MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM SISTEM KERJA PEMETIK TEH DI PERKEBUNAN (Studi Kasus Pemetik Teh di PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
Oleh: PRIMA YUSTITIA NURUL ISLAMI I34062266
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
ABSTRACT PRIMA YUSTITIA NURUL ISLAMI. Women Marginalization in Tea Picker Work System in Plantation (Case studies of Tea Pickers in PT. Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) Gunung Mas, District of Cisarua, Bogor Sub District, West Java). Supervised by Ekawati S. Wahyuni. Women play an important role in tea plantation work system as tea plucker, albeit the long hour work and low wage. Women tea pluckers are also the major contributor to the household income, although it is not contributive to their status in the household. The marginalization process of women as tea plucker in the plantation work system and in the household is interesting to be investigated futher. This study objectives are to analyze the gender relation in tea plantation work system, to analyze the wage dynamic of tea plucker, and to analyze the woman tea plucker status in the household. This study is conducted in qualitative approach involving 57 respondents and six key informants as source of primary data. The research found that there are differences in access and control between men and women in the tea plantation work system resulting in gender-based wage differences. Although the total wage received by tea plucker is increasing from time to time but it is not as fast as the increasing prices of goods for everyday living therefore there is no significant effect to their quality of life. The major contribution of women to the household income does not affected their low social status in the household. All processess that happened for generations has marginalize women in their work and household as well. Keywords : Marginalisasi, Gender, Tea Pluckers, Wage Dynamic, and Women Status
RINGKASAN PRIMA YUSTITIA NURUL ISLAMI. MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM SISTEM KERJA PEMETIK TEH DI PERKEBUNAN (Studi Kasus: Pemetik Teh di PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). (Di bawah bimbingan EKAWATI SRI WAHYUNI) Perkebunan Gunung Mas memiliki masyarakat yang tinggal dan bekerja di dalamnya, seperti halnya di perkebunan lain. Hal tersebut berdampak pada kuatnya struktur dan kultur yang terbentuk di perkebunan. Kultur perkebunan menempatkan perempuan pada pekerjaan tidak penting di perkebunan
akibat kentalnya budaya
patriarki dalam pembagian kerja di rumahtangga dan masyarakat di perkebunan. Perempuan pekerja diberikan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Upah yang diterima pemetik merupakan salah satu sumber utama pendapatan dalam rumahtangga pemetik. Namun budaya patriarki memberikan anggapan bahwa pendapatan perempuan dalam rumahtangga hanyalah sebagai penghasilan tambahan sebesar apapun sumbangannya. Penelitian ini memfokuskan pada posisi perempuan dalam pekerjaan sebagai pemetik di perkebunan dan statusnya berdasarkan pengambilan keputusan setelah memberikan kontribusi pendapatan dalam rumahtangga. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis relasi gender dalam sistem kerja pemetik teh di Perkebunan Teh Gunung Mas, menganalisis dinamika pengupahan pekerja pemetik teh dalam sistem pengupahan di Perkebunan Teh Gunung Mas, dan menganalisis pengaruh kontribusi pendapatan perempuan pemetik teh terhadap status perempuan dalam rumahtangga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan didukung data kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah pemetik teh di Perkebunan Gunung Mas. Jumlah responden yang diambil menggunakan teknik Proporsional Random Sampling adalah 57 orang dari keseluruhan pemetik di Afdeling Gunung Mas I mencakup laki-laki dan perempuan yang bekerja sebagai pemetik teh. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil kuesioner, data sekunder diperoleh dari bahan pustaka dan hasil penelitian sebelumnya. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis data kualitatif dan kuantitatif menggunakan Microsoft Excel 2007 tipe 12.0.4518.1014, tabel frekuensi dengan menggunakan SPSS 17. Perempuan di perkebunan teh diberikan pekerjaan yang dianggap tidak penting, tidak memerlukan keahlian maupun keterampilan khusus sehingga upah pekerja perempuan berbeda dengan pekerja laki-laki. Pembedaan tersebut tidak hanya upah namun juga kesempatan dalam hal jaminan kerja bagi perempuan, hak perempuan yang dibatasi untuk cuti haid maupun berperan dalam serikat pekerja, dan perbedaan dalam mendapatkan fasilitas (fringe benefit) dari perkebunan. Kegiatan kemasyarakatan didominasi oleh laki-laki sebab hanya laki-laki yang dianggap mampu. Di rumahtangga, dominasi peran perempuan dalam rumahtangga akibat anggapan patriarki tidak berdampak pada dominasi pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam rumahtangga didominasi oleh laki-laki. Relasi kekuasaan antara laki- laki dan perempuan berbeda dalam pembagian kerja di perkebunan dimana laki-laki memiliki akses dan kontrol yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan. Selain itu, walaupun terjadi dinamika pengupahan pekerja pemetik teh di perkebunan dimana nilai upah berubah namun kehidupan sosial ekonomi yang diukur dari daya beli pemetik teh tidak berubah dari waktu ke waktu bahkan cenderung mengalami penurunan. Di rumahtangga, kontribusi pendapatan perempuan pemetik teh tidak berdampak pada perubahan status perempuan dalam rumahtangga salah satunya karena kuatnya budaya patriarki di perkebunan. Akibat dari keseluruhan proses tersebut adalah marginalisasi perempuan dalam pekerjaan yang dapat meningkatkan nilai upah akibat stereotipe dan kuatnya kultur patriarki di perkebunan.
MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM SISTEM KERJA PEMETIK TEH DI PERKEBUNAN (Studi Kasus Pemetik di Teh PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
Oleh: PRIMA YUSTITIA NURUL ISLAMI I34062266
Skripsi Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pangembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Prima Yustitia Nurul Islami NRP : I34062266 Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Marginalisasi Perempuan Dalam Sistem Kerja Pemetik Teh di Perkebunan (Studi Kasus Pemetik Teh di PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat)
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS NIP: 19600827 198603 2 002
Mengetahui Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM SISTEM KERJA PEMETIK TEH DI PERKEBUNAN (STUDI KASUS PEMETIK TEH DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VIII GUNUNG MAS, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BOGOR, PROPINSI JAWA BARAT)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2010
PRIMA YUSTITIA NURUL ISLAMI I34062266
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Prima Yustitia Nurul Islami yang dilahirkan pada tanggal 23 Januari 1989 di Malang, Jawa Timur. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Bayu Setiawan SH.Msi dan Ibu Titien Sri Endrawati. Pendidikan yang pertama kali ditempuh penulis adalah Taman Kanak-kanak Angkasa pada tahun 19921994. Kemudian penulis melanjutkan di Sekolah Dasar Angkasa II Ujung Pandang pada tahun 1994-1996 dan dilanjutkan di Sekolah Dasar Angkasa I Bogor pada tahun 19962000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 6 Bogor pada tahun 2000-2003, dan Sekolah Menengah Umum Negeri 5 Bogor pada tahun 2003-2006. Pada tahun 2006, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan memilih Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat dengan Minor Manajemen Fungsional. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, antara lain peserta Workshop Jurnalistik TV bersama An-Teve dengan Tema ”Citizen Journalistik” pada tahun 2008, Anggota Kepanitiaan Event besar di IPB Indonesian Ecology Expo 2008 (INDEX 2008), Koordinator Malam Seni 2009 Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Divisi Dekorasi, serta tergabung dalam Divisi Jurnalistik, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) 2008-2009. Prestasi lain yang pernah diraih antara lain, penulis cerpen ”Di bawah Kolong Langit Jakarta” yang pernah diterbitkan dalam majalah Gama Almamater IPB, Juara Harapan I Lomba Lintas Sejarah tahun 2005, Peserta Lomba Lintas Alam Sylvasari IPB 2006, dan Nominasi 100 Besar Kotex Be-You Jakarta.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Marginalisasi Perempuan Dalam Sistem Kerja Pemetik Teh di Perkebunan (Studi Kasus Pemetik Teh di PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Penulisan skripsi ini merupakan syarat kelulusan mata kuliah KPM 499. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui relasi gender yang terjadi pada pemetik dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas, menganalisis dinamika pengupahan pekerja pemetik teh dalam sistem pengupahan di Perkebunan Gunung Mas, dan menganalisis pengaruh kontribusi pendapatan perempuan pemetik teh terhadap status perempuan dalam rumahtangga. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing, serta pihak-pihak yang membantu penulis, baik langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan penulisan usulan penelitian. Demikian skripsi ini penulis sampaikan semoga bermanfaat. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS sebagai dosen pembimbing studi pustaka dan skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta kesabarannya selama ini. 2. Dr. Ir. Titik Sumarti, MC, MS sebagai dosen penguji utama. Terima kasih atas segala masukan dan kritikannya. 3. Martua Sihaloho, Sp, Msi, selaku dosen penguji wakil departemen. Terima kasih atas segala masukan dan kritikannya 4. Keluarga tercinta, mama, papa, Fajar dan Fika, yang selalu memberikan dukungan, doa, kasih sayang dan motivasi. 5. Hendra Hadiyatna Dj yang selalu memberikan dorongan, doa, semangat dan dukungannya kepada penulis.
6. Teman-teman dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 43, Abdillah, Selly, Ika, Nana, Tia, Nadia, Irena, Dea, Rio, dan Bayu atas kebersamaan, semangat, dan dukungannya. 7. PTPN VIII Gunung Mas Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan kegiatan penelitian . 8. Bapak Ujang Koswara dan keluarga yang telah memberikan tempat tinggal dan membantu penulis dalam memperoleh informasi yang sangat berguna untuk penulisan skripsi ini 9. Seluruh Masyarakat Dusun Gunung Mas dan Rawadulang yang telah membantu kelancaran penulis dalam memperoleh data desa dan hal-hal lain yang tentunya sangat berguna melengkapi penulisan skripsi ini. 10. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan kerjasamanya selama ini sehingga memberikan warna dalam hidup penulis. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Bogor, Agustus 2010
Prima Yustitia Nurul Islami
x
DAFTAR ISI DAFTAR ISI.................................................................................................................................x DAFTAR TABEL .................................................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ xiv DAFTAR KOTAK .....................................................................................................................xv BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................1 1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 4 1.4 Kegunaan Penulisan ......................................................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................5 2.1 Konsep Gender ................................................................................................................. 5 2.1.1
Ketidakadilan Gender............................................................................................ 6
2.1.2
Relasi dan Pembagian Kerja Gender ..................................................................... 8
2.1.3
Teknik Analisis Gender ....................................................................................... 10
2.2 Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga ............................................................... 11 2.3 Kontribusi Pendapatan dalam Rumahtangga ................................................................. 11 2.4. Buruh Perempuan Perkebunan ....................................................................................... 12 2.5 Sistem Kapitalis Perkebunan ......................................................................................... 14 2.6 Penelitian Terdahulu ...................................................................................................... 15 2.7 Alur Pemikiran ............................................................................................................... 17 2.8 Hipotesis Pengarah ......................................................................................................... 18 2.9 Definisi Konseptual ....................................................................................................... 19 2.10 Definisi Operasional ...................................................................................................... 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................21 3.1. Pendekatan Penelitian .................................................................................................... 21 3.2 Strategi Penelitian .......................................................................................................... 21 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................................... 22 3.4 Jenis dan Sumber Data ................................................................................................... 23 3.5 Teknik Pengumpulan Data ............................................................................................. 23 3.6 Penentuan Responden dan Informan .............................................................................. 24 3.7 Pengolahan dan Analisis Data ........................................................................................ 25 3.8 Bias Penelitian ............................................................................................................... 26
xi BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN .....................................................28 4.1 Gambaran Umum Desa Tugu Selatan ............................................................................ 28 4.2 Gambaran Umum Dusun Gunung Mas .......................................................................... 29 4.3 Gambaran Umum Dusun Rawadulang .......................................................................... 30 4.4 Afdeling Gunung Mas 1 ................................................................................................. 32 4.5 Struktur dan Kultur Perkebunan .................................................................................... 33 4.6 Profil Perusahaan ........................................................................................................... 34 4.6.1
Sejarah Singkat Perkebunan Gunung Mas .......................................................... 34
4.6.2
Kondisi Geografis dan Keadaan Umum Perkebunan Gunung Mas .................... 35
4.6.3
Fasilitas Perkebunan Gunung Mas ...................................................................... 35
4.6.4
Bidang Usaha di Perkebunan Gunung Mas ......................................................... 36
4.6.5
Pengupahan Karyawan di Perkebunan Gunung Mas .......................................... 36
4.6.6
Penilaian Kinerja, Promosi, dan Mutasi .............................................................. 37
4.6.7
Visi dan Misi Perusahaan dan Struktur Organisasi Perusahaan .......................... 38
BAB V RELASI GENDER DALAM SISTEM KERJA DI PERKEBUNAN GUNUNG MAS................................................................................................................................39 5.1 Relasi Gender Pemetik Teh dalam Sistem Agribisnis ................................................... 41 5.1.1
Pentingnya Buruh dalam Sistem Agribisnis Perkebunan .................................... 45
5.1.2
Pemetik Teh dalam Hubungan Kerja di Perkebunan Gunung Mas ..................... 47
5.1.3
Hubungan Pemetik dengan Mandor dalam Pekerjaan di Perkebunan ................ 50
5.1.4
Hubungan Pemetik dengan Pemetik Lain ........................................................... 56
5.2 Relasi Gender dalam Sistem Kerja ................................................................................ 59 5.2.1
Kondisi Kerja Pemetik di Perkebunan Gunung Mas .......................................... 66
5.2.2
Analisis gender dalam Sistem Kerja Perkebunan ............................................... 72
5.3 Ikhtisar ........................................................................................................................... 80 BAB VI DINAMIKA PENGUPAHAN PEMETIK DI PERKEBUNAN GUNUNG MAS..83 6.1 Pengupahan di Perkebunan Gunung Mas ...................................................................... 83 6.1.1
Alasan Menjadi Pemetik Di Perkebunan Gunung Mas ....................................... 83
6.1.2
Pengupahan di Perkebunan Gunung Mas ............................................................ 86
6.2 Ikhtisar ......................................................................................................................... 100 BAB VII PERAN DAN STATUS PEREMPUAN DI RUMAHTANGGA..........................103 7.1 Pembagian Kerja dalam Rumahtangga ........................................................................ 103 7.2 Analisis Pendapatan dan Pengeluaran dalam Rumahtangga ........................................ 106 7.2.1
Analisis Pendapatan dalam Rumahtangga ........................................................ 106
7.2.2
Analisis Pengeluaran dalam Rumahtangga ....................................................... 110
xii 7.3 Ikhtisar ......................................................................................................................... 113 BAB VIII PENUTUP ...............................................................................................................115 8.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 115 8.2 Saran ............................................................................................................................ 117 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................119 LAMPIRAN..............................................................................................................................122
xiii
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
Hal
Tabel 1.
Pembagian Kerja di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2007.................
64
Tabel 2.
Pembagian Kerja di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010 Berdasarkan Analisis Harvard………………………………………...
Tabel 3.
Profil Akses dan Kontrol dalam Pemetikan di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010...................................................................................
Tabel 4.
96
Perbandingan Daya Beli Pemetik di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010.....................................................................................................
Tabel 8.
95
Perubahan Upah Pemetik di Perkebunan Gunung Mas Tahun 19502010………………………………………………………………….
Tabel 7.
88
Daya Beli Pemetik Berdasarkan Perubahan Upah Pemetik di Perkebunan Gunung Mas Tahun 1980-2010.....................................
Tabel 6.
74
Perbedaan Pengupahan Berdasarkan Waktu Kerja Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010....................................................................
Tabel 5.
73
98
Pengambilan Keputusan dalam Kegiatan Produktif dan Kemasyarakatan...................................................................................
105
Tabel 9.
Persentase Sumber Pendapatan dalam Rumahtangga.........................
107
Tabel 10.
Rata-rata Pendapatan Per Bulan di Rumahtangga Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Perkebunan Gunung Mas 2010………………………….
107
Tabel 11.
Persentase Alternatif Mata Pencaharian Masyarakat Perkebunan.......
108
Tabel 12.
Persentase Tanggungjawab Pengeluaran Makanan..............................
111
Tabel 13.
Persentase Tanggungjawab Pengeluaran Bukan Makanan..................
111
Tabel 14.
Pengambilan Keputusan Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga.
112
Lampiran Tabel 1.
Kegiatan 24 Jam Ayah, Ibu, dan Anak Dalam Rumahtangga………..
127
Tabel 2.
Rekapitulasi Data Induk Karyawan PGM PTPN VIII………………..
128
Tabel 3.
Rencana Biaya Produksi Tahun 2007....................................................
128
Tabel 4.
Tabel Jadwal Pelaksanaan Kegiatan penelitian………………………
129
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Teks
Hal
Gambar 1. Alur Pemikiran......................................................................................
18
Gambar 2. Stratifikasi dalam Pekerjaan dan Lingkungan Kemasyarakatan di Perkebunan Gunung Mas………………………………………...........
33
Lampiran Gambar 1.
Dusun Gunung Mas Desa Tugu Selatan…………….…………………
122
Gambar 2.
Dusun Rawadulang Desa Tugu Selatan……………..…………………
122
Gambar 3.
Kantor Afdeling Gunung Mas I……………………..………………….
122
Gambar 4.
Prasarana Perkebunan………………………………………………….
122
Gambar 5.
Prasarana Penunjang ………………………………….……………….
123
Gambar 6.
Alternatif Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Perkebunan Gunung Mas………………….………………………..……………….
123
Gambar 7.
Kelompok-kelompok Pemetik di Perkebunan Gunung……..…...…….
123
Gambar 8.
Kondisi Pensiunan di Perkebunan Gunung Mas……………...………..
123
Gambar 9.
Suasana Pemetik Saat Bekerja…………………………………..……..
124
Gambar 10. Suasana Gajian di Perkebunan Gunung Mas……………………..……
124
Gambar 11. Matrik Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data………..……
124
Gambar 12. Tempat Teh yang Digunakan Pemetik di Perkebunan Gunung Mas…..
125
Gambar 13
Rumah Dinas di Perkebunan Gunung Mas…………………………….
125
Gambar 14
Sketsa Peta Desa Tugu Selatan………………………………………...
125
Gambar 15
Bagan Organisasi di Perkebunan Gunung Mas………………………...
126
xv
DAFTAR KOTAK Nomor Kotak 1.
Teks Pengamatan Kondisi Kerja Pemetik......................................................
Hal 66
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Perkebunan memiliki peranan yang sangat besar bagi perekonomian di
Indonesia. Secara keseluruhan, areal perkebunan meningkat dengan laju 2,6 persen per tahun pada periode tahun 2000-2003, dengan total areal pada tahun 2003 mencapai 16,3 juta hektar dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia seperti karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu1. Produksi perkebunan juga meningkat dengan konsisten dengan laju 7,6 persen pada tahun 2000-2003, dengan total produksi mencapai 19,6 juta ton pada tahun 2003. Produk Domestik Bruto (PDB) perkebunan terus meningkat menjadi sekitar Rp 47 triliun pada tahun 2003 dengan laju sekitar 11,7 persen per tahun2. Sumbangan besar yang dihasilkan oleh perkebunan tidak terlepas dari besarnya tenaga kerja yang diserap dalam sektor ini. Pada tahun 2004, jumlah tenaga kerja yang diserap di sektor ini mencapai 18,6 juta tenaga kerja (BPS, 2005). Industri dan perkebunan teh telah menyerap sekitar 320.000 tenaga kerja dan menghidupi sekitar 1,3 juta jiwa. Perkebunan teh Gunung Mas berkontribusi terhadap PDB Rp 1,2 triliun, dan menyumbang devisa bersih sekitar 110 juta dolar AS per tahun atau sekitar Rp 1,21 triliun per tahun. Ekspor tahun 2005 sebanyak 102.294 ton atau 121,50 juta dolar AS atau sekitar Rp 1,37 triliun, namun pada tahun yang sama impor teh meningkat 39,6 persen (BPS, 2005)3. Besarnya peran perkebunan sebagai penghasil devisa negara maupun penyerap tenaga kerja, tidak berdampak pada keadilan dalam pembagian kerja di perkebunan. Di 1
Dikutip dari http://www.ipard.com/art_perkebun/des14-04_wrs-I.asp loc.cit 3 Dikutip http://www.ahmadheryawan.com/lintas-jabar/ekonomi-bisnis/3430-nasib-komoditas-tehsepahit-rasanya.pdf 2
2
perkebunan teh, perempuan merupakan aset dalam jumlah besar, namun hanya ditempatkan pada pekerjaan yang tidak penting di perkebunan. Hal tersebut berpengaruh pada rendahnya upah perempuan dibandingkan dengan laki-laki pada pekerjaan di perkebunan. Data BPS (1999) yang merupakan hasil Susenas 1997 menunjukkan ratarata upah yang diterima perempuan lebih rendah dari laki-laki yaitu Rp.183.042 berbanding Rp.266.826. Perkebunan teh membedakan pembagian kerja berdasarkan pekerjaan untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Upah perempuan yang lebih rendah dibanding dengan laki-laki salah satunya didasarkan pada anggapan patriarki bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama dalam keluarga, sedangkan perempuan hanya sebagai pencari nafkah sekunder dalam rumahtangga (Kertonegoro, 1995 dalam Ruhiyat, 2000). Perkebunan teh Gunung Mas merupakan suatu kompleks perkebunan yang terdiri dari perkebunan teh, pabrik pengolahan, dan agrowisata. Perkebunan Gunung Mas juga memiliki masyarakat yang tinggal dan bekerja di perkebunan secara turun temurun, dan berdampak pada kuatnya struktur dan kultur yang terbentuk di perkebunan. Struktur dalam pekerjaan maupun lingkungan masyarakat di perkebunan merupakan sebuah cerminan sebab dalam struktur sosial dan struktur pekerjaan ditempati oleh pemegang kekuasaan di perkebunan. Kultur perkebunan yang menempatkan perempuan pada pekerjaan tidak penting di perkebunan dan masih kentalnya budaya patriarki dalam pembagian kerja di rumahtangga masyarakat perkebunan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Struktur dan kultur pada masyarakat perkebunan yang secara tidak langsung mempengaruhi pembagian kerja di perkebunan berdampak pada munculnya ketidakadilan gender di perkebunan dalam bentuk upah rendah yang diterima oleh perempuan akibat pembedaan dalam sistem kerja di perkebunan. Hasil penelitian ini
3
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai relasi gender dalam struktur ketenagakerjaan dan dinamika pengupahan di perkebunan teh, serta mendapatkan penjelasan mengenai sumber pendapatan lain di rumahtangga pemetik teh dan status perempuan pemetik dalam keluarga dan masyarakat. Pendekatan menggunakan analisis gender untuk melihat relasi antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan dan lingkungan masyarakat maupun keluarga. 1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, keberadaan perkebunan yang telah ada sejak
secara turun temurun memberikan pengaruh yang kuat pada struktur dan kultur masyarakat perkebunan. Struktur perkebunan menempatkan laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan yang berbeda di perkebunan. Pemetik teh merupakan pekerjaan utama perempuan di perkebunan teh, namun pemetik merupakan aset pekerja bagi perkebunan yang dapat dikeluarkan sewaktu-waktu saat perkebunan mengalami kesulitan. Hal tersebut menempatkan pemetik yang didominasi oleh perempuan pada posisi pekerjaan yang dianggap tidak penting, tidak diharuskan memiliki keterampilan khusus, dan tidak diperlukan tingkat pendidikan tertentu, dan berdampak pada pemberian upah yang rendah. Pada dasarnya, upah yang diterima pemetik dari hasil pekerjaan di perkebunan merupakan salah satu sumber utama pendapatan dalam rumahtangga pemetik. Budaya patriarki memberikan anggapan bahwa pendapatan perempuan dalam rumahtangga hanyalah sebagai penghasilan tambahan sebesar apapun sumbangannya. Penelitian ini untuk melihat posisi perempuan dalam pekerjaan sebagai pemetik di perkebunan dan status perempuan pemetik teh dalam rumahtangga berdasarkan pengambilan keputusan setelah memberikan kontribusi pendapatan dalam rumahtangga. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
4
1. Bagaimana relasi gender dalam pembagian kerja di perkebunan teh yang terjadi pada pemetik teh dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas; 2. Bagaimana dinamika pengupahan berdampak pada kondisi sosial ekonomi pemetik teh dalam sistem pengupahan di Perkebunan Gunung Mas; dan 3. Bagaimana kontribusi pendapatan perempuan pemetik teh mempengaruhi status perempuan dalam rumahtangga; 1.3
Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, tujuan yang hendak dicapai
yaitu : 1. Menganalisis relasi gender dalam pembagian kerja di perkebunan teh yang terjadi pada pemetik teh dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas; 2. Menganalisis dinamika pengupahan berdampak pada kondisi sosial ekonomi pemetik teh dalam sistem pengupahan di Perkebunan Gunung Mas; dan 3. Menganalisis pengaruh kontribusi pendapatan perempuan pemetik teh terhadap status perempuan dalam rumahtangga; 1.4
Kegunaan Penulisan Tulisan ini diharapkan dapat menambah khasanah kepustakaan mengenai
fenomena sosial yang terjadi di perkebunan. Diharapkan pula tulisan ini dapat menjadi sumber referensi bagi peneliti berikutnya untuk mengembangkan penelitian dengan topik yang sama. Tulisan ini mencoba untuk menjabarkan secara lebih khusus terkait dengan persoalan upah yang terjadi di perkebunan yang menekankan pada masalah adanya diskriminasi berbasis gender dan kelas dalam hal sistem pengupahan di perkebunan teh yang “memberatkan” perempuan dan hubungannya dengan kondisi rumahtangga buruh perempuan perkebunan.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Konsep Gender Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (seks) merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, sedangkan perempuan memiliki saluran reproduksi, seperti rahim, dalam arti secara biologis alat-alat tersebut tidak dapat dipertukarkan, sedangkan gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih,1996). Gender merupakan seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa ’kita’ (diri sendiri) adalah feminin atau maskulin. Beberapa hal yang menarik mengenai peran gender, yaitu peran-peran itu berubah seiring waktu; berbeda antar kultur; sangat dipengaruhi oleh kelas sosial, usia, dan latar belakang etnis; dapat menentukan akses seseorang terhadap pendidikan, kerja, dan sumberdaya (industri dan keterampilan); serta menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan membuat keputusan (Mosse, 1996). Konsep gender lebih kompleks dibandingkan dengan seks (Wood, 2001). Gender, tidak diciptakan stabil, dan pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi sosial, dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Gender adalah konstruksi sosial yang terbentuk berdasarkan budaya (cultural) dari waktu ke waktu dan berdasarkan hubungan dengan gender lain. Gender merupakan simbol yang dibentuk dari suatu kondisi sosial tertentu, dalam hal ini gender merupakan karakter sosial yang terbentuk pada jenis kelamin tertentu (Wood, 2001).
6
2.1.1
Ketidakadilan Gender Perbedaan gender (gender differences) terbentuk karena beberapa hal yaitu
dibentuk dan disosialisasikan oleh keluarga, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara, sampai akhirnya perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan, dipahami sebagai kodrat laki-laki maupun kodrat perempuan yang tidak bisa dirubah (Fakih, 1996). Perbedaan sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan pembedaan gender (gender inequalities). Handayani dan Sugiarti (2002), menambahkan bahwa mitos-mitos yang melahirkan ketidakadilan gender disebabkan adanya hukum hegemoni patriarki dan sistem kapitalis yang berlaku, yaitu siapa yang mempunyai modal yang besar itulah yang menang. Namun yang menjadi persoalan adalah perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender (gender inequalities) adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki dan perempuan, akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikan dengan masalah perempuan (DeVries, 2006). Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada di masyarakat. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, akan tetapi terdapat perbedaan urutan dari bentuk ketidakadilan gender tersebut yaitu : 1. Marjinalisasi (pemiskinan) perempuan Proses marjinalisasi yang menyebabkan kemiskinan banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang. Perempuan dipinggirkan dan tersingkir dari program
7
pembangunan karena hanya memfokuskan pada laki-laki saja. Perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki (Fakih, 1996). Scott (1986) dalam Saptari dan Holzner (1997) menyebutkan bahwa ada empat bentuk marginalisasi, yaitu : a) Pengucilan, yaitu perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau dari jenis-jenis kerja upahan tertentu, b) Pergeseran perempuan ke pinggiran (margins), yaitu terdapat kecenderungan bagi perempuan untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan yang mempunyai kelangsungan hidup yang tidak stabil, upah rendah, dan dinilai tidak terampil, c) Feminisasi atau segregasi, yaitu pemusatan tenaga kerja perempuan ke dalam jenis-jenis pekerjaan tertentu menyebabkan pekerjaan tersebut sudah terfeminisasi sehingga terjadi pemisahan (segregasi) kegiatan tertentu atas dasar jenis kelamin, d) Ketimpangan ekonomi yang makin meningkat, yaitu ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan yang diindikasikan oleh perbedaan upah serta ketidaksamaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk akses terhadap program-program pelatihan untuk pengembangan karier. 2. Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama disbanding jenis kelamin lainnya. Subordinasi sering terjadi di dalam rumahtangga. Penomorduaan (subordinasi) juga berupa pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, pelabelan negatif (stereotype) pada perempuan mengakibatkan mereka kurang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (DeVries, 2006). 3. Stereotype atau pelabelan negatif Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Misalnya, pelabelan perempuan sebagai ‘ibu rumahtangga’ membatasi gerak perempuan untuk ikut aktif dalam kegiatan politik,
8
bisnis maupun birokrasi. Sementara label laki-laki sebagai ‘pencari nafkah’ mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap ‘sambilan’ sehingga kurang dihargai. 4. Kekerasan (Violence) Kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu, kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan terusik batinnya. 5. Beban kerja Beban kerja menjadi panjang yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin yaitu perempuan ataupun laki-laki sebagai suatu bentuk ketidakadilan gender. Hasil observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari pekerjaan dalam rumahtangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. 2.1.2
Relasi dan Pembagian Kerja Gender Relasi gender dapat diartikan sebagai suatu hubungan kekuasaan antara
perempuan dan laki-laki yang terlihat pada lingkup gagasan (ide), praktek, dan representasi yang meliputi pembagian kerja, peranan dan alokasi sumberdaya antara laki-laki dan perempuan (Agarwal, 1994 dalam Hasanudin, 2009). Berdasarkan definisi tersebut, relasi gender menitik beratkan hubungan kekuasaan (akses dan kontrol) antara laki-laki dan perempuan terhadap pembagian kerja peranan dan alokasi sumberdaya (Hasanudin, 2009)
9
Menurut Moore (1988) dalam Saptari dan Holzner (1997), kerja didefinisikan sebagai hal yang dikerjakan oleh seorang individu baik untuk subsistensi, untuk dipertukarkan atau diperdagangkan, untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga atau masyarakat. Menurut Saptari dan Holzner (1997) ada tiga pengkategorian kerja perempuan, yaitu : 1) Produksi atau Reproduksi yaitu perbedaan kerja ini didasarkan oleh hasil yang diberikan dari pekerjaan yang dilakukan, 2) Domestik atau Bukan Domestik yaitu perbedaan kerja ini didasarkan atas tempat dilakukannya kegiatan tersebut, 3) Kerja Upahan atau Bukan Upahan dimana batasan perbedaan kerja ini tidak terlalu tajam seperti pada kedua kerja diatas. Terdapat dua bias kultural dalam masyarakat kita yang menyebabkan timbulnya pengertian sekaligus pembedaan terhadap kerja upahan (produktif) dan bukan upahan (tidak produktif). Pertama, uang sebagai ukuran bernilai tidaknya suatu kegiatan dan kedua, kecenderungan masyarakat melakukan dikotomi tajam terhadap semua gejala yang ada. Nilai-nilai atau ideologi yang terdapat didalam masyarakat Asia pada umumnya dan berpengaruh terhadap pembagian kerja seksual adalah nilai pemingitan (seclusion) yaitu nilai yang memberi batasan kebebasan ruang gerak kaum perempuan sekaligus menentukan bagaimana mereka bertingkah laku. Nilai pengucilan dari bidang-bidang tertentu (exclusion) yaitu nilai yang menutup kemungkinan bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan tertentu, namun batasan kebebasan bergerak tidak seketat pada masyarakat yang mengenal pemingitan. Nilai feminitas perempuan yaitu nilai yang mengatur berbagai hal yang berkaitan dengan karakteristik perempuan dalam bentuk yang ideal seperti kerendahhatian dan ketaatan perempuan (modest dan submissive) atau tentang keterampilan tangan perempuan (numble fingers) (Saptari dan Holzner, 1997).
10
2.1.3 Teknik Analisis Gender Penelitian gender menggunakan pendekatan Gender and Development (GAD) dengan teknik analisis gender sebagai alat analisis. Gender and Development menekankan pada orientasi hubungan sosial yang menekankan pada bagaimana hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki dalam proses pembangunan (Handayani & Sugiarti, 2002). Teknik analisis gender adalah salah satu teknik yang digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan atau saling ketergantungan antara laki-laki dan perempuan dalam proses pembagunan serta adanya perbedaan tingkat manfaat yang diperoleh laki-laki dan perempuan dari hasil pembangunan (Handayani & Sugiarti, 2002). Penelitian gender menggunakan metode penelitian berprespektif gender dan menggunakan gender sebagai alat analisis (tool of analysis)4. Gender dipandang sebagai faktor yang berpengaruh menentukan persepsi dan kehidupan perempuan, membentuk kesadarannya, keterampilannya, dan membentuk pula hubungan kekuasaan antara lakilaki dan perempuan (Sadli dan Porter, 1999). Metode survey berdasarkan teknik analisis gender dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner yang bersifat tertutup dan terbuka untuk mengetahui (1) Profil rumahtangga pekerja (karakteristik sosial ekonomi pekerja) mencakup profil aktivitas laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga berdasarkan aktivitas produktif, reproduktif (rumahtangga), sosio-politik-keagamaan, dan pengambilan keputusan dalam rumahtangga, dan (2) Profil pendapatan dan pengeluaran dalam rumahtangga (Handayani & Sugiarti, 2002).
4
Prof.Dr. Saparinah Sadli dan Dr. Marilyn Porter (1999), Metodologi Penelitian Berperspektif Perempuan Dalam Riset Sosial, Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, halaman: 5-6
11
2.2
Pengambilan Keputusan Dalam Rumahtangga Alokasi kekuasaan dalam rumahtangga dapat dinyatakan sebagai kemampuan
untuk mengambil keputusan dalam rumahtangga. Pengambilan keputusan dalam rumahtangga dapat diperinci menurut empat bidang antara lain dalam bidang produksi, pengeluaran dalam kebutuhan pokok, pembentukan keluarga, dan kegiatan sosial (Pudjiwati Sayogyo, 1981). Lima pola pengambilan keputusan sebagai berikut : a. Keputusan dibuat oleh istri sendiri tanpa melibatkan suami b. Keputusan bersama suami dan istri, tapi dengan pengaruh istri lebih dominan c. Keputusan bersama suami dan istri secara setara (pengaruh istri sama besarnya dengan pengaruh suami) d. Keputusan bersama suami istri tetapi dengan pengaruh suami lebih dominan. e. Keputusan dibuat oleh suami sendiri tanpa melibatkan istri 2.3
Kontribusi Pendapatan dalam Rumahtangga Rumahtangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian
atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Orang yang tinggal serumah disebut anggota rumahtangga, sedangkan orang yang bertanggung jawab atau dianggap bertanggung jawab terhadap rumahtanga adalah kepala rumahtangga (Kusumawardhani, 2003). Pendapatan dalam rumahtangga tidak hanya berasal dari upah yang diterima tetapi juga dari usaha-usaha lain di luar pendapatan seperti berdagang, ojeg, dan pekerjaan lain. Mubyarto (1992) dalam Simarmata (2009) menjelaskan berdasarkan jenisnya, sumber pendapatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan utama dan pendapatan tambahan. Pendapatan utama adalah sumber penghasilan rumahtangga yang paling menunjang kehidupan rumahtangga atau yang memberikan penghasilan terbesar. Pada umumnya mata pencaharian utama memiliki alokasi waktu kerja yang terbesar jika
12
dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Pendapatan tambahan merupakan penghasilan yang diperoleh rumahtangga dengan mengusahakan kegiatan lain di luar pekerjaan utama (Triani, 2000 dalam Simarmata, 2009). Berdasarkan sumber pendapatannya, maka dapat dikatakan bahwa pendapatan total rumahtangga bersumber dari mata pencaharian utama ditambah dengan pendapatan dari mata pencaharian tambahan. Pendapatan atau penerimaan dalam rumahtangga dapat dibedakan menjadi pendapatan tunai dan tidak tunai. Pendapatan tunai tidak mencakup bentuk benda tapi merupakan pendapatan dalam bentuk tunai (cash), sedangkan pendapatan tidak tunai memperhitungkan pendapatan yang tidak berbentuk uang cash, seperti pemberian maupun hutang untuk konsumsi sehari-hari oleh keluarga. Dalam hal ini, pendapatan dalam rumahtangga diperoleh dengan menghitung pendapatan dari sumber lain yang diterima bersama keluarga disamping mata pencaharian utama. 2.4.
Buruh Perempuan Perkebunan Buruh adalah seseorang yang bekerja dan mendapatkan sejumlah upah dari
pengusaha (Semaoen, 2000 dalam Siyamitri, 2009). Buruh terbagi kedalam dua ketegori, yaitu buruh tetap dan buruh lepas. Pekerja di perkebunan ada yang disebut dengan karyawan perkebunan dan ada yang disebut dengan karyawan lepas atau yang lebih dikenal dengan buruh harian lepas. Definisi dari kata buruh itu sendiri menurut UU No. 13/2003 adalah Orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi pada dasarnya, semua yang bekerja di baik diperusahaan maupun di luar perusahaan dan menerima upah atau imbalan adalah buruh.5 Perempuan dalam pekerjaannya dilihat dari segi ekonomi memiliki pendapatan yang lemah dan berpendidikan redah. Pekerja perempuan memiliki upah yang sama dengan pekerja laki-laki, yang berbeda adalah kesempatan dalam memperoleh upah 5
http://finance.groups.yahoo.com/group/fspmi/message/4338- (diakses 30 Januari 2010)
13
yang lebih tinggi (Hutagalung, et al., 1992 dalam Pratiwi, 2009). Upah yang diterima oleh perempuan lebih rendah daripada laki-laki atas pekerjaan yang sama, dari segi karakteristik individu, pekerja perempuan sering diberi stereotipe sebagai mahluk yang patuh, teliti, dan nrimo (Widanti, 2005 dalam Pratiwi, 2009). Peraturan tentang ketenagakerjaan perempuan dibuat untuk melindungi buruh perempuan, namun masih banyak para pengusaha yang melanggar dan tidak memberikan hak-hak buruh perempuan (Sari, 2004 dalam Siyamitri, 2009). Peraturan tersebut antara lain : 1.
Hak atas upah yang sama (dengan pekerja laki-laki) untuk pekerjaan yang sama nilainya dijamin oleh UU No.80 tahun 1987 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan internasional (ILO) Nomor 100
2.
Hak atas cuti haid yang dijamin oleh UU Kerja No.12 tahun 1984 yang dinyatakan berlaku dengan UU No.1 tahun 1951 dalam pasal 13 yang berbunyi : “buruh perempuan tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid”
3.
Hak untuk beristirahat sebelum dan sesudah melahirkan atau gugur kandungan yang dijamin oleh pasal 13 ayat 2 dan 4 UU kerja No.1 tahun 1951, yang lamanya satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan sesudah atau dapat diperpanjang samapai tiga bulan dengan surat dokter.
4.
Hak untuk menyusui anak, jikalau hal itu harus dilakukan selama waktu kerja yang dijamin oleh UU Kerja Pasal 13 Ayat 4 : “…waktu istirahat menyusui ini adalah di luar waktu istirahat makan siang”
5.
Hak untuk mendapat pesangon, uang jasa, dan ganti rugi apabila terjadi PHK yang dijamin oleh Permenaker No.03/men/1996 Bab I Pasal I.
14
2.5
Sistem Kapitalis Perkebunan Sistem kapitalis adalah struktur sosial yang muncul dari hubungan eksploitatif
antara pengusaha dan buruh. Dalam sistem kapitalis, proses eksploitasi dari kelas proletar (buruh yang menghasilkan produk) oleh borjuis (majikan yang tidak bekerja tetapi menguasai alat produksi) dan diselenggarakan oleh kelas menengah (Fakih, 1996). Relasi sosial dalam sistem kapitalis adalah antara orang yang memiliki alat produksi dan orang kerja upahan yang dieksploitasi (Ritzer dan Goodman, 2008). Eksploitasi sendiri merupakan bagian penting dalam sistem kapitalis para pekerja menjadi buruh bebas dan membuat kontrak bebas dengan para kapitalis akibatnya muncul yang disebut sebagai ”tentara cadangan” (Ritzer dan Goodman, 2008). Sistem pembayaran dalam sistem kapitalis adalah dengan membayar para pekerja kurang dari nilai yang mereka hasilkan dan meraup keuntungan untuk diri mereka sendiri dalam hal ini muncul yang disebut juga oleh Marx sebagai ”nilai surplus” yaitu perbedaan nilai produk ketika dijual dan nilai elemen-elemen yang digunakan untuk membuat produk (Ritzer dan Goodman, 2008). Dalam kapitalisme modern, hubungan tersebut diperparah dengan masuknya unsur non kelas di dalamnya, dimana unsur kelas dan non kelas menjadi dua unsur penting. Proses hubungan kelas (buruh-majikan) melalui fungsi manajer bersifat eksploitatif, majikan mendapat surplus dari hasil kerja keras para buruh, tetapi hasil tersebut harus didistribusikan kepada unsur non kelas dalam bentuk pajak melalui Negara (Fakih, 1996). Selain itu, oleh karena pendapatan utama unsur non kelas berasal dari unsur kelas maka semua unsur melanggengkan hubungan tersebut melalui perlindungan politik, ekonomi, keamanan, maupun infrastruktur (Fakih, 1996). Dalam bidang pekerjaan keberadaan perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah, dimana perempuan diupah lebih
15
rendah daripada laki-laki dan perempuan dianggap sebagai buruh cadangan yang tak terbatas. Dalam hubungannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan, Marx mengistilahkan bahwa hubungan yang terjadi serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis dan tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuan (Fakih, 1996) 2.6
Penelitian Terdahulu Perempuan memiliki peran dalam pengupahan di berbagai bidang pekerjaan,
baik di sektor pertanian maupun di sektor non pertanian. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan teh. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerja untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Tetiani,2005). Selain itu sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan perkebunan juga di tentukan oleh tingkat pendidikan dan keahlian (Oktaviani,1995). Tetiani (2005) menyatakan bahwa dalam pekerjaan dikembangkan hierarki dan segregasi kerja berbasis ras yang dipandang penerjemahan nilai partiarkat, fenomena promosi kerja sampai kepada jabatan tinggi (staf) berdasarkan lamanya waktu kerja. Klasifikasi tenaga kerja di perkebunan didasarkan pada status gaji yaitu bulanan dan harian (Grijns, 1987 dalam Siyamitri, 2009). Pimpinan merupakan golongan terpisah yaitu mandor, teknisi dan pegawai administrasi mendapat gaji tetap yang dibayar bulanan ditambah bayaran kerja lembur dan bonus produksi. Buruh harian dibayar menurut jumlah hari bekerja selama sebulan atau menurut sistem borongan. Upah yang diterima oleh perempuan lebih rendah daripada upah yang diterima buruh laki-laki atas pekerjaan yang sama (Widanti, 2005 dalam Siyamitri, 2009). Suatu sistem kompensasi yang diterapkan oleh Perkebunan Cianten PTPN VIII yang dibedakan menjadi kompensasi finansial langsung dan kompensasi finansial tidak langsung. Kompensasi finansial langsung secara umum dibedakan menjadi upah
16
borongan, upah harian, serta premi dan upah lembur. Upah finansial tidak langsung berupa upah sosial, tunjangan-tunjangan, jaminan sosial dan asuransi kesehatan (jamsostek) serta fasilitas-fasilitas lain (Zulkarnain, 2004). Dalam penelitian berbeda Tetiani (2005) menjelaskan bahwa dalam kehidupan di perkebunan mencakup pekerjaan maupun lingkungan sosial, dalam masyarakat perkebunan terjadi proses eksploitasi antara sektor kapitalis terhadap sektor pra kapitalis. Buruh perkebunan sebagai sektor pinggiran mengalami eksploitasi, aleniasi, dan kontrol dari manajemen sebagai sektor pusat. Kelompok buruh dipaksa untuk bekerja dalam waktu yang lama, dan dibayar dengan upah rendah. Produksi dari buruh adalah untuk melayani kebutuhan ekspor. Kondisi tersebut sama halnya ketika para buruh dan petani kecil berproduksi untuk kepentingan Negeri Belanda di masa penjajahan (Tetiani, 2005). Kultur feodal dalam masyarakat perkebunan direproduksi selama masa kemerdekaan karena memberikan dukungan hegemoni bagi penguasa kebun untuk menguasai buruh secara sukarela. Kultur feodal memiliki kesamaan landasan dengan pola promosi berbasis lama kerja, dan periode waktu yang relatif lama. Posisi sosial dipandang sebagai tradisi turun temurun yang sudah diterima apa adanya, dan inilah yang menjadi dasar hegemoni kekuasaan berbasis nilai feodal (Tetiani, 2005). Kapitalisme yang didukung kultur feodal di perkebunan melanggengkan eksploitasi buruh. Kolonialisme memberikan tekanan politis yang kuat, sedangkan kapitalisme global berujung pada kesepakatan pengurangan produksi memberikan tekanan ekonomis yang kuat (Tetiani, 2005). Buruh perkebunan dipandang oleh manajemen hanya sebagai faktor produksi akan tetapi komunitas buruh perkebunan terjadi secara turun temurun antar generasi (Siregar dalam Tetiani, 2005). Faktor-faktor penyebab munculnya komunitas buruh
17
karena 1) memilih sendiri (menyukai), 2) tidak memiliki alternatif pilihan (terpaksa), dan 3) tidak mampu mengembangkan pilihan (apatis). Keberadaan mereka untuk tinggal di perkebunan dalam waktu yang lama alasannya dapat terjadi karena 1) terikat ketergantungan dengan perusahaan, 2) memiliki kekayaan di luar perkebunan tetapi memiliki tinggal di perkebunan yang membutuhkan biaya hidup lebih rendah karena subsidi perusahaan (Tetiani,2005). Selain itu, secara sosio-kultural anak-anak yang tumbuh di lingkungan perkebunan yang terisolir dan relatif homogen, dan bekerja kembali sebagai buruh perkebunan telah tersosialisasikan sejak dini (Daulay, 2006). 2.7
Alur Pemikiran Penelitian ini melihat bahwa perkebunan merupakan bagian dari sistem agribisnis
dimana kebijakan yang diterapkan oleh perkebunan merupakan dampak dari kondisi agribisnis yang dijalankannya dan Perkebunan Gunung Mas sangat tergantung pada sistem agribisnis tersebut. Dalam sistem agribisnis, pekerja merupakan salah satu unsur utama berjalannya produksi di perkebunan sehingga sistem agribisnis berpengaruh pada sistem kerja di perkebunan salah satunya mencakup keluar masuknya pekerja. Stuktur pekerja dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas dibedakan berdasarkan status pekerjaan yaitu buruh dan staf yang merupakan cerminan dari struktur di masyarakat. Dalam penelitian ini buruh merupakan pemetik teh dan staf adalah manajerial termasuk mandor didalamnya. Sistem kerja ini membentuk sebuah hubungan kerja yang berpengaruh pada pengupahan. Perempuan pemetik merupakan perempuan bekerja dan memiliki kontribusi pendapatan dalam rumahtangga. Kontribusi pendapatan tersebut berhubungan dengan status perempuan dalam rumahtangga, namun anggapan bahwa upah perempuan merupakan upah tambahan di rumahtangga menyebabkan munculnya anggapan wajar tentang lebih rendahnya upah perempuan dalam pekerjaan di perkebunan dan berdampak tidak berubahnya status perempuan dalam rumahtangga.
18
Sistem Agribisnis Perkebunan Faktor yang mempengaruhi : - Harga Teh - Kualitas teh - Inflasi
Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan Teh di Perkebunan
Pembagian kerja di Perkebunan
Sistem Kerja Perkebunan
Pengupahan : - Upah/Gaji - InsentifFringe - Benefit/kompensasi
Hubungan Industrial
Relasi Gender
Posisi Pemetik di Perkebunan
Kontribusi pendapatan dan Tanggungjawab pengeluaran perempuan di rumahtangga Keterangan : = berhubungan = mempengaruhi = variabel antiseden = dianalisis dengan relasi gender
Status Perempuan di Rumah Tangga
Dampaknya adalah Pemiskinan Perempuan (Marginalisasi ekonomi yang terjadi pada perempuan)
Gambar 1. Alur Pemikiran 2.8
Hipotesis Pengarah Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini akan memfokuskan pada pemetik
dalam sistem kerja dan rumahtangga. Untuk memandu penggalian data mengenai fokus penelitian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Diduga terjadi perbedaan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas (PGM)
2.
Diduga tidak ada dinamika berdampak pada kondisi sosial ekonomi pemetik teh dalam pengupahan pemetik di Perkebunan Gunung Mas.
3.
Kontribusi terhadap pendapatan dalam rumahtangga diduga mempengaruhi status perempuan dalam rumahtangga.
19
2.9
Definisi Konseptual
1. Dinamika pengupahan adalah proses perubahan pengupahan dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh faktor faktor penyebab perubahan dan memberikan dampak pada pengupahan. Dinamika sistem pengupahan yang akan diteliti mencakup berbagai hal yang mempengaruhi pengupahan dimulai dari faktor eksternal hinggal internal pekerjaan di perkebunan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. 2. Pengupahan adalah keseluruhan hasil kerja yang diberikan kepada pekerja di perkebunan meliputi gaji, insentif, dan kompensasi pelengkap (Fringe benefit). Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dan kuantitatif 3. Pemetik Tetap adalah pekerja harian tetap yang diangkat menjadi pekerja tetap setelah lewat masa percobaan selama tiga bulan, dan berhak menerima upah seperti rumah, kesehatan, serta THR. 4. Pemetik harian lepas atau disebut juga buruh harian lepas (BHL) adalah pekerja yang belum diangkat menjadi pekerja tetap sehingga tidak diberikan fasilitas untuk pekerja perempuan dan terbatas untu pekerja laki-laki. 5. Upah Borongan adalah upah yang diperoleh pemetik berdasarkan prestasi kerjanya yang berupa kuantitas dan kualitas hasil petikan yang dibayarkan kepada karyawan petik dalam bentuk uang tunai pada awal bulan setelah bekerja selama satu bulan. 6. Upah Harian adalah upah yang diperoleh pemetik berdasarkan prestasi kerja yang dicapai dan diukur dengan volume kerja yang dihasilkan yang dibayarkan berdasarkan jumlah hari bekerja selama sebulan. 7. Eksploitasi tenaga kerja adalah penggunaan tenaga kerja untuk menghasilkan suatu produk tertentu secara terus menerus yang dibayar dengan upah rendah.
20
2.10
Definisi Operasional Definisi operasional bertujuan untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak menjadi
konkrit, maka dibuatlah definisi operasional sebagai berikut : 1. Sumber pendapatan adalah sumber pendapatan dalam rumahtangga buruh untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sumber pendapatan merupakan variabel untuk melihat kontribusi pendapatan dalam rumahtangga. Diukur berdasarkan jumlah rupiah per bulan per rumahtangga. 2. Kontribusi pendapatan adalah sejumlah pendapatan yang diperoleh anggota keluarga dan disumbangkan dalam pundi-pundi pendapatan keluarga. Kontribusi pendapatan diukur dengan melihat proporsi dalam bentuk persentase pendapatan terhadap kontribusi keseluruhan pendapatan dalam rumahtangga. 3. Tanggungjawab pengeluaran adalah tanggung jawab tingkat pengalokasian uang dalam pengeluaran untuk kebutuhan konsumsi baik pangan maupun non-pangan. Jenis pengeluaran merupakan variabel untuk melihat kontribusi pendapatan dalam rumahtangga yaitu a) tanggung jawab ayah = skor 1, b) tanggung jawab ibu = skor 2, c) tanggung jawab bersama = skor 3 4. Status dalam rumahtangga adalah alokasi kekuasaan yang diukur berdasarkan pengambilan keputusan di dalam rumahtangga. Status dalam rumahtangga diukur berdasarkan : a) dominasi ayah, b) dominasi ibu, dan c) bersama.
21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan
didukung dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif menekankan pada proses-proses dan makna-makna yang tidak diuji atau diukur secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas, ataupun frekuensi (Denzin dan Lincoln, 2000). Pendekatan kuantitatif menekankan pada aspek-aspek yang membutuhkan pengukuran dengan menggunakan indikator tertentu secara statistik (Singarimbun,1989). Penggabungan kedua pendekatan ini didasarkan pada kebutuhan data yang diperlukan dalam penelitian ini yang posisi keduanya saling melengkapi dalam kerangka pengumpulan data di lapangan. Pendekatan kualitatif dipergunakan untuk mengetahui dan memahami realitas sosial berkaitan dengan proses-proses sosial yang terjadi pada dinamika sistem kerja, pembagian pekerjaan, upah, aspek historis dari persoalan upah, pembagian upah pada pekerja di perkebunan, ketidakadilan gender dalam sistem kerja, bentuk ketidakadilan gender, dan tindakan perempuan terhadap situasi tersebut. Pendekatan kuantitatif dipergunakan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai kontribusi pendapatan dan pengeluaran dalam rumahtangga pekerja di perkebunan, dan hubungannya dengan status perempuan di rumahtangga melalui perbandingan dominasi yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di dalam rumahtangga baik dalam kontribusi pendapatan maupun dalam pengambilan keputusan dirumahtangga. 3.2
Strategi Penelitian Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi studi kasus. Kasus
dalam penelitian ini adalah kehidupan pemetik teh secara turun temurun (ibu-anak) dalam pekerjaan sebagai pemetik teh di perkebunan dan statusnya dalam rumahtangga. Pemilihan studi kasus sebagai strategi penelitian karena studi kasus merupakan studi
22
aras mikro (menyoroti satu atau beberapa kasus) dan studi kasus merupakan strategi penelitian yang bersifat multi metode (wawancara, observasi, dan analisis dokumen). Kasus yang akan dilihat adalah dinamika pengupahan yang terjadi di perkebunan, mencakup di dalamnya hubungan kontribusi pendapatan dalam rumahtangga dengan status perempuan di rumahtangga. Strategi studi kasus dipilih karena dianggap memadai dan paling tepat dengan dasar petimbangan : (1) pertanyaan penelitian ’mengapa’ dan ’bagaimana’; (2) peluang peneliti untuk mengontrol gejala atau peristiwa sosial yang diteliti sangat kecil; (3) fokus penelitian adalah peristiwa atau gejala sosial masa kini dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 1996 dalam Sitorus, 1998). Metode studi kasus yang digunakan adalah bersifat eksplanasi. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana terjadinya proses marginalisasi perempuan pemetik teh di perkebunan yang merupakan akibat dari keseluruhan proses yang terjadi dalam bidang pekerjaan maupun rumahtangga. Strategi studi kasus ini diharapkan mampu menggali informasi mengenai bagaimana suatu proses marginalisasi dapat terjadi, apa sebab dan dampaknya bagi individu maupun rumahtangga. 3.3
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di PTPN VIII Gunung Mas Kecamatan Cisarua,
Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat khususnya di Afdeling I Gunung Mas yang terletak di Perkebunan Gunung Mas. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas beberapa pertimbangan : (1) Lokasi tersebut sesuai dengan topik penelitian dimana sebagian besar pekerja khususnya dalam pemetikan adalah perempuan, (2) Memiliki keunikan dalam konteks sosio-kultural dan agro-ekologi yang relevan dengan topik penelitian, (3) Keberadaan perkebunan Gunung Mas dengan pekerja dan masyarakatnya yang telah ada dan tinggal di lingkungan perkebunan secara turun temurun.
23
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama empat bulan mulai pada Maret 2010 sampai Juni 2010. Kegiatan yang dilakukan selama rentang waktu penelitian meliputi (1) Pra-studi lapang (perizinan, penjajagan lapang, dan penyusunan instrument penelitian),
2) Kegiatan studi-lapang (observasi, wawancara mendalam, studi
dokumen), dan (3) Pasca studi-lapang (penulisan laporan penelitian). 3.4
Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis
data primer merupakan informasi yang dikumpulkan langsung dari lapangan melalui metode survey individu, observasi lapang, dan interview sedangkan data sekunder berupa data dari sumber-sumber dokumen. Data primer maupun sekunder bisa berbentuk data kuantitatif maupun data kualitatif. 3.5
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan metode triangulasi dan metode survei.
Matriks pengumpulan data, jenis data, dan metode pengumpulan data dilampirkan pada Gambar 11. Metode triangulasi merupakan model pengumpulan data di lapangan dengan menggunakan beberapa metode yaitu observasi lapang, wawancara (wawancara terstruktur dan wawancara mendalam) dan studi dokumen. Ketiga metode tersebut dikombinasikan dengan tujuan untuk saling melengkapi kelemahan masing-masing metode. Observasi lapang dilakukan dengan mengamati sejumlah realitas sosial atau kasus di lapangan berkaitan dengan kondisi kehidupan buruh perkebunan, baik dalam aspek upah, sistem pola nafkah dan pola perubahan yang terjadi di dalamnya, serta perubahan upah buruh khususnya perempuan dari waktu ke waktu. Kegiatan ini dilakukan secara mandiri (sendiri oleh peneliti). Wawancara mendalam dilakukan
24
dengan responden penelitian yang dipilih secara sengaja baik yang berada di lokasi penelitian, maupun di luar lokasi penelitian (desa disekitar lokasi penelitian). Kegiatan wawancara ditunjukan untuk mengetahui dan memahami realitas sosial berdasarkan pemahaman subjek penelitian, seperti akses, kontrol dan manfaat dalam rumahtangga pekerja, pembagian kerja di perkebunan, dan kelembagaan pekerja di perkebunan. Kegiatan ini dapat dilakukan kepada sejumlah responden penelitian, pejabat perkebunan, dan tokoh masyarakat. Studi dokumen dilakukan melalui strategi penelusuran sejumlah dokumen tertulis. Dokumen yang ditelusuri dapat berupa dokumen sejarah dan lainnya yang bersifat formal maupun informal, seperti cerita-cerita mengenai sejarah pengupahan dan alasan menjadi buruh perkebunan. Studi dokumen dapat dilakukan di wilayah lokasi penelitian (misalnya, BPS, Dokumen Perkebunan, Perguruan Tinggi Lokal dan instansi lainnya) dan di luar lokasi penelitian (instansi terkait, termasuk dari internet). 3.6
Penentuan Responden dan Informan Responden adalah sumber data tentang keragaman dalam gejala-gejala berkaitan
dengan perasaan, kebiasaan, sikap, motif dan persepsi sedangkan informan adalah sumber data yang berhubungan dengan pihak ketiga dan data tentang hal-hal yang melembaga atau gejala umum (Sitorus, 1998). Dalam wawancara mendalam, penentuaan responden dan informan dilakukan dengan teknik sengaja (purposive). Wawancara mendalam dilakukan terhadap sebanyak mungkin subjek penelitian sampai titik jenuh informasi, dimana tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru. Teknik pengambilan data melalui pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam dilakukan kepada informan. Informan dalam penelitian ini adalah enam orang yang terdiri dari tiga orang pemetik perempuan yang masih bekerja, satu orang
25
pensiunan pemetik perempuan yang tinggal di Dusun Rawadulang, satu orang mandor kebun, dan satu orang staf dari kantor Perkebunan Gunung Mas. Pengambilan data melalui pendekatan kuantitatif dengan metode survei untuk melihat hubungan kontribusi pendapatan dalam rumahtangga dengan status perempuan di rumahtangga. Pemilihan Perkebunan Gunung Mas dilakukan dengan sengaja karena lokasi ini merupakan lokasi perkebunan dan memiliki masyarakat
yang tinggal di dalam
perkebunan. Populasi penelitian ini adalah seluruh pemetik teh di afdeling satu Gunung Mas yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan jumlah 103 pemetik yang terdiri dari tujuh orang pemetik tinggal di luar dan 96 pemetik tinggal di dalam. Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan Proporsional Random Sampling dimana penarikan responden dilakukan dengan melihat proporsi pemetik teh yang tinggal di dalam dan di luar perkebunan. Perbandingan pemetik yang tinggal di luar dan di dalam perkebunan adalah 1:7 sehingga total responden dalam penelitian ini adalah 57 orang yang terdiri dari tujuh orang pemetik yang tinggal di luar perkebunan dan menggenapkan menjadi 50 orang pemetik yang tinggal di dalam perkebunan. 3.7
Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu analisis data
kualitatif dan analisis data kuantitatif. Analisis data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data, secara bersamaan peneliti juga melakukan analisis data. Analisis data primer dan sekunder (bahan empirik) diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Sitorus, 1998). Analisis data kuantitatif menggunakan Microsoft Excel 2007 tipe 12.0.4518.1014, tabel frekuensi dengan menggunakan SPSS 17.
26
Analisis data kualitatif, tahap pertama adalah reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian rupa sehingga didapatkan kesimpulan akhir. Teknik analisis data selalu mengacu pada topik penelitian yaitu sistem kerja di perkebunan. Data yang terkumpul kemudian dilakukan pengkodean kedalam beberapa topik penting yang kemudian menjadi topik pembahasan, yang diurutkan berdasarkan kejadian sosial agar dapat dilakukan analisis terhadap hubungan antar faktor. Tahap kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk deskriptif (teks naratif), kutipan pernyataan responden dan informan, dan tabel serta grafik penyajian tersebut dilakukan agar peneliti dapat menarik kesimpulan yang tepat terkait dengan fenomena tersebut dan kemudian menarik kesimpulan. Analisis
data
kuantitatif
menggunakan
Microsoft
Excel
2007
tipe
12.0.4518.1014 untuk mengelompokkan data hasil kuesioner. Mengolah data dengan menggunakan tabel frekuensi menggunakan SPSS 17. Analisis data kualitatif untuk menentukan status perempuan dalam rumahtangga. Tabel frekuensi digunakan untuk memperlihatkan dan mendeskripsikan dominasi tanggung jawab dalam pengelolaan pengeluaran rumahtangga, pendapatan di rumahtangga, dan dominasi pengambilan keputusan dalam penenetuan pekerjaan maupun dalam pengeluaran di rumahtangga. 3.8
Bias Penelitian Selama Penelitian, peneliti merasakan bahwa ada bias penelitian. Posisi peneliti
sebagai mahasiswa yang melakukan penelitian diberikan keterbatasan dalam berbagai hal antara lain pengumpulan data sekunder terkait masalah-masalah tertentu seperti pengupahan, pembatasan dari perkebunan untuk tidak bertanya masalah upah, dicurigainya peneliti oleh mandor maupun kepala bagian sebab dianggap akan membocorkan masalah sensitif di perkebunan. Masyarakat telah diberikan tekanan dari
27
pihak manajerial untuk tidak memberitahukan persoalan upah baik harga pucuk, upah yang diterima maupun sistem pengupahan itu sendiri. Ketika melakukan penelitian ini, masyarakat tidak sepenuhnya jujur. Hal tersebut dikarenakan masyarakat takut dengan pihak perkebunan sebab telah diinstruksikan terlebih dahulu kepada masyarakat khususnya pekerja perkebunan untuk tidak banyak menjawab pertanyaan. Pada dasarnya masyarakat cukup terbuka terhadap persoalan yang mereka hadapi, mereka cukup dapat berbicara dengan lugas dan sangat baik tanpa memiliki kecurigaan dengan peneliti. Namun sebagian masyarakat umumnya memiliki kecurigaan yang lebih tinggi. Hal tersebut terlihat saat menjawab beberapa pertanyaan pun hanya seperlunya dan bahkan ada yang tidak berkenan untuk diwawancarai tanpa memberikan alasan yang jelas. Beberapa masyarakat mulai terbuka dan menceritakan berbagai hal pada peneliti setelah peneliti tinggal bersama masyarakat selama satu minggu pertama karena peneliti melakukan pendekatan dengan mengunjungi rumah-rumah warga dan mengobrol sehingga terciptanya kedekatan antara masyarakat dengan peneliti dan masyarakat tidak lagi sungkan kepada peneliti, menceritakan keadaan dirinya dan perkebunan tanpa ditutup-tutupi. Selain itu karena proses mengenal satu sama lain masyarakat yakin, bahwa peneliti tidak akan memberikan hasil penelitiannya pada pihak Direksi.
28
BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1
Gambaran Umum Desa Tugu Selatan Desa Tugu Selatan (lampiran Gambar 14) merupakan desa dimana PT.
Perkebunan Nusantara Gunung Mas berada. Desa Tugu Selatan memiliki luas daerah 1712.616,50 hektar. Luas lahan yang berada di Desa Tugu Selatan yang dimanfaatkan sebagai perladangan atau perkebunan seluas 122.467 hektar, permukiman seluas 77.200 hektar, jalur hijau seluas 31.215 hektar, dan jalan seluas 2.460 hektar. Desa Tugu Selatan berbatasan sebelah utara berbatasan dengan Desa Tugu Utara, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibeureum, dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur. Desa Tugu Selatan memiliki jumlah penduduk pada tahun 2009 adalah 16.210 jiwa, dengan jumlah penduduk perempuan adalah 7928 jiwa dan jumlah penduduk lakilaki adalah 8272 jiwa. Mayoritas penduduk sebesar 707 jiwa bekerja sebagai tani dan buruh tani, dan pemetik dikategorikan sebagai karyawan swasta dalam sumber mata pencaharian di Desa Tugu Selatan. Jumlah pemetik di Desa Tugu Selatan adalah 210 orang yaitu berada di Afdeling Gunung Mas I dan Afdeling Cikopo. Mayoritas penduduk adalah lulusan sekolah dasar yaitu sebesar 3.581 orang pada tahun 2007. Desa Tugu Selatan merupakan desa yang terdiri dari tujuh dusun yang berada di kawasan tersebut meliputi 17 rukun warga (RW) dan 43 rukun tetangga (RT). Tiga dusun yang berada di kawasan Desa Tugu Selatan merupakan bagian dari emplasement (rumah tinggal) pekerja perkebunan yang terletak di dalam PT. Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas. Dusun tersebut antara lain Dusun Legok Sapi, Dusun Gunung Mas, dan Dusun Rawadulang. Perkebunan Gunung Mas berada di kawasan Desa Tugu Selatan yang terdiri dari dua Afdeling yaitu Afdeling Gunung Mas I dan Afdeling
29
Cikopo. Dusun Gunung Mas dan Dusun Rawadulang akan dibahas lebih lanjut pada penjelasan gambaran umum sebab kedua dusun tersebut merupakan emplasement yang memiliki kelompok berbeda yang tinggal di dalamnya. 4.2
Gambaran Umum Dusun Gunung Mas Dusun Gunung Mas (lampiran Gambar 1) merupakan salah satu dari ketiga
emplasement (rumah tinggal) dinas bagi para karyawan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas. Dusun Gunung Mas terdiri dari tiga RT yang dikepalai oleh kepala RT. Jumlah penduduk Dusun Gunung Mas adalah 1099 jiwa yang terdiri lakilaki sebanyak 558 jiwa dan perempuan sebanyak 541 jiwa. Dusun Gunung Mas terdiri dari 291 kepala keluarga. Mayoritas penduduk di Dusun Gunung Mas beragama Muslim dengan pekerjaan mayoritas adalah karyawan di PTPN VIII Gunung Mas. Penduduk yang tinggal di Dusun Gunung Mas sebagian besar memiliki pekerjaan dengan jabatan tertentu di perkebunan seperti mandor, staf kantor induk, dan pekerja pabrik. Dalam hal ini, Dusun Gunung Mas merupakan tempat tinggal kelompok manajemen dan staf perkebunan. Walaupun terdapat cukup banyak pemetik teh yang tinggal disana umumnya pemetik tersebut memiliki riwayat suami yang bekerja di pabrik, agro maupun kantor induk. Dusun Gunung Mas memiliki letak yang sangat strategis dilihat berdasarkan akses terhadap transportasi, puskesmas (tempat berobat), koperasi, jalan raya, dan sekolah. Letak bangunan-bangunan penting seperti kantor induk, pabrik, puskesmas, koperasi, dan transportasi umumnya dapat dijangkau dengan mudah sebab masih berada di kawasan Dusun Gunung Mas. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, umumnya penduduk Dusun Gunung Mas memiliki tingkat ekonomi yang termasuk dalam kategori sejahtera sebab seluruh masyarakat telah memiliki televisi,
30
beberapa memiliki sepeda motor, memiliki parabola, dan bahkan ada yang memiliki mobil. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Gunung Mas lebih baik dibandingkan dengan masyarakat pada dusun lain, sebab akses yang dekat menyebabkan banyak tamu khususnya wisatawan asing datang untuk membeli madu asli. Harga madu asli inilah yang menjadi sebagian besar mata pencaharian alternatif masyarakat Dusun Gunung Mas. Harga dari satu kilogram madu bisa mencapai Rp. 400.000. Selain itu, banyaknya permintaan PKL (praktek kerja lapang) di perkebunan menyebabkan masyarakat yang memiliki akses dengan kantor induk umumnya menyewakan rumahnya sebagai tempat tinggal dengan biaya Rp. 200.000 per satu bulannya. 4.3
Gambaran Umum Dusun Rawadulang Dusun Rawadulang (lampiran Gambar 2) merupakan salah satu dari ketiga
emplasement (rumah tinggal) dinas bagi para karyawan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas. Dusun Rawadulang hanya terdiri dari satu RT yang dikepalai oleh Bapak Ahmad sebagai kepala RT. Jumlah penduduk Dusun Rawadulang adalah 299 jiwa yang terdiri laki-laki sebanyak 111 jiwa dan perempuan sebanyak 188 jiwa. Dusun Rawadulang terdiri dari 109 kepala keluarga. Mayoritas penduduk di Dusun Rawadulang beragama Muslim dengan pekerjaan mayoritas adalah karyawan di PTPN VIII Gunung Mas yang sebagian besar berstatus buruh khususnya buruh kebun. Penduduk yang tinggal di Dusun Rawadulang merupakan karyawan perkebunan, dan rumah tempat tinggal penduduk merupakan rumah dinas perkebunan yang jika saat pensiun tiba maka penduduk yang tidak memiliki anggota keluarga yang bekerja di perkebunan diharuskan untuk pindah dari rumah tersebut. Penduduk yang tinggal di Dusun Rawadulang, sebagian besar adalah buruh yang bekerja di kebun dengan status lepas. Buruh yang bekerja di kebun antara lain di bagian perawatan, herbisida,
31
kebersihan (ngored, nyatok) dan pemetikan. Penduduk Dusun Rawadulang umumnya memiliki pekerjaan secara turun temurun di bagian kebun. Walaupun ada beberapa penduduk yang bekerja di pabrik, namun mayoritas penduduk bekerja di bagian kebun. Dusun Rawadulang dilihat berdasarkan letaknya, dusun tersebut terletak agak terpencil, dan umumnya tidak banyak yang mengetahui bahwa terdapat dusun Rawadulang yang masih merupakan emplasement perkebunan. Akses terhadap transportasi, puskesmas (tempat berobat), koperasi, jalan raya, dan sekolah, umumnya harus ditempuh dengan berjalan sekitar 10-15 menit dari dusun tersebut untuk sampai ke Dusun Gunung Mas. Jarak antara Dusun Gunung Mas dengan Dusun Rawadulang adalah sekitar satu kilometer. Berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat, umumnya penduduk Dusun Rawadulang memiliki tingkat ekonomi yang termasuk dalam kategori miskin, hal tersebut terlihat dari masih tidak adanya sarana MCK (mandi cuci kakus) yang layak, sehingga masih menggunakan sarana umum. Selain itu sebagian besar menggantungkan kehidupannya kepada perkebunan sebab tidak memiliki alternatif mata pencaharian lain. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Rawadulang tidak lebih baik dibandingkan dengan masyarakat di Dusun Gunung Mas. Akses yang jauh menyebabkan kesempatan untuk mencari alternatif sumber pendapatan terbatas. Masyarakat Dusun Rawadulang umumnya mencari kayu bakar saat senggang, sebab masyarakat masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar. Walaupun diberikan pembagian kompor gas, namun masyarakat tidak menggunakannya sebab tidak memiliki biaya untuk membeli gas dan memiliki ketakutan terhadap penggunaan gas. Masyarakat Rawadulang adalah masyarakat kelompok buruh di dalam struktur di perkebunan. Masyarakat Dusun Gunung Mas umumnya memiliki stereotipe negatif terhadap masyarakat Rawadulang
32
seperti jorok, bicaranya kasar, dan kurang berpendidikan. Dalam struktur masyarakat, masyarakat
Rawadulang
merupakan
masyarakat
kelompok
bawah
sedangkan
masyarakat Gunung Mas merupakan kelompok atas yang memiliki kebijakan maupun kekuasaan di lingkungan masyarakat perkebunan. 4.4
Afdeling Gunung Mas I Afdeling Gunung Mas I (lampiran Gambar 3) merupakan salah satu dari ketiga
lokasi pemetikan yang menjadi bagian dari PTPN VIII Gunung Mas dan berada di kawasan Desa Tugu Selatan. Pemetik yang terdapat di Afdeling Gunung Mas I berasal dari dalam dan luar perkebunan dengan perbandingan 70 persen pemetik yang tinggal di dalam dan 30 persen pemetik yang tinggal di luar, namun masih di sekitar perkebunan. Lokasi pemetikan di Afdeling Gunung Mas I terbagi dalam beberapa area antara lain area A, area B, area C, area D, dan area E yang terdiri dari 26 blok, sehingga jumlah total lokasi pemetikan mencapai 130 blok pemetikan. Setiap area pemetikan memiliki nomor sendiri misalnya area A1, area A2 sampai area A26, nomor tersebut yang menjadi penanda bagi para pemetik ketika akan melakukan pemetikan. Pemberitahuan lokasi pemetikan bagi pemetik teh dilakukan satu hari sebelum hari pemetikan. Pemetikan berganti area apabila pucuk teh dalam suatu area pemetikan telah habis, jangka waktu pergantian lokasi pemetikan biasanya dilakukan dalam jangka waktu satu hari atau lebih, tergantung pada pemetik. Pertumbuhan pucuk baru umumnya berlangsung dalam jangka waktu 8-12 hari. Pemetik di Afdeling Gunung Mas I yang saat ini masih bekerja adalah sekitar 95 orang yang didalamnya terdiri dari tiga orang pemetik laki-laki. Kantor Afdeling Gunung Mas I berada di Dusun Gunung Mas tepatnya bersebelahan dengan rumah mandor besar panen. Kantor Afdeling Gunung Mas I berfungsi sebagai tempat berkumpul para pegawai yang bekerja di Afdeling Gunung Mas I pada sore hari untuk mengobrol ataupun bermain kartu. Selain itu, kantor
33
Afdeling Gunung Mas I berfungsi sebagai tempat pembayaran gaji pegawai setiap bulannya. Lokasi tersebut juga dijadikan lokasi pasar kaget pada saat pembagian gaji setiap bulannya. 4.5 Struktur dan Kultur Perkebunan Dalam stratifikasi baik struktur dalam pekerjaan maupun dalam lingkungan masyarakat ditempati oleh pelaku-pelaku tertentu di perkebunan. Pekerjaan dan jabatan tertentu di dalam stuktur pekerjaan ditempati oleh orang-orang yang memiliki jabatan di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, struktur masyarakat perkebunan yang telah tercipta secara turun temurun diadopsi oleh perkebunan untuk membentuk suatu struktur pekerjaan yang tidak jauh berbeda dengan stuktur dalam lingkungan masyarakat perkebunan seperti pada Gambar 2. Adm Kepala Dusun Sinder Kepala Ketua RW sinder afdeling
Ketua RT Mandor Besar
Masyarakat Mandor
Buruh
Struktur di Pekerjaan
Struktur di Masyarakat
Gambar 2. Stratifikasi dalam Pekerjaan dan Lingkungan Kemasyarakatan di Perkebunan Gunung Mas
Dalam struktur di pekerjaan, administratur (Adm) memiliki jabatan yang paling tinggi dan memiliki kekuasaan dalam menentukan kebijakan di PGM, dan buruh merupakan posisi terendah dalam struktur pekerjaan di perkebunan. Dalam stratifikasi masyarakat di perkebunan kepala dusun merupakan posisi tertinggi yang saat ini dijabat oleh mandor kebun, begitu pun dengan ketua rukun warga (RW) dan ketua rukun
34
tetangga (RT) di lingkungan perkebunan. Dalam hal ini, Adm tidak ditempatkan sebagai kepala dusun sebab bukanlah penduduk asli di lingkungan PGM sedangkan mandor yang menempati posisi dalam struktur tersebut merupakan penduduk asli. Hal tersebut merupakan salah satu cara perkebunan untuk memastikan kekuasaannya baik dalam pekerjaan maupun masyarakat dengan menempatkan mandor yang dekat dengan pemetik untuk menempati posisi penting dalam struktur masyarakat di PGM. Dengan cara tersebut kebijakan yang diberikan di ranah pekerjaan dapat disosialisasikan melalui kebijakan di masyarakat agar masyarakat dapat menerima kebijakan tersebut tanpa menyadari adanya intervensi dari perkebunan secara tidak langsung. 4.6
Profil Perusahaan
4.6.1
Sejarah Singkat Perkebunan Gunung Mas Perkebunan Gunung Mas (PGM) merupakan salah satu unit usaha dari PTPN
VIII. Perkebunan ini merupakan penggabungan antara perkebunan Gunung Mas dan Cikopo Selatan yang diusahakan sejak tahun 1972 oleh perusahaan Jerman dengan nama “NV Cultur My Tjikopo Zuid”. Perkebunan Gunung Mas sendiri mulai diusahakan sejak tahun 1910 oleh sebuah maskapai Perancis dengan nama “Goenoeng Mas Prancoise Nederlandise de Culture Etde Commerce”. Pada tahun 1954 pengelolaannya dialihkan kepada perusahaan Belanda “Nv Tiedeman K Van Kerchem (TVK)” yang berpusat di Bandung, yang kemudian diambil alih Pemerintah Republik Indonesia dan dimasukkan dalam PPN Baru Kesatuan Jawa Barat II. Reorganisasi perusahaan diadakan pada tahun 1963, Perkebunan Gunung Mas dan Cikopo Selatan dimasukkan dalam PPN Antan VII. Sejak tanggal 01 Agustus 1971 status PNP XII berubah lagi menjadi PT Perkebunan XII (Persero). Pada tanggal 11 Maret 1996 diadakan penggabungan (merger) tiga PTP (PTP XI, PTP XII dan PTP
35
XIII) menjadi PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VIII meliputi Wilayah Propinsi Jawa Barat dan Banten sehingga Perkebunan Gunung Mas dibawah Manajemen PTP Nusantara VIII yang berkantor Pusat di Jalan Sindangsirna No. 04 Bandung. 4.6.2
Kondisi Geografis dan Keadaan Umum Perkebunan Gunung Mas Perkebunan Gunung Mas (PGM) terletak di dua kecamatan yaitu kecamatan
Cisarua dan Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Komoditas utama PGM adalah teh, dengan komoditas sampingan adalah kina dan pohon-pohon besar seperti afrika. Luas area PGM adalah seluas 1.703,65 hektar, sedangkan 992,61 hektar digunakan untuk emplasement, sarana sosial, hutan, dan jurang. Kawasan tersebut merupakan kawasan lindung dan kawasan penyangga bagi tata air daerah aliran sungai Ciliwung. PGM merupakan salah satu dari 43 unit produksi (kebun) milik PTPN VIII terdiri dari agroindustri teh hitam sebagai bisnis inti dan agrowisata sebagai bisnis tambahan. Perusahaan memproduksi pucuk teh sekitar 16-18 ton per hari. Pucuk teh yang diproduksi berdasarkan waktu giliran pemetikan dan luas areal yang dipetik. Umur gilir petik diperkebunan berkisar antara 8-12 hari. 4.6.3
Fasilitas Perkebunan Gunung Mas Perkebunan Gunung Mas memiliki sarana dan prasarana yang menunjang
produksi. Sarana adalah faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan proses produksi, sedangkan prasarana yaitu faktor-faktor penunjang bagi proses produksi tersebut. Sarana yang dimiliki oleh PGM berupa mesin-mesin giling CTC beserta perlengkapannya, mesin pengering, kendaraan pengangkut, alat pembongkar pohon teh, mesin pembuat teh celup, peralatan pembasmi hama dan bangunan tempat penimbangan, bangunan persemaian serta gudang. Prasarana yang dimiliki antara lain kantor, tempat ibadah, lapangan olahraga, gedung olahraga, koperasi, perumahan karyawan, tempat pengasuhan anak (TPA), bangunan sekolah, UKK (unit keselamatan
36
kerja) dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) (lampiran Gambar 4), sedangkan prasarana penunjang lainnya antara lain seperti fasilitas wisata agro yang meliputi penginapan, wisma tea corner, alat olahraga kesenian, dan area tea walk (lampiran Gambar 5). 4.6.4
Bidang Usaha di Perkebunan Gunung Mas Bidang usaha PGM PTPN VIII adalah membudidayakan dan mengolah
komoditi hasil perkebunan berupa teh dan kina. Pabrik pengolahan teh terdiri dari unit pengolahan teh hitam CTC dan unit pengepakan teh celup, selain itu PGM juga mengelola Wisata Agro. PGM memberikan berbagai alternatif mata pencaharian kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan maupun di luar perkebunan. Berbagai alternatif mata pencaharian tersebut umumnya terbuka sebab PGM mengelola wisata agro yang banyak mendatangkan wisatawan dari luar. Alternatif mata pencaharian tersebut antara lain pedagang kecil (minuman ringan, es kelapa, bakso, rujak, soto mie, gemblong, layangan, kacang rebus, tukang bunga), dan tukang parkir musiman (hanya hari sabtu dan minggu) (lampiran Gambar 6). Semua orang memiliki hak yang sama untuk dapat berdagang, hanya saja PGM menarik retribusi sebesar Rp. 1000 dari setiap pedagang per harinya. Retribusi tersebut bersifat tidak mengikat maksudnya bahwa pedagang yang belum mendapatkan penghasilan pada hari itu, tidak diharuskan untuk membayar retribusi tersebut. Selain itu, retribusi tersebut hanya diperuntukkan bagi pedagang yang menggunakan tempat dan tidak berpindah-pindah. 4.6.5
Pengupahan Karyawan di Perkebunan Gunung Mas Peraturan kepegawaian di PGM didasarkan pada peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah dengan sistem pengupahan yang berlaku adalah sebagai berikut :
37
1. Karyawan Staf, yaitu Administratur, Sinder Kepala dan Sinder Bagian. Dalam sistem pengupahan, upah yang diterima terdiri dari gaji tetap ditambah dengan berbagai tunjangan berdasarkan Surat Keputusan Direksi PTPN VIII No: D.I/SK/383/III/1999 2. Karyawan Bulanan, yakni karyawan di bawah Sinder bagian namun memiliki tanggungjawab yang lebih besar dari karyawan harian dan sebagai pengambil keputusan dalam kapasitas kecil, misalnya seperti Mandor Besar dan Kepala Urusan. Dalam sistem pengupahan, upah yang diterima adalah berdasarkan Surat Keputusan Direksi PTPN VIII No: D.I/SK/384/III/1999 3. Karyawan Harian Tetap, yakni karyawan pelaksana seperti mandor dan tata usaha. Untuk karyawan harian tetap, dalam sistem pengupahan, upah yang diterima adalah berdasarkan Surat Keputusan Direksi PTPN VIII No: D.I/SK/384/III/1999 Dilihat berdasarkan Surat Keputusan
Direksi, maka terlihat bahwa buruh
(pemetik) secara hukum pun tidak memiliki kekuatan, sebab haknya (upah yang tinggi dan tetap) tidak dilindungi melalui ketetapan pemerintah baik pemerintah Kota Bogor, maupun pemerintah Provinsi. Pengaturan gaji atau upah pegawai di PGM adalah berdasarkan pada peraturan yang telah ditetapkan pemerintah yaitu Departemen Tenaga Kerja (DEPNAKER), yang didalamnya terdapat peraturan tentang pengupahan pemetik. Upah pemetik hanyalah berdasarkan jumlah pucuk yang dapat berubah setiap bulannya. Setiap tahunnya, apabila perusahaan mendapat keuntungan dan disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), karyawan dapat diberikan bonus dan hadiah berupa barang yang diberikan menjelang Hari Raya Idul Fitri. Besarnya bonus yang diberikan mulai tahun 1996 adalah sebesar tiga bulan gaji. Dalam hal ini, pemetik
38
seringkali tidak mendapatkannya sebab hanya diperuntukan bagi karyawan dan bukan buruh. 4.6.6 Penilaian Kinerja, Promosi, dan Mutasi Penilaian terhadap karyawan diadakan setiap tahunnya. Bagi karyawan yang memperlihatkan prestasi kerja yang baik dan dedikasi yang tinggi, maka terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kariernya pada status kepegawaian yang lebih baik, misalnya dari karyawan harian lepas menjadi karyawan harian tetap atau bulanan, atau dari karyawan bulanan menjadi karyawan staf. Mutasi di PGM bisa saja terjadi. Umumnya mutasi biasanya terjadi antar bagian di dalam lingkungan perusahaan (intern) PGM PTPN VIII. Apabila terjadi kebutuhan tenaga kerja dalam suatu bagian, maka dapat dipenuhi dari bagian lain yang masih berada dalam lingkungan PGM PTPN VIII. Hal ini sesuai dengan ketentuan Surat Keputusan Administratur. Mutasi keluar lingkungan PGM PTPN VIII (ekstern) ditentukan oleh kantor pusat atau berdasarkan Surat Keputusan Direksi PTPN VIII. 4.6.7 Visi dan Misi Perusahaan dan Struktur Organisasi Perusahaan6 Perkebunan Gunung Mas (PGM) dipimpin oleh seorang administratur yang bertanggungjawab kepada Dewan Direksi. Tugas Administratur antara lain menyusun Rancangan Kerja Anggaran Belanja (lampiran Tabel 3) dan Rincian Perkebunan berdasarkan kebijakan dan peraturan Direksi, serta menetapkan kebijaksanaan dalam pengelolaan kebun PTPN VIII. Administratur dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Sinder (kepala bagian) Afdeling sebagai Sinder Kepala, Sinder Teknik, Sinder Pabrik atau Pengolahan, Sinder TUK (Tata Usaha Keuangan), dan Sinder Wisata Agro. Bagan organisasi terlampir pada Gambar 15 dan Rekapitulasi Data Induk Karyawan PGM PTPN VII (lampiran Tabel 2).
6 Bagan organisasi terlampir pada Gambar 15 berasal dari sumber Perkebunan Gunung Mas PTPN VIII dan untuk keterangan lebih lanjut tentang visi misi maupun job description dari masing-masing pekerja di PGM dapat dilihat pada Profil Perkebunan Gunung Mas.
39
BAB V RELASI GENDER DALAM SISTEM KERJA DI PERKEBUNAN GUNUNG MAS Perkebunan sering juga disebut sebagai “pabrik” pertanian karena proses produksi output komoditas perkebunan melalui perpaduan aneka faktor produksi (input) meliputi tanah, tenaga kerja, modal dan manajemen laksana sebuah pabrik. Perkebunan merupakan bagian dari suatu sistem agribisnis meliputi hubungan faktor-faktor produksi (input) dengan output yang dihasilkan. Dalam hal ini, modal dan manajemen merupakan faktor produksi yang tetap dan tidak dapat ditekan baik jumlah maupun keberadaannya, sedangkan tanah dan tenaga kerja merupakan unsur yang dapat ditekan dalam hal jumlah maupun biaya. Tanah dan tenaga kerja yang murah merupakan unsur pokok sistem perkebunan (Mubyarto, 1992 dalam Simarmata, 2009). Perkebunan Gunung Mas (PGM) merupakan bagian dari suatu sistem agribisnis yang didalamnya terdapat faktor-faktor produksi berupa tanah, tenaga kerja, modal, dan manajemen. Tanah merupakan luas lahan perkebunan teh yang dimiliki oleh PGM. Tenaga kerja adalah pekerja yang terdiri dari karyawan pelaksana (karpel) I maupun karyawan pelaksana II. Karpel II disebut juga sebagai buruh perkebunan. Modal merupakan anggaran yang diajukan pihak PGM setiap bulannya untuk pembayaran gaji pegawai maupun setiap tiga bulan sekali untuk pemeliharaan, panen, pengangkutan, dan pengolahan, dan manajemen merupakan staf administratur yang memiliki kekuasaan terhadap kebijakan di PGM. Perkebunan Gunung Mas dalam sistem agribisnis berperan sebagai produsen atau pemasok teh yang siap dipasarkan tanpa merek dagang tertentu. Pasokan teh tersebut akan disalurkan melalui distributor untuk kebutuhan lokal maupun ekspor. Namun, kondisi kebun teh yang sudah lama membuat kualitas dan kuantitas yang dihasilkan semakin rendah setiap tahunnya. Hal tersebut berpengaruh pada kebijakan
40
yang dijalankan PGM untuk mencukupi kebutuhan pasokan teh salah satunya adalah dengan pembelian teh dari perkebunan rakyat maupun swasta. Kebijakan PGM tersebut memberikan dampak pada keberadaan buruh petik teh yaitu jumlah pekerja maupun upah yang diterima. Pasar teh dunia dalam sistem agribisnis tidak berpengaruh secara langsung pada harga pucuk per kilogram yang diterima oleh buruh petik. Harga pucuk teh per kilogram ditetapkan berdasarkan aturan dari pihak Direksi, namun disesuaikan oleh PGM dalam realisasinya di lapangan. Kenaikan harga teh di pasar dunia tidak dengan serta merta akan meningkatkan harga pucuk di PGM sedangkan jika terjadi penurunan harga teh di pasar dunia maka dengan secara langsung harga pucuk yang diberikan pihak perkebunan terhadap pemetik akan menurun. Hal tersebut disebabkan kenaikan harga teh di pasar dunia akan memberikan dampak surplus bagi perusahaan sedangkan penurunan harga teh akan memberikan kerugian. Kebijakan pembelian pucuk teh di luar PGM berdampak pada keberadaan maupun upah yang diterima buruh petik teh. Hal tersebut disebabkan alokasi dana untuk pembayaran buruh petik lepas dialihkan untuk pembelian pucuk dari luar, sehingga buruh petik lepas tidak lagi dipekerjakan sebagai pemetik di PGM. Dalam hal ini sistem agribisnis yang dijalankan PGM merupakan suatu sistem dimana PGM sangat bergantung terhadap keberadaan buruh sebagai faktor produksi dalam bentuk aset tenaga kerja dan bergantung pada keberadaan pasar dunia dalam sistem agribisnis. Aset tenaga kerja (buruh) di PGM merupakan aset yang dipekerjakan (eksploitasi) tenaganya maupun sebagai tenaga cadangan yang sewaktu waktu dapat dikurangi saat perusahaan sedang mengalami kesulitan. Kondisi tersebut memunculkan relasi gender pemetik teh dalam sistem agribisnis maupun relasi dalam sistem kerja perkebunan. Hal tersebut disebabkan terdapat hubungan yang tidak seimbang antara pemetik teh yang mayoritas
41
perempuan dan mandor maupun pihak penentu kebijakan yang mayoritas laki-laki. Penjelasan lebih rinci diberikan pada sub bab 5.1. Relasi gender tersebut menekankan pada relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam sistem agribisnis maupun dalam sistem kerja di perkebunan itu sendiri. 5.1
Relasi Gender Pemetik Teh Dalam Sistem Agribisnis Pasar dunia dalam sistem agribisnis menempatkan pelaku-pelaku bisnis
perkebunan dalam posisi pemberi kebijakan. Pelaku-pelaku bisnis di perkebunan antara lain Direksi bekerjasama dengan pemerintah untuk menjalin hubungan dagang maupun menetapkan kebijakan, kemudian diberikan Direksi kepada administratur untuk kemudian dijalankan oleh pekerja perkebunan (buruh). Dalam sistem agribisnis yang dijalankan oleh PGM, Direksi berperan dalam mengadakan hubungan dagang dan menetapkan jumlah teh yang harus dikirimkan kepada distributor setiap bulannya. Administratur (manajemen) berperan dalam mengatur dan mengawasi pekerjaan di perkebunan agar dapat mencapai target sesuai dengan ketetapan jumlah setiap bulannya dan buruh berperan agar dapat mencapai target jumlah teh setiap bulannya. Sistem agribisnis secara global menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang berbeda. Hirarki kepengurusan manajemen PTPN VIII memperlihatkan bahwa perempuan tidak terdapat dalam jajaran direksi (pemegang saham). Jabatan Komisaris utama dan Dewan Direksi didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya sebagai staf7. Dalam hal ini, laki-laki menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dalam penentu kebijakan. Relasi antar laki-laki dan perempuan dalam sistem agribisnis yang dijalankan oleh perkebunan menempatkan perempuan hanya sebagai faktor pendukung kebijakan yang dibuat dan bukan penentu kebijakan. 7
Dalam profil PTPN VIII menunjukkan bahwa hanya laki-laki yang dapat menempati posisi sebagai Direksi. Profil PTPN dikutip http://www.kpbptpn.co.id/profileptpn.php?profil_id=21&lang=0 diakses 27 Juli 2010/l 06.10 Am
42
Marx (1867/1967:10) dalam Ritzer dan Goodman (2008) menyatakan bahwa dalam sistem kapitalis proses eksploitasi (appropriation of surplus value) terjadi dari buruh yang menghasilkan produk oleh majikan yang tidak bekerja tetapi menguasai alat produksi, dan diselenggarakan oleh manajemen. Hasil dari eksploitasi itu selanjutnya didistribusikan kepada berbagai pihak dalam bentuk pajak, bunga bank, sewa tanah, dan lain-lain dan imbalannya lembaga tersebut (superstructure) mendukung eksploitasi dengan memberikan legitimasi terhadap eksploitasi dalam bentuk norma, penekanan, maupun penindasan. Sistem agribisnis di perkebunan menimbulkan apa yang disebut sebagai sistem kapitalis dimana terjadi eksploitasi tenaga buruh untuk menghasilkan jumlah barang (teh) sesuai dengan target yang telah ditetapkan oleh direksi melalui hubungan dagang dalam sistem agribisnis. Dalam sistem tersebut terdapat satu kelompok yang dieksploitasi dan mengeksploitasi. Sistem agribisnis dalam penelitian ini mencakup pasar dunia, pemerintah, dan direksi perusahaan, dan diselenggarakan oleh kelas menengah yaitu administatur atau manajerial perkebunan. Struktur hirarkhi masyarakat perkebunan terdiri dari sektor kapitalis yaitu pejabat perkebunan dan Direksi PTPN dan sektor pra kapitalis yaitu buruh yang bekerja di perkebunan. Kelompok manajemen memiliki gaya hidup yang berbeda dengan kelompok buruh dalam lingkungan sosial masyarakat perkebunan. Manajemen memiliki kesempatan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhannya, jarang sekali melihat orang miskin bekerja, mengorientasikan kehidupan ekonominya kepada ekonomi barat atau ekonomi global sehingga kegoncangan pasar internasional berperan lebih kuat terhadap kerusakan ekonomi mereka. Sistem kapitalis yang dijalankan oleh perkebunan menempatkan pelaku-pelaku dalam sistem agribisnis berbeda baik di kelompok yang mengeksploitasi maupun yang
43
dieksploitasi berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan ditempatkan berbeda dalam sistem agribisnis. Dalam kelompok manajemen, laki-laki memiliki posisi lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yaitu dalam pengambilan keputusan di tingkat atas, karena hanya laki-laki yang ditempatkan sebagai Direksi, sedangkan perempuan hanya bersifat membantu pekerjaan direksi (staf). Begitupun dalam kelompok manajemen pimpinan tertinggi yaitu administratur sampai hari ini belum pernah dijabat oleh seorang perempuan. Laki-laki dalam sistem agribisnis secara tidak langsung memiliki akses dan kontrol yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan baik dalam penguasaan alatalat produksi maupun pengambilan keputusan, sehingga laki-laki memiliki kontrol terhadap keberadaan pekerja perempuan dalam kelompok manajemen. Kultur masyarakat dalam kelompok manajemen pun menganggap bahwa laki-laki lebih mampu mengambil keputusan dan kebijakan ditingkat atas, selain itu laki-laki dianggap lebih rasional dalam berfikir, dan tingkat pendidikan laki-laki di PTPN VIII lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan dalam pekerjaan berdasarkan jenis kelamin pun dialami oleh perempuan dalam kelompok buruh, sebab di kelompok buruh pembagian kerja atau penetapan pekerjaan dilakukan oleh manajemen di perkebunan berdasarkan jenis kelamin. Buruh laki-laki diberikan pekerjaan yang dianggap hanya laki-laki yang mampu mengerjakan (pekerjaan kasar), pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus (teknik), dan pekerjaan dengan tingkat pendidikan tertentu. Buruh Perempuan diberikan pekerjaan yang dianggap tidak membutuhkan keterampilan khusus dan hanya bersifat membantu salah satunya adalah pemetikan, sehingga perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki. Namun, berbeda dengan perempuan di kelompok buruh, perempuan kelompok manajemen maupun kelompok manajemen
44
perkebunan memiliki kondisi dan kehidupan yang lebih baik karena kondisi ekonomi dan status sosial perempuan kelompok tersebut lebih baik. Sistem kapitalis yang dijalankan PGM sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan teh di pasar dunia diselenggarakan melalui sistem kerja yang masih dipengaruhi oleh sistem kerja kolonial (feodal). Sistem kerja tersebut menempatkan pemetik pada posisi tereksploitasi akibat kebutuhan pasar dunia akan pasokan teh. Bentuk feodalisme yang dilakukan PGM hingga saat ini adalah masih mempekerjakan tenaga manusia secara manual untuk mencukupi pasokan teh, kenaikan jabatan (promosi) yang masih berdasarkan lama bekerja, stuktur hirarki dalam kehidupan sosial maupun pekerjaan tidak jauh berbeda dimana posisi sosial seperti sinder dan mandor hanya ditempati secara turun temurun oleh keturunan dari penjabat sebelumnya. Masih kentalnya kultur feodal di perkebunan diperparah dengan adanya kapitalisme global yang berpotensi meruntuhkan hak-hak buruh dengan menekan nilai upah demi daya saing komoditas akibatnya tidak ada jaminan kelanggengan bekerja bagi pemetik harian lepas.8 Di perkebunan sendiri kultur feodal memberikan dukungan kepada hegemoni penguasa sebab posisi sosial merupakan tradisi turun temurun bagi masyarakat dan diterima dengan apa adanya. Kapitalisme di perkebunan ditunjukkan oleh adanya kebijakan untuk tidak mempekerjakan buruh petik lepas dalam setahun terakhir. Pemetik dalam sistem kapitalisme global melakukan perjanjian kerja dengan perusahaan dimana pemetik mendapatkan upah minimum, fasilitas maupun biaya kesehatan, namun kondisi tersebut tidak berdampak pada berubahnya kehidupan pemetik hingga saat ini, sebab dalam sistem kerja maupun cara perusahaan (perkebunan) menjaga buruhnya tidak banyak berubah hingga saat ini. 8
Dikutip dari artikel Kompas (2 Juli 2010) artikel Fokus : Perbudakan, Bercermin Pada Sejarah kelam hal 33-36.
45
Sistem agribisnis yang dijalankan perkebunan merupakan suatu proses sosial dari hubungan yang terjadi antar kelompok sosial dalam masyarakat perkebunan maupun relasi gender dalam struktur pekerjaan di perkebunan. Dalam hal ini, hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan eksploitatif dari pengusaha terhadap buruh melalui manajemen sebagai perantara kebijakan dari pengusaha. Hubungan eksploitatif tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk ketergantungan perkebunan terhadap keberadaan buruh, karena buruh merupakan unsur utama berjalannya sistem kerja di perkebunan, oleh sebab itu bagaimanapun juga perkebunan memiliki tanggungjawab untuk menjaga buruhnya tetap bekerja di perkebunan. Pembahasan mengenai sistem kerja dan bentuk tanggung jawab perkebunan akan dibahas pada sub bab selanjutnya. 5.1.1
Pentingnya Buruh Dalam Sistem Agribisnis Perkebunan Buruh disebut juga sebagai karyawan pelaksana II di PGM. Buruh merupakan
bagian penting dalam sistem agribisnis, sebab buruh merupakan unsur utama berjalannya sistem produksi di PGM. Hal tersebut berdampak bahwa secara tidak langsung PGM bergantung pada keberadaan buruh. Selain dalam hal mencukupi target produksi, buruh perkebunan juga merupakan faktor produksi yang dapat diminimalkan dalam hal pengeluaran perkebunan untuk menekan pengeluaran perkebunan maupun saat perkebunan mengalami kerugian ketika harga pucuk yang rendah. Dalam hal ini faktor produksi yaitu tenaga kerja (buruh) di perkebunan dapat ditekan nilai upahnya agar dapat meningkatkan daya saing komoditas. Penekanan nilai upah dapat dilakukan dengan tidak melakukan pengangkatan pegawai tetap maupun peniadaan pekerja lepas. Buruh di PGM terdiri atas pekerja harian tetap, pekerja harian lepas (BHL), dan pekerja musiman. Pekerja harian tetap dan BHL terdapat dalam berbagai bidang pekerjaan di PGM terkecuali di bagian kantor induk, sedangkan pekerja musiman hanya terdapat pada bagian pemetikan. Dari seluruh pekerja di perkebunan, sebagian besar
46
pekerja adalah perempuan. Keberadaan pekerja perempuan tidak terlepas dari keterampilan, ketelatenan, dan sikap yang manut9 serta nurut10 yang dimiliki oleh pekerja perempuan, sehingga perkebunan memandang perempuan sebagai aset investasi yang penting bagi perusahaan. Hal tersebut tercermin pada cara perusahaan menjaga buruh dalam pekerjaan di perkebunan dengan diberikannya jaminan kerja berupa jaminan kesehatan maupun fasilitas pekerjaan seperti rumah dinas. Kapitalisme di perkebunan melanggengkan penindasan kepada buruh yaitu serta melanggengkan penindasan kepada perempuan melalui berbagai cara dan alasan yang bertujuan menguntungkan perusahaan. Penindasan pada buruh perempuan banyak dipengaruhi nilai-nilai patriarkat yang dianut masyarakat perkebunan. Salah satunya adalah karena perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi
buruh
murah.
Masuknya
perempuan
sebagai
buruh
dianggap
menguntungkan sistem kapitalisme karena upah buruh perempuan dibayar lebih rendah dibandingkan dengan buruh laki-laki, dan sebagai proses penciptaan buruh cadangan yang tak terbatas. Peran dan keberadaan buruh dalam sistem agribisnis di perkebunan bergantung pada manajemen PGM. Di lingkup PGM, manajemen memiliki pengaruh khususnya dalam menentukan kebijakan mempekerjakan buruh, sehingga terbentuklah sebuah hubungan kerja antara manajemen, karyawan pengawas (mandor), dan buruh di perkebunan. Hubungan kerja yang terjadi di perkebunan mencakup hubungan antara pemetik dengan manajemen, hubungan pemetik dengan mandor dan hubungan pemetik dengan pemetik lain. Hubungan kerja yang terjadi di perkebunan merupakan hubungan saling ketergantungan antara perkebunan dengan buruh maupun sebaliknya. Ketergantungan 9
Manut merupakan istilah dalam Bahasa Jawa yang berarti menaati perintah orang lain. Nurut merupakan istilah dalam Bahasa Jawa yang berarti menurut (tidak berani menetang aturan).
10
47
perkebunan dengan buruh hanyalah sebatas hubungan kerja dimana buruh merupakan faktor produksi yang sangat berpengaruh baik terhadap jalannya produksi maupun terhadap kelangsungan perusahaan yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Ketergantungan buruh terhadap perkebunan lebih rumit dan mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan buruh itu sendiri. 5.1.2
Pemetik Teh dalam Hubungan Kerja di Perkebunan Gunung Mas Hubungan kerja PGM merupakan bentuk hubungan yang tercipta dari struktur
pekerjaan di perkebunan. Dalam struktur perkebunan, administratur merupakan tingkatan paling tinggi dan karyawan pelaksana II (buruh pemetik) berada pada tingkatan paling rendah. Dalam pekerjaan di perkebunan terdapat hubungan kerja antara pemetik dengan pelaku kerja lain di perkebunan seperti staf manajemen, mandor maupun pemetik lain. Sistem kerja di perkebunan saat ini tidak jauh berbeda dengan pada awal didirikan, meskipun saat ini sistem kerja sudah menggunakan istilah-istilah baru dalam jenis-jenis pekerjaannya. Perkebunan saat ini tidak lagi mengenal istilah ‘buruhmajikan’, namun menjadi ‘karyawan/pekerja-pemegang saham atau direksi’. Perubahan istilah tersebut tidak berarti banyak pada perubahan pola atau sistem pekerjaan dan hubungan antara pihak manajemen, pihak pekerja, dan pihak direksi dengan pekerjanya. Sistem kerja PGM hingga saat ini masih sangat dipengaruhi sistem kerja kolonial melalui aturan-aturan kerja dan pembedaan berdasarkan status kerja yang menempatkan buruh dalam posisi terendah di perkebunan. Posisi pemetik dalam stuktur pekerjaan di perkebunan bukanlah bagian dari struktur pekerjaan, hal tersebut karena dalam pekerjaanya sebagai pemetik dibedakan dalam sistem pengupahan. Dalam struktur pekerjaan di perkebunan, pemetik hanyalah pekerja yang dipekerjakan untuk menghasilkan suatu produk dalam hal ini pemetik
48
tidak memiliki kepastian dalam jaminan untuk tetap dapat bekerja di perkebunan. Hubungan kerja yang dilakukan oleh buruh pun hanya sebatas pada hubungannya dengan mandor dan pemetik lain dalam pekerjaan di perkebunan. Posisi pemetik dalam stuktur pekerjaan tersebut pun diperkuat dengan tidak dianggapnya pemetik dalam serikat pekerja di perkebunan. Serikat pekerja perkebunan tidak terlalu populer di kalangan mandor kebun maupun pemetik teh karena mereka tidak mengetahui bahwa setiap perkebunan memiliki serikat pekerja. Serikat Pekerja di PGM merupakan bentukan dari manajemen perkebunan dimana penyampaian aspirasi dilakukan melalui perwakilan dalam hal ini mandor ataupun mandor besar. Mandor memfasilitasi keluhan para pekerja kelas bawah (pemetik), namun mandor juga berperan sebagai penyalur kebijakan manajemen terhadap pemetik. Akibatnya keberadaan mandor dalam serikat pekerja tidak memberikan dampak yang signifikan pada keadilan pemetik sebab seringkali kebijkan yang diambil oleh mandor sebagai perwakilan memiliki bias kepentingan dari perusahaan itu sendiri. Serikat Pekerja Perkebunan (SPBUN) juga bertanggungjawab terhadap keberadaan anak pekerja perkebunan melalui Serikat Putra-Putri Pekerja Perkebunan (SP3BUN). Fungsi dari SP3BUN memfasilitasi anak-anak pekerja perkebunan agar dapat memiliki keterampilan lain (soft skill). Namun tidak semua anak dari pemetik di perkebunan mendapatkan kesempatan yang sama. Sebagian besar anak-anak yang aktif dalam setiap kesempatan adalah anak dari staf atau anak dari mandor besar. Keikutsertaan anak hanya dari orang-orang tertentu di perkebunan disebabkan oleh adanya gap yang terjadi diantara anak staf dengan anak pemetik. Akses dan kontrol pekerja perkebunan (pemetik) terhadap keberadaan serikat pekerja yang berfungsi untuk menyalurkan aspirasi mereka hanyalah terbatas pada pekerja dengan jabatan tertentu saja. Pekerja seperti mandor besar maupun sinder
49
memiliki akses yang lebih besar dibandingkan dengan akses terbatas yang dimiliki pemetik untuk dapat menyalurkan asprasi langsung kepada lembaga tersebut. Pada dasarnya, anggota dari serikat pekerja perkebunan adalah seluruh karyawan perkebunan yang bersatatus tetap, namun aspirasi hanya dapat disalurkan oleh perwakilan dari setiap bagian pekerjaan di perkebunan. Hal tersebut disebabkan karena SPBUN seluruhnya dikontrol oleh direksi dari PTPN VIII melalui manajemen di PGM, sehingga anggota SPBUN hanya memiliki akses yang terbatas hanya dalam keanggotaan dan tidak memiliki kontrol dalam menyampaikan pendapat maupun aspirasinya. Dilihat berdasarkan relasi gender dalam hubungan kerja, perkebunan tidak hanya membedakan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, namun dalam serikat pekerja pun laki-laki dan perempuan dibedakan haknya untuk mengeluarkan pendapat. Dalam serikat pekerja secara tersirat terlihat bahwa hanya laki-laki yang diwakili oleh mandor dapat mengeluarkan pendapat, sedangkan pemetik misalnya yang didominasi oleh perempuan tidak memiliki hak. Bahkan berdasarkan wawancara dengan beberapa orang tentang serikat pekerja didapat perbedaan pernyataan. Pernyataan salah satu pemetik (Ibu Mn, 27 tahun) terlihat bahwa pemetik tidak mengetahui dengan baik fungsi dan manfaat dari serikat pekerja tersebut. Narasumber Ibu Mn (27 tahun) bercerita bahwa “Semua pekerja tetap mah ikut serikat pekerja, cuma kalo lepas mah enggak. Setahu saya serikat pekerja adanya di Bandung dan yang ikut kumpul-kumpul sih direksi ajah kali di Bandung. Kalo disini mah ya cuma jadi anggota saja, dan ga pernah kumpul-kumpul. Kalo fungsi serikat pekerja mah saya tidak tahu” Sedangkan Pemetik lain (Ibu Yh, 48 tahun) dan Mandor Kebun (Bapak Aj, 37 tahun) menyatakan bahwa Narasumber Pemetik Ibu Yh (48 tahun), “kalo disini mah saya ga tahu ada serikat kerja atau enggak, karena memang ga pernah diberi tahu, tapi kayaknya sih ada di Bandung”
50
Narasumber Mandor Kebun Bapak Aj (37 tahun), “Serikat Pekerja mah ada disini namanya SPBUN atau Serikat Pekerja Perkebunan cuma kalo di Gunung Mas mah ga ada cuma ada di Bandung di tempat Direksi” Namun, pernyataan terkait serikat pekerja tersebut didapatkan berbeda berdasarkan pernyataan dari Staf Adminstrasi (Bapak Uj, 48 tahun) Narasumber Staf Administrasi, Bapak Uj (48 tahun), “Setiap Kebun punya Serikat Pekerjanya sendiri-sendiri, dan ada perwakilannya di setiap kebun seperti disini SPBUN Gunung Mas, nanti diatas ada SPBUN Gedeh. Ketua SPBUN di Gunung Mas itu Pa Asep Y.B sekarang sinder di Afdeling Gunung Mas II di puncak. Setiap pekerja tetap di perkebunan merupakan anggota dari SPBUN.” Serikat Pekerja PGM diperuntukan terbatas pada kalangan dan status tertentu, yang menunjukkan bahwa terjadi perbedaan berdasarkan status yang sengaja dibuat agar buruh tidak memiliki fasilitas yang membantu mereka menyalurkan aspirasi dalam hal ini buruh dibatasi kesempatannya untuk dapat keluar dari kondisinya saat ini. 5.1.3 Hubungan Pemetik dengan Mandor dalam Pekerjaan di Perkebunan Mandor dan pemetik memiliki hubungan yang lebih intens (dekat) dibandingkan dengan manajemen dalam pekerjaan di perkebunan. Hal tersebut disebabkan mandor selalu mengawasi pemetik saat bekerja, melakukan interaksi setiap harinya sehingga hubungan antara pemetik dengan mandor lebih dekat. Mandor juga berfungsi sebagai sumber informasi bagi pemetik baik informasi seputar perkebunan maupun informasi di luar itu. Struktur pekerjaan di perkebunan menempatkan pemetik berada tepat dibawah mandor pengawas, dimana pemetik memiliki kewajiban untuk memenuhi target petikan setiap bulannya yang akan dikontrol oleh setiap mandornya. Hubungan kerja antara pemetik teh dan mandor mencakup interaksi yang terjalin antara pemetik dengan mandor. Hal ini mencakup pemetik teh terhadap semua mandor dalam satu emplasement, perbincangan dengan mereka, keramahan mandor, kecocokan kepemimpinan, kebebasan berpendapat tentang pekerjaan dan penentuan kecepatan
51
kerja, pemberian pengetahuan teknik pemetikan yang lebih cepat, persetujuan atas perintah mandor, dan teguran mandor kepada mereka. Mandor di PGM terdiri atas mandor laki-laki dan mandor perempuan. Sebagian besar mandor adalah laki-laki sedangkan mandor perempuan hanyalah satu orang yang ditempatkan di bagian perawatan. Banyaknya mandor laki-laki dalam setiap pekerjaan di perkebunan karena laki-laki dianggap lebih mampu mengontrol pekerja dan dapat membantu pekerja saat mengalami kesulitan berbeda dengan perempuan yang dianggap tidak mampu melakukan pekerjaan berat. Dalam pemetikan sendiri, mandor berperan dalam mengawasi pemetik saat bekerja, membantu pemetik saat mengalami kecelakaan, dan membantu pemetik saat melakukan perpindahan tempat petikan. Mandor di bagian pemetikan memiliki peran yang besar dalam hubungannya dengan pemetik. Mandor merupakan sumber informasi utama pemetik setiap harinya, sebab pemetik menghabiskan lebih dari tujuh jam berada di tempat pemetikan dan berinteraksi dengan mandor maupun sesama pemetik. Informasi yang umumnya diberikan oleh mandor terkait dengan kondisi perkebunan, informasi perekrutan pekerja, maupun informasi sumber pendapatan lain. Selain itu mandor berperan dalam menentukan upah pekerja setiap bulannya, kenaikan status pekerja, kenaikan strip11 (golongan) bagi pekerja setiap tahunnya, dan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mandor memiliki akses dan kontrol yang penuh terhadap kehidupan pemetik di perkebunan, sebab mandor memiliki kuasa untuk mengatur dan memberi perintah. Walaupun mandor hanya merupakan kepanjangan tangan dari manajemen, mandor memiliki pengaruh yang besar ditingkat pemetik untuk menjamin kehidupan pemetik. 11
Strip merupakan keterangan golongan yang dimiliki oleh pekerja. Strip umumnya diberikan atasan kepada bawahan dalam hal ini adalah mandor kepada pemetik. Strip diukur berdasarkan prestasi pemetik setiap harinya.
52
Akibatnya ditingkat pemetik terbentuk kondisi ketergantungan pemetik terhadap keberadaan mandor. Keberadaan pemetik sebagai pekerja dengan status lepas di perkebunan mengharuskan mereka bekerja lebih giat dibandingkan dengan pemetik tetap agar dapat dinilai baik oleh mandor dan direkomendasikan untuk diangkat tetap. Begitu pun halnya dengan pemetik tetap yang juga tetap harus bekerja giat agar dapat dinilai baik dan dinaikan strip maupun diberikan bonus. Penilaian terhadap kinerja pemetik dilakukan berdasarkan tiga hal antara lain kedisiplinan, keterampilan, dan kerajinan. Kedisiplinan dalam bekerja diukur berdasarkan kehadiran kerja setiap harinya. Keterampilan diukur berdasarkan kemahiran atau kemampuan melakukan pemetikan, dan kerajinan diukur berdasarkan banyaknya jumlah petikan yang diperoleh pemetik. Penilaian kinerja tersebut dilakukan oleh mandor dan mandor besar kepada pemetik agar dapat diangkat tetap, dinaikan golongan maupun diberikan bonus oleh PGM. Pengangkatan tetap maupun kenaikan golongan berdampak baik bagi kehidupan pemetik, sehingga pemetik berusaha untuk dapat meraih kesempatan tersebut. Namun, penilaian kinerja bukanlah faktor utama untuk mendapatkan kesempatan tersebut. Secara tertulis kinerja seorang pemetik memang menjadi syarat utama untuk dapat diberikan kesempatan, namun di lapangan kinerja seorang pemetik bukanlah faktor utama melainkan faktor pendukung untuk diberi kesempatan. Faktor utama untuk diberikan kesempatan adalah kedekatan dengan atasan. Kedekatan dengan atasan di Perkebunan Gunung Mas dapat terjadi dalam beberapa bentuk, antara lain hubungan kekeluargaan, hubungan kekerabatan, maupun hubungan ketergantungan. Hubungan kekeluargaan umumnya masih memiliki kerabat dengan pejabat perkebunan. Hubungan kekerabatan umumnya memiliki kedekatan dengan
53
pejabat perkebunan. Pernyataan tersebut disampaikan narasumber yaitu seorang Ibu Mn (27 tahun) menyatakan bahwa “…kalo dari mandor mah masih ada gitu kerjanya, bantunya, apalagi kalo udah kenilai pinter gitu, kan yang dikejar target, tapi kalo mandor mah beda beda ngenilainya, kalo Pa W mah yang dimasukin (diangkat tetap) dinilai dari kedekatan gitu, suka deket sama mandor gitu apa akrab, kalo banyak mah keakraban yang dimasukin tetap, makanya kalo itu mah harus akrab ga boleh cuek apalagi Pa Y mah, kalo yang mau ngelayanin dia bisa dimasukin tetap, saya mah kalo ga punya suami ya mau, cuma inget aja sama suami…” Berdasarkan pernyataan informan tersebut, terlihat bahwa terjadi relasi gender yang tidak adil antara mandor dengan pemetik di perkebunan. Dalam hal ini pemetik yang sebagian besar adalah perempuan mengalami kekerasan oleh mandor dalam bentuk seksual (pelayan seks) kepada mandor seperti yang telah dijelaskan oleh informan, namun harus dilakukan penelitian lebih lanjut terkait hal tersebut. Pemetik bergantung kepada mandor sehingga kondisi tersebut dimanfaatkan sebagai upaya kekerasan terselubung yang dilakukan mandor kepada pemetik. Kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual tersebut merupakan rahasia umum dalam lingkungan sosial masyarakat perkebunan sebab hal tersebut sudah menjadi kultur masyarakat perkebunan secara tidak langsung. Kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual mandor terhadap pemetik dilandasi dengan harapan dari pemetik bahwa mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik dalam pekerjaan seperti pengangkatan tetap, kenaikan golongan, dan pemberian bonus. Kondisi tersebut memang menjadi nyata di perkebunan, sebab pemetik yang memiliki kedekatan khusus dengan mandor memiliki kehidupan yang lebih baik, salah satunya berstatus tetap. Hal tersebut memang disebabkan dalam pengangkatan, mandor memiliki andil yang besar untuk dapat mempromosikan pemetik.
54
Hubungan kerja yang terjadi antara mandor dengan pemetik adalah berupa eksploitasi pekerjaan yaitu pemetik dipekerjakan untuk memenuhi target pasar dengan bayaran yang murah dan status pekerjaan lepas yang sewaktu-waktu dapat diberhentikan. Hubungan kerja antara hanya mandor dengan pemetik memunculkan bentuk kekerasan dalam bentuk kedekatan bahkan pelecehan seksual. Seorang Pemetik, Ibu Mn berusia 27 tahun mengatakan bahwa “Kedekatan dengan mandor dapat berupa interaksi (sering mengobrol) dengan mandor dan nurut dengan perintahnya. ada juga mandor yang memberikan promosi jika pemetik yang mau melayani dia secara seksual. Beberapa pemetik disini memang ada yang mau dan langsung diangkat tetap, cuma itu mah bagaimana pribadi masing-masing” Hal tersebut terjadi karena struktur yang membuat pemetik berada dalam posisi bergantung pada keberadaan mandor dan kondisi ekonomi yang menjepit mereka. Pada akhirnya merekalah yang harus memilih untuk melakukan atau tidak sebab pada dasarnya tidak ada keterpaksaan dari mandor, namun kesediaan pemetik untuk melakukan dan menuruti keinginan mandor akan memberikan peluang dan kesempatan yang lebih baik bagi pemetik. Promosi maupun kesempatan untuk memperoleh penghasilan tambahan dibuat seperti alat untuk melakukan eksploitasi pada pekerja. Relasi gender dalam pemetikan antara laki-laki dan perempuan cenderung berbeda dibandingkan dengan bagian lain. Perempuan mendominasi pekerjaan sebagai pemetik di PGM. Perempuan memiliki hubungan yang lebih baik dengan mandor dan status kerja lebih baik, sedangkan laki-laki hanya umumnya bekerja sebagai pemetik untuk membantu istrinya. Hubungan kerja yang terjalin antara pemetik laki-laki dan pemetik perempuan dengan mandor pun berbeda. Pemetik perempuan memiliki intensitas kedekatan dengan mandor yaitu sering mengobrol, bercanda, mencari informasi dari mandor, sedangkan pemetik laki-laki umumnya hanya berfokus pada pekerjaan dan tidak cukup sering berinteraksi dengan mandor. Hubungan tersebut memberikan pandangan yang berbeda
55
dari pemetik laki-laki dan pemetik perempuan dalam hubungannya dengan mandor. Pernyataan tersebut antara lain sebagai berikut : Narasumber pemetik, Ibu Mn (27 tahun) menyatakan bahwa, “kalo disuruh milih di kebun mending mandor laki-laki atau perempuan saya mah lebih milih mandor laki-laki. Kalo mandor perempuan mah lebih tegas dan ga pilih-pilih. Kalo emang kerjanya dinilai bagus ya nanti bisa dinaikin tetap. Sebenarnya sih enak kayak gitu jadi dinaikin tetepnya bukan karena deket sama mandor tapi karena prestasi metik, tapi tetep ajah saya mah enakan kalo mandornya laki-laki jadi enak gitu suasananya ga kaku.” Narasumber pemetik, Bapak Ad (55 tahun) menyatakan tanggapan terhadap mandor bahwa “kalo saya mah sama aja mandor laki-laki atau perempuan, cuma kalo di kebun mendingan mandor laki-laki karena di kebun kan panas dan cape.” Berdasarkan kedua pernyataan tersebut, terlihat bahwa relasi gender yang terjalin antara pemetik laki-laki dan pemetik perempuan dengan mandor berbeda. Pemetik perempuan umumnya mengutamakan kenyamanan jika dimandori oleh laki-laki, dalam hal ini pengaruh kultur sangat kuat dimana perempuan akan lebih nyaman dengan lakilaki karena laki-laki dianggap lebih tinggi (superordinat) dibandingkan dengan perempuan yang dianggap sebagai saingan. Pemetik laki-laki umumnya tidak mempermasalahkan jika dimandori oleh laki-laki maupun perempuan, namun laki-laki dianggap lebih mampu dibandingkan dengan perempuan dimana kultur setempat berpengaruh besar dalam pemikiran tersebut. Pemetik laki-laki dan perempuan memiliki hubungan kerja yang berbeda dengan mandor. Pemetik perempuan memiliki hubungan kerja lebih baik dibandingkan dengan laki-laki. Namun hubungan kerja tersebut berdampak pada munculnya eksploitasi terhadap pemetik perempuan karena pemetik perempuan lebih bergantung pada keberadaan mandor dibandingkan dengan pemetik laki-laki. Hubungan kerja tidak hanya terjadi antara mandor dengan pemetik tetapi juga terjadi antar sesama pemetik yang akan dibahas selanjutnya.
56
5.1.4
Hubungan Pemetik dengan Pemetik Lain Hubungan kerja antar pemetik teh meliputi hal-hal tentang teman sekelompok
kerja, perbincangan mereka, tolong-menolong diantara mereka, pemberitahuan cara memetik teh lebih cepat, kesediaan dititipi atau menitipkan hasil kerja saat penimbangan teh, dan konflik maupun akomodasi dengan teman sekerja. Hubungan kerja antar pemetik salah satunya tentang teman sekelompok kerja dapat terlihat jelas pada saat berangkat kerja maupun saat sarapan dan makan siang di kebun (lampiran Gambar 7). Pemetik di perkebunan terbagi dalam kelompok kelompok. Teman sekelompok pemetik umumnya merupakan pemetik yang berada dalam mandor yang sama dan tinggal di emplasement yang sama. Pemetik yang tinggal di emplasement berbeda umumnya tidak berkelompok dalam kelompok yang sama. Pemetik dalam satu kelompok umumnya memiliki lingkungan sosial yang sama, mereka memiliki bahan perbincangan yang sama dalam satu kelompok dan berbeda dengan kelompok pemetik lain di perkebunan. Pembentukan kelompok dalam pemetikan hanya dilakukan oleh pekerja perempuan sedangkan pekerja laki-laki tidak memiliki teman sekelompok tetapi berbaur dengan semua pemetik yang berada di bawah mandor yang sama. Hal tersebut karena perempuan memiliki kecenderungan percaya diri jika berada dalam suatu kelompok karena hanya dalam kelompoknya perempuan dapat berbagi cerita dan mencurahkan keluh kesahnya tentang pekerjaan maupun kehidupannya. Kelompok pemetik dalam satu mandor yang sama cenderung unik sebab antar pemetik di perkebunan memiliki nilai toleransi dan tolong-menolong yang tinggi antara lain kesediaan dititipi atau menitipkan hasil pekerjaan saat penimbangan teh. Selain itu antar pemetik saling membantu jika terjadi kesulitan di antara pemetik. Namun, tidak
57
semua pemetik melakukan tolong menolong dengan pemetik lain dalam satu kelompok di bawah mandor yang sama, seperti yang dinyatakan oleh pemetik, Ibu Yh (48 tahun). Narasumber pemetik Ibu Yh (48 tahun) menyatakan bahwa “Ibu mah biasanya nitip sama pemetik lain kalo males nungguin pas nimbang kedua. Kalo ibu mah percaya ajah soalnya udah kenal lama, udah kayak sodara sendiri. Lagian kan nitip nimbang kayak gitu mah udah bertahun tahun ibu lakuin” Pemetik melakukan tolong menolong dengan sesama pemetik jika terdapat hubungan kekerabatan yang erat seperti saudara kandung, ibu dan anak, maupun kerabat yang sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga. Hal tersebut disebabkan hubungan kekerabatan yang erat memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, serta dalam kehidupan sehari-hari pun saling membantu sehingga tidak ada persaingan satu sama lain. Kondisi pasar dunia dalam sistem agribisnis beberapa tahun terakhir dimana harga teh dipasaran dunia rendah dan kondisi perkebunan yang tidak lagi menghasilkan banyak pucuk berdampak pada dikeluarkannya kebijakan tidak lagi mempekerjakan pekerja lepas di PGM akibatnya pekerja lepas tidak lagi bekerja sebagai pemetik. Namun, hal tersebut dapat diatasi dengan adanya sifat tolong menolong diantara pemetik. Pemetik lepas masih dapat bekerja sebagai pemetik dengan melakukan nempel12 pada pemetik lain yang bersatus tetap. PGM tidak memberikan syarat pada pemetik lepas dalam melakukan nempel, syarat utamanya hanyalah terdapat pemetik tetap yang bersedia untuk ditempeli dan perizinan dari mandor, namun umumnya mandor memberi izin sebab nempel bukanlah perekrutan pekerja baru. Pekerja dengan sistem kerja nempel dianggap sama seperti pekerja tambahan yang dilakukan oleh anggota keluarga pemetik yang menjadikannya berbeda adalah nempel membedakan pendapatannya 12
Nempel adalah istilah dalam pemetikan, dimana pemetik tidak berstatus lepas ataupun tetap, tidak memiliki kewajiban dan hak terhadap perusahaan, upah berdasarkan jumlah borongan yang dihitung atas nama pemetik lain yang ditempeli. Umumnya pemetik melakukan nempel pada anggota keluarganya.
58
dengan yang ditempeli (pendapatan rumahtangga berbeda) sedangkan bantuan pekerjaan dalam keluarga menggabungkan pendapatanya (satu rumahtangga). “Sebenernya udah setahun belakangan ini, saya bekerja dengan cara nempel pada kakak saya yang berstatus lepas. Bingung juga mau gimana soalnya dari perkebunan ga ada kabar, untungnya masih boleh nempel. Sebenernya kalo ga punya sodara mah susah buat kerja di perkebunan, kayak nempel gini ajah, kan kalo orang lain yang bukan sodara mah takut, takut kesaing sama yang nempelnya, kalo sodara mah beda atuh biasa juga suka minta tolong sehari-harinya” (Penempel, Ibu Mn, 27 tahun) Akibatnya sebagian besar penempel adalah pemetik yang memiliki keluarga yang juga bekerja sebagai pemetik (pemetik merupakan pekerjaan turun temurun) dan penempel memiliki hubungan kerabat yang erat dengan pemetik tetap (dianggap keluarga). Berdasarkan pernyataan tersebut terlihat bahwa dalam pekerjaan di perkebunan tidak hanya terjadi hubungan tolong-menolong namun terjadi persaingan antar pemetik yang dalam beberapa kasus memicu terjadi konflik. Persaingan antar pemetik umumnya terjadi disebabkan persaingan mendapatkan upah (penghasilan) hasil petikan dan persaingan untuk meraih simpati mandor yang bertujuan untuk mendapatkan pengahasilan yang lebih baik. Konflik yang terjadi antar pemetik umumnya disebabkan oleh persoalan dalam lingkungan sosial masyarakat (persoalan pribadi). Persaingan merupakan salah satu faktor yang membatasi pemetik lepas untuk dapat nempel pada pemetik tetap akibatnya jumlah pemetik nempel tidak sebanyak pemetik lepas karena tidak banyak pemetik tetap yang bersedia untuk ditempeli. Pemetik tetap umumnya merasa keberatan untuk ditempeli sebab mereka akan merasa tersaingi oleh penempel karena seringkali penempel mendapatkan jumlah petikan lebih banyak daripada yang ditempeli. Hal tersebut karena penempel umumnya lebih muda dan berusaha lebih giat, seperti yang dinyatakan oleh penempel, Ibu Mn 27 tahun “…Wajar jika penempel lebih giat untuk mendapatkan pucuk lebih banyak dibandingkan dengan pemetik tetap sebab hanya itu sumber penghasilannya, semakin banyak mereka mendapatkan pucuk maka semakin besar penghasilan mereka… (Ibu Mn, 27 Tahun)”
59
Hubungan kerja antar pemetik diperkebunan memiliki toleransi yang cukup tinggi untuk saling membantu. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa pada kondisi sulit di perkebunan, di saat pemberhentian pemetik dari pekerjaannya, bukan perusahaan, manajemen perkebunan maupun mandor yang membantu pemetik keluar dari permasalahannya melainkan sesama pemetik dengan kondisi kehidupan yang tidak jauh berbeda. Dari hubungan antar pemetik maka akan dibahas lebih lanjut relasi pemetik dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas. 5.2
Relasi Gender Dalam Sistem Kerja Pembahasan sebelumnya menjelaskan bahwa sistem agribisnis memberikan
pengaruh pada sistem kerja di perkebunan antara lain dalam penerimaan pegawai, mobilitas pekerja, dan pembagian kerja di perkebunan. Kondisi pasar dunia yang tidak stabil memberikan dampak pada perkebunan dalam memberikan kebijakan pada sistem kerja di perkebunan. Kebijakan tersebut umumnya bertujuan agar perusahaan tidak mengalami kerugian saat harga teh menurun, tetapi kebijakan memberikan dampak bagi keberadaan pekerja dalam hal ini pemetik di PGM. Perkebunan Gunung Mas tidak memiliki waktu tertentu untuk mengangkat pekerja lepas atau memasukan pekerja baru (penerimaan) di perkebunan. Perekrutan pekerja PGM dipengaruhi oleh kebutuhan perkebunan terhadap pekerja tersebut. Penerimaan pekerja umumnya tidak dilakukan secara legal oleh PGM melalui lowongan pekerja, melainkan melalui faktor koneksi dan hubungan kekerabatan dengan staf manajemen maupun mandor. Salah satunya dalam penerimaan pemetik baru di PGM umumnya hanya meminta izin mandor besar untuk dapat bekerja sebagai BHL sedangkan untuk diangkat tetap menunggu ketetapan direksi. Dalam hal pengangkatan tenaga kerja, peran mandor sangatlah penting sebab mandor dapat memberikan informasi maupun mempromosikan pekerjanya.
60
Narasumber pemetik, Ibu Mn (27 tahun) menyatakan “…kalo disini mah pengangkatan tetapnya biasanya setiap tahun ada, kalo kita mah tinggal nunggu aja informasinya dari mandor, tapi udah setaun belakangan ga ada pengangkatan tetap malah ga boleh kerja lagi yang lepas. Katanya sih karena uangnya ga ada buat bayar yang kerja…” Rekruitmen pekerja PGM dipengaruhi oleh anggaran atau biaya perkebunan serta kuantitas pucuk untuk penerimaan atau pemutusan hubungan kerja (dirumahkan) bagi pemetik. Pengangkatan pemetik menjadi tetap dalam lima tahun terakhir dipersulit oleh persyaratan berupa surat keterangan dan tes seperti tulis serta kesehatan. Pengangkatan tetap pemetik di PGM ditandai dengan pemberian surat keterangan pengangkatan tetap yang didalamnya tertulis nama, golongan, dan gaji pokok yang diberikan pihak perkebunan serta hak dan kewajiban pekerja selama bekerja di perkebunan. Namun sudah setahun belakangan ini, PGM tidak lagi mempekerjakan pekerja lepas maupun mengangkat karyawan tetap, sebab menurut keterangan narasumber PGM sedang mengalami kelebihan pekerja sehingga tidak akan melakukan pengangkatan dalam waktu dekat. Penerimaan pekerja di PGM banyak dipengaruhi oleh faktor koneksi dalam hal ini hubungan kekerabatan maupun kedekatan dengan pemegang kekuasaan saat itu. Akibatnya, terjadi pemisahan pekerjaan berdasarkan hubungan kekerabatan dimana pekerjaan dengan status dan upah yang baik seperti staf administratur maupun pekerja pabrik hanya dapat diisi oleh kerabat dari pekerja sebelumnya. Hal tersebut berlangsung turun temurun hingga saat ini, sehingga salah satu informan (pemetik, Ibu Mn, 27 tahun) menyatakan bahwa : “…kalo kerja di Gunung Mas mah keluarga famili (turun temurun) yang masuk, disini mah (Rawadulang) ga ada yang masuk, kalo ibunya, bapaknya, kerja disana anaknya masuk (dapat bekerja), kita mah kayak disini sini sekolah juga ga bakalan masuk, disini ada yang sampe SMA tapi daftar ga masuk, banyak disini juga SMA, tapi ga ada yang masuk, udah abis katanya mah, ya gimana bapakna pengsiun anaknya masuk, ayah kantor anak juga kantor…”
61
Sistem penerimaan di PGM terdapat ketidakadilan pada calon pekerja dengan latar belakang keluarga yang tidak memiliki kekuasaan hal tersebut diperkuat dari pernyataan diatas. Selain memunculkan diskriminasi antara satu kelompok dengan kelompok lain dimana hanya kelompok staf di perkebunan dalam hal ini pejabat PGM yang
secara turun temurun dapat menempati pekerjaan tertentu di PGM, kondisi
tersebut juga memunculkan ketergantungan pemetik (tidak memiliki kekuasaan) terhadap pejabat perkebunan (mandor) untuk dapat mengangkat keluarganya dengan bekerja pada pekerjaan lain di PGM. Laki-laki dalam perekrutan pekerja di perkebunan lebih diutamakan untuk diangkat sebagai pekerja khususnya pekerja laki-laki dengan status tetap, dibandingkan dengan perempuan. Laki-laki umumnya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi ditambah dengan kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan. Dalam hal ini perempuan merupakan aset pekerja tetap yang sewaktu waktu dapat dipekerjakan kembali oleh perkebunan seperti pernyataan dari mantan pemetik Ibu Rn (30 tahun) “…kalo sekarang mah saya ga kerja, dulu mah kerja jadi pemetik terus kan diberhentiin setahun lalu karena ga ada uang katanya, sekarang mah jadi ibu rumahtangga ajah sambil nunggu dipanggil sama perkebunan…” Terlihat jelas bahwa perempuan dalam sistem kerja di perkebunan bergantung pada kebijakan perkebunan. Dalam hal ini, perempuan tidak berusaha untuk mencari alternatif pekerjaan lain melainkan hanya menunggu panggilan kerja kembali dari perkebunan. Akibatnya dalam pemetikan umumnya mobilitas (keluar-masuk) pekerja lebih tinggi sebab cukup banyak aset tenaga kerja yang dimiliki oleh perkebunan. Mobilitas pekerja tetap di Perkebunan Gunung Mas (PGM) secara umum stabil. Pendaftaran karyawan baru tidak terlalu sering dilakukan hanya berdasarkan kebutuhan pekerja. Pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dilakukan saat pensiun yaitu saat usia pekerja mencapai 55 tahun kecuali pekerja tersebut mengundurkan diri. Dalam hal ini,
62
PGM memiliki berbagai cara untuk menekan laju mobilitas pekerja tetap. Salah satu caranya adalah dengan melakukan mutasi dan rotasi pekerja tetap. Untuk menekan pembukaan lowongan pekerjaan baru, yang membutuhkan biaya yang besar, umumnya PGM melakukan rotasi pekerja. Rotasi pekerja adalah perputaran pekerja dari satu bagian ke bagian lain. Tujuan dari rotasi ini adalah untuk menutupi kekurangan pekerja dengan menggunakan pekerja dari bagian yang memiliki kelebihan pekerja. Rotasi tersebut selain menutupi kekurangan pekerja juga bertujuan untuk menaikan jabatan bagi karyawan pelaksana I (pengawas dan mandor), sedangkan mutasi umumnya diberikan kepada pekerja yang melakukan kesalahan sebagai bentuk peringatan berupa mutasi, jika mandor maka akan menjadi buruh, sedangkan buruh sendiri hanya akan mendapat teguran. Di bagian pemetikan mobilitas pekerja umumnya cukup tinggi khususnya pada pekerja dengan status lepas (BHL) baik pekerja harian lepas maupun musiman, berbeda dengan mobilitas pekerja pada bagian lain di PGM. Dalam hal ini, BHL memiliki mobilitas yang sangat tinggi sebab tidak terikat kontrak dengan perkebunan dan akan dipanggil bekerja jika pucuk sedang banyak. Akibatnya keluar masuknya BHL cukup tinggi di bagian pemetikan perkebunan, selain itu kebijakan setahun terakhir untuk tidak lagi mempekerjakan BHL akibat rendahnya harga teh dan menurunnya jumlah teh di kebun berdampak pada tingginya mobilitas keluar pekerja di PGM. Tingginya mobilitas pekerja di bagian pemetikan disebabkan oleh pemabagian kerja berdasarkan jenis kelamin oleh pihak perkebunan. Perkebunan mengangap bahwa dibagian pemetikannya unsur utama berjalannya produksi di perkebunan sehingga menetapkan perempuan yang dianggap aset pada pekerjaan tersebut. Pembagian kerja di perkebunan umumnya menempatkan laki-laki dan perempuan pada pekerjaan yang berbeda di perkebunan. Perkebunan membedakan antara pekerjaan untuk laki-laki dan
63
pekerjaan untuk perempuan berdasarkan kemampuan dan keterampilan. Dalam hal ini, pekerjaan yang diperuntukan untuk laki-laki adalah pekerjaan yang dianggap tidak dapat dikerjakan oleh perempuan seperti mengangkat beban berat, sedangkan pekerjaan yang dikerjakan oleh perempuan adalah pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan dan cenderung merupakan pekerjaan tambahan serta tidak penting dalam struktur pekerjaan di perkebunan. Secara umum kriteria tersebut memberikan pengecualian kepada pemetik sebab pemetikan merupakan pekerjaan penting di perkebunan, namun keberadaan perempuan sebagai pemetik pada akhirnya membuat pekerjaan ini seakan hanya pekerjaan tambahan di perkebunan. Keberadaan perempuan sebagai pemetik juga merupakan cara PGM untuk menjaga buruhnya agar tidak menentang kebijakan yang diterapkan PGM. Pemetik dahulu sebagian besar adalah laki-laki dan menggunakan alat pemotong untuk mengambil pucuk yang menghasilkan pucuk dalam jumlah banyak. Kenaikan harga teh dipasar dunia tidak dengan serta merta akan berdampak pada kenaikan harga pucuk di PGM. Dahulu, pemetikan di PGM sebagian besar dilakukan oleh laki-laki dengan menggunakan alat (mesin). Pemetikan dengan menggunakan cara tersebut menghasilkan pucuk dengan kuantitas tinggi saat itu, namun harga pucuk yang diberikan perkebunan rendah. Hal tersebut berdampak pada kemarahan pemetik saat itu seperti pernyataan yang diberikan oleh (pemetik Ibu Yh, 48 tahun) bahwa : “…dulu mah sebenernya yang kerja banyaknya laki-laki, kan pake alat gitu, ibu juga dulu waktu masuk masih banyaknya laki-laki yang kerja, cuma waktu dulu mah sering ada demo-demo, karena kan laki-laki mah pada berani sama adm teh, waktu itu harga pucuk teh cuma Rp.200, pada demo ajah semua, ibu mah ikut-ikut ajah,…abis gitu teh, pada dipindahin yang metik ke pabrik sama teknik, terus nerimanya cuma perempuan ajah di pemetikan mah…” Penempatan perempuan di bagian pemetikan saat ini, disebabkan perempuan yang memiliki sifat nurut, manut, dan takut pada aturan yang diberikan oleh mandor
64
sehingga perkebunan dapat mengontrol dan menjaga pekerjanya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan perusahaan. Laki-laki umumnya memiliki pekerjaan yang dianggap mengharuskan memiliki keahlian tertentu seperti teknik, memiliki tingkat pendidikan tertentu seperti Admnistratur dan kepala bagian, memiliki kemampuan mengatur seperti mandor. Pembagian kerja antara pekerjaan untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan di PGM dapat terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Pekerjaan Laki-laki dan Perempuan di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2007 Bagian Pekerjaan Pimpinan Wisata Agro Kantor Induk Gunung Mas I Pengolahan Teknik Wisata Agro Kantor Induk Gunung Mas I Pengolahan Teknik
Jenis Pekerjaan Laki-laki Perempuan Adm, Wakil Adm, Sinder Kepala, Kepala Administrasi Sinder Karyawan Pelaksana I Sinder Kepala, Sinder, Koordinator Staf wisata agro, kasir, Petugas PIK, Tabin, PU, Kasir, TUP, JTU Sekertariat, Panjen Keamanan kesehatan, JTU Kesehatan Mandor besar, Mandor Mandor perawatan Mandor besar, Mandor Mandor Mandor besar, Mandor Karyawan Golongan IA Kebersihan, pondokan, front office, Tea corner/café/tirta mas operasional Anggota PIK, satpam, pembantu Kebersihan, gudang, kebersihan Ngored, babat, rawat, pembibitan Pemetik teh tetap Pelayuan, pengeringan Pengepakan, pembeberan Petugas teknik Jumlah
Jumlah Pekerja Lk Pr 9 2 11 16
3 5
13 17 22
1 1 0
46
2
21
2
46 28 19
107 10 0
Sumber : Profil Perkebunan Gunung Mas PTPN VIII (2007)
Pembagian kerja di PGM pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pekerja perempuan dalam setiap pekerjaan di perkebunan ditempatkan di bagian kurang penting seperti petugas karcis, kasir, sales di bagian wisata agro. Perempuan juga dianggap lebih rapih dan teliti sehingga ditempatkan dibagian administrasi dan kesehatan di kantor induk, di pabrik umumnya perempuan berada di bagian pengepakan sedangkan di kebun adalah sebagai pemetik. Laki-laki umumnya ditempatkan pada pekerjaan yang berat dan memiliki keahlian seperti bagian kebersihan, satpam maupun pekerja teknik.
65
Sistem kerja perkebunan tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya aturan dan sanksi dalam bekerja. Aturan umum di PGM tercantum dalam perjanjian kerja, namun aturan non-formal dan tidak tertulis umumnya berasal dari doktrinasi penguasa (kelompok staf) di perkebunan terhadap buruh. Aturan juga merupakan salah satu cara perusahaan dalam menjaga buruh. Aturan paling mendasar yang ada di perkebunan adalah terkait keterbukaan informasi yang tidak diperbolehkan oleh pihak perkebunan dibicarakan kebanyak orang. Aturan tersebut adalah tidak diperbolehkan untuk berbicara masalah terkait sosial dan ekonomi khususnya masalah harga pucuk per kilogram yang diterima oleh pemetik.. Seperti yang pernyataan pemetik Ibu Mn berusia 27 yang menjelaskan bahwa “…Sebenarnya tidak diberbolehkan untuk memberi tahukan harga pucuk kepada siapa pun yang bertanya karena mungkin akan bikin malu perusahaan. Dulu pernah waktu ada acara Dorce Show, mbak Dorce nanya sama pemetik, berapa harga pucuk perkilogramnya, dijawab sama pemetik harga pucuknya Rp.500 perkilogram. Acaranya kan ditonton seluruh Indonesia, nah mungkin waktu itu Direksi nonton. Habis acara itu Adm marah-marah, terus akhirnya mandor kebunnya diturunin jabatannya jadi sama kayak pemetik. Soalnya yang tanggungjawab sama pemetiknya kan mandornya, jadi kesalahan pemetik yang nanggung ya mandornya, pemetiknya mah tetap ajah kerja. Karena itu sekarang mandor besar juga memberikan instruksi untuk tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh prima (peneliti) jika pertanyaannya terkait dengan upah. Mandor besar juga mewantiwanti agar tidak banyak bicara. Saya sebenarnya ga tau kenapa cuma mungkin takut kejelekannya ketahuan kali....” Pemetikan sendiri memiliki peraturan yang tidak mengikat secara tegas hanya jika melakukan pemetikan maka tidak diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan lain. Dalam pemetikan, minimal jumlah petikan disesuaikan dengan ketentuan mandor, mandor A.J memberikan minimal jumlah petikan 32 kg sehari dan bisa mencapai satu ton dalam satu bulan untuk satu orang pemetik. Berbagai aturan dalam pemetikan ditentukan oleh mandor melalui kebijakan kepala bagian pemetikan dengan persetujuan administratur (Adm).
66
Aturan dan sanksi tersebut merupakan cara perkebunan dalam menjaga buruhnya namun dalam sistem kerja terdapat empat hal yang diberikan perkebunan sebagai cara dan bentuk terimakasih perkebunan terhadap pekerja antara lain kondisi kerja, jaminan kerja, hak pekerja, dan fasilitas yang diberikan kepada pekerja. Namun, cara perkebunan tersebut merupakan salah satu alasan bertahannya buruh bekerja di perkebunan yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya. Pembahasan selanjutnya akan mengkaji cara perkebunan menjaga buruhnya. 5.2.1
Kondisi Kerja Pemetik di Perkebunan Gunung Mas Pekerja dibedakan berdasarkan pekerja laki-laki dan perempuan yang diterapkan
langsung dalam pembagian jenis pekerjaan. Pekerjaan yang lebih dari 90 persen pekerjanya perempuan adalah pemetikan sedangkan pekerjaan yang seluruh pekerjanya adalah laki-laki adalah bagian teknik. Pemilihan perempuan di bagian pemetikan disebabkan pekerjaan perempuan lebih rapi, terampil, dan lebih nurut serta patuh dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Kondisi kerja pemetik ditandai dengan jam kerja pemetik yang sama seperti karyawan perkebunan pada umumnya sekitar tujuh jam per hari atau 40 jam seminggu13. Jam kerja karyawan kebun adalah Senin sampai Sabtu dimulai pada pukul 06.30-16.00 WIB, dengan waktu istirahat pukul 09.30-10.00 WIB. Waktu kerja pemetik di PGM umumnya lebih panjang terutama saat tutupan14 ataupun jumlah pucuk meningkat. Kotak 1 Pengamatan mengenai kondisi kerja pemetik teh Pemetik teh mulai berangkat kerja pada pukul 06.00 pagi. Pemetik teh umumnya berangkat bersama, sehingga mereka akan berkumpul dan saling menunggu hingga pukul 06.15 pagi, kemudian berangkat bersama. Sampai ditempat pemetikan, pemetik akan sarapan pagi bersama terlebih dahulu sebelum bekerja (lampiran gambar 2). Pemetik akan mulai bekerja 13
Keterangan yang diberikan oleh staf perkebunan di Kantor Induk tentang Jam kerja Pemetik di Perkebunan Gunung Mas 14 Tutupan adalah istilah yang digunakan oleh PGM untuk menandai waktu akhir sebelum melakukan penghitungan pucuk setiap bulannya. Tutupan biasanya dilakukan di akhir bulan. Tutupan dihadiri oleh mandor kebun, mendor besar, juru tulis kebun, dan staf bagian anggaran.
67
pukul 07.00-10.00. Diantara waktu tersebut, pemetik akan bolak-balik ke “saung” (tempat menyimpan teh semenatara sebelum ditimbang). Pemetik akan bolak-balik ke saung sekitar 3-4 kali bahkan lebih jika pemetik cekatan. Pemetik akan bolak balik dengan berjalan kaki untuk menuju saung. Pemetik akan beristirahat pada pukul 10.00 sampai 10.30 WIB. Di waktu istirahat tersebut umumnya pemetik makan siang dan melakukan penimbangan pertama. Pemetik melakukan dua kali penimbangan pertama pada istirahat pertama, kedua sebelum pulang yaitu pukul 15.00 atau 16.00 WIB. Pemetik bekerja dengan membawa keranjang yang digendong sebagai tempat untuk menampung pucuk. Keranjang tersebut bisa menampung sekitar 2-3 kilogram pucuk yang dipikul dalam satu hari kerja, kemudian pucuk tersebut akan dipindahkan kedalam waring (lampiran gambar 11). Pemetik akan tetap bekerja di waktu hari panas maupun hujan. Oleh sebab itu pemetik menggunakan tudung untuk melindungi dari panas dan hujan. Pemetik menggunakan tiga lapisan yang dikenakan sepanjang dada hingga betis. Lapisan paling luar adalah plastik, kemudian dua kain selanjutnya yang diikatkan ke tubuh dan dieratkan dengan tali rapia. Plastik tersebut berfungsi untuk melindungi pemetik agar tidak basah oleh embun daun teh. Pemetik memakai rok, celana training, kaos panjang, dan kemeja pemberian dari PTPN VIII. Pakaian itu dikenakan secara berlapis-lapis untuk menjaga diri dari angin dingin serta sinar matahari. Mereka selalu menggunakan sarung tangan untuk terhindar dari kemungkinan tergores selama memetik teh. Pemetik teh umumnya selalu dalam keadaan berdandan (dibedaki dan menggunakan lipstick). Lipstik dan bedak selalu dibawa pemetik saat bekerja sebab pemetik diharuskan selalu tampil cantik dan rapih. Menurut pemetik kondisi tersebut bukanlah keharusan, namun sudah menjadi kebiasaan bagi pemetik juga agar pemetik tidak terlihat miskin. Namun, menurut staf agrowisata hal tersebut merupakan kewajiban dari perusahaan, sebab pemetik dianggap sebagai salah satu aset agrowisata yang sering dijadikan objek foto. Saat pemetikan, pemetik dapat mengalami kecelakaan saat bekerja seperti kepleset, keseleo, ataupun jatuh jika kondisi tempat pemetikan cukup curam atau tidak terawat. Biasanya mandor akan membawa pemetik untuk pulang dan beristirahat. Perkebunan memberikan jaminan kerja sebagai salah satu cara untuk menjaga buruhnya. Jaminan kerja tersebut berupa jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Pekerja di bagian pabrik dan teknik memiliki resiko untuk terluka sebab dan rusak kesehatannya sebab pekerjaannya berhubungan dengan mesin-mesin. Di pemetikan sendiri, resiko saat bekerja adalah kecelakaan yaitu jatuh maupun terpeleset. Resiko pemetikan umumnya terjadi saat pemetikan berada di area A2 yang terletak di gunung dengan tingkat
68
kecuraman mencapai 60 derajat, sehingga resiko untuk terpeleset ataupun jatuh yang akan dialami oleh pemetik lebih besar. Pemetikan adalah pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik dan kekuatan untuk menahan beban sebesar 2-3 kilogram dan berdiri selama hampir tujuh jam atau bahkan lebih. Keluhan yang umumnya diderita pemetik yang sudah bekerja selama bertahuntahun atau sudah berumur adalah sakit punggung dan sakit kaki. Jaminan kesehatan yang diberikan oleh pihak perkebunan kepada pemetik jika sakit yang diderita cukup parah maka akan dibawa ke puskesmas di Gunung Mas, dan bila tidak dapat ditangani akan dilarikan ke rumahsakit, namun apabila tidak parah maka pekerja hanya akan dipulangkan untuk beristirahat. Jaminan sosial adalah pertanggungjawaban secara sosial yang diberikan pihak perkebunan kepada pekerja. Jaminan sosial umumnya berupa kompensasi dalam bentuk uang yang diberikan pihak perkebunan. Jaminan sosial yang diberikan pihak perkebunan antara lain santunan kematian, tunjangan hari raya, dan tunjangan biaya sekolah anak. Tunjangan biaya sekolah anak umumnya diberikan setiap tahun ajaran baru sebesar Rp. 1.000.000 untuk setiap anak dalam keluarga yang masih bersekolah. Jaminan kerja hanya diberikan kepada pekerja dengan status karyawan yaitu staf, karyawan pelaksana I, dan karyawan pelaksana II yang berstatus pekerja tetap, sedangkan untuk karyawan yang berstatus lepas jaminan kerja yang diberikan terbatas. Jaminan kerja diterima berbeda antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan yang berstatus lepas, pekerja laki-laki mendapatkan jaminan kerja walaupun terbatas seperti kesehatan sedangkan untuk pekerja perempuan tidak mendapatkan jaminan kerja. Setiap pekerja memiliki hak yang diatur oleh Undang undang ketenagakerjaan tentang hak dan kewajiban pekerja. Perkebunan mengatur hak pekerja antara lain Cuti yaitu cuti tahunan yaitu 12 hari setahun, cuti panjang enam tahun sekali yaitu 30 hari
69
dalam enam tahun, cuti hamil dan melahirkan yaitu selama satu setengah bulan sebelum dan setelah melahirkan. Pekerja juga mendapatkan bonus15 jika telah bekerja selama 25 tahun dan 30 tahun dengan status tetap. Besarnya bonus untuk 25 tahun bekerja adalah sebesar Rp. 2.000.000 sedangkan bonus untuk 30 tahun bekerja adalah Rp. 4.000.000. Perhitungan lama bekerja bukan dihitung pertama kali bekerja sebagai pemetik, namun dihitung berdasarkan lama bekerja setelah diangkat tetap. Pekerja juga berhak mendapatkan tunjangan pensiun dan uang pensiun, pekerja juga memiliki hak pekerja16 yaitu untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapatan melalui serikat kerja. Salah satu hak pekerja perempuan adalah cuti haid namun perkebunan telah menghapuskan hak tersebut sejak beberapa tahun yang lalu sehingga pemetik diwajibkan bekerja enam hari dalam satu minggu tidak peduli sedang berhalangan atau tidak. Perubahan peraturan tersebut ditinjau dari UU No.1 tahun 1951 dalam pasal 1317 dimana pasal tersebut dihapuskan dalam UU ketenagakerjaan terbaru. Perbedaan hak cuti antara pekerja tetap dan pekerja lepas adalah pekerja tetap berhak untuk mendapatkan hak untuk cuti, namun dengan tetap dibayar, sedangkan pekerja lepas berhak untuk cuti namun tidak dibayar. Pekerja perkebunan juga berhak untuk mendapatkan pensiun pada saat umur 55 tahun. Pekerja perkebunan akan mendapatkan tunjangan gaji pensiun. Gaji pensiun akan diberikan seumur hidup kepada pekerja perkebunan dan kepemilikannya dapat dipindahtangankan apabila sudah meninggal. Besarnya jumlah gaji pensiun ditentukan oleh jabatan dan golongan terakhir ketika pensiun. Untuk karyawan pelaksana II yaitu pemetik gaji pensiun berkisar antara Rp. 100.000 sampai Rp. 200.000 setiap bulannya. Bonus tersebut merupakan bentuk terimakasih perkebunan terhadap pengabdian pekerja selama waktu tersebut 16 Perkebunan tidak meliburkan pekerjanya pada hari buruh internasional yang jatuh setiap tanggal 1 Mei, pekerja di perkebunan tetap melakukan pekerjaannya seperti biasa. Dalam hal ini perkebunan membatasi pekerjanya untuk dapat menyampaikan aspirasinya. 17 Bunyi Pasal 13 UU Ketenagakerjaan yaitu “buruh perempuan tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haid” 15
70
Perbedaan besarnya tunjangan pensiun disebabkan oleh tingkat pendidikan. Pekerja yang hanya memiliki tingkat pendidikan SD diberikan tunjangan pensiun sebesar Rp. 25-30 juta, untuk SMP adalah Rp. 35-40 juta, dan untuk SMA adalah Rp. 45-60 juta. Perkebunan memberikan fasilitas (fringe benefit) kepada pekerjanya juga sebagai cara untuk menjaga pekerjanya agar tetap bekerja di perkebunan. Fasilitas tersebut antara lain rumah dinas, kesehatan, tempat penitipan anak, biaya pendidikan anak, dan biaya listrik. Fasilitas yang diberikan kepada pekerja dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan, status pekerjaan, dan jenis kelamin untuk fasilitas tertentu seperti rumah dinas. Fasilitas lain seperti tempat penitipan anak, biaya kesehatan, dan biaya listrik dan biaya pendidikan anak umumnya diberikan sama oleh perkebunan. Fasilitas yang diberikan pihak perkebunan hanya diberikan kepada pekerja dengan status tetap sedangkan untuk pekerja dengan status lepas hanya diberikan fasilitas yaitu rumah dinas. Rumah dinas perkebunan berukuran 12 x12 meter (lampiran Gambar 13) yang dalam satu rumah diisi oleh dua keluarga yang dipisahkan oleh dinding berupa bilik. Rumah dinas di perkebunan hanya dapat dimiliki oleh pekerja sebelum pensiun, setelah pensiun pekerja masih dapat menempati rumah dinas apabila terdapat anggota keluarga yang bekerja dengan status tetap untuk perempuan dan lakilaki dengan status lepas di perkebunan. Kepemilikan rumah dinas berbeda antara pekerja dengan status lepas dan tetap. Rumah dinas hanya diberikan kepada pekerja dengan status tetap, sehingga pekerja lepas tidak memiliki hak atas rumah dinas. Namun, perkebunan membedakan hal tersebut antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan dengan status lepas. Pekerja laki-laki dengan status lepas diberikan fasilitas rumah dinas sebab laki-laki dianggap kepala keluarga yang umumnya berada di dusun Rawadulang, sedangkan perempuan dengan status lepas tidak diberikan fasilitas berupa rumah dinas sebab perempuan tidak
71
dianggap sebagai kepala keluarga. Ketentuan tersebut tetap berlaku, meskipun pekerja perempuan tersebut adalah kepala keluarga (janda), karena perempuan dianggap dapat kembali kerumah orangtuanya. Kutipan pernyataan narasumber pemetik Ibu Am (48 tahun) terkait hal tersebut adalah : “…lepas dan tetap mah sama ajah cuma kalo perempuan lepas mah ga punya hak dapet rumah, kalo lepas laki-laki mah punya hak dapet rumah dan fasilitas, yang ngebedain lepas sama tetap mah cuma gaji hari minggu…” Fasilitas lain yang diberikan pihak perkebunan adalah biaya kesehatan. Biaya kesehatan yang diberikan pihak perkebunan tidak hanya untuk pekerja perkebunan tetapi seluruh keluarga pekerja mencakup anak dan istri, namun kebijakan perkebunan yang baru menyatakan bahwa perkebunan akan melakukan pemeriksaan kepada pekerja dan akan mengambil tindakan berupa pemecatan jika pekerja tersebut telah berulang kali masuk rumah sakit maksimal empat kali berturut-turut. Kutipan keterangan responden pemetik Ibu Yn (45 tahun) menyatakan bahwa “…sekarang mah kalo sakit terus-terusan mandor besar udah langsung bilang…’kalo masih sakit mah, bikin surat pengunduran diri ke perusahaan..’ gitu teh, jadi sekarang mah yang kerja teh ga boleh sakit…” Seluruh fasilitas yang diberikan perkebunan pada awalnya merupakan cara perkebunan untuk menjaga buruhnya, namun seiring dengan perubahan waktu fasilitas yang diberikan perkebunan dianggap sebagai beban pengeluaran yang besar bagi perusahaan. Akibatnya, perusahaan mulai mencari cara untuk mengurangi jumlah pegawai salah satunya dengan tidak lagi melakukan pengangkatan tetap dan rumor yang beredar di PGM menyatakan bahwa PGM tidak akan melakukan pengangkatan dan hanya mempekerjakan pekerja lepas dimana perusahaan tidak memiliki tanggung jawab. Kondisi tersebut dirasakan berbeda bagi buruh di perkebunan, sebab cara perusahaan menjaga buruhnya membuat buruh bergantung pada perkebunan dan
72
menggantungkan kehidupannya pada perkebunan. Akibatnya, buruh dengan sukarela bekerja di perkebunan, dan dieksploitasi dengan dibayar dengan upah rendah, agar tidak perlu memikirkan kebutuhan seperti rumah dan biaya hidup di perkebunan lebih rendah, selain itu perkebunan juga memberikan bonus dan tunjangan pensiun dalam jumlah besar sehingga buruh tidak bisa keluar dari kondisi tersebut. Diberikannya tunjangan dan bonus serasa angin segar yang diharapkan oleh buruh oleh sebab itu mereka akan tetap bekerja di perkebunan walaupun dalam sehari-harinya mereka kesulitan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun, pemetik harus melakukan pekerjaan yang berat yaitu berdiri selama tujuh jam dengan memanggul beban pucuk 2-3 kilogram setiap keranjangnya, serta harus memenuhi target petikan sebanyak 44 kilogram per orang per harinya. Selain itu, dalam serikat pekerja pun pemetik tidak diikutsertakan, hanya mandor besar saja yang mewakili pemetik. 5.2.2
Analisis gender dalam Sistem Kerja Perkebunan Pembahasan sebelumnya menjabarkan relasi gender yang terjadi dalam sistem
kapitalis yang dijalankan oleh perkebunan maupun dalam sistem kerja. Dalam pembahasan ini akan dianalisis sistem kerja di perkebunan secara lebih lanjut dengan melihat perbedaan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan tersebut dilihat dari kondisi sosial, ekonomi, dan kebijakan perkebunan terhadap keberadaan buruh khususnya pemetik di perkebunan. Analisis akses dan kontrol peluang kerja di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010 dengan menggunakan analisis Harvard sebagai alat analisis. Peluang kerja di Perkebunan Gunung Mas terdiri dari berbagai posisi pekerjaan yang terdiri dari administratur, staf kantor induk, sinder, mandor, pekerja baik di pabrik teknik maupun kebun, dan pekerja di bagian agrowisata. Akses dan kontrol peluang kerja dalam hal ini melihat perbedaan peluang kerja yang diterima oleh laki-laki dan
73
perempuan dalam berbagai posisi pekerjaan di Perkebunan Gunung Mas yang ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Akses dan Kontrol Peluang Kerja di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010 Berdasarkan Analisis Harvard No 1. 2.
Peluang Kerja
Laki-laki Akses Kontrol √ √ √ √
Perempuan Akses Kontrol √ -
Keterangan (status kerja)
Administratur Karyawan Staf Kantor Karyawan Induk 3. Sinder Kepala √ √ Karyawan 4. Sinder Afdeling √ √ Karyawan 5. Mandor Besar √ √ Karyawan Pelaksana I 6. Mandor √ √ √ Karyawan Pelaksana I 7. Pekerja Pabrik √ √ √ Pekerja Harian Tetap dan Lepas 8. Pekerja Teknik √ √ Pekerja Harian Tetap dan Lepas 9. Pemetik √ √ √ Pekerja Harian Tetap 10. Pangkas √ √ √ Pekerja Harian Tetap dan Lepas 11. Rawat √ √ √ Pekerja Harian Tetap dan Lepas 12. Herbisida √ √ Pekerja Harian Tetap dan Lepas 13. Petugas √ √ Pekerja Harian Tetap dan Lepas Kebersihan 14. Kasir Kantor √ √ Karyawan Induk 15 Kasir Agrowisata √ √ Pekerja Harian Tetap Sumber : Dikumpulkan penulis berdasarkan olahan catatan harian dari data primer hasil wawancara dan observasi di lapangan (2010)
Berdasarkan Tabel 2, dapat terlihat bahwa perempuan hanya berada pada posisi tertentu dalam pembagian kerja di perkebunan. Akses pekerja perempuan terbatas hanya pada pekerjaan tertentu antara lain pemetik, pekerja pabrik, pangkas, rawat, administrasi, dan kasir. Perempuan dianggap tidak memiliki keahlian tertentu sehingga hanya ditempatkan pada pekerjaan tertentu di perkebunan. Mengutip teori yang dikemukakan Saptari dan Holzner (1997) menyebutkan bahwa ada empat bentuk marginalisasi, yaitu pengucilan, pergeseran perempuan ke pinggiran (margins), Feminisasi atau segregasi, dan ketimpangan ekonomi yang makin meningkat. Dalam hal ini pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan membuktikan teori yang dikemukakan oleh Scott. Bentuk marginalisasi dalam bentuk pengucilan terlihat dari pembagian kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan ditempatkan pada jenis kerja upahan tertentu salah satunya adalah pemetik.
74
Pemetikan merupakan jenis pekerjaan yang mempunyai kelangsungan hidup tidak stabil, upah yang rendah, dan dianggap sebagai pekerjaan yang mudah serta dinilai tidak terampil sehingga terjadi pergeseran perempuan ke pinggiran (margins) akibat pembagian kerja. Akibatnya terjadi ketimpangan ekonomi yang meningkat antara lakilaki dan perempuan akibat perbedaan upah, perbedaan akses dan fasilitas kerja. Pekerja laki-laki umumnya memiliki sistem pengupahan yang stabil sebagai karyawan maupun pekerja dibagian lain. Pekerja laki-laki pun memiliki akses yang lebih besar dibandingkan dengan pekerja perempuan. Fasilitas yang diberikan kepada pekerja lakilaki lebih baik dibandingkan dengan pekerja perempuan. Analisis Harvard juga dilakukan untuk melihat akses, kontrol, dan manfaat yang diterima pemetik dalam sistem kerja di perkebunan. Akses, kontrol, dan manfaat berdasarkan Analisis Harvard pada akan ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Profil Akses dan Kontrol dalam Wilayah Pemetikan di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010 No
Keterangan
Laki-laki Akses
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kebun Teh Peralatan Uang (gaji) Pelatihan Lokasi Pemetikan Jumlah Borongan Waktu kerja Hari Kerja Status kerja Naik golongan
√ -
11.
Pendapatan di luar pemetikan Kekuasaan atasan Kesempatan yang diberikan atasan (mandor)
-
12. 13.
-
Kontrol Sumberdaya √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Manfaat √ √ √
Perempuan Akses
Kontrol
√ ‐ √ √ √ √ √ √ √ √
-
√
-
√ √
-
Sumber : Dikumpulkan penulis berdasarkan olahan catatan harian dari data primer hasil wawancara dan observasi di lapangan (2010)
Akses terhadap sumberdaya dan manfaat dalam pemetikan, didominasi oleh pekerja laki-laki dalam hal ini adalah mandor dan mandor besar. Pemetik hanya memiliki akses terhadap sumberdaya dan manfaat tersebut namun tidak memilki
75
kontrol. Dalam pemetikan, mandor dan mandor besar memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk mengatur pekerja agar patuh terhadap kebijakannya, dan karena sebagian besar adalah perempuan maka kepatuhan lebih tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan ditempatkan pada pemetikan dipengaruhi dengan apa yang disebut oleh Saptari dan Holzner (1997) sebagai nilai feminitas perempuan dimana karakteristik perempuan dalam bentuk yang ideal seperti kerendahhatian dan ketaatan perempuan (modest dan submissive) serta keterampilan tangan perempuan (numble fingers). Dalam hal ini, perkebunan menempatkan perempuan sebagai pemetik sebab perempuan dianggap lebih taat dan patuh terhadap aturan dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Selain itu, tangan perempuan lebih rapi dan terampil dalam memilih pucuk yang baik. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam pekerjaan di perkebunan melahirkan suatu ketidakadilan gender dalam pekerjaan di perkebunan khususnya dalam pengupahan yang berdampak pada pekerja perempuan khususnya. Ketidakadilan tersebut tercermin dalam berbagai bentuk antara lain : a. Subordinasi Subordinasi adalah pandangan gender anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga tidak bisa tampil memimpin, akibatnya muncul sikap yang menempatkan perempuan pada posisi tidak penting (Fakih, 1996). Dalam pembagian kerja di perkebunan, subordinasi terhadap perempuan sangatlah terasa. Perempuan tidak pernah menempati posisi penting di perkebunan. Satu-satunya posisi penting yang baru ditempati perempuan saat ini adalah kepala bagian administrasi. Hal tersebut pun disebabkan karena perempuan dianggap lebih telaten dan rapi dalam mengatur administrasi (surat menyurat, perizinan, dan urusan administrasi lain). Mandor perempuan dalam pekerjaan di kebun hanya terdapat di bagian perawatan, sedangkan di bagian pemetikan hanya terdapat mandor laki-laki saja. Hal
76
tersebut disebabkan karena perempuan dianggap tidak tegas dalam mengatur pemetik yang jumlahnya banyak, selain itu juga dianggap tidak akan dapat banyak membantu pemetik saat mengalami kesulitan seperti mengangkat pucuk. Namun, dalam kenyataan di lapangan mandor perempuan lebih tegas dalam bekerja, lebih objektf dalam melakukan penilaian terhadap pekerja, tidak hanya berdasarkan kedekatan. Selain itu, mandor laki-laki di lapangan pun tidak banyak membantu, hanya memperhatikan saja dan memberi perintah. Umumnya para pekerja melakukan seluruh pekerjaan sendiri. Pandangan subordinasi juga membuat terjadinya pembagian kerja di perkebunan. Dimana perempuan hanya ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dianggap mudah, tidak terampil, tidak membutuhkan keahlian, dan hanya perempuan yang dapat melakukannya dengan baik. Pekerjaan tersebut menempatkan perempuan pada posisi yang dianggap tidak penting seperti administrasi yang menekankan ketelitian, pengepakan di pabrik yang menekankan kerapihan, dan pemetikan yang menekankan pada keterampilan tangan perempuan. b. Stereotipe Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan bagi kelompok tertentu. Kehidupan masyarakat perkebunan adalah kehidupan yang unik, sebab masyarakat yang ada saat ini sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu sehingga kondisi sosial budaya masyarakat sudah dikonstruksi dalam kurun waktu yang sangat lama. Sejak dulu sampai hari ini, kehidupan di perkebunan identik dengan pembedaan antara buruh yang kehidupan sosial ekonominya pas-pasan dan manajemen (staf perkebunan) yang kehidupannya mewah. Stereotipe yang selalu terdapat di perkebunan adalah bahwa perempuan perkebunan adalah perempuan ‘gampangan’ dan kehidupan perempuan yaitu pemetik
77
adalah identik dengan persaingan untuk menarik hati mandor dengan segala cara. Sejak dulu mandor dianggap memiliki kekuasaan dalam pekerjaan khususnya pemetikan, sehingga pemetik melakukan segala cara agar kehidupannya terjamin. Dulu stereotipe negatif tentang penggunaan susuk maupun pemetik yang bersolek hanya untuk menarik perhatian mandor sangatlah kental terasa di perkebunan. Saat ini stereotipe negatif tersebut masih mengiringi pemetik teh, sebab hanya perempuan pemetiklah yang selalu tampil dengan dandanan menonjol dan bersolek setiap harinya, setelah sarapan di kebun, makan siang, dan sebelum pulang pemetik selalu merapikan riasannya. Selain itu, banyaknya pemetik yang berstatus janda dengan latar belakang pernikahan yang tidak jelas (berdasarkan keterangan responden namun harus dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut) dan merokok membuat anggapan negatif terhadap pemetik sangatlah kuat. Hal tersebut berdampak pada pengucilan pemetik tertentu di masyarakat, walaupun saat ini masyarakat perkebunan lebih terbuka dalam artian tidak mengucilkan perseorangan secara langsung namun selentingan negatif terhadap pemetik masih sering terdengar. Selain itu stereotipe bahwa apapun yang dilakukan perempuan hanya dianggap sebagai sambilan berdampak pada rendahnya upah yang diterima oleh perempuan. c. Kekerasan Kekerasan yang dimaksud disini adalah kekerasan gender yang disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Umumnya kekerasan yang terjadi di perkebunan adalah kekerasan dalam bentuk pelecehan seksual. Dalam hal ini pelecehan seksual yang dimaksud adalah meminta imbalan seksual (melayani seks) dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi dan janjijanji lainnya (Fakih, 1996). Di perkebunan khususnya dalam pemetikan kedekatan dengan mandor akan mempengaruhi pada kesempatan terhadap kenaikan golongan,
78
strip, peluang pendapatan di luar pemetikan (syuting, lomba, dan lain-lain), dan pengangkatan tetap dari lepas. Kekerasan gender dalam hal ini terjadi akibat ketidaksetaraan kekuatan pada pemetik di perkebunan. Kedekatan dengan mandor dalam bentuk keakraban yaitu sering ngobrol dengan mandor, dekat dengan mandor, maupun kedekatan dengan mandor yaitu melayani mandor secara seksual. Hal tersebut sebagian besar disebabkan karena mandor memiliki kekuasan terhadap perbaikan kehidupan pemetik khususnya dalam pengangkatan tetap. Oleh sebab itu, imbalan seksual yang diberikan pemetik kepada mandor umumnya dapat membantu promosi pemetik tersebut, karena menurut keterangan narasumber kedekatan dengan mandor lebih berpengaruh dalam kesempatan misalkan diangkat tetap dibandingkan dengan prestasi yang dimiliki pekerja. Namun hal tersebut perlu diteliti lebih lanjut. d. Beban Kerja Beban kerja terjadi akibat adanya bias gender yang disebabkan oleh anggapan atau pandangan di masyarakat bahwa pekerjaan tertentu adalah pekerjaan yang harusnya dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Di perkebunan anggapan bahwa perempuanlah yang mengerjakan pekerjaan domestik membuat terjadinya beban kerja bagi perempuan khususnya pemetik. Perempuan pemetik dalam hal ini bekerja lebih lama dan lebih berat baik di kebun maupun di rumahtangga. Di dalam pekerjaan produktif mereka sebagai pemetik perempuan harus berdiri dengan memikul beban yang berat dalam jangka waktu yang lama. Pemetik dalam rumahtangga harus mengerjakan pekerjaan domestik yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan. Dalam hal ini, walaupun perempuan tersebut adalah pencari nafkah utama dalam rumahtangga dimana suami tidak memiliki pekerjaan, tetap perempuanlah yang diberikan kewajiban untuk melakukan pekerjaan
79
domestik sedangkan laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk melakukannya karena dianggap sebagai kepala keluarga. Akibatnya perempuan mengalami beban kerja yang berlapis selain dalam pekerjaan produktif maupun domestik di rumahtangga. e. Marginalisasi Marginalisasi atau peminggiran dapat terjadi pada laki-laki dan perempuan akibat berbagai kejadian, namun marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender mengakibatkan pemiskinan terhadap jenis kelamin tertentu khususnya perempuan. Di perkebunan, marginalisasi pada perempuan terjadi akibat kebijakan perkebunan yang hanya berpihak pada jenis kelamin tertentu dalam hal ini laki-laki dan meminggirkan perempuan. Kebijakan tersebut terjadi dalam bentuk pembagian kerja di perkebunan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu penempatan perempuan pada posisi pekerjaan yang dianggap tidak penting di perkebunan dengan upah rendah. Kebijakan tersebut berdampak pada dibedakannya upah, fasilitas dan hak yang diterima pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di perkebunan. Pekerja perempuan diberikan upah lebih rendah dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Pekerja perempuan diberikan fasilitas terbatas dibandingkan dengan pekerja laki-laki. Hak pekerja perempuan dibatasi dalam serikat kerja sebab hanya mandor laki-laki saja yang dianggap dapat mewakili aspirasi pekerja. Dalam pemetikan, marginalisasi terjadi baik terhadap pekerja laki-laki dan pekerja perempuan sebab upah yang diberikan kepada pemetik adalah berdasarkan sistem borong. Kebijakan perkebunan tersebut berdampak pada munculnya pengelompokkan dalam struktur masyarakat perkebunan. Masyarakat perkebunan terbagi kedalam kelompok kelompok di perkebunan yaitu kelompok manajemen dan kelompok buruh. Laki-laki dan perempuan dalam kelompok buruh termarginalkan akibat dibedakannya fasilitas, upah, dan jaminan yang diberikan perkebunan. Namun, proses pemiskinan
80
terjadi pada perempuan dalam kelompok buruh akibat marginalisasi dalam pembagian kerja di perkebunan yang berdampak pada dibedakannya upah dan fasilitas antara lakilaki dan perempuan, perempuan juga dimarginalkan dari posisi penting di perkebunan maupun pengambilan keputusan dalam serikat kerja di perkebunan. Akibatnya proses pemiskinan terjadi pada perempuan kelompok buruh selain karena perempuan kelompok buruh dibedakan dalam pembagian kerja yang berdampak pada pembedaan upah dan fasilitas, pekerja perempuan juga dibedakan upah dan fasilitasnya dengan pekerja laki-laki. Pemiskinan pada perempuan tidak berhenti diranah produktif dan domestik sebab proses pemiskinan perempuan di perkebunan berlangsung terus menerus hingga saat ini akibat struktur dan kultur pekebunan yang masih menempatkan perempuan pada posisi kedua setelah laki-laki di dalam pekerjaan maupun diranah domestik. 5.3
Ikhtisar Sistem kapitalis yang dijalankan perkebunan dalam bentuk
agribisnis
merupakan suatu proses hubungan sosial yang memarginalkan perempuan dalam pekerjaannya. Keberadaan perempuan sebagai pekerja tidak jauh berbeda dalam hal jumlah dengan pekerja laki-laki. Namun, keberadaan pekerja perempuan dalam struktur pekerjaan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Kapitalisme masih berlangsung di perkebunan hingga saat ini, karena eksploitasi pekerja dengan membayar upah buruh yang rendah dan kerja yang berat masih berlangsung sampai hari ini. Situasi tersebut tetap dipertahankan dengan meminimalisasi demo yang dilakukan pekerja, satu caranya adalah dengan menempatkan pekerja perempuan pada pekerjaan terberat dengan upah terendah yaitu pemetikan. Tingginya kebutuhan ekonomi mendesak para perempuan di rumahtangga untuk bekerja. Peluang bekerja di perkebunan hanyalah sebagai pemetik teh yang tidak
81
memerlukan keahlian maupun pendidikan tertentu, karena sebagian besar dari pencari kerja adalah ibu rumahtangga maupun anak gadis yang putus sekolah. Dengan tingkat pendidikan yang rendah dan keahlian yang minim, maka hanya sebagai pemetiklah mereka menggantungkan hidupnya. Perkebunan pun memiliki keuntungan dengan mempekerjakan perempuan sebagai pemetik sebab perempuan lebih bisa ditekan oleh mandor, cenderung tidak berani melawan atau bertanya, sehingga setiap kebijakan perusahaan akan dijalankan dengan baik walaupun tidak adil terhadap pemetik. Dampak dari hal tersebut adalah cukup banyaknya jumlah pekerja pemetik baik tetap, lepas, maupun musiman. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak perkebunan untuk membuat pekerja cadangan melalui pekerja lepas dan pekerja musiman. Pekerja-pekerja tersebut akan dipekerjakan saat perkebunan membutuhkan karyawan tambahan, dan tidak akan dipekerjakan saat pucuk sedang kurang. Hal tersebut menyebabkan tidak tetapnya keberadaan pekerja perempuan sebagai pemetik di perkebunan. Selain itu kebijakan baru pihak perkebunan untuk tidak mempekerjakan pemetik dengan status lepas membuat kehidupan para pemetik lebih sulit dari sebelumnya, karena hingga saat ini mereka masih berharap bahwa pihak perkebunan akan mempekerjakan mereka lagi dikemudian hari. Perbedaan relasi kesempatan dan kekuasaan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan adalah terjadi perbedaan berdasarkan upah yang diterima maupun fasilitas. Pekerja laki-laki selain pemetik yang berstatus lepas tidak diberhentikan dari pekerjaannya, namun pemetik dengan status lepas diberhentikan. Hubungan antara pemetik perempuan dengan mandor, umumnya memiliki hubungan yang lebih dekat dengan mandor dibandingkan dengan pemetik laki-laki, berdampak pada munculnya kekerasan mandor terhadap pekerja. Dominasi keberadaan perempuan sebagai pemetik disebabkan tangan perempuan dianggap lebih telaten dan lebih rapi dalam bekerja,
82
selain itu sifat perempuan yang lebih nurut dan manut karena perempuan lebih memiliki ketakutan terhadap aturan dibandingkan dengan laki-laki. Kolonialisasi berbentuk eksploitasi masih berlangsung di perkebunan hingga saat ini dan hal tersebut diperparah dengan sistem kapitalis berbentuk agribisis yang dijalankan oleh perkebunan. Akibatnya, perkebunan bergantung terhadap keberadaan pemetik teh maupun sebaliknya. Namun, pemetik teh hanya dianggap sebagai faktor produksi dan tidak dianggap sebagai bagian dari berjalannya sistem produksi di perkebunan. Sistem kapitalisme juga berdampak pada munculnya ketergantungan yang pemetik teh dengan perkebunan akibat fasilitas yang diberikan oleh perkebunan sebagai cara untuk menjaga buruhnya selain melakukan penempatan perempuan dalam pekerjaan berat dengan upah rendah. Perempuan masih selalu ditempatkan pada posisi dan peran-peran tidak penting karena pengaruh budaya partiarkat yang sangat kuat. Sehingga kapitalisme yang melanggengkan eksploitasi dan dipengaruhi oleh kultur feodal serta kultur partiarkat yang kuat membuat posisi perempuan dalam pekerjaan termarginalkan dan namun fringe benefit
berupa fasilitas dan tunjangan yang diberikan perkebunan membuat
pemetik bergantung pada kondisi tersebut secara turun temurun hingga hari ini. Bekerja sebagai pemetik di perkebunan tidak membuat status perempuan berubah namun menjadi semakin termarginalkan dalam sistem kerja. Perempuan selalu ditempatkan pada posisi tidak penting dan hanya bersifat membantu. Perempuan dianggap sebagai aset yang dapat dieksploitasi bukan hanya tenaganya tetapi juga kehidupannya. Hal tersebut disebabkan perempuan hanyalah dianggap pekerja yang membantu di dalam rumahtangga sehingga tidak diutamakan. Perempuan dianggap lemah dan tidak berdaya sehingga dapat dimanfaatkan. Perempuan dianggap tidak berharga sehingga dapat dipermainkan dalam struktur sosial kehidupan di perkebunan.
83
BAB VI DINAMIKA PENGUPAHAN PEMETIK DI PERKEBUNAN GUNUNG MAS Upah pada dasarnya merupakan alasan utama seorang bekerja di perkebunan, dan dalam beberapa tahun terakhir terjadi perubahan nilai upah di perkebunan. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa PGM merupakan bagian dari sistem agribisnis yang bergantung kepada sistem kapitalis dan sistem tersebut berpengaruh pada sistem kerja dan pengupahan di perkebunan. Dalam penelitian ini ditunjukkan bagimana perubahan upah dari waktu ke waktu tidak memberikan perubahan kehidupan bagi buruh petik di perkebunan, walaupun terjadi dinamika pengupahan pemetik teh di perkebunan sebab meningkatnya nilai upah yang diterima tidak berdampak pada meningkatnya daya beli pemetik dari waktu ke waktu. Secara umum bab ini hendak menunjukkan kondisi buruh petik di perkebunan dalam sistem pengupahan yang telah berlangsung dari waktu ke waktu di perkebunan. 6.1
Pengupahan di Perkebunan Gunung Mas
6.1.1
Alasan Menjadi Pemetik Di Perkebunan Gunung Mas Buruh di perkebunan bukanlah pekerjaan yang diharapkan setiap orang bahkan
calon pekerja di perkebunan, namun menjadi buruh di perkebunan telah berlangsung secara turun temurun sampai saat ini. Alasan seorang calon pekerja menjadi buruh di perkebunan merupakan hal menarik untuk diketahui. Dalam sistem kerja di perkebunan telah terjadi ketidakadilan pada pekerjaan sebagai pemetik dan hal tersebut pun disadari oleh calon pekerja. Buruh hanyalah dipandang sebagai faktor produksi dalam sistem kerja di Perkebunan Gunung Mas, namun regenerasi buruh di PGM tidak berhenti akibat posisi buruh yang paling rendah dan diskriminasi upah yang juga diterimanya. Keberadaan buruh di PGM terbentuk secara turun temurun antar generasi yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain buruh di perkebunan secara tidak langung
84
diisolasi dari sumber informasi sehingga masyarakat perkebunan tidak memiliki pilihan, dan besarnya ketergantungan mereka terhadap perkebunan sehingga mereka memilih untuk tetap bekerja sebagai buruh. Informan Pemetik Ibu Mn berusia 27 tahun bercerita, “Saya berasal dari sini (Rawadulang). Saya merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara. Keluarga saya merupakan keluarga turun-temurun bekerja di perkebunan. Nenek saya merupakan seorang pemetik di perkebunan. Ibu merupakan seorang pemetik perkebunan yang sudah pensiun saat ini. Kedua kakak perempuan saya bekerja sebagai pemetik di PGM, sedangkan kakak laki-laki saya bekerja babad di PGM, dan yang lain memutuskan untuk mencari pekerjaan lain di luar PGM. Saya memutuskan untuk menjadi pemetik dan tetap tinggal di Perkebunan.Saya pertama kali bekerja sebagai pemetik sekitar 15 tahun lalu jauh sebelum saya menikah. Sebenarnya menjadi seorang pemetik bukanlah cita-cita saya sejak dulu. Saya ingin sekali bisa bekerja selain menjadi pemetik, namun berbeda halnya dengan sekarang, dulu sekolah susah, saya pengen sekolah tapi tidak memiliki biaya, sehingga saya hanyalah tamatan kelas lima SD karena tidak ada biaya lagi untuk melanjutkan. Setelah tidak lagi melajutkan sekolah, saya sering diajak bekerja oleh Ibu dan Kakak saya. Saya bekerja metik pertama kali saat berumur 12 tahun, waktu itu saya memutuskan untuk bekerja karena Ibu saya diberhentikan oleh perkebunan sehingga hanya kakak saya saja yang bekerja, jadi saya membantu untuk meringankan beban keluarga, dan saya bekerja hingga saat ini di perkebunan. Saya awalnya mendaftar sebagai pemetik kepada mandor kebun, dan kemudian diizinkan untuk menjadi pemetik dengan status harian lepas. Saya menempati posisi ini sudah hampir 15 tahun, namun sampai hari ini saya belum diangkat sebagai pekerja tetap, dan bahkan sekarang saya diberhentikan sementara oleh perkebunan karena tidak ada biaya, untungnya kakak saya berstatus pemetik tetap sehingga saya bisa nempel dengan kakak saya.Saya sebenarnya cape kerja begini (sebagai pemetik), karena kerjanya cape tapi digajinya kecil soalnya harga pucuknya rendah cuma Rp. 530 per kilonya, tapi suami saya juga masih lepas jadi kondisi di rumahnya belum stabil. Saya bekerja selain buat nambahin penghasilan keluarga, minimal bisa buat ngasih jajan anak setiap hari karena disini mah anak jajannya banyak, selain itu juga kerja dirumah mah lebih cape karena ga ada selesainya kerjaan, abis nyuci terus masak, terus nyuci piring. Sebenarnya mah capean kerja di rumah dari pada metik, kalo metik mah bisa sambil ngobrol juga sama pemetik lain.Saya sebenernya pengen nyari kerjaan lain gitu biar lebih enak hidupnya, tapi saya ga tega ninggalin anak-anaknya masih pada kecil. Lagian kerja sekarang mah enak kalo udah tetep bisa dapet bonus, tunjangan, sama pensiun. Kerja disini juga ga ada syarat pendidikan tertentu, kalo mau kerja, mau cape ya bisa kerja di perkebunan. Selain itu tidak perlu untuk memikirkan rumah karena udah dapet fasilitas dari perkebunan. Sekarang mah kerja gini aja yang giat biar kenilainya bagus, kalo ada pengangkatan bisa dibawa, dan yang penting mah masih bisa makan tiap harinya.”
85
Cerita tersebut merupakan gambaran umum pemetik teh dengan segala alasannya untuk tetap bekerja di perkebunan. Sebagian besar dari pemetik umumnya tidak memiliki alternatif pekerjaan lain dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang mereka miliki sehingga bekerja sebagai pemetik merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mencukupi kebutuhan mereka. Selain itu, fasilitas yang diberikan oleh perkebunan membuat mereka bergantung pada perkebunan karena fasilitas yang diberikan perkebunan merupakan alternatif untuk mengatasi persoalan hidup saat ini. Alasan utama perempuan bekerja sebagai pemetik adalah tidak mencukupinya kebutuhan rumahtangga. Namun, rendahnya tingkat pendidikan para pencari kerja khususnya pemetik di perkebunan dan sumber informasi yang terbatas maka bekerja sebagai pemetiklah harapan yang dimilikinya. Besarnya jumlah pemetik di perkebunan mencakup seluruh pemetik (tetap, lepas, dan musiman) mengakibatkan perkebunan memiliki kelebihan tenaga kerja. Berlebihnya tenaga kerja perkebunan tersebut merupakan suatu aset tidak bergerak yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan oleh pihak perkebunan. Pemetik sebagai aset perkebunan disebabkan pemetik tidak memiliki nilai jual yang tinggi terhadap pihak perkebunan. Pemetik menggantungkan hidupnya melalui pekerjaan diperkebunan. Masyarakat perkebunan cenderung terisolasi dari informasi yang ada di luar sehingga anggapan bahwa hanya dari perkebunanlah sumber kehidupan mereka menjadi dasar ketergantungan mereka pada perkebunan. Hal tersebut diperkuat dengan adanya rumah dinas yang diberikan kepada pekerja dan membuat mereka akan terus menjadi pekerja perkebunan walaupun upah yang diterima rendah. Akibatnya pemetik tidak dapat keluar dan mencari alternatif pekerjan lain selain bekerja di perkebunan, karena kultur dan kondisi masyarakat serta lingkungan perkebunan membuat mereka tidak memiliki pilihan untuk keluar dari kondisi tersebut.
86
6.1.2
Pengupahan di Perkebunan Gunung Mas “Disini mah gajinya kecil paling cuma cukup buat makan sehari hari” (Pemetik Ibu Yn, 55 tahun) “Istri saya sudah kerja metik dari harga pucuk masih Rp.4, tapi sampe sekarang ya gini-gini ajah ga ada yang berubah” (Pemetik Bapak Ad, 60 tahun) Begitulah kutipan pernyataan yang diungkapkan oleh pemetik dari dua jenis
kelamin yang berbeda, yang menyatakan pernyataan yang sama bahwa upah yang diberikan oleh PGM terhadap buruhnya adalah rendah. Namun, upah merupakan unsur utama yang menjadi alasan bekerjanya seseorang di perkebunan, sehingga pengupahan dalam penelitian ini menjadi penting untuk dianalisis lebih lanjut untuk melihat perbedaan upah yang diterima oleh pekerja laki-laki dan pekerja perempuan dengan status yang sama yaitu sebagai buruh. Berdasarkan kutipan di atas pun terlihat bahwa terdapat beberapa rumahtangga yang menggantungkan sebagian besar pendapatannya dari upah istrinya sebagai pemetik. Kontribusi upah pemetik dalam pendapatan rumahtangga akan dibahas lebih lanjut pada bab selanjutnya. Pengupahan merupakan unsur utama dalam berbagai pekerjaan begitupun di perkebunan. Perkebunan membedakan pengupahan pekerja berdasarkan jenis dan status pekerjaan. Pekerjaan dengan status tertentu seperti mandor, mandor besar, sinder, dan sinder kepala, memiliki upah yang cukup stabil dan lebih tinggi dibandingkan upah pekerjaan dengan status sebagai buruh. Pekerjaan dengan status tertentu seperti mandor mengharuskan tingkat pendidikan tertentu sehingga upah yang diberikan lebih tinggi. Sedangkan pekerjaan dengan upah rendah dan pekerjaan yang berat diberikan kepada perempuan. Hal tersebut dikarenakan sifat perempuan yang cenderung nurut dan manut kepada perintah dan kebijakan yang diberikan oleh pihak perkebunan. Pada dasarnya, perkebunan telah menetapkan job description kepada setiap pekerja di perkebunan saat diangkat menjadi karyawan tetap perkebunan yang juga
87
diatur mengenai waktu bekerja serta upah yang akan diterima. Namun dalam realisasinya di pekerjaan, aturan pekerjaan umumnya hanya diberikan secara tegas kepada buruh, sedangkan kepada mandor misalnya diberikan secara berbeda. Narasumber pemetik Ibu Mn berusia 27 tahun menyatakan bahwa, “kalo pemetik mah setiap harinya kerja dari jam tujuh pagi sampai jam tiga atau empat sore, dari senin sampai sabtu, harusnya sih ada mandor yang mengawasi cuma ya gitu disini mah mandornya suka seenaknya. Kalo pagi biasanya baru dateng jam Sembilan pagi, pulangnya suka duluan, kalo hari jumat biasanya jam 11 udah pulang karena solat jumat dan tidak kembali lagi. Kalo sekarang (sabtu) saya tidak tahu kenapa tidak ada mandornya, padahal kemaren udah marah-marah anak buahnya gara-gara ga ada yang ngawasin…” Pekerjaan merupakan alasan utama pemberian upah bagi pemetik begitupun dengan pekerja lain di perkebunan. Pemberian pekerjaan yang berbeda berdampak pada perbedaan pemberian upah di perkebunan antara laki-laki dan perempuan, namun hal tersebut tidak berlaku di bagian pemetikan sebab upah dibayar berdasarkan jumlah pucuk yang didapatkan oleh pemetik setiap harinya. Di bagian pemetikan waktu kerja berpengaruh penting untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi, semakin lama bekerja (melakukan pemetikan) maka semakin banyak jumlah pucuk yang dapat dipetik. Waktu kerja bukanlah faktor utama bagi pekerja lain dibagian perkebunan untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi. Seperti administratur, staf kantor induk, maupun mandor, yang upahnya dipengaruhi oleh faktor lain yaitu tingkat pendidikan. Dalam hal ini, pekerjaan selain buruh dibayar berdasarkan jenjang pendidikan dimana pemikirannya (kemampuan dan keterampilan) yang dibayar oleh perkebunan, sedangkan buruh dibayar berdasarkan tenaga yang dikeluarkan untuk bekerja. Namun untuk membedakan upah berdasarkan jenis pekerjaan yang didalamnya terdapat waktu kerja akan disajikan secara ringkas pada Tabel 4.
88 Tabel 4 Perbedaan Pengupahan Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010 Istirahat
Pulang
Tingkat pendidikan
Upah Pekerjaan
Pekerjaan dilakukan
12.00 – 14.30
16.00 (namun sering pulang sebelum selesai)
S1 (sarjana)
¾ Rp. 2.500.000
12.3014.30
16.00
SMA
¾ Rp. 1.500.000
Mengamati produksi dan menetapkan kebijakan Melakukan pekerjaan kantor
06.00
10.00
13.00
SMP, SMA
Koperasi (Senin-Sabtu) Mandor Pemetikan (Senin-Sabtu)
08.00
12.30 – 13.00 bebas
16.00
SMA
Tetap = Rp. 750.00018 Lepas = sesuai dengan jumlah hari masuk, satu hari Rp. 15.000 Rp. 750.000
koperasi
SMA, namun ada yang SMP
Rp. 900.000-1.500.000
Mengawasi20
Pekerja pangkas(ngore d, rawat, dll) (Senin-Sabtu)
06.00
10.00
Sesukanya, kadang mengikuti pemetik, kadang pulang lebih awal namun hari jumat pulang 11.00 Setelah selesai
Tidak sekolah, SD/ SMP
Pekerjaan di kebun
Pemetik (Senin-Sabtu)
06.15/06.30
10.00/ nimbang I
Tetap : harian Rp. 25.000 Lepas : berdasarkan jumlah patok yang telah dibersihkan, 1 patok Rp.10.500 luas 1 patok sekitar 3x4 meter Tetap : borongan21 + minggu/cuti/libur dibayar Rp. 20-25ribu, tergantung golongan dan strip pekerja lepas : hanya berdasarkan borongan pucuk/kg Rp.530
Jenis pekerjaan Administratur (Senin-Sabtu)
Karyawan kantor induk (Senin-Sabtu) Pabrik : Pengepakan (Senin-Sabtu)
Berangkat kerja (masuk) 08.00 (namun sering datang tidak tentu) 08.00
Sesukanya kadang jam 08.00, kadang jam 09.0019
Kadang jam 15.00 (pucuk sedikit), pucuk banyak bisa sampai jam 18.00
SD/ tidak sekolah
yang
pengepakan
Memetik teh
Sumber : Data primer penulis berdasarkan wawancara dan observasi di lapangan (2010)
Dalam Tabel 4 menunjukkan upah yang diterima oleh buruh hanyalah 10 persen dari upah yang diterima oleh administratur, namun buruh melakukan pekerjaan yang lebih berat (menggunakan tenaga lebih banyak) dibandingkan dengan administratur. 18
Upah pekerja pabrik, kebun diluar pemetikan adalah harian adalah Rp. 25 ribu per hari Jam kerja mandor seringkali tidak jelas, kadang datang jam 9.00 sesuai waktu kerja kantor atau lebih siang bahkan mungkin tidak ada rencana datang hanya saja takut ada pemeriksaan dari pusat makanya dia bekerja 20 Hanya sebatas mengawasi tanpa membantu apabila melakukan perpindahan kebun walaupun menurut mandor alasan tidak ada mandor perempuan diperkebunan adalah agar dapat membantu pemetik mengangkat angkat namun dalam observasi dilapang mandor hanya seperti tuan tanah yang mengawasi apakah budaknya bekerja dengan benar, tanpa sama sekali membantu 21 Sistem kerja buruh pemetik teh adalah sistem borongan. Dalam Permenaker no. Per-03/Men/1994, yang disebut sebagai tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan menerima upah didasarkan atas volume pekerjaan atau satuan hasil kerja (Bab I, Pasal I) 19
89
Namun, upah yang diterima oleh sesama buruh di perkebunan pun berbeda di bidang yang berbeda, dan pemetik tetap mendapatkan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan buruh lain misal buruh pabrik. Karyawan di bagian pabrik terdiri dari mandor besar pabrik, mandor, dan buruh pabrik perkebunan yang terdiri dari buruh tetap dan buruh lepas. Sistem penggajian pabrik untuk mandor besar dan mandor adalah berdasarkan surat ketetapan direksi, sedangkan untuk buruh pabrik diatur oleh manajemen, seperti halnya buruh petik teh. Aturan upah bagi buruh pabrik berdasarkan jumlah hari kerja buruh tersebut. Buruh pabrik tetap dibayar berdasarkan hari kerja ditambah dengan hari libur maupun cuti, sedangkan buruh pabrik lepas hanyalah berdasarkan banyaknya hari buruh tersebut dipekerjakan. Upah pekerja tetap dalam satu hari adalah sebesar Rp. 25.000 sehingga dalam satu bulan bisa mencapai Rp. 750.000, sedangkan untuk pekerja lepas upah dalam satu hari mereka bekerja adalah sebesar Rp. 10.000 – Rp. 15.000 sehingga jika dalam satu bulan mereka dipekerjakan selama satu bulan penuh maka upah yang didapatkan adalah Rp. 300.000 – Rp. 450.000, namun umumnya buruh pabrik lepas hanya dipekerjakan paling lama 20 hari dalam satu bulan. Sistem pengupahan di pabrik membedakan upah untuk pekerja laki-laki dan pekerja perempuan, besarnya perbedaan upah per hari adalah Rp. 1000 sehingga dalam satu bulan perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan mencapai Rp. 30.000. Pembedaan upah tersebut disebabkan keberadaan perempuan di pabrik hanyalah pekerja “tambahan” dan dianggap diberikan pekerjaan lebih ringan dibandingkan dengan laki-laki misal dalam pengepakan yang di dominasi buruh perempuan di pabrik. Laki-laki di pabrik umumnya bertugas untuk menjalankan mesin, mengangkat kardus ke truk, mengangkat pucuk ke pabrik dan melakukan pekerjaan berat lainnya sedangkan
90
perempuan hanya bekerja di depan mesin untuk memasukan teh kedalam kardus. Dalam hal ini, laki-laki dianggap melakukan pekerjaan yang lebih berat sehingga diupah lebih tinggi, namun secara tidak sadar buruh perempuan pun memiliki resiko pekerjaan yang tinggi sehingga pembedaan upah tersebut merupakan ketidakadilan bagi buruh perempuan. Buruh petik perkebunan tidak dibedakan upah untuk buruh petik laki-laki dan upah untuk buruh petik perempua, berbeda halnya dengan buruh pabrik. Pada dasarnya, pemetik di PGM terdiri dari laki-laki dan perempuan, namun secara jumlah didominasi oleh pemetik perempuan. Dalam pemetikan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa upah diberikan berdasarkan jumlah petikan, namun pemetik harus memiliki barang-barang yang dibutuhkan untuk menjadi pemetik. Pemetik harus memiliki alat-alat yang akan membantu pemetikan seperti Catok (topi), Waring (tempat pucuk), Keranjang, Sepatu (boots), plastik untuk melindungi dari basah mapun hujan dan baju pemetik terdiri dari dua macam CV dan Kaos. Perusahaan hanya memberikan baju pemetik yaitu CV dan kaos bertuliskan PT. Perkebunan Nusantara VIII Gunung Mas, sedangkan peralatan lain harus dimiliki sebelum bekerja antara lain keranjang pemetik, tudung, waring dan sepatu (boots) yang masing-masing harus dibeli sendiri dengan kisaran harga Rp. 10.000- Rp. 80.000 per jenisnya. Jumlah total buruh petik dengan status tetap saat ini adalah 103 orang pekerja. Dalam pemetikan, mandor memegang 35-37 orang, yang terdiri dari tiga orang mandor panen. Dalam pemetikan produksi dilakukan setiap hari, tidak ada libur kecuali hari minggu ataupun libur nasional. Target pemetikan setiap harinya adalah 44 kilogram22 per orang per hari menurut ketetapan perkebunan, namun menurut ketetapan mandor 22
Berdasarkan aturan yang ditetapkan oleh perkebunan berdasarkan surat ketetapan Direksi
91
adalah 32 kilogram per orang per hari jika pucuknya sedang banyak. Harga pucuk yang diberikan perusahaan kepada pemetik tidak menentu tergantung dari pendapatan pucuk pemetik itu sendiri, dan tergantung pada harga teh di pasaran dunia. Pada saat harga teh di pasaran internasional stabil, jika jumlah petikan mencapai target yaitu 44 kilogram per orang per hari maka harga pucuk per kilogramnya adalah Rp. 570 per kilogram, dalam hal ini 44 kilogram tersebut dihitung berdasarkan pucuk setelah dikeringkan (pucuk kering). Jika jumlah petikan kurang dari 44 kilogram maka manajemen dalam hal ini mandor, dan petugas tata usaha kantor (TUK) akan menurunkan target petikan menjadi 29-32 kilogram per orang per hari dengan harga pucuk per kilogramnya adalah Rp. 530 per kilogram. Rendahnya harga pucuk yang diterima oleh pemetik teh ditinjau dari alokasi dana yang diberikan perusahaan untuk membayar pekerja perkebunan berdasarkan harga teh di pasaran internasional terdapat ketimpangan yang cukup signifikan. Harga teh Indonesia dipasaran Internasional adalah US$ 1,4 per kilogram dimisalkan dengan perbandingan nilai tukar dollar terhadap rupiah adalah Rp. 10.000 dan harga pucuk untuk pemetik adalah Rp. 530, jika diasumsikan biaya distribusi, transportasi, dan biaya lain diluar penggajian pegawai adalah 50 persen dari harga teh maka alokasi dana yang dikeluarkan pihak perkebunan untuk pemetik hanyalah 0,07 persen dari pendapatan per kilogram teh yang dijual di pasaran internasional. Upah pemetik sendiri dihitung berdasarkan borongan, sehingga untuk mengambil jalan tengah dari fluktuasi harga pucuk maka perkebunan menetapkan harga pucuk per kilogramnya adalah Rp. 530. Ketetapan target petikan tersebut tidak mutlak dan berbeda antar mandor sebab setiap mandor memiliki target masing-masing agar
92
dapat naik strip dan mendapatkan bonus serta premi23 dari perusahaan. Pemetik sendiri akan mendapatkan bonus berupa kenaikan strip, dalam hal ini kenaikan strip akan berpengaruh pada besarnya upah minggu ataupun hari libur yang diterima pemetik. Harga pembelian pucuk yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu HP = R(HJ-B)24 dimana HP adalah harga pucuk teh yang diterima oleh petani di tingkat pabrik (Rp per kilogram) pucuk teh basah, R adalah persen rendeman rata-rata pucuk teh basah menjadi kering, HJ adalah harga rill rata-rata tertimbang realisasi penjualan ekspor (FOB) dan lokal selama dua minggu sebelumnya sesuai komposisi dan jenis mutu teh yang dihasilkan (Rp per kilogram), dan B adalah biaya olah yang meliputi biaya pengolahan, pemasaran dan penyusutan yang dikeluarkan perusahaan (Rp per kilogram) teh kering. Berdasarkan pengamatan peneliti, pemetik tetap memiliki gaji pokok adalah sebesar Rp. 208.958. Namun, upah yang dibayarkan kepada pemetik hanya berdasarkan borongan ditambah dengan upah hari minggu/libur/cuti, sedangkan gaji pokok pemetik tidak termasuk kedalam upah yang diterima pemetik setiap bulannya. Perhitungan upah pemetik tetap dimisalkan borongan pemetik selama satu bulan adalah satu ton yaitu 1000 kilogram, maka upah pemetik adalah Total jumlah borongan selama 1 bulan ditambah Upah Minggu/libur/cuti maka (1000 kilogram x Rp. 530) + ( Rp. 25.000 x 4) sehingga upah pemetik adalah Rp. 630.000 dengan catatan bahwa borongan tersebut adalah pucuk kering25. Upah Minggu/libur/cuti tersebut berkisar antara Rp. 20.000 – Rp. 25.0000. Upah minggu/libur/cuti yang diterima pemetik dengan strip tujuh adalah Rp. 22.000. Upah minggu/libur/cuti yang diterima pemetik dengan strips sembilan adalah Rp. 25.000. 23
Premi (bayaran kerja lembur) disebut juga tips yang diberikan perusahaan kepada karyawan , khususnya pengawas dan pelaksana I untuk keperluan lembur atau keperluan perkebunan lain, untuk staf manajerial besarnya premi adalah Rp. 100.000 per orang. 24 Dikutip dari http://www.csrreview-online.com/lihatartikel.php?id=24 25 Pucuk kering dari pemetik adalah jumlah petikan dipotong 3-5 kilogram saat penimbangan. Jika pucuk sedang banyak maka jumlah potongan penimbangan dapat lebih dari lima kilogram.
93
Pemetik sendiri diangkat tetap
dengan
golongan 1A strip tiga dengan upah
minggu/libur/cuti adalah Rp. 20.000. Pemetik boleh tidak masuk atau izin saat bekerja, namun perhitungan upahnya hanya dibayar satu hari saja, jika tidak masuk diwaktu kerja dan bukan cuti maka upah minggu akan hilang. Pemetik lepas diberikan upah berdasarkan jumlah borongan setiap bulannya. Pemetik lepas juga diberikan penilaian setiap bulannya, penilaian tersebut sebagai salah satu indikator dapat diangkat atau tidaknya pemetik lepas menjadi tetap. Dimisalkan jumlah borongan satu ton yaitu 1000 kilogram, maka upah yang didapat adalah 1000 kilogram dikali dengan Rp. 530 (1000 x Rp. 530) maka upah pemetik satu bulannya adalah Rp. 530.000. Pemetik nempel diberikan sama seperti upah pekerja harian lepas, yang membedakannya adalah waktu kerja pekerja nempel berbeda dengan pekerja lepas. Pekerja nempel adalah dianggap sebagai pekerja tambahan yang bersifat hanya membantu keluarganya, sehingga pada waktu tertentu seperti menjelang lebaran pekerja nempel dilarang untuk bekerja. Tidak semua pekerja harian lepas dapat melakukan nempel, sehingga pekerja yang lain hanya menunggu panggilan bekerja dari perkebunan ataupun menganggur. Perbedaan upah pemetik adalah berdasarkan lama bekerja di perkebunan sehingga golongan dan strip yang dimiliki lebih tinggi yang berpengaruh pada upah yang diterima, status kerja, jumlah borongan, dan potongan-potongan yang dikenakan perusahaan setiap gajian. Potongan untuk pemetik tetap mendapat potongan koperasi selama sebulan, pensiun, dan astek26. Potongan untuk pemetik harian lepas hanyalah potongan koperasi jika berhutang dalam satu bulan, sedangkan untuk pemetik nempel tidak mendapat potongan sebab upah yang diterima menggunakan nama orang lain (bersama). 26
Astek adalah Jamsostek (jaminan sosial dan asuransi kesehatan) dari perkebunan yang diberikan kepada karyawan dan buruh dengan status tetap. Potongan astek diberikan kepada buruh dengan status tetap setiap bulannya sebagai jaminan saat berobat atau sakit parah.
94
Posisi pemetik dalam pengupahan hanyalah sebagai objek. Dimana semua kegiatan produktif yang menghasilkan upah diatur oleh pihak perkebunan. Pemetik khususnya, mengetahui posisi mereka dalam stratifikasi sosial di perkebunan. Pemetik menyadari apa yang terjadi pada kehidupan mereka selama menjadi pekerja. Pemetik mengetahui bahwa mereka dirugikan dengan harga pucuk yang rendah, dan ada orangorang tertentu yang diuntungkan dari kerugian mereka. Mereka mengetahui penyebab mengapa mereka hanya diberikan harga pucuk Rp. 530 per kilogram. Namun, pemetik tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari keadaan tersebut karena pemetik bergantung pada keberadaan perkebunan. 6.1.3
Dinamika Pengupahan Bicara tentang pengupahan di perkebunan, tidak hanya berhenti pada bagaimana
pengupahan tersebut berlangsung saat ini tetapi bagaimana pengupahan tersebut berubah dan berlangsung dari waktu ke waktu. Kehidupan pemetik di perkebunan pun sudah menjadi sorotan sejak dahulu, karena banyaknya ketidakadilan pengupahan dan eksploitasi tenaga kerja. Perubahan pengupahan merupakan salah satu perubahan yang terjadi di perkebunan dari waktu ke waktu. Namun, penelitian ini hanya berdasarkan observasi dan wawancara dengan informan dan data mengenai perubahan upah maupun upah itu sendiri tidak diberikan oleh perkebunan. Perubahan kebijakan dalam kurun waktu 30 tahun antara lain tidak terbukanya manajemen perkebunan saat ini khususnya persoalan upah dan buruh, pergantian administratur yang cukup sering di PGM, kebijakan penebangan pohon pelindung yang seharusnya tidak ditebang, tidak dipekerjakannya lagi pekerja harian lepas (BHL) dan pekerja musiman, pembelian pucuk dari perkebunan swasta maupun rakyat dan
95
ditiadakannya pengangkatan karyawan tetap oleh pihak perkebunan27. Secara umum perubahan pengupahan di perkebunan terjadi dari waktu ke waktu meliputi perubahan nominal upah, insentif, penambahan fasilitas, dan pemberian tunjangan. Namun perkebunan masih menganut sistem borong dalam pemetikan yang upah dibayar berdasarkan jumlah borong, sehingga perubahan nominal jumlah upah tidak berarti merubah nasib buruh tersebut menjadi lebih sejahtera saat ini. Narasumber pemetik Ibu Mn berusia 27 tahun menyatakan bahwa “Kerja di Perkebunan sekarang mah enak harga pucuknya lebih tinggi jadi pendapatannya lebih banyak, selain itu diberikan tunjangan pensiun, bonus kerja, dan pendapatan tambahan lain dari perkebunan seperti tunjangan pendidikan. Namun, walaupun harga pucuk saat ini lebih tinggi dibandingkan dengan saat ibu saya bekerja, kondisi kehidupan saya tidak berubah bahkan saya merasa kehidupan saya saat ini lebih sulit” Tren perubahan upah yang diterima oleh buruh petik perkebunan dari waktu ke waktu yang dikorelasikan terhadap kemampuan membeli beras. Jika dalam satu bulan dimisalkan jumlah petikan sebanyak satu ton maka dalam kurun waktu dari 1980 sampai 2010 banyaknya beras yang dapat dibeli pemetik ditampilan pada Tabel 5. Tabel 5 Daya Beli Pemetik Berdasarkan Perubahan Upah Pemetik di Perkebunan Gunung Mas Tahun 1980-2010 Ket Nilai Upah/kg28 Harga Beras/kg29 Upah dalam 1 bulan (Rp) Jumlah Beras yang Dibeli
Tahun 2000an Rp. 250 Rp. 2800
2009 Rp. 490 Rp.5500
2010 Rp.530 Rp. 6000
150.000 200.000
250.000
490.000
530.000
227 kg
89 kg
89 kg
88 kg
1980an Rp. 100 Rp. 400
1994 Rp. 150 Rp. 660
100.000 250 kg
1998 Rp. 200 Rp. 2100
95 kg
Sumber : Dikumpulkan penulis berdasarkan olahan catatan harian dari data primer hasil wawancara dan observasi di lapangan (2010)
27
Ditiadakannya pengangkatan karyawan lepas belum ditetapkan oleh pihak perkebunan, namun rumor tersebut sudah beredar dikalangan pekerja. Hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya pengangkatan setelah tahun 2001 oleh pihak perkebunan dalam beberapa tahun terakhir. 28 Penentuan nilai upah yang diterima pemetik dari waktu ke waktu berdasarkan hasil wawancara yang dikumpulkan oleh peneliti di lapangan 29 Achmad Suryana dan Sudi Mardianto 2001, Bunga Rampai Ekonomi Beras, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI), Jakarta, halaman 248
96
Kenaikan upah yang diberikan pihak perkebunan tidak berdampak pada meningkatnya kesejahteraan buruh petik sebab pada dasarnya daya beli buruh petik tidak berubah bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut disebabkan oleh naiknya harga kebutuhan pokok terutama beras. Akibatnya buruh tetap berada dalam kondisi miskin sampai hari ini, walaupun upah dan tunjangan yang diberikan perkebunan meningkat. Perubahan upah dari waktu ke waktu yang diberikan perkebunan secara ringkas pada Tabel 6. Tabel 6 Perubahan Upah Pemetik Di Perkebunan Gunung Mas Tahun 1950-2010 Waktu 1950an (orde lama)
Harga Pucuk (per kg) Rp.4,00
Lepas31
Fasilitas30
Upah
Hanya borongan (dipekerjakan setiap hari)
Borong + upah minggu/libur
Rp. 100
Hanya borongan (dipekerjakan setiap hari)
Borong + upah minggu/libur
1990an (orde baru ke reformasi)
Rp. 150
Hanya borongan (dipekerjakan setiap hari)
Borong + upah minggu/libur + THR
2000an (reformasi)
Rp 200 – Rp.400
Hanya borongan (dipekerjakan setiap hari)
Borong + upah minggu/libur + bonus + THR
2009 (sekarang)
Rp. 490
1980an (orde baru)
Keterangan
Tetap Rumah dinas, kesehatan, cuti haid, pesangon saat pensiun Rumah dinas, kesehatan, cuti haid, pesangon saat pensiun Rumah dinas, kesehatan, cuti haid, pesangon saat pensiun Rumah dinas, kesehatan, biaya pendidikan, sosial, kesehatan tunjangan pensiun, dan gaji pensiun Rumah dinas, kesehatan, biaya pendidikan, sosial, kesehatan tunjangan pensiun, dan gaji pensiun
Lepas hanya sebentar, hanya satu bulan lepas langsung bisa tetap. Lepas selama 3 bulan bisa diangkat tetap Lepas dalam jangka waktu cukup lama tapi masih banyak yang diangkat tetap Lepas dalam jangka waktu cukup lama hanya beberapa yang diangkat tetap
Lepas Borong + upah Lepas lebih dari 10 ditiadakan, minggu/libur + tahun belum diangkat pekerja lepas bonus + THR tetap sampai hari ini nempel 32pekerja dengan alasan belum tetap. Upah butuh pemetik yang diterima tambahan berdasarkan borongan. Sumber : Dikumpulkan penulis berdasarkan olahan catatan harian dari data primer hasil wawancara dan observasi di lapangan (2010)
30
Diluar jaminan kesehatan, jaminan rumah, dan jaminan sosial yang diberikan oleh perkebunan Pekerja lepas di PGM adalah pekerja lepas yang waktu dan jam kerjanya sama dengan pemetik tetap, sebab pekerja lepas merupakan calon pekerja tetap yang akan dinilai oleh mandor, yang membedakan dengan pekerja tetap antara lain upah hari minggu/libur, dan fasilitas yang diberikan perkebunan. 32 Karyawan lepas yang nempel di pekerja tetap memiliki suka dukanya, dukanya adalah selain hanya berdasarkan jumlah petikan karyawan tersebut ketika lebaran tidak mendpaat pesangon, bonus, dan lainlain selain itu juga tidak diperbolehkan untuk bekerja sewaktu akan lebaran sehingga sebagian besar dari pekerja nempel kebingungan ketika akan lebaran. 31
97
Kehidupan pemetik tidak berubah secara sosial ekonomi, karena pemetik masih berada dalam situasi yang sama selama kurun waktu lebih dari 30 tahun bekerja di perkebunan. Secara sosial ekonomi, kondisi pemetik tidak berubah antara lain disebabkan 1) rumah yang mereka tinggali sampai hari ini merupakan rumah turun temurun dari keluarga sebelumnya, 2) sebagian besar benda dalam rumah adalah peninggalan sebelumnya. Walaupun terjadi perubahan secara signifikan jika dilihat dari nilai nominal upah yang diterima, namun daya beli pemetik tidak berubah secara signifikan. Penambahan barang seperti televisi misalnya, dapat dibeli dengan mengharapkan bonus ataupun tunjangan dari perkebunan. Pemetik Ibu Yn berusia 55 tahun bercerita bahwa, “…Saya sudah bekerja sebagai pemetik tahun ini tepat 30 tahun, dan memang saya bekerja tinggal satu tahun ini, sebab tahun depan saya sudah pensiun. Sebenernya mah bingung nantinya mau tinggal dimana, pengennya sih masih disini biar enak apa-apanya. Dari dulu lahir sampai sekarang sudah tua saya tinggal disini, dari dulu hidup saya ya begini-begini saja tidak ada yang banyak berubah, dulu ibu saya pemetik sekarang dilanjutin saya dan adik saya jadi pemetik. Kalo upah dari metik mah sebenarnya tidak cukup, biasanya habis buat makan sehari-hari juga soalnya sekarang apa-apa mahal beda kalo dulu mah. Sekarang mah saya lagi nunggu bonus 30 tahunan, rencananya sih buat bikin rumah kecil nanti kalo di udah pensiun…” Berdasarkan penjelasan tersebut terlihat bahwa dalam sistem pengupahan di PGM tidak terjadi dinamika pengupahan pemetik di perkebunan. Kenaikan harga pucuk yang diberikan oleh perkebunan tidak sebanding dengan naiknya harga barang dan kebutuhan pokok sehingga pemetik dari tahun ke tahun tetap dalam kondisi kehidupan yang sama yaitu miskin. Dibawah ini akan didapat dilihat perbandingan daya beli pemetik saat ini dengan 20 tahun yang lalu pada Tabel 7.
98 Tabel 7 Perbandingan Daya Beli Pemetik Di Perkebunan Gunung Mas Tahun 2010 No. 1.
Upah yang Diterima 20 tahun yang lalu, maka upanya Rp. 200.000
Barang yang dapat dibeli
Sisa Penghasilan dan Penggunaannya
Untuk membeli kebutuhan pokok (beras, lauk pauk, jajan anak, rokok), menghabiskan penghasilan lebih dari 50 persen sebab harga kebutuhan pokok rendah Saat ini, barang yang dapat dibeli selama satu bulan antara lain kebutuhan pokok, transportasi, biaya pulsa, biaya listrik, biaya arisan dan kondangan yang menghabiskan seluruh penghasilan bahkan seringkali tidak cukup
Sisa penghasilan umumnya disimpan atau digunakan untuk membayar hutang dan membeli barang-barang keperluan rumahtangga seperti kursi, lemari,dll 2. Saat ini (2010), upah Saat ini pemetik seringkali tidak yang diterima Rp. memiliki sisa penghasilan sebab telah 530.000 habis untuk mencukupi kebutuhan pokok. Barang yang dimiliki umumnya didapat dengan berhutang atau saat mendapatkan uang lebih seperti bonus/tunjangan Sumber : Dikumpulkan penulis berdasarkan olahan catatan harian dari data primer hasil wawancara dan observasi di lapangan (2010)
Dinamika pengupahan pada pemetik tidak terjadi di PGM. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu 1) Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh pemetik sehingga mereka tidak dapat memperjuangkan hak mereka untuk mendapatkan upah yang lebih baik, 2) Tekanan yang diberikan perkebunan dalam bentuk doktrinasi kepada pemetik menyebabkan mereka cenderung pasrah menerima keadaannya, 3) Kultur masyarakat yang menganggap upah perempuan hanya penghasilan tambahan dalam keluarga, 4) Walaupun terdapat pemetik laki-laki, pekerjaannya sebagai pemetik merupakan pekerjaan tambahan untuk membantu penghasilan, 5) Tingginya ketergantungan mereka terhadap perkebunan sehingga mereka tidak berani mengambil resiko mempertanyakan upah mereka. Narasumber pemetik Ibu Mn usia 27 tahun bercerita bahwa, “…Sebenarnya bekerja di perkebunan dari dulu sampai sekarang ya begini saja, dibayarnya kecil, cuma ya mau bagaimana lagi soalnya memang begitu. Sebenarnya mah mungkin harga pucuk dari direksi itu beda sama harga pucuk yang dikasih ke kita. Katanya mah harga pucuk dari direksi mah Rp.1000 per kilo, kalo kata orang sini mah kalo harga pucuk Rp.1000 per kilo pada makmur di sini, bisa pada kaya-kaya. Kita (pemetik) mikir gitu teh soalnya setiap ada pemeriksaan kayak kalo ada direksi waktu gajian, gajian teh diundur, kalo ada pemeriksaan pas lagi kerja, disuruh yang rapih kerjanya, dan itumah udah dari dulu sejak ibu saya masih kerja memang sudah gitu kalo ada direksi pasti diundur gajiannya, kayak ada yang ditutupin gitu. Sebenarnya kita mah tahu yang terjadi d isini (perkebunan) cuma mau gimana lagi kita juga ga tahu harus gimana, pengennya sekarang mah cuma tetep bisa kerja ajah…”
99
Kondisi tersebut membuat buruh semakin tergantung kepada perkebunan sebab dengan tinggal di perkebunan maka biaya hidup mereka lebih rendah, perkebunan juga memberikan bonus serta tunjangan yang akan meringankan beban hidup mereka. Buruh petik dalam hal ini mengalami ketergantungan terus menerus bahkan setelah mereka pensiun pun masih tetap bergantung. Namun kondisi pensiunan saat ini lebih baik dengan adanya gaji pensiun yang diberikan oleh perkebunan, sedangkan kondisi pensiunan sebelum diberikan gaji pensiun tidak lebih baik dibandingkan dengan saat mereka menjadi buruh di perkebunan. Pensiunan pemetik (Ibu Ch, 68 tahun) bercerita bahwa, “…Saya berasal dari sini (Rawadulang) sejak lahir. Keluarga saya turun temurun bekerja di perkebunan, ibu dan nenek saya dulu juga bekerja sebagai pemetik di perkebunan. Saya bekerja sebagai pemetik sejak kecil sebab saya tidak bersekolah dan hanya bisa bekerja jadi buruh petik di perkebunan. Saya mulai benar-benar bekerja di perkebunan sejak berumur Sembilan atau sepuluh tahun, waktu itu bekerja sebagai pemetik tetap tidak susah seperti sekarang, dulu saya hanya meminta izin untuk bekerja sebagai pemetik, kemudian diajukan dan langsung diangkat sebagai pemetik tetap. Kerja di perkebunan dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Bekerja dari pagi sampai sore metik pucuk, cuma bedanya dulu pucuknya lebih banyak dibandingkan sekarang. Dulu mah kerja beda sama sekarang dulu mah upahnya kecil dan tidak mendapat tunjangan lain, kalo sekarang kerja menjadi buruh petik lebih enak karena upahnya besar dan banyak tunjangannya kalo tetap mah, hanya saja diangkat jadi tetapnya lebih sulit dibandingkan dulu. Upah yang dulu saya terima walaupun kecil dibandingkan sekarang tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebab zaman dulu harga kebutuhan pokok murah, apa-apa juga murah. Dulu saya bisa beli kursi ini dari dulu, lemari dari pendapatan, kalo buat makan saja sih udah cukup banget waktu dulu mah, kalo sekarang mah biar pendapatannya gede tapi buat makan aja susah Saya sudah pensiun hampir 30 tahun dari perkebunan, pertama kali kerja saya sempat pensiun waktu anak-anak masih kecil karena tidak ada yang menjaga kemudian saya masuk bekerja kembali hanya saja saat bekerja kembali saya tidak mengajukan tetap sehingga kemudian saya dipensiunkan dini sebagai pemetik dan hanya diberi pesangon sebesar Rp.6000. Upah yang diberikan saat saya bekerja berubah-ubah mulai dari sen sampai rupiah seperti sekarang. Saya tidak diberikan tunjangan pensiun maupun gaji pensiun oleh perkebunan oleh sebab itu sampai hari ini saya masih tinggal dengan anak saya, sebab anak saya masih berstatus lepas begitu juga dengan suaminya sehingga saya berbagi tempat awalnya, tapi sekarang ya saya tinggal
100
disini, cuma dikasih tempat dibelakang rumah. Sehari-hari saya menjaga cucu saat anak saya bekerja, di hari jumat saya biasanya pergi pengajian di daerah Sampay dengan berjalan kaki. Saat pengajian biasanya saya diberi uang ataupun beras. Selama ini saya tidak pernah meminta uang kepada anak saya, sehari-hari tapi ada saja orang yang bantu walaupun saya tidak punya penghasilan.” Pensiunan pemetik tersebut merupakan gambaran kehidupan pensiunan pemetik yang cukup banyak jumlahnya di Desa Rawadulang. Umumnya pensiunan pemetik menggantungkan hidupnya pada anaknya. Dalam hal ini, pensiunan pemetik ini hanya diberikan satu ruang kecil dibelakang rumah berukuran 3 x 2,5 meter yang didalamnya terdapat dapur, kamar mandi, dan kamar tidur (lampiran Gambar 8). Kehidupan para pemetik memang penuh dengan ketidakadilan bukan hanya saat mereka masih bekerja, tapi bahkan setelah mereka tidak lagi bekerja (pensiun). Ketidakadilan setelah pensiun tidak hanya terjadi akibat sistem perkebunan namun juga terjadi dalam lingkungan rumahtangga (keluarga). Hal tersebut terlihat dari tidak dianggapnya para pensiunan pemetik di dalam keluarga mereka sendiri. Pensiunan hanya dijadikan “pembantu” untuk beberapa rumahtangga dimana tugas domestik dialihkan kepada pensiunan pemetik (ibu), dan untuk beberapa rumahtangga lain pensiunan dianggap sebagai beban keluarga. Pensiunan tersebut umumnya mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan mengharapkan pemberian dari orang lain. 6.2
Ikhtisar Alasan utama perempuan bekerja sebagai pemetik adalah tidak mencukupinya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Namun, rendahnya tingkat pendidikan para pencari kerja khususnya pemetik di perkebunan dan sumber informasi yang terbatas maka hanya bekerja sebagai pemetiklah harapan satu-satunya alternatif pekerjaan. Besarnya jumlah pemetik di perkebunan mencakup seluruh pemetik (tetap, lepas, dan musiman) mengakibatkan perkebunan memiliki kelebihan tenaga kerja pada pekerjaan sebagai pemetik. Berlebihnya tenaga kerja perkebunan tersebut merupakan
101
suatu aset tidak bergerak yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan oleh pihak perkebunan. Pemetik merupakan salah satu aset tenaga kerja yang dimilik oleh perkebunan. Pemetik dijadikan sebagai aset perkebunan sebab pemetik tidak memiliki nilai jual yang tinggi bagi pihak perkebunan. Pemetik menggantungkan hidupnya melalui pekerjaan diperkebunan. Masyarakat perkebunan cenderung terisolasi dari informasi yang ada di luar sehingga anggapan bahwa hanya dari perkebunanlah sumber kehidupan mereka. Hal tersebut diperkuat dengan adanya rumah dinas yang diberikan kepada pekerja dan membuat mereka akan terus menjadi pekerja perkebunan walaupun upah yang diterima rendah. Fasilitas yang diberikan perkebunan merupakan alternatif untuk mengatasi persoalan hidup mereka saat ini. Akibatnya perkebunan dapat dengan mudah melakukan eksploitasi tenaga kerja melalui pemberian upah yang tidak memenuhi standar upah minimun regional (UMR), pembagian kerja yang tidak adil bagi perempuan, pembedaan fasilitas berdasarkan jenis kelamin, eksploitasi, dan kekerasan yang dialami pemetik dalam hubungan kerja. Sistem pengupahan di PGM menunjukkan terjadi dinamika pengupahan pemetik di perkebunan.
Hal tersebut terlihat dari fluktuasi naiknya harga pucuk teh yang
diterima pemetik dari tahun ke tahun. Dinamika tersebut tidak berpengaruh pada perubahan kondisi sosial ekonomi pemetik teh. Kenaikan harga pucuk yang diberikan oleh perkebunan tidak sebanding dengan naiknya harga barang dan kebutuhan pokok. Akibatnya, pemetik sampai hari ini tetap berada pada kondisi kehidupan yang sama yaitu miskin. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya adalah tingkat pendidikan yang rendah sehingga upah dibayar rendah. Kondisi tersebut berdampak pada kehidupan pemetik perempuan setelah pensiun. Ketidakadilan setelah pensiun tidak hanya terjadi akibat sistem perkebunan
102
namun juga terjadi dalam lingkungan rumahtangga (keluarga). Hal tersebut terlihat dari tidak dianggapnya para pensiunan pemetik di dalam keluarga mereka sendiri. Pensiunan hanya dijadikan “pembantu” untuk beberapa rumahtangga yaitu menggantikan tugas domestik anaknya sebab pensiunan pemetik umumnya masih tinggal dalam satu rumah yang dibedakan.
Pensiunan tersebut umumnya mencukupi kebutuhan sehari-hari
dengan mengharapkan pemberian dari orang lain. Proses marginalisasi terhadap pemetik terjadi dalam hal upah. Sewaktu masih bekerja mereka dieksploitasi dengan beban pekerjaan yang berat baik di kebun maupun dirumah, sedangkan saat ini mereka dianggap sebagai beban dalam rumahtangga dan kehidupan anaknya. Dinamika pengupahan pemetik di Perkebunan Gunung Mas menunjukkan bahwa pemetik dibedakan pengupahannya dengan pekerja lain di perkebunan, selain itu dinamika pengupahan pemetik yaitu perubahan nilai upah yang diterima pemetik, tidak berdampak pada berubahnya kondisi pemetik sejak masih bekerja bahkan setelah pensiun sampai hari ini. Marginalisasi dalam pengupahan menekankan bahwa perempuan disingkirkan dari upah yang lebih baik sejak masih bekerja dan setelah pensiun perempuan disingkirkan dari kondisi hidup yang lebih baik di perkebunan.
103
BAB VII PERAN DAN STATUS PEREMPUAN DI RUMAHTANGGA 7.1
Pembagian Kerja dalam Rumahtangga Peran dalam rumahtangga terdiri dari pembagian kerja di rumahtangga.
Pembagian kerja dalam rumahtangga terdiri atas kegiatan produktif, kegiatan domestik, dan kegiatan kemasyarakatan. Pembagian kerja satu hari 24 jam (lampiran Tabel 1) di rumahtangga pekerja perkebunan dengan ibu atau istri yang bekerja sebagai pemetik teh memperlihatkan peran dan tanggungjawab yang lebih besar dipegang oleh perempuan pada pekerjaan rumahtangga. Hal tersebut dikarenakan ketidaknyamanan para istri apabila tidak mengerjakan pekerjaan domestik sebab dianggap sebagai pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh para perempuan di rumahtangga, tetapi laki-laki tidak diwajibkan karena dianggap kepala keluarga atau pencari nafkah dalam rumahtangga. Anggapan ini tetap sama walaupun kepala keluarga dalam rumahtangga tersebut tidak memiliki pekerjaan maupun pensiunan. Kegiatan produktif di rumahtangga terdiri dari bekerja di perkebunan baik di kebun, pabrik, teknik, kantor induk maupun agrowisata, pekerjaan produktif lain yaitu berdagang, menjual madu, buruh kebun kembang, ojeg, buruh kebun sayuran, pekerja taman safari, dan joki kuda. Kegiatan produktif memiliki dominasi yang sama antara ayah dan ibu. Dominasi kegiatan produktif yang dilakukan oleh ayah bekerja di perkebunan (55,2 persen), berdagang (12,3 persen), dan menjual madu (1,8 persen), sedangkan dominasi kegiatan produktif yang dilakukan oleh ibu adalah bekerja di perkebunan sebagai pemetik teh (98,2 persen). Kegiatan domestik dirumahtangga terdiri dari memasak, mencuci pakaian, menyetrika pakaian, mencuci piring, menyapu, mengepel, belanja kebutuhan rumahatangga, mengasuh anak, mengantar sekolah, dan mendampingi anak belajar.
104
Kegiatan domestik dalam rumahtangga di dominasi oleh ibu dan anak perempuan. Ibu mendominasi kegiatan domestik sebesar 71,9 persen dan anak perempuan 28,1 persen sedangkan suami maupun anak laki-laki tidak mendominasi disebabkan pekerjaan domestik dianggap sebagai pekerjaan perempuan sehingga suami maupun anak laki-laki tidak diberikan kewajiban untuk melakukan pekerjaan tersebut. Kegiatan kemasyarakatan dirumahtangga terdiri dari mengikuti arisan, mengikuti rapat RT, mengikuti kegiatan PKK, menghadiri pemakaman, menghadiri pemilu, menghadiri hajatan, mengikuti kegiatan siskamling, mengkuti pengajian, mengikuti
kerja
bakti,
dan
menghadiri
penyuluhan
KB.
Pelaku
Kegiatan
kemasyarakatan dalam suatu rumahtangga didominasi oleh ayah (84,2 persen). Hal tersebut karena faktor kelelahan ibu yang bekerja dan melakukan pekerjaan domestik. Selain itu, sebagian besar ibu menganggap bahwa hadir dalam kegiatan masyarakat merupakan tugas ayah sebab tugas istri maupun perempuan dalam rumahtangga adalah mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Akibatnya terjadi subordinasi terhadap peran perempuan di lingkungan masyarakat maupun terhadap status perempuan dalam rumahtangga. Hal tersebut disebabkan besarnya tekanan patriarki baik yang tedapat di lingkungan masyarakat maupun di rumahtangga. Laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga yang memiliki kekuasaan dan wewenang yang lebih besar dalam pengambilan keputusan sedangkan perempuan dianggap sebagai orang kedua dalam rumahtangga yang bertugas membantu laki-laki sehingga pekerjaan domestik dikerjakan oleh perempuan walaupun perempuan tersebut merupakan pencari nafkah utama dalam rumahtangga. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga menunjukkan dominasi peranan perempuan (ibu atau anak perempuan) dalam kegiatan domestik. Peranan perempuan dalam pekerjaan domestik di rumahtangga tidak terlepas
105
dari perannya dalam pekerjaan produktif sebagai pemetik teh di perkebunan. Hal tersebut berdampak pada munculnya beban ganda terhadap peran perempuan sebagai pekerja dan juga bekerja di rumahtangga. Anggapan patriaki bahwa pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan dan laki-laki laki adalah kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah, memberikan pengaruh yang besar terjadinya beban ganda pada perempuan di perekebunan. Pembagian kekuasaan berupa pengambilan keputusan dalam rumahtangga menempatkan kontrol ayah pada kegiatan produktif dan kemasyarakatan seperti pengelolaan penghasilan, penentuan pekerjaan, insiatif bekerja, waktu bekerja, dan pemilihan tempat kerja diputuskan oleh ayah. Pengambilan keputusan dalam rumahtangga dipengaruhi oleh pelaku kegiatan produktif. Walaupun Ibu dan ayah samasama dominan dalam kegiatan produktif namun memiliki perbedaan dalam pengambilan keputusan yang akan ditampilkan pada Tabel 8. Tabel 8 Pengambilan Keputusan Dalam Kegiatan Produktif dan Kemasyarakatan Dominasi Pengambilan Keputusan Inisiatif Bekerja Penentuan Pekerjaan Waktu Bekerja Pemilihan Tempat Kerja Hadir Selamatan Ikut Pengajian Ikut Arisan Ikut Gotong Royong
%
70,2 77,2 75,4 82,5
80,7 68,4 43,9 80,7
Ayah Jumlah
%
Ibu Jumlah
40 44 43 47
Produktif 29,8 17 22,8 13 24,6 14 17,5 10
46 39 25 46
Kemasyarakatan 19,3 11 29,8 17 56,1 32 17,5 10
%
Bersama Jumlah
Jumlah Total % Total
0 0 0 0
0 0 0 0
100 100 100 100
57 57 57 57
0 0 1,8 0
0 0 1 0
100 100 100 100
57 57 57 57
Ayah mendominasi pengambilan keputusan pada kegiatan produktif. Dominasi pelaku kegiatan domestik tidak berhubungan secara signifikan pada dominasi keputusan di rumahtangga, sebab sebesar apapun peran ibu dalam kegiatan domestik, pengambilan keputusan didominasi oleh ayah. Dalam kegiatan kemasyarakatan, pengambilan
106
keputusan juga didominasi oleh ayah baik sebagai pelaku maupun pengambil keputusan. Besarnya kontrol laki-laki (ayah) pada pengambilan keputusan di rumahtangga disebabkan karena laki-laki dianggap sebagai kepala rumahtangga. 7.2
Analisis Pendapatan dan Pengeluaran dalam Rumahtangga
7.2.1
Analisis Pendapatan Rumahtangga Kontribusi anggota rumahtangga mencakup kontribusi pendapatan. Kontribusi
pendapatan dalam rumahtangga adalah sejumlah pendapatan yang diperoleh anggota keluarga dan disumbangkan dalam pundi-pundi pendapatan keluarga. Kontribusi pendapatan di rumahtangga, suami memiliki pendapatan tinggi (64,9 persen), sedang (33,3 persen), dan rendah (1,8 persen). Kontribusi pendapatan istri adalah sedang (47,4 persen), dan rendah (52,6 persen). Kontribusi pendapatan anak adalah sedang (89,5 persen), dan rendah (10,5 persen). Rentang pendapatan tinggi adalah Rp. 1.100.000 Rp. 1.500.000 per bulan, sedang adalah Rp. 510.000 - Rp. 1.000.000 per bulan, dan rendah adalah Rp. 0 - Rp. 500.000 per bulan33. Kontribusi pendapatan yang diberikan oleh ayah, ibu dan anak dalam rumahtangga berasal dari berbagai sumber pendapatan. Sumber pendapatan tersebut dibagi menjadi dua yaitu yang berasal dari Perkebunan Gunung Mas dan berasal dari luar PGM. Peran perempuan dalam pekerjaan di perkebunan memberikan kontribusi terhadap pendapatan dalam rumahtangga. Kontribusi dalam pendapatan perempuan dalam sebagian besar rumahtangga berkisar pada ukuran pendapatan sedang maupun rendah yaitu Rp. 0 - Rp. 1.000.000 per bulannya. Dalam rumahtangga persentase kontribusi pendapatan yang diberikan oleh anggota rumahtangga akan ditampilkan pada Tabel 9.
33
Rentang pendapatan untuk menentukan tinggi, sedang, dan rendah adalah berdasarkan jumlah pendapatan masyarakat di sekitar perkebunan dengan jabatan tertinggi adalah mandor.
107 Tabel 9 Persentase Sumber Pendapatan Dalam Rumahtangga Keterangan Sumber Pendapatan Perkebunan Gunung Mas Di luar Perkebunan Gunung Mas Tidak Memberikan Kontribusi Total
Suami % 70,2 14,0
Persentase (%) Pendapatan Istri Jumlah % Jumlah 40 98,2 56 9 -
% 43,9 8,8
Anak Jumlah 25 5
15,8
8
1,8
1
47,4
27
100
57
100
57
100
57
Persentase sumber pendapatan dalam rumahtangga pemetik sebagian berasal dari perkebunan gunung mas. Untuk lebih jelas mengenai berapa besar sumbangan dari masing-masing pekerjaan ditampilkan pada Tabel 10. Tabel 10 Rata-rata Pendapatan Per Bulan Di Rumahtangga Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Perkebunan Gunung Mas 2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jenis Pekerjaan
Pelaku Kegiatan
Pemetik teh Mandor (Pabrik, Kebun, dll) Pabrik Kebun Warung Pedagang Menjual Madu/tanaman hias/kambing Agrowisata Ojeg Serabutan lain Pensiunan Pemberian Keluarga Total
Ibu (Perempuan Ayah/ Anak Laki-laki Ayah/ Anak Laki-laki Ayah/Anak laki-laki Ibu/Anak Perempuan Ayah/Anak Perempuan Ayah Ayah/Anak Laki-laki Anak Laki-laki Ayah/Anak Laki-laki Ayah Anak Laki-laki/Anak Perempuan
Rata-rata Pendapatan Per Bulan (Rp) 521.929 61.403 379.473 185.964 5.263 12.982 15.789
57 57 57 57 57 57 57
105.210 26.315 69.824 36.842 7.142
57 57 57 57 57
N (Jumlah Responden)
1.428.136
Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa pemetik memiliki rata-rata sumbangan pendapatan yang besar dalam rumahtangga. Selain itu pendapatan dari perkebunan memiliki kontribusi pendapatan yang besar dibandingkan dengan sumber pendapatan lain di luar perkebunan. Persentase alternatif mata pencaharian lain baik yang ada perkebunan maupun di luar perkebunan yang dimanfaatkan oleh keluarga pemetik terdapat pada Tabel 11.
108 Tabel 11 Persentase Alternatif Mata Pencaharian Masyarakat Perkebunan Gunung Mas 2010 Keterangan 1. Perkebunan 2. Warung 3. Pedagang 4. Penjual Madu 5. Penjual Tanaman Hias 6. Agrowisata (Atv, Joki Kuda, Flying Fox) 7. Ojeg 8. Serabutan Lain Jumlah
Alternatif Mata Pencaharian Ayah Ibu % Jumlah % Jumlah 77 44 93 53 3,5 2 3,5 2 3,5 2 3,5 2 7,0 4 -
% 75,4 1,8 5,3
8,8 100
8,8 8,8 100
5 57
100
57
Anak Jumlah 43 1 3 5 5 57
Alternatif mata pencaharian masyarakat perkebunan dilakukan berbeda oleh masyarakat Dusun Gunung Mas dan masyarakat Dusun Rawadulang. Masyarakat Dusun Gunung Mas umumnya membuka warung, berdagang, menjual madu, dan menjual tanaman hias yang memberikan penghasilan tambahan yang cukup besar salah satunya dengan menjual madu. Hal tersebut karena letak Dusun Gunung Mas strategis dan menjadi jalur tea walk wisatawan sehingga masyarakat dapat langsung berinteraksi untuk menjual madu maupun tanaman hias. Letak Dusun Rawadulang yang cukup terpencil menyebabkan masyarakatnya mencari alternatif mata pencaharian di luar perkebunan seperti ojeg dan bekerja serabutan lain (bangunan, buruh kebun kembang maupun kebun sayur). Alternatif matapencaharian tersebut karena mereka tidak memerlukan modal, hanya membutuhkan tenaga untuk melakukan pekerjaan tambahan tersebut. Di Rawadulang umumnya yang melakukan pekerjaan tambahan adalah laki-laki baik suami maupun anak laki-laki sebab pekerjaan yang dilakukan membutuhkan tenaga, sedangkan di Gunung Mas alternatif mata pencaharian dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, untuk warung biasanya dijaga oleh anak perempuan, sedangkan menjual madu dilakukan oleh ayah. Dalam satu keluarga (rumahtangga) diperkebunan, anak tidak memberikan kontribusi cukup besar bagi pendapatan. Rumahtangga masyarakat perkebunan
109
umumnya terdiri lebih dari satu keluarga, sebab anak yang sudah menikah dan memiliki anak, tinggal dalam satu rumah yang sama. Sekitar 8,87 persen dari total responden memiliki pembagian pendapatan dan pengeluaran yang dibedakan dalam rumahtangga, sedangkan 91,13 persen responden memiliki sumber pendapatan yang sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada rumahtangga yang di dalamnya terdapat lebih dari satu rumahtangga dan memiliki sumber pendapatan yang sama. Secara tidak langsung menunjukkan ketergantungan pada salah satu pemberi kontribusi dalam rumahtangga tersebut baik orangtua maupun anak. Namun 90 persen berdasarkan hasil penelitian menunjukkan ketergantungan tersebut terjadi pada rumahtangga anak yang masih bergantung pada orangtuanya., sehingga kontribusi pendapatan anak tidak dibedakan antara kontribusi anak laki-laki dan kontribusi anak perempuan. Pengamatan maupun wawancara berdasarkan penelitian di lapangan ditemukan beberapa alternatif mata pencaharian di perkebunan gunung mas dengan adanya agrowisata di perkebunan. Namun, hal tersebut tidaklah menjadi alternatif mata pencaharian yang dimanfaatkan oleh masyarakat perkebunan sendiri sebab masyarakat perkebunan masih sangat bergantung pada pekerjaan di perkebunan baik sebagai pekerja maupun pensiunan pekerja. Kesempatan kerja lain yang ada di perkebunan umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat lain yang tinggal di sekitar perkebunan. Agrowisata perkebunan memberikan peluang berusaha bagi masyarakat sekitar perkebunan khususnya pemetik. Peluang berusaha tersebut terbuka sebab pada waktu tertentu seperti liburan perkebunan sering dikunjungi oleh wisatawan. Peluang berusaha di dalam perkebunan antara lain berdangang meliputi warung, pedagang kecil (lampiran Gambar 6), menjual madu, menjual tanaman hias, dan joki kuda, sedangkan di luar perkebunan antara lain ojeg, serabutan di kebun kembang atau di kebun sayuran, dan bekerja di safari.
110
Pemetik teh di perkebunan umumnya jarang yang memanfaatkan hal tersebut untuk mendapatkan sumber penghasilan yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain 1) Tidak adanya modal untuk berdagang atau berusaha, sebab untuk mencukupi kebutuhan hidup saja sulit, 2) Buruh petik umumnya tinggal di Rawadulang yang jarak dengan pusat keramaian cukup jauh, umumnya masyarakat yang memiliki sumber usaha seperti berdagang tinggal di Gunung Mas, 3) Buruh petik biasanya memanfaatkan hari minggu atau libur untuk berkumpul dengan keluarga atau beristirahat sebab sudah lelah bekerja selama enam hari dalam satu minggu. 7.2.2
Analisis Pengeluaran Dalam Rumahtangga Tanggung jawab pengeluaran adalah tanggung jawab yang dipegang anggota
keluarga untuk membiayai kecukupan pengeluaran kebutuhan makanan dan bukan makanan. Pengeluaran makanan meliputi pangan pokok, lauk pauk, sayur, buah, susu, bahan minuman, bahan bakar, listrik, rokok, dan jajan anak. Pengeluaran bukan makanan meliputi biaya pendidikan, biaya kesehatan, biaya transportasi, pulsa, popok bayi, susu bayi, pajak kendaraan, pajak sewa, biaya alat mandi, biaya penerangan, biaya arisan, kondangan, biaya pembelian pakaian, dan perbaikan alat rumahtangga. Tanggung jawab pengeluaran dipegang oleh anggota dalam rumahtangga yaitu ayah, ibu, anak laki-laki dan anak perempuan. Tanggung jawab pengeluaran dalam rumah tangga adalah tanggung jawab untuk membiayai pengeluaran di rumahtangga. Persentase tanggung jawab pengeluaran makanan dalam rumahtangga disajikan pada Tabel 12.
111 Tabel 12 Persentase Tanggungjawab Membiayai Pengeluaran Makanan Rumahtangga Pemetik Di Perkebunan Gunung Mas 2010 No.
Jenis Pengeluaran Ayah (Σ)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pangan Pokok Lauk Pauk Buah Bahan Minuman Susu Anak Rokok Jajan anak
1,8 (1) 1,8 (1) 21,1 (12) 1,8 (1) 24,6 (14) 50,9 (29) 0
Persentase TanggungJawab (%) Ibu (Σ) Anak Lk Anak Pr (Σ) (Σ) 98,2 (56) 0 0 93,0 (53) 0 5,3 (3) 75,4 (43) 0 3,5 (2) 96,5 (55) 0 1,8 (1) 47,4 (27) 7,0 (4) 21,1 (12) 38,6 (22) 10,5 (6) 0 96,5 (55) 0 3,5 (2)
Persentase (N) 100 (57) 100 (57) 100 (57) 100 (57) 100 (57) 100 (57) 100 (57)
Tanggung jawab pengeluaran makanan secara umum di dominasi oleh Ibu khususnya dalam hal yang sangat berkaitan dengan makanan secara langsung seperti pangan pokok, lauk pauk, bahan minuman, dan jajan anak. Pada tanggung jawab pengeluaran makanan anak perempuan memiliki tanggung jawab lebih besar dibandingkan dengan anak laki-laki, begitu pun pada tanggung jawab pengeluaran bukan makanan seperti pada Tabel 13. Tabel 13 Persentase Tanggungjawab Membiayai Pengeluaran Bukan Makanan Rumahtangga Pemetik Di Perkebunan Gunung Mas 2010 No.
Jenis Pengeluaran
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Bahan Bakar Listrik Pendidikan Kesehatan Transportasi Pulsa Pajak Kendaraan Peralatan Mandi Alat Penerangan Pembelian Pakaian Arisan Kondangan Perbaikan peralatan
11. 12. 13.
Persentase Tanggung Jawab (%) Ayah Ibu Anak Anak Lk Pr 24,6 68,4 5,3 1,8 0 98,2 0 1,8 3,5 96,5 0 0 3,5 96,5 0 0 12,3 86,0 0 0 7,0 56,1 15,8 1,8 22,5 10,5 3,5 0 0 98,2 0 1,8 8,8 91,2 0 0 50,9 49,1 0 0 0 3,5 38,6
98,2 96,5 59,6
0 0 0
1,8 0 1,8
Non Biaya
Jumlah (Persen)
0 0 0 0 1.7 19.3 63.5 0 0 0
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
N (Jumlah Responden) 57 57 57 57 57 57 57 57 57 57
0 0 0
100 100 100
57 57 57
112
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengambilan keputusan merupakan salah satu indikator status perempuan di rumahtangga. Dalam penelitian ini, kultur masyarakat perkebunan yang menganggap bahwa perempuan adalah pengurus rumahtangga yang meskipun mereka memiliki pekerjaan dan penghasilannya merupakan sumber nafkah utama dalam keluarga, perempuan hanyalah perempuan yang tugas utamanya adalah sebagai ibu rumahtangga. Kultur patriarki tersebut menyebabkan walaupun dalam rumahtangga perempuan memiliki berbagai dominasi tanggung jawab, tetapi tetap saja pengambilan keputusan bergantung pada keputusan suami. Tanggung jawab pengeluaran berhubungan erat dengan pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Pengambilan keputusan tanggung jawab pengeluaran tersebut akan ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Pengambilan Keputusan Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga 2010 Pengambilan Keputusan Pengelolaan Penghasilan Pemilihan konsumsi Kesehatan Anak Pendidikan Anak Keperluan Rumahtangga Transportasi Konsumsi di luar makan Pemilihan Gorden Pemilihan kursi Pemilihan Tempat Tidur
Ayah Persen 66,7 43,9 45,6 68,4 35,1 71,9 56,1 47,4 52,6 56,1
Σ 38 25 26 39 20 41 32 27 30 32
Ibu Persen 31,6 45,6 52,6 29,8 54,4 26,3 35,1 49,1 42,1 40,4
Σ 18 26 30 17 31 15 20 28 24 23
Bersama Persen Σ 1,8 1 10,6 6 1,8 1 1,8 1 10,6 6 1,8 1 8,8 5 3,6 2 4,3 3 3,5 2
Total Persen N 100 57 100 57 100 57 100 57 100 57 100 57 100 57 100 57 100 57 100 57
Secara keseluruhan tanggung jawab pengeluaran makanan didominasi oleh ibu sebesar 94,7 persen dan anak perempuan sebesar 3,5 persen, dan pengeluaran bukan makanan didominasi oleh ibu sebesar 98,2 persen. Perempuan di rumahtangga (ibu dan anak perempuan) memiliki tanggung jawab dalam pengeluaran yang lebih besar dibandingkan dengan laki-laki (ayah, anak laki-laki). Dalam pengambilan keputusan di rumahtangga, perempuan memiliki kekuasaan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki sebab sebagian besar keputusan diputuskan oleh laki-laki (ayah).
113
Hal tersebut disebabkan karena laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga (nilai partiarkat) yang kekuasaan dan wewenangnya lebih besar dibandingkan dengan perempuan sedangkan perempuan hanyalah orang kedua dalam rumahtangga yang berfungsi membantu suami dalam mengatur rumahtangga. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bahwa status laki-laki dalam rumahtangga lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, terlepas bahwa perempuan memiliki berbagai tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatur rumahtangga. Akibatnya, walaupun perempuan dalam hal ini perempuan pemetik membawa penghasilan atau kontribusi pendapatan dalam rumahtangga, namun status perempuan dalam rumahtangga tidak berubah karena budaya patriarki masih sangat kuat mempengaruhi anggapan bahwa perempuan hanyalah orang kedua dalam rumahtangga yang statusnya lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (suami). 7.3
Ikhtisar Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam rumahtangga
menunjukkan dominasi peranan perempuan (ibu atau anak perempuan) dalam kegiatan domestik. Peranan perempuan dalam pekerjaan domestik di rumahtangga tidak terlepas dari perannya dalam pekerjaan produktif sebagai pemetik teh di perkebunan. Hal tersebut berdampak pada munculnya beban ganda terhadap peran perempuan sebagai pekerja maupun dalam rumahtangga. Kegiatan kemasyarakatan dalam suatu rumahtangga didominasi oleh ayah disebabkan antara lain faktor kelelahan ibu yang bekerja dan melakukan pekerjaan domestik. Selain itu, sebagian besar ibu menganggap bahwa hadir dalam kegiatan masyarakat merupakan tugas ayah sebab tugas istri atau perempuan dalam rumahtangga adalah mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Anggapan patriaki bahwa pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan sedangkan laki-laki
114
adalah kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah, berdampak pada besarnya pengaruh terjadinya beban ganda pada perempuan di perkebunan. Kontribusi menunjukkan
anggota
masih
rumahtangga
besarnya
terhadap
ketergantungan
pendapatan
anggota
rumahtangga
rumahtangga
terhadap
perkebunan sebab upah yang diterima dari perkebunan merupakan sumber pendapatan utama dalam rumahtangga. Alternatif mata pencaharian lain baik di dalam maupun di luar perkebunan tidak memberikan kontribusi pendapatan yang signifikan dan alternatif mata pencaharian yang diberikan perkebunan bukanlah merupakan solusi persoalan yang mereka alami akibat kendala modal. Sehingga dalam rumahtangga pemetik yang pengambilan keputusannya didominasi oleh suami, masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap perkebunan untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Pembagian kekuasaan berupa pengambilan keputusan dalam rumahtangga menempatkan kontrol perempuan (ibu atau anak perempuan) pada pemilihan konsumsi, kesehatan anak, dan keperluan rumahtangga sedangkan pengelolaan penghasilan, penentuan pekerjaan, insiatif bekerja, waktu bekerja, dan pemelihan tempat kerja diputuskan oleh ayah. Besarnya kontrol laki-laki (ayah) pada pengambilan keputusan dirumahtangga disebabkan karena laki-laki dianggap sebagai kepala rumahtangga. Secara tidak langsung, hal tersebut menunjukkan bahwa status laki-laki dalam rumahtangga lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, terlepas bahwa perempuan memiliki berbagai tanggung jawab yang lebih besar dalam mengatur rumahtangga. Akibatnya, walaupun perempuan dalam hal ini perempuan pemetik membawa penghasilan atau kontribusi pendapatan dalam rumahtangga, namun status perempuan dalam rumahtangga tidak berubah.
115
BAB VIII PENUTUP 8.1
Kesimpulan Posisi perempuan pemetik teh baik dalam pekerjaan, lingkungan masyarakat,
maupun dalam rumahtangga berada dalam posisi termarginalkan. Perempuan dalam pekerjaan di perkebunan diberikan pekerjaan yang dianggap tidak penting, tidak memerlukan keahlian maupun keterampilan khusus. Akibatnya upah yang diterima pekerja perempuan berbeda dengan pekerja laki-laki. Pekerja perempuan diberikan upah yang lebih rendah, kesempatan yang lebih rendah, tidak adanya jaminan kerja bagi perempuan dengan status lepas, hak perempuan yang dibatasi untuk cuti haid maupun berperan dalam serikat pekerja, dan perbedaan dalam mendapatkan fasilitas (fringe benefit) dari perkebunan. Perempuan di lingkungan masyarakat tidak memiliki jabatan atau peran penting. Kegiatan kemasyarakatan di dominasi oleh laki-laki sebab hanya laki-laki yang dianggap mampu. Hal yang sama terjadi dalam rumahtangga, dimana dominasi peran perempuan dalam rumahtangga akibat anggapan patriarki berdampak pada dominasi pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam rumahtangga didominasi oleh laki-laki. Dalam hal ini terjadi penyingkiran peran perempuan baik dalam rumahtangga maupun masyarakat bahkan dalam pengambilan keputusan di rumahtangga. Kondisi tersebut diperkuat dengan dibedakannya secara tidak langsung berdasarkan kelompok-kelompok tertentu yaitu kelompok buruh dan kelompok staf perkebunan.
Perempuan
kelompok
buruh
(pemetik)
mengalami
serangkaian
diskriminasi baik di pekerjaan, lingkungan masyarakat maupun rumahtangga yang berdampak pada pemiskinan perempuan secara terus menerus. Dimana pemetik tidak memiliki kemampuan untuk keluar dari kondisi tersebut selain disebabkan oleh doktrin dari perkebunan, dan ketergantungan mereka terhadap perkebunan
116
Pada akhirnya, pengelompokkan secara tidak langsung yang terjadi di perkebunan menempatkan laki-laki dan perempuan buruh pada posisi marginal (terpinggirkan) termasuk di dalamnya buruh petik. Laki-laki dan perempuan kelompok buruh mengalami diskriminasi yang sama akibatnya status mereka sebagai buruh perkebunan. Namun, status sebagai buruh perempuan menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki dengan status yang sama yaitu buruh. Perempuan dibedakan upah, hak, dan fasilitasnya dibandingkan dengan laki-laki. Upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki di pabrik dan kondisi pemetik perempuan tidak berubah sampai hari ini. Pengelompokkan tersebut menempatkan buruh pada posisi yang rendah tidak hanya di pekerjaan tetapi juga di rumahtangga. Baik laki-laki maupun perempuan buruh tidak memiliki jabatan penting dalam struktur kemasyarakatan, jabatan tertentu dipegang oleh mandor (laki-laki) maupun pekerjaan lain selain buruh. Namun, laki-laki kelompok buruh memiliki kesempatan dalam mengikuti kegiatan kemasyarakatan sehingga informasi, dan perannya dalam kegiatan kemasyarakatan lebih baik dibandingkan dengan perempuan dalam kelompok buruh. Proses pemiskinan perempuan merupakan akibat dari ketidakadilan dalam seluruh sektor baik pekerjaan, masyarakat maupun rumahtangga. Terlepas dari status yang rendah pada laki-laki dan perempuan sebagai buruh di perkebunan, dalam rumahtangga laki-laki memiliki status yang lebih tinggi dalam pengambilan keputusan sedangkan perempuan semakin termarginalkan dalam seluruh proses tersebut. Perempuan dimarginalkan dari posisi penting di perkerjaan, dari peran di masyarakat, dan dari keputusan di rumahtangga. Perempuan pemetik perkebunan berada dalam situasi yang terus menerus mengeksploitasi mereka dalam berbagai bidang (pekerjaan, masyarakat, rumahtangga).
117
Namun perempuan tidak dapat keluar dari situasi tersebut akibat ketergantungannya baik terhadap perkebunan dan laki-laki. Ketergantungan pada perkebunan sebab perkebunan
merupakan
sumber
nafkah
utama
dalam
keluarga,
sedangkan
ketergantungan terhadap suami (laki-laki) disebabkan oleh kuatnya kultur partiarkat yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin sehingga status perempuan dalam pengambilan keputusan lebih rendah. Pada akhirnya, marginalisasi terjadi pada perempuan pemetik teh dan perempuan hanya bisa menerima apa yang terjadi pada dirinya tanpa bisa keluar dari kondisi tersebut. 8.2
Saran Pada dasarnya keberadaan PGM merupakan bagian dari PTPN VIII yang
merupakan BUMN yang dimiliki oleh pemerintah menyebabkan birokrasi yang dimiliki cukup sulit dilalui untuk dapat mengeluarkan komunitas marginal (buruh) perkebunan keluar dari kondisi saat ini. Adapun saran yang dapat diberikan terkait dengan persoalan tersebut antara lain : 1. Pemberian pendidikan yang dapat diakses dengan baik oleh semua pihak terutama buruh khususnya perempuan dan pemberian kesempatan bagi perempuan untuk berorganisasi dan mengembangkan dirinya lewat perannya dalam organisasi tersebut. Pendidikan juga dapat meningkatkan nilai jual mereka kepada perkebunan sehingga buruh dapat bersaing sehat untuk mendapatkan upah yang layak di perkebunan. 2. Adanya kegiatan yang dapat memfasilitasi pekerja kelas bawah (buruh) di perkebunan untuk dapat mengembangkan potensi dan kemampuannya sehingga dapat keluar dari ketergantungan terhadap perkebunan. 3. Adanya serikat pekerja atau kelompok masyarakat yang dapat memfasilitasi aspirasi, keluhan dan harapan pekerja kelas bawah terhadap perkebunan yang
118
diharapkan dapat menempatkan posisi pekerja kelas bawah pada nilai tawar yang lebih tinggi. 4. Kepekaan pihak perkebunan terhadap pembedaan yang terjadi di perkebunan baik dalam bentuk kelas tertentu maupun diskriminasi terhadap jenis kelamin tertentu guna memperbaiki kehidupan seluruh masyarakat perkebunan khususnya pemetik. 5. Meningkatkan keterbukaan perkebunan terhadap informasi baik mengenai kondisi pekerja di perkebunan maupun informasi yang diberikan kepada pekerja dan masyarakat sekitar perkebunan. 6. Bersama (pemerintah, manajemen, dan buruh) untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga negara Indonesia seperti yang tercantum dalam pancasila, salah satu caranya adalah keadilan bagi buruh baik upah maupun pembagian kerja di perkebunan.
119
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2005. Sensus pertanian : Analisis Rumahtangga Usaha perkebunan. Jakarta: BPS. Biro Pusat Statistik (BPS). 1999. Indikator Sosial Wanita Indonesia 1997, diolah dari SUSENAS 1999. Daulay, Pardamean. 2006. “Sekali Buruh tetap Buruh” (Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Denzin, NK and YS Lincoln (eds). 2000. Handbook of Qualitatif Research (Second Edition). Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication De Vries, Dede Wiliam. 2006. Gender Bukan Tabu : Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor: Center for international forestry Research (CIFOR). Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Handayani, Trisakti, DRS, MM dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Hasanudin, Tubagus Maulana. 2009. Relasi Gender Dalam Perspektif Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya : Kasus Pada Sentra Industri Gerabah di Desa Anjun, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Skripsi Sarjana. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kartodirdjo, Surtono dan Djoko, Suryo. 1991. Sejarah perkebunan di Indonesia : Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Kusumawardhani, Dewi Sinta. 2003. Pengaruh Pola Tanam, Efisiensi dan Perioditas Sistem Agroforestry Terhadap Tingkat Pendapatan Rumahtangga Petani Hutan Rakyat : Studi Kasus Di Desa Jonggolsari, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Skripsi Sarjana. Departemen Manajemen Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Mosse, Julia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar. Oktaviani, Linda. 1995. Interaksi Antar Strata Sosial Dalam Komunitas Perkebunan : Studi Kasus pada Komunitas perkebunan Kelapa Sawit MIlik PT. Sahabat
120
Mewah dan Makmur di Desa Jangkang, Kecamatan Dendang, DATI II Kabupaten Belitung, Sumatera Selatan. Skripsi. Depok: Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Pratiwi, Linda. 2009. Marginalisasi Perempuan Dalam Industri dan Pengaruhnya Terhadap Kesejahteraan Keluarga Pekerja (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana Yogyakarta Ruhiyat, Cecep. 2000. Diskriminasi Upah Menurut Jenis Kelamin (Analisis Data Sakernas 1998). Tesis Pascasarjana. Program Pascasarjana. Jakarta: Universitas Indonesia. Sadli, Saparinah, Prof, Dr dan Marilyn, Porter, Dr. 1999. Metodologi Penelitian Berprespektif Perempuan Dalam Riset Sosial. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Sajogyo, Pudjiwati. 1981. Peranan Wanita Dalam Keluarga, Rumahtanga, dan Masyarakat yang Lebih Luas di Pedesaan Jawa : Dua Kasus Penelitian di Kabupaten Sukabumi dan Sumedang di Jawa barat. Laporan Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Simarmata, Vidya hartini. 2009. Kemiskinan dan Reforma Agraria di Desa Perkebunan (Kasus Kampung Padajaya dan Kampung Padajember, Dusun Cigarehonng, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor). Skripsi. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif Suatu Perkenalan. Dokumentasi Ilmu – Ilmu Sosial . Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial dan ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Siyamitri, Puty. 2009. Kondisi Kerja Karyawan perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga ( Kasus pada PT. Perkebunan
121
Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten kerinci, Propinsi Jambi). Skripsi Sarjana. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tetiani, Ani. 2005. Memudarnya Dualisme Ekonomi : Studi Mobilitas Sosial Komunitas Perkebunan Teh Kertamanah, Pangalengan, Jawa Barat. Tesis Pascasarjana. Sekolah Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Wood, Julia T. 2001. Gendered Lives : Communication, Gender, and Culture. United States of Amerika: Inc. Thomson learning. Zulkarnaen. 1994. Analisis Sistem Kompensasi serta Pengaruhnya Terhadap Motivasi dan Produktivitas Tenaga Pemetik Teh : Studi Kasus PT. Perkebunan Nusantara VIII Cianten. Skripsi Sarjana. Departemen Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
122
LAMPIRAN Gambar 1. Dusun Gunung Mas Desa Tugu Selatan
Gambar 2. Dusun Rawadulang Desa Tugu Selatan
Gambar 3. Kantor Afdeling GM I
Gambar 4. Prasaran Perkebunan (Kantor Upaya Kesehatan Kerja)
Gambar 4. Prasarana Perkebunan (Truk Jemputan Pemetik)
Gambar 4. Prasarana Perkebunan (Koperasi Perkebunan Gunung Mas)
123
a. Kedai Teh PGM
Gambar 5. Prasarana Penunjang b. Sarana Wisata Agro di PGM
Gambar 6. Alternatif Mata Pencaharian Masyarakat Sekitar Perkebunan Gunung Mas a. Pedagang Skala Besar di PGM b. Pedagang Kecil di PGM
Gambar 7. Kelompok-kelompok Pemetik di Perkebunan Gunung Mas a. Sarapan Pagi di Kebun b. Makan Siang di Kebun
Gambar 8. Kondisi Pensiunan Di Perkebunan Gunung Mas a. Ruang Serbaguna b. Dapur c. Kamar Tidur
124
Gambar 9. Suasana Pemetik Saat Bekerja
Gambar 10. Suasana Gajian Di Perkebunan Gunung Mas
Gambar 11. Matrik Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data No.
Kebutuhan Data
1. 2. 3.
Profil Desa Profil PTPN VIII Gunung Mas Profil Sistem Pembagian Kerja di Perkebunan
4.
Konteks umum lokasi Penelitian (Afdeling)
5. 6.
Profil rumahtangga Petani ( sosio-ekonomi dan sosiobudaya) Profil Pembagian pekerjaan di perkebunan
7.
Profil Pembagian pekerjaan Pemetikan teh
8.
Profil kelembagaan pekerja
9.
Profil jenjang karir/ struktur organisasi di perkebunan
10.
Metode
Jenis Data
Sumber Data
Studi dokumen Studi dokumen Studi dokumen, pengamatan lapang, interview, Studi dokumen, pengamatan lapang, interview, Kuesioner, indepth interview, observasi lapang, studi dokumen Studi dokumen, indepth interview, kuesioner, observasi lapang Indepth interview, observasi lapang,
Sekuder Sekunder Primer, Sekunder Primer, Sekunder Primer, Sekunder Primer, Sekunder Primer
Studi dokumen, pengamatan lapang, interview Studi dokumen, pengamatan lapang, interview
Primer,
Sistem Perekrutan Pekerja
Indepth interview, observasi lapang,
Primer
11.
Profil Upah Pekerja
Primer,
12 13.
Faktor penyebab pemberian upah pada Pekerja (laki-laki dan perempuan) Dinamika sistem pengupahan
Studi dokumen, pengamatan lapang, interview Indepth interview, observasi lapang, Indepth interview, studi dokumen
14.
Alasan bekerja di perkebunan
Indepth interview, observasi lapang
Primer, Sekunder Primer
15.
Bentuk-bentuk Ketidakadilan gender yang terjadi di perkebunan Bentuk ketidakadilan gender dalam hal upah Penyebab ketidakadilan gender Dampak Ketidakadilan gender bagi perempuan Contribution pendapatan dalam rumahtangga Akses, kontrol dan manfaat penggunaan dan penerimaan upah dalam rumahtangga Akses, kontrol dalam pekerjaan produktif, domestik , dan sosial, dan pengambilan keputusan di RT
Indepth interview, observasi lapang
Primer
Perkebunan, tokoh pekerja, dan responden Perkebunan, tokoh pekerja, dan responden Perkebunan, tokoh pekerja, dan responden Perkebunan, tokoh pekerja, dan responden Perkebunan, tokoh pekerja, dan responden Tokoh pekerja, dan responden
Indepth interview, observasi lapang Indepth interview, observasi lapang Indepth interview, observasi lapang Indepth interview, observasi lapang Indepth interview, observasi lapang, kuesioner Indepth interview, observasi lapang, kuesioner
Primer Primer Primer Primer Primer
Tokoh pekerja, dan responden Tokoh pekerja, dan responden responden responden responden
Primer
responden
16. 17. 18. 19 20. 21.
Primer Sekunder
Primer
Perkebunan, Kantor Desa Perkebunan Perkebunan, mandor, responden Perkebunan, pejabat perkebunan (mandor) Buruh responden, dan tokoh buruh Pejabat perkebunan (mandor), tokoh Pekerja, dan responden Pejabat perkebunan (mandor), tokoh pekerja dan responden Ketua serikat pekerja, tokoh buruh, dan manajemen Perkebunan, tokoh pekerja, dan responden
125
Gambar 12. Tempat Teh yang Digunakan Pemetik di Perkebunan Gunung Mas a. Waring
b. Keranjang
Gambar 13. Rumah Dinas Perkebunan Gunung Mas a. Rumah Dinas Dusun Gunung Mas b. Rumah Dinas Dusun Rawadulang
Gambar 14. Sketsa Peta Desa Tugu Selatan
126 Gambar 15. Bagan Organisasi di Perkebunan Gunung Mas
Kepala Administratur
Kepala Tanaman (Wakil Adminitatur)
Kepala Administrasi
Kepala Pabrik
Kepala Teknik
Kepala Afdeling GM 1
Kepala Afdeling GM II
Kepala Afdeling Cikopo
JTU dan Kepala Tabin
Mandor Besar
Mandor besar
Mandor Besar
Mandor Besar
Mandor besar
Anggota
Mandor
Mandor
Mandor
Mandor
Mandor
Buruh Perkebunan
Keterangan : = Membawahi Kepala Administrasi = Merupakan pemimpin tertinggi di perkebunan.
127
Lampiran Tabel Tabel 1. Kegiatan 24 Jam Ayah, Ibu, dan Anak Dalam Rumahtangga Waktu 03.00 03.0004.00 05.00 05.0006.00 06.15
06. 30
Ayah Bangun Mandi, sholat Sarapan dan minum kopi Berangkat ke pabrik
Ibu
Anak Lakilaki
Anak Perempuan
Bangun pagi Memasak, mencuci piring, mencuci baju, membersihkan dapur Mandi, sholat subuh Bersiap2 (berdandan, menyiapkan keranjang, bekal, perlengkapan metik), menyiapkan makanan untuk suami dan kopi Menyapu depan, dan membersihkan halaman sekitar
-
-
06.00 (bangun pagi)
Bangun pagi, sholat
sarapan
Berangkat ke bokasi
Membantu ibu menyiapkan bekal, (membeli gorengan ke warung) Membersihkan rumah, mencuci piring, mengepel Melakukan pekerjaan rumah
06.3007.00
bekerja
07.00 10.30
bekerja
Berangkat ke kebun : Jalan ke kebun bila dekat bersama teman2 bila jauh dijemput oleh truk Sarapan bersama (bersama teman2 pemetik, berbagi lauk, sayur, dll), bekal yang dimakan hanya setengah, stengahnya lagi untuk siang Memetik teh
10.30 – 11.30 11.3015.00
bekerja
Penimbangan ke 1, sekaligus makan siang
bekerja
12.0013.00 istirahat (makan siang) Bekerja
Memetik teh
pulang
Penimbangan II
Nonton tv/istirahat
Pulang
Pulang (apabila pucuk sedikit, apabila pucuk banyak, pulangnya bisa jam5 atau 6 sore) Mandi, beberes, bebersih, membantu masak,
Nonton tv/istirahat Bermain bola Bermain bola
memasak
Mengobrol dengan tetangga
mandi
mengobrol
Sholat, nonton tv
sholat
Sholat, nonton tv
Bercengkrama bersama keluarga dan melayani suami (membuatkan minum, memijat, dll)
Bercengkra ma bersama keluarga
Bercengkrama bersama keluarga
Membersih2kan gelas, piring dll untuk dicuci keesokan pagi Jika suami tidur larut malam maka istri akan menemani, kecuali menonton bola maka akan ditemani anak laki-laki tidur
tidur
tidur
tidur
tidur
15.0015.30 15.30 16.00 – 17.00
21.00
Nonton tv (sudah mandi, dll) Nonton/m engobrol dengan tetangga Ke mesjid (sholat) Bercengkr ama bersama keluarga tidur
22.00
tidur
17.0018.00 18.0019.00 19.0021.00
Bekerja
bekerja
Melakukan pekerjaan rumah, mengurus anak, menonton tv, masak Melakukan pekerjaan rumah Melakukan pekerjaan rumah
nonton tv dan memasak
Sumber : Dikumpulkan penulis berdasarkan olahan catatan harian dari data primer hasil wawancara dan observasi di lapangan (2010)
128
Tabel 2. Rekapitulasi Data Induk Karyawan PGM PTPN VIII No I II
III
Bagian Karyawan Pimpinan Staf Jumlah I Karyawan Pelaksana I (Karpel I) Wisata Agro Kantor Induk Gunung Mas I Gunung Mas II Cikopo Selatan Pengolahan Teknik Jumlah II Karyawan Golongan IA Wisata Agro Kantor Induk Gunung Mas I Gunung Mas II Cikopo Selatan Pengolahan Teknik Jumlah III Total
Jenis Kelamin L P 9 2 9 2
Jumlah Karyawan 11 11
11 16 13 12 13 17 22 104
3 5 1 0 0 1 0 10
14 21 14 12 13 18 22 114
46 21 46 31 43 28 19 234 347
2 2 107 89 115 10 0 325 337
48 23 153 120 158 38 19 559 684
Sumber : Bagian TUK Perkebunan Gunung Mas tahun 2008
Tabel 3. Rencana Biaya Produksi Tahun 2007 Rekg. 600. 601.00/99 602.00/09 602.10/99 400
Uraian
Gaji Peg. Gol. III/IV Pemeliharaan Tan. Menghasilkan Panen Pengangkutan Biaya Umum Jumlah Biaya Tanaman 609. Penjualan Antar Kebun 603./07 Biaya Pengolahan Jumlah Biaya Prod sbl Penyusutan Biaya Penyusutan Jml Biaya Prod stl Penyusutan Biaya Tanaman per Ha Sumber: RKAP Kebun Gunung Mas Tahun 2007
Biaya (Rp) (000) 87.700 2.862.843 3.885.043 147.727 3.765.649 10.748.962 (1.123.401) 3.785.991 13.411.552 711.203 14.122.755
Rp per Satuan Indeks 76,93 446,33 3.407,93 129,58 587,08 9.428,91 13,37 3.590 12.700 670 13.374 16.758
Uraian Satuan Indek Kg Ha Kg Kg Ha Kg Kg Kg Kg Kg Kg Ha
129
Tabel 4. Tabel Jadwal Pelaksanaan Kegiatan penelitian No
Bulan Ke 1
Kegiatan 1
I
Proposal dan Kolokium
1 2 3 II
Penyusunan Draft dan Revisi
1 2 III 1 2 3 IV 1 2 V 1 2
Konsultasi Proposal Kolokium Pra Survey Pra survey awal Perizinan Pengumpulan Data Pengumpulan Data Lapangan Penyusunan Laporan kemajuan Penelitian Pengolahan dan analisis data dan informasi dari lapangan Penulisan Laporan Penyusunan Draft Laporan hasil penelitian Konsultasi Laporan Presentasi Hasil Penelitian Ujian Skripsi Perbaikan Skripsi
Sumber : Islami (2010)
2
3
Bulan Ke 2 4
1
2
3
Bulan Ke 3 4
1
2
3
Bulan Ke 4 4
1
2
3
4