PERKEBUNAN TEH DAYEUHMANGGUNG DI GARUT 1957
1996
Oleh Yeni Suryani1
ABSTRAK Masalah utama yang dibahas adalah bagaimana perkembangan perkebunan Dayeuhmanggung pada kurun waktu 1957-1996 atau setelah mengalami nasionalisasi. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode sejarah. Metode tersebut terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Perkebunan teh Dayeuhmanggung adalah perkebunan teh swasta Belanda yang dinasionalisasikan oleh pemerintahan Indonesia pada tahun1957. Setelah dinasionalisasi perkebunan Dayeuhmanggung berubah status menjadi Perusahaan Negara. Status Perkebunan Negara ini berlangsung sampai tahun 1970, karena pada tahun 1971 Perebunan Dayeuhmanggung berubah status lagi menjadi Perseroan Terbatas. Perubahan status ini berimbas pada perubahanperubahan yang terjadi di dalam perkebunan Dayeuhmanggung meliputi perubahan pada fungsi lahan, modal, kegiatan produksi dan sistem manajemen yang digunakan, sampai jumlah dan fungsi tenaga kerja, tak luput mengalami perubahan juga. Kata Kunci : Perkebunan teh Dayeuhmanggung, heuristik, kritik, interpretasi, historiografi
ABSTRACT The main idea which discussion is how the development of Dayeuhmanggung plantation in 1957-1996 period or after nationalization. To answer these problems, this study used the historical method. That method existing of four step, that s heuristic, critic, interpretation and historiography. Based on the study, Dayeuhmanggung Plantation is the Dutch company plantation which nationalization by Indonesian Government in 1957, after that the status of Dayeuhmanggung Plantation was changed be Government Company. This Status held until 1970, it was caused in 1971 Dayeuhmanggung Plantation changed again be company limited. The changing of this status influence to Dayeuhmanggung Plantation, include the function of land be changed. Not just until that but also the productivity, management of system which use, total of employee and their function have change too.
1
Mahasiswa Strata Satu, Universitas Padjadjaran, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Ilmu Sejarah, Lulus 18 Juli 2012
1
Keyword: Dayeuhmanggung Plantation. heuristic, critic, interpretation and historiography. Pendahuluan Perkebunan merupakan salah satu bentuk eksploitasi terhadap tanah jajahan yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda guna kepentingan negara induk. Hal itu diwujudkan dalam bentuk eksploitasi produksi pertanian seperti Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel. Pada Sistem Tanam Paksa, rakyat diwajibkan untuk membayar pajak dalam bentuk barang berupa hasil tanaman pertanian. Adapun tanaman pertanian yang diwajibkan ditanam adalah kopi, tebu, indigo, tebakau, teh, lada, dan kayu manis (Fauzi,1999: 29) Pada tahun 1870 terdapat perubahan kebijakan pemerintah Belanda yang membawa konsekuensi bahwa pemerintahan harus meninggalkan prisip eksploitasi dengan cara paksa, ke prinsip perdagangan bebas (liberalisasi), sistem pajak dan penanaman modal. Berdasarkan hal tersebut, dikeluarkan Undang-Undang Agraria tahun 1870 (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991 : 80). Dengan
diberlakukannya
Undang-Undang
Agraria,
tanah
telah
diliberalisasikan. Sebagai akibatnya, ebbanyak berdatangan para pemilik modal asing bangsa Belanda maupun Eropa lainnya, yang mendampatkan kesempatan luas untuk berusaha di bidang perkebunan di Hindia Belanda. Perkebunan teh Dayeuhmanggung mengalami beberapa kali peralihan kepemilikan. Pada tahun 1870 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang agraria. Pada masa ini dimulai masa swastanisasi, atau perkembangan swasta perusahaan swasta. Sebagai akibat dari perkembangan perusahaan-perusahaan swasta tersebut, pada tahun 1913 berdiri perkebunan teh Dayeuhmanggung sebagai sebuah perkebunan swasta. Pada tahun 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan peraturan tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Salah satu yang mengalami nasionalisasi adalah perkebunan teh Dayeuhmanggung yang berada dibawah perusahaan perkebunan Tiedman Kerchen Kawung. Selanjutnya, pada tahun 1971 perkebunan teh Dayeuhmanggung , yang awalnya termasuk
2
Perusahaan Negara Perkebunan, berubah status menjadi Perseroan Terbatas Perkebunan (PT Perkebunan Nusantara VIII Dayeuhmanggung, 1996: 11). Pada tulisan ini akan dibahas mengenai perkembangan perkebunan teh Dayeuhmanggung
sebelum
ada
kebijakan
nasionalisasi,
perkembangan
perkebunan teh Dayeuhmanggung pada masa Perkebunan Negara, perkembangan perkebunan teh Dayeuhmanggung pada masa Perseroan Terbatas. Adapuan tujuan umum penulisan skripsi ini adalah untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk menambah bahan referensi bagi pihak yang membutuhkan informasi mengenai sejarah perkebunan teh di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Metode sejarah terdiri dari empat tahap, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi (Lubis: 2008: 1). Heuristik, yaitu proses mencari, menemukan, dan menghimpun sumber-sumber sejarah. Dalam proses tersebut, penulis melakukan pencarian dan penelitian sumber ke beberapa perpustakaan di Jakarta, Bandung dan Jatinangor. Tahap kedua adalah kritik yang terdiri dari kritik internal dan kritik eksternal. Tahap selanjutnya adalah interpretasi. Pada tahapan ini, penulis melakukan pendekatan terhadap ilmu-ilmu sosial untuk mempermudah analisis. Dalam karya ini digunakan konsep perusahaan dan perkebunan. Menurut Pandojo (1986: 3), perusahaan adalah suatu lembaga yang diorganisir dan dijalankan untuk menyediakan barang-barang dan jasa-jasa untuk masyarakat dengan motif (insentif)
keuntungan.
Perkebunan
adalah
perusahaan
pertanian
yang
mengusahakan tanah-tanah yang luas berdasarkan hak-hak perusahaan yaitu pekerja, modal, teknologi, skala, organisasi dan tujuan (Booth, 1986: 198). Pada tahap ini penulis berusaha menafsirkan data yang telah terkumpul dan menyusunnya menjadi fakta. Terakhir adalah historiografi. Historiografi atau penulisan sejarah merupakan tahapan dalam metode sejarah yang menuntun penulis untuk melakukan rekonstruksi yang imajinatif dan menyajikan cerita sejarah yang kritis, harmonis dan masuk akal.
3
Pembahasan Perkebunan Dayeuhmanggung merupakan salah satu perusahaan perkebunan
Belanda
yang
berdiri
pada
tahun
1913.
Perkebunan
Dayeuhmanggung mengalami kemajuan ketika berada dibawah pengelolaan perusahaan swasta Belanda. Kemajuan ini tidak terlepas dari kondisi alam Dayeuhmanggung. Dayeuhmanggung memiliki struktur tanah yang ideal untuk tanaman teh, karena berada di ketinggian 1050-1500 m dpl, sehingga dapat menghasilkan teh yang berkualitas. Teh kualitas tinggi diekspor ke Eropa, dan menghasilkan keuntungan yang besar bagi para pengusaha Belanda. Perkebunan Dayeuhmanggung mengalami kemunduran ketika adanya invasi Jepang pada tahun 1942. Tanaman teh dianggap sebagai tanaman yang tidak bisa secara langsung dapat membantu dalam peperangan, maka Jepang mengkonversi tanaman teh ke tanaman pangan agar bisa langsung dimanfaatkan dalam peperangan. Pada tahun 1945, invasi Jepang berakhir dan Indonesia mendapatkan kemerdekaannya. Perkebunan Dayeuhmanggung pada saat itu kembali dikuasai pengusaha swasta Belanda sampai adanya nasionalisasi dari pemerintah Indonesia tahun 1957. Perkebunan Dayeuhmanggung adalah salah satu dari banyaknya perkebunan swasta milik Belanda yang terkena nasionalisasi. Nasionalisasi adalah langkah yang diambil oleh pemerintah sebagai imbas dari hasil perjanjian KMB, karena pihak Belanda tidak mau menyerahkan Irian Barat kembali ke dalam kesatuan Republik Indonesia. Hal i membuat Perkebunan Dayeuhmanggung berubah menjadi Perusahaan Negara. Pada masa Perkebunan Negara, perkebunan banyak mengalami perubahan baik dari faktor produksi, tenaga kerja maupun sistem manajemen di dalamnya. Oleh karena masih dalam tahap transisi pengelolaan yang berpindah tangan, Perkebunan Dayeuhmanggung pada masa Perkebunan Negara tidak bisa menghasilkan teh secara maksimal, di samping karena pihak pemerintah masih sibuk dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
4
Pada tahun 1970, Perkebunan Dayeuhmanggung kembali berubah status dari Perusahaan Negara menjadi Perseroan Terbatas. Terdapat beberapa perubahan yang terjadi pada masa Perseroan Terbatas terutama pada sistem manajemen dan tenaga kerja. Kegiatan produksi pun semakin membaik karena lahan-lahan yang mengalami kerusakan telah pulih dan tanaman-tanaman yang ditanam waktu masih berstatus Perkebunan Negara pada periode ini telah bisa menghasilkan. Selain daripada itu, teknologi yang digunakan pada masa Perseroan Terbatas lebih modern dibandingkan pada masa Perusahaan Negara, salah satunya adalah penggunaan komputer dan alat-alat canggih untuk mempermudah kegiatan produksi.
Simpulan Perkebunan Dayeuhmanggung didirikan sebagai perkebunan teh karena mempunyai struktur tanah dan cuaca yang sangat cocok untuk ditanami dengan tanaman teh, sehingga teh yang dihasilkan pun mempunyai kualitas yang sangat baik. Ketika Perkebunan Dayeuhmanggung dikelola oleh perusahaan Swasta Belanda, perkenbunan ini sangat maju, dan menjadi salah satu perkebunan yang bisa ikut memenuhi kebutuhan teh dunia. Teh kualitas terbaik hampir semua di ekspor ke wilayah Eropa dan itu memberi keuntungan untuk pengusaha swasta Belanda. Kegiatan produksi perkebunan teh Dayeuhmanggung mengalami penurunan pada masa pendudukan Jepang. Hal ini disebabkan fungsi lahan dan tenaga kerja mengalami perubahan sesuai dengan kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah Jepang. Kebijakan yang diterapkan jepang membuat perkebunan teh Dayeuhmanggung mengalami kekurangan tenaga kerja, lahan perkebunan terlantar, dan tanaman teh rusak. Kondisi ini tidak otomatis membaik ketika Indonesia memasuki masa kemerdekaan, bahkan perkebunan Dayeuhmanggung sempat mengalami keadaan vakum dari tahun 1944-1947. Hal ini disebabkan kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang belum stabil. Pemerintah RI baru pada tahun 1957 mengeluarkan kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta. Adapun
5
perubahan status perkebunan teh Dayeuhmanggung menjadi Perkebunan Negara baru terjadi pada tahun 1958. Pada masa perkebunan Negara terjadi banyak perubahan pada fungsi lahan, tenaga kerja,dan sistem manajemen. Lahan perkebunan yang sebelumnya terlantar, pada masa PN mulai ditanami kembali. Modal pada masa ini berasal dari pemerintah. Adapun tingkat kesejahteraan karyawan tetap dan tenaga kerja lepas atau borongan masih tetap sama. Pada masa Perkebunan Negara untuk karyawan tetap memamg tidak digolongkan ke dalam kategori miskin, tetapi untuk tenaga kerja lepas atau borongan masih termasuk ke dalam kategori miskin. Perubahan status perkebunan teh Dayeuhmanggung menjadi Perkebunan Negara tidak otomatis memperbaiki kegiatan produksi perkebunan teh Dayeuhmanggung. Hal ini disebabkan tanaman teh yang mengalami kerusakan pada masa Jepang belum bisa diproduksi secara optimal. Faktor lainnya adalah pemerintah masih sibuk mengurusi masalah politik yang belum stabil.penurunan kegiatan produksi perkebunan Teh Dayeuhmanggung ini masih berlangsung hingga akhir tahun 60-an. Pada tahun 1970, tepat satu tahun sebelum perkebunan teh Dayeuhmanggung berubah status menjadi Perseroan Terbatas, kegiatan produksi perkebunan teh Dayeuhmanggung mulai mengalami peningkatan. Pada masa Perseroan Terbatas terjadi perubahan pada tingkat kesejahteraan karyawan tetap dan tenaga kerja lepas atau borongan. Pada masa ini pendapatan beras pegawai tetap mengalami penurunan, namun tingkat kesejahteraan pegawai tetap tidak mengalami penurunan. Adapun pegawai lepas atau borongan pada masa perseroan terbatas telah mengalami kenaikan pendapatan sehingga tingkat kesejahteraannya berada di atas kategori miskin.
Daftar Sumber Anggapraja, Sulaeman. 1984. Sejarah Garut dari Masa ke Masa dan Hari Jadi Garut 17 Maret 1813. Garut: Yayasan Gilang kencana.
6
Booth, Ane; Wiliam J O Malley; dan Anna Weidernawab (ed). 1986. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta; LP3ES. Herlina, Nina. 2008. Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika. Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia; Yogyakarta: Aditya Media. Mubyarto et al., 1992. Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan; Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Poesponegoro, Marwati Djoened;Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
7