Goldman, M. & J. O‟Connor.1988. „Ideologies of Environmental Crisis: Technology and Its Discontents‟, dalam Capitalism, Nature, Socialism, 1(1), 1988. Gorz, Andre. 2002. Ekologi dan Krisis Kapitalisme. Yogyakarta: Insist Press Granovetter, Mark & Richar Swedberg. 1992. The Sociology of Economic Life. Oxford: Westview Press. Habermas, Jurgen. 1971. Knowledge and Human Interest. Boston: Beacon Press. Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
196
_____. 1988. On the Logic of the Social Sciences. Cambridge: The MIT Press. Hadiz, Vedi R. 2009. Krisis Ekonomi Dunia dan Indonesia dalam Prisma No 1 Vol.28 Juni 2009. Hamel, Pierre dkk (edt).2001. Globalization and Social Movements, New York: Palgrave. Han, Lixin.2010. Marxism and Ecology: Marx‟s Theory of Labour Process Revisited dalam Huan, Qingzhi (edt).2010. Eco-socialism as Politics: Rebuilding the Basis of Our Modern Civilisation, New York: Springer. Hannum, Hildegarde. 1997. People. Land. and Community. London: Yale University Press. _____. 2009. People. Land. and Community: Collected. “E. F. Schumacher Society Lectures”. London: Green Books Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius. Hay, Peter Robert.2002. Main Currents in Western Environmental Thought, Sydney: UNSW Press. Heath, Joseph. 2010. Economic Without Illusions: Debunking the Myths of Modern Kapitalism. New York: Bradway Books Heijden, Hein-Anton van der. 2010. Social Movements, Public Spheres and the European Politics of the Environment: Green Power Europe?, London: Palgrave MacMillan. Henderson¸
Hazel.
1978.
Creating
Alternative
Futures:
The
End
of
Economics
Robertson, James. 1978. The Sane Alternative: A Choice of Futures. _____. 1996. Building a Win-Win World: Life Beyond Global Economic Warfare. California: Berrett-Kohler Publishers. _____. 1999. Beyond Globalization: Shaping a Sustainable Global Economy. Connecticut: Kumarian Press. Hess, David J. 2009. Localist Movements in a Global Economy: Sustainability, Justice, and Urban Development in the United States, London: MIT Press. Hines, Colin. 2001. Localization: A Global Manifesto, London: Earthscan. Houtman, Gustaaf, 1999. Mental Culture in Burmese Crisis Politics: Aung San Suu Kyi and the National, Tokyo: ILCAA. Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
197
Huan, Qingzhi (edt).2010. Eco-socialism as Politics: Rebuilding the Basis of Our Modern Civilisation, New York: Springer. Illich, Ivan. 1971. Deschooling Society. Jackson, Cecile. 1994. Gender Analysis and Environmentalism, dalam Redclift, Michael & Ted Benton.1994. Social Theory and The Global Environment, London: Routledge. Jones, Ken. 2003. The New Social Face of Buddhism: A Call to Action. Massachusett: Wisdom Publications. Keraf, A.Sonny. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius Kirschenmann, Frederickl. 2010. Cultivating an Ecological Conscience: Essays from a Farmer Philosopher. Kentucky: The University Press of Kentucky. Kitchen, Martin. 2006. A history of modern Germany1800–2000. Oxford: Blackwell Publishing. Kitching, G. N. 2001. Seeking Social Justice Through Globalization: Escaping a Nationalist Perspective. Pennsylvania: Pennsylvania University Press. Kleden, Ignas. 1997. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES Kohr, Leopold. 1978. The Breakdown of Nations. New York: E.P. Dutton. _____. 1982. Tribute to Schumacher. Satish Kumar, ed. “The Schumacher Lecture”. London: Abacus. _____. 2001.The Breakdown of Nations. London: Green Books Komine, Atsushi. 2010. Beveridge on a Welfare Society: An Integration of His Trilogy. Roger E. Backhouse, Tamotsu Nishizawa, ed. “No Wealth but Life Welfare Economics and the Welfare State in Britain 1880–1945”. Cambridge: Cambridge University Press. Korten, David. 1993. Menuju Abad Ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. _____. 1999. The Post-Corporate World: Life After Capitalism. London: Barrett Koehler. _____. & Nicanor Perlas, dan Vandana Shiva. 2002. Global Civil Society: The Path Ahead, Paper, December 3, 2002. _____. 2002. The Post-Corporate World, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. _____. 2006. The Great Turning: From Empire to Earth Community. San Francisco: BerrettKoehler Publisher Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
198
_____. 2009. Agenda For A New Economy: From Phantom Wealth to Real Wealth. San Francisco: Berrett-Koehler Publisher. Kovel, Joel. 2007. The Enemy of Nature: The End of Capitalism or the End of the World?, New York: Zed Books. Krech III. J.R, Shepard, McNeill Carolyn Merchant, ed. 2004. Encyclopedia of World Environmental History. New York: Routledge. Kumar, Satish, ed. 1982. The Schumacher Lecturer. London: Abacus. _____. 1990. Soil. Soul. and Society: The Relevance of E.F. Schumacher‘s Ideas for Linking Ecology with the Spirit and the World. Button, John (ed). 1990. “The Green Fuse”. London: Quartet Books. _____. 2001 dalam Joy A. Palmer, ed. “Fifty Key Thinkers on The Environment”. London: Routledge. Lanz, Tobias J. 2008. Economics Begins at Home, dalam Sale, Kirkpatrick & Tobias J. Lanz (edt).2008. Beyond Capitalism and Socialism: a New Statement of An Old Odeal, A Twenty-First Century Apologia for Social and Economic Sanity, New York: IHS Press Lessem, Ronnie and Alexander Schieffer. 2010. Integral Economics: Releasing the Economic Genius of Your Society. Surrey: Gower Publishing. Löwy, Michael, 2005. What Is Ecosocialism? dalam Capitalism Nature Socialism Volume 16 Number 2, June 2005. Lutz, Mark A & Kenneth Lux. 1979. The Challenge of Humanistic Economics. Palo Alto: Benjamin Cummings. _____. 1988. Humanistic Economics: the New Challenge. New York: Bootstrap Press. _____. 1990. Social Economics: Retrospect and Prospect. Boston: Kluwer Academic Publishers. Macrum, Robert dalam Kata Pengantar, Barbara Wood. 2011.“Alias Papa: A Life of Fritz Schumacher” Devon: Green Books. Magnusson, Lars. 1994.Evolutionary and Neo-Schumpeterian Approaches to
Economics,
Massachusetts: Kluwer Academic Publishers.
Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
199
Maruyama, Masatsugu. 2010. Eco-socialism on Agricultural Protection, dalam Huan, Qingzhi (edt). 2010. Eco-socialism as Politics: Rebuilding the Basis of Our Modern Civilisation, New York: Springer. McGinnis, Michael Vincent. 1999. Bioregionalism, London:Routledge. McRobie, Georg. 1980. Kata Pengantar. E.F Schumacher. “Good Work”. London: Abacus. _____. 1981. Small is Possible. London: Jonathan Cape. Meadows, Donnela. 1972. The Limits To Growth. Miliband, Ralph. 1994. Socialism for a Sceptical Age, New York: Verso. Mills, Stephanie. 2010. On Gandhi's Path. Canada: New Society Publishers. Mishan, E.J. 1967. The Costs Of Economic Growth Mumford, Lewis.1934. The Future of Technics and Civilisation, London: Freedom Press. Nanamoli, Bhikkhu & Bhikkhu Bodhi. 2005. The Middle Length Discourses of the Buddha: A New Translation of the Majjhima Nikaya. Massachusett: Wisdom Publications. Oldmeadow, Harry. 2004. Journeys East: 20th Century Western Encounters With Eastern Religous Traditions. Bloomington: World Wisdom. O‟Riordan, Timothy.1981. Environmentalism, London: Pion. Palmer, Joy A.1998. Environmental Education in The 21st Century: Theory, Practice, Progress and Promise, London: Routledge. _____ (edt). 2001. Fifty Key Thinkers on the Environment, London: Routledge. Palmer, Richard E. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Panitch L. & C. Leys. 2008. Socialist Register 2008: Global Flashpoints, London: Merlin Press. _____ & C. Leys (edt) Socialist Register 2007: Coming to Term with Nature, London: The Merlin Press, 2007. Parnwell, Michael. 2001. Joy A. Palmer, ed. “Fifty Key Thinkers on The Environment”. London: Routledge. Pearce, David William dkk.1993.Blueprint 3: Measuring Sustainable Development, London: Earthscan.
Daftar Pustaka I Ekososialisme - AB. Widyanta
200