289
BAB X RANGKUMAN, KESIMPULAN DAN EPILOG
10.1. Rangkuman Hasil Penelitian 10.1.1. Interaksi OTM dan BP Dari Masa Ke Masa Menurut
tinjauan interaksi
OTM dan BP dari masa pemerintahan
kolonial Belanda hingga masa otonomi daerah dapat di rangkum sebagai berikut; a)
Keberadaan Nagari hingga era Otonomi Daerah saat ini, mencerminkan keberlanjutan otoritas tradisional dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Intervensi BP yang telah dimulai dari pemerintahan kolonial Belanda sampai Otonomi Daerah belum mampu sepenuhnya menggantikan secara menyeluruh OTM.
b)
Interaksi OTM dan BP berawal ketika berkuasanya pemerintah kolonial Belanda di Minangkabau. Intervensi yang dilakukan terhadap OTM adalah menata (menyatukan) hubungan supra-nagari yang semula Nagari laksana Negara-negara mini, menjadi bagian dari Regent dan Keresidenan dengan nagari sebagai unit administrasi pemerintah terendah. Pada internal nagari, BP juga melakukan perubahan dengan menetapkan adanya penghulu kepala yang jumlahnya dibatasi dan harus memiliki lisensi (basurek) dari pemerintah kolonial serta menciptakan kedudukan baru seperti angku lareh. Namun, BP menjalankan sistem pemerintahan indirect rule dengan tujuan memanfaatkan OTM seefektif mungkin untuk mempertahankan kedudukan hegemoninya. Untuk tujuan tersebut, keberadaan OTM dipertahankan BP.
c)
Pada masa awal kemerdekaan dan Orde Lama, BP melanjutkan kebijakan kolonial Belanda, dengan tetap mempertahankan OTM menjadi wilayah pemerintahan terendah.
d)
Intervensi yang cukup mendalam BP terhadap OTM terjadi pada masa Orde Baru, ketika diberlakukannya UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Nagari sebagai basis utama OTM dipilah-pilah menjadi Desa-Desa baru. Namun, pada tahun 1983, eksistensi OTM
dalam kesatuan masyarakat
hukum Adat, direvitalisasi dengan diberlakukannya Perda No.13/1983. Pelaksanaan pemerintahan Desa, berdasarkan UU. No.5/1979, ternyata tidak
290
berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan, banyak wilayah jorong (kampung) yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemerintahan Desa. Disamping itu, budaya masyarakat Minangkabau yang terbiasa dengan pemerintahan Nagari. Sehingga yang terjadi, banyak wilayah Desa yang tidak berfungsi optimal. e)
Dalam era Otonomi Daerah, berawal dari Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat No.9/2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari dan Perda ditindaklanjuti di Kab.Agam dengan Perda No.31/2001 tentang Pemerintah Nagari, kemudian di perbaharui kembali melalui Perda Kab.Agam No.12 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Nagari, kembali mengakui dan merevitalisasi Nagari dan lembaga-lembaga OTM pada tingkat nagari.
f)
Dalam era Otonomi Daerah, unsur-unsur OTM (Ninik-Mamak, Kemanakan, Pemuda, Bundo Kanduang)
menjadi pengurus partai, menjadi Calon
Legislatif dan Calon Kepala Daerah. OTM kemudian mendukung dan melegitimasi unsurnya tersebut, melalui Pemilu, untuk terpilih menjadi anggota DPRD dan Kepala Daerah. Tujuan legitimasi ini, agar mereka memperjuangkan alokasi anggaran APBD untuk rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan sara dan prasana Jorong dan Nagari. g)
Tinjauan dari masa ke masa mengenai interaksi OTM dan BP memperlihatkan bahwa, jika pada masa Kolonial Belanda hingga pemerintahan Orde Baru, kedudukan OTM di intervensi dan diatur oleh BP, maka, pada era Otonomi Daerah, OTM relatif bebas dari intervensi, memiliki posisi tawar dengan BP. Terutama, ketika menyusun, membahas perencanaan dan penganggaran pembangunan Daerah yang tertuang dalam APBD.
10.1.2. Peranan OTM dan BP Dalam Penganggaran Peranan Otoritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintah Dalam Penganggaran dapat di rangkum sebagai berikut; a)
OTM memanfaatkan kesempatan Pemilu Kepala Daerah dan Pemilu Legislatif langsung pada era Otonomi Daerah dengan mengusung dan memilih unsur-unsurnya (ninik-mamak, kemanakan, pemuda dan bundo
291
kanduang) agar terpilih menjadi anggota DPRD yang bertujuan (diberi peran) memperjuangkan alokasi anggaran untuk OTM (Nagari). Untuk itu terdapat perjanjian politik di antara keduannya. b)
Perjanjian politik di antara bakal calon DPRD dan Kepala Daerah dengan OTM yang berdasarkan perjanjian oral, memiliki dua pola. Pertama, perjanjian politik yang dibuat di antara penyandang OTM dengan unsur OTM sendiri seperti anak, kemanakan, mamak, yang merupakan penduduk asli kampung dan Nagari. Pola kedua, perjanjian tersebut dibuat di antara penyandang OTM dengan calon DPRD dan Kepala Daerah yang berasal dari luar nagari. Pola pertama, dilakukan dengan dua cara, yakni penyandang OTM mencari dan memilih anggota kaumnya untuk didukung menjadi anggota DPRD dan Kepala Daerah atau salah satu unsur OTM yang mencalonkan diri kemudian meminta dukungan suara kepada penduduk kampung dan Nagari. Pola kedua, calon legislatif yang bukan merupakan penduduk kampung atau Nagari yang sama, datang pada OTM untuk meminta dukungan suara. Pola ini, jarang dilakukan.
c)
Adapun isi perjanjian, pada kedua pola, adalah mengenai kesanggupan caleg untuk dapat memperjuangkan alokasi anggaran APBD. Programprogram yang menjadi primadona adalah pembangunan, peningkatan atau rehabilitasi sarana dan prasarana kampung dan Nagari, seperti jalan, jembatan, pengairan, sarana pendidikan, ibadah.
d)
Proses Pemilihan Umum, berikut perjanjian politik yang mengikutinya, menjadi ajang pemberian peran baru bagi anggota DPRD, disamping peran kultural yang terkandung dalam falsafah alam.
e)
Birokrat BP (Dinas, Badan) memanfaatkan kepentingan Anggota DPRD agar dapat menjadi bagian dari program kerja mereka, sehingga mendapat anggaran maksimal.
Akibatnyam, ranah penganggaran menjadi ajang
kontestasi para elite, yang bertujuan mendapatkan alokasi APBD sebesarbesarnya. f)
Dalam pengelolaan keuangan daerah kontestasi di antara sesama BP, terutama antara Eksekutif (TAPD) dan Legislatif ( anggota DPRD yang merupakan unsur OTM), menjadi mungkin serta bersifat dinamis karena
292
UU No.17/2004 tentang Keuangan Negara dan PP No.16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan DPRD tentang Tata Tertib DPRD yang memberikan peran dan kekuasaan bagi DPRD untuk dapat merubah jumlah APBD dengan memberikan pokok-pokok fikiran DPRD. Kekuasaan normatif ini, pada tingkat lapangan, memilki kekuatan nyata dibanding Pemda yang hanya berpegang pada juknis dan juklak di dalam Permendagri No.13 tahun 2006 dan Permendagri No.59 tahun 2007 yang kedudukannya lebih rendah secara normatif dibanding Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. g)
Kekuatan DPRD yang ditopang oleh aturan normatif tersebut, pada ranah penganggaran, menyebabkan Undang-Undang No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional sukar tercapai.
10.1.3. Kontestasi OTM dan BP dalam penganggaran APBD Mengenai kontestasi Ototritas Tradisional Minangkabau dan Birokrasi Pemerintahan, dapat pula dirangkum sebagai berikut; a) Institusionalisasi sistem UU No.25 tahun 2004, Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, telah berlangsung melalui Musrenbang berjenjang, dari Jorong hingga Kabupaten. Namun, Musrenbang ditandai dengan kontestasi para elite OTM yang berlandaskan falsafah alam dengan tujuan menempatkan usulan program Jorong di mana mereka berasal. b) Keberadaan kontestasi antar elite OTM dan BP tersebut berakibat terpinggirkannya usulan hasil Musrenbang Jorong. Hasil Musrenbang Jorong ini berisikan kebutuhan dan permasalahan petani dan rakyat bawah yang sulit dipenuhi secara swadaya. c) Pada
ranah
perencanaan,
melalui
musrenbang
berjenjang,
terdapat
kesepakatan dikalangan elite BP dalam forum SKPD, yang hanya mengadopsi satu program usulan pembangunan prasarana (infrastruktur) yang menduduki prioritas pertama pada setiap hasil Musrenbang Kecamatan untuk dibiayai oleh APBD. Penjatahan satu usulan dari hasil Musrenbang Kecamatan tersebut bersumber dari Musrenbang 332 jorong (hasilnya ± 5000 usulan
293
program), 82 kanagarian (± 3000 usulan program), dan 18 Kecamatan (± 1000 usulan program). d) Kesepakatan pada forum SKPD ini merupakan strategi birokrasi pemerintah untuk menghindarkan diri dari pelanggaran secara kolektif terhadap rangkaian kesatuan dari UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara yang mengharuskan ranah perencanaan dan penganggaran merupakan satu kesatuan. e) Pada ranah penganggaran; terjadi hubungan transaksional di antara DPRD dan SKPD (Dinas) dalam penyusunan Rencana Kerja (Renja) dan Rencana Kerja Anggaran (RKA) untuk membuat program kerja yang di alokasikan pada kampung halaman dan konstituen anggota DPRD. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kepala Daerah terpilih. f) Ragam kepentingan partikular tersebut, mengakibatkan penyusunan dan pembahasan APBD yang dimulai dari KUA-PPAS, RAPBD ditandai dengan kontestasi sesama elite berkuasa, seperti SKPD, TAPD, DPRD dan Kepala Daerah. Kontestasi ini menyebabkan banyaknya usulan program yang keluar dan masuk dalam RAPBD ketika di bahas dan ditetapkan. g) Kontestasi di antara para elite tersebut, membuktikan adanya kepentingankepentingan partikular birokrat sehingga birokrasi keluar dari fungsinya. Namun, kepentingan partikular yang menyebabkan terjadinya kontestasi dalam ranah penganggaran, menyebabkan BP mengucurkan sebahagian besar program dan dana yang dikelolanya kepada masyarakat OTM. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi BP melayani dan mensejahterakan OTM atau rakyatnya. 10.2. Kesimpulan Penelitian Data penelitian ini mengungkap bahwa, pertama, Otoritas Tradisional Minangkabau masih berlangsung hingga kini di dalam Nagari-Nagari di Minangkabau, Sumatera Barat. Kedua, Otoritas Tradisional Minangkabau tersebut, selama Otonomi Daerah, Desentralisasi Fiskal dan Pemilu langsung berperan dalam pembentukan Birokrasi Pemerintahan. Hal ini terkait fakta bahwa pengurus partai, calon Legislatif dan Eksekutif merupakan unsur dari Otoritas Tradisional Minangkabau yang kemudian dilegitimasi (didukung dan dipilih) oleh
294
Otoritas Tradisional Minangkabau (yang terkandung dalam masing-masing Nagari) untuk menjadi anggota DPRD dan Kepala Daerah. Legitimasi yang diberikan untuk tujuan, di samping untuk kepentingan individu hingga paruik, kaum dan suku, juga pemberian peran kepada “sang terpilih” (DPRD dan Kepala Daerah) sebagai pejuang anggaran. Anggota DPRD dan Kepala Daerah terpilih, diwajibkan memperjuangkan alokasi anggaran APBD untuk peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan prasarana (infrastruktur) Jorong dan Nagari. Di sisi lain, anggota DPRD dan Kepala Daerah (sebagai elite) akan memperjuangkan alokasi anggaran bagi Jorong-Nagarinya karena, di samping peran yang telah diberikan, kewajiban adat serta ingin mempertahankan (melanggengkan) legitimasi dari Otoritas Tradisional Minangkabau sehingga dapat terpilih kembali. Untuk upaya tersebut, anggota DPRD dan Kepala Daerah, yang menjadi motor penggerak Birokrasi Pemerintahan dan Penganggaran APBD, menjaga legitimasi politiknya dengan memenuhi sebahagian besar aspirasi dan kebutuhan rakyatnya (konstituen). Aspirasi dan kebutuhan rakyat (konstituen) tersebut adalah hajat hidup rakyat, yakni sektor pertanian-pedesaan yang harus didukung oleh perjuangan politik di Kabupaten. Ketiga, peranan yang diberikan terkait dengan Pemilu langsung, baik untuk kewajiban adat, maupun agar melanggengkan legitimasi sehingga dapat terpilih kembali, merupakan kepentingan-kepentingan partikular yang dibawa birokrat dalam Birokrasi Pemerintahan. Keempat, untuk mencapai kepentingan khusus para elite birokrasi pemerintahan tersebut, bertali temali dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) sebagai kuasa penggunan anggaran (KPA) yang memiliki kepentingan (tujuan) untuk memaksimalkan anggaran yang akan diperolehnya. Kelima, tali temali beragam kepentingan khusus para elite birokrat Pemerintahan, khususnya Kepala Daerah, SKPD dan DPRD mengakibatkan ranah Perencanaan dan Penggaran untuk menghasilkan APBD menjadi ajang kontestasi elite, tidak berkesinambungan, terfragmentasi serta terdistribusi tidak merata. Kelima temuan fakta penelitian ini membuktikan substansi dari Hipotesis bahwa, jika Birokrasi Pemerintahan pola Weberian diterapkan dalam konteks otoritas tradisional yang masih kuat, maka akan terjadi kontestasi antara elite yang
295
menyebabkan
Birokrasi
Pemerintahan
pola
Weberian
tidak
berfungsi
sebagaimana mestinya. Agar Birokrasi Pemerintahan (Weberian) ini dapat berfungsi melayani pemenuhan kebutuhan dan menyelesaikan masalah rakyat (masyarakat) pada tingkat Nagari, maka diperlukan bentuk-bentuk keterlibatan otoritas tradisional Minangkabau dalam pelaksanaan pembangunan (dalam hal ini, perencanaan dan pembangunan). Keterlibatan otoritas tradisional Minangkabau dalam perencanaan dan penganggaran (pembangunan), memerlukan reformasi lebih lanjut dari birokrasi dalam konsep Weberian ini. 10.3. Epilog Tertib sosial pada etnis Minangkabau, tampaknya masih mendapatkan legitimasinya dari Otoritas Tradisional Minangkabau (baca: OTM). Di dalam OTM tersebut, tidak ada kekuasaan terpusat dan universal, serta hidup dan berlaku selingkar Nagari. Nagari-nagari laksana negara-negara mini yang di antara satu dengan lainnya bersifat otonom. Di dalam Nagari, tatanan masyarakat dan sistem politik bersifat heterarki, di mana kekuasaan didasarkan pada pluralisme dan diversitas yang dimiliki kelompok-kelompok kekerabatan yang beragam. Pluralisme dan diversitas kekuasaan, dalam berbagai bentuk kepemimpinan itu, terdistribusi secara horizontal dalam kelompok kekerabatan genealogis. Bagi etnis Minangkabau, apa yang berlaku dan terjadi pada pemerintah pusat, belum tentu terjadi di tingkat lokal. Bukti-bukti sejarah telah memperlihatkan bahwa upaya-upaya melegislasi, mengatur, mensubordinasi, menguasai dan bahkan ingin menggantikan OTM, selalu gagal. Sebagi contoh, dalam studi ini, proyek birokratisasi pemerintahan yang dilakukan sejak masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Orde Lama hingga Orde Baru, tidak sepenuhnya berhasil menggantikan OTM. Salah satu episode sejarah lokal Minangkabau, memperlihatkan sebuah peristiwa sejarah dimana agama Islam melalui gerakan Padri neo-Wahabi, berupaya untuk menganti adat Minangkabau dan merombak sepenuhnya OTM di Darek
(Luhak
nan
Tigo).
Upaya
ini
mengakibatkan
perang
saudara
berkepanjangan yang terjadi dalam Nagari-Nagari di Minangkabau. Penyelesaian
296
konflik vertikal dan horizontal ini, bukanlah diselesaikan dengan intervensi militer Belanda, namun, berakhir dengan dialog yang berujung pada kompromi dengan formula “adat bersendi syarak, syarak bersendi adat”, sehingga kekhasan OTM masih mampu bertahan. Sesungguhnya, Otoritas Tradisonal
yang terkandung dalam adat
Minangkabau, bukanlah anti perubahan. Bagi etnis Minangkabau perubahan dan kebertahanan adalah ibarat dua sisi pada koin mata uang yang sama. Seperti tersimpul dalam pepatah mereka : “sekali banjir datang, sekali itu pula tepian pemandian berubah”, artinya saat terjadi perubahan sekalipun, selalu diupayakan untuk mempertahankan, memperbaharui dan memajukan adat Minangkabau, sehingga tidak tertinggal oleh roda perubahan zaman. Perubahan, bagi orang Minangkabau, bukan untuk menggantikan sama sekali adat dan OTM dengan sesuatu yang baru. Mengadopsi hal-hal baru, mendialogkannya, mensinkronkan dalam rangka untuk mempertahankan adat sehingga tidak tertinggal oleh perputaran mesin sejarah, telah menemukan bentuk naluriahnya di Minangkabau. Demikian halnya dalam Birokrasi Pemerintahan di Minangkabau, evolusi birokrasi selalu mengalami dialog terus-menerus sepanjang sejarahnya dengan Otoritas Tradsional Minangkabau. Birokrasi Weberian tampaknya belum mampu menggantikan OTM. Agama Islam yang mencoba mengajarkan hak-hak yang azasi pun mengalami proses dialogis di dalam perkembangannya. Seperti ditunjukkan oleh sejumlah file sejarah lokal di Minangkabau bahwa “upaya-upaya untuk mengodifikasi adat Minangkabau, merangkum seluruh nagari ternyata berbuah kegagalan”. Sejarah membuktikan, upaya-upaya dengan tujuan menerapkan birokrasi legal-rasional ala Weberian, belum berfungsi sebagaimana mestinya. Begitupun birokrasi
patrimonial
dan neo-patrimonial
yang menjadi
ciri
birokrasi
pemerintahan pusat, tidak juga sepenuhnya berlaku di Minangkabau. Bentuk birokrasi yang muncul dan berjalan, menurut hasil studi ini, menghasilkan birokrasi pemerintahan dialogis dan kompromis antara OTM dengan birokrasi Weberian, yakni “Birokrasi Patrimonial Heterarki”. Birokrasi yang memiliki ciri patriarkhi, namun tidak hierarkis dan non-impersonal, dengan ditopang oleh prilaku birokrat yang syarat dengan kepentingan partikular dan kontestasi.
297
Otonomi Daerah Sebagai Berkah Bagi Etnis Minangkabau Pelaksanaan otonomi daerah, desentralisasi kekuasaan dan keuangan daerah menyebabkan masyarakat adat Minangkabau mengalami dinamika politik kewilayahan terkait gerakan kembali ke Nagari, serta reinterpretasi identitas Minangkabau. Dalam politik kewilayahan, seluruh permasalahan pemerintahan Nagari dibahas ulang, mulai dari bentuk Nagari, hak-hak Nagari, peran kaum adat serta sumber dan pengelolaan Keuangan Nagari. Dalam reinterpretasi identitas Minangkabau, terjadi diskursus pada ranah publik mempertanyakan kembali identitas
Minangkabau
setelah
“terpuruk”
dalam
zaman
Orde
Baru.1
Dinamika politik batas-batas dan reinterpretasi identitas Minangkabau secara lugas mampu dimotori oleh unsur OTM yakni ninik-mamak, alim ulama cerdik-pandai serta bundo kandung, baik yang berdomisili di dalam NagariNagari, maupun di rantau. Meskipun pada akhirnya, pemerintahan Nagari yang terbentuk menjadi “kaki tangan” pemerintah daerah, bukan dikembalikan pada kaum adat, namun, konsekuensi dari dinamika politik yang telah berlangsung tersebut, menyebabkan peran OTM di dalam nagari-nagari semakin menguat. Penguatan peran OTM menemukan bentuknya, pada era Otonomi Daerah, ketika dilangsungkannya Pemilu Legislatif dan Kepala Daerah langsung. Dimana unsur OTM, umumnya, menjadi pengurus partai dan calon legislatif. Unsur OTM yang terdiri atas “urang nan ampek jinih” yakni Ninik-mamak, Ulama, Cendikia dan Bundo Kanduang tersebut, kemudian didukung dan dipilih menjadi anggota DPRD oleh paruik, kaum dan suku di mana mereka berasal. Dengan harapan, ketika unsur OTM yang didukung terpilih, akan dapat memperjuangkan alokasi anggaran APBD untuk membangun Kampung dan Nagari mereka. Didalam mencapai tujuan tersebut, setiap unsur OTM yang telah menjadi anggota DPRD akan terlibat secara aktif dalam proses kontestasi (saling dukung dan bekerjasama, bersaing dan berkonflik) dengan eksekutif yakni SKPD, TAPD dan Bupati yang bertindak sebagai penanggung jawab dan kuasa pengguna anggaran. Kepentingan DPRD kemudian bersinergi dengan kepentingan SKPD tertentu karena berharap mendapat maksimasi alokasi anggaran (terutama yang 1
A.A.Navis menyebutkan, orang Minangkabau setelah menjadi bagian dari pendiri bangsa Indonesia, namun mengalamai “bencana intelektual” di masa Orde Baru, pasca Pemberontakan PRRI. Lihat von Benda-Beckman, 2007.
298
memiliki program peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan). Berbagai kepentingan yang bertautan dalam proses penganggaran tersebut, pada gilirannya akan mengakibatkan birokrasi Pemerintahan pola Weberian tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun demikian pada sisi lainnya birokrasi pemerintahan menjadi lebih “efisien”, karena mengusung pembangunan yang dibutuhkan masyarakat lokal, terutama infrastruktur Nagari seperti irigasi, jalan, jalan usaha tani. Dengan demikian, bagi etnis Minangkabau, otonomi daerah menjadi berkah ketimbang bencana. Birokrasi Lokal, RUU Desa dan Anggaran Infrastruktur Pertanian Nagari Birokrasi
pemerintahan
patrimonial
heterarki
yang
terbentuk
di
Minangkabau, seperti ditunjukkan dalam studi ini, meski mampu mengusung kebutuhan pembagunan infrastruktur Nagari dan pertanian, namun juga memiliki kelemahan. Kelemahannya adalah, alokasi anggaran dalam bentuk kebutuhan rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan infrastruktur Nagari tersebut menjadi relatif terkonsentrasi pada kampung atau Nagari yang menempatkan anggotanya dalam Legislatif. Dimana setiap anggota legislatif berusaha melakukan kompromi dan negosiasi guna mendapatkan alokasi anggaran yang dibutuhkan pemilihnya. Padahal, seperti diketahui, tidak seluruh Nagari menempatkan anggotanya dalam jajaran anggota DPRD. Akibatnya, bisa diduga jika distribusi alokasi APBD untuk peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur pertanian dan Nagari akan terdistribusi secara tidak merata dan cenderung terpolarisasi. Disinilah birokrasi Weberian seharusnya mendapatkan tempat untuk berevolusi, berdialog dan bersinergi dalam mengurangi bias atas beroperasinya fenomena kontestasi penganggaran pada birokrasi pemerintahan lokal, sehingga menjadi lebih efisien. Selain melakukan perubahan dalam sistem perekrutan legislatif yang lebih bertumpu pada “koalisi kewilayahan” yang lebih luas dengan membuat “kalkulasi politik” secara rasional-partisipatif untuk memberikan kesempatan, sekaligus pemerataan pada kampung atau Nagari yang tidak terwakili. Pada gilirannya, diharapkan akan terjadi pemerataan dalam alokasi anggaran untuk rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur di setiap kampung atau Nagari. Tentu, sebagai sebuah temuan mikro, hasil dari penelitian ini masih harus diuji kebertahanannya, namun sebagai sebuah tawaran alternatif tampaknya
299
gagasan dari penelitian ini layak untuk didiskusikan dalam memperkaya perumusan Rancangan Undang-Undang Desa. Setidaknya terdapat dua masukan yang dapat ambil dari studi ini, pertama, pengalokasikan langsung anggaran peningkatan, rehabilitasi dan pembangunan infrastruktur pertanian dan Kampung atau Nagari perlu mendapatkan tempat dan skala prioritas tertentu, diluar mainstream penganggaran yang selama ini berlangsung. Tentunya dengan mempertimbangkan kekhasan dan kontekstualitas dari setiap Jorong atau Nagari, sehingga pilihannya tidak melakukan generalisasi besaran anggaran. Kedua, menyimak hasil studi ini (bagi masyarakat Minangkabau), sebaiknya alokasi anggaran langsung diberikan pada pemerintahan Kampung atau Nagari, dengan tetap mempertimbangkan “kemandirian lokal” khususnya dalam sektor pertanian yang selama ini mampu bertahan tanpa dukungan anggaran yang memadai dari pemerintah. Dengan pengalokasian langsung anggaran pada tingkat Kampung atau Nagari, setidaknya akan diperoleh beberapa manfaat. Pertama, tekanan intensitas kontestasi dalam Birokrasi Pemerintahan lokal akan berkurang, sehingga mengeliminir terjadinya “degradasi” Birokrasi Pemerintahan ala Weberian. Kedua, kontestasi akan bergeser pada tingkat Kampung atau Nagari yang secara historis kinerjanya terbukti lebih efisien. Dengan kepastian jumlah anggaran yang transparan, serta stakeholders yang jelas diharapkan akan berlangsung mekanisme kontrol yang sehat dalam “ruang publik” yang terbangun. Ketiga, dengan mekanisme pengalokasian anggaran yang akuntabel dan transparan, masyarakat Kampung atau Nagari dapat diharapkan “belajar secara partisipatif” dalam mengembangkan perangkat skala prioritas atas setiap rencana pembangunan pertanian dan permasalahan yang dihadapi Kampung atau Nagarinya. Tentu saja, berbagai manfaat yang tersedia tidak akan mampu diwujudkan tanpa adanya polical will dari pemerintah dalam ikut mendukung kemandirian birokrasi lokal.