BAB IV TEMUAN STUDI
IV.1. Deskripsi tentang PT Pagilaran Bagian ini diawali dengan deskripsi tentang sejarah PT Pagilaran, diikuti dengan deskripsi visi, misi, dan tujuan perusahaan. Kemudian dipaparkan struktur organisasi. Setelah itu dipaparkan deskripsi tentang perusahaan inti sebagai farmer. IV.1.1. Sejarah PT Pagilaran Perusahaan Inti sebagai kasus ini adalah PT Perusahaan Perkebunan Perindustrian Perdagangan dan Konsultasi Pagilaran, untuk seterusnya disebut PT Pagilaran. Dalam catatan tentang Profil PT Pagilaran dikemukakan bahwa riwayat tentang perusahaan ini diawali dengan dibukanya tanah hutan di daerah Pagilaran. Tanah ini digunakan untuk mengusahakan tanaman kina dan kopi pada tahun 1840. Pengusahanya adalah seorang berkebangsaan Belanda yang bernama E. Blink. Pada tahun 1899 usaha tanaman kina dan kopi digeser menjadi perkebunan teh yang dipandang lebih sesuai dengan kondisi alam dan tanahnya. Hal ini terbukti dari hasil teh yang ternyata lebih baik daripada usaha dua jenis tanaman tersebut. Perkebunan ini kemudian dikelola oleh Maskapai Belanda yang berkedudukan di Semarang. Di bawah maskapai ini perkebunan mengalami kemajuan pesat, sehingga diperlukan perluasan areal dengan cara memperoleh lelang atas tanah desa yang berada di sekitarnya. Pada tahun 1922 perkebunan dibeli oleh Inggris, setelah sebelumnya pada tahun 1920 maskapai tersebut mengalami kebangkrutan. Hal ini terjadi karena pabrik teh yang
84
dimiliki maskapai terbakar. Selanjutnya pada tahun 1928 perkebunan digabung dengan Pemanukan dan Tjiasem Land’s (P & T Lands). Pabrik mengalami perkembangan yang signifikan dengan dibangunnya sarana angkutan pucuk dari kebun ke pabrik pada tahun 1928. Sarana itu berupa kabel ban guna mempelancar aktivitas produksi. Setelah Perang Asia Timur Raya, pada tahun 1942, perkebunan dikuasai oleh Jepang. Perkebunan diganti dengan tanaman pangan guna memenuhi kebutuhan tentara Jepang dalam Perang Dunia II. Jenis tanaman pangan yang dibudidayakan adalah ketela dan jagung. Sementara itu pabrik yang ada juga dirusak oleh Jepang. Pada tahun 1945 setelah berakhirnya masa penjajahan Jepang, kebun dan pabrik menjadi milik Indonesia. Namun akhirnya pabrik dibakar sebagai strategi perang. Pada tahun 1947-1949 perkebunan kembali dikuasai dan dibangun oleh Inggris dengan fasilitas yang masih tersisa . Pada tahun 1964 seiring dengan berakhirnya hak guna oleh Inggris, perkebunan diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia. Perkebunan kemudian diserahkan oleh pemerintah kepada Universitas Gadjah Mada (UGM) guna menjadi wahana pendidikan dan penelitian bagi mahasiswa. Adapun penyerahan dilakukan dengan SK Menteri PTIP. Pengelola perusahaan adalah Fakultas Pertanian dengan status Perusahaan Negara (PN). Setelah status perusahaan berubah dari PN ke PT pada tahun 1974, nama PN Pagilaran sampai sekarang menjadi PT Perkebunan Perindustrian Perdagangan dan Konsultasi Pagilaran atau PT Pagilaran. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang komersial, PT Pagilaran memiliki sasaran mengembangkan perkebunan, perindustrian, dan perdagangan. Sementara itu
85
sebagai wahana pendidikan dan penelitian, PT Pagilaran memiliki sasaran meningkatkan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bidang usaha PT Pagilaran hingga sekarang adalah perkebunan teh, kakao, kopi, kelapa, cengkeh, dan kina. Dari usaha ini dikembangkan agro wisata dan pengadaan bibit tanaman perkebunan. Hasil utama perkebunan adalah teh dengan produksi berupa teh hitam dan teh hijau yang diekspor ke negara tujuan Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Malaysia, Jerman, Rusia, Kanada, dan Timur Tengah. Adapun pasar lokalnya antara lain adalah PT Unilever Indonesia TBD, PT Sariwangi, CV Padakersa, PT Pucuk Mas Tiga Daun, PT Trijasa Prima Selaras, PT Puskoveri, PT Vaan Rees, PT Selamat Prama Arta, PT Gunung Subur, dan Fa Cangkir. Pada tahun 1986, PT Pagilaran mulai terlibat dalam Proyek PIR Lokal Teh Jawa Tengah dengan peran sebagai perusahaan inti. Sejak tahun tersebut, perusahaan ini memiliki kerjasama dengan petani plasma. PT Pagilaran bertugas menampung produksi dari petani, sementara petani memasok pucuk teh untuk diolah di pabrik yang dibangun di tengah kebun petani. Dalam perjalanannya, sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di tengah dinamika ekonomi makro, setiap kebijakan ekonomi pasti berpengaruh pada usaha yang dijalankan oleh PT Pagilaran. Sebagai contoh adalah kenaikan harga saprodi dan BBM yang berimbas pada kegiatan produksi. Salah satunya adalah ancaman kekurangan pasokan pucuk teh untuk diolah. Pada saat harga BBM mengalami kenaikan pada tahun 2005, PT Pagilaran sempat sementara menghentikan kegiatan produksinya. Setelah mencoba menggunakan bahan bakar alternatif yang berupa batubara, kegiatan produksi kembali dilakukan. Banyaknya pabrik teh kecil yang bermunculan di sekitarnya
86
membawa masalah pula bagi perusahaan, karena pabrik itu mengambil pucuk teh dari petani plasma. Hal ini menyebabkan perusahaan mengalami kekurangan pasokan untuk memenuhi kapasitas pabrik.
IV.1.2. Visi, Misi, dan Tujuan Perusahaan Visi perusahaan adalah ikut serta memberdayakan ekonomi rakyat melalui transfer teknologi dari perusahaan kepada petani melalui Pola PIR atau kemitraan. Pola ini mulai dilakukan sejak PT Pagilaran ditunjuk sebagai perusahaan inti dalam Proyek PIR Lokal Teh Jawa Tengah melalui SK Menteri Pertanian No. 340/97/Mentan II/1985. Proyek PIR adalah awal dari relasi kemitraan antara PT Pagilaran dan petani. Namun sebelum terlibat dalam proyek tersebut, perusahaan ini sudah membina kebun rakyat. PT Pagilaran melakukan pembinaan terhadap kebun di sekitar pabrik inti yang ditanami tanaman keras dan kurang produktif. Organisasi pelaksanaan Proyek PIR dibagi dua, yaitu pihak yang berperan sebagai pimpinan proyek, dan pihak yang berperan sebagai pelaksana. Sesuai perjanjian kontrak dengan Direktorat Jenderal Perkebunan, PT Pagilaran berperan sebagai pelaksana proyek. Tugas pelaksana proyek adalah membangun kebun sampai siap dikonversi, sementara tugas pimpinan poyek adalah menyediakan fasilitas pembangunan kebun. Ada tiga lembaga yang terkait dengan proyek ini, yaitu Dinas Perkebunan, PT Pagilaran, dan Lembaga Perbankan. Lembaga ini adalah Bank Bumi Daya yang setelah mengalami proses merger menjadi Bank Mandiri. Bank bertindak sebagai penyedia dana kredit untuk pembangunan kebun dan pembangunan pabrik. Sebelum konversi, perjanjian kredit dilakukan oleh Bank dan Pemerintah. Setelah itu kredit akan menjadi beban petani. 87
Sementara untuk pembangunan pabrik, perjanjian dilakukan antara Bank dan perusahaan inti. Adapun TP3D adalah badan yang melakukan koordinasi dan konsultasi. Ada TP3D I di tingkat provinsi, TP3D II di kabupaten, sedangkan pusat dipegang oleh Ditjenbun. Di tingkat provinsi, ketua TP3D adalah gubernur, sementara di kabupaten adalah bupati. Untuk posisi sekretaris dipegang oleh Kepala Dinas Perkebunan provinsi atau kabupaten. Pengalaman PT Pagilaran dalam membina membina kebun rakyat sebelum PIR adalah dengan melakukan sharing pembinaan dan peralatan. Inilah yang menjadi dasar pertimbangan perusahaan tersebut untuk mengembangkan Proyek PIR-Lokal. Berbeda dengan perusahaan inti pada Proyek PIR lainnya yang bisa memegang posisi pimpinan proyek, maka untuk proyek ini, PT Pagilaran tidak bisa memegang posisi tersebut karena statusnya yang bukan BUMN. Oleh karena itu posisi pimpinan proyek dipegang oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Tengah. Dalam pada itu sebagai perusahaan yang memiliki tugas mengembangkan wahana pendidikan dan penelitian bagi civitas akademika, misi yang dijalankan PT Pagilaran adalah melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Bertolak dari tujuan ini dalam melaksanakan tugasnya, PT Pagilaran menerima kunjungan kerja, studi lapangan, dan penelitian dosen dan mahasiswa. Para dosen dan mahasiswa itu tidak terbatas hanya dari Universitas Gadjah Mada, namun juga dari perguruan tinggi lainnya baik negeri maupun swasta. Mereka diberi kesempatan untuk mengadakan studi lapangan dan penelitian, baik di lingkungan pabrik, kebun, maupun di tengah kehidupan sosial dan ekonomi petani. Adapun tujuan yang hendak dicapai perusahaan adalah: (1) mempertahankan dan meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan nasional, (2) menjalankan peran sebagai
88
biro konsultasi penelitian dan pengembangan tanaman perkebunan, (3) memperluas lapangan kerja guna meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup petani, (4) menjalankan peran sebagai perusahaan inti dalam pengembangan perkebunan, (5) mengadakan bibitbibit tanaman perkebunan, dan (6) memelihara kelestarian alam.
IV.1.3. Struktur Organisasi Dalam Struktur Organisasi Unit Produksi PT Pagilaran terdapat badan organisasi tertinggi, yaitu dewan guru tetap dari Yayasan Pembina Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada yang berperan sebagai Komisaris. Di bawah Komisaris adalah Direksi. Dewan Direksi terdiri dari Direktur Utama yang dibantu oleh Direktur Produksi, Direktur Personalia, serta Direktur Komersial dan Finansial. Direktur Utama ditunjuk oleh Dewan Komisaris. Selanjutnya direktur utama memilih para direktur di bawahnya. Di bawah Direktur Produksi terdapat Manajer Produksi yang membawahi Kepala Unit Perusahaan. Struktur organisasi tersebut seperti tampak pada Gambar IV.1. KOMISARIS DIREKSI
Direktur Produksi
Direktur Personalia
Direktur Komersial & Finansial
Manajer Produksi Kepala Unit Perusahaan
Gambar IV.1. Struktur Organisasi Unit Produksi PT Pagilaran
89
Unit produksi dipimpin oleh seorang kepala yang disebut sebagai Kepala Unit. Kepala Unit dibantu oleh beberapa Kepala Bagian sesuai dengan banyaknya bagian yang ada di sebuah unit. Unit itu adalah Kebun dan Pabrik Pagilaran, Kebun dan Pabrik Segayung Utara, dan Pabrik Sidoharjo. Tiga unit tersebut berada di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Unit lain di Provinsi Jawa Tengah adalah Pabrik Kaliboja di Pekalongan dan Pabrik Jatilawang di Banjarnegara. Satu unit yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Pabrik Samigaluh di Kabupaten Kulon Progo. Dalam struktur organisasi unit, misalnya pada Unit Produksi Kaliboja, kepala unit dibantu oleh dua kepala bagian, yaitu Kepala Bagian Tanaman dan Kepala Bagian Pengolahan. Masing-masing Kepala Bagian dibantu oleh beberapa mandor besar. Untuk Bagian Tanaman ada dua mandor besar yang menjadi kordinator wilayah kebun plasma. Satu mandor besar menangani kebun plasma di Wilayah Kecamatan Paninggaran, satu mandor besar lainnya membawahi kebun plasma di Wilayah Kecamatan Kalibening dan Kecamatan Pandanarum. Sementara itu untuk Bagian Pengolahan dibantu oleh tiga orang mandor besar yang menangani Sektor Pengolahan Basah, Sektor Pengolahan Kering, dan Sektor Teknik. Mengingat luasnya jangkauan dalam menangani kebun plasma dan banyaknya subsektor di Bagian Pengolahan, setiap mandor besar dibantu oleh beberapa mandor. Mandor besar untuk Wilayah Kalibening dan Pandanarum dibantu oleh enam orang mandor, sedangkan mandor besar Wilayah Paninggaran dibantu oleh lima orang mandor. Sementara itu di Bagian Pengolahan terdapat sembilan mandor yang membantu para mandor besar. Diskipsi Struktur Organisasi Unit Produksi Kaliboja tersebut dapat dilihat dalam Gambar IV.2.
90
KEPALA UNIT PRODUKSI
KABAG. TANAMAN
KABAG. PENGOLAHAN PENGAWAS PENGOLAHAN
PENGAWAS TANAMAN KTU Mandor Besar Pengl Basah
Mdr Kend
Mandor Besar
Mandor Besar
Mdr Klb -VI
Mdr Png -V
Mdr Kbn Teh
Keterangan: Instruksional --------------- Koordinasi
JT Tan
JT Gdg
Staf Umum
JT Prod
JT Upah
JT Cont
JT Umum
Klb: Kalibening Gdg: Gudang Pgp: Pengepakan Png: paninggaran Prod: Produksi Pck: Pucuk Tan: Tanaman Pen: Penerima Ply: Pelayuan
Mdr Pen Pck
Mdr Ply
Mdr SB
SB: Sortasi Basah Bang: Bangunan Kbn: Kebun
Mandor Besar Pengl Kering
Mdr Pengr
Mdr SK
Mdr Pgp/ Muatan
Mandor Besar Teknik
Mdr Tehnik Bang
Mdr Tehnik Mesin
Mdr Tehnik Diesel
Ka Satpam
Mdr Rupa2
Pngr: Pengering JT: Juru Tulis Kend: Kendaraan SK: Sortasi Kering KTU: Kepala Tata Usaha Ka: Kepala Mdr: Mandor Pengl: Pengolahan Cont: Contoh
Gambar IV.2. Struktur Organisasi Unit Produksi Kaliboja
91
IV.2. Deskripsi Komunitas Perusahaan Inti IV.2.1. Budaya Komunitas Perusahaan Inti IV.2.1.1. Standarisasi Standarisasi Tenaga Kerja: Pendidikan Di Tingkat Manajerial Tenaga kerja yang berkemampuan dan berkapasitas sesuai dengan kebutuhan merupakan satu aspek penting dalam pengelolaan sebuah industri. Secara sistemik, pekerja di tingkat struktural PT Pagilaran berstandar pendidikan cukup tinggi dan semakin tinggi jabatan seseorang, ada kecenderungan semakin tinggi pula tingkat pendidikannya. Hal ini dapat dilihat di tabel IV.1.
Tabel IV.1.Tingkat Pendidikan Pekerja di Tingkat Struktural PT Pagilaran Nama Agus Supriyanto Mulyanto
Jabatan
Staf Produksi Kepala Bagian Pengolahan Martoyo Kepala Unit Tentrem Raharjo Kepala Unit Jatilawang Agus Riyadi Kepala Kebun Inti Batang Sunarsih Pemegang Kas Direksi Endang Bayu Manajer Produksi Lestari Rahayu Manajer Keuangan Harsoyo Manajer Litbang Sriyanto Waluyo Direktur Produksi Slamet Hartono Direktur Utama Mas Soedjono Mantan Dirut Sumber: Data primer Tahun 2005.
Tingkat Pendidikan S1 (UGM) Sarmud (UGM) S1 (UGM) S1 (UGM)
Status Kepegawaian Karyawan Karyawan
Lama Bekerja (th) 20 27
Karyawan Karyawan
19 20
S1 (UGM)
Karyawan
21
S1 (UGM) S1 (UGM) S2 (UGM) S2 (LN) S2 (UGM) S3 (UGM) S2 (UGM)
Karyawan Karyawan Bukan karyawan Bukan karyawan Bukan karyawan Bukan karyawan Bukan karyawan
20 25 2 6 11 2
Dari Tabel IV.I juga dapat dilihat bahwa lama masa kerja seseorang di PT Pagilaran sangat bervariasi mulai dua hingga 27 tahun. Namun jelas, Universitas
92
Gadjah Mada (UGM) memiliki pengaruh yang besar dalam struktur organisasi PT Pagilaran, seperti dijelaskan oleh Informan 12 sebagai berikut. ”Kalau direksi memang harus dari UGM. Manajer boleh dari luar UGM. Untuk manajer memang tidak ada keharusan dari mana. Manajer ini merupakan hak prerogatif direksi” (wawancara tanggal 2002-2006). Di tingkat struktur organisasi unit produksi, misalnya di unit produksi Kaliboja, tidak semua pekerja memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Tingkat pendidikan Strata Satu (S1) hanya dimiliki oleh Kepala Unit dan Kepala Bagian Pengolahan, sedangkan di tingkat pekerja produksi seperti mandor, juru tulis, dan beberapa staf lain, pendidikannya hanya SD, SMA atau bahkan lulusan SR (Sekolah Rakyat), seperti dikemukakan Informan 10 sebagai berikut. ”...tidak semua SDM baik, mungkin karena tingkat pendidikannya. Ada yang SD tidak tamat. Ada mandor yang pendidikannya SR. Ada juga yang muda-muda pendidikannya SLTA. Di sini paling banyak SLTP, SMA atau pertanian. Kalau yang pernah mengenyam perkuliahan jarang. Yang pernah di perguruan tinggi hanya Kepala Unit dan Kabag Pengolahan. Mandor, di pengolahan juga ada, pendidikannya SMA dan SD” (wawancara tanggal 01-122005). Meskipun di tingkat manajerial tidak ada keharusan bahwa manager berasal dari UGM, atau dikatakan bahwa penentuan manajer menjadi hak prerogatif direksi, kenyataannya semua pucuk pimpinan manajer dijabat oleh orang UGM. Hal ini diutarakan oleh Informan 7: ”... di Pagilaran top manajer kan dosen-dosen UGM.”. Pengaruh UGM menjadi cukup penting dalam penempatan dosen-dosennya sebagai pucuk pimpinan manajerial d PT Pagilaran. Hal ini, menurut Informan 2, disebabkan yayasan yang menaungi PT Pagilaran adalah Yayasan Pembina Fakultas
93
Pertanian UGM. Temasuk kegiatan di Litbang yang sekarang dipimpinnya, pada awalnya adalah untuk melayani penelitian Fakultas Pertanian UGM.
Di Tingkat Pekerja Produksi dan Kebun Standar tingkat pendidikan pekerja di bagian manajerial berbeda dengan standar pendidikan pekerja di bagian produksi. Sangat sedikit pekerja di bagian produksi yang memiliki pendidikan Strata Satu (S1). Hanya kepala unit di bagian produksi yang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kebanyakan pekerja di bagian produksi berpendidikan SD dan SMA (SMU), bahkan ada yang tidak lulus SR (Sekolah Rakyat, masa pendudukan Belanda). Rendahnya tingkat pendidikan di bagian produksi berdampak pada relasi kerja atasan dan bawahan. Hal ini dijelaskan oleh Informan 10 sebagai berikut. ”Misalnya ada karyawan yang membutuhkan instruksi keras. Mungkin sekali, dua kali jalan, tapi ada yang berkali-kali tidak jalan. Di sinilah kita harus membuat suasana itu tidak pukul rata. Tingkat mandor contohnya, ada mandor yang diberitahu sedikit bisa jalan, tapi ada mandor yang kalau tidak dibentak belum bisa menerima, mungkin belum tahu. Karena tidak semua SDM baik, mungkin karena tingkat pendidikannya. Ada yang SD tidak tamat. Ada mandor yang pendidikannya SR. Ada juga yang muda-muda pendidikannya SLTA. Di sini paling banyak SLTA; SMA atau pertanian. Kalau yang pernah mengenyam perkuliahan jarang. Yang pernah di PT hanya Kepala Unit dan Kabag Pengolahan. Mandor di pengolahan juga ada. Pendidikannya SMA dan SD”. (wawancara tanggal 01-12-2005). Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para mandor yang bekerja di PT Pagilaran dapat dilihat pada Tabel IV.2.
94
Tabel IV.2. Tingkat Pendidikan Mandor Nama Sukamto Tohir Sudarno
Jabatan Mandor Tanaman Wilayah Kertosari Mandor Pengarungan, Bagian Pengolahan Mandor Besar (Korwil Wilayah Kalibening) Mandor Besar (Korwil Paninggaran)
Slamet Karseno Abdul Mandor Tanaman Wilayah. Kaliboja Karim Sumber: Data Primer (2005).
Tingkat Pendidikan STM STM Teknik Bangunan STM Pertanian STM Pertanian SD
Standarisasi Operasional Kerja Standarisasi operasional kerja memuat aspek keteraturan kerja, disiplin, dan efisiensi. Ketiga hal ini menjadi satu rangkaian penting dalam sebuah mode budaya industrial. Keteraturan kerja menciptakan perilaku disiplin. Kedisiplinan kerja pada akhirnya menciptakan efisiensi kerja. Diharapkan ketiga hal ini bekerja secara berkesinambungan dan sistemik. Data menunjukkan bahwa komunitas perusahaan inti menanamkan nilai keteraturan kerja, disiplin, dan efisiensi serta memberlakukannya pada semua karyawan. Prinsip ritme kerja yang teratur dan sistemik menjadi standar pabrik yang harus ditaati. Perusahaan inti berharap adanya keteraturan dalam hal pemetikan dan penyetoran pucuk teh agar kualitas teh tidak rusak dan merugikan perusahaan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Informan 13: ”Tanaman teh itu kalau tidak ajeg metiknya, misalnya kadangkadang 10 hari, kadang-kadang 15 hari, itu menjadi rusak tanamannya. Harus rutin, sehingga produktivitas itu jauh dari harapan, sehingga pabrik jauh dari kapasitas. Pada dasarnya kita juga sudah menempuh
95
cara bagaimana agar produktivitas naik dan pasokan pucuk ke pabrik tidak jauh di bawah kapasitas, yaitu dengan memberi pinjaman pupuk, dan petani mengangsur lewat pemotongan pembayaran pucuk” (wawancara tanggal 17-02-2006). Pada persoalan kedisiplinan kerja, misalnya, pabrik memiliki aturan main yang baku dan diberlakukan tanpa pandang bulu terhadap semua karyawan. Artinya, aktor dalam komunitas perusahaan inti tidak akan melihat apakah karyawan tersebut, misalnya, masih berstatus famili atau keluarga dekat dari pejabat lokal setempat. Hal tersebut tertangkap dari pernyataan Informan 10 sebagai berikut. ”Prinsip saya, saya tidak pernah melihat siapa orang itu. Dalam arti, anaknya siapa, kaya atau miskin, famili atau tidak, sehingga saya lihat yang terkait dengan pekerjaan, misalnya hasil pekerjaan itu bagaimana, dengan atasannya bagaimana. Atasannya kan mandor. Jadi saya menyoroti karyawan terkait dengan kedinasan. Saya tidak pernah membuat keputusan dengan melhat selain pekerjaan, misalnya apakah dia anak pejabat desa. Karena yang pernah saya alami/lakukan, meskipun anaknya Pak Lurah, kalau dia tidak bener ya harus ditegur. Prinsip-prinsip pekerjaan yang saya utamakan . Di sini ada anak buah yang kaya, karena atasannya saya, saya menempatkan diri sebagai atasan. Dia misalnya salah, meskipun familinya lurah, saya tidak pandang bulu”(wawancara tanggal 01-12-2005). Efisiensi kerja juga menjadi tuntutan perusahaan inti. Hal ini tampak pada keberatan beberapa orang di pihak perusahaan yang dengan alasan inefisiensi menolak usulan kebijakan peminjaman truk bagi petani untuk kegiatan sosial. Padahal menurut mandor yang lebih banyak berhubungan dengan petani, kebijakan meminjamkan truk kepada petani untuk kegiatan sosial sebenarnya bisa menumbuhkan loyalitas terhadap pabrik. Pernyataan ini dikemukakan oleh Informan 11 sebagai berikut.: ”Ada orang dalam yang tidak setuju pemberian pinjaman truk ke petani karena dianggap hura-hura, pemborosan, kurang menghemat. 96
Padahal dengan cara ini meskipun harga rendah, pembayaran pucuk kurang lancar, petani tetap loyal ke pabrik (wawancara tanggal 25-112005). Masalah kedisiplinan kerja diupayakan diterapkan pada petani plasma agar pabrik dapat mencapai target yang ditetapkan. Dalam hal ini mandor menilai bahwa ritme kerja petani sudah termasuk cukup disiplin sesuai yang diharapkan perusahaan. Informan 16 mengungkapkan penilaiannya tentang kedisiplinan petani ini sebagai berikut. “Kalau bangun tidur, langsung pergi ke kebun ambil rumput. Jam 8-9 pulang sarapan pagi. Lalu berangkat ke kebun, kebun teh atau kebun lain, misalnya kebun sayuran. Jam 4 sore, ada yang ambil rumput lagi, ada yang ambil kayu bakar untuk masak. Kalau ibu-ibu metik teh jam 7.30 - jam 4 sore. Ada pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Kalau ibunya metik teh, bapaknya mengerjakan pekerjaan, seperti mencangkul, mengambil rumput, atau menyiangi. Sore, ibu masak untuk makan sore. Habis sholat Isya, makan. Kemudian istirahat, nonton TV. Sekitar jam 9 atau 10 malam tidur. Bangun lagi antara jam 5-6 pagi. Dengan irama kerja demikian petani termasuk disiplin” (wawancara tanggal 23-11-2005). Standarisasi Hasil Produksi Standar kualitas bahan baku Pada tingkat produksi, standarisasi dapat dilihat melalui dua hal, yaitu tuntutan standar kualitas bahan baku, dalam hal ini pucuk teh, dan standar target tahunan.
Adanya
standar
baku
teh
dimaksudkan
agar
secara
ekonomis
menguntungkan perusahaan. Kualitas teh yang baik juga ditentukan beberapa faktor penting seperti kualitas pucuk yang bagus dan proses transportasi yang tepat. Hal ini tercermin dari ungkapan Informan 10 berikut ini.
97
”... diberi tanggungjawab penuh untuk membuat produk yang dikeluarkan memenuhi standar baku produk, sehingga secara ekonomis menguntungkan perusahaan. Tuntutan kualitas di bagian pabrik terkait dengan kualitas di bagian tanaman. Misalnya kualitas pucuk yang diterima tidak baik, tidak mungkin mendapatkan produk jadi dengan kualitas baik. Kalau pucuk dari kebun baik, maka hasil pengolahan juga akan baik. Pengolahan itu sudah diatur sedemikian supaya hasilnya bagus. Pucuk juga ditentukan kualitasnya oleh transportasi. Transportasi memegang peran, misal di kebun bagus, tapi transportasi amburadul, sampai sini sudah rusak. Mengisinya di karung atau truk berlebihan, juga rusak” (wawancara tanggal 01-12-2005). Standar Pencapaian Target Standar target tahunan adalah kebutuhan pabrik untuk mendapat kuantitas teh dalam jumlah tertentu. Hal ini penting, sehingga untuk mencapainya diperlukan sinergi dan kerjasama saling menguntungkan antara pabrik dan petani. Para karyawan akan mendapat insentif bila berhasil mengumpulkan pucuk teh dalam jumlah tertentu. Hal ini diungkapkan oleh Informan 7 sebagai berikut. ”Ambisi-ambisi kalau yang di bagian tanaman adalah bagaimana mendapat target tahunan. Kuantitas ditentukan setahun empat juta ton pucuk. Jadi dari lapangan itu ditarget. Itu nanti di break per bulan berapa. Ini merupakan pull factor bagi petugas lapangan. Nanti dari lapangan luasnya berapa, nanti kontribusinya di sini berapa. Jadi pull factornya adalah target tahunan bagi petugas lapangan. Ada premi produksi, bila tercapai 4 juta ton. Nanti dibagikan ke petuga lapangan. Karena di sini kolektif sinergi tadi ya pembagiannya secara proporsional. Proporsional. Ini karena mereka memelihara hubungan dengan petani”(wawancara tanggal 09-12-2005). Pemahaman mengenai target juga diterapkan pada bagian produksi, khususnya mandor. Posisi mandor penting karena sebagai agen yang menjembatani perusahaan dengan petani, khususnya dalam penjualan pucuk teh. Pernyataan Informan 6 berikut mencerminkan hal tersebut. ”Ditarget untuk 17 ha di Tenogo, tahun 2005 per bulannya 67 kg x 26 hari. Saya sebetulnya membuat target tidak berdasar luasan,
98
tapi realisasi produksi tahun lalu. Misalnya realisasi 2004 adalah satu ton. Kalau berdasar luasan, untuk satu ha itu sekitar tujuh kw. Jadi sebulan seluruhnya 3,3 ton. Yang lebih parah daerah Linduaji, tidak bisa masuk sama sekali, tapi mandornya tetap ditarget, supaya punya tanggungjawab. Untuk 12 ha ditarget 390 kg per bulannya, jadi perhari 15 kg” (wawancara tanggal 21-11-2005).
IV.2.1.2. Orientasi Orientasi Ekonomi di Semua Tingkat Kehidupan Nilai ekonomi dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan para anggota komunitas perusahaan inti. Baik di tingkat kehidupan mereka sebagai pekerja di PT Pagilaran, maupun di tingkat kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat yang berkeluarga. Di tingkat kehidupan mereka sebagai pekerja, ada anggapan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan haruslah memberi nilai profit atau menguntungkan perusahaan. Selain itu, salah satu tujuan orang bekerja adalah untuk mencari nafkah, seperti dikemukakan Informan 17 sebagai berikut. ’Kecenderungan orang perusahaan adalah berorientasi pada keberhasilan. Misalnya dalam menghadapi tantangan lahirnya PIR, maka tetap bertekad bahwa PIR harus berhasil terwujud. Selain itu orang perusahaan, orientasi bekerjanya adalah untuk mencari nafkah”. (wawancara tgl 16-01-2006). Nilai ekonomi ini tidak saja dimiliki oleh komunitas perusahaan ini namun juga ”ditanamkan” pada petani dengan mengatasnamakan kesejahteraan. Hal ini terlihat pada keinginan perusahaan untuk menjadikan para petani plasma menjadi lebih sejahtera secara finansial melalui program kemitraan. Ukuran kesejahteraan petani menurut perusahaan inti adalah pada pemilikan lahan dan barang material atau
99
peningkatan ekonomi melalui diversifikasi usaha. Informan 17 dan Informan 36 menuturkan hal itu sebagai berikut. ”Yang di daerah Batang, petani yang ikut PIR itu sekarang kaya. Karena dulu tanamannya jagung. Sekarang di Mojotengah itu petani yang berhasil punya mobil, seperti Pak Surahman yang lahannya berpuluh-puluh ha. Rumahnya bagus-bagus” (Informan 17, wawancara tanggal 16-01-2006). ”Kalau di Batang, petani kesejahteraannya lebih meningkat. Dengan menanam teh kan dia setiap minggu sekali atau dua minggu sekali mendapatkan uang. Tapi kalau jagung enam bulan baru mendapat uang. Ini kan berpengaruh sekali terhadap aktivitas keseharian, sehingga kalau dengan teh, rencana kegiatan rumah tangga kan bisa diatur. Selain itu juga muncul usaha ternak, serta kegiatan ekonomi yang lain, seperti buka warung. Ya tidak100% karena menjadi plasma. Hanya dengan menjadi plasma itu kemudian mereka menjadi punya kegiatan banyak, bisa punya hubungan dengan orang luar. Tapi mesinnya disulut karena adanya proyek” (Informan 36, wawancara tanggal 20-01-2006). Dengan demikian, dimensi untung rugi menjadi hal utama dalam melakukan pekerjaan, termasuk memperhitungkan budidaya teh sebagai komoditi yang cukup diperhitungkan. Ungkapan dari Informan 15 berikut ini menunjukkan hal tersebut. ”Penambahan lahan itu dengan membeli bibit secara swadaya yang dilakukan oleh petani plasma baru. Ada yang jual sawah untuk beli kebun teh, diperhitungkan secara bisnis lumayan teh. Tapi sekarang dengan harga sekian, subsidi dan obat-obatan dicabut. Kebutuhan seharihari saja meningkat. Kalau dulu harga 1 kg teh sama dengan 1 kg pupuk, maka teh menjadi andalan” (wawancara tanggal 24-11-2005). Adanya nilai ekonomis yang berkembang pada petani ini menurut mandor memunculkan persaingan antarpetani teh. Persaingan ini menurut mandor terjadi sejak program PIR diberlakukan. Seorang mandor mengungkapkan hal tersebut dengan pernyataan sebagai berikut.
100
”Sekarang petani perkembangannya bersaing positif. Kalau lingkungan di desa, pengaruh tanaman teh kuat, maka petani akan bersaing dalam pemeliharaan tanaman teh. Tanaman teh bisa untuk nutup kebutuhan harian. Produktivitas tinggi akhirnya hasilnya tinggi. Kalau petani yang satu dan yang lain memiliki lahan yang sama, tapi pengelolaannya berbeda, maka hasilnya juga akan berbeda. Pucuk muda banyak kalau pengelolaannya bagus. Sebelum ada tanaman teh, persaingan belum terjadi”. (Informan 14, wawancara tanggal 19-112005). Orientasi Waktu Dalam aspek hidup yang terkait dengan waktu, ada kecenderungan bahwa orang perusahaan banyak yang berorientasi ke masa depan. Artinya, ada persiapan untuk hidup ke depan, seperti tabungan untuk masa depan anak. Hal ini berbeda dengan gaya hidup karyawan Kebun Inti Pagilaran yang lebih berorientasi ke asa kini. Gaya hidup ini tampak berbeda antara karyawan yang sejak awal terjun di kebun plasma dan keryawan yang mutasi dari kebun inti. Tentang orientasi masa depan dari karyawan perusahaan inti tersebut diperjelas oleh keterangan Informan 33 berikut. “Kehidupan orang-orang perusahaan cenderung mikir masa depan. Kalau petani cenderung mikir hari ini. Cenderung mikir ke masa depan, misalnya dengan mengadakan studi banding ke Bandung. Itu kan diberi masukan-masukan bagaimana nanti pabrik bisa maju ke depan. Bagaimana ke depannya berarti tergantung pada perusahaan. Perusahaan tergantung pada petani bagaimana cara perawatan pucuk teh. Perusahaan ka harus memikirkan kesejahteraan petani, nanti petani bisa mengerjakan kebunnya bagus. Otomatis perusahaan bisa meningkatkan kesejahteraan itu. Kalau bangkrut kan kasihan juga para petani” (wawancara tanggal 17-11-2005). Orientasi ke masa depan dari karyawan perusahaan ini, dilakukan umumnya dengan mempersiapkan kebutuhan yang akan datang, misalnya dengan cara menabung yang dikatakan oleh Informan 8 sebagai pemberian fondasi bagi anakanaknya:
101
“….kalau saya bagaimana untuk masa depan. Artinya untuk masa depan itu harus ada porsinya berapa, kita siapkan. Jadi kebutuhan minimalnya untuk masa depan kita siapkan. Kalau saya saving untuk masa depan. Artinya bahwa masa depan itu bisa didukung. Ini saya persiapkan. Jadi lebih baik saya nata untuk masa depan daripada saya nikmati sekarang. Jadi saya cenderung bagaimana tanggungjawab saya sebagai orang. Ini harus mempersiapkan untuk anak-anak saya, saya berikan fondasi, sehingga aman ke depan. Orang sini tidak sama seperti saya. Orang perusahaan banyak yang masa kini karena mereka menikmati hidup dengan spkulasi. Ada yang saiki ana ya dimakan. Besok mbuh. Mereka menikmati hidupnya dengan spekulasi. Kalau ada petani yang memelihara tradisi, bukan berarti orientasi ke masa lalu, mereka juga berorientasi ke masa depan. Katakanlah kalau memelihara tradisi itu bukan berarti orientasi ke masa lalu, tapi menurut saya itu berorientasi ke masa depan. Karena mereka memerlukan keseimbangan spiritual. Katakan saya melakukan bersih desa, melakukan ritual di desa, ini kan bertujuan supaya besok ke depannya selamat. Itu pendapat saya. Karena bersih bumi, ruwat bumi kan tujuannya supaya ke depan tidak ada hambatan. Ini kan ibarat saya melewati jalan ini, maka ini harus kita amankan dengan bersih desa, dengan selamatan. Ini kan seperti mempersiapkan jalan yang akan dilalui. Menurut saya, mereka berorientasi ke depan. Kaitannya ini dengan spiritual tadi. Sejak awal saya tidak di kebun, saya kerja langsung di lapangan. Tapi lain kalau bekerja di kebun. Petugas-petugas yang pindahan dari Batang, seperti enklave, akan terlihat dari gaya hidupnya. Saya tidak bergeser ke sana. Mungkin karena saya di tengah masyarakat, jadi punya cara pandang sendiri” (wawancara tanggal 09-12-2005). Sebagian besar karyawan yang memiliki orientasi waktu ke masa depan umumnya memiliki ketrampilan mengelola keluarganya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Informan 20 berikut ini. “Perjalanan keluarga saya memang saya manajemen. Setelah anak-anak selesai sekolah, saya ingin cari terobosan lagi di bidang pertanian, selain teh. Kalau teh memang sudah pokok ya. Kita lari ke cabe, karena semurah-murahnya cabe kan 2000 per kg. Dibanding teh kan jauh. Di sini yang punya pemikiran petani maju seperti ini ya tidak banyak, 40% lah. Sekarang itu orang sudah berani lahannya itu ditanami pohon pinus. Harapannya dalam jangka 15 tahun, hasilnya segini dibandingkan dengan tanaman jagung dan sebagainya” (wawancara tanggal 06-12-2005). 102
Bagi karyawan perusahaan yang memiliki orientasi hidup ke masa depan, perjalanan usia menjadi sangat penting. Hal ini tampak dari perhatian mereka terhadap perjalanan kehidupan keluarganya yang direncanakan dengan baik:: “Setela saya hitung-hitung, umur saya sekarang 50, 15 tahun lagi saya 65 tahun, kalau saya masih hidup, pohon pinus sudah tinggi, saya naik haji. Karena saya sudah memperhitungkan anak sudah selesai. Anak yang baru kelas 2 SMA nanti yang dua orang itu saya suruh mikul kuliahnya. Saya tak ngumpul-ngumpul untuk itu. Mudah-mudahan ramalan saya dikabulkan”.(20) “Bekerja untuk masa depan keturunan saya. Kalau bisa anak saya sekolah, bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Petani biasanya sehari kerja untuk hidup. Buruh tani hanya 7500 rupiah, mana bisa untuk yang lain. Ada juga pekerja tani yang mengatur pekerjaannya. Ada yang rajin supaya dipakai terus. Ada yang mung waton kerja sedina, dari pagi jam 8 nganti sore jam 4. Tapi ada juga petani yang kerja sing bener. Ada petani yang berpikir “sing methik sing bener, mengko yen pabrike bangkrut, melu rugi”. Tapi ada petani yang berpiki “sing penting nyong oleh akeh, wong borongan”. Kalau ada pemikiran seperti itu, kalau aada petugas ya tidak bisa. Di TPH sendiri diseleksi, “yen kasar ra tak gawa”. Jadi yang tidak layak olah tidak dibawa (Informan 22, wawancara tanggal 22-11-2005). Menurut Informan 22, orientasi hidup ke masa depan pada umumnya dimiliki oleh mereka yang biasa ke luar desa, artinya banyak berinteraksi dengan kehidupan komunitas di luar komunitas mereka. “Orang-orang yang brutal, yang senang main, minum. Kalau orang yang memikirkan masa depan adalah orang tua dan yang biasa keluar desa” (wawancara tanggal 22-11-2005).
IV.2.1.3 Relasi Kuasa Sebagai Simbol Maskulinitas Adanya
hubungan
struktural
yang
sistemik
dalam
perusahaan
inti
menyebabkan munculnya relasi kuasa yang terjadi di dalam komunitas perusahaan. 103
Relasi kuasa ini secara otomatis menjadi semacam sistem kontrol dalam relasi organisasi perusahaan inti. Salah satu bentuk relasi kuasa yang terjadi adalah pemberian sanksi terhadap bawahan dengan beberapa cara. Misalnya dengan pemberian Surat Peringatan (SP). Bentuk komunikasi lisan seperti teguran sampai bentakan juga menjadi contoh sanksi yang diberikan oleh atasan terhadap bawahan dalam sebuah unit tertentu.
Sistem Kontrol Secara Struktural dalam Perusahaan Inti Relasi kuasa yang terdapat di perusahaan inti dapat dilihat dari hubungan yang terjadi secara struktural dari suatu bagian yang lebih rendah ke bagian yang lebih tinggi. Pemberian SP adalah salah satu contoh dari kontrol secara struktural, karena hanya pekerja dengan jabatan tertentu yang bisa memberikan SP. Ungkapan Informan 8 berikut menggambarkan hal itu. ”Sesama karyawan kalau ada yang melanggar peraturan, ya ‘sesama bis kota saling melirik’, tapi masih kita beri pendekatan personal. Saya punya banyak SP 1 (Surat Peringatan 1) , SP 2 (Surat Peringatan 2), SP (Surat Peringatan 3). Kalau sudah SP 3 ini sudah melanggar garis aturan perusahaan. Katakan sebagai petugas lapangan, sini butuh produksi, kok malah menjual ke luar, kan sudah kontraproduktif. Ya kita pendekatan dulu. “Ini ada perangkatperangkat SP 1, SP 2, SP 3, apakah kamu mau saya kasih SP 1, kalau kamu mau ya mangga, saya buatkan”. Kalau SP 1 tidak mempan, ya SP 2. Semakin meningkat. Artinya kok hal yang sama sudah lampu hijau, kok lampu kuning masih jalan. SP 3 itu lampu merah. Baru peringatan biasanya mereka sudah pikir-pikir. Kalau sudah SP 1 dilihat, apakah mereka masih keluar rel atau tidak. Ada catatan merah di kantor direksi. Ini kan dibuat tembusannya di kantor direksi. Kalau sudah SP 3 keputusan sudah di direksi karena itu tanggungjawab direksi. Jadi untuk SP 3, kepala unit Cuma merekomendasikan ke direksi. Baru direksi nanti yang memutuskan. Kalau harian sepenuhnya sudah merupakan kewenangan unit. Demikian pla perekrutannya” (wawancara tanggal 09-12-2005). 104
Namun ada perbedaan dalam melakukan kontrol di perusahaan inti, di pabrik, dan di kebun. Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda antara pekerjaan yang dilakukan di pabrik dan pekerjaan yang dilakukan di kebun.
Sistem Kontrol Terhadap Petani Plasma Perusahaan inti, dalam hal ini PT Pagilaran tergantung pada setoran pucuk dari petani. Mereka mengharapkan loyalitas petani plasma binaan mereka dalam memberikan setoran. Masalahnya, petani sendiri menurut perusahaan inti tidak cukup loyal dalam menyetor pucuk teh. Mereka juga kadang menyetor untuk pihak luar. Dalam hal ini perusahaan inti mengalami dilema.
Peran Mandor sebagai Fungsi Kontrol Perusahaan Inti Terhadap Petani Mandor merupakan satu jabatan yang ada di dalam struktur organisasi perusahaan inti. Dalam struktur organisasi, posisi mandor diletakkan pada posisi unit produksi. Secara umum terdapat dua jenis mandor, yaitu pertama, mandor yang mengepalai beberapa unit jabatan mandor di bawahnya, yang disebut Mandor Besar dan kedua adalah para mandor yang menjadi anak buah dari Mandor Besar dan memiliki jabatan tertentu, misalnya mandor penerimaan pucuk. Secara struktural para Mandor Besar terbagi menjadi dua bidang kerja dan bertanggung jawab pada masingmasing pengawas di bidangnya. Pertama adalah mandor yang berada pada struktur di bawah Kepala Bagian Tanaman dan bertanggungjawab pada Pengawas Tanaman. Kedua adalah mandor yang berada pada struktur di bawah Kepala Bagian Pengolahan dan bertanggungjawab pada Pengawas Pengolahan. Di bagian tanaman terdapat dua 105
Mandor Besar dan empat mandor lain. Di bagian pengolahan terdapat tiga mandor besar, yakni Mandor Besar Pengolahan Basah, Mandor Besar Pengolahan Kering, dan Mandor Teknik. Di bawah ketiga mandor terdapat sembilan mandor yang membidangi sembilan posisi. Kadang-kadang para mandor juga disebut sebagai petugas lapangan oleh perusahaan inti, meskipun sebenarnya ada petugas lapangan lain yang bukan mandor (bukan karyawan dari PT Pagilaran), melainkan dari Dinas Pertanian atau Dinas Perkebunan (biasa disebut PL Pertanian atau PL Perkebunan). Dalam bekerja menjalin hubungan dengan petani, para mandor diberi tugas mengelola sebuah wilayah kerja. Besarnya wilayah setiap mandor berbeda, yang penentuannya didasarkan atas tradisi Jawa tepa slira atau saling pengertian di antara mereka. Biasanya seorang mandor besar menguasai beberapa desa dengan dibantu oleh beberapa mandor. Pernyataan informan berikut menggambarkan hal itu. “Saya membawahi 11 desa dibantu lima mandor. Ada mandor yang menangani tiga desa, ada yang hanya satu desa. Seperti Pak Marwoto, tiga desa. Pak Karim, satu desa karena tidak punya kendaraan. Pemberian beban wilayah menggunakan tepa-slira. Ada yang dapat satu desa, tapi termasuk luas (111 ha). Pak Ro’yat dapat Kaliombo dan Botosari yang luasnya 56 ha, dia tidak dapat naik motor tapi fisiknya kuat. Ada yang tiga desa tapi masih muda, punya kendaraan, dan orangnya cekat-ceket. Kalau ada kegiatan langsung koordinasi. Koordinator wilayah kalau mau mengganti mandor juga konsultasi Kepala Unit, tapi mandor yang mau diserahi tugas juga ditanya dulu, “Kowe tak tambahi bisa ora?”. Pembagian wilayah ini merupakan kewenangan korwil tapi harus konsultasi dengan Kepala Unit. Supaya tidak menjadi masalah. Di Desa Lomeneng, mandornya orang lokal, karena kecemburuan sosial, ada yang kemudian menjadi pengepul untuk menjual ke luar. Dia mau berhenti menjual ke luar asal mandornya bukan itu. Kalau Mas Toni itu giat. di Paninggaran itu banyak kebun yang terlantar. Akhirnya petani dihubungi, kebun yang sudah tidak digarap oleh petani, dikontrak, sehingga produksinya bisa masuk. Pemetiknya pakai regu petik yang diangkut dengan truk.
106
Syarat untuk menjadi mandor adalah loyal, mau bekerja, dan bisa bermasyarakat” (Informan 6, wawancara tanggal 21-11-2005). Mandor berasal dari orang setempat (tempat program PIR/kemitraan tersebut dilakukan) dan biasanya mereka juga petani, namun dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi Pengambilan mandor dari masyarakat setempat ini menurut perusahaan inti lebih menguntungkan dalam proses relasi dengan masyarakat setempat karena pertama, para mandor juga anggota masyarakat yang pasti mengenali karakter dan budaya masyarakatnya; kedua, para mandor sudah memiliki kerangka berpikir sebagai petani. Dengan demikian diharapkan proses komunikasi kepada petani lain di daerah tersebut lebih mudah dilakukan. Cerminan kenyataan tersebut sebagaimana diungkapkan oleh informan di bawah ini. ”Kebanyakan petugas lapangan itu orang lokal, orang setempat, yakni yang berpendidikan yang punya kemampuan. Ini yang kita rekrut. Jadi dulu pada waktu awal proyek kan butuh tenaga yang cukup banyak untuk pembimbingan petani. Di masing-masing desa ada satu petugas lapangan. Tapi itu kan sifatnya bantuan teknis dari inti. Setelah konstruksi selesai, mereka ditarik lagi ke Pagilaran. Awal membimbing dari tanam sampai petik. Setelah itu dikurangi. Dulu ada kira-kira 35-an mandor. Sekarang tinggal 10-15 mandor. Yang masih tersisa itu terlihat signifikan bahwa orang-orang setempat berhasil dalam pendekatan. Kalau yang saya amati, orang-orang yang tidak dari sini untuk masuk ke dalam masih ada hambatan. Keberhasilan mandor antara yang di Paninggaran dan Kalibening memang lain. Yang di Paninggaran kebanyakan kan mandor baru, kalau yang di Kalibening, lokal, setempat semua. Mandor yang di Paninggaran itu tidak bertempat tinggal di masing-masing desa. Semacam dilajo. Kalau yang di Kalibening, 24 jam tinggal di desa. Waktunya lebih banyak untuk kontak. Kesempatan kontak lebih banyak. Keadaan ini tidak disengaja dalam kaitannya dengan penempatan. Signifikan itu jadi kalau mereka sudah mindfulness, maka mereka akan bisa berbicara dalam perspektif petani. Di samping itu juga karena mereka punya kebun sendiri. Petugas juga merasakan mengenai harga, kesulitan pemeliharaan, kesulitan untuk memutar modal. Jadi petugas lapangan itu tidak saja secara teori, tapi secara praktek juga melakukannya di kebun sendiri. 107
Mereka bisa bertindak sebagai petani. Mereka bisa memposisikan sebagai pembina petani teh, dan bisa juga sebagai petani. Karena sudah mengalami semua. Terlibatnya full dalam kehidupan petani. Petugas sebagai jembatan komunikasi antara petani dan perusahaan, dalam hal ini adalah direksi. Jadi di satu pihak, direksi Pagilaran, di lain pihak adalah petani. Yang di unit ini menjadi jembatan dua arah. Kalau sudah mindfulness, komunikasinya terjamin efektif. Dengan demikian sudah dapat memprediksi perilaku petani, cuma kadangkadang ada berbeda kepentingan, maka yang diharapkan tidak bisa diakomodir” (Informan 7, wawancara tanggal. 09-12-2005). Meskipun berasal dari warga setempat (tempat diberlakukannya program PIR/Kemitraan tersebut), namun perusahaan juga memberlakukan standar pendidikan yang cukup untuk seorang mandor. Namun dalam teknik berkomunikasi diakui bahwa perusahaan inti tidak pernah membekali mandor dengan sejenis kursus atau pelatihan mengenai hal itu. Informan 3 memperjelas mengenai hal itu dengan pernyataan di bawah ini. ”Mandor-mandor itu kan banyak yang berasal dari sekitar PIR, sehingga dari sisi budaya tidak berbeda jauh dengan petani, sehingga bisa menjadi penghubung. Mereka juga sudah biasa berkomunikasi dengan budaya perusahaan. Memang waktu itu diprioritaskan untuk mengambil mandor setempat. Pertimbangannya adalah untuk memudahkan komunikasi. Tapi diambil yang berpendidikan, tapi barangkali waktu itu belum terpikirkan sebagai suatu strategi. Baik mandor lama maupun yang baru itu belum dibekali dengan teknikteknik komunikasi yang baik dengan masyarakat lokal” (wawancara tanggal 19-04-2006). Informan 3 pun mengakui bahwa yang penting dalam relasi antara perusahaan inti dan petani adalah menjaga kesinambungan antara keduanya: ”Sekarang yang penting adalah menjaga agar petani tetap mau menjual pucuk ke pabrik. Karena awalnya pabrik-pabrik itu dibangun dengan asumsi pasokannya dapat terpenuhi dari areal kebun, supaya tetap efisien. Karena kalau tidak efisien akan menjadi lingkaran setan. Biaya operasional tinggi, mau tidak mau jadi ada penekanan biaya produksi, harga pucuk menjadi tidak kompetitif. Dengan harga yang
108
tidak kompetitif harus melakukan pendekatan non teknis yang bisa menyulitkan petugas lapangan” (wawancara tanggal 19-04-2006). Dari struktur organisasi perusahaan inti, hanya mandor yang berhubungan langsung dan berkomunikasi dengan petani plasma, sedangkan aktor perusahaan inti lain yang menempati posisi manajerial jarang berhubungan dengan mereka (petani plasma). Mandor Sebagai ”Key Person”Perusahaan Inti Mandor memiliki posisi yang agak berbeda dengan anggota masyarakat sekitarnya. Hal ini disebabkan mereka memiliki posisi di PT Pagilaran. Posisi ini juga menyebabkan mereka “ditarik” untuk terlibat di berbagai kegiatan sebagai panitia. Relasi mandor dengan masyarakat sekitar menjadi penting karena relasi mereka dengan petani menentukan kuantitas pucuk teh yang disetor kepada perusahaan inti. Perusahaan inti juga mengakui bahwa hubungan yang buruk antara mandor dan petani menyebabkan setoran pucuk teh berkurang, sehingga pabrik mengalami kerugian di tingkat produksinya. Dengan menempatkan mandor sebagai ”key person” diharapkan petani akan selalu loyal kepada perusahaan inti (PT Pagilaran). Informan 8 memberikan pernyataan tentang hal tersebut seperti berikut. “Kalau yang jelas mandor itu jadi key person di desa. Jadi petugas lapangan kami tidak ada yang tidak jadi petugas waktu pemilu. Semua terlibat. Jadi pemilu dan pilkades, biasanya petugas kami jadi panitia, dari guru dan dari unsur petugas lapangan kami. Jadi dipandang bahwa petugas lapangan mempunyai nilai plus dibandingkan orang di desa. Katakanlah nilai plus administrasi dan nilai plus karena sering berhubungan dengan birokrat-birokrat, maka ini dimanfaatkan. Mereka ditunjuk karena kemampuannya. Artinya bahwa ini orang pabrik bertugas di lapangan, punya kelebihan daripada masyarakat, sehingga jadi panitia di masing-masing desa.
109
Mereka ditunjuk karena kedudukannya sebagai orang pabrik dan mampu. Yang terutama adalah kemampuannya. Di samping, petugas lapangan juga sering menjadi panitia proyek-proyek di desa, seperti air bersih. Mereka menjadi fasiltator atau pengawas. Kalau ada pembangunan jalan, mereka mampu menghitung, menganalisis. Jadi ini merupakan pekerjaan di luar perusahaan, tapi bisa dilaksanakan bersama. Mereka jalan dan mereka melapor kalau ada beban. Mereka memberitahu. Ini justru merupakan kesempatan untuk berinteraksi. Karena kita butuh petani. Di unit-unit lain yang mengalami hang dengan petani, produksinya fatal. Jadi Kaliboja dan Jatilawang yang produksinya mantap, karena masih punya hubungan baik dengan petani. Saya bisa mengklaim begitu karena Sidoharo kemarin berantakan, tidak dapat pucuk. Jadi saya tetap mempertahankan hubungan dengan petani lewat kelompok dan petugas lapangan dari pabrik. Mereka akan berinteraksi. Jangan sampai putus. Artinya “anda sebagai petugas teh, jangan hanya cerita soal teh, tapi cerita sapi, cerita ikan”. Yang inti adalah teh, tapi ini sebagai pendukung kekuatan, sehingga tidak putus. Ini kunci saya, sehingga kami masih terdukung produksinya. Jadi jalan bersama, kami butuh produksi, anda juga butuh dukungan masyarakat. Jadi ini sebagai jembatan. Dari segi perusahaan, butuh produksi pucuk. Dari segi kebutuhan pucuk, butuh petani. Dan toh jalan dan lancar. Jadi lebih ke pendekatan pribadi. Jadi kalau pribadi, maka kalau mau menggak-menggok itu sudah rikuh. Nah itu yang kita rekatkan jangan sampai lepas. Wong Jowo itu digoleke rikuhe. Ternyata kami juga berhasil. Pemeliharaan hubungan harus terjaga” (wawancara tanggal 09-12-2005). Mandor menjembatani relasi perusahaan inti dengan petani plasma Perusahaan inti menganggap bahwa untuk berkomunikasi dengan petani dalam hal program kemitraan sebagai lanjutan dari program PIR membutuhkan strategi tersendiri. Perusahaan inti dalam hal ini menyerahkan dan memberi kepercayaan sepenuhnya kepada mandor untuk melakukan strategi komunikasi pada petani plasma. Posisi mandor dianggap tepat sebagai upaya menjembatani komunikasi antara perusahaan inti dan petani, karena mereka sendiri semula adalah petani di daerahnya. Sebagai warga masyarakat, para mandor mengetahui dengan jelas kebiasaan, adat, dan tradisi setempat sehingga mereka dengan mudah melebur
110
ke dalam kehidupan sosial masyarakat di wilayah tersebut. Para mandor dalam hal ini terbiasa dengan tradisi setempat dan mudah bagi mereka untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan dan membina relasi dengan para tokoh masyarakat setempat. Dalam hal ini bisa disimak pernyataan yang disampaikan oleh Informan 7 sebagai berikut. ”Petugas lapangan dalam melakukan approach ke masyarakat, melihat kuncinya di mana sih, yaitu dengan mendekati tokoh-tokoh masyarakat. Dengan melihat siapa yang berpengaruh di situ. Dengan melihat tokoh-tokoh, lewatnya di situ. Jadi ada dua jalur, formal dan informal. Dua-duanya dilaksanakan. Jadi efektifnya memang langsung. Tapi untuk mendekatkan pada kunci-kuncinya itu, ya semacam rekomendasi masuk ke suatu tempat kan lewat tokohtokohnya itu. Dan petugas lapangan sudah dilepas untuk mengatur strateginya”. (wawancara tanggal 09-12-2005).
IV.2.2. Perilaku Komunikasi Komunitas Perusahaan Inti IV.2.2.1. Persepsi Perusahaan Inti terhadap Proyek PIR dan Kemitraan Proyek PIR dalam persepsi orang Pagilaran adalah sebagai program pembangunan
yang
bersifat
top-down.
Program
ini
dilaksanakan
untuk
menyempurnakan program sebelumnya, yaitu PRPTE. Dalam PRPTE, pemerintah melalui BRI hanya memberi bantuan bibit dan kredit, sehingga tidak ada unsur pembinaan tentang cara tanam teh dan pasca tanam. Tidak adanya pembinaan ini yang menyebabkan progran PRPTE kurang berhasil, karena teh merupakan komoditas yang perlu perlakuan khusus, tidak seperti komoditas lainnya, seperti kelapa. Sebagai penyempurnaan dari program sebelumnya, di dalam program PIR ada aspek transfer teknologi dan bantuan dari pemerintah untuk membangun kebun
111
sebagaimana kebun inti. Selain itu juga ada komponen Bank yang berfungsi untuk menyalurkan kredit dan menampung angsuran kredit petani. Menurut Informan 9, PIR sebagai program pembangunan merupakan upaya untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Masyarakat miskin terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Mereka memiliki produktivitas yang rendah, sehingga harus dihilangkan dengan skill agar mencapai produksi yang tinggi. Oleh karena itu harus ada transfer teknologi dan pembinaan. “Ada transfer teknologi dan bantuan modal dari pemerintah untuk membangun kebun yang sebaik kebun inti. Ada lembaga bank yang masuk, karena bank itu nantinya menampung setoran dari petani untuk membayar hutangnya. Ada lingkaran setan kemiskinan. Ada produktivitas yang rendah. Produktivitas rendah itu harus dihilangkan dengan skill, sehingga produksinya tinggi” (wawancara tanggal 11-012006). Selain adanya transfer teknologi dan pembinaan, di dalam program ini juga ada penerimaan kredit dari pemerintah. Penerimaan kredit ini sebagai solusi karena rendahnya kemampuan investasi petani. Tidak hanya itu, lingkaran setan kemiskinan itu juga diputus dengan adanya jaminan pemasaran. “Oleh karena itu harus ada transfer teknologi dan pembinaan. Dan kerena investasinya rendah maka ada penerimaan kredit dari pemerintah. Karena dala lingkaran setan itu ada jaminan pemasaran yang rendah, maka ada tugas dari kebun inti untuk menampung” (Informan 9, wawancara tanggal 11-01-2006). Dalam aspek mediator, ada unsur Tim Pembina Proyek-proyek Perkebunan Daerah (TP3D). TP3D berfungsi untuk koordinasi dan konsultasi. Selain sebagai penampung produksi, perusahaan inti dalam konteks transfer of technology, maka perusahaan inti juga bertugas menjadi channel of knowledge:
112
“Dalam pembangunan kebun, kita menjadi channel of knowledge. Kita juga dibri kepercayaan untuk membuat bibit secara swadaya. Kita juga ditugasi untuk menyalurkan semua sarana produksi, misalnya pupuk dan alat-alat. Itu sudah ada baku kreditnya. Tentunya ada pengawas dari pimpnan proyek. Kemudian menjadi beban kredit petani. Karena melaksanakan transfer of knowledge, kita punya kewajiban untuk membina dengan menyediakan petugaspetugas lapangan. Tugasnya membina budidaya, supaya kebun petani menjadi produktif, termasuk menumbuhkan kelompok petani. Karena ini diharapkan nantinya dapat menjadi agent transfer of knowledge and technology.” (Informan 36, wawancara tanggal 20-01-2006). Dalam persepsi pihak perusahaan inti, program PIR disukai oleh petani sepanjang mereka dapat menguasai teknologi, aset, dan penguasaan lahannya besar. Selain itu juga terjamin pemasarannya. Menurut Informan 9, yang terjadi memang demikian sehingga antara perusahaan inti dan petani plasma terjadi kerjasama. ”Petani suka pada PIR kalau mereka menguasai teknologi. Selain itu mereka juga menguasai aset, misalnya luasan lahannya besar. Mereka juga merasa terjamin pemasarannya. Di Jawa Barat yang terjadi memang begitu, sehingga antara kebun dan pabrik terjadi kerjasama” (Informan 9, wawancara tanggal 11-01-2006). Dengan adanya aspek transfer teknologi tersebut, maka dalam program pola PIR itu ada upaya mengubah pola pikir petani, misalnya dalam orientasi ekonominya, sehingga petani dapat menerapkan teknologi dengan kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Namun kenyatannya, orientasi ekonomi petani masih berkisar pada keluarga, komunitas, dan ketakutan akan risiko kegagalan panen. Hal ini seperti diungkapkan oleh Inofrman 9 berikut ini. “Kita tidak hanya mengajari cara menanam teh, tapi juga mengubah pola pikir, misalnya bagaimana kita mengatur ekonomi rumah tangga. Kurang diperhitungkan dulu awalnya, ekonomi rumah tangga petani, termasuk kebutuhan untuk menyumbang dan risiko kegagalan panen” (wawancara tanggal 11-01-2006). .. 113
Oleh karena itu, persoalan di dalam PIR dalam pandangan perusahaan inti tidak hanya dalam tataran teknis, tetapi juga dalam tataran budaya, seperti yang diungkapkan oleh Informan 36 berikut. “Jadi selain persoalan teknis juga masalah budaya. Asumsinya dulu kan petani selalu setor. Kita hanya menekankan masalah teknis. Misalnya bagaimana cara mangkas, cara metik, tapi belum sampai pada bagaimana keuangan rumahtangga petani. Hal ini juga mempengaruhi, karena pupuk yang harusnya masuk ke teh, bisa masuk ke tanaman pangan.” (wawancara tanggal 20-01-2006).
Program PIR dalam pandangan perusahaan inti juga dapat membuka daerah yang sebelumnya terisolasi. Hal ini sebagaimana terungkap dari Informan 36 sebagai berikut. “Yang cukup siginifikan adalah kebun plasma di Batang. Dulu tertutup sekali, kendaraan roda 2 dan 4 tidak bisa masuk. Memang terisolir, padahal tanahnya luas dan subur, hanya ditanami kayu-kayuan sama jagung.” (wawancara tanggal 20-01-2006). Dengan terbukanya daerah yang terisolasi maka tampak bahwa kehidupan petani menjadi sejahtera. “Kalau di Batang, petani kesejahteraannya lebih meningkat. Dengan menanam teh kan dia setiap minggu sekali atau dua minggu sekali mendapatkan uang. Tapi kalau jagung 6 bulan baru mendapat uang. Ini kan berpengaruh sekali terhadap aktivitas keseharian. Sehingga kalau dengan teh, rencana-rencana kegiatan rumahtangga kan bisa diatur.” (Informan 36, wawancara tanggal 20-01-2006). Keterlibatan PT Pagilaran sendiri dalam program PIR didasari oleh pemikiran untuk membantu program pemerintah dalam pembangunan masyarakat miskin, sehingga sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, PT Pagilaran merupakan satu-satunya perusahaan teh yang bersedia berperan sebagai perusahaan
114
inti dalam PIR Lokal Jawa Tengah. Hal ini seperti tampak dari informasi dari informan berikut. “Kalau Pagilaran ini kan miliknya Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM yang tidak lepas dari mendukung Tri Dharmanya fakultas. Jadi Social Responsibility-nya lebih ke fakultas, tapi kan sebetulnya bentuk CSR karena tidak ada orang PTP yang mau membuka PIR Lokal di Jawa Tengah, hanya Pagilaran yang mau karena Fakultas Pertanian. Meskipun babak belur. Ini merupakan idealisme untuk membangun perkebunan rakyat, konservasi, dan pengembangan wilayah. Tapi karena sekarang dengan adanya freeriders arahnya menjadi jual teh, meskipun begitu Pagilaran masih menjadi penentu. Karena pembeli dari luar ini tidak mungkin menyerap semua produk petani. Jadi Pagilaran masih menjadi pembeli yang besar” (Informan 3, wawancara tanggal 19-04-2006). “Dulu itu keputusan Direksi Pagilaran dalam PIR adalah mau membantu program pemerintah dalam pembangunan. Tanpa memperhitungkan keuntungan dan kerugiannya atau risiko. Dulu PTP XVIII Semarang tidak mau, yang mau hanya Pagilaran” (Informan 9, wawancara tanggal 11-01-2006)..
Program PIR sebagai proyek selesai tahun 1992 atau setelah masa konstruksi kebun selesai, dan mulai masuk masa konversi, yaitu pada saat teh mulai menghasilkan. Hubungan perusahaan inti dan petani plasma tetap berlanjut dengan pola kemitraan. Kemitraan dalam persepsi komunitas perusahaan inti merupakan paduan antar dua pihak yang saling bermitra. Dalam kemitraan tersebut, apabila ada risiko kegagalan usaha maka semua pihak yang terlibat perlu menanggung risikonya. Sebaliknya, kalau ada keuntungan, maka semua pihak bisa diuntungkan. “Kalau kemitraan menurut saya kan mestinya ada dua belah pihak yang saling bermitra. Mestinya kalau ada risiko kegagalan, otomatis terkena dua-duanya. Misalnya kalau produktivitas petani rendah, maka pasokan ke perusahaan juga sedikit. Apapaun risikonya akan terkena dua-duanya. Kalau secara teoritis, dengan kemitraan itu kan semua piha bisa diuntungkan. Misalnya petani 115
untung karena ada transfer teknologi. Di sisi lain, inti kan juga butuh bahan baku dari petani” (Informan 5, wawancara tanggal 07-022006). Hal yang sama juga dkemukakan oleh Informan 13, yaitu bahwa dalam kemitraan, risiko kegagalan ditanggung oleh perusahaan dan petani, demikian pula kalau memperoleh keuntungan, dirasakan oleh kedua belah pihak. “Dalam kemitraan, kalau ada risiko kegagalan yang harus menanggung adalah perusahaan dan petani” (wawancara tanggal 1702-2006). Dari kedua informasi tersebut dapat dikemukakan bahwa kemitraan menurut pandangan perusahaan inti adalah kerjsama di antara dua komponen yang membangun kemitraan dalam sebuah sistem produksi yang mencakup saling ketergantungan dan dengan prinsip menanggung secara bersama baik kerugian maupun keuntungan.
IV.2.2.2. Persepsi Terhadap Petani Plasma Nilai yang dimiliki perusahaan inti secara kapitalistik menyebabkan para aktor memiliki persepsi bahwa petani memiliki ritme kerja dan nilai yang berbeda dengan nilai yang dimiliki perusahaan.
Petani Tidak Memiliki Pengetahuan yang Cukup Tentang Industri Teh Perusahaan inti (PT Pagilaran) beranggapan bahwa petani tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang operasional industri teh secara keseluruhan. Menurut pihak perusahaan inti, kendala terbesar adalah memberikan pemahaman yang cukup terhadap para petani dan bukan pada proses transfer pengetahuan. Hal ini 116
terjadi sejak awal dibukanya perkebunan teh dan diberlakukannya program PIR yang kemudian berlanjut dengan program kemitraan. Pernyataan Informan 2 berikut mencerminkan hal itu. ”Yang namanya perubahan dari petani subsistensi ke pekebun itu mesti ada resistensi karena mereka belum paham. Pikiran mereka kan sederhana sekali, kalau saya tidak menanam jagung, saya makan apa. Itu salah satu alasan mengapa mereka sulit berubah. Jadi kalau boleh saya katakan yang sulit itu bukan bagaimana kita transfer of knowledge, tapi yang sulit adalah bagaimana mereka bisa paham”. (wawancara tanggal 19-04-2006). Hal ini selanjutnya menyeret petani pada berbagai persoalan terkait dengan relasi mereka dengan perusahaan inti, sebagaimana diungkapkan oleh Informan 7 berikut ini. ”Petani tidak tahu bagaimana produk jadi terus dilempar jadi uang. Mereka tidak memahami dan tidak akan memahami. Kalau mandor harusnya sudah memahami” (wawancara tanggal 09-12-2005). Tidak hanya perusahaan inti yang berandangan demikian, mandor pun memiliki persepsi yang sama terhadap petani. Hal ini menurut mandor disebabkan tingkat pendidikan petani yang rendah, sehingga untuk meningkatkan kapasitasnya diperlukan semacam pengarahan. Pengarahan itu diberikan secara terus menerus. Pernyataan tentang hal tersebut bisa disimak lebih lanjut melalui ungkapan informan berikut ini. ”Petani diberi pembinaan mulai dari nol. Petani selalu diberi pembinaan, sampai tanaman teh berhasil. Sampai penjualan. Petani selalu diingatkan.... Petugas kemudian mengarahkan, tanaman jagung tidak dikesampingkan, tanaman teh juga tidak dikesampingkan karena masing-masing saling menopang penghasilan. Jadi tanaman teh jangan dianaktirikan. Kebun teh juga harus dipelihara karena sudah menjadi petani plasma, jadi harus bertanggungjawab merawat teh. Bagaimana
117
mengatasi masalah kekurangan waktu juga diberi pengarahan”. (Informan 16, wawancara tanggal 23-11-2005). ”Petani yang pendidikannya rendah kurang rasional. Yang rasional kalau diajak cepat tanggap, tapi kalau petani yang pendidikannya SD saja tidak tamat, maka cara menangkapnya juga kurang....Ada yang kreatif, ada yang tidak. Yang kreatif kebunnya pasti baik karena diberi pengarahan. Yang kurang kreatif, meskipun petugas sudah memberi pengarahan beberapa kali, tetap kurang memperhatikan”. (Informan 16, wawancara tanggal 23-11-2005). Bahkan menurut Informan 16 hal ini termasuk upaya selalu mengingatkan petani agar mereka mematuhi kontrak dengan Pagilaran dalam hal menjual pucuk teh: ”Tahunya karena dulu menandatangani perjanjian, ikatan kontrak setiap petaninya. Tapi karena sudah lama, kalau ditanya petani itu lupa. Kalau petugas mengarahkan yang menjual pucuk ke luar, dengan mengatakan “Dulu kan sudah menandatangani perjanjian kontrak. Hasil produksi harus masuk ke Pagilaran”. Petani jadi semaunya sendiri. Petugas selalu mengingatkan isi perjanjian kontrak ini” (wawancara tanggal 23-11-2005). Kurangnya pengetahuan petani mengenai program kemitraan dari perusahaan inti juga disetujui oleh Informan 15: ”Banyak yang pemahamannya seperti Pak Sumedi. Artinya tidak tahu konsep plasma. Yang agak tahu adalah pengurus kelompok. Penjelasannya ada, tapi kemampuannya kurang untuk memahami...”. (wawancara tanggal 24-11-2005). Dengan kata lain, menurut Informan 6, petani masih belum bisa diajak maju karena pola pikirnya belum sepenuhnya mengerti mengenai budidaya teh: ”Petani belum bisa diajak maju, artinya belum ada keadaran petani untuk melakukan prosedur budidaya teh. Yang sudah teaminded baru sedikit, masih banyak yang mikir subsisten. Jadi yang mengejar keuntungan belum mayoritas. Petani ada yang sudah pernah diajak studi banding ke perkebunan teh lain. Petani yang benar-benar petani jarang keluar. Mereka keluar cuma untuk beli keperluan. Para ibu yang berbelanja sembako keluar” (wawancara tanggal 21-112005).
118
Pengetahuan yang tidak cukup tentang industri teh secara keseluruhan ini termasuk pada cara petani memotong pucuk teh. Agar didapatkan kualitas teh yang maksimal, seharusnya pemotongan pucuk teh dilakukan dengan tangan, tetapi petani jarang yang mau melakukan hal tersebut. Mereka lebih suka memotong pucuk teh dengan pisau, meskipun hal tersebut berdampak pada kualitas pucuk menjadi tidak maksimal: ”Memang cara petik lain-lain, ada desa yang petaninya memetik teh pakai alat, misalnya pisau, ada yang tidak. Kalau pakai pisau, pucuk yang sedikit tua masih bisa dipetik. Tapi kalau pakai tangan harus tepat waktu, 10 hari ya 10 hari. Pucuk dipetik pakai tangan masih mudah kalau masih muda. Tapi kalau lewat waktu, misalnya lewat 10 hari, pakai tangan susah dipetik, tangan bisa sakit. Petugas sudah memberi tahu, supaya pakai tangan. Petani cari mudahnya, cari banyak”.(Informan 16, wawancara tanggal 23-11-2005).. ”Alasan petani pakai pisau, petugas paham. Petugas harus lapang dada. Andaikan petugas menghadapi petani 100, cara berpikirnya juga 100. Ada pula yang sifatnya keras, malah melawan petugas. Akhirnya petugas yang harus pandai melayani petani. Apakah petani menerima atau tidak penyuluhan dari petugas lapangan, sebagai petugas lapangan tidak boleh bosan memberikan penyuluhan” (Informan 16, wawancara tanggal 23-11-2005). Minimnya pengetahuan petani menyebabkan mereka acapkali berkonflik dengan pihak perusahaan inti. Misalnya mengenai rendahnya harga teh yang dibayarkan pada petani. Informan 14 mengatakan bahwa seringkali petani tidak mau tahu bahwa rendahnya pembayaran juga disebabkan pucuk teh yang mereka setorkan tidak berkualitas bagus seperti standar yang ditetapkan, sehingga tidak jarang para petani berselisih paham dengan pihak penimbang dari pabrik dan sulit diberikan pengertian:
119
”Waktu itu, harga yang 500, petani sudah bisa menyediakan pucuk yang medium dan halus. Karena kasihan pada petani untuk pucuk yang halus diberi insentif 150. Petani perlu dihargai karena sudah memupuk dan metiknya halus. Untuk yang sedang insentifnya 50, masuk kelas B harga 550. Sementara untuk pucuk yang tanaman tehnya tidak dirawat dan metiknya tidak pakai rumus tetap dihargai 500. Tujuannya mula-mula begitu. Lama-lama yang tadinya maju, mundur setornya. Mengejar banyak, tapi mundur kualitasnya. Akhirnya kualitasnya menjadi B dan C. Namun petani tidak bisa nyandhak-nyandhak akan penjelasan ini. Perubahan harga teh itu kan setelah harga macet, setelah demo. Logikanya kan disuruh mbayar harga A, sementara barangnya B dan C ya jadi macet pembayarannya. Lha saya bisa membayar lagi kalau barangnya C ya dengan harga C. Akhirnya jalan lagi. Di petani, anggapannya harga sudah menjadi 650 menjadi 500. Memang pada waktu harga bisa mencapai 650 banyak petani yang sudah bisa nabung untuk pupuk. Hanya permasalahannya pada bentuk klasifikasinya yang tidak disiplin. Petani yang setor A itu bisa mupuk. Pelaksanaan klasifikasinya yang sulit. Kelompok tidak punya banyak waktu untuk misah. Penimbang dari pabrik juga waktunya terbatas. Tidak mungkin eyel-eyelan terus hari itu, ‘jamjaman’ di suatu TPH. TPH lain kan juga harus ditimbang. Kalau penjual kan biasa, barange elek ning regane apik. Wajar. Untuk ngadili dipakai alat analisa agar tidak persepsi yang digunakan. Supaya tidak eyel-eyelan. Tapi meski begitu tidak berjalan. Akhirnya wong pabrik terbawa arus untuk menjaga hubungan. Karena itu pabrik numpuk-numpuk, ngeluarin uang harga A tapi barangnya B dan C. Jadi alasannya karena harga jual, pembayaran pucuk menjadi macet. Setelah kembali ke harga proteksi, bisa lancar. Petani sulit diberitahu. Padahal yang memberitahu dari beberapa komponen yang harus sama penjelasannya, seperti petugas Disbun dan kelompok. Kalau tanya tiga orang jawabannya sama, petani bisa menerima. Petani kurang bisa memahami kesulitan Pagilaran. Kalau kesulitan petani semua bisa memahami” (Informan 14, wawancara tanggal 19-11-2005).
Lebih Mementingkan Relasi Sosial–Tradisional daripada Relasi KerjaProfesional Aktor perusahaan ini cenderung beranggapan bahwa terdapat perbedaan antara nilai yang dimiliki perusahaan inti dan nilai yang dimiliki oleh petani. Nilai profesionalitas kerja yang mendukung orientasi profit menjadi berbenturan dengan
120
nilai sosial tradisional yang dimiliki oleh petani. Ungkapan Informan berikut mencerminkan hal itu. ”Petani kan tidak memikirkan apakah pabrik akan undercapacity. Kalau misalnya ada tetangga yang meninggal, ia akan mementingkan hubungan sosialnya. Metik teh kan besok bisa. Nilainilai sosial kan mungkin lebih tinggi. Kalau karyawan pabrik tidak masak kan tidak dapat upah”. (Informan 17, wawancara tanggal 16-012006). Kondisi bahwa petani lebih berorientasi terhadap nilai sosial tradisional daripada nilai industrial menurut perusahaan inti sebenarnya merugikan. Terutama dari perolehan pucuk teh yang menjadi bahan baku industri teh. Ritme demikian tidak bisa terjadi di pabrik yang memiliki irama kerja yang teratur dan pasti. Hal demikian tergambar dari pernyataan Informan 13 berikut. ”Contohnya dalam hubungan masyarakat, misalnya ada tetangga yang punya hajat, banyak pucuk yang tidak masuk. Kemudian petik akan mundur sekian. Hal seperti ini tidak akan ditemui pabrik, kalau pabrik hari ini mengolah sekian”.(wawancara tanggal 17-02-2006). .
Kuatnya relasi sosial – tradisional antarpetani di desa juga dipahami oleh mandor sebagai orang yang berhubungan langsung dengan petani. Menurut mandor, kuatnya relasi antarwarga salah satunya disebabkan di antara mereka masih ada hubungan saudara. Bahkan menurutnya akan ada sanksi sosial yang akan dihadapi petani bila ia meninggalkan relasi sosial tersebut: ”Kadang sedukuh itu saudara semua. Saling ngaruhke. Misalnya satu desa nganter dan tiliki kalau ada yang sakit di rumah sakit....Soal sumbangan, sukarela. Hajatan, mbangun rumah, atau tilik melahirkan. Besar sumbangannya beda-beda. Biasanya berupa uang dan jajanan, seperti wajik, ampyang. Termasuk wajib juga, karena wajib datang. Kalau tidak bisa, dirasani, dan nanti kalau kanggonan dhewek ora ana sing teka. Jadi datangnya yang wajib, sedangkan jumlahnya yang
121
sukarela. Sekalipun gotong-royong, kerjasama itu ada, tapi memang wajib. Pada suatu saat mengalami sendiri akan dibantu. Jadi wajib membantu”. (Informan 14, wawancara tanggal 19-11-2005). Dalam bahasa yang berbeda, orientasi petani yang lebih kuat pada nilai tradisional ini menurut mandor, dalam satu dan lain hal berpotensi menimbulkan konflik: ”Permasalahannya kan kelompok hanya menampung kemudian mengambil uangnya seminggu sekali. Tapi dalam perjalanan waktu petani minta cash. Kadang petaninya tidak masalah, tapi tukang petiknya masalah. Bahkan dalam perjalanan waktu, tidak hanya meminta cash, tapi malah ngebon dulu untuk keperluan kondangan, nyumbang, sosial”. (Informan 16, wawancara tanggal 23-11-2005). Bahkan dalam beberapa hal, kegiatan sosial tersebut menurut mandor dapat mengganggu kelancaran produksi di pabrik : ”Kalau pas panenan dengan gotong-royong, satu orang yang panen yang membantu sampai 15 orang, kadang-kadang tehnya ditinggalkan. Kalau pas ada gotong-royong membangun rumah, petikannya ditinggal, sehingga pasokan ke pabrik menjadi berkurang. Produksi jadi tidak stabil. Kalau standar produksi harus 15 ton itu tidak bisa sekian terus. Karena petani plasma tidak bisa diikat seperti buruh kebun inti, maka perusahaan harus mengikuti kepentingan dan kesibukan petani. Kalau petugas tegas, petani mbalela. Pasokan pabrik kurang pada saat lebaran dan panen jagung. Panen jagung sudah ditentukan waktu, teh juga 10 hari, tapi teh ditinggalkan. Kalau ada kurang pasokan, petugas lapangan yang harus mencari sebab dan solusinya supaya lancar lagi” (Informan 16, wawancara tanggal 23-112005). Perbedaan Ritme Kedisiplinan Dalam Bekerja Para aktor perusahaan inti menganggap para petani pada umumnya tidak memiliki ritme kedisiplinan yang sama dengan yang dimiliki perusahaan. Kembali
122
lagi, persoalan ketidakdisiplinan ini juga berakar pada masalah budaya setempat yang sudah berakar. Tentang hal ini Informan 7 dan 10 mengutarakan sebagai berikut. ”Hubungan pabrik dengan petani dapat dikatakan bahwa pabrik berhubungan dengan orang-orang merdeka. Jadi otoritas di sini lebih longgar lagi. Yang jelas petani merupakan orang yang bebas. Musim punya hajat ya tidak metik, musim panen komoditas lain juga tidak metik. Kita tidak bisa memaksa” (Informan 7, wawancara tanggal 0912-2005). ”Kalau saya lihat, faktor kebiasaan di rumah kadang-kadang masih terlihat. Kalau ada perintah memang langsung dilaksanakan, tidak pernah menolak instruksi. Tapi kebiasaan di rumah seperti dalam hal kepedulian, kebersihan, dan kedisiplinan masih terbawa dalam pekerjaan. Contoh, di rumah karena hidupnya sederhana, kebersihan lingkungan kurang. Padahal di sini dituntut kebersihan, kedisiplinan, dan ketertiban. Misalnya membuang puntung rokok di rumah bisa sembarangan, kalau di pabrik kan tidak boleh. Harus diperingatkan berkali-kali. Tidak bisa sekali bahwa kamu tidak boleh membuang rokok di sini. Kembali ke manajemennya yang harus menegur/mengingatkan. Membuang puntung rokok harus di luar pabrik”. (Informan 10, wawancara tanggal 01-12-2005).
Senada dengan pendapat aktor perusahaan inti di tingkat manajemen, mandor sebagai agen perusahaan dalam berhubungan dengan petani bahkan berpendapat bahwa seringkali petani tidak disiplin dalam segi kualitas pucuk. Kualitas pucuk menjadi nomer 2, ”sing penting kepethik”. Lebih jauh Informan 14 mengutarakan sebagai berikut. ”Kedisiplinan petani pada awalnya disiplin, karena kalau tidak disiplin mengambil pucuk bisa ketinggalan truk yang sudah pergi ke TPH lain atau desa lain. Hanya yang kurang disiplin adalah dari segi kualitas pucuk karena faktor pemeliharaan, sehingga tidak memenuhi pertumbuhan layak atau normal, waktu pemetikan kadang ditunda karena kesibukan yang lain, jumlah tenaga petik juga berkurang, karena mengandalkan keluarga, tapi ditinggal nyumbang atau ke pasar. Tapi pada prinsipnya konsekuen, tapi karena hal-hal itu jadi tertunda. Jeleknya setelah tertunda, mereka tidak mau tahu. Akhirnya sing penting kepethik. Kualitas menjadi no. 2, karena sudah tua. Kalau tidak segera diangkut bisa rusak, memar” (wawancara tanggal 19-11-2005).
123
Perubahan Nilai dan Orientasi Perusahaan inti menganggap telah terjadi pergeseran pada kehidupan petani plasma. Mereka melihat bahwa orientasi petani lebih banyak bergeser pada nilai ekonomis. Hal ini secara langsung atau tidak lagsung berpengaruh pada hubungan antara perusahaan inti dan petani plasma, khususnya dalam penjualan pucuk. Menyangkut hal ini, Informan 35 menyatakan sebagai berikut. ”Tempat saya dulu kelompoknya juara I, tapi itu waktu masih ada proyek, ada insentif. Ada uangnya ya jalan, tapi setelah tidak ada uangnya ya bubar. Makanya pengurus kelompok saya jadikan petugas, setelah di rumah mengurus kelompoknya. Daripada main di kelompok, kan kasihan petani, mendingan digaji saja setiap bulan. Sebetulnya kalau menjual keluar itu dulu juaranya Jatilawang, karena pembeli yang di Kalibening itu termasuk Pak Wito tadi. Pak Wito menjual itu sejak PRPTE. Mereka menjualnya ke Pekalongan, sebelum ada Pagilaran. Ini juga main harga. Kalau sedikit petani yang menjual keluar itu bukan karena Jatilawang jauh dari jangkauan pembeli dari luar. Sekarang malah sudah ada jalan tembus ke Pekalongan. Dulu juaranya Jatilawang dalam jumlah petani yang menjual ke luar”. (wawancara tanggal 15-01-2006). Menguatnya nilai ekonomis ini menurut perusahaan inti, tampak dari pola pemilihan jenis tanaman produksi. Namun pihak perusahaan tidak menampik bahwa adanya pergeseran ini juga disebabkan relasi petani dengan perusahaan dalam program kemitraan. Keterangan Informan 16 berikut dapat memperjelas mengenai persoalan tersebut. ”Kalau dulu petani menanam tanaman untuk dimakan, bukan tanaman perdagangan untuk dijual. Sebetulnya petani mau diajak maju. Dulu pola pikirnya hanya menanam jagung dan padi untuk dimakan, sekarang sudah mulai menanam tanaman untuk dijual....Sebelum ada PIR sudah ada tanaman teh yang namanya PRPT yang membeli dari luar. Dengan diberi penyuluhan, petani mendukung adanya bisnis kemitraan” (wawancara tanggal 23-11-2005).
124
Perubahan pola perilaku petani ini juga terlihat dari cara mereka memperlakukan tanaman. Hal ini tampak pada pilihan petani yang lebih banyak menggunakan pisau untuk memotong pucuk teh daripada dengan tangan. Keterangan mengenai hal ini diutarakan oleh Informan 16. ”Memang cara petik lain-lain, ada desa yang petaninya memetik teh pakai alat, misalnya pisau, ada yang tidak....Sebetulnya dulu ada tradisi, “Aja kaya kuwi nggo nutu jagung, aja digebuki, mengko padha nangis. Ditutu nong lumpang”. “Panen padi nganggo ani-ani, aja nganggo arit”. Tapi sekarang ikut kemajuan , tinggal yang tua-tua yang pegang tradisi” (wawancara tanggal 23-11-2005). Perubahan pola perilaku petani akibat bersinggungan dengan program PIR/kemitraan ini lebih lanjut menurut Informan 16 berakibat pada bergesernya nilainilai sosial, dalam hal ini gotong royong, sehingga pola pikir yang terjadi bukan lagi gotong royong secara tradisi, namun juga disertai dengan pengupahan. Hal ini, menurutnya terutama terjadi pada petani yang memiliki lahan sendiri dan bukan petani miskin yang tidak punya lahan: “Kebanyakan petani berpikir, sing penting wong tani duwe jagung, pari, tela. Makanan pokok setiap tahunnya tersedia itu sudah cukup. Tidak hanya karena PIR, meskipun juga ada pengaruh PIR, yaitu dulu mengelola kebun secara gotong-royong, sekarang untuk upah. Akhirnya bergeser ke upah. Dari tidak menghitung dhuwit, menjadi menghitung dhuwit. Kalau sekarang menanam harus menjadi dhuwit. Kalau dulu menanam menjadi makanan. Tujuan PIR memang membawa petani ke industri, yang dipahami sebagai dhuwit. Waktu PIR, karena ada dana kredit dan waktu pengerjaannya bersamaan jadi harus mengambil dari tenaga lain tidak secara gotong-royong” (Informan 16, wawancara tanggal 23-11-2005).. “Kalau di desa untuk sosial itu masih tinggi karena sejak dulu sudah biasa gotong royong, untuk pengelolaan lahan, untuk membangun rumah, sedang yang sudah mulai bisnis agak egois. Sekalipun merupakan petani maju, tapi kalau belum mengenal bisnis, menggarap lahan sendiri, keluar tenaga, sosialnya tetap tinggi. Yang
125
termasuk petani bisnis adalah yang punya lahan luas, pengerjaan dilakukan dengan mburuhke pada orang lain. Karena mengupah, maka sisi gotong-royongnya kecil, karena dia sendiri tidak gotong-royong ke tempat yang lain. Tapi kalau petani yang tidak mampu, kan adanya tenaga. Tidak mengandalkan upah, tapi bisa bergulir. Kalau metik sekalipun bergulir, tapi upah. Biasanya perguliran itu dalam pemeliharaan. Tapi memang sejak adanya PIR, segala kegiatan pertanian itu diupahi. Gotong-royong kecil sekali. Karena pola PIR itu memang dari kegiatan persiapan lahan sampai penanaman, sampai pemeliharaan lagi itu memang ada kreditnya, sehingga upah semua. Jadi ada perubahan pola pikir, dari gotong-royong menjadi upahan. Semua dihitung. Kalau tidak ada dana bisa bergantian. Ada dana kredit. Selain itu waktu bersama-sama satu tahun atau satu periode penggarapan. Akhirnya mengambil tenaga yang diupahi. Kalau petani murni bisa mengerjakan sendiri, upahnya hanya sedikit. Yang bisnis semua diupahke. Contohnya pegawai negeri peserta PIR yang punya lahan, yang punya usaha dagang. Yang bisnis, persentasenya kecil, tiga dari 10 orang. Tapi ini memengaruhi, karena yang sebetulnya bisa melaksanakan, sekarang tidak bisa melaksanakan. Maunya mburuhke, artinya kebun teh diburuhke, dia bekerja di kebun lain, kalau mereka punya lahan luas dengan jenis tanaman yang lain, misalnya jagung dan padi. Meskipun belum tentu lebih menguntungkan, ketimbang teh. Karena terbiasa upahan untuk teh dengan adanya kredit, sementara jagung dan padi biasa dengan gotong-royong” (Informan 16, wawancara tanggal 23-11-2005). Selain pergeseran nilai tradisi, perusahaan inti juga melihat adanya pergeseran pada orentasi petani plasma yang sekarang cenderung melihat pada masa depan. Hal ini dikemukakan oleh Informan 16 yang menyatakan bahwa saat ini petani cenderung menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Mereka juga hidup sederhana agar bisa menyekolahkan anak mereka di kota: ”Ada keinginan untuk meniru yang sudah maju. Ada keinginan untuk menyekolahkan anaknya tinggi. Gampangannya,orangtuanya sekalipun tidak lulus SD. Tapi anaknya ingin disekolahkan hingga tamat SMP atau SMA. Ada petani yang anaknya sampai perguruan tinggi, tapi justru pegawai anaknya hanya sampai SMP atau SMA.... Ada orientasi petani terhadap materi karena adanya listrik masuk desa dan pemilikan tv yang merata. Pengeluaran petani, misalnya untuk makan sedikit. Kalau punya simpanan ternak bisa dijual untuk
126
kebutuhan yang besar. Makan sebagian besar dari kebun sendiri, lauk pauk bisa sederhana. Hasil teh untuk harian dan sangu sekolah. Kalau yang lahannya luas, terpelihara bisa bulanan atau menyekolahkan anak di kota. Ada yang sudah bisa merasakan kalau teh bisa untuk anak sekolah. Kalau orang tani biasa nabung dengan ternak” (Informan 16, wawancara tanggal 24-11-2005).
Proses Adaptasi Komunikasi Perusahaan Inti Terhadap Petani Plasma Adaptasi Melalui Budaya Budaya ”nepotisme” sebagai upaya simbiosis mutualisme Perusahaan inti memanfaatkan budaya masyarakat Jawa yang serba ”rikuh” sebagai upaya untuk membina relasi kuasa yang pada akhirnya akan menguntungkan perusahaan. Pemberian jabatan di perusahaan pada anggota masyarakat setempat melalui kelompok-kelompok petani plasma secara tidak langsung diyakini oleh perusahaan sebagai upaya meredam konflik. Selain itu juga berfungsi mengukuhkan kekuasaan hegemonik perushaan inti terhadap masyarakat setempat. Hal ini dijelaskan oleh Informan 35: ”Di tempat saya, saya tidak memulainya sebagai hubungan bisnis, tapi sebagai hubungan sosial. Jadi kenapa waktu di Pagilaran colaps, tempatnya saya tidak. Waktu di Kaliboja ada demo, tempat saya tidak ada demo. Itu karena hubungan saja. Oleh karena itu wilayah yang petaninya tidak menjual keluar adalah Jatilawang. Jadi terhadap petani itu kita ciptakan hubungan rikuh-pekewuh. Penguruspengurus kelompok di tempat saya, saya angkat sebagai petugas. Begitu proyek selesai, kita angkat pengurus kelompok sebagai petugas. Yang dianggap sebagai tokoh, saya angkat sebagai petugas. Waktu pembayaran terlambat, tempat saya juga tidak lari. Di tempat saya sekarang ini, produksinya paling tinggi. Pada saat colaps, Kaliboja didemo, pucuk petani akhirnya masuk di tempat saya. Pucuk petani dibeli oleh kelompok dengan harga 350. Petani dimanfaatkan oleh kelompok dengan dijatuhkan harganya. Jadi keuntungan ada di kelompok. Karena kelompok membayari dulu, kalau dicash oleh kelompok harus mau dengan 350. Bukan Jatilawang yang membeli, 127
justru Jatilawang itu yang menyelamatkan” (wawancara tanggal 1501-2006). Budaya ”ngaruhke” sebagai bentuk relasi sosial Budaya ’ngaruhke’ dikenal sebagai bentuk relasi sosial yang umum terjadi pada masyarakat Jawa. Ngaruhke ini berarti berkunjung untuk mengungkapkan perasaan. Di sini komunikasi yang terjadi lebih banyak bersifat ekspresif karena pelaku komunikasi hanya menanyakan kabar, atau bersimpati pada suatu keadaan tertentu. Baik dalam konteks suasana bahagia maupun suasana duka. Turut hadir dan menyumbang pada acara hajatan di desa adalah salah satu bentuk ’ngaruhke’. Demikian juga bila datang pada acara kematian. Para aktor di komunitas perusahaan terutama yang di bagian kebun (seperti Kepala Unit) paham benar dengan hal ini: ”Saya pendekatannya juga sosial, misalnya lurah habis naik haji saya datangi, saya oleh-olehi gula sama rokok, kadang-kadang sms-an. Ini yang membuat pekewuh. Karena ada hubungan dengan masyarakat, tempat saya tidak pernah didemo. Yang dipegang tokohtokoh informal yang bisa diterima oleh kelompok. Dicekel pekewuhe. Budaya kolektivistik didekati”. (Informan 35, wawancara tanggal 1501-2006) Di sisi lain, pihak perusahaan inti juga menyadari bahwa mandor punya peran yang cukup besar dalam budaya ”ngaruhke” ini karena mereka juga berasal dari masyarakat setempat yang diangkat. Mereka juga sering diundang dalam berbagai kesempatan. Agak berbeda dengan pihak manajerial yang tidak selalu diundang dalam setiap acara di desa: “Jadi menonjol sekali sifat sosialnya keberadaan pabrik. Kalau ada petani plasma yang kesusahan ya ngaruhke. Tapi kalau ada yang punya gawe, kalau ngundang baru datang. Ada yang ngundang, ada yang tidak. Tapi kalau mandor itu paling banyak diundang. Mungkin tingkat kelompok itu masih ngundang. Kalau ketua kelompok, 128
undangannya sampai kepala unit. Tapi kalau petani sekitar pabrik juga masih mengundang. Bersih desa tidak sampai menyangkut sini. Tradisi yang semacam bersih desa adalah ruwat bumi, yang mnyelenggarakan desa, sini jarang diundang. Mandor mungkin diundang. Kalau yang jelas mandor itu jadi key person di desa”. (Informan 7, wawancara tanggal 09-12-2005) Adaptasi Melalui Komunikasi Interpersonal Dalam Konteks Perbedaan Budaya
Pada dasarnya perusahaan inti memahami bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar antara perusahaan inti dan petani plasma. “Komunikasi informal sangat berpengaruh dalam hubungan antarpetani di dalam kelompok. Karena mereka kan belum tahu budidaya teh. Program ini kita salurkan dari manajer ke Pimpinan Unit, kemudian ke mandor, terus ke kelompok, baru ke petani. Bisa pula dari mandor langsung ke petani, tapi kan belum tentu mereka itu langsung menerima. Biasanya kemudian mereka melihat temannya. Bisa kemudian pelaksanaannya sama dengan yang disampaikan mandor, bisa agak berbeda. Komunikasi ini sangat berpengaruh pada sikap yang ditunjukkan. Petani itu ada yang diberitahu mandor langsung bisa melaksanakan seperti mandor, ada yang melihat temantemannya dulu, ada yang menolak. Kalau seperti ketua kelompok memang langsung mendukung program ini dan langsung mengadaptasi budidaya ini. Tapi ini belum tentu diikuti oleh petani karena kelompok dianggap kepanjangan tangan mandor. Kalau petani yang langsung menerima itu kan persentasenya kecil sekali. Yang banyak kan yang lihat-lihat dulu atau yang menolak. Pada waktu proyek, memang pada saat ada petani yang melihat petani lain produktivitasnya tinggi, kepengin, kemudian mempelajari, misalnya karena pupuknya banyak, kemudian minta bantuan ke pengurus kelompoknya. Tapi setelah proyek selesai, kalau ada keinginan meniru, tidak direalisasikan karena alasan dana. Sebetulnya termotivasi”. (Informan 36, wawancara tanggal 20-01-2006) Mandor, sebagai ujung tombak perusahaan inti dalam membangun relasi dengan petani menyadari arti penting komunikasi untuk menyelesaikan masalah: ”Karena kemitraan, maka kita berusaha setiap harinya agar kemitraan itu tidak putus. Kemitraan kuncinya di hubungan dan komunikasi. Makanya kalau seminggu ada petugas yang tidak datang ke wilayahnya, maka dapat terjadi akan terlambat komunikasinya.
129
Kemampuan berkomunikasi dan berhubungan masyarakat petugas lapangan tidak dibekali. Penyuluhan secara teknis tetap diberikan menurut wilayah masing-masing. Akhirnya sekarang terbalik, teknis di lapangan persentasenya lebih kecil daripada komunikasi. Karena banyak kendala yang harus diselesaikan dengan komunikasi”. (Informan 14, wawancara tanggal 19-11-2005) Bahkan mandor juga menyediakan jadwal khusus untuk bertemu dengan petani di wilayah kerja mereka masing-masng: “Jadwal kunjungan mandor sudah ada. Senin-Sabtu bergiliran ke masing-masing wilayah kerjanya. Yang membuat jadwal adalah koordinator dengan berkoordinasi dengan mandor yang bersangkutan. Misalnya dengan menanyakan, “Sampeyan dina Jum’at nang kene bisa ora?”. Jadi satu minggu itu tetap aktif ke desa-desa, hari Minggu/besar libur. Tapi kalau diperlukan, misalnya segera mencocokkan administrasi atau harus ketemu dengan kelompok ya tetap kerja lemburan” (Informan 6, wawancara tanggal 21-11-2005). Pihak perusahaan inti juga menyadari bahwa menjalin relasi dengan masyarakat setempat menjadi hal yang penting dilakukan untuk menjaga kesinambungan antara pabrik dan petani. Oleh karenanya ia “merelakan” petugas lapangan atau mandor kerap beranjangsana ke desa dan berinteraksi dengan masyarakat desa secara informal. Istilah yang kerap digunakan adalah ‘wedangan’ atau minum-minum (seperti teh atau kopi) sambil mengobrol. Langkah ini tampaknya menimbulkan rasa iri di sebagian pekerja pabrik karena mereka dianggap tidak bekerja: ”Saya tidak zakleg bahwa mereka harus sekian jam di kantor. Ini merupakan style saya. Modal sosial saya anggap penting karena ini kemitraan. Semua mempunyai hak seimbang. Kalau ini tidak seimbang, bisa rusak kemitraannya. Saya optimis tidak kekurangan pasokan, karena yang loyal ini ada yang mengembangkan lahan, sehingga bisa menutup yang menjual ke luar. Untuk hal-hal semacam modal sosial itu tidak ada arahan dari direksi.... Ada kondisi seperti ini saya sikapi dengan begini. Adaptasi dengan lingkungan dan 130
mengambil kesimpulan sendiri, melaksanakan sendiri. Direksi kan tidak pernah nanyain mengapa kok pucuknya lebih banyak dari yang lain. Makanya kadang-kadang orang pabrik iri melihat kerja petugas lapangan yang naik sepeda motor ke desa, wedangan. Padahal kalau ini tidak terbina, tidak ngolah” (Informan 7, wawancara tanggal 09-122005). Dalam relasi sosialnya dengan komunitas petani plasma, perusahaan inti cenderung beradaptasi dengan tujuan untuk kepentingan industri tehnya. Selain itu perusahaan inti juga merasa perlu mengembangkan komunikasi yang sesuai dengan budaya komunitas petani plasmanya dalam kerangka kepentingan industri pula. Hal demikian tampak dari ungkapan yang disampaikan oleh Informan berikut.
”Saya bilang ke Pagilaran, kalau saya dipindah ke kebun inti, saya minta ganti biaya sosial yang telah saya keluarkan, karena konsekuensi dari sedulur banyak itu pasti mengeluarkan biaya sosial, seperti layat, bayen. Tapi secara bisnis saya dapat, karena pasti rikuh. Makanya sekarang menang produksinya. Seperti kemarin itu mbangun jalan beraspal ya nyumbang, “Ini diumumkan di desa, sumbangan pribadinya Pak Tentrem”.(Informan 35, wawancara tanggal 15-012006). Pendekatan yang dilakukan oleh Informan 35, yaitu dengan adaptasi melalui pengembangan komunikasi yang sesuai dengan budaya komunitas petani plasma tampak memberikan hasil yaitu terciptanya hubungan perusahaan inti dengan komunitas petani plasma yang berujung pada terpenuhinya kepentingan bisnis teh PT Pagilaran.
131
Petani yang Menjual Teh Kepada Pihak Selain PT Pagilaran Di antara komunitas petani, ada warga yang karakternya tidak memiliki lahan teh, tetapi mereka mengumpulkan teh dari para petani untuk kemudian diolah secara tradisonal sebelum mereka menjualnya kepada pihak lain. Biasanya petani yang menjual teh kepada pihak lain di luar pagilaran termasuk dalam kategori petani miskin. Miskin di sini berarti petani tersebut tidak mempunyai lahan teh untuk dikerjakan. Seperti yang dilakukan oleh Informan 19. Perempuan berusia 20 tahun ini tidak menjadi petani plasma, karena ia tidak mengerti apa artinya menjadi petani plasma: ”Bapak saya yang ikut sebagai petani plasma pada tahun 1987. Saya masih kecil jadi belum paham”.
Ia sendiri tidak menjual teh yang dikumpulkannya dari petani kepada PT Pagilaran, melainkan kepada pihak lain. Teh diolah dengan cara tradisional sebelum dijual ke pihak lain. Pilihan untuk menjual ke pihak lain lebih banyak disebabkan cara pembayaran dengan sistem putus dan piutang yang dianggap lebih menguntungkan: “Teh yang saya olah dijual ke Karangkobar. Saya ngumpulin teh dari petani. Teh itu digoreng sangan. Kemudian ditaruh dalam karung (kandhi). Dibawa ke pasar tiap Legi. Satu kg harganya 4-5 ribu. Teh ini untuk wedang. Biasanya yang beli orang Batur. Ngangkutnya pakai colt siklon milik orang Balun. Ongkosnya 7000 PP, kantongnya bayar sendiri, per kantong 500. Pada waktu Pagilaran macet memang kemudian teh digorengi sendiri. Sekarang lebih untuk digoreng sendiri atau dijual ke Cocacola yang di Batang. Satu kwintal teh yang digoreng sendiri bisa laku 125 ribu, isinya 25 kg. Beli dari petani per kg 600. Modal saya 60 ribu. Kayu untuk menggoreng tidak beli, tapi ambil dari hutan. Di sini yang metik juga dibayar 200 per kg. Kalau dijual ke Pagilaran pada tidak mau karena tidak bisa ngebon dulu. Kalau dijual ke luar langsung dibayar, kadang ngebon dulu. Ngebonnya di sini” (Informan 19, wawancara tanggal 04-12-2005).
132
Hal yang sama juga dikatakan oleh Informan 31. Sama dengan Informan 19, Informan 31 juga tergolong petani yang miskin. Ia tidak memiliki lahan untuk dikelola. Meski termasuk anggota plasma, ia kadang-kadang juga menjual teh kepada pihak di luar pagilaran. Hal ini ia lakukan karena menurutnya harga jual teh di luar pagilaran lebih tinggi. Menjual teh sendiri bagi petani miskin seperti ia bukanlah hal utama. Ia memiliki usaha sampingan lain agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari: ”Harga lebih tinggi kalau dijual ke luar, meski hanya selisih 50 rupiah. Ke pabrik 500, ke luar bisa 550 atau 600. Tapi pucuk halus bisa 800-900 rupiah. Pembeli dari luar tidak melakukan analisis pucuk teh. Penampung yang mengelompokkan halus dan kasar. Yang menjual ke luar disebut penampung. Harga 600 hanya cukup membantu kebutuhan sehari-hari. Jadi teh itu hanya sampingan, kemudian dicukupi dengan jagung dan sayuran seperti cai sim yang 35 hari sudah bisa dipetik. Kalau ada yang menjual ke luar, sebetulnya diingatkan petugas supaya jangan menjual ke luar, “Dirumat sing apik, mengko digawa nyang ‘gudang’ (Informan 31, wawancara tanggal 2911-2005). Para petani yang kondisi ekonominya miskin ini juga memiliki pendapat yang berbeda mengenai kemitraan dengan Pagilaran dibanding petani yang kondisinya lebih baik (karena memiliki lahan).
Petani yang Menjual Teh Kepada Pihak PT Pagilaran Biasanya mereka tergolong petani yang kondisi ekonominya lebih baik karena masih memiliki lahan. Selain itu, mereka yang menjual tehnya pada pagilaran adalah anggota petani plasma yang memiliki jabatan dalam organisasi plasma.
133
IV.2.2.3. Perilaku Komunikasi Dilihat dari Elemen Sumber, Pesan, dan Saluran Perilaku komunikasi komunitas perusahaan inti dalam paparan ini dilihat dari elemen sumber, pesan yang terdiri dari isi dan gaya, serta saluran.
Sumber Pesan Komunitas
perusahaan
inti
pada
dasarnya
cenderung
menggunakan
komunikator dengan orientasi organisasi untuk menyampaikan pesan-pesan penyuluhan. Hal ini seperti yang terungkap dari pernyataan Informan 8 sebagai berikut. ”Petugas lapangan itu merupakan orang yang berpendidikan yang punya kemampuan. Kita kan butuh tenaga untuk pembimbingan petani” (wawancara tanggal 09-12-2005). Orientasi pada organisasi untuk sumber pesan, diungkapkan pula oleh Informan 10 sebagai berikut. ”Prinsip saya, saya tidak pernah melihat siapa orang itu. Dalam arti anaknya siapa, kaya atau miskin, famili atau tidak, sehingga saya lihat yang terkait dengan pekerjaan, misalnya hasil pekerjaan itu bagaimana, dengan atasannya bagaimana. Jadi saya menyoroti karyawan terkait dengan kedinasan, saya tidak pernah membuat keputusan yang tidak terkait dengan pekerjaan, misalnya apakah dia anak pejabat desa. Prinsip pekerjaan yang saya utamakan” (wawancara tanggal 01-12-2005). Informan 10 juga menyatakan: ”Mandor bagian pucuk harus bisa memanage anak buah, seperti yang digariskan oleh atasan” (wawancara tanggal 01-12-2005). Dari pernyataan para informan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk komunikator penyuluhan, diperlukan mandor atau petugas lapangan
yang
berpendidikan, memiliki kemampuan untuk membimbing petani dan mengelola anak 134
buah. Oleh karena itu yang ditekankan adalah kompetensi dalam pekerjaan, sedangkan aspek sosio-kultural dari mandor bukan merupakan pertimbangan utama.
Isi Pesan Komunitas perusahaan inti cenderung menyampaikan pesan yang berorientasi pada organisasinya, yaitu pada bisnis kemitraan. Hal ini dapat dilihat dari pesan mandor besar (Informan 6) yang berorientasi pada target produksi: ”Ditargetkan untuk 17 ha di Tenogo, tahun 2005 per bulannya 67 kg x 26 hari. Saya sebetulnya membuat target tidak berdasar luasan, tapi realisasi produksi tahun lalu Misalnya realisasi 2004 adalah satu ton. Kalau berdasar luasan, untuk satu ha itu sekitar tujuh kwintal. Jadi sebulan seluruhnya 3,3 ton. Yang lebih parah adalah Linduaji, tidak bisa masuk sama sekali, tapi mandornya tetap ditarget, supaya punya tanggungjawab. Untuk 12 ha ditarget 390 kg per bulannya, jadi per hari 15 kg. Karena tanamannya sudah terlantar. Kalau sesuai petunjuk harusnya satu ha per hari adalah 700 kg”(wawancara tanggal 21-11-2005). Informan 6 mengungkapkan pula: ”Pertama, kalau petani tidak dicarikan uang, pucuknya tidak akan masuk. Akhirnya koordinasi dengan pengurus kelompok, dicarikan uang di bank. Kedua, petani kalau memangkas biayanya besar, maka kemudian mandor mengajak teman-teman untuk membantu memangkas. Misalnya, tempatnya pak Mardi butuh bantuan mangkas. Saya kemudian minta bantuan mandor-mandor lain untuk ikut memangkas. Kalau dipangkaskan, petani kan ringan, karena satu hektar butuh 40 orang, 40 orang kali sepuluh ribu rupiah sama dengan 400 ribu rupiah ditambah 40 orang kali lima ribu rupiah untuk makan sama dengan 200 ribu rupiah. Jadi perlu 600 ribu rupiah” (wawancara tanggal 21-11-2005). Selain itu, menurut Informan 6, pengalaman yang berkaitan dengan isi pesan ketika menyuluh tentang penyiangan sebagai berikut. ”Jangan selalu pakai arit karena biaya tinggi, pakai obat saja atau disemprot.” (wawancara tanggal 21-11-2005).
135
Dari pesan-pesan tersebut dapat diinterpretasikan bahwa kepada mandor bawahannya, ia selalu menekankan agar dapat memenuhi target produksi dengan tetap memahami realitas kondisi lahan petani yang terbatas. Sebagai pihak yang bermitra dengan petani kecil ia menyadari bahwa meskipun berbisnis, namun dalam kondisi kemitraan maka target harus dibuat lebih realistis. Hal ini karena konsep bisnis kemitraan tidak semata-mata bertujuan untuk meraih keuntungan, namun ada orientasi membina petani seperti yang tertuang dalam UU No. 9 tahun 1995 tentang kemitraan. Dalam undang-undang tersebut dikemukakan bahwa kemitraan merupakan bentuk kerjasama antara pengusaha besar dan pengusaha kecil yang disertai dengan pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan dari pengusaha besar kepada petani kecil. Oleh karena itu mandor juga perlu memiliki empati akan keterbatasan petani dalam aspek dana untuk produksi serta kebutuhan petani akan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan komunitas. Dalam konteks elemen isi pesan, orientasi organisasi dari komunitas perusahaan inti tampak pula dari ungkapan pengalaman Informan 7, ketika menyampaikan pesan kepada petani: ”Bapak lihat, saya orang Temanggung. Petani di sana menanam tembakau, tapi tidak ada petani yang makan tembakau. Mereka menjual tembakau, dapat uang lalu beli beras. Jadi mereka makan beras. Bisa disimpulkan bahwa menanam teh, dapat pucuk, dijual, dapat uang, bisa beli beras.” (wawancara tanggal 09-12-2005). Orientasi pada bisnis kemitraan, dapat pula ditangkap dari informasi pengalaman mandor (Informan 16) ketika menyampaikan pesan tentang kemitraan:
136
”Kemitraan itu hubungannya seperti bapak dan anak. Bapak adalah Pagilaran, anaknya adalah petani”(wawancara tanggal 23-112005). Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam menyampaikan pesan, komunitas perusahaan inti menekankan bahwa dengan mengusahakan teh, mereka akan mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan pangan. Mereka dapat berusahatani dengan bimbingan perusahaan inti.
Gaya Penyampaian Pesan Dalam
penyampaian
pesan,
komunitas
perusahaan
inti
cenderung
berkomunikasi dalam konteks rendah (low context). Komunikasi dengan pesan berkonteks rendah memiliki muatan informasi yang secara eksplisit berada dalam pesan yang disampaikan. Pesan berkonteks rendah tersebut terutama disampaikan untuk informasi yang berkaitan dengan tugas. Sebagai contoh, saat mandor menjalankan tugasnya sebagai penyuluh. Hal ini sebagaimana tampak dari pengalaman mandor (Informan 16) sebagai berikut. ”Dulu kan sudah menandatangani perjanjian kontrak. Hasil produksi harus masuk ke Pagilaran” (wawancara tanggal 23-11-2005). Informasi tersebut jelas menyatakan bahwa petani harus mengikuti aturan penjualan karena terikat kontrak dengan PT Pagilaran. Kecenderungan low context tersebut juga tampak dari pernyataan mandor besar (Informan 6) yang mengemukakan pengalamannya memberi tugas pada mandor lapangan, yaitu dengan pertanyaan sebagai berikut. ”Sampeyan dina Jum’at nang kene bisa ora?”. ”Kowe tak tambahi iso ora?” (wawancara tanggal 21-11-2005). 137
”Sampeyan dina Jum’at nang kene bisa ora?” ”Kowe tak tambahi iso ora?”. Kalimat itu berisi pertanyaan tentang kesanggupan mandor untuk diserahi tugas. Dari situ tampak jelas adanya penugasan yang diberikan oleh mandor besar kepada bawahannya. Pesan yang disampaikan secara jelas dimaksudkan untuk menghindari ambiguitas makna. Hal ini karena dalam konteks pekerjaan perlu adanya kesatuan makna demi efektivitas dan efisiensi pekerjaan. Sebagai sebuah perusahaan agribisnis, prinsip efektivitas dan efisiensi pekerjaan adalah hal yang utama. Sejalan dengan gaya komunikasi dalam konteks rendah, perilaku komunikasi komunitas perusahaan juga menunjukkan adanya orientasi verbal. Artinya bahwa pesan-pesan disampaikan dalam simbol verbal, berupa kata-kata dengan muatan pesan yang jelas. Bahasa verbal adalah bahasa yang relatif tidak memiliki kerumitan makna, sehingga dapat memenuhi prinsip efektif dan efisien untuk menyampaikan pesan-pesan pekerjaan. Kata-kata yang berupa pertanyaan ”Sampeyan dina Jum’at nang kene bisa ora?” ”Kowe tak tambahi iso ora?” jelas merupakan simbol verbal yang bermakna penugasan. Dalam gaya penyampaian pesannya, perusahaan inti pada dasarnya memiliki gaya komunikasi langsung, artinya bahwa ketika berbicara dengan petani dalam konteks tugas, mandor akan langsung berbicara tentang teh. Hal ini sejalan dengan prinsip efisiensi yang secara ekonomis menguntungkan perusahaan. Kecenderungan ini tampak dari pernyataan seorang informan yang tidak menyukai cara kerja orangorang bagian tanaman yang menurutnya cenderung santai, yaitu dengan banyak
138
berkunjung ke petani dan berbicara lama. Sementara orang bagian pengolahan cenderung terikat waktu. Hal ini seperti ungkapan Informan 10 sebagai berikut. ”Pada umumnya ada kecemburuan sosial karena tingkat pekerjaan. Kalau di pabrik itu dituntut kedisiplinan yang tinggi karena prosesing atau pengolahan ditentukan oleh waktu. Tapi kalau di bagian tanaman, pada umumnya agak santai. Orang-orang pabrik merasa iri, bahkan ini secara blak-blakan muncul di rapat. Oleh karena itu saya menghimbau mandor lapangan untuk bisa mengimbangi” (wawancara tanggal 01-12-2005). Kecenderungan berperilaku efisien tampak pula dari pernyataan Informan 14 berikut. ”Penimbang dari pabrik juga waktunya terbatas. Tidak mungkin eyel-eyelan terus hari itu, jam-jaman di suatu TPH. TPH lain kan juga harus ditimbang” (wawancara tanggal 19-11-2005). Dari informasi tersebut disimpulkan bahwa komunitas perusahaan inti cenderung efisien dalam penggunaan waktu, termasuk waktu untuk bicara dengan petani.
Saluran Kecenderungan komunitas perusahaan inti untuk memilih saluran komunikasi untuk membina petani dapat dilihat dari informasi para informan yang menyatakan pengalamannya tentang pembentukan kelompok. Pada masa awal dimulainya proyek PIR, di tingkat petani dibentuk kelompok-kelompok. Realitas tentang pembentukan kelompok ini seperti informasi yang dikemukakan oleh beberapa informan berikut: “Yang membentuk kelompok adalah Pemerintah, Disbun. Kelompok adalah bentukan baru, sejak ada PIR. Sebelum penanaman sudah dibentuk kelompok-kelompok” (Informan 14, wawancara tanggal 19-11-2005). “Kalau dulu kelompok dibentuk dari petani masing-masing desa untuk mewakili petani jika terjadi sesuatu, misalnya kalau ada keluhan/permasalahan dan untuk pengambilan dhuwit. Dulu di sini
139
hanya ada 1, kemudian pecah jadi banyak. 1 kelompok ada 4 pengurus, ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi produksi” (Informan 25, wawancara tanggal 25-11-2005).
Adapun tujuan pembentukan kelompok itu adalah untuk membuat petani berada dalam sebuah struktur yang memudahkan bimbingan atau transfer teknologi, selain untuk memperlancar proses produksi. Informasi tersebut seperti tampak dalam beberapa kutipan wawancara berikut.
“Selain syarat-syarat semacam luasan lahan, maka petani yang terorganisasi baik, meski lahan-lahan tidak luas tapi dalam satu hamparan, akan menjadikan pembinaan dan pengambilan pucuk efisien” (Informan 2, wawancara tanggal 19-04-2006). “Kelompok dibentuk oleh dinas perkebunan. Tujuan pembentukan kelompok adalah untuk menghimpun produksi, pembinaan dan sebagainya. Kalau kelompok misalnya mendapat bantuan pupuk, pengurus tidak mementingkan keperluan sendiri, tapi akan memikirkan kepentingan kelompok. Untuk kepentingan bersamasama. Kalau bendahara membayar pucuk, maka semua petani harus dibayar. Kalau satu petani dibayari, yang lain juga harus dibayar. Kalau tidak, maka bisa terjadi pertengkaran. Jadi kalau dibayar, dibayar semua. Kalau tidak, tidak semua. Waktu penimbangan, petani akan langsung minta dibayar pucuknya oleh pengurus kelompok. Kelompok sendiri harus menunggu seminggu untuk mendapatkan bayaran pucuk dari pabrik. Kecenderungan petani adalah mikirke barengan. Karena hidupnya barengan, makan bareng. Ya gunanya dibentuk kelompok adalah agar barengan” (Informan 28, wawancara tanggal 18-11-2005). Dari beberapa informasi tersebut dapat dikemukakan bahwa kelompok merupakan saluran yang efisien untuk menyampaikan pesan kepada petani. Sebagai contoh ketika ada kunjungan dari pihak direksi ke petani plasmanya. Informasi tentang kunjungan itu disampaikan pada pengurus kelompok. Dari pengurus, informasi dapat diteruskan kepada petani anggotanya. Selanjutnya mereka berkumpul
140
untuk mendengarkan penjelasan dari pihak perusahaan mengenai
produksi,
pemasaran, maupun masalah kemitraan. Adapun informasi adanya pertemuan-pertemuan dalam kelompok sebagai wahana penyampaian pesan tersebut adalah seperti yang dikemukakan oleh Informan 33 berikut. “Ada pertemuan-pertemuan untuk memberikan masukanmasukan terutama ke kelompok. Nanti kelompok ke petani. Pertemuan di sini satu bulan dua kali” (wawancara tanggal 17-11-2005). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dari sisi komunikasi, kelompok merupakan saluran yang menjadi pilihan perusahaan inti dalam menyampaikan pesan-pesan kepada petani plasma.
IV.3. Deskripsi tentang Petani Plasma IV.3.1. Budaya Komunitas Petani Plasma IV.3.1.1. Budaya Subsisten Komunitas petani plasma unit porduksi Kaliboja merupakan komunitas petani yang mengusahakan teh sebagai tanaman perkebunan yang mempunyai program kemitraan dengan prinsip INTI-Plasma dengan PT Pagilaran melalui perjanjian (kontrak) yang dibuat sejak tahun 1986. Kontrak antara petani plasma dan PT Pagilaran merupakan sebuah cara untuk mengatur produksi pertanian. Petani dikontrak oleh PT Pagilaran untuk memasok produksi teh sesuai dengan syaratsyarat yang telah ditentukan dalam perjanjian. Untuk menghasilkan produk yang berkualitas, PT Pagilaran yang membeli produk itu akan memberikan bimbingan teknis, kredit, dan sebagainya, serta menangani pengolahan dan pemasaran hasil. 141
Dalam menjalankan perannya, PT. Pagilaran bertugas memberi dukungan dalam kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran kepada para petani. Sementara itu petani bertugas memasok bahan baku untuk kegiatan industri perusahaan. Pada awal proyek, inti bertugas membantu proses penyiapan lahan, pengembangan, dan pengalihan teknologi, serta seterusnya bertugas memberi dukungan dalam kegiatan produksi, pengolahan, dan pemasaran. Pertama kali petani Kaliboja memulai usahanya karena mereka mematuhi apa yang disampaikan pemerintah, yaitu bahwa daerah tersebut sangat cocok ditanami tanaman teh daripada tanaman lainnya. Selain itu juga menurut Informan 33: “Katanya nanam teh nanti dijadikan beras. Istilahnya hasil teh lebih bagus dari harga jagung. Misalnya jagung 1 ha berapa kw, teh 1 ha berapa kw dikalikan harga pucuk, sebulan 2 kali petik. Jagung nunggu umur 3 bulan. Itu pertama kali masuk di sini.” (wawancara tanggal 17-11-2005).
Pembukaan lahan untuk perkebunan teh dilakukan dengan meminjam uang dari pemerintah untuk menebang hutan yang akan ditanami teh. Tanaman yang ada seperti tanaman jambu dan tanaman teh Jawa ditebang dan diganti dengan tanaman teh yang dianjurkan oleh pemerintah. Pembiayaan dimulai dari pembabatan sampai dengan penanaman tanaman teh. Petani mempunyai kewajiban untuk membayar pinjaman dengan cara menyicil utang dari menanam teh dan mengembalikan 1/3 dari pucuk. Pada tahun 1986 itu juga, petani berkumpul untuk mengadakan rapat anggota yang bertujuan untuk memilih pengurus kelompok petani plasma. Pengurus terpilih dari anggota petani plasma bedasarkan suara terbanyak (voting). Informan 24 yang 142
merupakan salah seorang pengurus petani plasma bagian seksi usaha mengatakan bahwa sejak tahun 1986 sampai dengan sekarang belum pernah diadakan lagi pergantian pengurus. Ketua petani plasma dari awal terbentuknya kelompok ini sampai dengan sekarang adalah Pak Slamet. Wilayah Pabrik Teh Kaliboja meliputi dua kecamatan di dua kabupaten, yaitu Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan dan Kecamatan Kalibening, Kabupaten Banjarnegara. Luas kebun 469,482 ha berada di Kalibening 522,161 ha,
Paninggaran, di
di Pandanarum 237,091 ha. Jumlah petani keseluruhan
adalah 4575 orang yang tergabung ke dalam 45 Kelompok Tani PIR Lokal Teh. Dari 45 kelompok ini, 11 kelompok ada di Paninggaran. Di Kalibening ada 27 kelompok, sementara Pandanarum ada tujuh kelompok. Kelompok ini semuanya dibina oleh PT Pagilaran. Para petani mendapat informasi pertanian dari perusahaan ini. Kehidupan petani di wilayah ini selain hidup dari perkebunan teh, juga hidup dengan cara mengolah tanah. Tanah diolah dengan menggunakan teknologi sederhana untuk tanaman pangan, seperti padi dan jagung. Di wilayah Unit Produksi Kaliboja, terdapat dua daerah yang usahataninya berbeda. Paninggaran memiliki petani dengan usaha tani padi, sementara petani di Pandanarum dan Kalibening, yang terutama adalah menanam jagung. Makanan pokok masyarakat di tiga kecamatan tersebut berbeda. Mereka yang tinggal di Paninggaran hingga sebagian wilayah Kalibening mengusahakan tanaman padi untuk memenuhi kebutuhan beras, sebagai bahan dasar nasi. Sementara itu mereka yang tinggal di wilayah Kecamatan Kalibening lainnya dan Kecamatan
143
Pandanarum, menanam jagung untuk diolah menjadi nasi jagung sebagai makanan pokok. Selain itu, petani juga menanam tanaman sayuran dan cengkeh yang berfungsi sebagai penyelamat (safety value) pada saat keuangan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.
Dalam penggunaan teknologi, selain sederhana, teknologi itu juga
nonindustri. Mereka juga memiliki pertalian yang kuat dengan kondisi ekologis. Pada mulanya usaha tani tersebut tidak dilakukan dalam kerangka pengusaha pertanian, namun dengan adanya program PIR, petani mulai belajar kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan ekonomis di samping untuk mengelola rumah tangga. Dalam kerangka ini karena sempitnya lahan petani untuk kegiatan agri bisnis, maka terdapat petani yang menggeser tanaman pangannya untuk tanaman yang bisa dijual (cashcorp), dengan menggeser tanaman padi atau jagung dengan teh. Jenis petani ini adalah petani yang berani berspekulasi dengan bisnis. Dalam kelompok petani plasma tidak mempunyai regu petik. Regu petik merupakan orang yang terkumpul untuk menangani pemetikan di lahan yang pucuk tehnya harus dipetik. Regu petik banyak digunakan di perusahaan Inti dan di bawah koordinasi mandor. Jumlah regu petik pada suatu saat pemetikan tergantung dari luasan lahan, pada umumnya terdiri dari lima sampai enam orang. Jadi jumlahnya sesuai dengan kebutuhan. Sementara itu yang dimaksud dengan penggiliran adalah misalnya hari ini regu petik memetik di lahan A, besok memetik di lahan B. Per kg diupah Rp 200, oleh karena itu apabila per orang dapat 30 kg, maka 30 kg ini dikalikan Rp 200. Satu minggu penuh ada pemetikan, yaitu dari hari Senin sampai
144
dengan hari Sabtu. Sebagai bentuk tanggungj awabnya kepada para petani plasma, ada kebijakan nalangi yang merupakan kemauan ketua kelompok. Keberadaan dan kebutuhan akan regu petik untuk menanggulangi lahan terlantar dan dalam kelompok petani plasma tidak ada lahan yang terlantar. Di Lambanggelun sudah berjalan sendiri, tidak ada yang terlantar, sehingga tidak ada regu petik. Untuk itu, yang bertugas memetik di sini adalah petani pemilik dan tenaga upah, sebagaimana diungkapkan oleh Informan 24: “Di daerah ini masih termasuk turah tenaga. Kalau yang lahannya luas, sudah punya tenaga petik yang tetap atau ajeg. Mereka merupakan tenaga petik langganan. Di sini, yang metik adalah petani pemilik dan nyambat liyane, nanti giliran. Setiap hari nyari tenaga. Di sini turah tenaga. Kalau mencari dengan pertanyaan, “Nganggur ra, yen nganggur ngewangi aku?”. Yang pokok juga ada, seperti langganan. Seperti Pak Karman sudah ada pekerjanya, tinggal menerima setoran. Tanda bukti dari TPH yang disebut ‘cephitir’. Pak Karman tinggal menukar uang dan yang metik diberi uang. Sekarang jarang kelompok ngambil, malah mandor terus yang mengambilkan untuk se wilayah kerja, misalnya Lambanggelun, Bedagung. (Wawancara tanggal 02-12-2005) Terdapat beberapa karakteristik komunitas petani plasma, sebagai berikut. Petani Miskin Petani miskin disini adalah: Pertama, petani yang tidak mempunyai lahan tetapi ikut mengumpulkan dan mengelola teh secara tradisional. Mereka ada yang menjadi anggota petani plasma dan yang tidak menjadi kelompok petani plasma. Kedua, petani yang berlahan sempit. Petani miskin petama adalah petani dengan karakternya yang tidak memiliki lahan teh, tetapi mereka mengumpulkan teh dari para petani untuk kemudian diolah secara tradisonal sebelum mereka menjualnya kepada pihak lain. Biasanya petani yang menjual teh kepada pihak lain di luar PT
145
Pagilaran termasuk dalam kategori petani miskin. Miskin di sini berarti petani tersebut tidak mempunyai lahan teh untuk dikerjakan. Selain itu ada tanaman pekarangan yang ditanami tanaman palawija seperti jagung, kacang, dan ketela yang hasilnya akan mereka konsumsi sendiri untuk memenuhi kebutuhan subsitensi mereka. Sementara itu, hasil penjualan teh dipakai untuk keperluan yang lain di luar kebutuhan pokok, bahkan beberapa petani mengutarakan bahwa kebutuhan menyumbang dan jajan anak termasuk kebutuhan yang tinggi di dusun mereka. Seperti yang dilakukan oleh Informan 19. Perempuan berusia 20 tahun ini tidak menjadi petani plasma, karena ia tidak mengerti apa artinya menjadi petani plasma : ”Bapak saya yang ikut sebagai petani plasma pada tahun 1987. Saya masih kecil jadi belum paham.” (wawancara tanggal 04-122005). Ia sendiri tidak menjual teh yang dikumpulkannya dari petani kepada PT Pagilaran, melainkan kepada pihak lain. Teh diolah dengan cara tradisonal sebelum dijual ke pihak lain. Pilihan untuk menjul ke pihak lain lebih banyak disebabkan cara pembayaran dengan sistem putus dan piutang yang dianggap lebih menguntungkan : ”Teh yang saya olah dijual ke Karangkobar. Saya ngumpulin teh dari petani. Teh itu digoreng sangan. Kemudian ditaruh dalam karung (kandhi). Di bawa ke pasar tiap Legi. 1 kg harganya 4-5 ribu. Teh ini untuk wedang. Biasanya yang beli orang Batur. Ngangkutnya pakai colt siklon milik orang Balun. Ongkosnya 7000 PP, kantongnya bayar sendiri, per kantong 500. Pada waktu Pagilaran macet memang kemudian teh digorengi sendiri. Sekarang lebih untuk digoreng sendiri atau dijual ke Cocacola yang di Batang. 1 kwintal teh yang digoreng sendiri bisa laku 125 ribu, isinya 25 kg. Beli dari petani per kg 600. Modal saya 60 ribu. Kayu untuk menggoreng tidak beli, tapi ambil dari hutan. Di sini yang metik juga dibayar 200 per kg. Kalau dijual ke Pagilaran pada tidak mau karena tidak
146
bisa ngebon dulu. Kalau dijual keluar langsug dibayar, kadang ngebon dulu. Ngebonnya di sini”.(Wawancara tanggal 04-12-2005) Karakteristik petani miskin kedua, adalah petani yang tidak memiliki lahan untuk dikelola atau mereka memiliki lahan yang sempit. Sebagaimana diutarakan oleh Informan 31 yang termasuk anggota plasma, ia kadang-kadang juga menjual teh kepada pihak di luar pagilaran. Hal ini ia lakukan karena menurutnya harga jual teh di luar pagilaran lebih tinggi. Menjual teh sendiri bagi petani miskin seperti Informan 31 ini bukanlah hal utama. Ia memiliki usaha sampingan lain agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari: “Harga lebih tinggi kalau dijual ke luar, meski hanya selisih 50 rupiah. Ke pabrik 500, ke luar bisa 550 atau 600. Tapi pucuk halus bisa 800-900 rupiah. Pembeli dari luar tidak melakukan analisis pucuk teh . Penampung yang mengelompokkan halus dan kasar. Yang menjual ke luar disebut penampung. Harga 600 hanya cukup membantu kebutuhan sehari-hari. Jadi teh itu hanya sampingan, kemudian dicukupi dengan jagung dan sayuran seperti cai sim yang 35 hari sudah bisa dipetik. Kalau ada yang menjual ke luar, sebetulnya diingatkan petugas supaya jangan menjual ke luar, “Dirumat sing apik, mengko digawa nyang ‘gudang’.” (Wawancara tanggal 29-11-2005). Petani Maju atau Elit Desa Biasanya mereka tergolong petani yang kondisi ekonominya lebih baik karena masih memiliki lahan untuk pertanian padi dan teh, selain itu komunitas ini terdiri dari petani yang menjadi pengurus petani plasma. Mereka biasanya menjual tehnya pada pagilaran. Proses mengikuti PIR sebagai petani plasma diawali dengan pendaftaran, kemudian dikontrol lahannya, dikasih dana tebang. Informan 18, salah seorang anggota petani plasma mengutarakan:
147
”Kan dulu ada bambu, dibersihkan. Setelah itu diberi cangkul untuk menggemburkan tanah, terus pengiriman bibit, dilanjutkan dengan pemupukan. Orangnya ditatar. Waktu itu yang melakukan pendaftaran adalah Kepala Desa dan petugas. Untuk 1 ha sudah ada ukurannya untuk penebangan sekian ribu, untuk penyiangan sekian ribu, total sekitar 6 juta. Yang didata nama, umur, lahan, terus dana yang mau diberikan disesuaikan. Pembayaran pucuk dipotong 30% untuk angsuran. Namun sejak April 95 sampai sekarang sudah tidak ada pemotongan lagi. Entah apa sebabnya saya kurang tahu. Cuma sayangnya sertifikat masih menjadi agunan. Kalau menjual tanah pakai SPPT.” (Wawancara tanggal 29-112005). Apabila memakai sisi pandang sistem ekonomi Firth, penyebab petani masih tergolong peasant adalah karena sistem ekonomi masyarakat yang masih menggunakan ketrampilan dan sistem pembagian kerja sederhana. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh digunakannya pisau untuk memetik pucuk teh sebagai alternatif teknik yang diajarkan perusahaan inti. Sistem pembagian kerja sederhana ditunjukkan oleh cara perguliran tenaga pemetik teh. Mereka bergulir dari satu kebun ke kebun lainnya. Dari cara pandang ini terungkap petani masih memperlakukan alat produksi secara non-kapitalistik. Skala produksi tergolong kecil, yakni dengan dukungan lahan yang rata-rata hanya ¼ ha, serta adanya aspek sosial dan keagamaan yang lebih diutamakan daripada aspek materi. Hal ini terbukti dari kecenderungan petani untuk mengutamakan kebutuhan nyumbang daripada merawat teh yang pada gilirannya bisa memberikan kelebihan materi. Ada narasumber yang mengungkap bahwa nyumbang itu seperti pajek rai atau dapat dipahami sebagai upaya penyelamatan muka dalam konteks masyarakat kolektivistik. Keadaan ini seperti tesis Diaz, petani adalah man economic yang harus mengarahkan aktivitasnya dalam dua ruang, yaitu keluarga dan masyarakat.
148
Dalam pada itu jika menggunakan cara pandang Wolf yang mengacu pada jenis mata pencaharian khas, maka petani di wilayah penelitian merupakan peasant yang bercocok tanam dan beternak di daerah pedesaan. Pada mulanya usaha tani tersebut tidak dilakukan dalam kerangka pengusaha pertanian, namun dengan adanya Program PIR, petani mulai belajar kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan ekonomis di samping untuk mengelola rumah tangga. Dalam kerangka ini karena sempitnya lahan petani untuk kegiatan agri bisnis, maka terdapat petani yang menggeser tanaman pangannya untuk tanaman yang bisa dijual (cashcorp). Misalnya menggeser padi dengan teh. Jenis petani ini adalah petani yang berani berspekulasi dengan bisnis. Namun petani demikian tidak banyak. Pada umumnya petani melakukan tumpang sari, misalnya jagung ditumpangsari dengan teh. Dalam persyaratan Proyek PIR, pada awal mulanya, hal ini tidak dibolehkan, namun untuk mengakomodasi
budaya
bertani
masyarakat,
akhirnya
diperbolehkan
pihak
perusahaan. Sistem ini ditempuh petani, agar dapat mencoba agri bisnis, sekaligus untuk menjaga keamanan pangannya. Terdapat beberapa pola penjualan teh, yaitu Pertama, kelompok yang dibina di Beji tidak pernah menjual tehnya di luar Pagilaran. Teh mau dijual kemana itu petani percaya sama kelompok. Kelompok yang loyal itu karena transaksinya tepat, jadwal kendaraannya tepat, dan uangnya sudah pasti, walau harganya turun, dan karena dulunya Pagilaran yang membina adanya kebun teh. Balas budi. Membina secara teknis, seperti cara menanam, cara memetik, dan sebagainya, juga memberi pinjaman pupuk. Hutang budi dengan Pagilaran. Karena kelompok dengan orang lapangan
149
sudah dekat dan dengan kepala unit sudah menjadi keluarga, kalau pinjam truk untuk kegiatan masyarakat bisa, sehingga pabrik sosialnya banyak, maka kelompok tidak punya pikiran kemana-mana, tetap ke Pagilaran. Kedua, di Kalibening Timur banyak petani yang menjual ke luar, karena jangkauan kendaraannya mudah. Tapi yang jelas tergantung orangnya juga, karena walaupun sulit dijangkau, tetapi kalau dihubungi orang luar, sebetulnya ada yang mau juga. Kebanyakan yang menjual ke luar itu bukan kelompok, tetapi petani langsung. Jadi ada pengepul luar. Kalau pengepul yang berasal dari daerah setempat, biasanya orang dagang atau tengkulak. Juru tampung yang membentuk orang luar. Di desa, kelompok pernah dirayu untuk menjadi pengepul bagi orang luar itu. Pengepul dihargai sekian, dari petani hanya sekian, sehingga nanti pengepul dapat keuntungan. Kalau Pagilaran dengan kelompok apa adanya dari sana. Jadi ada organisasinya. Penampung luar keuntungannya lebih tinggi. Pedagang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Sanksi ada karena sudah menandatangani perjanjian. Dengan petani yang menjual ke luar, hubungan petugas menjadi tidak baik atau kurang harmonis. Dengan orang luar harganya juga tidak pasti. Kalau dibeli lagi oleh perusahaan melalui kelompok tetap dengan harga standar. Jelas bahwa dengan orang Pagilaran karena ada petugas lapangan yang setiap hari ketemu, maka kalau ada perubahan situasi yang tidak diketahui, orang perusahaan ada kecenderungan untuk menanyakan langsung. Biasanya langsung menegur, nanti disampaikan ke direksi, karena puncaknya adalah direksi. Persoalan terkait dengan hubungan petani plasma dengan perusahaan inti tersebut, juga ditemui dalam penelitian Bachriadi di PIR Lokal Teh di Jawa Barat.
150
Masalah yang dihadapi terkait dengan proses pembelian pucuk teh, yaitu masalah penimbangan dan pengukuran analisis pucuk teh, serta masalah penjualan pucuk teh oleh petani plasma ke luar perusahaan inti. Dalam masalah penimbangan, perusahaan sering meragukan bobot timbangan petani yang tidak akurat dalam menimbang pucuk teh. Sementara dalam pengukuran analisis pucuk teh banyak ditemukan pucuk kasar yang dijual oleh petani, padahal perusahaan inti menghendaki pucuk teh yang halus untuk menghasilkan teh yang berkualitas bagus. Hal ini berbeda ketika petani menjual pucuk teh ke luar perusahaan inti, pihak luar tidak terlalu menekankan kualitas pucuk teh yang dijual kepadanya. Penjualan pucuk teh ke luar perusahaan dipandang tidak memenuhi kesepakatan penjualan produk yang mengharuskan petani hanya menjual produknya ke perusahaan inti (Bachriadi, 1995:137). Penjualan pucuk teh ke luar perusahaan inti terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang segera harus dipenuhi untuk mendapatkan uang secepatnya atau biasa disebut dengan kehidupan subsisten. Bahkan hal ini sering dipenuhi dengan sistem ijon, yakni dengan mendapat pinjaman uang di muka sebelum pucuk teh dapat dipetik. Namun disebabkan pihak luar tersebut membeli pucuk teh dengan cara insidental, yakni hanya membeli ketika membutuhkan pasokan untuk produksi teh pabriknya, maka pihak inipun tak dapat diandalkan petani untuk keamanan hidupnya. Oleh karena itu tidak ada jaminan kepastian dari pihak luar bagi keajegan pemasaran produk pucuk teh petani.
151
IV. 3.1.2. Kolektivitas: Urip Bareng, Makan Bareng, Sokong-sokongan, dan Gethok Tular Budaya kebersamaan di desa tempat komunitas petani plasma tinggal, masih terasa kental. Perasaan senasib sepenanggungan, satu lokalitas, dan hubungan sosial yang terjalin selama bertahun-tahun karena kedekatan tempat tinggal memunculkan adanya jalinan pertemanan, bahkan perasaan persaudaraan yang kuat. Sebagai contoh kalau ada tetangga yang memiliki harta di desa, mereka tetap
memerhatikan
tetangganya, karena hidup bersama. Informan 27 mengutarakan: ”Kasihan tetangganya, kalau misalnya punya 3 bidang, kalau ada tetangganya yang tidak nggarap, digaduhi 1 bidang, nanti bagi hasil. Tidak ada yang sudah kaya, kemudian hidup sendiri. Kalau di kampung, urip bareng, makan bareng. Gotong royong, sokongsokongan. Urip bareng, maju bareng.” (Wawancara 18-11-2005) Penting untuk mengenal secara lebih dekat tetangganya atau srawung. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa yang namanya rejeki itu thukuling saka
kanca.
(munculnya dari teman). Misalnya waktu nganggur diajak kerja. Kalau nganggur di rumah thok, berarti orang lain tidak tahu kalau ngganggur. Silaturahmi dengan main ke tetangga membuat orang lain akan mengajak “wis nyambut gawe wae karo aku”. Ada juga yang tujuannya biar akrab, untuk cengengesan, ndongok tetangga sebelah. Kehidupan bersama atau hidup bareng menjadikan mereka mempunyai perasaan untuk selalu peduli pada kehidupan tetangganya, misalnya menyuruh mengerjakan lahan dengan cara bagi hasil. Kalau misalnya ada tetangga yang menganggur, maka akan ada upaya untuk memberikannya pekerjaan, sehingga ada konsep makan bareng dan hidup bareng. Saling menolong, contohnya membangun rumah secara gotong-royong, nyumbang kondangan, misalnya sebesar 15 ribu rupiah, 152
apabila tidak mempunyai uang maka tidak nyumbang . Informan 22 menekankan bahwa: ”Petani pada umumnya suka gotong-royong. Kegiatan umumnya bareng-bareng. Misalnya ada yang bikin rumah, tidak digembar-gemborkan, langsung sudah datang sendiri. Kalau ada tukang kayu atau tukang batu, mereka yang bertanggungjawab, namun untuk pekerjaan seperti pemasangan atap dikerjakan bersama-sama. Kalau ada bakti, seperti perbaikan jalan, maka kalau sesepuh atau perangkat desa mengajak, masyarakat akan datang semua. Namun ada juga untuk ‘isen-isening desa’ ada yang tidak guyub. Kalau ada yang demikian, maka akan didatangi perangkat setempat dengan mengatakan bahwa hal itu tidak baik. Contohnya adalah orang yang sama sekali tidak mau ikut kerjabakti, tidak mau ikut siskamling” (Wawancara tanggal 22-11-2005).
Selain persoalan ekonomi, juga terkait dengan pengetahuan yang diperoleh, seperti disampaikan Informan 27, bahwa: ”Kalau ada yang pinter ya harus digethok tularake. Pinter, luber, bener. Pinter tidak untuk sendiri. Jadi pinter kabeh. Kalau ada yang tidak begitu dirasani. “Pinter kok pintere dhewek”. Tidak ada persaingan. Kalau yang nuturi mandor memang sudah kewajiban. Kalau sesama petani tidak berani nuturi, karena akan ditanya apa mau ngasih dana. Gethok tulare kalau ditanya. Kalau mandor banyak omong bukan karena keminter, tapi memang karena sudah tugasnya, kalau pinter ya wajar.” (Wawancara tanggal 18-11-2005). IV. 3.1.3. Feminitas sebagai Simbolisasi Komunitas Petani Plasma Komunitas petani plasma adalah komunitas petani Jawa yang mempunyai dasar moral orang Jawa dengan sifatnya yang utama untuk selalu menciptakan hidup yang
selaras, sehingga keselarasan dalam masyarakat akan selalu dipelihara.
Keselarasan hidup yang selalu dijaga ini dapat menjamin kehidupan yang baik bagi setiap petani, karena keselarasan tersebut dapat membawa pada ketentraman batin dan keseimbangan. Mereka yang bersifat buruk adalah yang memiliki masalah dalam hidupnya, yakni karena hidup yang tidak selaras, sehingga tak dapat hidup tenang.
153
Menurut Murder (1874), manusia yang bisa hidup selaras dengan diri dan dengan masyarakat, akan dapat hidup selaras pula dengan Tuhan, dan dapat menjalankan hidup dengan benar. Aktivitas manusia kemudian dipandang sebagai suatu keseimbangan antara aspek material dan spiritual. Orang perusahaan inti yakin bahwa pada dasarnya manusia diciptakan guna memenuhi kebutuhan hidup, baik dari sisi material, maupun spiritual. Kebutuhan material dipenuhi dengan bekerja, sementara kebutuhan spiritual dipenuhi melalui ibadah. Dalam aktivitas sehari-hari dapat diamati bahwa di tengah aktivitasnya bekerja, karyawan taat dalam menjalankan sholat, dan aktif mengikuti kegiatan pengajian di komunitasnya. Hal demikian juga menjadi orientasi dari petani plasma. Mereka yakin bahwa selain bekerja, mereka perlu beribadah. Ketentraman dan keselarasan tersebut juga terletak dalam relasi antarindividu dalam masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat, mereka harus tolong-menolong, bermusayawarah, rukun, dan andap asor dalam pergaulan. Sebagaimana diungkapkan oleh Informan 22: “Menjaga keselarasan, menjaga pembicaraan, tidak ceplas-ceplos. Supaya srawungnya tetap berlangsung antar petani. Tolong-menolong, misalnya ada orang langsung. (Wawancara 22-11-2005).” Selain dalam pergaulan antarmanusia, juga bagaimana petani membangun keseimbangan dalam relasi mereka dengan alam, sebagaimana kebiasaan petani untuk selalu mengadakan tradisi slametan legenanan. Tradisi Slametan Legananan merupakan upacara tradisi yang dilaksanakan setiap tahun untuk ruwat bumi dengan cara nenggap wayang yang dilaksanakan setiap syawal dengan lakon pertanian,
154
seperti cara bertani, misalnya bagaimana orang adang, jangan dibuka dandangnya, nanti jadi padi lagi, kemudian cara membajak dan sebagainya. Dalam pandangan petani upacara tradisi ini dilaksanakan untuk memberikan penghormatan kepada bumi setelah ”dikencingi, diberaki, dan kemudian ditanami”. Sifat komunitas petani plasma tersebut merupakan simbol dari sifat yang selalu menjaga nature (alam) atau juga bisa diistilahkan sebagai sifat feminin, yaitu selalu dibedakan dan bahkan dilawankan dengan culture
atau masculine yang
cenderung mengeksplorasi dan merusak alam. Prinsip ini seperti Yin (feminin) dan Yang (masculine), merupakan "cosmic energy" yang dikembangkan dengan membedakan energy yang bersifat negatif (yin) dan positif (yang). Yin Yang merupakan prinsip negatif positif yang dapat diterapkan karena semua hal memang memiliki sifat dualisme. Dingin dan panas, siang dan malam, musim dingin dan musim panas, utara dan selatan, api dan air, perempuan dan laki-laki, genap dan ganjil, feminin dan maskulin, hitam dan putih, bumi dan langit, bumi dan matahari, bundar dan persegi.
IV.3.1.4. Mobilitas Ke Luar yang Rendah Salah satu karakter lain dari petani plasma di daerah penelitian ini adalah mobilitas ke luar daerah yang rendah. Umumnya petani jarang bepergian ke kota atau daerah lain di luar wilayah desanya. Hanya sejumlah kecil petani menyatakan pernah bepergian ke luar desa untuk keperluan studi banding atas prakarsa PT Pagilaran atau mencari penghasilan tambahan. Hal tersebut seperti tampak dari pernyataan Informan 22 di bawah ini. 155
”...Selain studi banding, petani jarang pergi ke luar kota, seperti Pekalongan. Yang ke Jakarta tidak banyak, yang sering pergi adalah ibunya, kerja rumah tangga untuk memperbaiki rumah atau karena kurang cukup bisa memenuhi kebutuhan keluarga.” (Informan 22, wawancara tanggal 22-11-2005). Mobilitas ke luar yang rendah mengakibatkan orientasi kehidupan petani plasma tidak seperti halnya para pekerja dan karyawan di PT Pagilaran yang berorientasi ke masa depan, melainkan petani umumnya berpikir untuk kecukupan hidup hari ini atau jangka pendek: “Kehidupan orang-orang perusahaan cenderung mikir masa depan. Kalau petani cenderung mikir hari ini. Cenderung mikir ke masa depan, misalnya dengan mengadakan studi banding ke Bandung. Itu kan diberi masukan-masukan bagaimana nanti pabrik bisa maju ke depan. Bagaimana ke depannya berarti tergantung pada perusahaan. Perusahaan tergantung pada petani bagaimana cara perawatan pucuk teh. Perusahaan kan harus memikirkan kesejahteraan petani, nanti petani bisa mengerjakan kebunnya bagus. Otomatis perusahaan bisa meningkatkan kesejahteraan itu. Kalau bangkrut kan kasihan juga para petani” (Informan 33, wawancara tanggal 17-11-2005). Pengalaman petani plasma dalam studi banding yang diprakarsai PT Pagilaran nampak memberikan manfaat besar bagi petani plasma, yaitu munculnya keyakinan petani bahwa budidaya tanaman the yang baik itu bisa memberikan hasil yang baik pula sebagaimana mereka lihat dalam studi banding ke Gambung (Pusat perkebunan teh): “….Kita ajak kelompok tani untuk studi banding ke Gambung, sampai akhirnya petani yakin bahwa Gambung itu baik”.(Informan 3, wawancara tanggal 19-04-2006). Namun demikian ternyata sebagian besar masih bertahan dengan kondisi subsistensinya,
belum banyak yang memikirkan keuntungan usaha tani, kecuali
beberapa dari mereka yang pernah studi banding: 156
“Petani belum bisa diajak maju, artinya belum ada keadaran petani untuk melakukan prosedur budidaya teh. Yang sudah tea-minded baru sedikit, masih banyak yang mikir subsisten. Jadi yang mengejar keuntungan belum mayoritas. Petani ada yang sudah pernah diajak studi banding ke perkebunan teh lain. Petani yang benar-benar petani jarang keluar. Mereka keluar cuma untuk beli keperluan. Para ibu yang berbelanja sembako keluar” (Informan 6, wawancara tanggal 21-11-2005).
IV.3.2. Perilaku Komunikasi Komunitas Petani Plasma Sebagaimana paparan tentang perilaku komunikasi komunitas perusahaan inti, deskripsi tentang perilaku komunitas petani plasma dalam paparan ini dilihat dari elemen sumber, pesan yang terdiri dari isi dan gaya, serta saluran.
Sumber Pesan Komunitas petani plasma pada dasarnya menyukai komunikator dengan orientasi lokal untuk menyampaikan pesan-pesan penyuluhan. Hal ini seperti yang terungkap dari pernyataan Informan 23 sebagai berikut. ”Mandor harus tahu slahe petani, harus diajak ngomong baikbaik dulu baru diajari. Harusnya sesrawung, kenal, misalnya wedangan bareng, makan bareng. Petani tidak mau kalau mandor ceriwis. Yang bertahan jadi mandor adalah yang asli dari sini” (wawancara tanggal 26-11-2005). Orientasi pada orang lokal, diungkapkan pula oleh Informan 30 sebagai berikut. ”Strategi pendekatan ke petani adalah jangan sampai petani dibuat tersinggung. Kalau tersinggung bisa marah. Misalnya nyetor teh jam 1, menunggu truk sampai jam 3. Mandor jengkel, petani jengkel, maka besok-besoknya bisa tidak mau metik lagi. Contohnya bisa timbul komentar, “Nek kaya ngene bisa rugi thok”. Harusnya petani ditemani, didongengi, diajak bicara. Kalau mandor angkuh dan tidak pernah kelihatan, petani tidak akan tertarik sedikitpun. “Asale gadhah katresnan kalih petani, mangke petani nggih nggadhahi katresnan. Kalau mandor tidak cinta sama petani, petani ya krasa”. Mandor yang tidak disukai petani adalah mandor yang dumeh. Njaluk diregani, ning 157
ora gelem ngregani. Ini mandor yang tidak sopan. Contohnya karena merasa mandor, meskipun lebih muda, tidak mau menyapa lebih dulu petani yang lebih tua. Kalau mandor lama tidak tampak di lapangan, maka petani akan menyampaikan ke korwil” (wawancara tanggal 03-122005). Informasi yang disampaikan oleh Informan 30 tersebut berkaitan dengan fakta di lapangan bahwa mandor yang bertugas di daerahnya merupakan mandor yang bukan berasal dari komunitas setempat. Dari dua informasi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya, petani memiliki kecenderungan menyukai orang lokal sebagai sumber pesan. Oleh karena sumber pesan dalam penyuluhan adalah mandor, maka mandor yang berasal dari komunitas lokal dipandang oleh petani sebagai sumber pesan yang paling sesuai. Hal ini karena mandor lokal dapat mengerti slah (kemauan) petani. Selain itu, mandor lokal dipandang dapat memahami kebiasaan petani memperlakukan orang lain dengan tata cara lokal, misalnya tata cara dalam menghormati orang yang lebih tua.
Isi Pesan Komunitas petani plasma cenderung menyampaikan pesan yang berorientasi pada hubungan atau kelompok. Hal ini dapat dilihat dari informasi Informan 8 berikut: ”Dari petani ada tuntutan untuk membuat jalan, mereka minta bantuan untuk bisa bareng-bareng” (wawancara tanggal 09-12-2005).. Sementara itu beberapa informan lain mengatakan: ”Dari pabrik tidak ada istilahnya ya wis ben metu. Jadi selalu diupayakan masuk ke pabrik. Tapi karena petaninya butuh uang cepat untuk kondangan dan sebagainya.” (Informan 33, wawancara tanggal 1711-2005). 158
“Permasalahannya kan kelompok hanya menampung kemudian mengambil uangnya seminggu sekali. Tapi dalam perjalanan waktu petani minta cash. Kadang petaninya tidak masalah, tapi tukang petiknya masalah. Bahkan dalam perjalanan waktu, tidak hanya meminta cash, tapi malah ngebon dulu untuk keperluan kondangan, nyumbang, sosial.” (Informan 15, wawancara tanggal 24-11-2005). Dari beberapa informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa orientasi isi pesan petani plasma yang disampaikan kepada perusahaan inti adalah di seputar kepentingannya untuk komunitasnya. Kepentingan itu seperti permohonan bantuan kendaraan untuk pembangunan jalan dan melaksanakan kegiatan pengajian bersama. Selain itu, juga untuk kepentingan memenuhi kewajibannya sebagai anggota komunitas, seperti menyumbang untuk acara-acara yang berkaitan dengan tradisi komunitasnya.
Gaya Penyampaian Pesan Dalam penyampaian pesan, komunitas petani plasma ada kecenderungan berkomunikasi dalam konteks rendah dan dalam konteks tinggi. Hal ini dapat dicermati dari beberapa informasi sebagai berikut. ”Tidak ingat. Tidak tahu isinya. Sing penting nampa dhuwit”. (Informan 31, wawancara tanggal 29-11-2005). ”Misalkan waktu pembayaran yang tidak tepat dan tidak tahu kapan dibayarkan akan menimbulkan kecemasan. Petani akan menanyakan “asline arep dibayar po ra sih?” (Informan 22, wawancara tanggal 22-11-2005). “Seksi usaha termasuk usaha pupuk. Di sini tidak ada regu petik. Regu petik dibentuk kalau ada lahan yang terlantar. Di sini, yang metik adalah petani pemilik dan nyambat liyane, nanti giliran. Setiap hari nyari tenaga. Di sini turah tenaga. Kalau mencari dengan
159
pertanyaan, “Nganggur ra, yen nganggur ngewangi aku?”.(Informan 24, wawancara tanggal 02-12-2005) “Kalau ada mandor Bedana tidak datang, saya sebagai petani dan sekaligus karyawan pabrik menyampaikan, “Kae tulung Bedana ditiliki”. Saya sampaikan secara personal, tidak resmi dinas secara tertulis.” (Informan 34, wawancara tanggal 06-12-2005). Informan 31 dengan lugas menyatakan bahwa yang penting dia menerima uang dari produksi pucuk tehnya. Sementara masalah perjanjian kontrak dia tidak pahami. Informan 22 menyatakan bahwa petani pada saat belum menerima bayaran uang pucuk akan dengan lugas menanyakan apakah uang pucuk akan dibayarkan. Sementara itu Informan 24 menanyakan dengan pesan berkonteks rendah yang jelas maknanya bahwa ia membutuhkan tenaga kerja. Dari Informan 34 tampak bahwa ia meminta mandor yang bertugas di desanya untuk mengunjungi petani. Oleh karena ia selain sebagai petani tetapi juga bekerja di pabrik, maka ia perlu menjaga hubungannya dengan mandor. Untuk itu pesan disampaikan dalam konteks tinggi yang artinya bahwa kata tilik yang artinya berkunjung sesungguhnya memiliki makna lain, yaitu agar mandor memenuhi tugas membimbing petani di desanya. Sementara itu orientasi non verbal petani tampak dari beberapa informasi berikut. ”Saya mengumpulkan petani supaya tenang, karena sudah ada yang sesumbar mau dibabad” (Informan 18, wawancara tanggal 2911-2005). “Kalau petani punya ide, misal teh mau dirobah dengan padi, maka pengurus kelompok dan petugas lapangan memberi saran, “Jangan dululah, walaupun harga gitu-gitu aja, ya ditunggulah sampai kapan kita bisa naik. Jangan ikut-ikutan orang yang gak tahu permasalahannya. Barangkali nanti tahun depan harganya naik” (Informan 29, wawancara tanggal 15-11-2005). 160
Dua informasi tersebut dapat dimaknai adanya orientasi non verbal petani saat tidak menyetujui realitas yang terjadi dalam relasi kemitraan. Pada saat tidak setuju, ada kecenderungan untuk menggunakan simbol non verbal, seperti membabat tanaman teh atau mengganti tanaman tehnya dengan tanaman yang lain sebagai sikapnya terhadap harga pucuk teh yang tidak kunjung membaik. Dalam gaya penyampaian pesannya, komunitas petani plasma pada dasarnya memiliki gaya komunikasi tidak langsung. Kecenderungan ini tampak dari pernyataan Informan 22 berikut. ”Tujuan srawung dilandasi pemikiran bahwa yang namanya rejeki itu thukuling saka kanca. Misalnya nganggur diajak kerja. Kalau nganggur di rumah thok, berarti kan orang lain tidak tahu. Orang lain tidak tahu kalau itu ngganggur. Silaturahmi dengan dolan, maka orang lain akan mengajak “wis nyambut gawe wae karo aku”. Ada juga yang tujuannya biar akrab, untuk cengengesan, ndongok tetangga sebelah.” (wawancara tanggal 22-11-2005). Dari situ dapat disimpulkan bahwa petani dalam konteks srawung petani biasa berbicara apa saja tanpa tujuan namun dari pembicaraan itu dapat muncul manfaat yang dapat diambil. Sebagai contoh mendapat manfaat memperoleh pekerjaan. Jadi mereka biasa bicara banyak topik sebelum ditemukan topik yang lebih penting seperti mendapat pekerjaan. Saluran Komunitas petani plasma cenderung memilih saluran komunikasi interpersonal yang informal dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan hubungan, sehingga dapat dikatakan bahwa kecenderungan ini bermula dari karakteristik relasinya yang ekspresif.
161
Saluran seperti ini dapat dilihat dalam bentuk srawung, seperti yang diungkapkan oleh Informan 22 di atas.
IV.4. Adaptasi dalam Perilaku Komunikasi Komunitas Perusahaan Inti terhadap Petani Plasma Temuan studi mengenai adaptasi dimulai dengan paparan pengalaman subjektif dari komunitas perusahaan inti, dilanjutkan dengan paparan pengalaman subjektif dari komunitas petani plasma. Setelah itu dipaparkan
pengalaman
intersubjektif dengan mengambil pengalaman-pengalaman yang dipandang menonjol dari setiap informan. Paparan dikategorikan menjadi dua topik, yaitu adaptasi dalam strategi konvergensi dan adaptasi dalam strategi divergensi.
IV.4.1 Adaptasi dalam Strategi Konvergensi Deskripsi Subjektif Informan Perusahaan Inti Informan 7 Pria yang menjabat sebagai kepala unit ini bertempat tinggal di lingkungan petani plasma tidak jauh dari lokasi pabrik. Ia memiliki pendidikan sarjana pertanian. Sehari-hari, ia pergi ke kantornya yang berjarak sekitar 2 km dari pabrik. Ia mengaku terlibat dalam Proyek PIR yang dimulai pada tahun 1986. Dari pengalamannya memimpin unit produksi, sekarang ini ia cenderung untuk mengangkat mandor lokal, karena menurut pengalamannya sejak Proyek PIR dimulai hingga sekarang, terbukti mandor lokal dapat berhasil dalam melakukan pendekatan terhadap petani.
162
“Kebanyakan petugas lapangan itu orang lokal, orang setempat, yakni yang berpendidikan yang punya kemampuan. Ini yang kita rekrut. Jadi dulu pada waktu awal proyek kan butuh tenaga yang cukup banyak untuk pembimbingan petani. Di masing-masing desa ada satu petugas lapangan. Tapi itu kan sifatnya bantuan teknis dari inti. Setela konstruksi selesai, mereka ditarik lagi ke Pagilaran. Awal membimbing dari tanam sampai petik. Setelah itu dikurangi. Dulu ada kira-kira 35-50 mandor. Sekarang tinggal 10-15 mandor. Yang masih tersisa itu terlihat signifikan bahwa orang-orang setempat berhasil dalam pendekatan. (Informan 7, wawancara tanggal 09-12-2005). Dalam pengamatannya, mandor dari komunitas luar sering mengalami hambatan dalam melakukan tugas-tugasnya. Sekarang ini menurutnya memang masih ada mandor yang tidak dari komunitas setempat. Ia dapat membandingkan adanya perbedaan dalam mendekati petani antara mandor dari luar dan yang berasal dari komunitas setempat. “Kalau yang saya amati, orang-orang yang tidak dari sini untuk masuk ke dalam masih ada hambatan. Keberhasilan mandor antara yang di Paninggaran dan Kalibening memang lain. Mandor yang di Paninggaran itu tidak bertempat tinggal di masing-masing desa. Semacam dilajo. Kalau yang di Kalibening, 24 jam tinggal di desa. Waktunya lebih banyak untuk kontak. Kesempatan kontak lebih banyak. Keadaan ini tidak disengaja dalam kaitannya dengan penempatan. (Informan 7, wawancara tanggal 09-12-2005). Mandor dari komunitas setempat menurutnya bisa memahami petaninya. Mereka bisa berbicara dalam perspektif petani. Hal ini disebabkan mereka terlibat penuh dalam kehidupan petani. “Signifikan itu jadi kalau mereka sudah mindfulness, maka mereka akan bisa berbicara dalam perspektif petani. Di samping itu juga karena mereka punya kebun sendiri. Petugas juga merasakan mengenai harga, kesulitan pemeliharaan, kesulitan untuk memutar modal. Jadi petugas lapangan itu tidak saja secara teori, tapi secara praktek juga melakukannya di kebun sendiri. Mereka bisa bertindak sebagai petani. Mereka bisa memposisikan sebagai pembina petani teh, dan bisa juga sebagai petani. Karena sudah mengalami semua. Terlibatnya full 163
dalam kehidupan petani. Petugas sebagai jembatan komunikasi antara petani dan perusahaan, dalam hal ini adalah direksi. Jadi di satu pihak, direksi Pagilaran, di satu pihak adalah petani. Yang di unit ini menjadi jembatan dua arah. Kalau sudah mindfulness, komunikasinya terjamin efektif” (Informan 7, wawancara tanggal 09-12-2005).. Pada umumnya para mandor lokal tersebut merupakan tokoh-tokoh yang aktif dalam kegiatan desa. Ia mengatakan bahwa: “Petugas lapangan itu setiap ada kegiatan di desa selalu dilibatkan. Dari Pilkades, Pilkada, terus proyek-proyek pembangunan desa lainnya. Mereka jadi fasilitator atau pengawas. Artinya Pilkades, Pemilu jadi panitia, jadi pengawas pembangunan. Prinsip saya, porsi perusahaan dipenuhi, di sana juga jalan. Ini merupakan perekat kita bekerja. Adaptasi dengan lingkungan dan mengambil kesimpulan sendiri, melaksanakan sendiri”.(Informan 7, wawancara tanggal 09-122005). Selain merupakan tokoh kunci di desa masing-masing, para mandor juga memiliki kemampuan lebih daripada warga desa lainnya karena statusnya sebagai karyawan PT Pagilaran. Sebagai karyawan perusahaan inti, para mandor memiliki kemampuan kesempatan untuk berhubungan dengan para pejabat kecamatan.
“Kalau yang jelas mandor itu jadi key person di desa. Jadi petugas lapangan kami tidak ada yang tidak jadi petugas waktu pemilu. Semua terlibat. Jadi pemilu dan pilkades, biasanya petugas kami jadi panitia, dari guru dan dari unsur petugas lapangan kami. Jadi dipandang bahwa petugas lapangan mempunyai nilai plus dibandingkan orang di desa. Katakanlah nilai plus administrasi dan nilai plus karena sering berhubungan dengan birokrat-birokrat, maka ini dimanfaatkan”.
164
Ia mengatakan sering menyutujui permintaan petani agar perusahaan memberikan pinjaman sarana angkutan untuk kegiatan kolektif mereka yang disebut sebagai kegiatan “bareng-bareng”, seperti pengajian, pembangunan jalan, dan sebagainya. Dalam konteks gaya penyampaian pesan, ia mengarahkan para mandornya agar tidak bicara soal teh saja, namun perlu didahului dengan pembicaraan lain di luar teh. “Anda sebagai petugas teh, jangan hanya cerita soal teh, tapi cerita sapi, cerita ikan. Yang inti adalah teh, tapi ini sebagai pendukung kekuatan, sehingga tidak putus. Ini kunci saya, sehingga kami masih terdukung produksinya”. (Informan 7, wawancara tanggal 09-122005). Ia mengarahkan mandornya untuk mendekati petani plasmanya dengan saluran interpersonal yang lebih bersifat informal, selain menggunakan saluran kelompok, agar efektif dalam mendekati petani. “Jadi ada dua jalur, formal dan informal. Dua-duanya dilaksanakan. Jadi efektifnya memang langsung”.(Informan 7, wawancara tanggal 09-12-2005).
Informan 6 Mandor Besar ini berusia 45 tahun. Ia memiliki latar belakang pendidikan STM Pertanian. Pria ini telah bekerja di PT Pagilaran selama 21 tahun. Ia mengaku terlibat Proyek PIR sejak tahun 1987. Ia berasal dari dan tinggal di sebuah desa di Wilayah Kecamatan Paninggaran. Sebagai Mandor Besar ia mengoordinasi para mandor yang bertugas di Wilayah Paninggaran. Ia membawahi lima mandor yang bertugas di 11 desa.
165
Dari catatan pengalamannya sebagai mandor besar, mandor yang baik adalah yang loyal, mau bekerja, dan bisa bermasyarakat, karena ada mandor yang berasal dari komunitas setempat, namun tidak mampu menjalin relasi yang baik dengan petani dan tokoh masyarakat., akhirnya tidak disukai petani, sehingga ada petani yang kemudian menjual pucuk ke luar perusahaan inti.
“Di Desa Lomeneng, mandornya orang lokal (pribumi), karena kecemburuan sosial, ada yang kemudian menjadi pengepul untuk menjual ke luar. Dia mau berhenti menjual ke luar asal mandornya bukan itu. Syarat untuk menjadi mandor adalah loyal, mau bekerja, dan bisa bermasyarakat. (Informan 6, wawancara tanggal 21-11-2005).
Informan 14 Pria ini bekerja di PT Pagilaran sudah selama 19 tahun. Ia bekerja sejak Proyek PIR dimulai pada tahun 1986.
Usianya sekarang 40 tahun. Ia memiliki
pendidikan STM Pertanian. Saat ini, ia menjabat Mandor Besar Bagian Tanaman dengan wilayah kerja di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kalibening dan Kecamatan Pandanarum. Ia berasal dari sebuah desa di wilayah kecamatan lain di lingkungan Kabupaten Pekalongan, tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah menikah, ia menetap di lingkungan petani plasma. Dalam menjalankan tugasnya sebagai Mandor Besar, ia banyak melakukan kunjungan ke rumah-rumah petani plasma untuk mendampingi mandor lapangan dengan melakukan kunjungan ke desa-desa di wilayah kerjanya secara periodik. Biasanya ia mendampingi mandor lapangan jika ada masalah yang tak dapat diselesaikan sendiri oleh mandor tersebut. Suasana komunikasi yang dibangun di
166
tengah di lingkungan rumah petani membuat pembicaraan berlangsung dalam suasana yang akrab. Ia mengaku, meskipun menyampaikan pesan yang sama, namun situasi dipabrik dan di rumah petani ada perbedaannya. Di rumah petani, ia biasa berbicara tidak langung pada topik teh, namun ia mulai pembicaraannya dengan berbicara tentang topik-topik lainnya. Ia biasa menggunakan gaya tidak langsung atau berputarputar untuk menyampaikan pesan yang sekiranya kalau disampaikan langsung akan menimbulkan penolakan petani. Sebagai contoh adalah dalam penyampaian pesanpesan yang sensitif, seperti masalah harga. Ia memberi contoh cara penyampaian pesan yang berbeda untuk informasi yang sama. ”Seandainya harga pucuk naik tapi sudah diperinci, misalnya kembali ke enam ratus lima puluh, ini sudah dipotong kredit. Bahasanya dibuat lain. Regane nematus, ning wis dinggo ngangsur seket (wis termasuk ngangsur)”.(Informan 14, wawancara tanggal 19-11-2005).
Dalam konteks penjelasan tentang harga tersebut, ia mengatakan harga pucuk teh enam ratus lima puluh rupiah, namun sudah termasuk mengangsur.
Deskripsi Subjektif Informan Petani Plasma Informan 23 Petani ini berusia 54 tahun. Ia sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar yang pada waktu itu disebut Sekolah Rakyat. Ia mengaku tidak tamat pendidikan dasar. Ia tampak menyetujui adanya perekrutan mandor lokal. Ia memiliki pengalaman dengan mandor luar yang ternyata tidak bisa mengambil hati petani,
167
sehingga ada masalah dengan petaninya. Mandor yang paling sesuai menurutnya adalah mandor yang mengerti cara mendekati petani. Ia mengamati mandor yang bisa bertahan sampai sekarang adalah mandor asli setempat. “Mandor harus tahu slahe petani, harus diajak ngomong baikbaik dulu baru diajari. Harusnya sesrawung, kenal, misalnya wedangan bareng, makan bareng. Petani tidak mau kalau mandor ceriwis. Yang bertahan jadi mandor adalah yang asli dari sini” (Informan 33, wawancara tanggal 17-11-2005). Dari pengalamannya
bergaul dengan komunitas perusahaan inti, ia mengatakan
pernah disuluh dengan bujukan yang sebut sebagai pangiming-iming. “Ada pangiming-iminge, “E wong dha nandur teh iki suk mben kepenak”. Bibitnya dari Pagilaran, dikasih kredit nanti dipotong 30%. Umpama setor 1 kw dipotong 30 kg. ‘Makannya roti, wedange susu’. Pemahaman saya demikian. Harga tidak seperti sekarang, ada harga proteksi
Informan 30 Pria berusia 73 tahun ini masih aktif mengurus tehnya. Di kelompoknya, ia adalah anggota biasa. Ia mengaku bermitra dengan perusahaan sejak Proyek PIR dimulai pada tahun 1986. Baginya usahatani yang dikerjakan adalah yang dapat memberi panguripan (keamanan pangan) lebih dulu. Kalau dari teh dirasa kurang menghasilkan, maka ia berfokus ke tanaman lain, seperti padi, melinjo, dan tanaman lainnya. Sebaliknya, kalau teh membaik, ia akan kembali pada teh. Dari pergaulannya dengan mandor yang pernah bertugas di desanya, ia mengaku pernah memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan. Ia menceritakan
168
pernah dibuat tersinggung oleh mandor sehubungan dengan terlambatnya truk pengangkut pucuk teh, sehingga petani menunggu selama tiga jam. Ketika ia mengaku kesal atas keterlambatan tersebut, mandornya tidak berusaha membuat suasana menjadi tenang, namun justru membalasnya dengan sikap marah. “Nek kaya ngene bisa rugi thok”. Harusnya petani ditemani, didongengi, diajak bicara. Kalau mandor angkuh dan tidak pernah kelihatan, petani tidak akan tertarik sedikitpun. “Asale gadhah katresnan kalih petani, mangke petani nggih nggadhahi katresnan. Kalau mandor tidak cinta sama petani, petani ya krasa”.(Informan 30, wawancara tanggal 03-122005).
Informan 29 Pria yang bependidikan SD ini di dalam kelompok tani tehnya menjabat sebagai ketua. Umurnya 41 tahun, keterlibatannya sebagai petani plasma sudah sejak 19 tahun lalu atau sejak awal mula masuknya Proyek PIR. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ia menjadi petani plasma sejak berusia 22 tahun. Dalam catatan pengalamannya, pihak perusahaan tampak bisa memahami ketika ia mulai mengeluhkan tentang rendahnya harga teh. Seolah-olah membenarkan kesulitan yang dihadapi. Menurutnya, mereka selalu memberikan saran kepada petani, agar petani mencari penghasilan lain di luar teh. Ia memberi contoh tanggapan kepala unit pada saat ia menyampaikan keluhannya. “Jangan hanya berat pada tanaman teh saja, namun juga mencari pekerjaan lainnya, seperti ngrumat sapi, ngrumat tanaman sawah, menanam padi, menanam jagung”. (Informan 30, wawancara tanggal 03-12-2005).
169
Deskripsi Intersubjektif Para Informan Dari
penuturan
para
informan
tersebut
dapat
dikemukakan
bahwa
pengangkatan mandor dari orang lokal karena didasari pengalaman bahwa mandor lokal terbukti lebih berhasil dalam mendekati petani. Pada umumnya mandor adalah orang lokal yang berpendidikan dan berpengalaman. Selain itu juga loyal, mau bekerja dan bisa bermasyarakat. Mereka yang berasal dari komunitas lokal, lebih banyak memiliki kesempatan kontak dengan petaninya. Para mandor ini pada umumnya memiliki kebun sendiri, sehingga bisa merasakan berbagai kesulitan petani. Tidak hanya itu, mereka juga terlibat penuh dalam kehidupan petani dan merupakan tokoh kunci di desa. Mandor lokal menurut catatan narasumber dapat memahami kemauan petani, karena mereka memiliki kebiasaan yang sama dengan petaninya. Meskipun demikian, ada catatan seorang informan, yang menyatakan bahwa mandor lokalpun ada yang bermasalah dengan petaninya, yaitu ketika tidak bisa memahami kemauan (slahe) petani. Oleh karena itu yang penting kemudian adalah bagaimana memahami kemauan petani. Oleh karena itu mandor luarpun bisa tetap efektif dalam menjalin komunikasi dengan syarat dapat memahami petaninya. Selain itu juga dapat melakukan pendekatan terhadap tokoh masyarakat setempat. Namun yang jelas orang lokal tampak lebih diutamakan dalam pengangkatan mandor . Dari catatan informan, persetujuan atas pesan yang disampaikan oleh petani, seperti ketika petani mengajukan permintan bantuan sarana transportasi adalah dalam konteks untuk mencapai relasi yang baik dengan petani. Strategi konvergensi
170
dilakukan pula oleh komunitas perusahaan inti ketika menghadapi keluhan petani. Pernyataan yang bermakna sepakat atas kondisi sulitnya kehidupan petani dapat menunjukkan bahwa perusahan memiliki empati terhadap petani. Dari catatan pengalaman informan, tampak bahwa adaptasi yang dilakukan oleh komunitas perusahaan inti dalam gaya penyampaian adalah dengan menggunakan cara bicara berputar-putar untuk pesan yang sensitif yang bisa menggangu relasi antara mandor dan petani. Selain itu juga menggunakan gaya penyampaian pesan berkonteks tinggi untuk merubah perilaku petani. Sementara itu, dalam elemen saluran, adaptasi konvergensi yang dilakukan oleh perusahaan inti adalah dengan menggunakan saluran interpersonal yang lebih informal. Dari catatan informan dapat dikemukakan bahwa saluran interpersona dipandang lebih efektif dalam memberikan bimbingan kepada petani.
IV.4.2. Adaptasi dalam Strategi Divergensi Deskripsi Subjektif Informan Perusahaan Inti Informan 6 Sebagai mandor besar, ia mengaku harus mendampingi mandor di bawahnya untuk mengendalikan kualitas pucuk teh di tingkat petani. Oleh karena itu, bersama dengan mandor ia akan memberi teguran kepada para petaninya, jika mereka melakukan petik kasar. Ia mencontohkan, melalui perkataan yang sopan, ia memberi teguran kepada petaninya. “Mak, nek methik ampun kados niki. Niki kasar”. Sebagai mandor tanaman ia memang harus selalu memberi teguran kepada petaninya,
171
meskipun ia tahu ada petani yang hanya memenuhi aturan selama dalam pegawasan mandor.
Informan 14 Persoalan untuk selalu membawa petani pada ketentuan pabrik seringkali membuat pria yang bertugas sebagai koordinator mandor bagian kebun ini kesal. Dari pengalamannya mengawasi aktivitas penimbangan di TPH, ia mengaku sering melakukan tawar-menawar di tempat itu dengan petani. Petani seringkali memaksa untuk mendapatkan harga yang bagus, namun dengan kualitas yang tidak sesuai. Ia mengatakan kalau perilaku petani seperti pada umumnya penjual, minta harga tinggi untuk barang yang tidak berkualitas. “Kalau penjual kan biasa barange elek ning regane apik. Wajar”. Oleh karena itu kemudian ia menggunakan alat analisis untuk mengatasi persoalan tersebut. Sebagai orang perusahaan, ia mengaku tidak ingin waktunya habis untuk eyel-eyelan atau tawar-menawar di TPH. Informan 22 Pria ini adalah salah seorang mandor yang bertugas di Wilayah Paninggaran. Ia berusia 37 tahun, berpendidikan SMA. Ia adalah mandor asli desa setempat. Sebelum diangkat menjadi mandor, ia merupakan pengurus kelompok tani teh. Ia dipromosikan menjadi mandor oleh Mandor Besar yang bertugas sebagai koordinator di Wilayah Paninggaran. Ia bertugas untuk empat desa, yaitu Bojongireng, Tenogo, Bedagung, dan Panumbangan. Ia sendiri tinggal di Bojongireng.
172
Ia mengaku sering bertemu dengan petani yang tinggal satu desa dengan dirinya. Untuk petani di desa-desa lainnya, ia mengaku bertemu pada saat ia berkunjung ke TPH. Dalam pergaulannya dengan petani ia dapat menyimpulkan bahwa ada petani yang hanya berpikir asal berkerja, memetik banyak pucuk, tanpa berpikir tentang kualitas, termasuk dalam memetik teh, sehingga hasil petiknyapun menjadi kasar. Menghadapi petani demikian, di TPH ia akan mengatakan ”yen kasar ra tak gawa”. Artinya kalau petani melakukan petik kasar, maka hasilnya tidak akan diangkut ke pabrik. ”Ada yang mung waton kerja sedina, dari pagi jam delapan nganti sore jam empat. Tapi ada juga petani yang kerja sing bener. Ada petani yang berpikir “sing methik sing bener, mengko yen pabrike bangkrut, melu rugi”. Tapi ada petani yang berpikir “sing penting nyong oleh akeh, wong borongan”. Kalau ada pemikiran seperti itu, kalau ada petugas ya tidak bisa. Di TPH sendiri diseleksi, “yen kasar ra tak gawa”. Jadi yang tidak layak olah tidak dibawa” (Informan 22, wawancara tanggal 22-11-2005)..
Deskripsi Subjektif Informan Petani Plasma Informan 18 Wanita ini asli kelahiran Kecamatan Kalibening. Ia berpendidikan SD tidak tamat. Pada masanya, Sekolah Dasar (SD) disebut Sekolah Rakyat (SR). Ia berusia 51 tahun. Dalam usianya, ia masih tampak gesit dan cekatan. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila saat ini ia adalah satu dari sedikit wanita yang menjabat sebagai ketua kelompok tani teh. Ia terlibat sebagai petani plasma sejak awal masuknya Proyek PIR di wilayah tempat tinggalnya. Dengan kata lain ia menggeluti teh dan bermitra dengan perusahaan inti sudah selama 19 tahun. Di lingkungan
173
perusahaan, ia dikenal sebagai petani teh yang vokal. Ketika Wahana Komunikasi Antar kelompok (WKAK) masih aktif, ia seringkali mewakili petani dalam negosiasi formal dengan perusahaan. Sebagai petani teh, ia tergolong maju dan menggemari teh. Ia mengatakan bahwa merawat teh sudah berkembang menjadi kegemaran. Ia pernah mengikuti berbagai kursus atau pelatihan teh yang melibatkan petani plasma. Dari pengalamannya, ia mengatakan memang ada mandor yang nyengit, yaitu yang suka menjelek-jelekan petani. Misalnya dengan mengatakan bahwa petani tidak mau merawat teh, pucuknya tidak bagus. Tapi menurutnya ada pula mandor yang bisa memberi motivasi kepada petaninya. “Kadang-kadang ada yang nyengit. Contohnya ada orang pabrik yang menjelek-jelekkan petani, padahal PT maju kan karena petani. Kalau petani tidak masok bahan baku, PT mau masak apa. Tapi ada yang menjelek-jelekkan petani, petani tidak mau merawat teh, pucuknya tidak bagus”.(Informan 18, wawancara tanggal 29-112005). Namun demikian, ia seringkali membantu pihak perusahaan untuk memberitahu atau menjelaskan persoalan perusahaan kepada petani anggota kelompoknya. Ia mencontohkan dalam konteks macetnya kegiatan produksi pabrik sebagai akibat adanya kenaikan harga BBM. “Tenanglah bae, tenang. Sebingung-bingungnya petani masih lebih bingung perusahaan. Paling-paling petani rugine mung se ha. Direksi tekane karyawan kuwi rugine pirang trilyun. Begitu saya berbicara kepada petani. Sekarang sedang libur, ya tidak usah dipetik. Saya mengumpulkan petani supaya tenang, karena sudah ada yang sesumbar mau dibabad. Ra usah dibabad, paling rugine mung se ha” (informan 18, wawancara tanggal 2911-2005)..
174
Ia mengatakan, mandor sering berkunjung ke rumahnya untuk memberi bimbingan. Selain melalui kunjungan. Ia juga sering bertemu mandor di tempat kondangan. Pada kesempatan itu, mandor sering menanyakan perkembangan tanaman tehnya, ketika ada gejala petani mulai tidak tekun merawat teh.
“Mertamu ke pengurus kelompok juga sering dilakukan. Yang namanya orang kampung, kalau kampanye, kampanye politik atau teh, itu sering dilakukan, misalnya sambil jagong bayen bareng-bareng, kondangan bareng-bareng, posyandunan. Sebagai contoh sambil nanya, ‘Nggone rika tehe kaya ngapak?’. Ini malah sering menghasilkan. Efektif. (Informan 18, wawancara tanggal 29-11-2005).
Informan 27 Pria berusia 54 tahun ini mengaku berpendidikan SD tamat. Di kelompoknya, ia adalah ketua salah satu kelompok di desa Bojongireng. Ia mengaku terlibat sebagai petani plasma sudah selama 19 tahun. Sebagai ketua kelompok, ia sering menirukan kata-kata mandor ketika memberi saran pada petani. Menurutnya, pada saat petani mulai mengeluhkan rendahnya harga teh, dan memutuskan untuk meninggalkan tehnya, maka petugas akan membujuk agar petani bersabar dan kembali menekuni teh. “Eman-eman. Siapa tahu besok naik harganya. Digarap, jangan ditinggal Jakarta, nanti mubazir. Yang penting dibayar terus, lumayan. Orang kalau tidak sabar, payah. Yang penting lancar. Bisa untuk makan anak istri”. (Informan 27, wawancara tanggal 18-11-2005)
175
Informan 29 Sebagai ketua kelompok, ia mengaku sering bertemu dengan kepala unit di loasi pabrik. Setiap hari Kamis, ia harus ke pabrik untuk mengambil uang bayaran pucuk teh untuk kelompoknya. Ia dan keela unit sering membicarakan masalah harga teh dan kelancaran pembayaran. Pada saat ia mulai mengeluhkan harga teh yang dan kelancaran pembayaran pucuk teh, kepala unit selalu mengajak petani agar ikut berdoa agar situasi kembali membaik, sehingga proses produksi dapat lancar kembali. Dalam konteks itu, ia diingatkan agar petani ikut merasakan kesulitan perusahaan, karena petani sebetulnya merupakan bagian dari perusahaan. ”Kalau habis sholat kita berdoa mudah-mudahan Pagilaran bisa memberikan uang lancar lagi. Ada ajakan dari kepala unit, ayo dipikirkan bareng sambil nyenyuwun. Karena akhirnya petani memiliki perusahaan juga. Kalo perusahaan situasinya baik, minimal pembayarannya lancar gitulah. Kalau habis sholat kita berdoa mudah-mudahan Pagilaran bisa memberikan uang lancar lagi.Ayo dipikirkan bareng sambil nyenyuwun. Karena akhirnya petani memiliki perusahaan juga. Kalo perusahaan situasinya baik, minimal pembayarannya lancar gitulah”.(Informan 29, wawancara tanggal 15-11-2005).
Informan 31 Petani ini kelahiran Kasinoman, suatu desa di Kecamatan Kalibening. Hingga kini ia tinggal di desa tersebut. Usianya sekitar 60 tahun, berpendidikan SR (SD) tidak tamat. Pria ini bersekolah hingga kelas tiga. Di kelompok tani teh, ia merupakan anggota biasa. Ia sudah selama 18 tahun terlibat sebagai petani plasma atau sejak setahun setelah Proyek PIR masuk. Waktu itu, ia memang bukan tergolong petani
176
yang langsung mau menerima proyek. Ia melihat dahulu aktivitas warga lain yang langsung mendaftar sebagai plasma. Dalam konteks pertanyaan tentang alasan turunnya harga, baginya, urusan teh yang penting adalah memetik dan kemudian membawanya ke TPH. Setelah itu, ia mendapat uang dari hasil setoran pucuk tersebut. Selanjutnya, dengan uang itu isterinya bisa berbelanja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh karena itu ketika ditanya tentang harga, ia mengaku tidak terlalu memahami. “Tidak. Belum pernah tanya Pak Mandor. Yang penting setelah dipetik dibawa ke tobong. Karena yang metik dan membawa ke TPH adalah isteri, kadang-kadang setelah terima uang untuk kebutuhan apa-apa, suami tidak tahu. Kalau sampai lebih 100 ribu, baru bertanya. Suami tidak peduli harga, hanya isteri yang kadang mengeluh. Bagi suami, yang penting pucuk diangkat, tidak disimpan di tobong. Dibawa dan segera dibayar untuk beli tongkol”.(Informan 31, wawancara tanggal 29-11-2005). ”Intinya petani hanya tahu pembayaran lancar dan kalau bisa harga naik. Jadi naik turunnya harga diketahui petani dari pengurus kelompok” ”.(Informan 31, wawancara tanggal 29-11-2005).
Informan 33 Petani berusia 33 tahun ini berpendidikan SLTA. Ia menjadi petani plasma sejak tahun 1992 atau setelah enam tahun masuknya Proyek PIR. Adapun PIR sendiri sebagai proyek berakhir sekitar tahun tersebut, yakni sejak selesainya tahap konstruksi, dan mulai memasuki tahap konversi. Pertama masuk sebagai petani plasma, ia menjadi anggota. Setelah itu ia dipilih menjadi sekretaris. Namun saat ini ia memegang tiga jabatan sekaligus. Hal ini karena pengurus lain sudah tidak mau
177
dipilih lagi menjadi pengurus. Mereka menekuni kegiatan lain, sejak teh kurang menghasilkan. Sebagai petani plasma selama 13 tahun, ia termasuk sudah menguasai masalah teh. Seminggu sekali, setiap Hari Kamis, ia mengaku pergi ke pabrik untuk mengambil uang pucuk. Ia pernah mengikuti pelatihan tentang tata-cara pemetikan. Selain itu ia juga mendapat kesempatan untuk melihat proses pengolahan teh. Ia melihat proses tersebut dari mulai pelayuan hingga pengeringan. Ia aktif mengusahakan dana talangan bagi para petani di kelompoknya. Dalam menghadapi petani yang menjual ke luar, petugas selalu mengingatkan agar ia berusaha membujuk petani agar tidak menjual pucuk ke lain perusahaan. Menurutnya, ketika ia mulai berbicara ada petani yang menjual ke luar, mandor akan mengatakan aja nganti pucuke metu atau jangan sampai pucuk itu keluar. “Orang pabrik mengupayakan bagaimanapun pucuk harus masuk ke pabrik. Tapi karena petaninya yang kurang sranta masuk ke penampung. Sebetulnya pandangannya hanya harus masuk ke pabrik. Tapi mungkin karena pembayarannya telat, harga kurang memungkinkan. Akhirnya menyebabkan si petani lari ke penampung. Dari pabrik tidak ada istilahnya ya wis ben metu. Jadi selalu diupayakan masuk ke pabrik. Tapi karena petaninya butuh uang cepat untuk kondangan dan sebagainya. Harga memuaskan kan ada delapan ratus lima puluh, tujuh ratus, sedangkan dari pabrik lima ratus. Dari pihak perusahaan lewat mandor sudah mengupayakan masuk ke pabrik. Sebagai kelompok juga sudah mengupayakan jam empat ada di TPH. Akhirnya lari ke harga yang lebih tinggi” (Informan 33, wawancara tanggal 17-11-2005)..
178
Deskripsi Intersubjektif para Informan Catatan pengalaman yang dikemukakan para informan adalah tentang adanya strategi divergensi dari para mandor ketika para petani menunjukkan perilaku komunikasi yang tidak sesuai dengan aturan-aturan atau tatacara perusahaan. Para mandor pada umumnya segera menunjukkan identitas mereka dengan menegur petani agar melakukan pekerjaan sesuai dengan tuntutan perusahaan. Mereka menegur petani yang melakukan petik kasar. Mandor juga mengatakan bahwa mereka melakukan tawar-menawar dengan petani untuk masalah kualitas pucuk di tempat penimbangan (TPH). Mereka mengatakan petani pada umumnya meminta harga tinggi untuk kualitas jelek. Selain itu mereka perlu mengeluarkan semacam penegasan bahwa apabila hasilnya kasar, maka pucuk daun teh itu tidak aka dibeli dan diangkut ke perusahaan. Dari sisi petani, strategi divergensi tersebut dipandang sebagai perilaku menjelek-jelekkan, padahal menurut informan itu, petani sudah berjasa terhadap PT Pagilaran. Perusahaan ini tidak akan bisa mengolah teh tanpa pasokam pucuk dari petani. Informan yang berani mengomentari strategi tersebut adalah petani vokal yang biasa membela petani, namun demikian sebagai petani maju yang menjadi pengurus kelompok pada umumnya mereka akan membantu petugas lapangan dalam mejelaskan masalah perusahaan inti kepada petani plasma, sehingga tidak timbul gejolak yang merugikan perusahaan inti. Misalnya pada saat terjadi keresahan petani, ketika pabrik sempat macet tidak melakukan proses produksi.
179
Dari catatan narasumber, strategi divergensi tampak pula ketika petani mulai tidak tekun mengerjakan tehnya. Di tempat mereka biasa bertemu, mandor akan menanyakan perkembangan teh petani, agar petani kembali menekuni tehnya. Selain menanyakan perkembangan, dari catatan informan juga tampak bahwa mandor berusaha membujuk petani dengan pernyataan-pernyataan agar petani sabar, ikut memikirkan kesulitan perusahaan karena mereka juga merupakan bagian dari perusahaan. Sementara itu dalam konteks percakapan mengenai masalah harga, ada catatan pengalaman informan yang menyatakan bahwa mereka tidak terlalu memperhatikan harga, yang penting segera mendapat bayaran pucuk, sehingga bisa segera membelanjakan uangnya untuk keperluan sehari-hari. Dengan memakai pesan berkonteks
tinggi
“untuk
membeli
tongkol”,
artinya
petani
akan
segera
membelanjakan uangnya, tidak dalam arti membeli tongkol yang sesungguhnya. Tongkol adalah jenis ikan yang dikonsumsi sebagai lauk. Dari catatan yang tidak terekam, pernyataan demikian disambut dengan pesan dalam strategi diverge, yaitu dengan tanggapan mandor yang mengatakan “ya aja nggo tuku tongkol terus, tehe ya dirumat, dimes”. Artinya mandor meminta petani juga membeli pupuk untuk tehnya. Dari catatan informan, para mandor juga menempuh strategi diverge pada saat petani mulai ada yang menjual ke luar perusahaan inti. Mandor berpesan kepada pengurus kelompok agar petani tidak menjual ke luar perusahaan inti, yaitu dengan pesan “aja nganti pucuke metu”, yang berarti jangan sampai pucuk daun teh dijual ke luar perusahaan inti.
180