BAB IV PERANAN TENAGA KERJA WANITA DI PERKEBUNAN TEH CIATER SUBANG TAHUN 1979-1990
4.1
Karakteristik Masyarakat Perkebunan Teh Ciater Tahun 1979-1990 4.1.1 Gambaran Umum Wilayah Ciater Pembahasan mengenai karakteristik masyarakat di Perkebunan Teh Ciater
Subang, tidak bisa dilepaskan dari aspek demografis, yang juga dipengaruhi oleh kondisi geografis sekitarnya. Perkebunan Teh Ciater merupakan wilayah yang terletak di Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang. Kabupaten ini memiliki luas areal 2.005.176 Ha. Secara geografis Kabupaten ini sebelah utara berbatasan dengan laut jawa, sebelah timur berbatasan dengan kabupaten Indramayu dan Sumedang, sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Bandung, dan sebelah barat berbatasan dengan kabupaten Karawang serta Purwakarta. Sebagian besar atau 60% luas kabupaten Subang digunakan untuk persawahan, perkebunan dan perikanan. Wilayah Subang merupakan wilayah yang cukup subur untuk perkebunan, dan Jalan Cagak merupakan kecamatan yang sebagian luas areal tanahnya digunakan sebagai perkebunan. Kecamatan Jalan Cagak secara geografis terletak di bagian selatan kabupaten Subang, dan terletak antara 107,44°-107,49° BT dan 6,43°- 6,48° LS, dengan luas wilayah 8.578 Ha atau 4,52% dari luas kabupaten Subang (Kantor Statistik Bandung, 1985:43). Berdasarkan pembentukannya, batas administrasi kecamatan Jalan Cagak adalah sebelah selatan kabupaten Dati II Bandung, sebelah barat kecamatan Sagala
42
43
Herang, sebelah utara kecamatan Cijambe, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cisalak Berdasarkan topografinya kecamatan Jalan Cagak merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara 500-1000 meter dari permukaan laut. Desa Ciater merupakan desa yang masuk ke dalam wilayah administrasi kecamatan Jalan Cagak. Untuk dapat mengamati lebih jelas letak Perkebunan Ciater dalam wilayah kecamatan Jalan Cagak, bisa dilihat dalam peta berikut ini : Gambar 4.1
Peta Kecamatan Jalan Cagak Tahun 1981 Sumber :
Kantor Statistik Subang (1981). Subang Dalam Angka 1981. Subang. Kantor Statistik Kabupaten Subang. Hal 1.
44
Dari Peta tersebut dapat dilihat, letak perkebunan Ciater berada jauh dari kabupaten Subang namun berbatasan langsung dengan kabupaten Bandung, sebagian perkebunan berada di sepanjang jalan raya yang menghubungkan wilayah Bandung dengan wilayah kabupaten Subang. Letak perkebunan Ciater yang berada di sepanjang jalan raya ini mempermudah proses transportasi baik barang maupun orang, sedangkan sebagian lainnya agak ke pedalaman, misalnya daerah Panaruban. Dengan kondisi tersebut berpengaruh terhadap kondisi sarana publik seperti listrik, transportasi, dan komunikasi. Pemanfaatan layanan listrik sudah dapat dinikmati oleh masyarakat Ciater karena letaknya yang mudah dijangkau, begitupun dengan tranportasi yang didukung dengan jalur lintas kabupaten menjadikan hubungan interaksi antar masyarakat yang berada di sekitar perkebunan menjadi semakin mudah. Untuk layanan kesehatan di wilayah Ciater ini sudah terdapat Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) yang disediakan oleh pihak perkebunan, tetapi apabila pelayanan kesehatannya tidak mampu merawat pasien, mereka akan dipindahkan ke RS PTPN di kota Subang. Mudahnya fasilitas listrik, transportasi serta komunikasi secara tidak langsung dapat mempengaruhi tingkat konsumsi seseorang, termasuk pada masyarakat Perkebunan Teh Ciater, hanya saja tidak semua masyarakat bisa menikmati kemudahan tersebut. Bagi para tenaga kerja borongan, yang memperoleh penghasilan kecil, sementara untuk biaya sehari-hari terus meningkat menyebabkan mereka tidak sanggup untuk memasang listrik sendiri dan membayar tagihan setiap bulannya. Untuk kebutuhan penerangan mereka biasanya lebih memilih untuk ikut atau nyolok dari tetangga yang sudah mempuyai listrik sendiri yang tentu saja biayanya lebih murah, walaupun listrik
45
tersebut baru dinikmati sekitar jam lima sore, dan dimatikan pagi harinya sekitar jam enam pagi oleh tetangga yang mempunyai listrik tersebut. Tetapi hal tersebut tidak terlalu menganggu aktivitas, karena pada siang hari mereka berada di perkebunan untuk bekerja. Apabila menginginkan penerangannya sepanjang hari maka biaya yang dimintapun lebih besar sehingga mereka lebih memilih penerangan yang setengah hari saja karena biayanya lebih ringan. Begitupun dengan daerah yang agak jauh dari jangkauan akses listrik, pemasangan listrik ini tergolong lambat dan biayanya mahal sehingga hanya sebagian kecil saja yang mampu untuk memasang listrik sendiri. Pemecahan masalah penerangan ini, mereka biasanya juga nyolok dari tetangga yang telah memiliki listrik sendiri. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakatnya masih menggunakan penerangan tradisional yaitu dengan menggunakan petromak atau pun lampu cempor yang menggunakan bahan bakar minyak tanah. Meskipun fasilitas listrik belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat disana, namun bagi pekerja perkebunan yang memiliki penghasilan lebih mereka tetap membeli peralatan elektronik walaupun dengan menggunakan accumulator/akki. Untuk sarana transportasi, secara umum dapat dikatakan baik, apalagi dilewati oleh jalan raya besar yang menghubungkan Subang-Bandung, keadaan jalannya terpelihara dengan baik. Jenis kendaraan umum yang tersedia dan menjadi sarana trasportasi utama adalah mobil elf yaitu mobil yang ukurannya sedikit lebih kecil dari minibus. Keberadaan angkutan umum tersebut mempermudah interaksi masyarakat. Untuk wilayah perkebunan di pedalaman, walaupun tersedia jalan besar namun kondisinya sedikit bergelombang karena terus menerus dilewati oleh truk besar pengangkut teh atau truk pembawa beban
46
yang cukup berat. Angkutan umum yang tersedia pun hanya ojeg/motor yang ongkosnya relatif mahal. Keberadaan ojeg tersebut sangat membantu masyarakat disana, terutama untuk para pedagang yang harus berbelanja ke daerah kecamatan Jalan Cagak. Untuk sarana komunikasi walaupun sudah ada layanan telepon namun tidak semua masyakat dapat memilikinya. Fasilitas telepon hanya dimiliki oleh masyarakat menengah keatas atau bahkan hanya golongan atas saja, untuk masyarakat lainnya yang kebanyakan bekerja sebagai buruh perkebunan telepon merupakan barang yang mewah. Rumah yang berdekatan sesama warga dan saudara menyebabkan mereka tidak terlalu memerlukan fasilitas telepon, kalau pun ada kebutuhan mereka biasanya langsung datang ke rumah orang yang dituju.
4.1.2 Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk merupakan salah satu faktor penting dalam membangun suatu daerah. Berkembang atau tidaknya suatu daerah bisa dilihat dari jumlah penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Untuk melihat sejauh mana pembangunan di daerah kecamatan Jalan Cagak dapat dilihat dalam jumlah penduduk dalam tabel berikut ini :
Sumber :
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun Jumlah Penduduk Laki-laki Wanita Jumlah 1982 29.007 29.005 58.012 1983 39.612 39.615 79.227 1984 49.226 50.225 99.451 1984 59.883 60.835 119.618 1985 70.442 71.445 141.887 1985 82.050 82.055 164.105 Kantor Statistik Subang (1986). Subang Dalam Angka 1986. Subang. Kantor Statistik Kabupaten Subang. Hal 25.
47
Berdasarkan tabel 4.1, kecenderungan jumlah penduduk mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal tersebut dikarenakan peningkatan jumlah penduduk kecamatan Jalan Cagak cukup tinggi yaitu sekitar 1,5% setiap tahunnya (Kantor Statistik Kabupaten Subang : 45). Kondisi tersebut secara alamiah bisa diakibatkan oleh tingginya angka kelahiran di kecamatan tersebut. Adanya migrasi dari luar daerah Ciater juga turut mempengaruhi tingginya peningkatan jumlah penduduk, misalnya migrasi dari daerah perkebunan lainnya seperti dari daerah pangalengan (wawancara dengan Euis pada April 2006). Kecamatan Jalan Cagak yang memiliki suhu udara antara 18º - 25º C, dengan rata-rata curah hujan 4.890 MM/tahun termasuk tipe curah hujan basah, cocok untuk
tanaman perkebunan seperti teh, kopi, cengkeh dan kina dan
tanaman pangan seperti padi dan palawija. Dari potensi-potensi tersebut dapat diperkirakan bahwa mata pencaharian penduduk sekitar tidak akan jauh dari pertanian dan perkebunan. Sebagian besar penduduk kecamatan Jalan Cagak khususnya desa Ciater sebagian besar masyarakatnya hidup dari menjadi buruh di perkebunan. Desa Ciater, yang memiliki ketinggian rata-rata 600-1.450 meter di atas permukaan laut memang cocok untuk dijadikan perkebunan teh karena tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di daerah dataran tinggi. Adanya perkebunan teh ini, menjadikan penduduknya baik wanita maupun laki-laki secara turun-temurun bekerja sebagai pekerja perkebunan. Kondisi tersebut memberikan peluang besar bagi wanita yang tinggal disana untuk ikut terlibat dalam perkebunan. Begitupun pihak perkebunan lebih memilih pekerja wanita karena dianggap sebagai tenaga kerja yang murah dan terampil. Meskipun upah yang diperoleh dari perkebunan tidak mencukupi kebutuhan keluarga, namun mereka
48
tetap bertahan bekerja dikarenakan merasa telah hidup dari perkebunan dan menjadi sangat tergantung terhadap perkebunan. Meskipun pekerjaan utama mereka adalah pekerja perkebunan, namun tidak menutup kemungkinan untuk bekerja di tempat lain. Jika di perkebunan sedang libur, bagi mereka yang mempunyai pekerjaan sampingan maka hari libur tersebut mereka gunakan untuk bekerja di tempat lain sedangkan bagi pekerja yang tidak mempunyai pekerjaan sampingan maka hari libur tersebut mereka pergunakan untuk beristirahat di rumah bersama keluarga. Selain bekerja di perkebunan, sebagian masyarakat desa Ciater berprofesi sebagai pedagang, yang merupakan dampak dari adanya perkebunan itu sendiri. Kesibukan para pekerja perkebunan setiap harinya menyebabkan mereka tidak bisa berbelanja ke pasar. Kondisi tersebut menjadi peluang usaha bagi masyarakat lainnya yang tidak bekerja di perkebunan. Mereka menjual kebutuhan sehari-hari seperti beras, sayuran, minyak tanah serta kebutuhan lainnya. Keberadaan para pedagang ini meringankan beban para tenaga kerja, mereka tidak perlu pergi jauhjauh untuk berbelanja, selain itu mereka juga bisa mengambil barang terlebih dahulu/ngutang dan dibayar ketika penerimaan gaji dari perkebunan.
4.1.3 Kondisi Sosial Budaya Kondisi sosio-kultural masyarakat Perkebunan Teh Ciater Subang sebagian besar dipengaruhi oleh kebudayaan Sunda. Nilai-nilai tradisi dan pandangan hidup dalam kebudayaan sunda banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. “Sebagian besar orang Sunda beragama Islam dan sedikit sekali yang memeluk agama lain seperti Khatolik, Protestan, Hindu, Budha dan sebagainya. Menurut pandangan orang Sunda agama itu harus menjadi ageman, artinya harus
49
menjadi pegangan atau pedoman untuk bermasyarakat dan untuk hidup di akhirat kelak”. (Ekadjati,1980 : 280) Penduduk di kecamatan Jalan Cagak sebagian besar memeluk agama Islam, begitu pula dengan penduduk yang ada di perkebunan teh Ciater, yang hampir seluruhnya beragama Islam (wawancara dengan Bapak Bayu pada Agustus 2005). Hal tersebut berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat mengenai pendidikan, dimana pendidikan agama Islam telah diterapkan sejak usia dini. Para orang tua cenderung memasukkan anak-anak mereka ke sekolahsekolah yang bewawasan Islam yang sederajat dengan sekolah formal. Bagi pekerja yang masih mempunyai anak kecil, perkebunan menyediakan tempat penitipan anak selama orang tuanya bekerja di perkebunan. Dalam kegiatan sehari-harinya para pengasuh di tempat penitipan anak ini memberikan ilmu-ilmu agama. Dengan adanya Tempat Penitipan Anak ini para pekerja wanita yang bekerja di perkebunan tidak khawatir lagi mengenai anak-anak mereka, selain ada yang mengasuh, ilmu agama pun didapat. Di bawah ini penulis cantumkan tabel jumlah Sekolah Dasar (SD) dan sederajat di kecamatan Jalan Cagak tahun 1982. Tabel 4.2 Jumlah Sekolah Dasar dan Sederajat di Kecamatan Jalan Cagak Tahun 1982 Status Sekolah Jumlah Murid Perempuan Murid laki-laki Negeri 49 3.893 3.902 Ibtidaiyah 50 2.245 2.200 SD Inpres 35 2.613 2.608 SD Non Inpres 30 1.246 1.328 Sumber : Kantor Statistik Subang (1982). Subang Dalam Angka 1982. Subang. Kantor Statistik Kabupaten Subang. Hal 45. Dari tabel 4.2, menunjukkan bahwa sekolah Islam (ibtidaiyah) jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan sekolah lainnya. Perbedaan jumlah ini
50
mengindikasikan bahwa kebutuhan masyarakat akan sekolah yang berwawasan Islam tergolong cukup besar. Pertimbangan para orang tua untuk memasukkan anak-anaknya ke sekolah Islam dikarenakan biaya untuk masuk sekolah tersebut masih relatif murah dan tidak ada syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi atau dengan kata lain anak-anaknya dapat dengan mudah untuk masuk sekolah, mengingat penghasilan para buruh perkebunan yang relatif kecil maka keberadaan sekolah Ibtidaiyah sangat membantu mereka. Untuk jenjang Tsanawiyah atau yang sederajat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan Sekolah Menegah Atas (SMA) di kecamatan Jalan Cagak jumlahnya masih sedikit, bagi masyarakat yang menginginkan anaknya sekolah ke jenjang yang lebih tinggi maka harus ke kecamatan ataupun kabupaten. Kondisi inilah yang salah satu faktor penyebab masyarakat perkebunan teh Ciater kebanyakan hanya lulusan SD, selain dari kondisi perekonomian mereka yang kurang sejahtera tentunya, yang terpenting bagi mereka bisa membaca, menulis dan berhitung sudah cukup. Nilai-nilai tradisi Sunda yang dipengaruhi oleh ajaran Islam diantaranya mengenai kedudukan wanita dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat. Pada masyarakat Sunda, laki-laki adalah pemimpin keluarga dan bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga sedangkan wanita berperan sebagai ibu rumah tangga yang bertugas untuk mengurus rumah, suami dan anak. Seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan ekonomi yang semakin banyak, pandangan itu sedikit demi sedikit mulai berubah dan tidak lagi menjadi nilai yang mutlak harus dilakukan. Khususnya kaum wanita, mereka mulai menyadari bahwa mereka pun berhak untuk bekerja di luar rumah (sektor publik), apalagi ketika
51
kebutuhan ekonomi semakin meningkat. Bekerja di sektor publik merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan mengurangi beban suami. Dengan bekerjanya wanita di sektor publik telah menambah beban kerja yang mereka pikul karena di satu sisi mereka sebagai ibu rumah tangga yang harus mengabdikan hidupnya untuk keluarga, dan di sisi lain mereka mempunyai kewajiban baru yaitu bekerja di perkebunan. Keikutsertaan wanita di sektor publik menunjukkan telah adanya kesetaraan gender. Secara historis, kesetaraan gender di perkebunan Teh Ciater sudah ada sejak dulu, karena dari awal pembentukan pabrik Teh Ciater, kaum wanita sudah dipekerjakan di perkebunan. Jadi kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh buruh wanita di perkebunan bukanlah kesempatan mendapatkan pekerjaan, tetapi perjuangan mereka untuk mendapatkan posisi yang lebih baik, misalkan posisi mandor, dari dulu sampai sekarang yang menjadi mandor kebanyakan laki-laki sedangkan secara beban kerja mereka lebih ringan dari para pemetik teh yang mayoritas adalah wanita. Wanita yang kebanyakan sebagai buruh sulit sekali untuk naik ke posisi yang lebih tinggi, seperti yang dialami oleh Ipah yang selama bekerja di perkebunan jabatannya tetap sebagai pemetik (hasil wawancara dengan Ipah pada Juli 2005). Kondisi tersebut dikarenakan buruh wanita tidak bisa optimal di perkebunan, karena setelah bekerja di perkebunan mereka harus segera mengerjakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Tidak optimalnya buruh wanita di perkebunan telah menyebabkan mereka sulit untuk naik ke posisi yang lebih tinggi. Selain itu di wilayah Ciater tidak tersedia lapangan pekerjaan lain yang cocok untuk mereka, karena tingkat pendidikannya rendah sehingga mereka tidak mempunyai suatu
52
keahlian yang dapat ditawarkan untuk memasuki pekerjaan baru. Kondisi tersebut menyebabkan mereka semakin tergantung terhadap perkebunan. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh kaum wanita juga berpengaruh terhadap jenis pekerjaan yang didapat. Wanita-wanita yang berada di sekitar Ciater sebagian besar hanya mengenyam pendidikan sampai bangku Sekolah Dasar, bahkan ada yang tidak menamatkannya. Oleh sebab itu buruh petik lah pekerjaan yang bisa mereka jalani yang tidak menuntut tingkat pendidikan yang tinggi, atau syarat-syarat tertentu, karena yang utama adalah kerja keras dan disiplin. Rendahnya tingkat pendidikan mereka lebih disebabkan karena faktor ekonomi, bekerja di Perkebunan bukanlah keinginan utama mereka, tetapi tingkat pendidikan yang rendah, serta tidak mempunyai keterampilan lain yang menyebabkan mereka tetap bertahan di perkebunan dan tidak berusaha untuk bekerja di luar perkebunan. Dengan adanya perkebunan, telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat sekitar, khususnya wanita. Walaupun mereka berpendidikan rendah bahkan tidak sekolah mereka masih bisa bekerja di perkebunan. Apalagi kalau orang tuanya dulu sebagai buruh perkebunan maka anaknya pun akan mengikuti jejak orang tuanya yakni menjadi buruh perkebunan, sehingga bekerja di perkebunan seakan-akan merupakan pekerjaan yang turun temurun. Dengan bekerja di perkebunan mereka akan mendapatkan gaji setiap bulannya dan fasilitas lain seperti tempat tinggal dan kesehatan. Fasilitas-fasilitas tersebut telah mengurangi beban para buruh dan meringankan kebutuhan. Masyarakat sekitar berusaha untuk dapat bekerja di perkebunan, khususnya ibu rumah tangga yang memang tidak mempunyai pekerjaan lain,
53
mereka memilih menjadi buruh dengan alasan membantu suami untuk meningkatkan
kesejahteraan
keluarga.
Di
sisi
lain
pihak
perkebunan
membutuhkan tenaga kerja wanita untuk di tempatkan pada bagian pemetikan, rawat tanaman dan sortasi. Bagi Penduduk Ciater yang tidak memiliki lahan pertanian dengan adanya perkebunan Ciater tersebut memberikan peluang untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan mereka. Dengan terlibat bekerja di perkebunan mereka akan memperoleh fasilitas perkebunan yang tentunya dapat meringankan beban kebutuhan sehari-hari mereka. Secara umum, walaupun letak perkebunan teh Ciater ini tidak di pedalaman namun tetap saja terlihat karakteristik masyarakat perkebunan yang khas. Di perkebunan terlihat corak kehidupan yang statis, para buruh mengantungkan hidupnya pada perkebunan, mereka lahir, hidup dan mati di perkebunan. kehidupan sosialnya tidak berubah secara signifikan, dan cenderung homogen mengakibatkan kehidupan di sekitar Perkebunan seakan-akan statis. Mereka tinggal bersama dengan seluruh anggota keluarganya dengan pola pikir masyarakat perkebunan yang hidup seolah-olah terisolasi dari luar. Meskipun sebenarnya mereka mempunyai kesempatan untuk dapat berkomunikasi dengan dunia luar karena letak perkebunan yang yang tidak jauh dari jalan raya, namun mereka tidak melakukannya. Mereka lebih memilih untuk mencurahkan perhatiannya demi kemajuan perkebunan. Rutinitas sehari-harinya di habiskan di perkebunan untuk menunjang keberlangsungan kehidupan perkebunan itu sendiri. Karakteristik masyarakat perkebunan yang tersegmentasi menurut golongan etnik, tidak terjadi di perkebunan Ciater karena para pekerja di Ciater berasal dari satu
54
etnik yaitu sunda yang memiliki adat istiadat, warna kulit, dan bahasa yang sama sehingga dapat mempermudah dalam komunikasi diantara mereka. Kehidupan masyarakat di perkebunan Teh Ciater memperlihatkan mobilitas sosial yang tertutup. Mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yang terdiri dari pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Mobilitas sosial ini terbagi ke dalam dua jenis yaitu mobilitas vertikal dan mobilitas horizontal. Mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat sedangkan mobilitas sosial horizontal adalah perpindahan individu atau objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat (Soekanto, 1990 : 275-276). Dalam kehidupan di pekebunan teh Ciater, mobilitas sosial vertikal cenderung berjalan lambat. Untuk dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi sangat sulit, khususnya untuk para buruh. Mungkin untuk pekerja di bagian kantor hal tersebut akan lebih mudah terjadi karena tingkat pendidikan yang mereka lalui minimal sampai jenjang SMA. Demikian juga untuk mobilitas horizontal, untuk dapat pindah jenis pekerjaan dari pemetik teh ke bagian sortasi cukup sulit, meskipun dua jenis pekerjaan tersebut sederajat. Selain itu mobilitas ke daerah lain umumnya masih lamban, hal ini dikarenakan daerah yang mereka diami sama dengan daerah-daerah kecamatan lainnya, apabila kita lihat peta Jalan Cagak pada gambar 4.1. akan terlihat bahwa daerah-daerah di luar kecamatan Jalan Cagak pun merupakan perkebunan seperti perkebunan Kasomalang, Wangunreja dan Tambaksari. Jadi walaupun mereka melakukan mobilitas ke daerah lain, kemungkinan besar pekerjaan yang akan mereka dapat tidak akan berbeda dengan
55
daerah asal mereka yaitu sebagai buruh perkebunan. Dengan kondisi seperti itu mereka tetap bertahan karena keterbatasan-keterbatasan yang mereka miliki, diantaranya tidak memiliki keterampilan khusus untuk bekerja di tempat lain. Buruh perkebunan sangat loyal terhadap pekerjaannya karena dengan adanya perkebunan mereka mendapatkan fasilitas-fasilitas yang dapat mengurangi beban hidupnya, walaupun fasilitas-fasilitas yang didapat berbeda antara tenaga kerja di perkebunan, tergantung pada jabatan yang disandangnya. Misalkan, fasilitas untuk tempat tinggal, semua tenaga kerja yang termasuk karyawan tetap akan memperoleh fasilitas ini yang berbeda hanyalah luas dan bahan bangunan saja. Untuk administratur, mandor dan sinder kepala biasanya rumah mereka terbuat dari tembok dan berdekatan dengan pabrik sedangkan untuk para buruh, tempat tinggalnya atau lebih dikenal dengan istilah bedeng berada di tengahtengah perkebunan terbuat dari papan dan masih berbentuk rumah panggung. Di perkebunan Ciater setiap afdeling menyediakan sepuluh buah bedeng yang diperuntukan bagi buruh tetap yang belum memiliki rumah sendiri. Para buruh sangat hormat terhadap pejabat-pejabat perkebunan terutama administratur karena administratur lah yang berkuasa di perkebunan. Selain administratur para buruh juga sangat hormat kepada mandor, karena mandor lah yang memperhatikan pekerjaan mereka sehari-hari. Masyarakat perkebunan memang merupakan miniatur masyarakat kolonial pada umumnya, serta menunjukkan karakteristik yang sama, antara lain dualistik ekonomi yaitu sistem ekonomi eropa dan sistem ekonomi tradisional. Pada umumnya gaya hidup menunjukkan status golongan tertentu, termasuk kekayaan, kekuasaan dan kewibawaan. (Kartodirdjo & Suryo, 1990 : 70-71). Adanya
56
dualistik tersebut dikarenakan di satu sisi tenaga kerja di perkebunan dipekerjakan berdasarkan sistem ekonomi eropa seperti pemberlakuan struktur administrasi, jam kerja, sistem pengupahan, serta alat-alat yang modern dan mengenal ekonomi pasar dunia, namun di sisi lain buruh di perkebunan dalam kehidupan sehariharinya masih menggunakan sistem trdadisional, dalam hal ini pertanian. Mereka tidak berpikir untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, mereka hanya berpikir untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Tidak seperti sistem ekonomi eropa yang tujuanya untuk memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya. Di samping itu, di perkebunan terdapat perbedaan pola hidup yang didasarkan atas struktur jabatan dalam perkebunan, mulai dari administratur, mandor dan terakhir buruh.
4.2 Perkembangan Perkebunan Teh Ciater Tahun 1979-1990 4.2.1 Sejarah Singkat Perkebunan Teh Ciater Industri komoditi teh merupakan industri yang cukup penting bagi Indonesia, karena disamping untuk kepentingan konsumsi dalam negeri juga penting sebagai komoditi ekspor, mengingat Indonsia merupakan penghasil teh ketiga terbesar di dunia setelah Cina dan India. Hal ini berarti bahwa ekspor teh sangat menunjang perekonomian Indonesia sebagai sumber devisa negara dari sub sektor pertanian atau perkebunan. Perkebunan teh merupakan salah satu usaha yang cukup menarik bagi banyak negara termasuk Indonesia, dimana ada daerah yang memungkinkan tumbuhnya tanaman tersebut. Banyaknya jenis tanah yang cocok ditanami tanaman teh di beberapa daerah di Indonesia menyebabkan perkebunan teh banyak tersebar di Indonesia. Tanaman ini dapat tumbuh subur di
57
daerah pegunungan dan dataran tinggi dengan suhu sekitar 14-25 ºC. Tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 250–1.200 meter, tanaman ini juga memerlukan curah hujan yang cukup tinggi, sekurang-kurangnya 2.000 MM per tahun. Tanaman teh tidak akan tahan terhadap musim kemarau tanpa ada hujan (Spillane, 1992:122). Salah satu perkebunan Teh yang terus berkembang sampai sekarang, diantaranya berada di kabupaten Subang, tepatnya di desa Ciater kecamatan Jalan Cagak, dimana disana terdapat Perkebunan Teh Ciater Subang yang merupakan milik dari PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII). Lokasi perkebunan Teh PTPN VIII Ciater Subang sebenarnya meliputi beberapa desa, diantaranya Ciater, Cisaat, Nagrak, Palasari dan Cibitung. Perkebunan ini memiliki ketinggian rata-rata 600-1.450 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan klasifikasi kualitas teh dilihat dari ketinggian tanah di atas laut, maka perkebunan teh Ciater menghasilkan jenis kualitas Good Medium Tea (Teh medium tinggi), karena jenis ini sangat cocok dengan kondisi geografis disana yang ketinggiannya mencapai 1.450 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan ketinggian tanah, perkebunan ini juga menghasilkan teh dengan kualitas common tea (teh tanah rendah). Untuk jelasnya Spillane mengklasifikasikannya ke dalam lima golongan : 1. High Grown Tea (Teh Tanah Tinggi) untuk teh dari perkebunan yang letak ketinggiannya berada di atas 1.500 meter di atas permukaan laut. 2. Good Mdium Tea (Teh Medium Tinggi) untuk teh dari perkebunan yang letak ketinggiannya antara 1.200-1.500 meter di atas permukaan laut. 3. Medium Tea (Teh Medium) untuk teh dari perkebunan yang letak ketinggiannya antara 1.000-1.200 meter di atas permukaan laut. 4. Low Medium Tea (Teh Medium Rendah) untuk teh dari perkebunan yang letak ketinggiannya antara 800-1.000 meter di atas permukaan laut.
58
5. Common Tea (Teh Tanah Rendah) untuk teh dari perkebunan yang letak ketingiannya di bawah 800 meter di atas permukaan laut. Selama penjajahan Belanda, banyak didirikan perusahan perkebunan, diantaranya perkebunan kopi dan kina, baru pada tahun 1915 mulai menanam teh. Setelah meluas budidaya tanaman teh, maka pada tahun 1920-1922 mulai mendirikan pabrik teh Tambakan, Kasomalang dan Sarangsari. Baru pada tahun 1934 mulai mendirikan pabrik teh Ciater dan dioperasikan tahun 1937 yang mampu menampung 900 ton teh kering per tahunnya. Pada tahun 1950 orang-orang Belanda harus meninggalkan Indonesia, maka perusahaan diambil alih oleh kerajaan Inggris yang lebih dikenal dengan nama perusahaan P&T Land PT (Pamanukan dan Tjiasem Land) yang berkantor pusat di Subang. Sejak tahun 1979 sudah berada di bawah kepemilikan bangsa Indonesia dan namanya diganti menjadi PTP XIII, Ketika dikelola oleh PTP XIII diadakan perbaikan mesin-mesin lama yang disesuaikan dengan perkembangan produksi. Mengingat produksi di perkebunan Ciater terus meningkat sedangkan kapasitas pabrik tidak cukup untuk menampung produksi, maka pada tahun 1989 PTP XIII memutuskan untuk membangun pabrik dengan kapasitas penampungan produksi yang lebih banyak. Pada tahun 1996 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13, PTP XIII ini digabungkan dengan PTP XI dan PTP XII menjadi PTPN VIII (Arsip Perkebunan Ciater 2001). Perkebunan Ciater terletak di kaki gunung Tangkuban Perahu pada ketinggian antara 600-1.450 meter di atas permukaan laut, berada di desa Ciater kecamatan Jalan Cagak kabupaten Subang. Perkebunan Ciater jenis tanahnya andosol yang cocok untuk tanaman teh dan memiliki areal konsensi seluas 3.777.625 Ha. Untuk memudahkan administrasi, maka perkebunan tersebut dibagi
59
ke dalam beberapa afdeling yaitu afdeling Kertasari, Ciater dan Sagalaherang (Wawancara dengan Udin pada Juli 2005). Pembagian tersebut bertujuan untuk memudahkan pengelolaan kebun. Semua afdeling berada dalam pengawasan satu mandor besar dan satu afdeling dipimpin oleh satu mandor kebun yang dibantu oleh asisten-asistennya. Selama periode 1979-1990, pengelolaan perkebunan telah dipimpin oleh dua administratur yaitu, Sulardi Hadisaputro (1979-1980) dan Ir. Suharno (19801991). Adanya pergantian-pergantian administratur di atas, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pada perkebunan Teh Ciater. Tiaptiap administratur membuat kebijakan-kebijakan baru yang dapat memberikan pembaharuan dalam kegiatan produksi. Adapun hirarki kekuasaan ataupun struktur kepegawaian bisa digambarkan dalam bagan berikut ini : Bagan 4.1 Struktuk Kepegawaian Perkebunan Teh Ciater DIREKSI
ADMINISTRATUR
SINDER KEPALA
SINDER TEKNIK
SINDER PABRIK
SINDER AFDELING
BAG. ADMINISTRASI
JTU KEPALA TEKNIK
ASISTEN PENGOLAHAN
MANDOR BESAR
PETUGAS UMUM
KEPALA POOL KENDARAAN
MANDOR PABRIK
MANDOR KEBUN
PETUGAS TANAMAN
MANDOR BESAR INSTALASI
BURUH PABRIK
BURUH KEBUN
SINDER TUK
MANDOR BESAR BENGKEL
Keterangan : TUK : Tata Usaha & Keuangan JTU : Juru Tulis Umum
Sumber : Diolah dari Arsip Perkebunan Teh Ciater Tahun 2001
60
Dari bagan 4.1, menunjukkan bahwa tenaga kerja/buruh, khususnya buruh kebun menempati posisi terbawah yang langsung berada dibawah pengawasan mandor. Buruh kebun ini meliputi pemetik teh, pemelihara tanaman, pembukaan lahan dan lainnya. Sebagian besar dari buruh kebun khususnya buruh pemetik adalah wanita, maka jelaslah sebagai buruh mereka tidak mempunyai kuasa apapun dan hanya dijadikan sebagai faktor produksi semata. Buruh wanita banyak direkrut oleh perkebunan, selain murah juga karena memiliki sifat rajin, telaten, rapi dan disiplin. Sifat yang didasarkan atas sifat domestik wanita ini sangat diperlukan oleh perkebunan terutama untuk pekerjaan memetik, karena pekerjaan tersebut memerlukan keterampilan tertentu. Agar hasil pemetikan sesuai dengan ketentuan maka perlu juga diperhatikan cara pemetikan agar tidak sampai merusak kelangsungan hidup tanaman.
4.2.2. Produksi Dalam memproduksi teh, ada tahapan-tahapan yang harus dilewati untuk mendapatkan kualitas teh yang baik. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah : 1. Persemaian, proses ini meliputi persemaian biji teh dengan memberikan pupuk dan penyiraman secukupnya supaya menghasilkan bibit yang bagus. Setelah bibit teh ini mencapai 30/35 cm maka siap untuk dipanen. 2. Bukaan baru, kegiatan membersihkan area penanaman dari kayu-kayuan, rumput tunggul yang ada di sekitar area, pembuatan saluran air dan pemberian pupuk. Kegiatan ini dilakukan 4-5 bulan sebelum penanaman. 3. Pemeliharaan, setelah bibit ditanam maka harus dilakukan pemeliharaan, baik itu menyiangi rumpu-rumput, perbaikan jalan dan saluran air serta
61
pemberian pupuk NPK yang dilaksanakan tiga kali dalam setahun. Dilakukan juga pemangkasan yang bertujuan agar tanaman tetap rendah sehingga mempermudah pemetikan. 4. Pemetikan, pemetikan biasanya dilakukan ± tiga bulan setelah pangkasan, yang dipetik adalah kuncup daun, ranting dan daun muda. Daun teh yang diterima dari perkebunan harus dalam keadaan baik tidak rusak dan pecahpecah, makanya pekerjaan ini banyak diserahkan kepada tenaga kerja wanita karena mereka lebih telaten dalam pekerjaanya. Langkah ini sangat penting untuk proses selanjutnya karena akan mempengaruhi kualitas teh. Daun teh yang diterima dari kebun langsung ditimbang di tempat dan setelah di pabrik ditimbang lagi tujuannya adalah untuk mengetahui kadar air dalam daun teh tersebut. 5. Proses Produksi. Produksi pada pengolahan teh baik pada teh hitam maupun teh hijau pada dasarnya hampir sama. Proses produksi “teh jadi” meliputi proses pelayuan, pengeringan dan sortasi, sedangkan Pemetikan daun teh merupakan proses awal dari produksi “teh Jadi”. Daun hijau hasil petikan diangkut ke pabrik untuk diolah menjadi bentuk teh jadi. Oleh karena pentingnya pemetikan daun teh sebagai tahap awal dalam produksi teh maka para pemetik teh ini diharuskan mengetahui dan memahami pertumbuhan tanaman teh.
Mulai dari munculnya tunas hingga terbentuknya
kepel dan peko. Mereka harus paham benar rumus-rumus pemetikan, diantaranya petikan halus, dimana yang dipetik adalah kuncup peko dengan dua helai daun. Petikan sedang, yang dipetik adalah kuncup peko dengan dua atau tiga helai daun biasa dan yang terakhir adalah petikan kasar.
62
Selain rumus-rumus tersebut di atas, jenis-jenis pemetikan juga harus diperhatikan oleh para pemetik. Jenis-jenis pemetikan tersebut antara lain : 1. Petikan Jendangan, petikan yang dikerjakan pertama setelah pemangkasan, petikan ini dilakukan tiap 3-5 hari selama 2-3 bulan. Tujuannya mengambil hasil dan agar tanaman mempunyai ranting yang banyak dan tingginya sama. 2. Petikan Gendesan, petikan untuk mengambil daun peko dan kepel karena tanaman akan dipangkas lagi. Petikan jenis ini merugikan tanaman karena banyak daun yang diambil sehingga mengganggu pertumbuhannya. 3. Petikan Produksi, yaitu petikan yang bertujuan untuk menghasilkan produksi yang maksimal. Di Perkebunan Teh Ciater dihasilkan dua jenis teh, yaitu teh tanah rendah dan teh medium tinggi. Untuk teh tanah rendah dapat dipetik pucuknya seminggu sekali, sedangkan teh tanah tinggi hanya boleh sekali dalam 10-12 hari guna menjaga keadaan tanaman dan kualitas pucuknya tetap baik. Perkebunan Teh Ciater memproduksi teh hitam dan teh hijau. Perbedaan pokok antara teh hitam dan teh hijau adalah bahwa teh hitam mengalami proses fermentasi (pemeraman) sedangkan teh hijau tidak. Disamping itu teh hitam tidak mengandung unsur-unsur lain diluar pucuk teh, sedangkan teh hijau yang tidak mengalami proses fermentasi mengakibatkan bau dari teh tidak hilang, sehingga harus dikompensasi dengan wangi-wangian non teh, seperti bunga melati dan cengkeh. Proses produksi teh hijau meliputi beberapa langkah diantaranya : 1. Proses Pelayuan, daun-daun teh dibawa dari perkebunan yang masih segar. Setelah sampai di pabrik, dilayukan dengan cara pemanasan asap.
63
2. Proses Pendinginan, setelah dipanaskan kemudian teh didinginkan sambil menunggu bahan pembantu, misalnya bunga melati. 3. Proses Pencampuran, pencampuran teh dengan bunga melati ditambah sedikit air. 4. Proses Pengayakan, setelah menjadi campuran teh di ayak dengan tujuan memisahkan antara teh yang baik dengan teh yang kurang baik. 5. Proses Penginapan, teh yang sudah di ayak dihamparkan di atas lantai kemudian ditutup karung agar aroma teh bercampur dengan melati. 6. Proses Pemasakan, teh yang sudah diinapkan dimasak di atas api. 7. Proses Pengepakkan, teh dikemas untuk proses penjualan. Proses produksi teh hitam meliputi beberapa langkah diantaranya : 1. Proses Pelayuan, pucuk basah dipaparkan pada alat untuk melayukan daun dengan jalan mengalirkan uap panas. 2. Proses Penggilingan, pucuk yang telah layu kemudian digiling secara bertingkat diselang-seling diadakan pengayakan. Tujuan penggilingan adalah agar daun menjadi memar sehingga terjadi proses kimiawi. 3. Proses Pengayakan Basah, setelah proses penggilingan selesai maka pucuk gilingan itu dipindahkan ke alat pengayakan hingga adonan itu menjadi dingin. Dengan menggoyang-goyangkan ayakan maka terpisahlah yang kasar dari yang halus, dan yang telah halus dimasukkan ke ruang fermentasi sedangkan yang masih kasar digiling kembali 4. Proses Fermentasi, adonan pucuk yang telah digiling halus akan beroksidasi dengan udara sehingga adonan yang masih basah tersebut lambat laun warnanya berubah. Adonan teh dari tiap proses penggilingan
64
harus difermentasikan terpisah, karena kelebihan fermentasi menyebabkan kualitas akhirnya teh keruh hitam, sedangkan bila waktu fermentasi kurang maka tehnya akan menjadi bening. 5. Proses Penggarangan, adonan pucuk teh yang telah selesai difermentasi kemudian dimasukan ke dalam oven, kemudian digarang hingga kering di bawah suhu 98-100º C. Dengan adanya penggarangan tersebut maka proses fermentasi yang terjadi terhenti dan dengan demikian adonan tersebut mempunyai aroma teh hitam. 6. Proses Sortasi, proses ini dilakukan untuk membedakan jenis teh yang mana yang akan dipasarkan untuk memenuhi permintaan konsumen. 7. Proses Pengepakan, setelah disortir teh itu dikemas dalam peti khusus, ditimbang dengan berat sekitar 50 Kg. Di lihat dari langkah-langkah produksi di atas, sebagian besar tenaga kerja wanita banyak ditempatkan di perkebunan sebagai pemetik, sementara sebagian lainnya bekerja di pabrik pada bagian sortasi. Mereka ditempatkan dalam dua jenis pekerjaan tersebut karena bebannya ringan, dalam arti tidak memerlukan peralatan/mesin yang berat sebagaimana dilakukan oleh tenaga kerja laki-laki pada bagian pelayuan, pengilingan dan pengepakan. Pekerjaan ini juga memerlukan ketelitian dan kerapihan, dan wanita memiliki kedua sifat tersebut sehingga mereka banyak di tempatkan pada kedua bagian tersebut. Perkebunan Teh Ciater Subang sebagai salah satu perkebunan negara memprioritaskan produksi teh hitam, sedangkan teh hijau diproduksi dalam jumlah yang terbatas. Hal ini dikarenakan permintaan pasar internasional tahun 1980-an terhadap teh hitam cukup tinggi. Produksi yang dilaksanakan di
65
perkebunan Ciater hampir sebagian besar untuk kebutuhan ekspor ke luar negeri terutama negara-negara Eropa, walaupun pihak perkebunan tetap mengirimkan hasil sebagian produksinya pada pabrik teh Sariwangi yang berada di Cibiru Bandung untuk dijual dalam kemasan kecil. Dalam persaingan di pasaran internasional, untuk teh hitam perkebunan negara memainkan peranan yang penting, termasuk didalamnya Perkebunan Ciater Subang, karena sejak tahun 1976 perkebunan teh Ciater merupakan salah satu perkebunan yang menghasilkan produksi dalam jumlah yang besar (spillane, 1992 : 56). Berikut ini adalah tabel perbandingan produksi teh hitam yang dihasilkan oleh Perkebunan Besar Negara (PTPN) dengan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Tabel 4.3 Produksi Teh Hitam Perkebunan Besar Negara dan Perkebunan Swasta Tahun 1986-1990 Jumlah Produksi (ton) Tahun PTPN PBS 1986 88.595 10.314 1987 91.674 10.598 1988 94.753 10.882 1990 100.870 11.449 Sumber : Diambil dari Spillane (1992). Komoditi Teh : Peranannya Dalam Perekonomian Indonesia, hal 247. Yogyakarta : Kanisius Dari tabel di atas terlihat bahwa Perkebunan Besar Negara, termasuk didalamnya perkebunan teh Ciater lebih banyak memproduksi teh hitam, karena dalam pengolahannya teh hitam menggunakan mesin-mesin modern yang sebagian besar dimiliki oleh Perkebunan Besar Negara. Untuk Perkebunan Besar Swasta biasanya memproduksi teh hitam dan teh hijau dalam jumlah yang hampir sama. Teh hitam ini kebanyakan diproduksi untuk di ekspor ke luar negeri, walaupun ada sebagian kecil teh hijau juga yang di ekspor pada saat harga teh hijau di pasar internasional mengalami kenaikan. Teh hijau kebanyakan
66
diproduksi untuk pasaran dalam negeri. Dalam produksinya teh hijau ini biasa diberi wangi-wangian baik melati maupun cengkeh. Pemasaran teh
di Indonesia, selain untuk di ekspor yang kira-kira
mencapai 60%, sebagian juga dipasarkan untuk konsumsi dalam negeri (spillane, 1992 : 66). Dengan adanya dua arah pemasaran ini, fleksibilitas pengembangan teh Indonesia dapat memperoleh peluang lebih baik dibanding dengan negara lainnya. Kualitas teh di pasar domestik jauh lebih rendah dan menerima harga jauh lebih murah daripada teh berkualitas ekspor. Berikut ini adalah tabel hasil produksi perkebunan Teh Ciater. Tabel 4.4 Hasil Produksi Perkebunan Ciater Tahun 1986-1991 Tahun Produksi Kg/Ha Produksi Teh Jadi Keterangan 1986 1.872 1.656 1987 1.917 1.725 1988 2.034 2.136 1989 2.118 2.249 1990 2.246 2.435 1991 2.144 2.159 Kemarau Panjang Sumber : Diolah Dari Arsip PT Perkebunan Nusantara VIII Ciater Subang tahun 2001 Dari tabel 4.4 terlihat bahwa hasil produksi mengalami fluktuasi namun cenderung mengalami kenaikan, meskipun ada penurunan (tahun 1991) dikarenakan musim kemarau panjang yang mengakibatkan pertumbuhan pucuk berkurang. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa musim, cuaca dan curah hujan mempengaruhi banyak sedikitnya jumlah teh yang diproduksi. Dibawah ini adalah tabel volume dan nilai ekspor teh Indonesia.
67
Tabel 4.5 Hasil Produksi dan Ekspor Indonesia Tahun 1979-1985 Tahun Produksi (ton) Ekspor (ton) Harga (US$) 1979 91.740 53.582 171 1980 112.670 74.711 151 1981 100.830 71.259 141 1982 89.490 63.660 141 1983 120.400 68.489 176 1984 226.290 85.624 264 1985 77.305 37.880 204 Sumber : Diambil dari Spillane (1992). Komoditi Teh : Peranannya Dalam Perekonomian Indonesia, hal 63. Yogyakarta : Kanisius Dari tabel 4.5 terlihat bahwa harga penjualan teh di pasaran internasional sangat mempengaruhi jumlah produksi dan ekspor. Banyak sedikitnya teh yang diproduksi maupun yang diekspor sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga teh itu sendiri. Apabila harga teh perkilonya tinggi maka produksi pun meningkat. Selama lima tahun, sejak 1979-1985 tingkat ekspor Indonesia mengalami fluktuasi,
namun
hal
tersebut
merupakan
kondisi
yang wajar
karena
perkembangan harga teh ditandai oleh perubahan yang ciclical, yaitu setelah periode harga tinggi akan disusul dengan periode harga rendah dalam jangka waktu yang relatif lama (Spillane, 1992:262). Perkebunan teh Ciater memberikan kontribusi yang cukup besar dalam ekspor teh Indonesia sejak tahun 1976, karena dapat menghasilkan lebih banyak teh dibandingkan dengan perkebunan teh lainnya (Spillane,1992 :58) Maju dan berkembangnya perkebunan teh Ciater di bawah PTPN VIII, khususnya selama kurun waktu sepuluh tahun, sejak 1979-1990 tidak terlepas dari status perkebunan teh itu sendiri. Perkebunan teh Ciater merupakan perkebunan milik negara sehingga pemerintah ikut serta dalam pengembangan perkebunan baik melalui bantuan dana/kredit maupun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Kredit-kredit ini terutama diarahkan kepada rehabilitasi pabrik ataupun perbaikan
68
mesin-mesin guna meningkatkan hasil produksi teh (Spillane, 1992 : 77). Perkebunan Ciater Subang membangun pabrik baru yang lebih besar dari pabrik sebelumnya pada tahun 1989 dengan tujuan supaya dapat menampung hasil produksi yang semakin meningkat. Pada tahun 1979 dilakukan perbaikan mesinmesin guna meningkatkan hasil produksi. Dalam kebijakan Pelita, pemerintah sangat memperhatikan perkebunan besar negara. Dalam Pelita I.II dan III indonesia berhasil mengembangkan industri komoditi teh. Industri perkebunan teh ini sesuai dengan trilogi pembangunan yaitu pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Adapun cara yang sudah ditempuh oleh pemerintah untuk melaksanakan asas pemerataan menuju tercapainya keadilan sosial dikenal dikenal dengan adanya delapan jalur pemerataan. Dua dari delapan jalur pemerataan tersebut tercermin dengan adanya industri komoditi teh, yaitu pemerataan pembagian pendapatan dan perolehan kesempatan kerja (Spillane, 1992 : 76). Berkembangnya perkebunan juga dapat dilihat dari peningkatan hasil produksi. Dari tabel hasil produksi (Tabel 4.4) di atas terlihat bahwa, perkebunan Teh Ciater mengalami kemajuan dalam hal produksi. Kenaikan jumlah produksi tersebut berpengaruh juga terhadap jumlah ekspor, yang sudah pasti turut meningkat. Perkebunan Teh Ciater, yang merupakan salah satu perkebunan dibawah PTPN VIII memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga kualitas produksi teh agar menghasilkan jenis teh dengan mutu terbaik untuk diekspor ke negara-negara Eropa, dan untuk mensuplai perusahaan teh dalam negeri terutama perusahaan teh Sariwangi.
69
Pemasaran produk teh sebenarnya merupakan tanggung jawab direksi, namun secara tidak langsung berpengaruh juga pada jumlah laba yang diperoleh perkebunan, sehingga tidak mengherankan bahwa ketika permintaan pasar meningkat, keuntungan didapat pula oleh para pekerja perkebunan, misalnya dengan pembagian bonus. Namun, bagaimanapun makmurnya kehidupan perkebunan, tidak menjamin bahwa semua pekerja khususnya buruh petik wanita dapat menikmati sepenuhnya kemakmuran tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah upah yang diterima rendah, dan status pekerjaan yang tetap rendah.
4.2.3 Tenaga Kerja Usaha perkebunan teh selalu berhubungan dengan buruh atau tenaga kerja, tanpa buruh yang cukup jumlahnya maka perkebunan yang luas itu tidak akan menghasilkan keuntungan. Oleh sebab itu perkebunan teh dapat dikatakan telah ikut memberikan kesempatan kerja yang cukup besar bagi penduduk sekitarnya. Usaha dan segala kegiatan yang berhubungan dengan produksi teh merupakan bidang usaha yang memberikan sumber terhadap pemerataan kerja (Spillane,1992 : 76) Perkebunan teh merupakan bidang usaha yang memerlukan tenaga kerja yang banyak, baik untuk bagian pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemetikan, pengangkutan, proses produksi sampai pada penjualan. Di perkebunan Ciater sejak dari tahun 1980 sampai dengan 1990 tidak banyak melakukan perekrutan tenaga kerja karena jumlah tenaga kerja yang dimiliki sudah cukup untuk melaksanakan pekerjaan. Apabila produksi sedang meningkat maka perusahaan menggunakan tenaga kerja lepas matuh, yaitu pekerja yang tidak
70
memperoleh fasilitas perkebunan secara lengkap. Khusus bagi pemetik, bedanya pekerja lepas/borongan dengan pekerja tetap yaitu untuk pekerja tetap diberikan upah, fasilitas bedeng dan tunjangan sosial setiap minggunya, sedangkan bagi pekerja lepas hanya diberikan upah hasil petikan tiap bulannya dan fasilitas kesehatan tanpa memperoleh tunjangan sosial. Khusus untuk bedeng walaupun diperuntukan bagi buruh tetap tetapi di beberapa afdeling diisi oleh buruh lepas, karena tidak ada yang menghuninya. Hal ini biasanya terjadi di daerah pedalaman (wawancara dengan Udin dan Euis pada Juli 2005). Tabel 4.6 Jumlah Tenaga kerja Perkebunan Teh Ciater Subang Tahun 1982 Posisi Laki-laki Wanita Jumlah Pekerjaan Staff kebun 18 3 21 Staff Pabrik 9 2 11 Bulanan Tetap 27 12 39 Harian Tetap 1383 1402 2785 Harian Lepas 1468 1433 2901 Sumber : Badan Pusat Statistik Subang. (1982). Subang Dalam Angka 1982. Kantor Statistik Kabupaten Subang. Hlm, 199-200.
Di Perkebunan Teh Ciater, terdapat perbedaan status pekerjaan, yaitu : 1. Bulanan, biasanya mereka yang sudah mempunyai jabatan yang cukup tinggi, seperti kepala bagian, staff kantor dan mandor. 2. Harian Tetap, biasanya para pekerja baik di kebun maupun di pabrik yang telah lama bekerja. 3. Harian Lepas, sebagian bekerja di perkebunan sebagai pemetik dan di pabrik pada bagian sortasi yang sebagian besar adalah kaum wanita. Mereka dikenal dengan buruh lepas matuh karena walaupun telah bekerja cukup lama namun tidak diangkat menjadi harian tetap. Biasanya mereka dipekerjakan ketika produksi sedang meningkat.
71
Berdasarkan tabel 4.6 di atas, jenis pekerjaan untuk laki-laki lebih tersebar mulai dari menjadi staff kantor, pabrik maupun kebun dan status pekerjaan mereka pun lebih seimbang ada yang tenaga kerja bulanan, harian tetap dan harian lepas. Lain halnya dengan tenaga kerja wanita, dimana sebagian besar dari mereka berstatus sebagai harian lepas yang banyak ditempatkan pada bagian pemetikan, dan hanya beberapa orang saja yang menjadi staff di kantor atau status bulanan. Posisi pekerja wanita cenderung stagnan, tidak seperti buruh laki-laki yang seakan-akan mudah untuk naik jabatan, karena bisa terfokus pada pekerjaan perkebunan tidak seperti buruh wanita yang harus membagi waktunya dengan keluarga di rumah. Dari analisis tabel tersebut, tampak hanya sebagian kecil saja tenaga kerja wanita yang menempati posisi sebagai staff kantor dan Staff kebun, hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar kaum wanita di Ciater masih berpendidikan rendah karena untuk menjadi staff kantor dan staff kebun minimal harus berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Kaum wanita lebih banyak ditempatkan sebagai harian tetap dan harian lepas yaitu sebagai buruh, baik buruh kebun maupun buruh pabrik. Namun sebagian besar dari buruh tersebut banyak ditempatkan pada bagian kebun yakni sebagai buruh petik. Sebagai buruh yang berada di posisi terbawah, mereka tidak memiliki kuasa apapun sehingga cenderung sulit untuk melakukan mobilitas sosial, baik horizontal maupun vertikal. Gambaran tersebut terlihat jelas seperti yang di alami oleh Epong seorang pemetik berikut ini : “Bayu mulai bekerja di perkebunan sebagai pemetik sekitar tahun akhir 1970 sama dengan Epong. Namun tahun 1985, Bayu diangkat menjadi mandor dan Epong masih bekerja sebagai pemetik. Kenaikan jabatannya tersebut dikarenakan Bayu selalu rajin di perkebunan tidak seperti Epong yang harus segera pulang untuk melaksanakan pekerjaan rumah tangga termasuk mengurus kedua anaknya”
72
Kondisi di atas menunjukkan bahwa mobilitas vertikal masyarakat perkebunan Teh Ciater cenderung lambat dan sulit. Untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi sangat jarang terjadi, khususnya para buruh wanita, dari pernyataan di atas juga seakan-akan kesempatan untuk naik ke jabatan yang lebih tinggi lebih diperuntukan bagi buruh laki-laki, sehingga sebagai buruh wanita untuk menjadi seorang mandor sangat sulit terjadi. Sama lambatnya dengan mobilitas horizontal yang dialami oleh masyarakat Perkebunan Teh Ciater. Untuk dapat pindah jenis pekerjaan dari pemetik teh menjadi penyortir sangatlah sulit, meskipun dua jenis pekerjaan tersebut sederajat, sama-sama menjadi buruh. Pihak
perkebunan
memberikan
fasilitas-fasilitas
tertentu
kepada
pekerjanya dengan tujuan agar pekerja lebih rajin bekerja dan merupakan kewajiban dari perusahaan juga untuk memperhatikan kesejahteraan pekerjanya. Pihak perkebunan memberikan fasilitas-fasilitas sosial kepada pekerja diantaranya pemukiman, Puskesmas/balai kesehatan, dan tempat ibadat. Biasanya fasilitasfasilitas tersebut terletak di dekat perkebunan dan pemukiman/tempat tinggal pekerja. Walaupun ada pemukiman yang diperuntukan bagi pekerja, namun tidak sedikit pekerja yang tinggal agak jauh dari perkebunan. Kebijakan pemberian fasilitas ini mencerminkan filsafat pemerintah bahwa para karyawan harus menikmati secara material hasil kekayaan yang diciptakan oleh pekerjaannya. pada kenyataannya, walaupun sudah mendapat fasilitas-fasilitas kehidupan para buruh khususnya buruh pemetik jauh dari kata sejahtera. Dengan tingkat pendidikan yang rendah mereka tidak memiliki wewenang kekuasaan sehingga sulit untuk melakukan mobilitas sosial baik vertikal maupun horizontal. Di satu sisi, walaupun sebagai buruh mereka berada pada posisi terbawah dan tidak
73
memiliki kuasa apapun, namun di sisi lain para buruh pemetik ini akan tetap dibutuhkan. Sampai kapan pun kehadiran para buruh petik ini akan tetap diperlukan selama perkebunan teh masih ada karena belum ada satu mesin pun yang bisa menggantikan manusia dalam soal pemetikan pucuk teh. Pihak perkebunan memberikan berbagai fasilitas untuk para pekerjanya dengan tujuan agar pekerja lebih rajin dan royal dalam bekerja. fasilitas-fasilitas tersebut diantaranya : 1. Jaminan Sosial, yang meliputi Upah hari minggu/raya, upah cuti hamil, cuti tahunan, cuti panjang, biaya kelahiran, tunjangan kematian, tunjangan hari tua, pakaian kerja, bantuan pengobatan, perawatan kesehatan dibalai pengobatan dan Rumah Sakit II Subang terhadap keluarga yang sah, dan santunan khusus/pemberian penghargaan masa kerja 25 tahun, 30 dan 35 tahun kepada karyawan yang memenuhi syarat. 2. Tunjangan Selain gaji pokok yang diterima kepada pegawai setiap bulannya diberikan juga tunjangan khusus. 3. Penyelenggaraan Pembinaan -
Pembinaan rokhani dan jasmani
-
Pembinaan keahlian dan keterampilan
-
Pembinaan disiplin karyawan
4. Bedeng/rumah dinas, yang berada di lingkungan sekitar perkebunan. Bedeng tersebut diperuntukan bagi buruh tetap yang belum mempunyai rumah.
74
5. Sarana peribadatan, yaitu satu buah mesjid dan satu mushola. Mushola di bangun di dalam pabrik untuk memudahkan pelaksanaan peribadatan bagi pekerja perkebunan. 6. Organisasi 1. Parkappen 2. SP-Bun
4.3
Dinamika Kehidupan Tenaga Kerja Wanita Di Perkebunan Teh Ciater Tahun 1979-1990 4.3.1 Situasi dan kondisi Tenaga Kerja Wanita Perkebunan Teh Ciater Perkebunan membuka peluang lapangan kerja terhadap masyarakat sekitar
dan sudah pasti memberikan pendapatan bagi masyarakat tersebut, dengan demikian terbentuk hubungan yang saling menguntungkan antara perkebunan dengan masyarakat sekitarnya (Kartodirdjo & Suryo, 1991:157). Peluang-peluang kerja ini diperuntukan tanpa mengenal jenis kelamin. Perkebunan memberikan kesempatan kerja yang luas bagi kaum wanita, walaupun mereka hanya menempati posisi yang rendah. Perkebunan tetap dipandang sebagai “penopang hidup”, karena mereka tidak memiliki cukup keterampilan dan modal, untuk bekerja disektor lain. Posisi kaum wanita dalam perkebunan umumnya dipekerjakan sebagai pemetik, dikarenakan pekerjaan tersebut dianggap ringan dan cocok bagi mereka, seperti yang dikatakan oleh Udin selaku mandor petik berikut ini : “Pekerjaan sebagai pemetik teh membutuhkan kesabaran dan ketelatenan, untuk itu kaum wanita cocok untuk bekerja di bagian tersebut karena sifat dari wanita biasanya sabar, tekun, rapi dan disiplin. Dalam arti buruh wanita tidak banyak melakukan kecurangan-kecurangan sehingga jarang bermasalah dengan mandor”.
75
Sebagai pekerja di perkebunan, mereka memiliki rutinitas yang berbeda dengan wanita lainnya yang tidak bekerja di perkebunan. Untuk memperoleh gambaran aktifitas rutin yang dilakukan pekerja wanita sehari-harinya, di bawah ini penulis tampilkan tabel rutinitas sehari-hari pekerja perkebunan bagian pemetikan. Tabel 4.7 Rutinitas Kehidupan Buruh Pemetik Jam Kerja Kegiatan 07.00-10.00 Memetik teh pada hanca yang sudah ditentukan oleh mandor 10.00-10.15 Istirahat untuk makan 10.15-14.00 Memetik teh kembali tetapi di hanca yang baru 14.00-15.00 Beristirahat, untuk makan sampai truk jemputan datang 15.00-17.00 Tiba di rumah masing-masing Mengerjakan pekerjaan rumah tangga, beristirahat dan persiapan 17.00-07.00 untuk berangkat bekerja Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan Atikah dan Euis Juli 2006 Dari tabel 4.7, dapat dilihat bahwa aktifitas sehari-hari para pemetik menghabiskan banyak waktunya di perkebunan. Mereka harus bangun pagi hari, menyiapkan kebutuhan suami dan anak termasuk untuk bekalnya di perkebunan. Jam enam pagi harus sudah berada di jalan untuk menunggu truk jemputan. Bagi yang rumahnya jauh terpaksa harus bangun lebih awal supaya tidak telat untuk bekerja di perkebunan. Adapun fasilitas bagi
yang rumahnya jauh dari
perkebunan akan dijemput oleh mobil truk perkebunan sedangkan bagi yang rumahnya dekat cukup berjalan kaki ke hanca yang ditentukan. Konsekuensi dari bekerja, mereka harus bertahan di bawah teriknya matahari, sedangkan apabila musim penghujan tiba harus bertahan dari dinginnya udara pegunungan serta melewati medan yang terjal dan licin. Rutinitas tersebut ditambah lagi dengan beban tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Dengan ikut bekerja di luar bukan berarti mereka bebas dari kewajibannya sebagai ibu rumah
76
tangga (hastuti, 2004:1). Sebelum berangkat, para pemetik menyiapkan perlengkapan untuk memetik teh, seperti keranjang/carangka untuk menampung hasil petikan, gembol untuk memikul keranjang, dudukuy/topi bercaping lebar yang terbuat dari bambu yang biasa digunakan oleh petani, baju tebal berlapislapis, kerudung, celana panjang, sepatu boot dan jas hujan dari plastik apabila musim hujan. Rutinitas yang dilakukan seperti tersebut di atas belum seberapa, karena meskipun beratnya tanggung jawab sebagai pekerja di perkebunan, namun bukan alasan bagi mereka untuk bebas dari beban pekerjaan di rumah tangga. Bagi tenaga kerja wanita yang telah menikah, mereka mempunyai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perkebunan. Mereka harus bangun lebih pagi kemudian melakukan kegiatan seperti mencuci, memasak dan menyiapkan sarapan untuk suami dan anak. Meskipun mereka terlibat dalam sektor publik yang meminta tanggung jawab dalam hal pekerjaan, mereka lebih dituntut untuk menyelesaikan terlebih dahulu urusan domestik yang menjadi tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Disini terlihat bahwa pembagian kerja antara domestik (wanita) dan publik (laki-laki) menjadi tidak adil, sebab dalam kenyataannya wanita harus mengerjakan kedua jenis pekerjaan tersebut. Jam tujuh pagi mereka telah ditempatkan di hanca masing-masing yang sudah ditentukan oleh mandor petik. Jam sepuluh berhenti bekerja untuk beristirahat. Selama beristirahat, hasil petikan yang pertama ditimbang untuk diproses lebih lanjut. Pada saat istirahat pertama itu mereka tidak makan dalam jumlah yang banyak, tetapi hanya makan sekedarnya untuk memulihkan tenaga,
77
oleh karena itu istirahat pertama hanya 15 menit. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa apabila pada istirahat pertama sudah makan banyak maka para pemetik akan kekenyangan sehingga berpengaruh terhadap kecepatan bekerja. Disela-sela waktu istirahat tersebut mereka menyempatkan waktu untuk bersosialisasi dengan para pemetik lainnya dengan bercerita satu sama lain. Waktu istirahat yang diberikan oleh perusahaan selama 15 menit dirasakan sangat kurang apalagi kalau melihat peraturan perundangan tentang waktu istirahat paling sedikit adalah setengah jam (Abdul Rochman, 1998:23). Singkatnya waktu istirahat menunjukkan bahwa sebagai buruh, mereka tidak memiliki daya tawar yang tinggi terhadap perkebunan, mereka menerima begitu saja peraturan dari perkebunan bahkan untuk masalah waktu istirahat yang relatif singkat. Setelah beristirahat mereka kembali memetik pada hanca lainnya yang ditentukan oleh mandor petik. Jam satu siang sudah kembali lagi ke tempat penimbangan. Setelah proses penimbangan selesai segera mencari tempat yang agak teduh untuk makan bersama, terkadang mereka makan dengan lalapan yang ditemukan disekitar perkebunan atau ada juga sebagian pekerja yang membawa lalapan tersebut ke rumah untuk dijadikan lauk pauk. Pada saat inilah para buruh petik makan banyak karena tidak harus kembali memetik melainkan langsung pulang ke rumah. Mereka makan sambil bercerita satu dengan yang lainnya, mulai dari membicarakan masalah hasil pucuk yang dihasilakan pada hari itu sampai pada masalah keluarga dan lainnya. Kenyataan yang digambarkan tersebut membuat akses sosial dan politik buruh petik wanita terpinggirkan. Mereka tidak mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk berinteraksi dengan masyarakat
78
lainnya. Maka dari itu mereka sangat mengefektifkan waktu istirahat yang relatif singkat untuk berinteraksi. Bagi yang rumahnya dekat dengan tempat pemetikan/hanca, mereka akan tiba di rumah pada jam tiga sore, sedangkan untuk yang rumahnya jauh dari hanca akan tiba di rumah jam lima sore karena harus menunggu truk jemputan yang terlebih dahulu mengirimkan pucuk teh hasil penimbangan kedua ke pabrik. Bagi yang rumahnya jauh, terkadang membawa alat sholat ke perkebunan. Ada juga sebagian pemetik memilih untuk berjalan kaki atau mempergunakan jasa angkutan umum yang ada. Sesampainya di rumah biasanya langsung mandi kemudian sholat, setelah itu kembali beraktifitas sebagi ibu rumah tangga. Mereka ke dapur untuk memasak atau sekedar
memanaskan masakan yang dimasak pada pagi hari,
mencuci, dan membereskan rumah. Pekerjaan di perkebunan selama delapan jam telah cukup menguras tenaga dan waktu mereka. Mengingat lamanya waktu di perkebunan dan banyaknya pekerjaan rumah tangga yang tidak habis-habisnya menyebabkan waktu istirahat relatif singkat dan mengharuskan mereka mengerjakannya sampai larut malam. Beban yang berat tersebut tidak dibarengi dengan asupan gizi yang mencukupi karena mereka hanya makan dengan asin, sambal dan lalapan agak mewahnya mungkin hanya dengan tempe atau tahu. Khusus untuk daging atau ikan mereka bisa mengkonsumsinya jika ada tetangga yang hajatan, lebaran/idul fitri ataupun ada acara keluarga. Begitulah gambaran umum aktifitas sehari-hari para pekerja wanita pemetik teh, mereka dituntut untuk membantu penghasilan keluarga tanpa bisa meninggalkan tugasnya sebagai ibu
79
rumah tangga. Kembali kepada hasil pekerjaan, pucuk teh yang dihasilkan pekerja wanita di perkebunan setiap harinya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 4.8 Jumlah Rata-Rata Pucuk Teh Yang Dihasilkan Dalam Sehari Nama Pemetik
Lama Kerja (Tahun)
Endang Ipah Evi Emi Atikah Arum Epong Anih Cicih Ikah
22 26 20 15 26 13 26 14 26 26
Jumlah Rata-Rata Pucuk Teh (Kg) Sesi I Sesi II (07.00-10.00) (10.15-14.00) 15 10 15 10 10 10 10 5 20 10 10 5 15 10 10 5 10 10 15 10
Jumlah keseluruhan 25 25 20 15 30 15 25 15 20 25
Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan para pemetik pada bulan Juli 2006 Seperti yang terlihat dalam tabel 4.8, pemetikan terbagi dalam dua sesi, pemetikan pertama dari jam tujuh sampai jam sepuluh, kemudian beristirahat. Setelah selesai pemetikan sesi pertama dilakukan penimbangan pertama, biasanya para pemetik berkumpul di suatu tempat yang agak luas dan lapang serta dapat dilalui oleh truk untuk memudahkan proses penimbangan, hasil penimbangan dicatat oleh bagian penimbangan untuk disesuaikan dengan jumlah timbangan di pabrik, demikian juga pada paruh atau sesi kedua, kegiatan yang dilakukan sama. Pencatatan itu sangat perlu untuk memperkirakan upah yang akan diterima pada awal bulan berikutnya oleh para pemetik. Dalam sehari biasanya mereka memperoleh pucuk teh rata-rata seberat 20-35 Kg. Banyak sedikitnya pucuk teh yang dipetik bergantung pada keterampilan dan kegesitan tangan, serta faktor musim. Bila musim hujan mereka bisa menghasilkan pucuk sampai 50 kg tetapi apabila musim kemarau dan tanaman teh yang akan di panen sedikit, pucuk teh yang dihasilkan pun sedikit.
80
Dari tabel 4.8 dapat dilihat juga bahwa pucuk teh yang dihasilkan pada sesi pertama cenderung lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pucuk teh yang dihasilkan pada sesi kedua. Kondisi tersebut dikarenakan pada sesi pertama, tenaga mereka belum terkuras sehingga dapat bekerja lebih cepat, dengan begitu pucuk teh yang dihasilkan lebih banyak. Tidak seperti pada sesi kedua, tenaganya semakin melemah karena sudah bekerja dari pagi dan keadaan cuaca yang semakin siang semakin panas yang menyebabkan fisiknya semakin lemah. Selain itu, waktu yang tersedia pada sesi pertama lebih banyak yaitu sekitar tiga jam, sedangkan pada sesi kedua hanya dua jam. Lamanya bekerja juga mempengaruhi banyak sedikitnya pucuk teh yang dihasilkan. pekerja wanita yang lebih lama bekerja dapat menghasilkan pucuk yang lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang baru bekerja. Hal tersebut dikarenakan semakin lama bekerja maka keterampilan memetik pun akan semakin baik. Beratnya beban pekerjaan sebagai pemetik, tidak menyebabkan mereka untuk mencoba beralih pekerjaan karena mereka tidak mempunyai skill dan kemampuan untuk bekerja diluar sektor perkebunan. Secara ekonomis upah mereka sebagai pemetik rendah antara 10.000-15.000 perbulan (upah buruh pemetik tahun 1981, tabel 4.9). Sementara secara sosio politis mereka adalah pekerja yang terpaksa harus menjual tenaganya agar bisa bertahan hidup. Kondisi tersebut mungkin yang menjadi alasan masyarakat lainnya untuk tidak bekerja di sektor perkebunan. Tetapi bagi para buruh pemetik kondisi tersebut tidak menjadi alasan untuk keluar dari perkebunan. Perkebunan tetap dipandang sebagai dewa penolong, karena mereka tidak memiliki lahan sendiri, keterampilan di bidang lain dan terbatasnya modal untuk berwiraswasta.
81
Dalam setiap pekerjaannya, para pemetik harus memiliki fisik yang kuat karena mereka harus mencapai target pemetikan yang ditentukan oleh mandor petik. Apabila target tidak tercapai maka mereka akan mendapat upah yang rendah. Jika satu hari tidak mencapai target maka hari berikutnya mereka harus berusaha untuk melebihi target agar upah yang diterima cukup besar dan mampu menutupi kebutuhan hidup. Kondisi seperti itu harus tetap mereka jalani karena kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat, walaupun dengan upah yang relatif rendah dan menguras tenaga. Mereka sadar bahwa dengan kondisi mereka yang tidak memiliki keterampilan lain selain memetik, hanya perkebunan lah yang masih memberikan kesempatan untuk tetap bekerja. maka tidak berlebihan kalau perkebunan diangggap sebagai penopang hidup bagi mereka. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa dalam kehidupan tenaga kerja wanita perkebunan akan terlihat suatu rutinitas yang sama dari hari ke hari. Secara teori pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh wanita yang bekerja di perkebunan atau pun yang tidak bekerja di perkebunan sama, yaitu mempersiapkan segala kebutuhan suami dan anak mereka, namun dalam kenyataannya terlihat ada ritme yang berbeda. Seorang wanita yang menjadi pekerja di perkebunan harus lebih awal melaksanakan pekerjaan rumah tangga karena ada tuntutan waktu kerja di perkebunan dan memiliki waktu istirahat yang sedikit, sedangkan untuk wanita yang hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga maka waktu untuk mengurus rumah lebih banyak. Maka terlihat jelas bahwa wanita yang sudah menikah dan bekerja sebagai pekerja perkebunan akan memiliki beban ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai buruh perkebunan.
82
Keikutsertaan kaum wanita bekerja di perkebunan, selain karena sifat-sifat domestik yang telah dipaparkan sebelumnya, juga adanya dorongan ekonomi dalam keluarga yang mengharuskannya bekerja di luar rumah untuk memperoleh tambahan penghasilan. Dalam masyarakat sunda, kedudukan laki-laki lebih tinggi dibanding dengan wanita, mereka lebih ditekankan atas peranannya sebagai ibu rumah tangga. Wanita sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga dan merupakan tugas yang diberikan alam kepada mereka yaitu melahirkan dan membesarkan anak, memasak dan memberikan perhatian kepada suaminya, sedangkan laki-laki memiliki tugas lain yaitu mencari nafkah (Budiman, 1982:1). Secara sosio-antropologis, budaya pathriarki sangat kuat dalam kehidupan masyarakat sunda, dimana, kelompok laki-laki bertindak sebagai kepala keluarga yang memberikan semua keputusan dan yang menanggung ekonomi keluarga, sedangkan kaum wanita hanya berkewajiban mengatur kehidupan keluarga dan mengasuh anak-anaknya dan kalaupun harus bekerja di luar rumah, harus dipilih pekerjaan-pekerjaan yang ringan (Ekadjati, 1984:45). Seiring dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan meningkatnya kebutuhan hidup, pembagian kerja secara seksual tidak lagi diterima begitu saja, terutama oleh kaum wanita. Oleh sebab itu ada kecendrungan pertengahan abad ke-20, jumlah tenaga kerja yang bekerja di luar rumah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kondisi tersebut dikarenakan semakin meningkatnya kebutuhan hidup, sehingga menuntut kaum wanita untuk bekerja di luar rumah untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Namun citra wanita yang melekat pada sifat domestiknya mengakibatkan kedudukannya cenderung dinomorduakan. Dari kenyataan tersebut, tidak mengherankan bila hampir seluruh
83
kaum wanita yang berada di sekitar perkebunan Ciater memilih bekerja di perkebunan karena desakan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat. Apapun jenis pekerjaaan dan berapa pun upah yang mereka terima, mereka tetap bertahan bekerja di perkebunan. Sejak perkebunan didirikan sampai tahun 1990, atau bahkan sampai kapanpun, selama perkebunan masih ada, para wanita di sekitar perkebunan akan berturut-turut menjadi pekerja di perkebunan, dan seakan-akan telah menjadi pekerjaan yang turun menurun. Bagi pekerja wanita, pendapatan suami yang tidak bisa memenuhi semua kebutuhan hidup mendorong mereka untuk ikut membantu suaminya mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluargannya. Maka mereka sangat antusias ketika perkebunan memberikan kesempatan untuk bekerja walaupun hanya sebagai buruh yang upahnya relatif kecil, namun setidaknya dengan bekerja di perkebunan akan mendapatkan penghasilan tambahan. Meski pekerjaan bagi kaum wanita di perkebunan dianggap ringan, namun pekerjaan tersebut memerlukan kondisi fisik yang kuat. Tenaga kerja di perkebunan teh Ciater bekerja rata-rata delapan jam. Apabila musim penghujan tiba dan jumlah pucuk teh banyak maka mereka bisa bekerja lembur. Bekerja lembur biasanya dilakukan pada hari libur, walaupun dengan lembur ini buruh wanita tidak mempunyai hari libur untuk beristirahat namun mereka sangat bergembira karena dengan bekerja lembur akan mendapatkan upah yang lebih besar. Pada saat lembur upah langsung diberikan setelah pekerjaan memetik selesai dan harga per kilo pucuk dihargai lebih besar dibandingkan hari-hari biasa. Bagi pekerja wanita, meskipun mereka telah terlibat dalam sektor publik yang harus bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, namun mereka lebih
84
dituntut untuk menyelesaikan terlebih dahulu urusan domestik yang menjadi tanggung jawab utamanya. Oleh karena itu mereka memiliki peran ganda yang harus dijalankan secara seimbang. Berbeda dengan suaminya, secara sosiokultural seorang suami belum terbiasa untuk membantu meringankan pekerjaan istri sebagai ibu rumah tangga karena masih bertahannya stereotif bahwa pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban kaum wanita. Jadi kesetaraan gender yang harus nampak dalam masyarakat perkebunan bukanlah pada partisipasi yang sama antara wanita dan laki-laki dalam sektor publik karena sudah dari dahulu wanita bekerja di perkebunan, melainkan keikutsertaan suami untuk dapat membiasakan diri membantu pekerjaan rumah tangga. Sebagian besar masyarakat perkebunan beranggapan bahwa menyandang peran ganda masih merupakan tanggung jawab seorang istri. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini, diantaranya, pertama, karena secara sosiokultural bekerja di luar rumah merupakan tanggung jawab suami sehingga suami tidak mau membantu istrinya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga walaupun si istri sedang sibuk di perkebunan. Kedua, masih adanya perasaan gengsi dari suami dan malu terhadap tetangga apabila melakukan pekerjaan rumah tangga (wawancara dengan Maman pada bulan maret 2006). Selain itu juga anggapan bahwa mengurus rumah tangga adalah kewajiban seorang istri masih kental dalam masyarakat perkebunan. Jadi terdapat pembagian kerja antara wanita dan laki-laki baik dalam sektor publik maupun sektor domestik, meskipun tidak secara ketat dilaksanakan. Penilaian terhadap pekerjaan tertentu berpatokan pada pantas atau tidaknya dilakukan oleh wanita atau laki-laki, dan di perkebunan sangat sulit sekali untuk membedakan mana pekerjaan feminim yang cocok
85
dilakukan oleh wanita atau pekerjaan maskulin yang cocok untuk laki-laki karena bisa dikatakan semua pekerjaan yang ada di perkebunan membutuhkan fisik yang kuat (Irwan Abdullah, 2003).
4.3.2
Gambaran Umum Upah Yang Diterima Tenaga Kerja Wanita
Sebagian besar tenaga kerja di perkebunan teh Ciater adalah lulusan SD bahkan banyak yang tidak lulus, sehingga mereka ditempatkan pada bagian pemetikan, sedangkan untuk para staff perusahaan disyaratkan harus lulus SMP atau SMA. Faktor utama yang menyebabkan mereka tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan serta nilai sosio-kultural yang melingkupi pola hidup masyarakat perkebunan, yang memandang bahwa wanita tidak perlu bersekolah tinggi karena nanti juga akan bekerja di perkebunan dan menjadi ibu rumah tangga, apalagi kalau orang tuanya pekerja di perkebunan kemungkinan besar anaknya pun akan bekerja di perkebunan. Kondisi tersebut dipermudah dengan adanya kesempatan bekerja yang diberikan perkebunan, dimana untuk menjadi buruh perkebunan tidak diperlukan suatu persyaratan lulus sekolah formal, yang terpenting mereka harus memiliki fisik yang kuat, pekerja keras, rajin dan disiplin. Selain itu ada persyaratan yang akan mempermudah mereka untuk bekerja di perkebunan yaitu pekerjaan tersebut telah dilakukan oleh generasi sebelumnya (orang tua mereka), dengan harapan mereka telah terbiasa dengan pekerjaan perkebunan yang pernah dikerjakan oleh orang tuanya. Dengan demikian, bekerja di perkebunan seakan sudah menjadi pekerjaan yang turun temurun, misalkan apabila ibunya dulu seorang pemetik
86
maka kemungkinan besar anaknya juga akan menjadi seorang pemetik. Seperti yang dikatakan oleh seorang pemetik berikut ini: “Saya mulai bekerja di sini tahun 1982, saya bekerja disini menggantikan pekerjaan ibu saya sebagai pemetik karena umurnya sudah tidak memungkinkan untuk terus bekerja” (wawancara dengan Enung pada bulan juli 2006). Anggapan pihak perkebunan, dengan keterampilan memetik yang dimiliki oleh ibunya akan diteruskan kepada anaknya dan mereka pun sudah terbiasa dengan rutinitas di perkebunan. Keterampilan memetik ini sangat penting dalam bekerja, mereka harus bekerja dengan cepat dan tetap memperhatikan teknikteknik pemetikan supaya tidak merusak tanaman teh itu sendiri. Yang dipetik dari tanaman teh adalah kuncup daun/peko, ranting dan daun-daun muda dalam setiap rantingnya. Jadi meskipun, para pemetik terlihat mudah dan cekatan dalam memetik teh, namun
harus tetap memperhatikan teknik dan rumus dalam
pemetikan. Dari fenomena yang ada sangat jelas terlihat bahwa tenaga kerja di perkebunan, termasuk pekerja wanita memiliki mobilitas vertikal yang lambat, dalam arti untuk naik ke tingkatan yang lebih tinggi dalam pekerjaan sangat sulit, khususnya bagi tenaga kerja borongan yang sebagian besar adalah wanita. Selama bekerja mereka akan tetap menjadi seorang pemetik. Untuk menaikkan status menjadi harian tetap saja sulit, harus menunggu beberapa tahun bahkan puluhan tahun. Status mereka di perkebunan berpengaruh terhadap upah yang diterima. Upah kerja, baik bagi pekerja tetap maupun pekerja lepas/borongan diberikan tiap bulan. Bagi pekerja tetap selain upah dari hasil petikan, mereka juga memperoleh tunjangan sosial tiap minggunya, sedangkan bagi pekerja borongan
87
hanya mendapatkan upah dari hasil petikan pucuk teh pada akhir bulan. Sulitnya mendapatkan data tertulis mengenai besarnya upah yang diterima oleh para pekerja di perkebunan teh Ciater menyebabkan penulis mengandalkan sumber lisan dari beberapa narasumber untuk mengetahui rata-rata besarnya upah yang di terima mereka pada tahun kajian. Penulis mengambil sampel sepuluh orang tenaga kerja wanita yang bekerja pada bagian pemetikan. Tabel 4.9 Rata-Rata Hasil dan Upah Pemetik Tahun 1980-an sampai 1990-an No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Endang Ipah Evi Emi Atikah Arum Epong Anih Cicih Ikah
Sumber :
Masa Kerja (Tahun) 22 26 20 15 26 13 26 14 26 26
Hasil (Kg)/Hari 25 25 20 15 30 15 25 15 20 25
Upah / Bulan (Rupiah) 1981 13.000 13.000 10.400 7.800 15.600 7.800 13.000 7.800 10.400 13.000
1984 22.750 22.750 18.200 13.650 27.300 13.650 22.750 13.650 18.200 22.750
1985 27.300 27.300 21.840 16.380 32.760 16.380 27.300 16.380 21.840 27.300
1988 35.100 35.100 28.080 21.060 42.120 21.060 35.100 21.060 28.080 35.100
1990 42.250 42.250 33.800 25.350 50.700 25.350 42.250 25.350 33.800 42.250
Diolah dari wawancara dengan Bayu, Atikah, dan Euis pada Agustus 2006
Upah per Kg tahun 1981 = Rp. 20 Upah per Kg tahun 1984 = Rp. 35 Upah per Kg tahun 1985 = Rp. 42 Upah per Kg tahun 1988 = Rp. 54 Upah per Kg tahun 1990 = Rp. 64 Dari tabel 4.9, dapat terlihat bahwa penghasilan para pemetik tergantung pada
banyak
sedikitnya
pucuk
yang
dihasilkan.
Tabel
tersebut
juga
memperlihatkan adanya pengaruh dari lamanya bekerja dengan pucuk teh yang dihasilkan tiap bulannya. Hal tersebut dikarenakan yang pengalaman bekerjanya
88
lebih lama cenderung akan menghasilkan pucuk yang lebih banyak karena dengan seiringnya waktu keterampilan memetik mereka pun semakin baik dan dapat bekerja lebih cepat dibandingkan dengan yang baru bekerja. Selain itu, hasil pucuk yang dikumpulkan oleh para pemetik sangat dipengaruhi oleh keadaan di perkebunan itu sendiri, seperti keadaan musim, apabila musim penghujan mereka dapat menghasilkan pucuk teh dalam jumlah yang banyak tetapi bila musim kemarau pucuk yang dihasilkan hanya sedikit. Besar kecilnya gaji yang akan diterima dipengaruhi
oleh harga teh per kilonya. Harga perkilo itu sendiri
ditentukan oleh mandor pabrik dengan melakukan analisa terhadap kualitas pucuk teh hasil petikan, dengan disesuaikan upah minimum harian yang berlaku. Jika melihat upah yang diperoleh oleh para pekerja wanita di perkebunan teh Ciater, maka kita bisa melihat bahwa upah yang mereka peroleh masih dibawah Upah Minimum Regional (UMR), tetapi terkadang ada juga yang di atas UMR bila pekerja tersebut melebihi target yang ditentukan oleh pihak perkebunan pada tiap bulannya. Dikarenakan upah minimum untuk kabupaten Subang pada tahun kajian tidak penulis temukan, maka penulis melakukan pendekatan dengan merujuk pada upah minimum wilayah jawa barat yang ditetapkan pemerintah sesuai PP No. 8 pasal 32 Tahun 1981, yang menyatakan bahwa upah tenaga kerja adalah sebesar Rp500,-/hari atau Rp12.500,-/bulan (Surbakti,___[online]) tersedia http://members.fortunecity.com/edicahy/selectedworks/surbekti.html. (Risda Rahayu, 2006 : 121, skripsi). Dengan pertimbangan bahwa upah minimum yang berlaku di Kabupaten Subang tidak jauh berbeda karena merujuk pada PP tersebut. UMR yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 1981 adalah sebesar Rp 500,-/hari atau Rp 12.500,-/bulan, sementara rata-rata upah yang diterima oleh
89
para pemetik yang menghasilkan pucuk maksimal 20 kg adalah Rp 10.400,-. Kondisi tersebut akan lebih memprihatinkan lagi ketika musim paceklik tiba. Dimana mereka hanya bisa menghasilkan pucuk maksimal 10 kg saja, dapat dibayangkan upah yang akan mereka terima tiap bulannya. Beberapa hal yang merupakan sifat domestik wanita seperti hamil, melahirkan dan haid menjadi perhatian bagi perkebunan, sehingga perkebunan memberikan cuti bagi buruh wanita yang hamil dan melahirkan. Untuk cuti melahirkan perkebunan memberikan cuti selama dua bulan dan maksimalnya seratus hari. Maka ketika hamil, mereka akan mengambil cuti pada bulan kesembilan kehamilan, jadi waktu untuk beristirahat setelah melahirkan bisa lebih lama. Bagi buruh wanita yang hamil maka akan diberi kemudahan dengan memisahkan hanca pemetikan dengan buruh lainnya, mereka akan ditempatkan pada hanca yang lebih leluasa untuk bergerak. Untuk cuti haid, kebanyakan dari buruh wanita tidak terpengaruh dengan masalah haid. Tekanan ekonomi akibat rendahnya pendapatan sering membuat mereka tidak menggunakan hak cuti haid. Mereka lebih memilih untuk terus bekerja karena hanya dengan cara itu mereka bisa menutupi kekurangan ekonominya.
4.3.3. Kontribusi Tenaga Kerja Bagi Perkembangan Perkebunan Teh Ciater Subang Perkebunan membuka peluang kerja bagi wanita dan anak-anak, baik di lapangan, pabrik atau gudang-gudang. Dengan demikian, terdapat simbiosa antara perkebunan dengan rakyat pedesaan sekitarnya (Kartodirdjo&Suryo, 1991: 137). Demikian juga di perkebunan teh Ciater Subang, keberadaan perkebunan tersebut
90
telah membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitarnya. Adapun posisi-posisi yang mereka tempati sebagian besar sebagai buruh, mandor dan staff kantor. Buruh yang bekerja di perkebunan teh Ciater didominasi oleh wanita, terutama di bagian pemetikan, jumlahnya mencapai 75%. Posisi lain yang khusus bagi wanita adalah bagian penyortiran. Posisi mandor dan manajemen didominasi oleh lakilaki, meski jumlahnya lebih kecil namun mandor dan manajemen inilah yang menjadi perpanjangan tangan pihak perkebunan dalam menentukan kebijakan. Seperti soal upah, jam kerja, jaminan sosial dan penentuan harga. Dari sini terlihat bahwa sebagai buruh khususnya buruh pemetik tidak memiliki kekuasaan apapun mereka hanya dijadikan sebagai faktor produksi semata. Mereka tidak memiliki sedikitpun kuasa untuk sekedar mengeluarkan pendapat, keinginan dan keluhan terhadap perkebunan. Walaupun buruh wanita ini menempati posisi terbawah namun mereka tetap memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perkebunan. Kontribusi yang diberikan buruh petik wanita bagi perkebunan tidak terlepas dari peran mereka sebagai pemetik. Peran sebagai pemetik yang mereka sandang tidak terlepas dari pandangan masyarakat bahwa kaum wanita dipandang lebih telaten dan tekun. Hal ini sejalan dengan stereotip wanita yang dilukiskan lemah lembut, teliti dan tekun untuk melakukan pekerjaan yang bersifat rutin. Sebagai pemetik, mereka memiliki peranan yang cukup penting karena kegiatan pemetikan merupakan kegiatan awal dalam produksi teh. Bahan dasar daun teh basah dihasilkan dari kegiatan pemetikan tersebut. Mereka harus sudah siap untuk bekerja sejak pagi hari. Mereka bekerja kira-kira delapan jam perharinya, apabila musim hujan, ketika pucuk teh banyak mereka bisa bekerja lebih dari delapan jam. Pada saat pucuk teh banyak inilah kontribusi yang mereka berikan sangat
91
membantu pihak perkebunan. Bahkan mereka rela tidak menggunakan hak liburnya hanya untuk bekerja lembur. Walaupun disisi lain, dengan bekerja lembur mereka akan memperoleh penghasilan lebih. Secara tidak langsung kontribusi mereka adalah dengan cara bekerja giat untuk meningkatkan produksi teh. Buruh
pemetik
ini
bekerja
di
perkebunan
karena
perkebunan
membutuhkan pekerja yang ditempatkan di bagian tersebut. Pekerjaan sebagai pemetik tidak memerlukan persyaratan telah lulus suatu jenjang pendidikan formal tertentu. Yang terpenting adalah mereka harus memiliki fisik yang sehat, tekun dan bertanggung jawab. Sebagian besar dari mereka adalah lulusan SD bahkan ada yang tidak menamatkannya. Atas dasar itu buruh wanita di upah rendah dengan jaminan sosial yang kecil. Keterampilan sangat dibutuhkan mengingat pekerjaan sebagai pemetik tidaklah gampang. Mereka harus memperhatikan cara pemetikan agar tidak merusak tanaman. Jadi meskipun mereka nampak mudah dan cekatan dalam memetik namun mereka harus tetap memperhatikan kondisi pucuk yang akan dipetik. Kenaikan produksi yang dialami Perkebunan Teh Ciater Subang sejak tahun 1986 (lihat tabel 4.4) secara tidak langsung dipengaruhi oleh kinerja buruh pemetik dan sudah pasti memberikan keuntungan bagi perkebunan. Tanpa buruh yang cukup jumlahnya, usaha perkebunan yang luas itu tidak akan mendatangkan hasil yang menguntungkan. Jadi, jelas walaupun sebagai buruh yang berada pada posisi struktural terbawah namun kontribusinya bagi perkembangan perkebunan cukup besar.
92
4.4 Kontribusi Tenaga kerja Wanita Di Perkebunan Teh Ciater Subang Dalam Upaya Meningkatkan Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga Keikutsertaan wanita di sekitar daerah perkebunan teh Ciater di sektor publik dengan bekerja di perkebunan secara langsung ataupun tidak langsung telah memberikan kontribusi dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Walaupun upah yang diperoleh sedikit, namun bisa meningkatkan taraf perekonomian keluarga dengan tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa wanita memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial ekonomi keluarga.
4.4.1 Tingkat Kesejahteraan Tenaga Kerja Wanita Adanya perkebunan teh Ciater, sedikitnya telah memberikan pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang berada di sekitarnya. Kebijakan perkebunan yang memperkerjakan masyarakat sekitar, membuat masyarakatnya memiliki lapangan pekerjaan. Adapun jenis pekerjaan yang dimasuki oleh masyarakat sekitar yaitu mayoritas buruh perkebunan, mandor dan pegawai non staff. Dengan menjadi pekerja di perkebunan maka masyarakat memperoleh penghasilan setiap bulannya. Untuk memudahkan dan mengetahui tingkat kesejahteraan para pekerja wanita perkebunan teh Ciater, maka penulis mengambil sampel 10 orang yang bekerja pada bagian pemetikan. Pemilihan sampel ini atas pertimbangan bahwa pemetik lebih memberikan data yang lengkap daripada bagian sortasi, karena untuk bagian sortasi penulis tidak diijinkan untuk meneliti.
93
Untuk melihat tingkat kesejahteraan para buruh di perkebunan teh Ciater, penulis menggunakan UMR sebagai patokannya. UMR yang ditetapkan oleh pemerintah pada tahun 1981 adalah sebesar Rp 500,-/hari atau Rp 12.500,-/bulan. Selain melihat kesesuaian UMR dengan upah yang diterima, tingkat kesejahteraan pekerja di perkebunan pun dapat dilihat dari besarnya upah dan harga-harga bahan pokok di pasaran, khususnya di wilayah kabupaten Subang pada tahun kajian. Di bawah ini dapat dilihat tabel perkiraan harga rata-rata eceran bahan-bahan pokok di kabupaten Subang tahun 1980-1990.
Tabel 4.10 Harga Kisaran Rata-rata Eceran Bahan Pokok Di Kabupaten Subang Tahun 1980-1990 Bahan Pokok
1980 1981 Beras (Kg) Rp. 200 Rp. 250 Ikan asin (Kg) Rp. 1.000 Rp. 1.050 Minyak Goreng (Kg) Rp. 550 Rp. 600 Gula Pasir (Kg) Rp. 500 Rp. 525 Minyak Tanah (liter) Rp. 50 Rp. 55
Sumber :
Tahun 1984 1988 1990 Rp. 400 Rp. 600 Rp. 700 Rp. 1.400 Rp. 1.800 Rp. 2.000 Rp. 800 Rp. 900 Rp. 1.000 Rp. 600 Rp. 800 Rp. 1.000 Rp. 130 Rp. 200 Rp. 225
Diolah dari hasil wawancara dengan Atikah dan Euis pada Bulan Agustus 2006
Dari tabel 4.10 dapat disimpulkan bahwa harga bahan pokok cenderung naik dari tahun ke tahun, hal tersebut wajar terjadi karena harga kebutuhan bahan pokok biasanya bersifat dinamis dan lebih cepat naik, kondisi ini tentu saja menjadi beban yang berat bagi keluarga pekerja di Perkebunan. Sebagai sampel pertama adalah Endang, yang memiliki anggota keluarga sebanyak 5 orang yang terdiri dari 3 orang anak dan 1 suami. Sebagai pemetik upah yang diterima pada tahun 1981 ialah sebesar Rp.13.000,- sedangkan untuk kebutuhan sehari-harinya keluarganya menghabiskan beras sebanya 1.5 Kg/hari untuk tiga kali makan. Dengan begitu untuk satu bulan, keluarga Endang
94
membutuhkan beras sebanyak 45 Kg. Pada tahun 1981 rata-rata harga beras sebesar Rp.250,-/Kg, maka uang yang harus dikeluarkan untuk membeli beras selama sebulan sebesar Rp.11.250,-. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini : Upah rata-rata per bulan :
Rp. 13.000,-
Pengeluaran : -
Beras 45 Kg X Rp 250 = Rp.11.250,-
-
Lauk Pauk
= Rp. 5.250,-
-
Lain-lain
= Rp.1.500,- (+)
Jumlah
Rp. 18.000,- (-)
Kekurangan
(-) Rp. 5.000,-
Dari rincian di atas menunjukan bahwa penghasilannya belum mencukupi kebutuhan sehari-hari, namun kekurangan tersebut dapat dipenuhi dari penghasilan suami yang sama-sama bekerja di perkebunan tetapi di bagian pabriknya, yaitu sekitar Rp. 15.000,- dengan adanya pengabungan dengan hasil kerja suami maka kekurangan tersebut dapat tertutupi, bahkan terdapat uang sisa. Sisanya ± Rp. 10.000,-, jumlah tersebut terbilang cukup besar dan biasanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti uang sekolah anak-anak, membeli kebutuhan rumah tangga lainnya atau di tabung untuk kebutuhan yang akan datang. Atikah, yang mulai bekerja sejak tahun 1980, memiliki penghasilan ratarata per bulan sebesar Rp. 15.600,-. Atikah mempunyai 2 orang anak dan suami. Perincian kebutuhan hidup keluarga : Upah Rata-rata per bulan : Pengeluaran : -
Beras 30 Kg/bulan X 250,- = Rp. 7.500,-
Rp. 15.600,-
95
-
Lauk Pauk
= Rp. 5.000,-
-
Lain-lain
= Rp. 1.500,- (+)
Jumlah
Rp. 14.000,- (-)
Sisa
Rp. 1.600,-
Dari perhitungan di atas dapat dilihat bahwa penghasilannya di perkebunan sebagai pemetik telah mampu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, bahkan terdapat sisa Rp. 1.600,-, sisa tersebut belum ditambah dengan penghasilan suami yang bekerja di perkebunan bagian di pabrik sebesar Rp.15.000,-, sehingga uang yang tersisa setiap bulannya cukup besar yaitu Rp.16.600,-. Sisa tersebut dipergunakan untuk biaya sekolah anak-anak, memperbaiki kualitas makanan, dan dikumpulkan untuk kebutuhan lainnya. Penghasilan keluarga Atikah yang terbilang cukup besar sedikitnya telah mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarganya. Evi, yang memiliki penghasilan rata-rata per bulan sebesar Rp. 9.900,-. Evi mempunyai 2 orang anak dan suami. Perincian kebutuhan hidup keluarga : Upah Rata-rata per bulan :
Rp. 9.900,-
Pengeluaran : -
Beras 30 Kg/bulan X 250,- = Rp. 7.500,-
-
Lauk Pauk
= Rp. 4.000,-
-
Lain-lain
= Rp. 1.500,- (+)
Jumlah Sisa
Rp. 13.000,- (-) (-) Rp. 3.200,-
Penghasilannya sebagai pemetik belum mencukupi kebutuhan shari-hari keluarga. Kekurangan tersebut dapat dipenuhi dari penghasilan suami yang berprofesi sebagai pemetik sebesar Rp 12.500. Maka uang yang tersisa sebesar
96
Rp.9.300. Sisa uang yang relatif besar tersebut digunakan untuk kebutuhan lainnya seperti biaya sekolah anak ataupun disimpan untuk biaya tidak terduga. Emi, memiliki penghasilan rata-rata per bulan sebesar Rp. 7.800,-. Emi mempunyai 3 orang anak dan suami. Perincian kebutuhan hidup keluarganya : Upah Rata-rata per bulan :
Rp. 7.800,-
Pengeluaran : -
Beras 45 Kg/bulan X 250,- = Rp. 11.250,-
-
Lauk Pauk
= Rp. 5.000,-
-
Lain-lain
= Rp. 1.500,- (+)
Jumlah
Rp. 17.750,- (-)
Kekurangan
(-) Rp. 9.950,-
Dari perhitungan di atas terlihat kekurangan yang cukup besar apabila Emi memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Kekurangan tersebut ditutupi oleh penghasilan suami yang bekerja sebagi pemetik sebesar Rp. 12.500,- bahkan ada sisa sebesar ± Rp. 2.550. Sisa uang tersebut digunakan untuk biaya sekolah anakanak dan keperluan rumah tangga lainnya. Arum, yang memiliki penghasilan rata-rata per bulan sebesar Rp. 7.800,-. Dia mempunyai 2 orang anak dan suami. Perincian kebutuhan hidup keluarganya : Upah Rata-rata per bulan :
Rp. 7.800,-
Pengeluaran : -
Beras 30 Kg/bulan X 250,- = Rp. 7.500,-
-
Lauk Pauk
= Rp. 4.000,-
-
Lain-lain
= Rp. 1.000,- (+)
Jumlah Kekurangan
Rp. 12.500,- (-) (-) Rp. 4.300,-
Kekurangan yang dialami oleh keluarga Arum dipenuhi oleh suami, suaminya bekerja di perkebunan pada bagian pabriknya, gaji tiap bulannya yaitu
97
sebesar ± Rp. 13.000,-, dengan penghasilan suami yang cukup besar maka kekurangan tersebut dapat tertutupi bahkan ada sisa uang sebesar ± Rp. 8.700,-, uang sisa yang ada dipergunakan untuk biaya sekolah anak atau biaya kebutuhan rumah tangga lainnya. Ikah, yang mulai bekerja sejak tahun 1980, memiliki penghasilan rata-rata per bulan sebesar Rp. 13.000,-. Ikah mempunyai 2 orang anak dan suami. Perincian kebutuhan hidup keluarganya : Upah Rata-rata per bulan :
Rp. 13.000,-
Pengeluaran : -
Beras 30 Kg/bulan X 250,- = Rp. 7.500,-
-
Lauk Pauk
= Rp. 4.000,-
-
Lain-lain
= Rp. 1.500,- (+)
Jumlah
Rp. 13 000,- (-)
Sisa
Rp.0,-
Dari perhitungan di atas terlihat bahwa hanya dengan menggunakan penghasilannya sendiri bisa menutupi kebutuhan makan sehari-hari. Penghasilan suami yang bekerja di perkebunan bagian pabrik sebesar Rp. 12.500 digunakan untuk biaya sekolah dan kebutuhan rumah tangga lainnya ataupun disimpan untuk kebutuhan lainnya. Epong, yang mulai bekerja sejak tahun 1980, memiliki penghasilan ratarata per bulan sebesar Rp. 13.000,-. Epong adalah seorang janda yang mempunyai 3 orang anak, karena suaminya meninggal. Jadi dia harus membiayai kebutuhan ketiga orang anaknya dari penghasilannya sebagai pemetik perkebunan Perincian kebutuhan hidup keluarganya: Upah Rata-rata per bulan: Pengeluaran :
Rp. 13.000,-
98
-
Beras 30 Kg/bulan X 250,- = Rp. 7.500,-
-
Lauk Pauk
= Rp. 3.500,-
-
Lain-lain
= Rp. 1.00,- (+)
Jumlah
Rp. 12.000,- (-)
Sisa
Rp. 1.000,-
Sisa uang yang dimiliki oleh keluarganya harus dipergunakan untuk keperluan yang lebih penting, karena tidak ada bantuan dari penghasilan suami maka sisa uang yang sedikit itu harus dihemat. Sisa uangnya dipergunakan untuk membiayai sekolah anak-anak, karena keterbatasan biaya anak-anaknya hanya sekolah sampai tingkat sekolah dasar. Dari beberapa contoh di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai pemetik teh, rata-rata upah mereka masih di bawah UMR, walaupun ada beberapa orang yang upahnya sedikit di atas UMR. Namun bisa dikatakan kehidupan para pemetik jauh dari kata sejahtera, masih kekurangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tuntutan kehidupan itulah yang menyebabkan mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Walaupun sebagian dari keluarga pemetik bisa menyisihkan uangnya tetapi belum bisa dikatakan sejahtera karena yang tertera di atas adalah rincian pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, padahal kebutuhan itu tidak hanya makan tetapi biaya sekolah anak, kebutuhan rumah tangga lainnya seperti keinginan untuk melengkapi perlengkapan rumah ataupun ada acara hajatan tetangga. Tidak mungkin juga apabila setiap harinya makan dengan lauk yang sama, sedangkan perhitungan di atas adalah perhitungan kasarnya tanpa memperhitungkan kebutuhan hidup terperinci sehari-harinya. Menurut para pemetik sendiri, upah yang didapat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruhnya. Mereka harus bisa mengatur pengeluaran agar upah
99
yang diterima cukup dan dicukupkan untuk menghidupi keluarganya. Dikatakan cukup karena penghasilan mereka digabungkan dengan penghasilan suami sehingga bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apabila tidak ada bantuan dari suami ataupun ketika musim paceklik maka upah yang diperoleh harus diatur penggunaannya supaya cukup sampai gajian bulan berikutnya. Terkadang untuk kebutuhan sekolah anak-anak, biasanya mereka memilih mencari pinjaman. Kondisi tersebut tentu saja menambah beban para buruh pemetik, mereka seakanakan gali lobang tutup lobang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Terlepas dari itu semua keikutsertaan wanita untuk bekerja di luar rumah guna memenuhi kebutuhan keluarga dirasa sangat membantu para suami. Mereka sadar apabila hanya mengandalkan penghasilannya saja tidak akan mencukupi kebutuhan keluarga. Bahkan dengan mengandalkan upah dari berdua pun dirasa masih kurang. (Hasil wawancara dengan Euis dan Maman pada Bulan April 2006). Hal yang paling dikhawatirkan oleh para buruh pemetik yaitu ketika musim paceklik datang, dan inilah yang menjadi duka para buruh pemetik. Pada musim ini, para pemetik hanya dapat menghasilkan pucuk ½ bahkan kurang dari jumlah pucuk yang biasa diperoleh. Bisa dibayangkan tingkat kesehjateraan keluarga buruh pada musim paceklik tersebut, sedangkan besarnya upah sangat bergantung pada banyaknya jumlah pucuk yang dihasilkan. Kondisi inilah yang mendorong buruh perkebunan untuk menyimpan sedikit uang apabila upah yang diterima cukup besar. Walaupun bila kekurangan mereka bisa meminjam ke koperasi, namun mereka harus membayar dari upah yang akan diterimanya bulan depan, tentu saja hal ini dapat mengurangi upah yang akan diterima. Pada
100
umumnya, walaupun pada musim paceklik ini, kehidupan mereka sulit, namun tenaga kerja wanita di perkebunan tidak berniat untuk mencari pekerjaan lain di luar perkebunan. Kebutuhan yang semakin meningkat dari hari ke hari, mendorong mereka untuk tetap bekerja di perkebunan, mengingat penghasilan suami tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka memilih bekerja di perkebunan karena tidak ada persyaratan khusus untuk dipenuhi, misalnya tingkat pendidikan. Untuk buruh, perkebunan tidak mewajibkan untuk lulus sekolah, kondisi tersebut dijadikan kesempatan emas bagi tenaga kerja wanita di perkebunan karena sebagian besar dari mereka tidak lulus SD. Selain itu, mereka juga tidak memiliki keterampilan lain untuk bekerja di luar perkebunan dan hanya perkebunan yang menjadi sumber mata pencaharian bagi mereka. Suaminya pun pada akhirnya mengijinkan istrinya bekerja karena sadar apabila hanya mengandalkan dari upah yang mereka dapat tidak akan mencukupi semua kebutuhan keluarga. Sayangnya ijin yang diberikan suami tidak dibarengi dengan kontribusi mereka terhadap pekerjaan domestik istrinya. Walaupun buruh wanita hampir setengah hari berada di perkebunan tetapi mereka harus tetap menjalankan tugasnya sebagai
istri dan ibu bagi anak-
anaknya. Untuk itu, kaum wanita di perkebunan menyandang peran ganda, yaitu di satu sisi sebagai ibu rumah tangga (domestik) yang harus mengurus keluarganya dan di sisi lain sebagai buruh perkebunan (publik) yang harus bekerja dengan penuh tanggung jawab. Kedua peran tersebut harus dijalankan secara seimbang, meskipun mereka harus lebih mengutamakan kepentingan keluarga, misalnya apabila anaknya sakit maka ibulah yang cuti tidak bekerja untuk merawat anaknya
101
tidak suaminya padahal mereka sama-sama bekerja. Meskipun dengan cuti tersebut akan mengurangi upah mereka. Apapun kondisinya, tidak dapat dipungkiri bahwa peranan tenaga kerja wanita sangat penting terutama dalam hal sosial ekonomi keluarga karena wanitalah yang lebih mengetahui keadaan sosial ekonomi keluarganya sehingga mereka memutuskan untuk bekerja di sektor publik guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan upah
yang mereka peroleh, dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarganya dengan memenuhi kebutuhan minimal sehari-hari. Dari perhitungan pengeluaran keluarga buruh di atas dapat dibayangkan apabila para suami tidak dibantu oleh istri mereka, maka banyak kebutuhan-kebutuhan keluarga yang tidak dapat dipenuhi. Keikutsertaan wanita bekerja di sektor publik sedikitnya telah merubah pandangan-pandangan sosio-kultural masyarakat sunda, wanita tidak lagi dipandang sebagai pihak yang harus selalu tunduk terhadap suami dan menuruti keputusan suami, karena dalam masalah keuangan mereka telah memberikan kontribusi yang cukup besar untuk keluarga, yang notabene adalah kewajiban suami. Keikutsertaan kaum wanita, khususnya yang bertempat tinggal di sekitar perkebunan Ciater bekerja menjadi buruh
perkebunan, menunjukkan bahwa
mereka mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki untuk berperan dalam sektor publik untuk menghidupi kebutuhan keluarganya. Walaupun keikutsertaan mereka bekerja lebih dikarenakan kebutuhan yang semakin meningkat, sementara penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
102
4.4.2
Hubungan Sosial Tenaga Kerja Wanita Perkebunan Ciater Dalam Lingkungan Tempat Kerja, Keluarga dan Masyarakat
Pada dasarnya hubungan sosial yang terjalin oleh tenaga kerja wanita di perkebunan Ciater, baik itu dengan rekan sekerja, keluarga ataupun masyarakat terjalin cukup baik. Relasi sosial antara pekerja seperkebunan pun terjalin penuh kekeluargaan, sejak berangkat dari rumahnya masing-masing para pekerja wanita biasanya sudah bertegur sapa karena rumahnya berdekatan. Selama perjalanan menuju ke tempat pemetikan biasanya mereka saling bertukar cerita tentang apa saja yang mereka alami, mulai dari kebutuhan hidup sampai masalah keluarga. Sesampainya di perkebunan mereka langsung menuju ke “hanca” yang sudah ditentukan oleh mandor masing-masing. Selama memetik mereka diawasi oleh mandor supaya pekerjaanya lebih baik, karena jarak pemetikan yang berdekatan maka ketika bekerja pun mereka tidak henti-hentinya bercerita, menurut mereka dengan bercerita pekerjaan yang dilakukan tidak terlalu melelahkan. Kedekatan mereka pun sangat terlihat ketika waktu istirahat tiba. Setelah penimbangan, biasanya mereka mencari tempat yang teduh lalu berkumpul dan makan bersama dengan bekal yang dibawa dari rumah, walaupun makanan terbilang sangat sederhana namun tidak mengurangi rasa kebersamaan mereka, terkadang mereka saling bertukar bekal makanan. Selain itu, dalam hal keuangan pun mereka biasa saling membantu. Apabila ada temannya yang membutuhkan uang untuk kebutuhan yang penting biasanya mereka mendapatkan pinjaman dari temannya yang lain yang kebutuhannya tidak terlalu penting dan mendesak. Walaupun mereka hidup dalam keadaan yang sangat sederhana, namun kondisi tersebut tidak mengakibatkan mereka untuk tidak menjalin hubungan
103
sosial yang baik dengan orang-orang di sekitar mereka. Bertegur sapa ketika berangkat, berbincang ketika bekerja sampai berbagi bekal makanan adalah sosialisasi para buruh pemetik. Mereka memanfaatkan waktu yang sempit tersebut untuk bersosialisasi dengan orang lain, karena mereka masih saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Dalam kehidupan keluarga, kegiatan tenaga kerja wanita menunjukkan pola tersendiri. Bagi mereka yang sudah berkeluarga, meskipun hampir setengah harinya dihabiskan di perkebunan tidak menjadikan hubungannya dengan keluarga menjadi renggang, karena tetap saja sebagai ibu rumah tangga mereka memiliki peranan yang penting. Misalnya Atikah, yang memiliki dua orang anak dan satu suami. Dia harus bertanggung jawab terhadap pekerjaanya sebagai buruh perkebunan dan sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban mengurus keluarga. Setiap hari Atikah harus bagun pagi untuk memasak dan menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya yang masih sekolah. Bekal untuk dirinya sendiri dan suaminya pun tidak lupa untuk disiapkan. Setelah menyiapkan makanan, mencuci pakaian, mandi dan sholat. Jam enam pagi sudah siap di samping jalan untuk menunggu truk jemputan. Apabila tidak sempat makan di rumah, maka sesampainya di perkebunan Atikah makan terlebih dahulu sebelum bekerja. Jam tujuh mulai bekerja/memetik pada hanca yang sudah ditentukan sampai jam sepuluh. Setelah pemetikan yang pertama mereka beristirahat untuk melepaskan lelah. Istirahatnya selama 15 menit, waktu yang relatif singkat tersebut digunakan juga untuk bersosialisasi dengan pemetik lainnya yaitu dengan berbincang dan berbagi bekal makanan. Setelah beristirahat kembali memetik sampai jam dua dan langsung pulang. Jam
104
tiga sore sudah tiba di rumah, kemudian mandi, mencuci baju dan sholat. Selesai sholat ke dapur untuk memasak dan menyiapkan makan malam. Sambil memasak biasanya Atikah mencuci piring. Seusai sholat magrib, mereka makan bersama, sesudah makan dia tidak bisa langsung istirahat. Kegiatan selanjutnya yaitu membereskan rumah dan melipat pakaian, sambil berbincang dengan keluarga, untuk sekedar mengetahui perkembangan anakn-anaknya di sekolah atau kegiatan suaminya di pabrik kegiatan tersebut dilakukannya sampai larut malam. Atikah tidak berusaha untuk mengajarkan keterampilan memetik pada anak-anaknya karena dia mengingginkan anaknya sekolah sampai SMA jangan seperti dirinya yang tidak lulus SD. Kondisi tersebut dialami juga oleh Euis, temannya di perkebunan. Kegiatan yang dilakukan oleh Euis tidak jauh berbeda dengan kegiatan Atikah, apalagi Euis masih memiliki anak yang berumur tiga taun. Sebelum kerja Euis harus menitipkan dahulu anaknya ke tempat penitipan. Euis harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan bagi keluarga dan bekal dia sendiri di perkebunan. Kemudian mencuci, mandi dan bersiap-siap ke perkebunan tetapi sebelum kerja terlebih dahu menitipkan anaknya. Dengan memiliki anak yang masih kecil, bebannya terasa semakin berat. Untunglah anaknya yang sudah bersekolah di SD, suka membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti membereskan rumah,dan mencuci. Hal tersebut sudah menjadi kewajiban bagi anak-anaknya, untuk membantu meringankan beban orang tua. Sepulangnya dari perkebunan Euis membawa kembali anaknya yang dititipkan, kemudian mandi, memasak dan mengurus anaknya yang masih kecil. Sambil melaksanakan kewajibannya dia tidak lupa untuk berbincang dengan anggota keluarga lainnya.
105
Dari kegiatan kedua orang tersebut menunjukkan bahwa walaupun waktu yang mereka miliki sempit namun dimanfaatkan semaksimal mungkin dengan berusaha untuk selalu berkomunikasi dengan keluarga dan orang lain meskipun dilakukan disela-sela kegiatan sehari-harinya. Sebagai ibu rumah tangga, mereka sangat mempengaruhi kesejahteraan keluarga baik masalah sosial maupun ekonomi. Jadi,
walaupun para pekerja wanita perkebunan tidak sepenuhnya
berada di rumah tetapi mereka tetap menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga. Adapun bagi mereka yang belum berkeluarga, walaupun mereka belum memiliki tanggung jawab untuk mengurus rumah tangga tetapi mereka dituntut untuk selalu membantu orang tua untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. Tetapi di perkebunan Ciater hanya beberapa prosen saja tenaga kerja yang belum berkeluarga, karena di daerah perkebunan jarang sekali anak wanita yang menikah di atas umur 20 tahun. Hubungan dengan masyarakat sekitar perkebunan pun cukup baik, terlihat dari hubungan mereka yang akrab, mereka senantiasa saling bertegur sapa. Keakraban mereka pun terlihat dari pola pemukiman mereka yang saling berdekatan tanpa adanya pembatas sehingga mereka bisa mengenal semua orangorang yang berada di daerah tersebut. Keakraban mereka akan semakin terlihat apabila ada acara tertentu misalnya pengajian ataupun syukuran (hajatan). Walaupun mereka sibuk dengan bekerja di perkebunan dan rumah tangga tetapi setiap bulannya mereka selalu menyempatkan untuk mengadakan pengajian, dalam setiap pengajian biasanya mereka bersama-sama menyiapkan makanan. Dalam acara hajatan pun mereka saling membantu. Pengajian yang menjadi salah satu bentuk interaksi mereka tidak ada kaitannya dengan pengembangan diri
106
mereka, karena perkebunan tersebut tidak memberi kesempatan saling berbagi pengalaman atau mendiskusikan persoalan yang mereka hadapi bersama. Sebaliknya, pertemuan tersebut justru hanya mempertegas sifat domestik wanita. Keakraban yang terjalin baik antar pekerja perkebunan dan juga masyrakat tidak dibarengi dengan keakraban mereka dengan petinggi-petinggi perkebunan seperti administratur, kepala bagian dan mandor. Hal tersebut dikarenakan letak rumah mereka berjauhan dengan para buruh perkebunan sehingga mereka tidak bisa berinteraksi setiap hari. Gaya hidup yang berbeda antara mereka dan buruh perkebunan pun mempengaruhi hubungan diantara mereka, para buruh terbilang segan apabila berhubungan dengan administratur, dan staff kantor sehingga kondisi tersebut membentuk suatu jurang pemisah antara para pejabat-pejabat perkebunan dengan buruh-buruh perkebunan. Kebersamaan mereka terlihat hanya waktu-waktu tertentu, seperti pada acara 17 Agustusan, karena biasanya perayaan tujuh belasan diadakan berbagai perlombaan yang diikuti oleh semua pekerja di perkebunan termasuk administratur. Hubungan dengan masyarakat luar Ciater pun terjadi. Dimana setiap waktu gajian, berbarengan dengan pembagian gaji maka akan terbentuk pula pasar kaget yaitu kedatangan para pedagang dari luar Ciater yang sengaja berdagang di perkebunan. Biasanya mereka datang dari Lembang dan Jalan Cagak. Barangbarang yang diperdagangkan pun bermacam-macam, mulai dari kebutuhan pokok sampai pada kebutuhan sandang. Keberadaan pasar kaget ini tentu memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, para buruh perkebunan tidak usah pergi jauh-jauh dan mengeluarkan ongkos untuk membeli kebutuhan sehari-hari karena para pedagang datang dengan sendirinya. Dampak negatifnya, tentu saja
107
keberadaan pasar kaget ini secara tidak langsung telah menimbulkan sikap konsumerisme. Dengan berbagai macam barang yang ditawarkan telah mempengaruhi para buruh untuk membelinya. Pasar kaget ini kemungkinan sudah ada sejak dulu mungkin dari awal pembangunan perkebunan Ciater ini, walaupun terjadi perubahan dari tahun ke tahunnya. (wawancara dengan Asep, Satpam Perkebunan teh Ciater Pada April 2006) Jadi walaupun para buruh tidak bisa berinteraksi dengan masyarakat secara luas dan hanya terbatas dengan masyarakat sekitar perkebunan tetapi mereka tetap merasa senang karena bisa menjalin hubungan yang harmonis baik itu dengan rekan sepekerjaan, keluarga maupun masyarakat. Mereka masih menganggap penting bersosialisasi dengan teman, keluarga dan masyarakat karena sebagai makhluk sosial mereka masih membutuhkan pertolongan dari orang lain. Namun dari kenyataan di atas masih terlihat karakteristik masyarakat perkebunan yang tertutup, statis, tidak ada perubahan, dari hari ke hari mereka melakukan kegiatan yang sama.